• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KASUS FRAKTUR PATOLOGIS POST TIROIDEKTOMI PADA NY. M DI LANTAI V BEDAH RSPAD GATOT SOEBROTO KARYA ILMIAH AKHIR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA ANALISIS PRAKTIK KASUS FRAKTUR PATOLOGIS POST TIROIDEKTOMI PADA NY. M DI LANTAI V BEDAH RSPAD GATOT SOEBROTO KARYA ILMIAH AKHIR"

Copied!
106
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KASUS FRAKTUR PATOLOGIS POST

TIROIDEKTOMI PADA NY. M DI LANTAI V BEDAH RSPAD

GATOT SOEBROTO

KARYA ILMIAH AKHIR

MUNQIDZ ZAHRAWAANI 1106129966

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS

DEPOK JULI 2014

(2)

UNIVERSITAS INDONESIA

ANALISIS PRAKTIK KASUS FRAKTUR PATOLOGIS POST

TIROIDEKTOMI PADA NY. M DI LANTAI V BEDAH RSPAD

GATOT SOEBROTO

KARYA ILMIAH AKHIR

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Ners

MUNQIDZ ZAHRAWAANI 1106129966

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM PROFESI NERS

DEPOK JULI 2014

(3)
(4)
(5)

ABSTRAK

Nama : Munqidz Zahrawaani

Program Studi : Profesi Ilmu Keperawatan

Judul Karya Ilmiah Akhir : “Analisis Praktik Kasus Fraktur Patologis Post Tiroidektomi pada Ny. M di Lantai V Bedah RSPAD Gatot Soebroto”

Rasa nyeri pada pasien fraktur merupakan stressor yang paling dominan sehingga dapat menimbulkan respon fisik dan psikis bahkan sampai terjadinya syok. Nyeri mengakibatkan klien menolak tindakan dan pergerakan untuk aktivitas mobilitas, dampak immobilitas tidak hanya pada fisik tetapi juga pada mental dan konsep diri pasien. Asuhan keperawatan yang dilakukan sejak tanggal 22 Mei sampai 31 Mei diharapkan klien dapat mengenali dengan baik penyebab timbulnya nyeri dan bagaimana cara mengatasinya. Laporan ilmiah ini bertujuan untuk melaporkan tindakan mandiri keperawatan yang sudah dilakukan untuk menurunkan nyeri melalui metode menajemen nyeri yaitu teknik relaksasi dan nafas dalam. Teknik ini selain terbukti efektif juga dapat meningkatkan mobilisasi pasien.

(6)

ABSTRACT

Name : Munqidz Zahrawaani

Study programme : Ners Profession

Title of final scientific paper : Case Practice Analysis of Pathologic Fracture Post Thyroidectomy in Mrs M. at Fifth Floor of Surgical Room, Gatot Soebroto Army Center Hospital Jakarta

Pain is a main problem that can make fracture client become stress and strain. Client who experienced pain may respond physically and psychologically, even can lead to shock condition. The pain makes client refuse the intervention for mobilized programme. The impacts of immobilization are not just physical aspect but also mental aspect of the client. The aim of the nursing intervention that have been given since May 22 until May 31 are to give knowledge about cause and management of pain to the client. The purpose of this scientific paper is to report nursing intervention that has been proved to decrease pain as method of pain management named relaxation or deep breathing technique. The technique shown decreasing of client‟s pain scale so that the client can involve actively in mobility programme.

(7)

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur saya panjatkan ke hadirat Allah SWT, karena atas rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir Ners yang berjudul “Analisis Praktik Kasus Ny. M dengan Fraktur Patologis dan Kanker Paratiroid di Lantai V Bedah RSPAD Gatot Soebroto.”

Penyusunan karya ilmiah akhir ini dapat terlaksana atas bantuan, dukungan, bimbingan dan kerjasama dari berbagai pihak. Untuk itu, saya menyampaikan penghargaan, rasa hormat dan terima kasih kepada :

1. Ibu Dra. Junaiti Sahar, Phd selaku Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia;

2. Ibu Kuntarti, SKp, M. Biomed, selaku Ketua Program studi Sarjana Ilmu Keperawatan;

3. Bapak Masfuri, SKp, MN selaku dosen pembimbing yang telah menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk memberikan arahan dan masukan berharga dalam penyusunan karya ilmiah akhir Ners ini;

4. Ibu Ns. Merri Silaban, S. Kep selaku pembimbing Lantai V Bedah yang tak pernah berhenti memotivasi dan memacu semangat selama praktek di RSPAD Gatot Soebroto

5. Ibu Riri Maria, SKp., MN, selaku koordinator mata ajar Karya Ilmiah Akhir Ners peminatan Keperawatan Medikal Bedah;

6. Seluruh teman ekstensi angkatan 2011 yang selalu berjuang bersama melewati pahit manisnya profesi sampai bisa mencapai titik final.

Akhir kata semoga karya ilmiah akhir Ners ini membawa manfaat bagi pengembangan ilmu dan sikap professional dimanapun perawat bertugas dan melaksanakan perannya.

Depok, Juli 2014

(8)
(9)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... ii

HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS... iii

HALAMAN PENGESAHAN... iv

ABSTRAK... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR... vii

HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI... viii

DAFTAR ISI... ... ix

DAFTAR TABEL. ... xi

DAFTAR BAGAN ... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1 1.1. Latar Belakang ... 1 1.2. Rumusan Masalah ... 3 1.3. Tujuan Penulisan ... 4 1.3.1. Tujuan Umum ... 4 1.3.2. Tujuan Khusus ... 4 1.4. Manfaat Penulisan ... 4

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1. Struktur dan Fungsi Tulang ... 6

2.1.1. Fraktur Femur... 7

(10)

2.1.3. Etiologi fraktur ... 10

2.1.5. Manifestasi Klinik... 10

2.1.6. Komplikasi Fraktur... 11

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan... 12

2.3 Fraktur Femur pada masyarakat Perkotaan... 32

BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN... 34

3.1. Pengkajian ... 34

3.2. Analisa Data... 44

3.3. Diagnosa Keperawatan... 45

3.4. Rencana Asuhan Keperawatan... 46

3.5. Implementasi keperawatan... 47

3.6. Evaluasi Keperawatan... 48

BAB 4 ANALISA SITUASI... 49

4.1 Profil Lahan Praktek... 49

4.2 Analisis Masalah keperawatan dengan Konsep KKMP dan Fraktur Patologis... 51 4.3. Analisis salah satu intervensi keperawatan dengan Konsep Fraktur Patologis... 58 BAB 5 PENUTUP... 61 5.1 Kesimpulan 61 5.2 Saran 62 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN

(11)

DAFTAR TABEL

(12)

DAFTAR BAGAN

(13)

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Pengelompokkan data dan analisa data Lampiran 2 Implementasi dan Evaluasi tindakan

(14)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang

Patut kita garis bawahi bahwa pembangunan kesehatan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari pembangunan nasional yang sedang gencar gencarnya dilaksanakan tidak lain karena pembangunan kesehatan menyentuh hampir semua aspek kesehatan atau dengan kata lain kesehatan merupakan hak dasar manusia serta merupakan karunia dari Tuhan yang perlu disyukuri, dijaga dan ditingkatkan kualitasnya. Manusia yang sehat dan produktif mampu beraktifitas tanpa ada hambatan maupun cedera, sedangkan didaerah perkotaan tingkat mobilitas penduduk sangat tinggi, diiringi dengan tingkat stressor yang tinggi pula. Hasil analisis deskriptif menunjukkan bahwa proporsi terbesar kecelakaan sepeda motor terjadi pada hari kerja dan mayoritas pengendara yang terlibat kecelakaan berjenis kelamin laki laki (83%) berusia produktif 18-25 tahun (28%) (Bolla, M E, 2009).

Badan kesehatan dunia (WHO) mencatat terdapat lebih dari 7 juta orang meninggal dikarenakan insiden kecelakaan dan sekitar 2 juta orang mengalami kecacatan fisik. Usman (2012) menyebutkan bahwa hasil data Riset Kesehatan Dasar (RIKERDAS) tahun 2011, di Indonesia terjadinya fraktur yang disebabkan oleh cedera yaitu karena jatuh, kecelakaan lalu lintas dan trauma tajam / tumpul. Dari 45.987 peristiwa terjatuh yang mengalami fraktur sebanyak 1.775 orang (3,8 %), dari 20.829 kasus kecelakaan lalu lintas, mengalami fraktur sebanyak 1.770 orang (8,5 %), dari 14.127 trauma benda tajam / tumpul, yang mengalami fraktur sebanyak 236 orang (1,7 %).

Fraktur merupakan kondisi terputusnya kontinuitas jaringan tulang yang umumnya disebabkan trauma langsung maupun tidak langsung. Kemajuan lalu lintas baik dari segi jumlah pemakai jalan, jumlah pemakai kendaraan dan jumlah pemakai jasa angkutan maka mayoritas terjadinya fraktur adalah kecelakaan lalu lintas.sementara

(15)

taruma trauma lain yang dapat menyebabkan fraktur adalah jatuh dari ketinggian, kecelakaan kerja dan cedera olahraga.

Batasan fraktur adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang artinya terjadi pemutusan tulang maupun jarigan kartilago. Kejadian ini dapat inkomplit atau komplit sebagai akibat trauma. Energi yang sampai ke tulang melebihi dari batas kekuatan tulang sehingga terjadi fraktur. Energi yang sampai ke tulang tergantung dari jenis (ringan, berat, dsb), arah dan kecepatan trauma tersebut. Trauma dapat langsung (direct), seperti terkena pukulan dari benda yang bergerak atau kejatuhan maupun dipukul, atau tidak langsung (indirect), seperti gaya memutar atau gaya membengkok pada tulang. Gaya ini juga sering mengakibatkan terjadinya dislokasi. Apabila kondisi tulang tempat terjadi fraktur tersebut terdapat kelainan patologis seperti tumor atau osteoporosis /osteomalacia maka disebut fraktur patologis. Trauma lain yang menyebabkan fraktur adalah gaya penekanan yang terus - menerus (chronic stress / overuse) yang disebut fatique fractur.

Proses pembentukan tulang dipengaruhi oleh proses dinamis remodelling yang melibatkan tiga sel yaitu osteosit, osteoblas dan osteoklas. Osteoklas dipengaruhi kepadatan tulang. Bila kepadatan tulang berkurang maka tulang menjadi rapuh dan rusak. Keadaan ini dapat menimbulkan nyeri dan kelainan bentuk tulang. Rasa nyeri akan timbul secara tiba tiba dan terus bertambah jika penderita melakukan mobilisasi. Daerah tersebut juga mersakan nyeri jika disentuh. Tulang yang lain seperti femur akan mudah patah. Penyebab kerapuhan tulang ini ada yang bersifat primer atau sekunder, secara primer kekurangan kalsium yang berhubungan dengan usia dan ketidakseimbangan antara kecepatan pembentukan tulang baru dan rusaknya tulang. Kemungkinan timbulnya penyakit kerapuhan tulang jenis ini sering pada wanita. Kurang dari 5% penderita juga mengalami osteoporosis sekunder yang disebabkan keadaan medis lainnya atau oleh obat (sekunder), misalnya keadaan gagal ginjal kronis dan kelainan hormonal terutama tiroid, paratiroid dan adrenal. Sedangkan obat obatan yang dapat menyebabkan kerapuhan tulang adalah hormon kortikosteroid, barbiturat, anti kejang dan hormon tiroid yang berlebihan (Suardi, M 2012).

(16)

Insiden fraktur di USA diperkirakan menimpa satu orang pada setiap 10.000 populasi setiap tahunnya (Armis, 2002). Sedangkan di Indonesia data yang diperoleh Unit pelaksana teknis makmal terpadu FKUI, pada tahun2006 dari 1690 kasus kecelakaan lalu lintas ternyata yang mengalami fraktur femur 249 kasus atau 14,7%. Sedangkan data dari RSPAD Gatot Soebroto 2011 adalah 178 orang. Untuk lantai V bedah sendiri kasus fraktur menduduki urutan pertama dari satu bulan praktek profesi peminatan KMB didapatkan 17 kasus fraktur, dua diantaranya dalah fraktur patologis dimana pasien tidak segera mendapatkan penangana medis saat mengalami fraktur. Hasil penelitian Kurnia dkk pada tahun 2012 menunjukkan tiga faktor utama yang paling mempengaruhi seseorang memilih berobat ke pengobatan tradisional atau dukun patah tulang yaitu faktor motivasi untuk menyembuhkan sakitnya (64, 7%), kepercayaan akan mendapatkan manfaat dan rintangan (61, 76%) dan kepercayaan terhadap pelayanan kesehatan (71, 88%). Kasus infeksi dari luka fraktur akibat ditangani pengobatan ahli tulang terus meningkat. Selama periode 2003-2007 terdapat peningkatan kecacatan anggota gerak 150 penderita dan 22 diantaranya mengalami infeksi. Bahkan untuk menyelamatkan jiwanya sampai memerlukan tindakan amputasi (Kurnia dkk, 2012).

1.2. Perumusan masalah

Dampak masalah dari fraktur yaitu dapat mengalami perubahan pada bagian tubuh yang terkena cidera, merasakan cemas akibat rasa sakit dan rasa nyeri yang di rasakannya, resiko terjadinya infeksi, resiko perdarahan, ganguan integritas kulit serta berbagai masalah yang mengganggu kebutuhan dasar lainnya, selain itu fraktur juga dapat menyebabkan kematian. Kegawatan fraktur diharuskan segera dilakukan tindakan untuk menyelamatkan klien dari kecacatan fisik. Apabila kondisi tulang tempat terjadi fraktur tersebut terdapat kelainan patologis seperti tumor atau osteoporosis /osteomalacia maka disebut fraktur patologis. Penyembuhan tulang dipengaruhi oleh hormon hormon salah satunya hormon tiroid yang mempengaruhi tingkat kepadatan tulang yang berperan dalam proses remodelling atau penyembuhan pasca fraktur. Kelainan pada tiroid akan menghambat proses penyembuhan tulang itu

(17)

sendiri. Berdasarkan masalah dan komplikasi yang terjadi akibat fraktur maka penulis tertarik melakukan pengkajian, memberikan intervensi keperawatan, mengimplementasikan melalui pendidikan kesehatan, serta mengevaluasi kasus fraktur patologis yang dialami Ny. M di lantai V Bedah RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

1.3. Tujuan penulisan 1.3.1. Tujuan umum

Penulisan ini bertujuan untuk menggambarkan analisis asuhan keperawatan pada pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi dengan konsep KKPM (Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan) di RSPAD Gatot Soebroto.

1.3.2. Tujuan khusus

 Memberikan gambaran tentang pengkajian pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi

 Memberikan gambaran intervensi pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi

 Memberikan gambaran impelementasi pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi

 Memberikan gambaran evalusi pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi

 Meberikan pendidikan kesehatan pasien dengan fraktur patologis dengan tiroidektomi dengan konsep KKMP ( Keperawatan kesehatan masyarakat perkotaan)

1.4. Manfaat penulisan 1.4.1. Penulis

Karya ilmiah akhir Ners ini diharapakan dapat menambah pengetahuan tentang fraktur patologis dengan tiroidektomi sehingga penulis diperkaya dengan ilmu pengatahuan dan dapat memberikan asuhan keperawatan yang

(18)

komprehensip serta mampu mengaplikasikannya secara nyata bagi klien fraktur patologis dengan tiroidektomi

1.4.2. Perawat

Karya tulis akhir Ners ini diharapkan mampu memberikan gambaran tentang pelayanan pasien fraktur patologis dengan tiroidektomi dengan tepat

1.4.3. Pendidikan keperawatan

Karya tulis akhir Ners ini diharapkan mampu memfasilitasi dan menjadi sarana berbagi pengembangan bagi ilmu keperawatan serta diharapkan memberikan informasi tentang fraktur patologis dengan tiroidektomi

(19)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Struktur dan Fungsi Tulang

Tulang merupakan bagian tubuh yang memiliki fungsi utama sebagai pembentuk rangka dan alat gerak tubuh, pelindung organ organ internal serta tempat penyimpanan mineral (kalsium-fosfat).proses pembentukan tulang disebut dengan osifikasi. Proses osifikasi terjadi pada masa perkembangan fetus (prenatal) dan setelah individu lahir (postnatal). Pada tulang panjang perkembangan terjadi sampai individu mencapai dewasa.

Jaringan tulang bersifat dinamis karena secara konstan mengalami pembaharuan yang dikenal dengan proses remodeling. Remodeling tulang merupakan suatu proses yang kompleks yang melibatkan resorpsi tulang yang diikuti dengan pembentukan tulang baru. Remodeling tulang ditujukan untuk pengaturan homeo-stasis kalsium, memperbaiki jaringan yang rusak akibat pergerakan fisik, kerusakan minor karena faktor stres dan pembentukan kerangka pada masa pertumbuhan (Hill dan Orth, 1998 dalam Fernandez et al., 2006).

Jaringan tulang memiliki tiga tipe sel yakni osteosit, osteoblas, dan osteoklas. Proses remodeling melibatkan osteoblas dan osteoklas melalui mekanisme signal parakrin dan endokrin. Osteoklas merupakan sel dengan beberapa inti sel dan berkembang dari hematopoetic stem cells serta memiliki fungsi dalam meresorpsi tulang, sedangkan osteoblas memiliki fungsi sebagai penghasil matriks organik (yang terdiri atas protein kolagen dan nonkolagen) serta mengatur proses mineralisasi (kalsium-fosfat) pembentuk osteoid. Osteoblas berkembang dari osteoprogenitor yang terdapat di bagian dalam periosteum dan sumsum tulang (Orwoll, 2003).

(20)

Ketidakseimbangan antara resorpsi dan pembentukan tulang pada proses remodeling tulang dapat mengakibatkan kepadatan tulang berkurang sehingga dapat menimbulkan penyakit metabolik tulang (Seeman, 2003). Berkurangnya kepadatan sel tulang dapat diakibatkan oleh berkurangnya jumlah osteosit atau kurangnya kadar mineral, namun keduanya dapat mengakibatkan kerapuhan tulang (Manolagas, 2000). Proses diferensiasi osteoblas merupakan salah satu faktor penting dalam proses remodeling tulang. Proses proliferasi dan diferensiasi osteoblas diatur oleh growth factor (faktor pertumbuhan) yang dihasilkan oleh osteoblas. Growth factor yang berperan diantaranya insulin

growth factor (IGF I dan II), bone morphogenic proteins (BMPs), fibroblast growth factor (FGF), dan platelet-derived growth factor (PDGF) (Chen et al.,

2004; Asahina et al., 2007) yang bekerja secara autokrin dan parakrin, serta hormon seperti estrogen dan tiroid (Hofbauer et al., 1999; Ogita et al., 2008).

2.1.1 Fraktur Femur

Femur adalah tulang terpanjang dari tubuh. Tulang bersendi dengan asetabulum dalam formasi persendian panggul dan dari sini menjulur ke medial lutut dan membuat sendi dengan tibia. Tulangnya berupa tulang pipa dan mempunyai sebuah batang dan dua ujung yaitu atas, batang femur dan bawah (Pearce, 2002).

Fraktur femur adalah rusaknya kontinuitas tulang pangkal paha yang dapat disebabkan oleh trauma langsung, kelelahan otot, kondisi kondisi tertentu seperti degenerasi tulang/osteoporosis. Batang femur dapat mengalami fraktur akibat trauma langsung, puntiran atau pukulan pada bagian depan yang berada dalam posisi fleksi ketika cedera atau kecelakaan (Mansjoer, 2000).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar seperti trauma atau tenaga fisik (Brunner&Suddarth, 2001). Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya.

(21)

(Smeltzer & Bare, 2002). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan tulang rawan yang umumnya disebabkan oleh rudapaksa. Fraktur biasanya disebabkan oleh trauma atau tegangan fisik. (Mansjoer ,2002), Fraktur adalah hilangnya kontinuitas tulang, tulang rawan, baik yang bersifat total maupun sebagian. (Muttaqin,. 2008).

Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang, terjadi ketika adanya stress yang berlebihan dan tidak dapat diabsorpsi (Black, 1993). Fraktur (patah tulang) adalah terputusnya kontinuitas struktur tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya (Smeltzer S.C & Bare B.G,2001). Fraktur adalah terputusnya kontinuitas jaringan tulang, yang biasanya disertaikerusakan jaringan luna, kerusakan otot, ruptur tendon, kerusakan pembuluh darah dan luka organ-organ tubuh.

Osteomyelitis merupakan infeksi tulang, proses peradangan dapat bersifat akut atau kronis. Osteomielitis kronis akan menyebabkan nekrosis tulang dan pembentukan pus, dimana kadang-kadang terdapat cairan yang melewati kulit untuk membentuk hubugan sinus dengan tulang. Tulang yang nekrotik dapat terpisah dengan jaringan yang masih hidup untuk membentuk sequestrum sinus. Fraktur femur tertutup dengan osteomielitis kronis adalah hilang kontinuitas tulang femur tanpa disertai kerusakan jaringan kulit, namun dapat disertai oleh kerusakan otot, jaringan saraf, pembuluh darah yang dapat disebabkan kondisi patologis; infeksi tulang yang kronis

2.1.2 Jenis Jenis Fraktur

Brunner dan Suddarth (2001) menyebutkan jenis-jenis fraktur adalah sebagai berikut:

1) Fraktur komplet, yaitu: patah pada seluruh garis tengah tulang dan biasanya mengalami pergeseran (bergeser dari posisi yang normal).

2) Fraktur tidak komplet, yaitu: patah hanya terjadi pada sebagian dari garis tengah tulang.

(22)

3) Fraktur tertutup (fraktur simple), yaitu fraktur yang tidak menyebabkan robeknya kulit.

4) Fraktur terbuka (fraktur komplikata/ kompleks), yaitu fraktur dengan luka pada kulit atau membran mukosa sampai ke patahan tulang.

 Grade 1, dengan luka bersih yang kurang dari 1 cm.

 Grade II, luka lebih luas tanpa kerusakan jaringan lunak yang ekstensif.  Grade III, mengalami kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

Spry, C 2009 menggolongkan fraktur sesuai dengan pergeseran anatomis fragmen tulang

1) Greenstick: Fraktur yang tidak sempurna dan sering terjadi pada anak-anak, dimana salah satu sisi tulang patah sedang sisi yang lain membengkok dan kortek tulang dan periosteum masih utuh. Biasanya akan segera sembuh dan mengalami remodeling ke bentuk dan fungsi yang normal.

2) Transversal: Fraktur yang garis patahnya tegak lurus terhadap sumbu panjang tulang (sepanjang garis tengah tulang).

3) Oblik: Fraktur yang garis patahnya membentuk sudut terhadap tulang. 4) Spiral: Fraktur memuntir seputar batang tulang.

5) Kominutif: serpihan-serpihan atau terputusnya keutuhan jaringan dimana terdapat lebih dari dua fragmen tulang.

6) Depresi: Fraktur dengan fragmen patahan terdorong ke dalam (sering terjadi pada tulang tengkorak dan tulang wajah)

7) Kompresi/impaksi: Fraktur ketika dua tulang menumbuk tulang ketiga yang berada diantaranya seperti satu vertebra dengan vertebra yang lain

8) Patologik: Fraktur yang terjadi pada tulang yang berpenyakit (kista tulang, penyakit piaget, metastasis tulang, tumor)

9) Avulsi: Tertariknya fragmen tulang oleh ligament atau tendo pada perlekatannya.

(23)

1. Fraktur intrakapsuler (fraktur yang terjadi di dalamtulang sendi, panggul dan kapsula): melalui kepala femur (capital fraktur), hanya dibagian bawah kepala femur dan melalui leher femur.

2. Fraktur Ekstrakapsuler yaitu fraktur yang terjadi di luar sendi kapsul, melalui trochanter femur yang lebih besar/ kecil pada daerah intertrochanter. Dapat juga terjadi di bagian distal menuju leher femur tetapi tidak lebih dari 2 inci di bawah trochanter kecil.

2.1.3 Etiologi Fraktur

Smeltzer & bare (2002) menyebutkan penyebab fraktur dapat dibagi menjadi beberapa bagian yaitu :

1) Trauma langsung: benturan pada tulang dan mengakibatkan fraktur pada tempat tersebut.

2) Trauma tidak langsung: dimana jarak antara titik tumpul benturan dengan terjadinya fraktur berjauhan

3) Kondisi patologis : osteomielitis, osteoprosis/osteomalacia, osteosarkoma. Penyebab 70-80% osteomielitis adalah staphylococus aureus. Organisme patogen lainnya adalah proteus, pseudomonas, e. coli, salmonella, pseudomonas aeruginosa, staphylococus haemoliticus, haemophilus influenza, gonorhoae, salmonella tuberculosis. Virus dan jamur dapat juga menyebabkan osteomyelitis.

2.1.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinis fraktur adalah nyeri, hilangnya fungsi, deformitas, pemendekan ekstremitas, krepitasi, pembengkakan lokal, dan perubahan warna (Brunner & Suddarth, 2001)

1) Nyeri terus menerus dan bertambah beratnya sampai fragmen tulang diimobilisasi. Spasme otot merupakan bidai alamiah untuk meminimalkan gerakan antarfragmen tulang.

(24)

2) Deformitas karena adanya pergeseran fragmen pada tulang yang patah (terlihat dan teraba).

3) Terjadi pemendekan tulang yang sebenarnya karena kontraksi otot yang melekat diatas dan dibawah tempat fraktur. Fragmen saling melingkupi satu sama lain sampai (2,5-5 cm/1-2 inci)

4) Teraba krepitasi, yaitu derik tulang yang akibat gesekan antara fragmen satu dengan lainnya. Uji krepitasi dapat mengakibatkan kerusakan jaringan lunak yang lebih berat.

5) Pembengkakan dan perubahan warna lokal pada kulit terjadi sebagai akibat trauma dan perdarahan, terjadi setelah beberapa jam atau hari setelah cedera.

2.1.5 Komplikasi Fraktur

Brunner & Suddarth (2002) mengklasifikasikan komplikasi fraktur menjadi 2, yaitu komplikasi awal dan lambat.

1) Komplikasi awal

 Syok hipovolemi merupakan masalah yang potensial karena fragmen tulang dapat melaserasi pembuluh darah besar dan menyebabkan pendarahan, klien yang beresiko tinggi yaitu klien dengan fraktur femur dan pelvis. Tulang merupakan organ yang sangat vaskuler.

 Injuri saraf, Injuri saraf radial biasanya disebabkan fraktur humerus, manifestasinya antara lain parestesia, paralisis, pucat, ekstremitas yang dingin, meningkatnya nyeri, dan perubahan kemampuan untuk menggerakkan ekstremitas.

 Infeksi, dapat disebabkan kontaminasi fraktur yang terbuka atau terkena saat dioperasi. Agen infeksi yang biasanya menimbulkan infeksi yaitu pseudomonas. Tetanus atau gas gangren dapat meningkatkan risiko infeksi. Infeksi gas gangren berkembang di dalam dan mengkontaminasi luka, gas gangren disebabkan bakteri anaerobik.

(25)

2) Komplikasi Jangka Panjang

 Malunion, yaitu proses penyembuhan fraktur yang tidak pada tempatnya. Malunion yang dapat dideteksi pada awal dapat disembuhkan dengan traksi yang sesuai atau reimmobilisasi. Malunion setelah penyembuhan dirawat, ditangani dengan operasi.

 Delayed union (penyatuan yang lambat), yaitu gagalnya fraktur untuk bersatu kembali dalam waktu tiga bulan sampai satu tahun, biasanya dihubungkan dengan adanya retardasi pada proses penyembuhan seperti kurangnya aliran darah, infeksi sistemik, ataupun distraksi (tarikan jauh) fragmen tulang. Ditangani dengan tambahan waktu untuk mengkoreksi penyebabnya.

 Non union, yaitu gagalnya fraktur untuk bersatu atau tidak lengkap, tegas dan stabil setelah 4-6 tahun, biasanya dikarenakan adanya gerakan yang berlebihan pada bagian yang mengalami fraktur, infeksi, jarak yang terlalu jauh antarfragmen tulang, dan nekrosis avaskuler. Akibatnya sering terjadi sendi palsu (pseudoartrosis) pada tempat fraktur. Penatalaksanaan: pemasangan graft tulang, atasi infeksi, stimulasi elektrik osteogenesis (memodifikasi lingkungan jaringan, meningkatkan deposisi mineral dan pembentukan tulang).

2.2 Konsep Asuhan Keperawatan

Asuhan keperawatan diberikan dengan menggunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. 2.2.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Tahap ini terbagi atas:

(26)

2.2.1.1 Pengumpulan Data Anamnesa

a) Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, bahasa yang dipakai, status perkawinan, pendidikan, pekerjaan, asuransi, golongan darah, no. register, tanggal MRS, diagnosa medis.

b) Keluhan Utama

Pada umumnya keluhan utama pada kasus fraktur adalah rasa nyeri. Nyeri tersebut bisa akut atau kronik tergantung dan lamanya serangan. Untuk memperoleh pengkajian yang lengkap tentang rasa nyeri klien digunakan:

(1) Provoking Incident: apakah ada peristiwa yang menjadi yang menjadi faktor presipitasi nyeri.

(2) Quality of Pain: seperti apa rasa nyeri yang dirasakan atau digambarkan klien. Apakah seperti terbakar, berdenyut, atau menusuk.

(3) Region : radiation, relief: apakah rasa sakit bisa reda, apakah rasa sakit menjalar atau menyebar, dan dimana rasa sakit terjadi.

(4) Severity (Scale) of Pain: seberapa jauh rasa nyeri yang dirasakan klien, bisa berdasarkan skala nyeri atau klien menerangkan seberapa jauh rasa sakit mempengaruhi kemampuan fungsinya. (5) Time: berapa lama nyeri berlangsung, kapan, apakah bertambah

buruk pada malam hari atau siang hari. c) Riwayat Penyakit Sekarang

Pengumpulan data yang dilakukan untuk menentukan sebab dari fraktur, yang nantinya membantu dalam membuat rencana tindakan terhadap klien. Ini bisa berupa kronologi terjadinya penyakit tersebut sehingga nantinya bisa ditentukan kekuatan yang terjadi dan bagian tubuh mana yang terkena. Selain itu, dengan mengetahui mekanisme

(27)

terjadinya kecelakaan bisa diketahui luka kecelakaan yang lain (Ignatavicius, Workman 2010).

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Pada pengkajian ini ditemukan kemungkinan penyebab fraktur dan memberi petunjuk berapa lama tulang tersebut akan menyambung. Penyakit-penyakit tertentu seperti kanker tulang dan penyakit paget‟s yang menyebabkan fraktur patologis yang sering sulit untuk menyambung. Selain itu, penyakit diabetes dengan luka di kaki sanagt beresiko terjadinya osteomyelitis akut maupun kronik dan juga diabetes menghambat proses penyembuhan tulang.

e) Riwayat Penyakit Keluarga

Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang merupakan salah satu faktor predisposisi terjadinya fraktur, seperti diabetes, osteoporosis yang sering terjadi pada beberapa keturunan, dan kanker tulang yang cenderung diturunkan secara genetik (Ignatavicius, Worksman, 2010).

f) Riwayat Psikososial

Merupakan respons emosi klien terhadap penyakit yang dideritanya dan peran klien dalam keluarga dan masyarakat serta respon atau pengaruhnya dalam kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun dalam masyarakat (Ignatavicius, Workman 2010).

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Pada kasus fraktur akan timbul ketidakutan akan terjadinya kecacatan pada dirinya dan harus menjalani penatalaksanaan kesehatan untuk membantu penyembuhan tulangnya. Selain itu, pengkajian juga meliputi kebiasaan hidup klien seperti penggunaan obat steroid yang dapat mengganggu metabolisme kalsium, pengkonsumsian alkohol yang bisa mengganggu

(28)

keseimbangannya dan apakah klien melakukan olahraga atau tidak.(Ignatavicius, Workman 2010).

(2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pada klien fraktur harus mengkonsumsi nutrisi melebihi kebutuhan sehari-harinya seperti kalsium, zat besi, protein, vit. C dan lainnya untuk membantu proses penyembuhan tulang. Evaluasi terhadap pola nutrisi klien bisa membantu menentukan penyebab masalah muskuloskeletal dan mengantisipasi komplikasi dari nutrisi yang tidak adekuat terutama kalsium atau protein dan terpapar sinar matahari yang kurang merupakan faktor predisposisi masalah muskuloskeletal terutama pada lansia. Selain itu juga obesitas juga menghambat degenerasi dan mobilitas klien. (3) Pola Eliminasi

Untuk kasus fraktur humerus tidak ada gangguan pada pola eliminasi, tapi walaupun begitu perlu juga dikaji frekuensi, konsistensi, warna serta bau feces pada pola eliminasi alvi. Sedangkan pada pola eliminasi uri dikaji frekuensi, kepekatannya, warna, bau, dan jumlah. Pada kedua pola ini juga dikaji ada kesulitan atau tidak.

(4) Pola Tidur dan Istirahat

Semua klien fraktur timbul rasa nyeri, keterbatasan gerak, sehingga hal ini dapat mengganggu pola dan kebutuhan tidur klien. Selain itu juga, pengkajian dilaksanakan pada lamanya tidur, suasana lingkungan, kebiasaan tidur, dan kesulitan tidur serta penggunaan obat tidur (Doengos. Marilynn E, 2002).

(5) Pola Aktivitas

Karena timbulnya nyeri, keterbatasan gerak, maka semua bentuk kegiatan klien menjadi berkurang dan kebutuhan klien perlu banyak dibantu oleh orang lain. Hal lain yang perlu dikaji adalah bentuk aktivitas klien terutama pekerjaan klien. Karena ada

(29)

beberapa bentuk pekerjaan beresiko untuk terjadinya fraktur dibanding pekerjaan yang lain (Ignatavicius, Workman, 2010). (6) Pola Hubungan dan Peran

Klien akan kehilangan peran dalam keluarga dan dalam masyarakat. Karena klien harus menjalani rawat inap (Ignatavicius, Workman, 2010).

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Dampak yang timbul pada klien fraktur yaitu timbul ketidakutan akan kecacatan akibat frakturnya, rasa cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah (gangguan body image) (Ignatavicius, Workman 2010).

(8) Pola Sensori dan Kognitif

Pada klien fraktur daya rabanya berkurang terutama pada bagian distal fraktur, sedang pada indera yang lain tidak timbul gangguan. begitu juga pada kognitifnya tidak mengalami gangguan. Selain itu juga, timbul rasa nyeri akibat fraktur.

(9) Pola Reproduksi Seksual

Dampak pada klien fraktur yaitu, klien tidak bisa melakukan hubungan seksual karena harus menjalani rawat inap dan keterbatasan gerak serta rasa nyeri yang dialami klien. Selain itu juga, perlu dikaji status perkawinannya termasuk jumlah anak, lama perkawinannya.

10) Pola Penanggulangan Stress

Pada klien fraktur timbul rasa cemas tentang keadaan dirinya, yaitu ketidakutan timbul kecacatan pada diri dan fungsi tubuhnya. Mekanisme koping yang ditempuh klien bisa tidak efektif.

(30)

11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Untuk klien fraktur tidak dapat melaksanakan kebutuhan beribadah dengan baik terutama frekuensi dan konsentrasi. Hal ini bisa disebabkan karena nyeri dan keterbatasan gerak klien

2.1.1.2 Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik meliputi dua tahap, yaitu pemeriksaan umum (status generalisata) untuk mendapatkan gambaran umum dan pemeriksaan setempat (lokalis). Hal ini perlu untuk dapat melaksanakan total care karena ada kecenderungan dimana spesialisasi hanya memperlihatkan daerah yang lebih sempit tetapi lebih mendalam.

a) Gambaran Umum

Keadaan umum: baik atau buruknya yang dicatat adalah tanda-tanda, seperti:

Kesadaran penderita: apatis, sopor, koma, gelisah, compos mentis tergantung pada keadaan klien.

 Kesakitan, keadaan penyakit: akut, kronik, ringan, sedang, berat dan pada kasus fraktur biasanya akut.

 Tanda-tanda vital tidak normal karena ada gangguan baik fungsi maupun bentuk.

b) Secara sistemik dari kepala sampai kelamin  Sistem Integumen

Terdapat erytema, suhu sekitar daerah trauma meningkat, bengkak, oedema, nyeri tekan.

 Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, tidak ada nyeri kepala.

 Leher

Tidak ada gangguan yaitu simetris, tidak ada penonjolan, reflek menelan ada.

(31)

 Muka

Wajah terlihat menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

 Mata

Tidak ada gangguan seperti konjungtiva tidak anemis (karena tidak terjadi perdarahan)

 Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan.

 Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung.  Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut tidak pucat.

 Thoraks

Tak ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris.  Paru

(1) Inspeksi

Pernafasan meningkat, reguler atau tidaknya tergantung pada riwayat penyakit klien yang berhubungan dengan paru.

(2) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (3) Perkusi

Suara ketok sonor, tak ada erdup atau suara tambahan lainnya. (4) Auskultasi

Suara nafas normal, tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

 Jantung (1) Inspeksi

(32)

(2) Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur.  Abdomen

(1) Inspeksi

Bentuk datar, simetris, tidak ada hernia. (2) Palpasi

Tugor baik, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi

Peristaltik usus normal  20 kali/menit.  Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, tak ada kesulitan BAB. 2.1.1.3 Keadaan Lokal

Harus diperhitungkan keadaan proksimal serta bagian distal terutama mengenai status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler 5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)

Perhatikan apa yang dapat dilihat antara lain:

(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi).

(b) Cape au lait spot (birth mark). (c) Fistulae.

(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi. (e) Benjolan, pembengkakan, atau cekungan dengan hal-hal yang tidak biasa (abnormal).

(33)

(g) Posisi jalan (gait, waktu masuk ke kamar periksa) (2) Feel (palpasi)

Pada waktu akan palpasi, terlebih dahulu posisi penderita diperbaiki mulai dari posisi netral (posisi anatomi). Pada dasarnya ini merupakan pemeriksaan yang memberikan informasi dua arah, baik pemeriksa maupun klien.

Yang perlu dicatat adalah:

(a) Perubahan suhu disekitar trauma (hangat) dan kelembaban kulit. Capillary refill time  Normal 3 – 5 “

(b) Apabila ada pembengkakan, apakah terdapat fluktuasi atau oedema terutama disekitar persendian.

(c) Nyeri tekan (tenderness), krepitasi, catat letak kelainan (1/3 proksimal, tengah, atau distal).

Otot: tonus pada waktu relaksasi atau konttraksi, benjolan yang terdapat di permukaan atau melekat pada tulang. Selain itu juga diperiksa status neurovaskuler. Apabila ada benjolan, maka sifat benjolan perlu dideskripsikan permukaannya, konsistensinya, pergerakan terhadap dasar atau permukaannya, nyeri atau tidak, dan ukurannya.

(3) Move (pergerakan terutama lingkup gerak)

Setelah melakukan pemeriksaan feel, kemudian diteruskan dengan menggerakan ekstrimitas dan dicatat apakah terdapat keluhan nyeri pada pergerakan. Pencatatan lingkup gerak ini perlu, agar dapat mengevaluasi keadaan sebelum dan sesudahnya. Gerakan sendi dicatat dengan ukuran derajat, dari tiap arah pergerakan mulai dari titik 0 (posisi netral) atau dalam ukuran metrik. Pemeriksaan ini menentukan apakah ada gangguan gerak (mobilitas) atau tidak. Pergerakan yang dilihat adalah gerakan aktif dan pasif.

(34)

2.1.1.4 Pemeriksaan Diagnostik

2.1.1.4.1 Pemeriksaan Radiologi

Sebagai penunjang, pemeriksaan yang penting adalah “pencitraan” menggunakan sinar rontgen (x-ray). Untuk mendapatkan gambaran 3 dimensi keadaan dan kedudukan tulang yang sulit, maka diperlukan 2 proyeksi yaitu AP atau PA dan lateral. Dalam keadaan tertentu diperlukan proyeksi tambahan (khusus) ada indikasi untuk memperlihatkan pathologi yang dicari karena adanya superposisi. Perlu disadari bahwa permintaan x-ray harus atas dasar indikasi kegunaan pemeriksaan penunjang dan hasilnya dibaca sesuai dengan permintaan. Hal yang harus dibaca pada x-ray:

Selain foto polos x-ray (plane x-ray) mungkin perlu tehnik khususnya seperti:

(1) Tomografi: menggambarkan tidak satu struktur saja tapi struktur yang lain tertutup yang sulit divisualisasi. Pada kasus ini ditemukan kerusakan struktur yang kompleks dimana tidak pada satu struktur saja tapi pada struktur lain juga mengalaminya. (2) Myelografi: menggambarkan cabang-cabang saraf spinal dan

pembuluh darah di ruang tulang vertebrae yang mengalami kerusakan akibat trauma.

(3) Arthrografi: menggambarkan jaringan-jaringan ikat yang rusak karena ruda paksa.

(4) Computed Tomografi-Scanning: menggambarkan potongan secara transversal dari tulang dimana didapatkan suatu struktur tulang yang rusak.

2.1.1.4.2 Pemeriksaan Laboratorium

(1) Kalsium Serum dan Fosfor Serum meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

(2) Alkalin Fosfat meningkat pada kerusakan tulang dan menunjukkan kegiatan osteoblastik dalam membentuk tulang.

(35)

(3) Enzim otot seperti Kreatinin Kinase, Laktat Dehidrogenase (LDH-5), Aspartat Amino Transferase (AST), Aldolase yang meningkat pada tahap penyembuhan tulang.

2.1.1.4.3 Pemeriksaan lain-lain

(1) Pemeriksaan mikroorganisme kultur dan test sensitivitas: didapatkan mikroorganisme penyebab infeksi.

(2) Biopsi tulang dan otot: pada intinya pemeriksaan ini sama dengan pemeriksaan diatas tapi lebih dindikasikan bila terjadi infeksi. (3) Elektromyografi: terdapat kerusakan konduksi saraf yang

diakibatkan fraktur.

(4) Arthroscopy: didapatkan jaringan ikat yang rusak atau sobek karena trauma yang berlebihan.

(5) Indium Imaging: pada pemeriksaan ini didapatkan adanya infeksi pada tulang.

(6) MRI: menggambarkan semua kerusakan akibat fraktur. (Ignatavicius, Workman 2010)

(36)

Trauma

Fraktur

Perubahan status kesehatan

Cedera sel Diskontuinitas Luka terbuka Reaksi peradangan

fragmen tulang Edema Penekanan pada jaringan vaskuler Penurunan aliran darah Resiko disfungsi neurovaskuler Port de’ entri

kuman Gg. Integritas kulit Resiko Infeksi Lepasnya lipid pada sum-sum tulang Terapi restrictif Terabsorbsi masuk kealiran darah Emboli Oklusi arteri paru Nekrosis Jaringan paru Luas permukaan paru menurun Penurunan laju difusi Gangguan pertukaran gas Gg. Mobilitas fisik Degranulasi sel mast Pelepasan mediator kimia Nociceptor Medulla spinali Korteks serebri Nyeri Kurang informasi Kurang pengeta hunan

(37)

2.2.2 Diagnosa Keperawatan

Adapun diagnosa keperawatan yang lazim dijumpai pada klien fraktur adalah sebagai berikut:

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang)

g. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada

(Doengoes, 2002) 2.2.3 Intervensi Keperawatan

a. Nyeri akut b/d spasme otot, gerakan fragmen tulang, edema, cedera jaringan lunak, pemasangan traksi, stress/ansietas.

Tujuan: Klien mengatakan nyeri berkurang atau hilang dengan menunjukkan tindakan santai, mampu berpartisipasi dalam beraktivitas, tidur, istirahat dengan tepat, menunjukkan penggunaan keterampilan relaksasi dan aktivitas trapeutik sesuai indikasi untuk situasi individual

(38)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Pertahankan imobilasasi bagian

yang sakit dengan tirah baring, gips, bebat dan atau traksi

2. Tinggikan posisi ekstremitas yang terkena.

3. Lakukan dan awasi latihan gerak pasif/aktif.

4. Lakukan tindakan untuk meningkatkan kenyamanan (masase, perubahan posisi)

5. Ajarkan penggunaan teknik manajemen nyeri (latihan napas dalam, imajinasi visual, aktivitas dipersional)

6. Lakukan kompres dingin selama fase akut (24-48 jam pertama) sesuai keperluan.

7. Kolaborasi pemberian analgetik sesuai indikasi.

Evaluasi keluhan nyeri (skala, petunjuk verbal dan non verval, perubahan tanda-tanda vital)

Mengurangi nyeri dan mencegah malformasi.

Meningkatkan aliran balik vena, mengurangi edema/nyeri.

Mempertahankan kekuatan otot dan meningkatkan sirkulasi vaskuler. Meningkatkan sirkulasi umum, menurunakan area tekanan lokal dan kelelahan otot.

Mengalihkan perhatian terhadap nyeri, meningkatkan kontrol terhadap nyeri yang mungkin berlangsung lama.

Menurunkan edema dan mengurangi rasa nyeri.

Menurunkan nyeri melalui mekanisme penghambatan

rangsang nyeri baik secara sentral maupun perifer.

Menilai perkembangan masalah klien.

b. Risiko disfungsi neurovaskuler perifer b/d penurunan aliran darah (cedera vaskuler, edema, pembentukan trombus)

Tujuan : Klien akan menunjukkan fungsi neurovaskuler baik dengan kriteria akral hangat, tidak pucat dan syanosis, bisa bergerak secara aktif

(39)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL 1. Dorong klien untuk secara rutin

melakukan latihan menggerakkan jari/sendi distal cedera.

2. Hindarkan restriksi sirkulasi akibat tekanan bebat/spalk yang terlalu ketat.

3. Pertahankan letak tinggi ekstremitas yang cedera kecuali ada kontraindikasi adanya sindroma kompartemen.

4. Berikan obat antikoagulan (warfarin) bila diperlukan.

5. Pantau kualitas nadi perifer, aliran kapiler, warna kulit dan kehangatan kulit distal cedera, bandingkan dengan sisi yang normal.

Meningkatkan sirkulasi darah dan mencegah kekakuan sendi.

Mencegah stasis vena dan sebagai petunjuk perlunya penyesuaian keketatan bebat/spalk.

Meningkatkan drainase vena dan menurunkan edema kecuali pada adanya keadaan hambatan aliran arteri yang menyebabkan

penurunan perfusi.

Mungkin diberikan sebagai upaya profilaktik untuk menurunkan trombus vena.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien dan perlunya intervensi sesuai keadaan klien.

c. Gangguan pertukaran gas b/d perubahan aliran darah, emboli, perubahan membran alveolar/kapiler (interstisial, edema paru, kongesti)

Tujuan : Klien akan menunjukkan kebutuhan oksigenasi terpenuhi dengan kriteria klien tidak sesak nafas, tidak cyanosis analisa gas darah dalam batas normal

(40)

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Instruksikan/bantu latihan napas dalam dan latihan batuk efektif. 2. Lakukan dan ajarkan perubahan

posisi yang aman sesuai keadaan klien.

3. Kolaborasi pemberian obat antikoagulan (warvarin, heparin) dan kortikosteroid sesuai indikasi.

4. Analisa pemeriksaan gas darah, Hb, kalsium, LED, lemak dan trombosit

5. Evaluasi frekuensi pernapasan dan upaya bernapas, perhatikan adanya stridor, penggunaan otot aksesori pernapasan, retraksi sela iga dan sianosis sentral.

Meningkatkan ventilasi alveolar dan perfusi.

Reposisi meningkatkan drainase sekret dan menurunkan kongesti paru.

Mencegah terjadinya pembekuan darah pada keadaan tromboemboli. Kortikosteroid telah menunjukkan keberhasilan untuk

mencegah/mengatasi emboli lemak.

Penurunan PaO2 dan peningkatan PCO2 menunjukkan gangguan pertukaran gas; anemia,

hipokalsemia, peningkatan LED dan kadar lipase, lemak darah dan penurunan trombosit sering berhubungan dengan emboli lemak.

Adanya takipnea, dispnea dan perubahan mental merupakan tanda dini insufisiensi pernapasan,

mungkin menunjukkan terjadinya emboli paru tahap awal.

d. Gangguan mobilitas fisik b/d kerusakan rangka neuromuskuler, nyeri, terapi restriktif (imobilisasi)

Tujuan : Klien dapat meningkatkan/mempertahankan mobilitas pada tingkat paling tinggi yang mungkin dapat mempertahankan posisi fungsional meningkatkan kekuatan/fungsi yang sakit dan

(41)

mengkompensasi bagian tubuh menunjukkan tekhnik yang memampukan melakukan aktivitas

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan pelaksanaan aktivitas rekreasi terapeutik (radio, koran, kunjungan teman/keluarga) sesuai keadaan klien.

2. Bantu latihan rentang gerak pasif aktif pada ekstremitas yang sakit maupun yang sehat sesuai keadaan klien.

3. Berikan papan penyangga kaki, gulungan trokanter/tangan sesuai indikasi.

4. Bantu dan dorong perawatan diri (kebersihan/eliminasi) sesuai keadaan klien.

5. Ubah posisi secara periodik sesuai keadaan klien.

6. Dorong/pertahankan asupan cairan 2000-3000 ml/hari.

7. Berikan diet TKTP.

8. Kolaborasi pelaksanaan fisioterapi sesuai indikasi.

Memfokuskan perhatian, meningkatakan rasa kontrol diri/harga diri, membantu menurunkan isolasi sosial. Meningkatkan sirkulasi darah muskuloskeletal, mempertahankan tonus otot, mempertahakan gerak sendi, mencegah kontraktur/atrofi dan mencegah reabsorbsi kalsium karena imobilisasi.

Mempertahankan posisi fungsional ekstremitas.

Meningkatkan kemandirian klien dalam perawatan diri sesuai kondisi keterbatasan klien. Menurunkan insiden komplikasi kulit dan pernapasan (dekubitus, atelektasis, penumonia)

Mempertahankan hidrasi adekuat, men-cegah komplikasi urinarius dan konstipasi.

Kalori dan protein yang cukup diperlukan untuk proses penyembuhan dan mem-pertahankan fungsi fisiologis tubuh.

Kerjasama dengan fisioterapis perlu untuk menyusun program aktivitas fisik secara individual.

(42)

9. Evaluasi kemampuan mobilisasi klien dan program imobilisasi.

Menilai perkembangan masalah klien.

e. Gangguan integritas kulit b/d fraktur terbuka, pemasangan traksi (pen, kawat, sekrup)

Tujuan : Klien menyatakan ketidaknyamanan hilang, menunjukkan perilaku tekhnik untuk mencegah kerusakan kulit/memudahkan penyembuhan sesuai indikasi, mencapai penyembuhan luka sesuai waktu/penyembuhan lesi terjadi

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Pertahankan tempat tidur yang nyaman dan aman (kering, bersih, alat tenun kencang, bantalan bawah siku, tumit). 2. Masase kulit terutama daerah

penonjolan tulang dan area distal bebat/gips.

3. Lindungi kulit dan gips pada daerah perianal

4. Observasi keadaan kulit, penekanan gips/bebat terhadap kulit, insersi pen/traksi.

Menurunkan risiko

kerusakan/abrasi kulit yang lebih luas.

Meningkatkan sirkulasi perifer dan meningkatkan kelemasan kulit dan otot terhadap tekanan yang relatif konstan pada imobilisasi.

Mencegah gangguan integritas kulit dan jaringan akibat kontaminasi fekal.

Menilai perkembangan masalah klien.

(43)

f. Risiko infeksi b/d ketidakadekuatan pertahanan primer (kerusakan kulit, taruma jaringan lunak, prosedur invasif/traksi tulang

Tujuan :Klien mencapai penyembuhan luka sesuai waktu, bebas drainase purulen atau eritema dan demam

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Lakukan perawatan pen steril dan perawatan luka sesuai protokol 2. Ajarkan klien untuk

mempertahankan sterilitas insersi pen.

3. Kolaborasi pemberian antibiotika dan toksoid tetanus sesuai indikasi.

4. Analisa hasil pemeriksaan laboratorium (Hitung darah lengkap, LED, Kultur dan sensitivitas luka/serum/tulang)

5. Observasi tanda-tanda vital dan tanda-tanda peradangan lokal pada luka.

Mencegah infeksi sekunderdan mempercepat penyembuhan luka. Meminimalkan kontaminasi.

Antibiotika spektrum luas atau spesifik dapat digunakan secara profilaksis, mencegah atau mengatasi infeksi. Toksoid tetanus untuk mencegah infeksi tetanus.

Leukositosis biasanya terjadi pada proses infeksi, anemia dan peningkatan LED dapat terjadi pada osteomielitis. Kultur untuk mengidentifikasi organisme penyebab infeksi.

Mengevaluasi perkembangan masalah klien.

h. Kurang pengetahuan tentang kondisi, prognosis dan kebutuhan pengobatan b/d kurang terpajan atau salah interpretasi terhadap informasi, keterbatasan kognitif, kurang akurat/lengkapnya informasi yang ada.

(44)

Tujuan :klien akan menunjukkan pengetahuan meningkat dengan kriteria klien mengerti dan memahami tentang penyakitnya

INTERVENSI KEPERAWATAN RASIONAL

1. Kaji kesiapan klien mengikuti program pembelajaran.

2. Diskusikan metode mobilitas dan ambulasi sesuai program terapi fisik.

3. Ajarkan tanda/gejala klinis yang memerluka evaluasi medik (nyeri berat, demam, perubahan sensasi kulit distal cedera)

4. Persiapkan klien untuk mengikuti terapi pembedahan bila diperlukan.

Efektivitas proses pemeblajaran dipengaruhi oleh kesiapan fisik dan mental klien untuk mengikuti program pembelajaran.

Meningkatkan partisipasi dan kemandirian klien dalam perencanaan dan pelaksanaan program terapi fisik.

Meningkatkan kewaspadaan klien untuk mengenali tanda/gejala dini yang memerulukan intervensi lebih lanjut.

Upaya pembedahan mungkin diperlukan untuk mengatasi maslaha sesuai kondisi klien. 2.2.4 Evaluasi

 Nyeri berkurang atau hilang

 Tidak terjadi disfungsi neurovaskuler perifer  Pertukaran gas adekuat

 Tidak terjadi kerusakan integritas kulit  Infeksi tidak terjadi

(45)

2.3 Fraktur Femur pada Masyarakat perkotaan

Kota secara fisik dapat didefinisikan sebagai area yang terdiri atas bangunan bangunan yang saling berdekatan yang berada di atas tanah atau dekat dengan tanah, instalasi instalasi di bawah tanah dan kegiatan di dalam ruangan kosong di angkasa. Secara sosial kota dapat dilihat sebagai komunitas yang diciptakan pada awalnya untuk meningkatkan produktivtas, melalui konsentrasi dan spesialisasi tenaga kerja dan memungkinkan adanya diversitas intelektual, kebudayaan dan kegiatan rekreatif di kota kota. Suatu wilayah disebut sebagai kota jika wilayah tersebut mampu untuk menyediakan kebutuhan/pelayanan yang dibutuhkan oleh penduduk pada komunitas tersebut (Arifianto, 2010). Wilayah perkotaan tidak luput dari masalah kesehatan. Jhingan (2004) memasukkan pendidikan dan kesehatan sebagai salah satu fokus masalah perkotaan, karena kedua hal ini merupakan unsur modal utama manusia dalam berkehidupan, Jhingan juga menjelaskan bahwa selama bertumbuh kembang lazimnya orang lebih menekankan pentingnya modal kesehatan fisik. Kemajuan kehidupan masyarakat perkotaan diirngi dengan percepatan mobilisasi dan penggunaan alat transportasi massa. Perusahaan kendaraan bermotor saling berlomba memberikan karya terbaru, peningkatan kemajuan ini selain memberikan kemudahan bagi para pengguna juga memberikan dampak negatif lain yaitu meningkatnya intensitas kecelakaan.

Kecelakaan merupakan pembunuh nomor tiga di Indonesia (Dephub, 2010). Selain kematian kecelakaan menimbulkan dampaklain yaitu fraktur yang menimbulkan kecacatan. Fraktur adalah terputusnya kontinuitas tulang dan ditentukan sesuai jenis dan luasnya, terjadi jika tulang dikenai stres yang lebih besar seperti trauma atau tenaga fisik (Brunner&Suddarth, 2001). Fraktur lebih sering terjadi pada laki laki daripada perempuan dengan umur dibawah 45 tahun dan sering berhubungan dengan olahraga, pekerjaan atau kecelakaan. Sedangkan usia lanjut prevalensi cenderung lebih banyak lagi terjadi pada

(46)

wanita berhubungan dengan adanya osteoporosis yang terkait dengan perubahan hormon. Tingginya angka kecelakaan menyebabkan angka insiden atau kejadian fraktur tinggi dan salah satu fraktur yang sering terjadi adalah farktur femur yang termasuk dalam kelompok tiga besar kasus fraktur yang disebabkan karena benturan dengan tenaga yang tinggi (kuat) seperti kecelakaan sepeda motor atau mobil.

(47)

BAB 3

TINJAUAN KASUS KELOLAAN

Asuhan keperawatan menggunakan system atau metode proses keperawatan yang dalam pelaksanaannya dibagi menjadi 5 tahap, yaitu pengkajian, diagnosa keperawatan, perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi.

3.1 Pengkajian

Pengkajian merupakan tahap awal dan landasan dalam proses keperawatan, untuk itu diperlukan kecermatan dan ketelitian tentang masalah-masalah klien sehingga dapat memberikan arah terhadap tindakan keperawatan. Keberhasilan proses keperawatan sangat bergantung pada tahap ini. Berikut data data klien kelolaan yang dikaji sejak tanggal 22 Mei 2014 :

3.1.1 Pengumpulan Data a) Identitas Klien

Ny. M (45 tahun) tinggal di Cilegon bersama suami dan anak perempuannya yang nomor dua, karena anak pertamanya meninggal akibat abortus complete Ny. M menikah dengan suaminya tahun 2001, klien 3 bersaudara dan ibu klien memiliki riwayat penyakit hipertensi. Klien pernah kuliah sampai D3 akutansi dan pernah bekerja selama 7 tahun sebelum menikah. Klien masuk RSPAD Gatot Soebroto sejak 10 Mei 2014 dengan nomor medikal record 435915.

b) Keluhan Utama

Keluhan utama pada Ny. M adalah rasa nyeri. Nyeri kronik karena sudah berlangsung lebih dari 6 bulan sejak kejadian yang

menyebabkan fraktur dan berlangsung setiap hari. Berikut detail nyeri yang dirasakan Ny. M:

(48)

pasien mengeluh nyeri akan bertambah jika daerah lokasi fraktur digerakkan, karena itulah sejak awal pasien enggan untuk diajak bekerjasama dalam mobilisasi seperti miring kiri dan kanan, pasien akan berteriak karena nyeri hebat yang dirasakannya (2) Quality of Pain: nyeri menusuk tajam karena terjadi penekanan

di daerah inguinal dan jika terjadi pergerakan pada panggul (3) Region : rasa sakit menyebar sampai ke panggul, punggung

belakang dan betis kebawah

(4) Severity (Scale) of Pain: skala nyeri 6 (sedang) saat tidak beraktifitas tetapi jika klien beraktifitas skla nyeri bisa meningkat sampai 8

(5) Time: nyeri berlangsung setiap saat terutama pada saat klien melakukan mobilisasi, nyeri bertambah buruk pada malam hari sehingga klien tidak dapat beristirahat atau tidur dengan nyenyak.

c) Riwayat Penyakit Sekarang

Kronologis fraktur yang dialaminya berawal dari tahun 2013 tepatnya bulan November, saat hendak memarkirkan kendaraan sepeda motornya sepulang menjemput anaknya dari sekolah ternyata motor itu menimpa tubuh klien sampai menyebabkan fraktur dikedua lengan, cedera ini ternyata tidak berhenti sampai disitu, 3 bulan kemudian klien jatuh dikamar mandi sehingga menyebabkan kedua tulang femurnya patah.

Setelah mengalami berbagai cedera akhirnya Ny. M dibawa oleh suaminya ke pengobatan alternatif “Sangkal Putung”di Serang, Banten selama 2-3 bulan berobat jalan dan sempat mondok selama satu setengah bulan disana. Setelah selesai mengikuti pengobatan disana, pengasuh pengobatan alternatif berpesan agar tidak dilakukan

(49)

pemeriksaan radiologi lagi untuk frakturnya karena itu dianggap bisa menghambat penyembuhannya. Setelah setahun berlalu klien merasakan tidak ada perubahan pada kondisinya, malah nyeri yang dirasakannya makin bertambah terutama disekitar area yang mengalami fraktur. Bahkan klien tidak dapat melakukan aktifitas apapun karena seluruh ekstrimitas bawah mengalami gangguan pegerakan. Akhrinya klien dirujuk oleh puskesmas setempat ke RS Mawardi Solo, di rumah sakit ini ditemukan kelainan baru yaitu Struma Nodosa non Toxic atau yang sering disingkat menjadi SNNT. Menghadapi masalah kesehatan klien yang begitu kompleks, pihak RS Mawardi akhirnya merujuk kembali klien ke RSPAD Gatot Soebroto Jakarta Pusat.

d) Riwayat Penyakit Dahulu

Masalah kesehatan yang dimiliki Ny. M adalah menderita ca Paratiroid. Ny. M juga mengalami tekanan darah tinggi sejak ditemukan kelainan pada thyroidnya, klien juga merasakan gejala lain yaitu jantung berdebar debar, tangan kebas dan kesemutan. Sedangkan proses penyembuhan tulang dipengaruhi oleh faktor-faktor yang mengontrol aktivitas osteoklas terutama dikontrol oleh hormon paratiroid

e) Riwayat Penyakit Keluarga

Keluarga Ny. M tidak ada yang memiliki riwayat penyakit Penyakit keluarga yang berhubungan dengan penyakit tulang seperti diabetes atau osteoporosis ataupun kanker tulang yang merupakan faktor genetik yang berpengaruh pada proses penyembuhan.

f) Riwayat Psikososial

Klien terliat emosional terutama jika akan dilakukan prosedur untuk mobilisasinya, klien mudah menyerah dan berputus asa terhadap

(50)

setiap penyakit yang dialaminya, kadang klien terliat mengucurkan airmata karena merasa ketidakberdayaan dengan sakit yang dideritanya, tetapi klien tidak memiliki riwayat gangguan kejiwaan atau depresi.

g) Pola-Pola Fungsi Kesehatan

(1) Pola Persepsi dan Tata Laksana Hidup Sehat

Klien sering menanyakan pada perawat apakah dirinya akan sembuh atau masih bisa dioperasi mengingat komplikasi yang sudah dialaminya sehingga frakturnya sudah menjadi patologis. (2) Pola Nutrisi dan Metabolisme

Pola makan Ny. M selama sakit jauh menurun daripada sebelumnya, makan 3x/hari, yaitu jam 7 pagi, jam 12 siang, dan jam 7 malam sesuai jadwal di lantai V bedah. Jenis makanan yang dikonsumsi, yaitu: nasi, sayur, lauk-pauk, dan buah-buahan yang disediakan Rumah Sakit. Tetapi Ny. M hanya menghabiskan 1/3 porsi makanannnya setiap makan. Makanan semua disukai, sedangkan makanan yang tidak disukai tidak ada. Pola minum Ny. M minum air putih satu gelas saat sarapan dan minumobat, minum air mineral yang dibeli sendiri dan kadang mengambil jatah air panas yang disediakan rumah sakit. Klien mengkonsumsi ekstrak buah manggis dan beberapa obat alternatif yang diharapkan bisa membantu kesembuhan frakturnya. Klien sering menanyakan apakah ada obat obatan dari rumah sakit yang membantu kesembuhan frakturnya.

(3) Pola Eliminasi

Klien menggunakan catheter urine dan untuk BAB belum sejak masuk rumah sakit, bising usus 16 x/menit dan teraba massa keras diabdomen kiri bawah. Klien mengakui selain sulit BAB

(51)

karena lama berbaring ditempat tidur juga klien sering menahan BAB karena malu dengan teman sekamarnya.

(4) Pola Tidur dan Istirahat

Klien merasakan nyeri terutama dimalam hari yang mengganggu istirahat tidurnya, selain itu klien juga merasa tidak nyaman karena sekamar dengan pasien lain dan banyak keluarga pasien yang membesuk, pada siang hari klien jarang tidur bahkan hampir tidak tidur. Klien tidur sejak pukul 22. 00 WIB dimalam hari, kadang klien mengalami insomnia karena banyak memikirkan tentang sakitnya. Suasana disekitar klien pada siang hari cukup ramai karena banyak keluarga pembesuk. Kebiasaan sebelum tidur klien membaca doa, klien tidak pernah menggunakan obat tidur, sebelum sakitpun memang klien tidak pernah tidur siang dan sering tidur larut dimalam hari karena mengerjakan tugas tugas sebagai ibu rumah tangga.

(5) Pola Aktivitas

Aktivitas sehari-hari Ny. M sepenuhnya dibantu oleh keluarga (ibu) mulai dari mandi dipagi hari, dengan dibantu perawat karena untuk pencegahan meluasnya luka decubitus yang dialami klien akibat tirah baring yang terus menerus maka klien juga mendapatkan kompres NaCL 2x / hari dan dioleskan salep fuson. Selain itu juga dioleskan minyak kelapa untuk mencegah kering kulit pasien.

(6) Pola Hubungan dan Peran

Klien tidak lagi menjalankan perannya sebagai ibu rumah tangga ataupun isteri sejak sakit dan dirawat dirumah sakit, hubungan dengan suami tidak lagi dilakukan bahkan untuk sentuhan hanya sebatas bantuan untuk aktifitas sehari hari. Saat ditanyakan hal

(52)

tersebut klien hanya tertawa dan mmenanyakan kembali kepada perawat “apakah orang yang sedang sakit bisa berhubungan suami isteri‟.

(7) Pola Persepsi dan Konsep Diri

Pada awal pertemuan klien masih bersikap positif walaupun kadang pesimis dengan sembuhnya penyakit yang dideritanya, tetapi setelah ddiagnosis mengalami osteoporosis sehingga tidakbisa lagi dioperasi, klien nampak putus asa dan mulai meracau. Isi yang dibicarakan tidak sesuai dengan pola pikir yang sebenarnya.

(8) Pola Sensori dan Kognitif

Tidak ada gangguan pada indera, klien menggunakan kacamata untuk membaca, klien masih bisa mencium dan membedakan bau bauan. Klien juga masih merasakan nyeri pada area distal fraktur.

(9) Pola Reproduksi Seksual

Klien tidak lagi berhubungan suami isteri sejak masuk rumah sakit akibat keterbatasan gerak dan nyeri yang dialaminya. Klien menarche sejak kelas 1 SMP, menstruasi selama 7 hari dengan jumlah cairan 30-50cc. Klien pernah mengalami abortus complete pada kehamilan pertama, sehingga klien tidak menggunakan kontrasepsi dengan harapan bisa cepat hamil kembali, anak klien yang kedua berusia 12 tahun dan sekolah kelas 6 SD.

(10) Pola Penanggulangan Stress

Klien merasa cemas tidak akan sembuh, klien mengaku sering putus harapan dan akan cacat seumur hidup. Klien menggunakan

(53)

mekanisme koping yang destruktif sehingga tidak efektif menanggulangi stress yang dialaminya.

(11) Pola Tata Nilai dan Keyakinan

Klien beribadah ditempat tidur, melaksanakan solat lima waktu dan berdoa sesuai keyakinan klien sebagai seorang muslim. 1) Pemeriksaan Fisik

a) Gambaran Umum (1) Keadaan umum

(a) Kesadaran klien compos mentis dan gelisah karena nyeri yang dirasakannya serta diaphoresis yang cukup banyak disiang hari.

(b) Kesakitan, keadaan penyakit: nyeri fraktur kronik, nyeri sedang, dan nyeri ringan pada saluran pernafasan atas karena batuk sejak di MRI

(c) Tanda-tanda vital pada saat pengkajian Tekanan darah: 130/90 mmHg

Heart Rate ; 92 kali/menit

Respiration Rate 24 kali/menit

Suhu ; 37 „C

(2) Secara sistemik (Head to toe) (a) Sistem Integumen

Kulit klien terlihat kering dan mengelupas, terdapat ulkus dekubitus didaerah bokong dan punggung. Nyeri tekan didaerah proksimal femur, oedema didaerah mata kaki sampai jari jari kaki.

(54)

(b) Kepala

Tidak ada gangguan yaitu, normo cephalik, simetris, tidak ada penonjolan, nyeri kepala sering dirasakan.

(c) Leher

Ada gangguan pembesaran kelenjar paratiroid, refleks menelan baik, batuk positif.

(d) Muka

Wajah meringis menahan sakit, lain-lain tidak ada perubahan fungsi maupun bentuk. Tak ada lesi, simetris, tak oedema.

(d) Mata

Konjungtiva anemis, hasil pemeriksaan laboratorium hematologi hemgolobin 8, 3 g/dl.

(e) Telinga

Tes bisik atau weber masih dalam keadaan normal. Tidak ada lesi atau nyeri tekan. Klien dapat mendengar dengan baik kata kata atau instruksi dari perawat.

(f) Hidung

Tidak ada deformitas, tak ada pernafasan cuping hidung. (g) Mulut dan Faring

Tak ada pembesaran tonsil, gusi tidak terjadi perdarahan, mukosa mulut pucat.

(h) Thoraks

Ada pergerakan otot intercostae, gerakan dada simetris tetapi cukup menahan sakit.

(55)

(i) Paru

(5) Inspeksi

Pernafasan meningkat, irreguler tidak ada riwayat penyakit paru

(6) Palpasi

Pergerakan sama atau simetris, fermitus raba sama. (7) Perkusi

Tidak ada kelainan (8) Auskultasi

Suara nafas gargling, karena ada cairan diparu paru tak ada wheezing, atau suara tambahan lainnya seperti stridor dan ronchi.

(j) Jantung (1) Inspeksi

Tidak tampak iktus jantung. (2) Palpasi

Nadi meningkat, iktus tidak teraba. (3) Auskultasi

Suara S1 dan S2 tunggal, tak ada mur-mur. (k) Abdomen

(1) Inspeksi

Bentuk datar membulat, sedikit buncit, simetris, tidak ada hernia, terdapat luka jahitan melintang post operasi sectio

(56)

(2) Palpasi

Turgor jelek, tidak ada defands muskuler, hepar tidak teraba. (3) Perkusi

Suara thympani, ada pantulan gelombang cairan. (4) Auskultasi

Peristaltik usus normal  18 kali/menit. (5) Inguinal-Genetalia-Anus

Tak ada hernia, tak ada pembesaran lymphe, kesulitan BAB sejak masuk rumah sakit.

b) Keadaan Lokal

Status neurovaskuler (untuk status neurovaskuler  5 P yaitu Pain, Palor, Parestesia, Pulse, Pergerakan). Pemeriksaan pada sistem muskuloskeletal adalah:

(1) Look (inspeksi)

(a) Cicatriks (jaringan parut baik yang alami maupun buatan seperti bekas operasi) pada area abdomen

(b) Cape au lait spot (birth mark) pada seluruh abdomen (c) Fistulae tidak ditemukan

(d) Warna kemerahan atau kebiruan (livide) atau hyperpigmentasi diarea abdomen

(e) Posisi dan bentuk dari ekstrimitas (deformitas) terdapat edema pada femur kiri dan kanan serta jari jari kaki (f) Posisi jalan, klien tidak bisa berjalan. Untuk berpindah

jika mengikuti pemeriksaan menggunakan kursi roda. (2) Feel (palpasi)

(a) Kulit teraba hangat dan terba kering. Capillary refill time > 3 menit.

Gambar

Tabel 2.1  Intervensi Keperawatan dan Rasional  24
Foto  pelvis  femur bilateral  menunjukkan  fraktur diafisis  proksimal os femur  dengan  pergeseran  fragmen  distal  superior
Tabel 3.4 Catatan perkembangan perawatan klien dengan diagnosa keperawatan nyeri  kronik
Tabel 3.5 Catatan perkembangan perawatan klien dengan diagnosa keperawatan  kerusakan Mobilitas Fisik
+2

Referensi

Dokumen terkait

Mereka diberi tayangan dan bahan bacaan (melalui Whattsapp group, Zoom, Google Classroom, Telegram atau media daring lainnya) terkait materi Sifat koligatif larutan

mengkonsumsi alkohol minimal 1 gelas atau lebih tiap hari mempunyai risiko mengalami hipertensi7,917 kali lebih besar dibandingkan dengan responden yang

Tujuan dari PPDS ini adalah up-dating pengetahuan guru SD Muhammadiyah 03 Wajak tentang kurikulum 2013, Bisa mengaplikasikan pembelajaran K13 sesuai dengan kurikulum

Nilai kalor yang diperoleh dari proses pembakaran tidak dapat diukur secara langsung; yang dapat diukur secara langsung pada proses pembakaran adalah suhu.. Untuk

Par#ny!hia 'Par#nikia1 adalah in$eksi pada lipatan kuku yang diseakan #leh kuman 'akteri1 %trept#k#kus, ditandai dengan pemengkakan lipatan kuku" Par#nikia adalah

Bila suatu reaksi dilakukan dalam sistem terisolasi (tersekat) mengalami perubahan yang mengakibatkan terjadinya penurunan energi potensial partikel-partikelnya, maka

Pada rangkaian ini, logam dicelupkan dalam larutan CUSO 4 , dan logam seng dicelupkan pada larutan ZnSO 4 , dimana kedua elektroda dihubungkan dengan voltmeter, yang berfungsi untuk

Dalam langkah-langkah lembar diskusi, bahan representasi dan bimbingan yang peneliti diberikan, didapatkan hasil peningkatan dari siklus I berupa siswa sudah mampu menjawab