• Tidak ada hasil yang ditemukan

Asuransi (Al-Ta min) Dalam Pandangan Hukum Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Asuransi (Al-Ta min) Dalam Pandangan Hukum Islam"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

Asuransi (Al-Ta’min) Dalam Pandangan Hukum Islam

Abd Hannan1, Ahmad Muzakki2

1,2Universitas Islam Zainul Hasan Genggong Probolinggo email: abdhannan510@gmail.com

Abstract

This paper discusses the understanding, history, principles, and opinions of scholars about insurance. The research method used is literature review. After an in-depth discussion, it was concluded that Insurance (al-ta'min) means protection, calm, a sense of security, and free from fear, and the insurer is called mu'ammin, while the insured is called mu'amman lahu or musta'min. . In general, insurance (al-ta'min) is divided into two, namely social insurance (al-ta'min ta`awuni) and commercial insurance (al-ta'min tijari / al-ta'min bi al-qist tsabit). Fiqh scholars in dealing with contemporary problems such as insurance issues (al-ta'min) are divided into three major groups, some are absolutely forbidden, some allow mutlaq and there are scholars who only allow social insurance.

Keywords: Insurance, Social, Commercial, Islamic Law

Abstrak

Tulisan ini membahas membahas seputar pengertian, sejarah, prinsip-prinsip, serta pendapat ulama tentang asuransi. Metode penelitian yang digunakan adalah kajian pustaka. Setelah dilakukan pembahasan mendalam, maka diperoleh kesimpulan bahwa Asuransi (al-ta’min) bermakna perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, dan penanggung disebut mu'ammin, sedangkan yang tertanggung disebut

mu’amman lahu atau musta’min. Secara umum asuransi (al-ta’min) terbagi menjadi

dua, yaitu asuransi sosial (al-ta’min ta`awuni) dan asuransi komersial (al-ta’min tijari/

al-ta’min bi al-qist sabit). Ulama Fiqih dalam menghadapi masalah kontemporer seperti

masalah asuransi (al-ta’min) terbagi menjadi tiga kelompok besar, ada yang mengharamkan secara mutlak, ada yang membolehkan secara mutlaq dan ada ulama yang hanya membolehkan asuransi yang bersifat sosial.

(2)

PENDAHULUAN

Jaminan sosial (al-ta’min al-ijtima’i) adalah salah satu rukun ekonomi Islam yang paling asasi (mendasar dan esensial) di antara rukun ekonomi Islam lainnya. Prof. Dr Ahmad Muhammad Assal, Guru Besar Universitas Riyadh, Saudi Arabia, dalam buku An-Nizam al-Iqtishadiy al Islami, menyebutkan bahwa rukun paling mendasar dari ekonomi Islam ada tiga, yaitu, kepemilikan milkiyyah), kebebasan

(al-hurriyyah) dan jaminan sosial (al-ta’min al-ijtimaiy).

Dalam ajaran Islam menurut Musthafa al-Zarqa` (1999:42) Jaminan sosial yang berbentuk asuransi tolong-menolong (al-takmin al-ta’awuni) baik di bidang kesehatan, ketenagakerjaan, hari tua dan kematian, seluruh rakyat diwajibkan untuk membayar premi dan apabila premi yang terkumpul tidak mencukupi untuk biaya pertanggungan, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Sebaliknya, apabila terdapat kelebihan dari yang dikeluarkan untuk pertanggungan, maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut.

Konsep jaminan sosial dalam bentuk al-takmin al-ta’awuni ini, merupakan implementasi dari perintah al-quran agar hambanya saling menolong (ta’awun), dan saling melindungi akad al-takmin at-taawuniy atau asuransi ta’awun merupakan akad tabarru’.

Cukup banyak ayat al-quran, apalagi hadits Nabi Saw. yang memerintahkan agar manusia saling menolong, saling melindungi, saling menyayangi. Implementasi dari doktrin syariah tersebut saat ini diwujudkan dalam bentuk asuransi kesehatan dan ketenagakerjaan. Abrori (2019). Untuk lebih memberikan pemahaman yang mendalam, maka pada artikel ini penulis akan membahas pengertian, sejarah, prinsip-prinsip, serta pendapat ulama tentang asuransi.

PEMBAHASAN

Pengertian al-Ta’min (Asuransi) dalam Pandangan Hukum Islam

Menurut Salim Segaf (2004:28) asuransi disebut juga al-ta’min dalam Bahasa Arabnya yang bermakna perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, dan penanggung disebut mu'ammin, sedangkan yang tertanggung disebut

mu’amman lahu atau musta’min.

Hal ini seperti yang tersebut dalam QS. Quraisy (106): 4, yaitu "Dialah Allah

yang mengamankan mereka dari ketakutan." Pengertian al-ta’min dalam buku karya

Muhammad Syakir Sula (2004:28) adalah seseorang membayar atau menyerahkan uang cicilan agar ahli warisnya mendapatkan sejumlah uang sebagaimana yang telah disepakati, atau untuk mendapatkan ganti terhadap hartanya yang hilang.

Ahli fikih kontemporer, Wahbah az-Zuhaili (2004:177) Mendefinisikan asuransi berdasarkan pembagiannya. Ia membagi asuransi dalam dua bentuk, yaitu:

a. al-Ta'min al-Ta'awuni

al-Ta’min al-Ta’awuni atau asuransi tolong menolong adalah kesepakatan

sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudharatan.

Praktik al-ta’mìn al-ta’àwun sama persis seperti praktik usaha kerja sama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang dialami oleh salah satu anggota asuransi. Pembiayaannya sesuai dengan tata cara yang dijelaskan dan disepakati.

(3)

Al-Ta’min bi al-qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap adalah akad

yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.

al-Ta’mìn bi al-qisth sabit merupakan asuransi yang bertujuan mencari

profit, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki premi yang pasti. Angsuran ini menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah. Sehingga apabila pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Akan tetapi apabila peserta asuransi tidak mendapatkan musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan asuransi.

al-Ta’mìn bi al-qisth sabit masuk dalam kategori judi, karena adanya unsur

untung-untungan. al-Ta’mìn bi al-qisth di dalam kitab Al-Hawi al-Kabir karya Imam Mawardi(2000:443), dicontohkan “ada seseorang yang membuatkan baju orang lain, kemudian dia berkata: “saya akan potongkan kamu kain ini menjadi gamis. Jika ada kekurangan, maka aku akan menyempurnakan kekurangannya dan jika ada lebihnya, maka aku akan ambil lebihnya”.

Musthafa Ahmad az-Zarqa (2004:29) memaknai asuransi adalah sebagai salah satu macam atau metode untuk memelihara manusia dalam menghindari resiko (ancaman) bahaya yang beragam yang akan terjadi dalam hidupnya, dalam perjalanan kegiatan hidupnya, atau dalam aktivitas ekonominya. la berpendapat, bahwa sistem asuransi adalah sistem ta'awun dan tadhamun yang bertujuan untuk menutupi kerugian peristiwa-peristiwa atau musibah-musibah oleh sekelompok tertanggung kepada orang yang tertimpa musibah tersebut. Penggantian tersebut berasal dari premi mereka.

Dalam perspektif ekonomi Islam, asuransi dikenal dengan istilah takaful yang berasal dari bahasa arab takafala-yatakafulu-takafulan yang berarti saling menanggung atau saling menjamin

Dalam Ensiklopedi Hukum Islam (2004:1628) digunakan istilah at-takaful

al-ijtima'i atau solidaritas yang diartikan sebagai sikap anggota masyarakat Islam

yang saling memikirkan, memerhatikan, dan membantu mengatasi kesulitan anggota masyarakat Islam yang satu merasakan penderitaan yang lain sebagai penderitaannya sendiri dan keberuntungannya adalah keberuntungan orang lain.

Hal ini sejalan dengan HR. Bukhari Muslim "Orang-orang yang beriman

bagaikan sebuah bangunan, antara satu bagian dengan bagian lainnya saling menguatkan, sehingga melahirkan suatu kekuatan yang besar" dan diriwayat yang

lain dikatakan "Perumpamaan orang mukmin dalam konteks solidaritas ialah

bagaikan satu tubuh manusia, jika salah satu anggota tubuhnya merasakan kesakitan, maka seluruh anggota tubuhnya yang lain turut merasakan kesakitan dan berjaga-jaga (agar tidak berjangkit pada anggota yang lain)".

Dewan Syari’ah Nasional pada tahun 2001 telah mengeluarkan fatwa mcngenai asuransi syariah. Dalam fatwa DSN No. 21/DSN-MUI/X/2001 bagian pertama mengenai Ketentuan Umum angka I disebutkan pengertian asuransi syari'ah (ta'min, takaful, atau tadhamun) adalah usaha saling melindungi dan tolong menolong diantara sejumlah orang / pihak melalui investasi dalam bentuk aset dan atau tabarru' yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad (perikatan) yang sesuai dengan syari’ah. Akad yang sesuai dengan syari’at tersebut maksudnya adalah akad yang tidak mengandung garar

(4)

(penipuan), perjudian, riba, penganiayaan/kezaliman, suap, barang haram dan maksiat.

Dari beberapa pengertian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa asuransi adalah perjanjian yang berkaitan dengan pertanggungan atau penjaminan atas resiko atau kerugian tertentu.

Sejarah al-Ta’mìn (Asuransi)

Praktik al-ta’mìn ini pernah terjadi pada masa Nabi Yusuf as. yaitu ketika Nabi Yusuf menafsiri mimpi Raja Mesir tentang mimpi sungai nil mengering, lalu keluar dari sungai nil 7 sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh 7 sapi betina yang kurus-kurus dan 7 bulir (gandum) yang hijau dan 7 bulir lainnya yang kering.

Sebagaimana dijelaskan dalam al-Qur’an surat Yusuf ayat 43: “Raja berkata

(kepada orang-orang terkemuka dari kaumnya): “Sesungguhnya aku bermimpi melihat tujuh ekor sapi betina yang gemuk-gemuk dimakan oleh tujuh ekor sapi betina yang kurus-kurus dan tujuh bulir (gandum) yang hijau dan tujuh bulir lainnya yang kering”. Hai orang-orang yang terkemuka: “Terangkanlah kepadaku tentang ta’bir mimpiku itu jika kamu dapat mena’birkan mimpi”. (Q.S. Yusuf (12): 43)

Mimpi Raja Mesir ini ditafsirkan oleh Nabi Yusuf as. dengan makna: Mesir akan mengalami masa 7 tahun panen yang melimpah dan diikuti dengan masa 7 tahun paceklik. Untuk menghadapi masa paceklik itu, Nabi Yusuf as. menyarankan agar menyisihkan sebagian dari hasil panen rakyat pada masa 7 tahun pertama dan disimpan digudang kerajaan yang sengaja disediakan untuk penyimpanan hasil panen rakyat. Saran dari Nabi Yusuf as. ini diikuti oleh Raja Mesir, sehingga masa paceklik dapat ditangani dengan baik. Hal ini diabadikan dalam al-Qur’an surat Yusuf, “Yusuf

berkata: “Supaya kamu bertanam tujuh tahun (lamanya) sebagaimana biasa; maka apa yang kamu tuai hendaklah kamu biarkan dibulirnya kecuali sedikit untuk kamu makan. Kemudian sesudah itu akan datang tujuh tahun yang amat sulit, yang menghabiskan apa yang kamu simpan untuk menghadapinya (tahun sulit), kecuali sedikit dari (bibit gandum) yang kamu simpan. Kemudian setelah itu akan datang tahun yang padanya manusia diberi hujan (dengan cukup) dan dimasa itu mereka memeras anggur”. (Q.S. Yusuf (12): 47-49)

Syari’at yang dilakukan pada masa Nabi Yusuf ini masuk dalam kategori syar’u

man kablana, yaitu syari’at orang-orang terdahulu yang boleh kita jadikan dalil

melegalkan suatu hukum selama tidak ada dalil yang me-nasyakhnya. Konsep asuransi yang ditawarkan pada masa Nabi Yusuf as. Ini adalah penyelesaian masalah yang akan dihadapi oleh masyarakat Mesir berupa terpenuhinya bahan makanan pokok pada saat paceklik. Sehingga yang nampak pada asuransi ini adalah adanya saling tolong menolong antara pemerintah Mesir dengan rakyatnya. Asuransi seperti ini disebut sebagai asuransi yang dikelola langsung oleh Pemerintah. Tentunya asuransi yang dikelola oleh pemerintah ini bertujuan untuk memberikan kemaslahatan bagi seluruh rakyat.

Pada masyarakat Arab sendiri, terdapat sistem 'aqilah yang sudah menjadi kebiasaan mereka sejak masa pra Islam. Agilah merupakan penutupan dari keluarga pembunuh terhadap keluarga korban (yang terbunuh). AM Hasan Ali (2004:67) mengatakan ketika terdapat seseorang terbunuh oleh anggota suku lain, maka keluarga pembunuh harus membayar diyat dalam bentuk uang darah (blood money). Kata aqilah bermakna asabah. yang menunjukkan hubungan kekerabatan dari pihak orang tua laki-laki pembunuh. Oleh karena itu, pemikiran dasar tentang aqilah adalah seperti itu, di

(5)

mana suku Arab kuno telah menyiapkan pembayaran uang kontribusi untuk kepentingan si pembunuh sebagai pengganti kerugian untuk ahli waris korban.

Kerelaan untuk melakukan pembayaran uang seperti itu dapat disamakan dengan pembayaran premi pada praktik asuransi, sementara itu kompensasi pembayaran di bawah aqilah dapat disamakan dengan penggantian kerugian

(indemnity) pada praktik asuransi saat ini, sebagai satu bentuk perlindungan dalam

bidang keuangan bagi ahli waris dari sebuah kematian yang tidak diharapkan oleh korban.

Praktik aqilah yang dilakukan oleh masyarakat Arab ini sama dengan praktik asuransi pada saat ini, di mana sekelompok orang membantu untuk menanggung orang lain yang tertimpa musibah. Dalam hal kaitannya dengan praktik pertanggungan ini, ada pasal khusus dalam Konstitusi Madinah yang memuat semangat untuk saling menanggung bersama, yaitu pasal 3 yang isinya sebagai berikut "Orang Quraisy yang melakukan perpindahan (ke Madinah) melakukan perdagangan bersama dan akan saling bekerja sama membayar uang dera di antara mereka”.

Perkembangan praktik agilah yang sama dengan praktik asuransi ternyata tidak hanya diterapkan pada masalah pidana, tetapi juga mulai diterapkan dalam bidang perniagaan. Sering disebutkan dalam beberapa buku yang membahas mengenai sejarah asuransi, bahwa asuransi pertama kali dilakukan di Italia berupa asuransi perjalanan laut pada abad ke-14.

Menurut Fazlur Rahman (1996:44:4) sebenamya sebelum abad ke-14 asuransi telah dilakukan oleh orang-orang arab sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW., orang-orang arab yang mahir dalam bidang perdagangan telah melakukan perdagangan ke negara-negara lain melalui jalur laut. Untuk melindungi barang-barang dagangannya ini mereka mengasuransikannya dengan tidak menggunakan sistem bunga dan riba. Bahkan, Nabi Muhammad SAW. sendiri telah melakukan asuransi ketika melakukan perdagangan di Mekkah.

Suatu ketika Nabi Muhammad SAW. turut dalam perdagangan di Mekkah dan seluruh armada dagangannya terpecah belah oleh suatu bencana, hilang di padang pasir. Kemudian, para pengelola usaha yang merupakan anggota dana kontribusi membayar seluruh dagangan, termasuk harga unta dan kuda yang hilang, kepada para korban yang selamat dan keluarga korban yang hilang.

Nabi Muhammad SAW. yang pada saat itu berdagang dengan modal dari Khodijah juga telah menyumbangkan dana pada dana kontribusi tersebut dari keuntungan yang telah diperolehnya. Di bidang bisnis inilah asuransi semakin berkembang, terutama dalam hal perlindungan terhadap barang-barang perdagangannya. Namun, perkembangan ini tidak sejalan dengan kesesuaian praktik asuransi terhadap syariah. Meskipun demikian, dengan banyaknya kajian terhadap praktik perekonomian dalam perspektif Hukum Islam, asuransi mulai diselaraskan dengan ketentuan-ketentuan syariah.

Wirdyaningsih mengatakan (2005:226) pada paruh kedua abad ke-20 di beberapa negara Timur Tengah dan Afrika telah mulai mencoba mempraktikkan asuransi dalam bentuk takaful yang kemudian berkembang pesat hingga kenegara-negara yang berpenduduk non muslim sekalipun di Eropa dan Amerika.

Prinsip-Prinsip al-Ta’min (Asuransi) Syariah

Prinsip dasar yang ada dalam asuransi syariah tidaklah jauh berbeda dengan prinsip dasar yang berlaku pada konsep ekonomika Islami secara komprehensif dan

(6)

bersifat umum. Hal ini disebabkan karena kajian Asuransi Syariah merupakan turunan dari konsep ekonomika Islami.

Begitu juga dengan asuransi, harus dibangun dengan pondasi dan prinsip dasar yang kuat serta kokoh. Menurut Hasan Ali (2004:135) Dalam hal ini, prinsip dasar asuransi syariah ada sembilan macam yaitu tauhid, keadilan, tolong-menolong, kerja sama, amanah, kerelaan, larangan riba, larangan judi dan larang gharar, yang pejelasannya sebagai berikut.

a. Tauhid ( unity )

Prinsip tauhid (unity) adalah dasar utama dari setiap bangunan yang ada dalam syariah Islam. Setiap bangunan dan aktivitas kehidupan manusia harus didasarkan pada nilai-nilai tauhidy. Artinya bahwa dalam setiap gerak langkah serta bangunan hukum harus mencerminkan nilai-nilai ketuhanan. Tauhid sendiri dapat diartikan sebagai suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.

Manusia dengan atribut yang melekat pada dirinya adalah fenomena sendiri yang realitanya tidak dapat dipisahkan dari penciptanya (Sang Khaliq). Sehingga dalam tingkatan tertentu dapat dipahami bahwa semua gerak yang ada di alam semesta merupakan gerak dari Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT. berfirman dalam Qs al-Hadid (57): 4

ِش ْرَعْلا ىَلَع ىوَتْسا َّمُث ٍماَّيَأَ ِةَّتِس يِف َض ْرَ ْلْأَاَو ِتاوامَّسلا َقَلَخ يِذَّلا َوُه

اsمَو ِءام َّsسلا َنِم ُلِزsْنَي اsمَو اsهْنِم ُجُرsْخَي اsمَو ِضْرَ ْلْأَا يِف ُجِلَي اsم ُمَلْعَي

ٌريِصَب َنوُلَمْعَت امِب ُ َّاللَّهَو ْمُتْنُك ام َنْيَأَ ْمُكَعَم َوُهَو اهيِف ُجُرْعَي

“Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa Kemudian dia bersemayam di atas ´arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang keluar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepada-Nya. dan Dia bersamamu di mama saja kamu berada. dan Allah Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (QS. Al-Hadid)

Dalam berasuransi yang harus diperhatikan adalah bagaimana seharusnya menciptakan suasana dan kondisi bermuamalah yang tertuntun oleh nilai-nilai ketuhanan. Paling tidak dalam melakukan setiap aktivitas berasuransi ada semacam keyakinan dalam hati bahwa Allah SWT. selalu mengawasi seluruh gerak langkah kita dan selalu bersama kita. Jika pemahaman semacam ini terbentuk dalam setiap “pemain” yang terlihat dalam perusahaan asuransi maka tahap awal masalah yang sangat urgensi telah terlalui dan dapat melangsungkan perjalanan bermuamalah.

b. Keadilan (justice)

Prinsip kedua dalam berasuransi adalah terpenuhinya nilai-nilai keadilan

(justice) antara pihak-pihak yang terikat dengan akad asuransi. Keadilan dalam

hal ini dipahami sebagai upaya dalam menempatkan hak dan kewajiban antara nasabah dan perusahaan asuransi. Pertama, nasabah asuransi harus memposisikan pada kondisi yang mewajibkannya untuk selalu membayar iuran uang santunan (premi) dalam jumlah tertentu pada perusahaan asuransi dan mempunyai hak untuk mendapatkan sejumlah dana santunan jika terjadi peristiwa kerugian. Kedua, perusahaan asuransi yang berfungsi sebagai lembaga pengelola dana mempunyai kewajiban membayar klaim (dana santunan) kepada nasabah.

(7)

Di sisi lain keuntungan (profit) yang dihasilkan oleh perusahaan asuransi dan hasil investasi dana nasabah harus dibagi sesuai dengan akad yang disepakati sejak awal. Jika nisbah yang disepakati antara kedua belah pihak 40:60, maka realitanya pembagian keuntungan juga harus mengacu pada ketentuan tersebut.

c. Tolong-menolong (Ta’awun)

Prinsip dasar yang lain dalam melaksanakan kegiatan berasuransi harus didasari dengan semangat tolong menolong (ta’awun) antara anggota. Seseorang yang masuk asuransi, sejak awal harus mempunyai niat dan motivasi untuk membantu dan meringankan beban temannya yang pada suatu ketika mendapatkan musibah atau kerugian.

Dalam hal ini Allah Swt. menegaskan dalam firman-Nya QS.Al-Maidah (5): 2

َّنِإِ َ َّاللَّه اوُقَّتاَو ِناوْدُعْلاَو ِمْثِ ْلْإِا ىَلَع اوُنَواعَت لاَو ىوْقَّتلاَو ِّرِبْلا ىَلَع اوُنَواعَتَو

ِباقِعْلا ُديِدَش َ َّاللَّه

“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. Dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya”.

(QS. Al- Maidah:2)

Praktik tolong menolong dalam asuransi adalah unsur utama pembentuk bisnis asuransi, hal ini sejalan dengan Sabda Rasulullah Saw yang ditulis dalam kitab Shohih Bukhori (1999:138:3) Dari Abu Musa ra, Ia berkata: Rasulullah Saw. bersabda:“Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Alà’ telah

menceritakan kepada kami Hammad bin Usamah dari Buraid dari Abi Burdah dari Abi Musa berkata: Nabi Shallallahu ‘Alahi Wasallam bersabda: Sesungguhnya orang-orang Asy’ariy jika mereka berperang atau harta kebutuhan keluarga mereka di Madinah menipis maka mereka mengumpulkan apa saja milik mereka pada satu pakaian kemudian mereka membagi rata diantara mereka pada tiap masing-masing, maka mereka adalah bagian dariku dan aku bagian dari mereka”.

Tanpa adanya unsur ini atau hanya semata-mata untuk mengejar keuntungan bisnis (profit oriented) berarti perusahaan asuransi itu sudah kehilangan karakter utamanya, dan seharusnya sudah wajib terkena pinalti untuk dibekukan operasionalnya sebagai perusahaan asuransi.

d. Kerja sama (cooperation)

Prinsip kerjasama merupakan prinsip universal yang selalu ada dalam literatur ekonomi Islam. Manusia sebagai makhluk yang mendapat mandat dari Khaliqnya untuk mewujudkan perdamaian dan kemakmuran di muka bumi mempunyai dua wajah yang tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya, yaitu sebagai makhluk individu dan sebagai makhluk sosial.

Kerjasama dalam bisnis asuransi dapat berwujud dalam bentuk akad yang dijadikan acuan antara kedua pihak yang terlibat, yaitu antara anggota

(nasabah) dan perusahaan asuransi. Dalam operasionalnya, akad yang dipakai

dalam bisnis asuransi dapat menggunakan konsep mudharabah atau

(8)

dasar dalam kajian ekonomika Islami dan mempunyai nilai historis dalam perkembangan keilmuan.

Mudharabah adalah bentuk kerjasama antara dua orang atau lebih yang

mengharuskan pemilik modal (nasabah) menyerahkan sejumlah dana (premi) kepada perusahaan asuransi (mudharib) untuk dikelola. Dana yang terkumpul oleh perusahaan asuransi diinvestasikan agar memperoleh keuntungan yang nantinya akan dibagi antara perusahaan dan nasabah asuransi. Jika akadnya menyebutkan pembagian nisbah keuntungan antara kedua pihak 70:30, yaitu 70% untuk nasabah dan 30% untuk perusahaan, maka pembagian profit dari investasi yang dilakukan oleh perusahaan juga harus mengacu pada ketentuan akad tersebut.

Sedangkan akad musyarakah dapat terwujud antara nasabah dan perusahaan asuransi, jika kedua pihak bekerjasama dengan sama-sama menyerahkan modalnya untuk diinvestasikan pada bidang-bidang yang menguntungkan. Keuntungan (profit) yang diperoleh dari investasi dibagi sesuai dengan porsi nisbahyang disepakati. Akan tetapi, menurut Wahbah Zuhaili (1985: Juz 4:719-728.) Tidak sah memposisikan al-ta’mìn dari segi kerjasama bagi hasil (shirkat al-mudlarabah), yakni pemilik modal dengan pengelola dengan sistem bagi hasil. Karena akan muncul ketidakadilan bagi mu’amman

lahu (pihak tertanggung) disebabkan segala keputusan ada di tangan mu’ammin

(penanggung) serta mu’amman lahu akan rugi jika tidak mendapatkan jaminan. Kecuali shirkat al-mudlarabah dalam al-ta’mìn menanamkan konsep keuntungan dibagi antara pemodal (shahib al-màl) dan pengelola 1/4 atau 1/3. e. Amanah (Trustworthy)

Prinsip amanah dalam organisasi perusahaan dapat terwujud dalam nilai-nilai akuntabilitas (pertanggung jawaban) perusahaan melalui penyajian laporan keuangan tiap periode. Dalam hal ini perusahaan asuransi harus memberi kesempatan yang besar bagi nasabah untuk mengakses laporan keuangan perusahaan. Laporan keuangan yang dikeluarkan oleh perusahaan asuransi harus mencerminkan nilai-nilai kebenaran dan keadilan dalam bermuamalah dan melalui auditor publik. Memerintahkan jujur dan amanah ini sudah Allah tegaskan didalam firman-Nya, (QS. Al-Maidah: 01)

:ةدئاملا﴿ ِدوُقُعْلاِب اوُفْوَأَ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأَ اَي

١

“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu”. (QS. Al-Maidah:

01)

Prinsip amanah juga harus berlaku pada diri nasabah asuransi. Seseorang yang menjadi nasabah asuransi berkewajiban menyampaikan informasi yang benar berkaitan dengan pembayaran dana iuran (premi) dan tidak memanipulasi kerugian yang menimpa dirinya. Jika seorang nasabah asuransi tidak memberikan informasi yang benar dan memanipulasi data kerugian yang menimpa dirinya, berarti nasabah tersebut telah menyalahi prinsip amanah dan dapat dituntut secara hukum.

f. Kerelaan (al-Ridla)

Prinsip kerelaan dalam ekonomika Islami berdasar pada firman Allah SWT. berikut:

ْنَع ًةَراssجِت َنوُكَت ْنَأَ َّلاِإِ ِلِطابْلاِب ْمُكَنْيَب ْمُكَلاوْمَأَ اوُلُكْأَْت لا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأَ اي

ًاميِحَر ْمُكِب َناك َ َّاللَّه َّنِإِ ْمُكَسُفْنَأَ اوُلُتْقَت لاَو ْمُكْنِم ٍضارَت

(9)

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”. (QS. an-Nisa‟:29)

Ayat ini menjelaskan tentang keharusan untuk bersikap rela dan ridha dalam setiap melakukan akad (transaksi), dan tidak ada paksaan antara pihak-pihak yang terikat oleh perjanjian akad. Sehingga kedua belah pihak-pihak bertransaksi atas dasar kerelaan bukan paksaan.

g. Tidak Mengandung Riba

Riba secara bahasa bermakna ziyadah (tambahan). Dalam pengertian lain, secara umum terdapat benang merah dalam menegaskan bahwa riba adalah pengambilan tambahan, baik dalam transaksi jual-beli maupun pinjam meminjam secara bathil atau bertentangan dengan prinsip muamalat dalam Islam. Wahbah Zuhaili (1985: Juz 4:719-728) membagi riba menjadi empat, yaitu riba qardh, riba jahiliah, riba fadhal, dan riba nasi’ah. Dalam setiap transaksi, seorang Muslim dilarang memperkaya diri dengan cara yang tidak dibenarkan, salah satu adalah riba. Firman Allah SWT. :

ْمُكَّلَعَل َ َّاللَّه اوssُقَّتاَو ًةَفَعا َssضُم اًفاَع ْssضَأَ اssَبِّرلا اوُلُكْأْssَت َلا اوssُنَمآ َنيِذَّلا اssَهُّيَأَ اssَي

َنوُحِلْفُت

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”. (QS Ali-Imran: 130).

Menurut Muhammad Syakir Sula (2004:176) pada asuransi syariah, masalah riba dieliminir dengan konsep mudharabah (bagi hasil). Seluruh bagian dari proses operasional asuransi yang di dalamnya menganut sistem riba, digantikannya dengan akad mudharabah atau akad lainnya yang dibenarkan secara syar’i. Baik dalam penentuan bunga teknik, investasi, maupun penempatan dana ke pihak ketiga, semua menggunakan instrumen akad syar`i yang bebas dari riba.

h. Tidak Mengandung Perjudian (Qimar)

Allah Swt. telah memberi penegasan terhadap keharaman melakukan aktivitas ekonomi yang mempunyai unsur judi (maisir). Firman Allah Swt. dalam QS. Al-Maidah (5): 90

ْنِم ٌسْجِر ُملاْزَ ْلْأَاَو ُباssصْنَ ْلْأَاَو ُر ِssسْيَمْلاَو ُرssْمَخْلا اssَمَّنِإِ اوssُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأَ اي

َنوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل ُهوُبِنَت ْجاَف ِناطْيَّشلا ِلَمَع

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapatkeberuntungan”. (QS. al-Maidah: 90).

Syafi’i Antonio (2004:186) mengatakan bahwa unsur maisir (judi) artinya adalah salah satu pihak yang untung, namun di lain pihak justru mengalami kerugian. Hal ini tampak jelas apabila pemegang polis dengan sebab-sebab tertentu membatalkan kontraknya sebelum reversing period, biasanya

(10)

tahun ketiga maka yang bersangkutan tidak akan menerima kembali uang yang telah dibayarkan kecuali sebagian kecil saja. Juga adanya unsur keuntungan yang dipengaruhi oleh pengalaman underwriting, dimana untung rugi terjadi sebagai hasil dari ketetapan.

Dalam asuransi syariah (misalnya di takaful), Reversing Priod, bermula dari awal akad di mana setiap peserta mempunyai hak untuk mendapatkan cash

value, kapan saja, dan mendapatkan semua uang yang telah dibayarkannya

kecuali sebagian kecil saja. Yaitu, yang telah diniatkan untuk dana tabarru’ yang sudah dimasukkan ke dalam rekening khusus peserta dalam bentuk

tabarru’ atau dana kebajikan.

Masalah asuransi syariah di atas dapat selesai dengan adanya kebenaran dalam akad. Asuransi syariah telah mengubah akadnya dan membagi dan peserta ke dalam dua rekening khusus yang menampung dana tabarru’ yang tidak bercampur dengan rekening peserta, maka reversing period di asuransi syariah terjadi sejak awal.

Kapan saja peserta dapat mengambil uangnya (karena pada hakikatnya itu adalah uang mereka sendiri), dan nilai tunai sudah ada sejak awal tahun pertama ia masuk. Karena itu, tidak ada maisir, tidak ada gambling, karena tidak ada pihak yang dirugikan.

i. Tidak Mengandung Gharar (Ketidak Pastian)

Menganai larangan transaksi tidak boleh ada unsur gharar ialah ditegaskan oleh sabda Rasulallah:

ِعssْيَب ْنَع -ملssسو هssيلع اللَّه ىلssص- ِ َّاللَّه ُلو ُssسَر ىَهَن َلاssَق َةَرssْيَرُه ىِبَأَ ْنَع

)ملسم هاور) ِرَرَغْلا ِعْيَب ْنَعَو ِةاَصَحْلا

“Dari Abu Hurairah RA berkata: Rasulullah SAW. telah melarang jual beli al-hashah dan jual beli gharar”. (HR. Muslim)

Gharar dalam pengertian bahasa adalah al-khida’ (penipuan), yaitu suatu

tindakan yang di dalamnya diperkirakan tidak ada unsur kerelaan. Wahbah al-Zuhaili memberi pengertiuan tentang gharar sebagai al-khatar dan al-taghrir, yang artinya penampilan yang menimbulkan kerusakan (harta) atau sesuatu yang tampaknya menyenangkan tetapi hakikatnya menimbulkan kebencian. Oleh karena itu, dikatakan ad-dunya mata’ul ghuruur artinya dunia adalah kesenangan yang menipu.

Sesuai dengan syarat-syarat akad pertukaran, maka harus jelas berapa pembayaran premi dan berapa uang pertanggungan yang akan diterima. Masalah hukum syari’ah disini muncul karena kita tidak bisa menentukan secara tepat jumlah premi yang akan dibayarkan, sekalipun syarat-syarat lainnya, penjual, pembeli, ijab kabul, dan jumlah uang pertanggungan (barang) dapat dihitung. Jumlah premi yang akan dibayarkan amat tergantung pada takdir, tahun berapa kita meninggal atau mungkin sampai akhir kontrak kita tetap hidup. Disinilah gharar terjadi.

Dalam Asuransi Syariah, masalah gharar ini dapat diatasi dengan mengganti akad tabaduli dengan akad takafuli (tolong-menolong) atau akad

tabarru’ dan akad mudharabah (bagi hasil). Dengan akad tabarru’,

(11)

maka asuransi syariah menyiapkan rekening khusus sebagai rekening dana tolong-menolong atau rekening tabarru yang telah diniatkan (diakadkan) secara

ikhlas setiap peserta masuk asuransi syariah.

Oleh karena itu Muhammad Syakir Sula (2004:174), dalam mekanisme dana di asuransi syariah, premi yang dibayarkan peserta dibagi dalam dua rekening, yaitu rekening peserta dan rekening tabarru’. Pada rekening tabarru’ inilah ditampung semua dana tabarru’ peserta sebagai dana tolong menolong atau dana kebajikan, yang jumlahnya sekitar 5%-10% dari premi pertama (tergantung usia). Selanjutnya, dari dana ini pula klaim-klaim peserta dibayarkan apabila ada di antara peserta yang meninggal atau mengambil nilai tunai.

Prinsip asuransi syari’ah ini menggambarkan konsep saling membantu, melindungi, bertanggung jawab, tidak adanya unsur penipuan, judi, dan riba. Pada asuransi syari’ah, setiap peserta sejak awal bermaksud saling tolong menolong dan melindungi satu dengan yang lain dengan menyisihkan dananya sebagai iuran kebajikan yang disebut tabarru’. Jadi sistem ini tidak menggunakan pengalihan resiko (risk transfer) dimana tertanggung harus membayar premi, tetapi lebih merupakan pembagian resiko (risk sharing) dimana para peserta saling menanggung.

Dasar Hukum al-Ta’min (Asuransi) Syariah

Dasar hukum asuransi syariah adalah bersumber dari pengambilan hukum praktik asuransi syariah Karena sejak awal asuransi syariah dimaknai sebagai wujud dari bisnis pertanggungan yang didasarkan pada nilai-nilai yang ada dalam ajaran Islam, yaitu al-Qur’an dan Sunnah Rasul, serta pendapat Ulama atau Fuqaha yang tertuang dalam karya-karyanya.

a. Al-Qur’an

Ayat al-Qur’an yang mempunyai nilai praktik asuransi, antara lain: 1) Surat al-Maidah (5) : 2

اوssُقَّتاَو ِناوْدssُعْلاَو ِمْثِ ْلْإِا ىَلَع اوُنَواssعَت لاَو ىوْقَّتلاَو ِّرِبْلا ىَلَع اوُنَواعَتَو

ِباقِعْلا ُديِدَش َ َّاللَّه َّنِإِ َ َّاللَّه

“Dan tolong menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam perbuatan dosa dan pelanggaran. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah sangat berat siksa-Nya”.

Ayat al-Maidah ini memuat perintah tolong-menolong antar sesama manusia. Dalam bisnis asuransi, ini terlihat dalam praktik kerelaan anggota (nasabah) perusahaan asuransi untuk menyisihkan dananya agar digunakan sebagai dana sosial (tabarru’).

2) Surat al-Baqarah (2) : 185 Allah berfirman:

.…

.…َرْسُعْلا ُمُكِب ُديِرُي لاَو َرْسُيْلا ُمُكِب ُ َّاللَّه ُديِرُي

“…Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu…”.

Ayat di atas menerangkan bahwa kemudahan adalah sesuatu yang dikehendaki oleh-Nya, dan sebaliknya kesukaran adalah sesuatu yang tidak dikehendaki oleh-Nya. Maka manusia dituntut oleh Allah agar

(12)

tidak mempersulit dirinya sendiri dalam menjalankan bisnis, untuk itu bisnis asuransi merupakan sebuah progam untuk menyiapkan dan merencanakan kehidupan di masa mendatang.

3) Surat al-Hasyr (59) : 18

َّنِإِ َ َّاللَّه اوُقَّتاَو ٍدَغِل ْتَمَّدَق ام ٌسْفَن ْرُظْنَتْلَو َ َّاللَّه اوُقَّتا اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأَاَي

َنوُلَمْعَت امِب ٌريِبَخ َ َّاللَّه

“Wahai Orang-orang yang beriman! Bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Dan bertaqwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Teliti terhadap apa yang kamu kerjakan”.

Ayat al-Hasyr di atas menerangkan perintah Allah untuk mempersiapkan diri di hari atau masan mendatang. Perintah Allah untuk saling melindungi dalam keadaan susah.

4) Surat Quraisy (106) : 4

ف ْوَخ ْنِم ْمُهَنَمآَو ٍعوُج ْنِم ْمُهَمَعْطَأَ يِذَّلا

“Dia (Allah) telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan”.

5) Surat al-Baqarah (2) : 126

اًنِمآ اًدَلَب اَذَه ْلَع ْجا ِّبَر ُميِهاَرْبِإِ َلاَق ْذِإَِو

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berdo’a, “Ya Tuhanku Jadikanlah (negeri Mekkah) ini negeri yang aman sentosa”

Dengan Surat al-Baqarah (2): 126, Allah SWT. menegaskan bahwa orang yang rela menafkahkan hartanya akan dibalas oleh-Nya dengan melipat gandakan pahalanya. Sebuah anjuran normatif untuk saling berderma dan melakukan kegiatan sosial yang diridhai oleh Allah SWT. b. Sunnah Nabi Saw.

al-Sunnah merupakan sumber syariat Islam yang kedua. al-Sunnah berarti jalan yang menjadi kebiasaan dalam melaksanakan ajaran agama atau suatu gambaran amal perbuatan yang sesuai dengan teladan Nabi dan para sahabat, dengan tuntunan al-Qur’an. Al-Sunnah yang mempunyai nilai praktik asuransi, antara lain :

1) Hadits tentang Aqilah.

عَ

ْتَمَرَف ليَذُه نِم ِناَتَأَرمِا ْتَلَتَتْقِا : َلَاق هنع اللَّه يضر َةريرُه يِبَا ْن

ِلو ُssسَر ىلِإِ اوُم َssصَت ْخاَف اssَهِنْطَب يِف اَمَو اهْتَلَتَقف ٍرَجَحب ىرخلْأَا اَمُهد ْحِإِ

َّنأَ َمَّل َssسَو ِهssْيَلَع ُ َّاللَّه ىَّل َssص اللَّه ُلوssسر ىَضَقف َمَّلَسَو ِهْيَلَع ُ َّاللَّه ىَّلَص اللَّه

ُهاوَر) اssَهِتَلِقاَع ىَلَع ةأَرملا ةَيِدب ىَضَقو ِةَديلَو وَأَ دبع ةَّرُغ اهنينج َةَيِد

(ِراَخُبلا

“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, dia berkata: Berselisih dua orang wanita dari suku Huzail, kemudian salah satu wanita tersebut melempar batu ke wanita yang lain sehingga mengakibatkan kematian wanita tersebut beserta janin yang dikandungnya. Maka ahli waris dari wanita

(13)

yang meninggal tersebut mengadukan peristiwa tersebut kepada Rasulullah Saw., maka Rasulullah Saw. memutuskan ganti rugi dari pembunuhan terhadap janin tersebut dengan pembebasan seorang budak laki-laki atau perempuan, dan memutuskan ganti rugi kematian wanita tersebut dengan uang dera (diyat) yang dibayarkan oleh aqilahnya (kerabat dari orang tua laki-laki)”. (HR. Bukhari)

2) Hadits tentang anjuran menghilangkan kesulitan seseorang.

َمَّل َssسَو ِهssْيَلَع ُ َّاللَّه ىَّل َssص ِّيِبَّنلا ِنَع هssنع اللَّه يssضر َةَرssْيَرُه يِبَا ْنَع

ًةssبرُك ُهنَع ُاللَّه َسَّفَن اَيْنُّدلا ِبَرُك نِمً ةبْرُك ٍنِمْؤُْم ْنَع َسَّفَن نَم :َلاَق

يِف ِهsْيَلَع ُاللَّه َر َّsسَي ،ٍر ِsسْعُم ىَلَع َر َّsسَي ْنَمَو ، ِةَماَيِقلا موَي ِبَرُك ْنِم

ِةَرssِخلآاَو اينُّدssلا يف ُاللَّه ُهَرَت َssس اًمِلssسُم َرَت َssس ْنَمَو ، ِةَرssِخلآاَو اَيْنُّدssلا

(ٌمِلْسُم ُهاَوَر)

“Diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra, Nabi Muhammad bersabda: Barangsiapa yang menghilangkan kesulitan duniawinya seorang mukmin, maka Allah Swt. akan menghilangkan kesulitannya pada hari kiamat. Barangsiapa yang mempermudah kesulitan seseorang, maka Allah Swt. akan mempermudah urusannya di dunia dan di akhirat dan barang siapa yang menutup ‘aib orang muslim maka Allah akan menutup ‘aibnya di dunia dan akhirat”. (HR. Muslim)

3) Hadits tentang menghindari risiko.

،ِاللَّه َلو ُssسَر اssَي :ٌلssُجَر َلاssَق :َلاَق هنع اللَّه يضر ٍكِلاَم ِنْب ِسَنَأَ ْنَع

اssssَهْلِقْعا " :َلاssssَق ,ُلَّكَوَتَأََو اssssَهُلِقْعَأَ ْوَأَ ,ُلَّكَوَتَأََو يِتَقاssssَن ُقssssِلْطُأَ

)ديناسملاو ننسلل حيحصلا عماجلا( ْلَّكَوَتَو

)

10

/

135

(

“Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, seseorang bertanya kepada Rasulullah Saw., tentang (untanya) :”Unta saya ini saya lepas dan bertawakkal atau (unta) ini saya ikat saja setelah itu saya bertawakkal kepada Allah Swt.“ Rasulullah Saw. bersabda: pertama ikatlah unta itu kemudian bertawakkal kepada Allah Swt.

c. Ijtihad

Praktik sahabat dalam pembayaran hukuman (ganti rugi) pernah dilaksanakan oleh khalifah kedua yaitu Umar bin Khattab. Beliau berkata: “Orang-orang yang namanya tercantum dalam diwan tersebut berhak menerima bantuan dari satu sama lain dan harus menyumbang untuk pembayaran hukuman (ganti rugi) atas pembunuhan (tidak sengaja) yang dilakukan oleh salah seorang anggota masyarakat”. Dimana Umar adalah orang yang pertama kali mengeluarkan perintah untuk menyiapkan daftar tersebut, dan orang yang terdaftar diwajibkan saling menanggung beban. d. Ijmak

Menurut Abdul Wahhab Khallaf (2000:62) Ijmak yaitu kesepakatan para mujtahid atas suatu hukum syara’ mengenai suatu peristiwa yang terjadi setelah Rasul wafat. Para sahabat telah melakukan ittifaq (kesepakatan) dalam hal yang dilakukan oleh Umar bin Khattab yang berupa iuran dana

(14)

yang dilakukan oleh keluarga dari pihak laki-laki (asabah) dari si pembunuh (orang yang menyebabkan kematian secara tidak sewenang-wenang).

Dalam hal ini, kelompoklah yang menanggung pembayarannya, karena si pembunuh merupakan anggota dari kelompok tersebut. Dengan tidak adanya sahabat yang menentang khalifah Umar, bisa disimpulkan bahwa terdapat ijma’ dikalangan sahabat Nabi SAW. mengenai persoalan ini.

Macam-Macam al-Ta’min (asuransi)

Ahli fikih kontemporer, Wahbah az-Zuhaili membagi al-ta’min (asuransi) dalam dua bentuk, yaitu :

a. al-Ta'min al-Ta'awuni

al-Ta’min al-Ta’awuni atau asuransi tolong menolong adalah

kesepakatan sejumlah orang untuk membayar sejumlah uang sebagai ganti rugi ketika salah seorang di antara mereka mendapat kemudharatan.

Praktik al-ta’mìn al-ta’àwun sama persis seperti praktik usaha kerja sama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan, akan tetapi hanya untuk mengganti kerugian yang dialami oleh salah satu anggota asuransi. Pembiayaannya sesuai dengan tata cara yang dijelaskan dan disepakati.

b. al-Ta’min bi al-Qisth Sabit

Al-Ta’min bi al-qist sabit atau asuransi dengan pembagian tetap

adalah akad yang mewajibkan seseorang membayar sejumlah uang kepada pihak asuransi yang terdiri atas beberapa pemegang saham dengan perjanjian apabila peserta asuransi mendapat kecelakaan, ia diberi ganti rugi.

al-Ta’mìn bi al-qisth sabit merupakan asuransi yang bertujuan

mencari profit, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki premi yang pasti. Angsuran ini menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah. Sehingga apabila pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka ditanggung oleh perusahaan dan merupakan kerugiannya. Akan tetapi apabila peserta asuransi tidak mendapatkan musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan asuransi.

al-Ta’mìn bi al-qisth sabit masuk dalam kategori judi, karena adanya

unsur untung-untungan. Ta’mìn bi qisth di dalam kitab Al-Hawi

al-Kabir (Juz 5:443)karya Imam Mawardi, dicontohkan “ada seseorang yang

membuatkan baju orang lain, kemudian dia berkata: “saya akan potongkan kamu kain ini menjadi gamis. Jika ada kekurangan, maka aku akan menyempurnakan kekurangannya dan jika ada lebihnya, maka aku akan ambil lebihnya”.

Sedangkan diketerangan yang lain yang dikutip Ali Ahmad As-Saaluus (2000:363) dilihat dari bentuk dan tujuannya al-ta’min (asuransi) terdapat sebagai berikut:

a. al-Ta’min al-Tijari

Asuransi yang bertujuan mencari keuntungan, atau asuransi yang dijadikan usaha, asuransi yang memiliki angsuran yang pasti. Angsuran ini otomatis menjadi milik perusahaan asuransi sebagai ganti dari pembayaran yang dia tanggung jika terjadi musibah atau apa yang disepakati.

(15)

Jika jumlah pembayaran dari perusahaan lebih besar dari uang angsuran, maka itu ditanggung oleh perusahaan, dan merupakan kerugiannya. Jika tidak terjadi musibah, maka angsuran itu menjadi milik perusahaan tanpa ganti apapun. Dan ini merupakan keuntungannya. Inilah asuransi yang dibacarakan di sini.

b. al-Ta’min al-Ta’awuni

Atau juga disebut at-Ta’miin at-Tabaaduliy atau at-Ta’miin

al-Islamiy. Yaitu asuransi gotong-royong atau asuransi yang sesuai dengan

agama Islam. Ini tidak bertujuan mencari keuntungan, namun hanyalah bentuk tolong menolong di dalam menanggung kesusahan. Contohnya: sekelompok orang bersama-sama mengumpulkan uang, dengan uang ini mereka membantu orang yang terkena musibah.

Perusahaan asuransi islam ini, tidak otomatis memiliki uang angsuran dari nasabah. Demikian juga uang yang dibayarkan ketika terjadi musibah bukan milik perusahaan, namun milik bersama. Perusahaan ini hanyalah menyimpan, mengembangkan, dan memberikan bantuan.

c. al-Ta’min al-Ijtima’i (jaminan keamanan sosial)

Hal ini juga tidak mencari keuntungan, dan bukan asuransi khusus pada seseorang yang khawatir musibah tertentu. Tetapi ini bertujuan untuk membantu orang banyak, yang kemungkinan bisa berjumlah jutaan orang. Seperti yang dilakukan oleh negara-negara terhadap para pegawainya, yang dikenal dengan istilah peraturan pensiun. Yaitu dengan cara memotong gaji bulanan dengan prosentase tertentu, dan ketika telah sampai masa pensiun, uang tersebut diberikannya dalam bentuk gaji pensiun bulanan, atau uang pesangon yang diberikan sekaligus untuk membantu kehidupannya. Bahkan jenis ini sebenarnya tidaklah termasuk asuransi.

Pandangan Ulama Mengenai Asuransi

Ulama Fiqih dalam menghadapi masalah kontemporer seperti masalah al-ta’min (asuransi) terbagi menjadi empat kelompok besar, diantaranya yaitu:

1. Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Yang ber-pendapat seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka, bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat unsur-un-sur yang diharamkan seperti judi, karena ketergantungan akan mengharap-kan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (jahalat dan ghoror) dan riba.

2. Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi.

3. Membolehkan asuransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Mereka yang berpendapat adalah Muhammad Abu Zahrah.

Dalil-dalil yang digunakan para Ulama

Dari beberapa pendapat diatas, terdapat dalil-dalil yang dipergunakan oleh ulama untuk menguatkan argument atau pendapatnya. Dalam pembahasan ini akan diuraikan dalil-dalil tersebut. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut.

(16)

a. Dalil mengenai pendapat pertama tentang keharaman asuransi, diantaranya memakai dalil aqli dan naqli. Berikut uraiannya:

1) Secara eksplisit, hukum mengenai asuransi tidak tertuang dalam al-Qur’an ataupun as-Sunnah. Namun, didalam seorang mukmin dituntut didalam melakukan sebuah transaksi (perjanjian) tidak mengandung se-suatu yang secara garis besar telah diharamkan di nash maupun hadits.

Selanjutnya, menurut ulama yang berpengang pada pendapat ini menemukan bahwa asuransi sama dengan judi, karena tertanggung akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi.

Oleh karena itu, dengan alasan inilah asuransi dilarang. Seperti yang terdapat dalam surat al-Maidah ayat 90 yang berbunyi:

ٌس ْجِر ُملاْزَ ْلْأَاَو ُباصْنَ ْلْأَاَو ُرِسْيَمْلاَو ُرْمَخْلا اَمَّنِإِ اوُنَمآ َنيِذَّلا اَهُّيَأَ اي

َنوُحِلْفُت ْمُكَّلَعَل ُهوُبِنَت ْجاَف ِناطْيَّشلا ِلَمَع ْنِم

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah Termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.”

2) Asuransi mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian (jahalat dan

gharar), karena si tertanggung diwajibkan membayar sejumlah premi

yang telah ditentukan, sedangkan berapa jumlah yang dibayarkan tidak jelas, lebih dari itu belum ada kepastian apakah jumlah tertentu itu akan diberikan kepada tertanggung atau tidak. Hal ini sangat tergantung pada kejadian yang telah ditentukan. Mungkin ia akan seluruhnya, tapi mun-gkin juga tidak memperoleh sama sekali.

b. Argumentasi dari pendapat yang kedua adalah sebagai berikut:

1) Bahwa asuransi tidak terdapat nash al-Qur’an atau hadits yang melarang asuransi. Oleh karena itu, selama perbuatan tersebut tidak digariskan ke-halalan dan keharaman yang ada di kedua sumber tersebut, sah untuk dilakukan. Karena menginggat prinsip dalam qawaid al-fiqhiyyah yang berbunyi:

اَ

ُةَحاَبِلاَا ِت َلَاَماَعُملا ْيِف ُلْصَ ْلا

“Asal hukum sesuatu didalam hal mu’amalah adalah mubah (boleh)”.

2) Dalam asuransi terdapat kesepakatan dan kerelaan antara kedua belah pi-hak. Dalam istilah fiqih dikenal dengan prinsip

ْمُكْنِم ٍضاَرَت ْن

َع

(sama ridho, tidak ada keterpaksaan),

Allah Swt. berfiman:

َلا اوsُنَمآ َنيِذَّلا اsَهُّيَأَ اsَي

اوُلُكْأْsَت

ْمُكَلاوsْمَأَ

َنوsُكَت ْنَأَ َّلاِإِ ِلsِطابْلاِب ْمُكَنْيَب

ْنَع ًةَراجِت

ًاميِحَر ْمُكِب َناك َ َّاللَّه َّنِإِ ْمُكَسُفْنَأَ اوُلُتْقَت َلاَو ْمُكْنِم ٍضارَت

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu.dan janganlah kamu membunuh dirimu; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu”.(QS. an-Nisa‟:29)

(17)

Berdasarkan prinsip tersebut, transaksia asuransi menjadi sah, karena didasarkan kesepakatan dan kerelaan kedua belah pihak.

3) Asuransi saling menguntungkan kedua belah pihak. Artinya seorang klien dan perusahaan asuransi mendapatkan laba dari transaksi tersebut. Seorang klien mendapatkan ganti rugi barangnya yang hilang misalnya, sedangkan perusahaan tersebut juga mendapatkan laba dari usahannya. 4) Asuransi mengandung kepentingan umum, sebab premi-premi yang

ter-kumpul dapat diinvestasikan dalam kegiatan pembangunan. Dengan alasan kemaslahatan maka asuransi dapat meringgankan beban orang lain, dapat membantu golongan orang yang lemah. Oleh karena itu, hukum asuransi menjadi mubah (boleh).

5) Asuransi termasuk akad mudharobat antara pemegang polis dengan per-usahaan asuransi.

6) Asuransi termasuk syirkat ta’awuniyat usaha bersama yang didasarkan pada prinsip tolong menolong.

c. Pendapat ketiga menyatakan bahwa asuransi diperbolehkan, asal yang bersi-fat sosial dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersibersi-fat komersial. Dalil yang memperkuat argumen tersebut tidak jauh beda dengan yang dikemukakan oleh kedua kelompok yang diatas, akan tetapi pendapat yang ketiga ini mengambil jalan tengah dari kedua “perselisihan” tersebut.

Pada dasarnya, pendapat ke tiga ini ditopang dengan argumentasi berupa kemaslahatan. Bahwa di dalam asuransi terdapat kemadharatan akan tetapi disisi lain terdapat kemaslahatan yang perlu diperhatikan. Kelompok ini membuang kemadharatan yang ada dan hanya mengambil

kemaslahatanya mengingat kemaslahatan yang ada lebih dominan.

Kesimpulan

Asuransi (al-ta’min) bermakna perlindungan, ketenangan, rasa aman, dan bebas dari rasa takut, dan penanggung disebut mu'ammin, sedangkan yang tertanggung disebut

mu’amman lahu atau musta’min. Secara umum asuransi (al-ta’min) terbagi menjadi

dua, yaitu asuransi sosial (al-ta’min ta`awuni) dan asuransi komersial (al-ta’min tijari/

al-ta’min bi al-qist sabit). Ulama Fiqih dalam menghadapi masalah kontemporer seperti

masalah al-ta’min (asuransi) terbagi menjadi tiga kelompok besar, diantaranya yaitu: 1. Mengharamkan asuransi secara mutlak, termasuk asuransi jiwa. Yang berpendapat

seperi ini adalah Yusuf al-Qardlawi dan Isa ‘Abduh. Menurut mereka, bahwa pada asuransi yang ada pada sekarang ini terdapat unsur-unsur yang diharamkan seperti judi, karena ketergantungan akan mengharapkan sejumlah harta tertentu seperti halnya dalam judi. Dan juga mengandung ketidak jelasan dan ketidak pastian

(ja-halat dan ghoror) dan riba.

2. Membolehkan secara mutlak, tanpa terkecuali. Mereka yang berpendapat seperti ini adalah Musthofa Ahmad Zarqo dan Muhammad Al-Bahi.

3. Membolehkan asuransi yang bersifat social dan mengharamkan asuransi yang semata-mata bersifat komersial. Mereka yang berpendapat adalah Muhammad Abu Zahrah.

(18)

DAFTAR PUSTAKA

As-Saaluus, Ali Ahmad Qadhaayaa Fiqhiyyah Mu'aashirah Wal Iqtishaad

Al-Islami, karya Syaikh Prof. Dr. ustadz fiqh dan ushuul di kuliyah Syari'at Univ.

Qathar, penerbit: Dar Ats-Tsaqafah Qathar.

Ali, H. (2004).Asuransi Dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Prenata Media.

Abrori, F. (2019). Implementasi Kesejahteraan Perspektif BKKBN Dalam Kajian Maqᾱṣid al-Syarῑ’ah. At-Turost: Journal of Islamic Studies, 6(2), 233-243. Antonio, S EPILOG: Buku Asuransi Syariah (Life & General) Konsep dan Sistem

Operasional.

Asyhadie, Z. (2007). Aspek-Aspek Hukum Jaminan Sosial Tenaga Kerja di Indonesia, Rajawali Pers, Mataram.

Baca. (2004). “Solusi Problematika Aktual Hukum Islam; Keputusan Muktamar, Munas

dan Kombes NU dari tahun 1926-1999” Surabaya: Diantama.

Bukhari, I. (1422). Shahih al-Bukhari, Daru Tuku An-Najah.

Ghufron Sofiniyah (penyunting). (2005). Briefcase Book Edukasi Profesional Syariah:

Sistem Operasional Asuransi Syariah, Jakarta : Renaisan.

Hasan A, A, M. (2010). Masail Fiqhiyah : Zakat, Pajak, Asuransi, dan Lembaga Keuangan

Khallaf, W, A. (2000). Kaidah-kaidah hukum Islam, Terjemah Talhah Mansyur, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Lajnah ad-daimati lil buhutsil al-ilmiyyah wa al-ifta’, Abhast hai’at kibaru al-ulama’, Saudi Arabiya,

Rahman, Afzalur. (I996). Doktrin Ekonomi Islam, diterjemahkan oleh Soeroyo dan Nastangin. (Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf)

Sayid, S. (1995). Fiqh al-Sunnah (Baerut-Lebanon: Dar al-Fath) Juz III, 301-304. Suharto. (2009). Edi Kemiskinan & Perlindungan Sosial di Indonesia: Menggagas

Model Jaminan Sosial Universal Bidang Kesehatan, Bandung: Alfabeta.

Suhendi,H & Deni, K, Y. (2005). Asuransi Takaful dari Teoritis Ke Praktik, Bandung: Mimbar Pustaka.

Sula, S. (2004). Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem Operasional, Jakarta: Gema lnsani Press.

Sula, M, S. (2004). Asuransi Syariah (Life and General) Konsep dan Sistem

Operasional, Jakarta: Gema lnsani Press.

Triwulan, T & Febriana, S. 2010). Perlindungan Hukum Bagi Pasien.(Prestasi Pustaka, Surabaya.

Zuhaili, W. (1985). Fiqhu al-Islami wa Adillatuhu. Damaskus, Daru al-Fikri. Wirdyaningsih, et, all. (2005). Bank dan Asuransi di Indonesia, Jakarta: Kencana. Zarqa`, Musthafa. Dinukil dari al-‘Uqûd al-Mâliyah al-Murakkabah, Dirasat Fiqhiyah

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di SMPN 3 Bontomarannu Dalam mengimplementasikan penerapan pengutan pendidikan karakter dapat ditarik kesimpulan bahwa:

KEKUATAN 4 3 2 1 Petani enggan untuk bermitra dengan perusahaan lain Sangat Setuju Adanya saprodi/alsintan, kepastian pasar,jaminan harga, transportasi dan

Namun demikian, definisi generik berikut bisa dipakai: penelitian kualitatif itu multi-metode dalam fokus, meliputi pendekatan naturalistik interpretif terhadap pokok

IPS dengan menggunakan metode pembelajaran Guided Note Taking.. Dengan penelitian tindakan kelas metode pembelajaran Guide Note. Taking dapat dijadikan sebagai

Berdasarkan wawancara diatas terdapat perbedaan antara teks dan pelaku kebudayaan itu sendiri, namun terdapat satu titik temu dimana dalam pendahuluan sudah dijelaskan tentang

diakses pada : 5 Juli 2010. 127 Abdul Muhammad Azzam dan Abdul Wahhab Sayyed Hawwas, Fikih ibadah Terj. Menurut penilaian Syekh Nashiruddin al - Alba>niy hadis

De modo genérico, el condensador es un sistema óptico de lentes que situan la imagen real de la lámpara en el plano focal imagen del objetivo, de tal manera que se genera un haz de

Berdasarkan hasil penelitian tindakan kelas tentang penggunaan model TAI dengan media video untuk peningkatan hasil belajar IPS siswa kelas IV yang telah