V.
5.1. Rekayasa Material Pintu Air
5.1.1. Pengaruh Kandungan Serat Terhadap Sifat Mekanik
Salah satu tujuan penambahan serat dalam penelitian ini untuk menambah
kekuatan lentur dari bahan komposit yang dibuat, dimana tegak lurus (gaya hidrostatis dan kecepat
pintu air yang dirancang ini.
Gambar
Berdasarkan hasil uji pada Gambar 1
dosis serat berbentuk potongan kecil
perlakuan FC1, FC2, dan FC3 terus menurunkan kuat lentur seiring dengan bertambahnya kandungan dosis serat jika dibandingkan dengan sampel kontrol
(NC). Menurut Libre
suatu beton merupakan hal yang penting dalam menentukan kekuatan sampel yang diuji. Oleh karena itu, hal ini dapat dijelaskan bahwa telah terjadi ketidakstabilan dalam
pasta semen dalam sa
V. HASIL DAN PEMBAHASAN
ayasa Material Pintu Air Beton Serat
.1.1. Pengaruh Kandungan Serat Terhadap Sifat Mekanik
Salah satu tujuan penambahan serat dalam penelitian ini untuk menambah ri bahan komposit yang dibuat, dimanamampu menahan beban tegak lurus (gaya hidrostatis dan kecepatan aliran air) dalam saluran terhadap pintu air yang dirancang ini.
Gambar 18. Hasil Uji Kuat Lentur Beton Serat
Berdasarkan hasil uji pada Gambar 18, menunjukkan bahwa peningkatan berbentuk potongan kecil (18 mm) ke dalam campuran beton
perlakuan FC1, FC2, dan FC3 terus menurunkan kuat lentur seiring dengan bertambahnya kandungan dosis serat jika dibandingkan dengan sampel kontrol
Menurut Libre et al., (2008), homogenitas dan kompaksi dari
suatu beton merupakan hal yang penting dalam menentukan kekuatan sampel yang diuji. Oleh karena itu, hal ini dapat dijelaskan bahwa telah terjadi ketidakstabilan dalam design mix untuk beton yang dicampur dengan serat, karena pasta semen dalam sampel menjadi tidak stabil akibat meningkatnya volume serat Salah satu tujuan penambahan serat dalam penelitian ini untuk menambah mampu menahan beban an aliran air) dalam saluran terhadap
, menunjukkan bahwa peningkatan dalam campuran beton untuk
perlakuan FC1, FC2, dan FC3 terus menurunkan kuat lentur seiring dengan bertambahnya kandungan dosis serat jika dibandingkan dengan sampel kontrol dan kompaksi dari design mix suatu beton merupakan hal yang penting dalam menentukan kekuatan sampel yang diuji. Oleh karena itu, hal ini dapat dijelaskan bahwa telah terjadi untuk beton yang dicampur dengan serat, karena mpel menjadi tidak stabil akibat meningkatnya volume serat
dalam sampel (baik panjang dan isinya). Hal ini sejalan dengan apa yang diungkapkan oleh Stegmaier (2003), yang menyatakan bahwa peningkatan kandungan serat di dalam campuran beton dapat menurunkan fraksi agregat dalam campuran tersebut. Dengan demikian, ini dapat dijelaskan bahwa penambahan dosis serat akan menyebabkan permukaan spesifik dari beton menjadi lebih besar (mengembang) dibandingkan dengan serat yang sedikit atau tidak ada sama sekali. Hal ini mengakibatkan kuat ikat antar fraksi agregat di dalam campuran pasir, semen, dan serat menjadi menurun seiring dengan bertambahnya dosis serat dalam design mix.
Dari sisi pengerjaan (workability), peningkatan kandungan serat dalam sampel yang dibuat memerlukan rasio air-semen (Faktor Air Semen) yang lebih besar untuk membuat mudah dalam pengerjaannya, namun peningkatan kandungan air akan menyebabkan tidak stabilnya design mix yang dibuat (Libre et al., 2008). Proses pencampuran serat dengan panjang 18 mm dengan dosis 1, 2, dan 3 kg/m3 tidak mampu meningkatkan kekuatan lentur dari sampel yang dibuat.
Sedangkan untuk perlakuan penambahan serat gelas dalam bentuk lembaran (tidak dipotong-potong) memiliki pengaruh yang cukup signifikan, dimana mampu meningkatkan kuat lentur dari beton serat tesebut, baik untuk perlakuan FCB dan FCM. Peningkatan kekuatan sebesar 82,1% dan 25,6% dari sampel kontrol. Dimana kuat lentur untuk FCM dan FCB sebesar 49 dan 72 kg/cm2. Selain itu, berat sampel pada FCB dan FCM lebih rendah dibandingkan dengan yang lain. Berdasarkan hasil ini, maka perlakuan FCB merupakan hasil yang terbaik dan ini akan digunakan dalam pembuatan pintu air modifikasi.
.
(a) Sampel Uji NC, FC1-3 : terbelah (b) Sampel FCB tidak terbelah Gambar 19. Kondisi Sampel Setelah Pengujian Lentur
Kondisi sampel setelah pengujian ada yang terbelah dan juga tidak terbelah. Untuk sampel kontrol, FC1, 2, dan 3 mengalami patahan, sedangkan FCM dan FCB tidak mengalami patahan. Pada sampel FCM dan FCB dengan
penambahan serat gelas dalam bentuk lembaran dengan bentuk ikatan antar serat membentuk sudut 90° (menyerupai tikar). Ikatan-ikatan inilah yang menyebabkan sampel FCM dan FCB mampu menopang kekuatan lentur dari sampel tersebut baik searah sumbu x maupun y. Berbeda dengan kondisi sampel NC, FC1,2, dan 3 yang tanpa serat dan dengan serat gelas dalam bentuk potongan. Sebaran potongan serat dalam design mix perlakuan tersebut tidak memiliki ikatan antara serat yang satu dengan yang lain, belum lagi ditambah efek dari homogenitas dari pencampuran serat dalam design mix.
5.1.2. Rancang Bangun Pintu Irigasi Beton Serat
Berdasarkan hasil pengujian kekuatan di laboratorium, maka telah dipilih perlakuan FCB untuk membuat prototipe pintu air irigasi. Berikut ini adalah hasil rancang bangun pintu air FCB yang diberi nama “Glass Fiber Reinforced Concerete” atau disingkat GFRC (Gambar 20).
Pintu GFRC didesain berdasarkan hasil survey kondisi pintu air di Daerah Irigasi (DI) Cimanuk. Adapun lebar efektif pintu sebesar 50 cm, tinggi 75 cm, dan bagian pintu yang masuk ke dalam alur rangka pintu (sponeng) sebesar 3 cm baik kiri dan kanan. Maka total lebar pintu adalah 56 cm. Bobot daun pintu hasil rancangan sebesar 35 kg (dimensi 56 cm x 75 cm x 3 cm).
Gambar 20. Pintu Air GFRC
Pengoperasian pintu dilakukan menggunakan sistem mekanik. Bobot sistem mekanik yang digunakan sebesar 15 kg. Sistem mekanik diletakkan pada bagian bawah slab beton (Gambar 21) dengan tebal 6 cm dengan menggunakan
sistem plat satu arah dengan tulangan besi sebanyak 2 buah dengan diameter 6 mm. Sistem mekanik dikunci menggunakan baut Ferrule. Tuas pemutar/handle pintu menggunakan sistem knock-down (bongkar pasang). Poros pintu (stem) menggunakan besi dengan diameter 1”.
Gambar 21. Sistem Pengangkatan Pintu
5.2. Rancang Bangun Pintu Air Fiberglass
Rancang bangun pintu air fiberglass ini didesain berdasarkan kondisi lapang di DI Cimanuk Garut untuk bangunan sadap sekunder. Dimana memiliki bentang efektif sebesar 50 cm dan tinggi lantai antara dasar saluran dan lantai kerja sebesar 120 – 135 cm.
5.2.1. Analisa Gaya Tekan Pada Pintu Air
Pada pintu sorong tekanan air diteruskan ke sponeng. Pintu sorong fiberglass direncanakan tidak menggunakan tulangan. Gaya hidrostatik yang terjadi pada bidang datar tegak seperti pada Persamaan 10 dan 11.
Besarnya gaya hidrostatis yang terjadi pada saat pintu air menutup dengan lebar efektif pintu 50 cm dengan kedalaman air maksimum 50 cm sebesar 613 N (62,5 kg.f). Perhitungan detail dapat dilihat pada Lampiran 4.
5.2.2. Pengujian Sampel
Sampel yang dibuat berukuran 650 mm x 150 mm dengan dua ketebalan yang berbeda. Komposisi bahan sampel fiberglass yang direncanakan ada dua formula, yaitu pertama untuk ketebalan 12 mm (FG12) dan kedua untuk 30 mm (FG30).
Stem
Slab Beton Handle
(a. Bahan Serat Gelas : Strand Mat dan Woven Roving; b. Pengecoran dengan polymer/matrix; c. Sampel jadi tampak atas; d. Samp
Gambar
Pengujian kekuatan
Testing Machine dengan kapasitas 2,5 ton untuk tebal sampel 30
untuk tebal 12 mm yang dilengkapi proving ring untuk mengukur lendutan yang terjadi setiap milimeter (lihat Gambar
Gambar 23. Pengujian Bending dengan Universal Testing Machine
Tabel 4 menunjukkan maksimum dan kuat tekan (kg/cm
lentur yang lebih tinggi dibandingkan dengan FG12, yang diijinkan hanya
ditahan oleh FG12 dan FG
dihasilkan sampel fiberglass lebih besar dibandingkan sampel beton serat FCB (72
(a. Bahan Serat Gelas : Strand Mat dan Woven Roving; b. Pengecoran dengan polymer/matrix; c. Sampel jadi tampak atas; d. Sampel jadi tampak isometri)
Gambar 22. Proses Pembuatan Sampel Pengujian
Pengujian kekuatan lentur pintu dilakukan menggunakan alat Universal Testing Machine dengan kapasitas 2,5 ton untuk tebal sampel 30
mm yang dilengkapi proving ring untuk mengukur lendutan yang terjadi setiap milimeter (lihat Gambar 23).
. Pengujian Bending dengan Universal Testing Machine
Tabel 4 menunjukkan hasil uji lentur dengan elongation
maksimum dan kuat tekan (kg/cm2), dimana sampel FG30 memiliki nilai kuat lentur yang lebih tinggi dibandingkan dengan FG12, jika depleksi maksimum yang diijinkan hanya 10 mm, maka kekuatan lentur maksimum yang mampu oleh FG12 dan FG30 adalah 206 dan 299 kg/cm2. Kekuatan lentur yang dihasilkan sampel fiberglass lebih besar dibandingkan sampel beton serat FCB (72
(a. Bahan Serat Gelas : Strand Mat dan Woven Roving; b. Pengecoran dengan polymer/matrix; el jadi tampak isometri)
. Proses Pembuatan Sampel Pengujian
menggunakan alat Universal Testing Machine dengan kapasitas 2,5 ton untuk tebal sampel 30 mm dan 1 ton
mm yang dilengkapi proving ring untuk mengukur lendutan yang
. Pengujian Bending dengan Universal Testing Machine
elongation / lendutan
FG30 memiliki nilai kuat depleksi maksimum mm, maka kekuatan lentur maksimum yang mampu . Kekuatan lentur yang dihasilkan sampel fiberglass lebih besar dibandingkan sampel beton serat FCB (72
kg/cm2). Nilai kuat lentur FG12 dan FG30 bernilai hampir sama besar pada kuat lentur sekitar 100 kg/cm2 pada lendutan lebih dari 4 mm.
Tabel 4. Kuat Lentur dan Depleksi Fiberglass
Depleksi (mm) Pavg (kg.f) Kuat Lentur (kg/cm2) FG12 FG30 FG12 FG30 0 0,00 0,00 0,00 0,00 1 28,44 7,50 59,25 2,50 2 36,36 117,50 75,75 39,17 3 43,20 222,50 90,00 74,17 4 51,30 325,00 106,88 108,33 5 59,40 422,50 123,75 140,83 6 66,96 532,50 139,50 177,50 7 74,52 630,00 155,25 210,00 8 82,62 722,50 172,13 240,83 9 90,54 807,50 188,63 269,17 10 99,00 897,50 206,25 299,17
Selama pengujian berlangsung, sampel tidak mengalami patah tetapi hanya mengalami retakan kecil yang menunjukkan lepasnya ikatan roving antar lapisan pada bagian tengah untuk sampel FG30 (Gambar 24), sedangkan pada sampel FG12 tidak mengalami retak ataupun patah sama sekali. Hal ini menunjukkan bahwa sifat bahan fiberglass adalah elatis. Ini dibuktikan dengan tidak berubah bentuk sampel yang telah diuji. Dengan demikian, bahan ini cukup aman apabila terjadi impact (hantaman kejut) pada pintu air, karena sifatnya yang elastis.
Berdasarkan data hasil pengujian sampel tersebut, diketahui bahwa sampel yang dibuat tersebut mampu menahan tekanan hidrostatis yang terjadi. Dimana untuk pintu dengan bentang efektif 50 yang direncanakan masih dibawah depleksi maksimum yang direncanakan sebesar 10 mm. Untuk bentang 50 cm akan melendut sebesar 6 mm dengan beban maksmimum yang terjadi sebesar 62,5 kg.f pada kondisi level muka air maksimum 50 cm.
Sampel yang dibuat ini tanpa diperkuat dengan tulangan, jadi murni hanya serat gelas dan polymer/matrix dengan komposisi perbandingan 40% : 60%.
Gambar 24. Kondisi Sampel Fiberglass Selama Pengujian
5.2.3. Pembuatan Pintu Air Fiberglass
Pintu air yang dibuat merupakan hasil dari pengujian sampel sebelumnya. Pintu air dengan fiberglass ini atau diberi nama “Glass Fiber Reinforced Plastic” (GFRP) memiliki tampilan desain seperti : adanya tampilan logo PU pada bagian depan, handle/pegangangan pintu yang lebih ergonmis dengan mengikuti pola jari tangan manusia, dan bentuk yang lebih kokok, dan yang lebih menarik lagi, pintu ini direncanakan mampu mengatur dan mengukur aliran air (regulator and measurement function) seperti terlihat pada Lampiran 1.
Pintu air GFRP tahap pertama (sebelum evaluasi desain) telah diaplikasikan di bangunan sadap sekunder dan tersier B.BYB 2 dan B.CMK 22 di DI Cimanuk, Garut menggunakan desain pintu GFRP dengan tebal 8 mm. Sistem pengangkatan pintu ini menggunakan tangan, karena bobot pintu hasil rancangan cukup ringan dan mampu diangkat oleh manusia, dimana untuk pintu dengan bentang 50 cm dan tinggi 150 cm, memiliki bobot 6,4 kg untuk tebal 8 mm dan 15 kg untuk tebal 12 mm. Menurut Dreyfus (1967), kekuatan rata-rata manusia untuk mengangkat benda pada posisi 1ft (30,48 cm) dari lantai sebesar 145 lb (644,19 N = 65,7 kg.f); pada posisi 2 ft (60,96 cm) dari lantai mampu mengangkat sebesar 556,03 N (56,7 kg.f) dan terus menurun kekuatannya apabila jarak posisi tangan ke lantai semakin jauh. Posisi pegangan pintu GFRP berada di bawah
retakan
sebelum
dengkul/lutut operator (<50
mampu diangkat manusia secara normal.
menggunakan sistem mekanik untuk sistem pengangkatannya
memotong bagian handle
dengan dimensi 58 cm x 75 cm
Berikut ini adalah penggambaran pintu hasil pemasangan di lapangan. Secara keseluruhan, pintu dapat dioperasikan dengan baik dan sampai sekarang masih dalam proses pemantauan untuk dilakukan evaluasi desain dan
pengembangan lebih lanjut.
Gambar 25
5.3. Analisa Biaya Pembuatan Daun Pintu
Tabel 5 dan 6 menunjukkan besarnya biaya pembuatan daun pintu yang dibutuhkan baik untuk pintu GFRC da
Rp. 1.448.000,-.
Biaya pembuatan daun pintu GFRC lebih murah dibandingkan dengan GFRP, hal ini diakibatkan oleh dimensi tinggi pintu GFRC lebih kecil dari pada GFRP, dimana GFRC memiliki dimensi 75 cm x 56 cm x 3 c
x 58 cm x 1,2 cm. Walaupun demikian, pintu GFRP tidak memerlukan sistem mekanik, sedangkan pintu GFRC memerlukan sistem mekanik untuk pengangkatannya. Dalam Tabel 5, biaya sistem mekanik belum dimasukkan dalam perhitungan. Jadi apabila
operator (<50 cm dari lantai), sehingga bobot pintu tersebut masih mampu diangkat manusia secara normal. Tetapi pintu ini dapat juga menggunakan sistem mekanik untuk sistem pengangkatannya
handle pintu, jadi hanya cukup bagian daun pintu dan t dengan dimensi 58 cm x 75 cm.
adalah penggambaran pintu hasil pemasangan di lapangan. Secara keseluruhan, pintu dapat dioperasikan dengan baik dan sampai sekarang masih dalam proses pemantauan untuk dilakukan evaluasi desain dan
embangan lebih lanjut.
25. Pemasangan Pintu GFRP di DI Cimanuk, Garut
5.3. Analisa Biaya Pembuatan Daun Pintu
Tabel 5 dan 6 menunjukkan besarnya biaya pembuatan daun pintu yang dibutuhkan baik untuk pintu GFRC dan GFRP, yaitu sebesar Rp. 321.000,
Biaya pembuatan daun pintu GFRC lebih murah dibandingkan dengan GFRP, hal ini diakibatkan oleh dimensi tinggi pintu GFRC lebih kecil dari pada GFRP, dimana GFRC memiliki dimensi 75 cm x 56 cm x 3 cm dan GFRP 150 cm x 58 cm x 1,2 cm. Walaupun demikian, pintu GFRP tidak memerlukan sistem mekanik, sedangkan pintu GFRC memerlukan sistem mekanik untuk pengangkatannya. Dalam Tabel 5, biaya sistem mekanik belum dimasukkan dalam perhitungan. Jadi apabila dimasukkan dalam analisa biaya, maka biaya dari lantai), sehingga bobot pintu tersebut masih Tetapi pintu ini dapat juga menggunakan sistem mekanik untuk sistem pengangkatannya dengan cara
pintu, jadi hanya cukup bagian daun pintu dan tonjolan
adalah penggambaran pintu hasil pemasangan di lapangan. Secara keseluruhan, pintu dapat dioperasikan dengan baik dan sampai sekarang masih dalam proses pemantauan untuk dilakukan evaluasi desain dan
di DI Cimanuk, Garut
Tabel 5 dan 6 menunjukkan besarnya biaya pembuatan daun pintu yang n GFRP, yaitu sebesar Rp. 321.000,- dan
Biaya pembuatan daun pintu GFRC lebih murah dibandingkan dengan GFRP, hal ini diakibatkan oleh dimensi tinggi pintu GFRC lebih kecil dari pada m dan GFRP 150 cm x 58 cm x 1,2 cm. Walaupun demikian, pintu GFRP tidak memerlukan sistem mekanik, sedangkan pintu GFRC memerlukan sistem mekanik untuk pengangkatannya. Dalam Tabel 5, biaya sistem mekanik belum dimasukkan dimasukkan dalam analisa biaya, maka biaya
pembuatan pintu GFRC menjadi 1.321.000,-. Oleh karena itu secara keseluruhan, baik pintu GFRP dan GFRC memiliki total biaya pembuatan yang mendekati sama.
Tabel 5. Biaya Pembuatan Daun Pintu Beton Serat (GFRC)
No. Kebutuhan Bahan Konst. Vol. Harga
Satuan Biaya
A Bahan
1
Pasir Bangka Belitung
(kg) 2.650 17 250.000 1.604
2 Semen (zak) 1 0.16 56.000 8.960
3 Woven roving (lembar) 1 1 10.000 10.000
4 Frame Pintu 1 1 100.000 100.000
B Pembuatan
1 Tukang Kayu 1 1 100.000 100.000
2 Tukang Bangunan 1 1 100.000 100.000
Total Biaya Pembuatan Daun Pintu GFRC 320.564
Keterangan : ini diluar biaya sistem mekanik dan rangka pintu
Tabel 6. Biaya Pembuatan Daun Pintu Fiberglass (GFRP)
No. Kebutuhan Bahan Konst. Vol. Harga
Satuan Biaya
A Bahan Fiberglass
1 Komposisi Polymer per kg 0,001 8.136 69.000 642.953
2 Chopped Strand Mat - lembar 0,261 4 26.000 27.144
3 Woven Roving - lembar 0,392 7 26.000 71.253
4 Mirror Glaze 0,250 1 90.000 22.500
5 PPA 0,250 1 80.000 20.000
B Pembuatan Cetakan Kayu
1 Papan Multipleks 1 1 180.000 180.000
2 Kayu Reng 0,25 1 15.000 3.750
3 Paku triplek 0,25 1 15.000 3.750
4 Dempul 0,02 1 50.000 1.000
C Biaya Tukang
1 Tukang Kayu (Cetakan) 1 1 100.000 100.000
2 Tukang Fiberglass 1 2 150.000 300.000
3 Finishing 1 1 75.000 75.000
Total Biaya Pembuatan Pintu Fiberglass (GFRP) 1.447.350
Keterangan : ini diluar biaya rangka pintu
Komponen biaya terbesar dalam pembuatan pintu GFRP adalah komposisi polymer/matrix dari fiberglass sebesar Rp. 642.953,-. Komponen ini akan semakin besar biayanya, apabila tebal dan dimensi luasan pintu semakin besar. Namun secara keseluruhan daun pintu alternatif ini masih mampu bersaing dengan pintu yang terbuat dari plat besi ataupun kayu. Harga plat besi dengan
tebal 5 mm saat ini sekitar Rp. 1.500.000,- dan ini belum ditambah biaya tukang dan besi siku untuk penguat pintu plat besi (frame). Jadi berdasarkan perhitungan analisa biaya pembuatan daun pintu ini, maka pintu GFRP dan GFRC layak dan bersaing dengan jenis bahan pintu yang lain.
5.4. Kalibrasi Pintu Air Rancangan
Untuk meningkatkan fungsi utama saluran irigasi untuk memberikan air secara tepat, akurat, dan fleksible seperti yang diungkapkan oleh Burt (1987) dalam Schuurmans et al. (1999). Pemberian harus tepat dan akurat, berarti irigasi diberikan harus tepat pada waktunya (saat dibutuhkan) dan akurat jumlah yang diberikan. Fleksibel, berarti dapat menyesuaikan dengan kebutuhan pengguna. Semua ini tentu bukanlah perkara yang mudah dikerjakan jika dilakukan secara manual. Oleh karena itu perlu masukan teknologi untuk melakukan pembagian air secara otomatis.
Otomatisasi irigasi di daerah irigasi teknis memerlukan prasarana pintu air dalam kondisi baik. Pintu air yang hanya berfungsi sebagai regulator, tentu sulit untuk menentukan besarnya air irigasi yang harus diberikan. Oleh karena itu perlu pintu air yang mampu mengatur sekaligus mengukur air (regulator and measurement).
Pada sub-bab ini coba dibahas mengenai study kalibrasi pintu air hasil rancangan, yaitu pintu air GFRP. Pintu ini dipilih dalam uji kalibrasi hidrolika aliran karena sifatnya yang lebih ringan bila dibandingkan dengan pintu hasil rancangan GFRC, sehingga apabila dilakukan otomatisasi ke depan akan memperingan kerja motor penggerak pintu tersebut. Selain itu, pintu GFRP sudah dilengkapi dengan tonjolan berupa ½ lingkaran yang diharapkan akan meningkatkan nilai koefisien pengaliran (Cd) dan koefisien kontraksi (Cc)
mendekati nilai 1. sehingga tingkat akurasi pengukuran menjadi lebih baik. Untuk mencapai hal tersebut, maka dilakukan pengujian hidrolika aliran air pada bawah pintu (undershot) menggunakan formula klasik yang dikembangkan oleh Rajaratnam dan Subramanya (1967) dan Swamee (1992).
Namun bedanya, pada penelitian sebelumnya mereka menggunakan pintu persegi (datar) dengan bahan terbuat dari besi.
Berdasarkan hasil pengujian menggunakan persamaan 6, 7, 8, dan 9 diperoleh hasil sebagai berikut :
Tabel 7. Kalibrasi Pintu Air GFRP Bentang 50 cm
w (mm)
Depth of Water (h) Cd Q (l/det)
hulu (mm) hilir (mm) 1 2 1 2 3 10 97 25 0,891 0,422 6,143 2,746 6,011 10 87 15 0,886 0,403 5,789 2,464 6,233 10 99 27 0,891 0,426 6,212 2,802 6,011 15 48 25 0,833 0,309 6,063 1,830 5,901 15 52 25 0,838 0,321 6,350 2,014 6,121 15 44 27 0,827 0,297 5,764 1,644 6,011 20 32 25 0,773 0,256 6,121 1,152 6,121 20 32 24 0,773 0,256 6,121 1,152 6,233 50 120 80 0,812 0,462 31,154 13,110 31,269 70 220 125 0,832 0,583 60,489 34,282 60,610 70 215 130 0,830 0,578 59,686 33,407 60,610 70 210 125 0,829 0,573 58,873 32,525 60,610 90 175 140 0,794 0,536 66,185 29,705 60,610 90 175 145 0,794 0,536 66,185 29,705 60,610 110 165 145 0,764 0,524 75,614 27,288 60,610 110 165 145 0,764 0,524 75,614 27,288 60,610
Keterangan : 1 ) Swamee Method (1992)
2 ) Rajaratnam and Subramanya Method (1967)
3 ) Kalibrator menggunakan ISO Standart Rehbock Weir
Pada Tabel 7 menunjukkan bahwa perhitungan nilai Cd dan prediksi debit
dengan persamaan yang dikembangkan Swamee (1992) diperoleh nilai Cd sebesar
0,761 – 0,891 (rata-rata sebesar 0,82) untuk bukaan pintu 1 – 11 cm. Hasil ini merupakan nilai yang sudah dioptimasi dengan nilai konstanta k0 = 15,00; k1 =
0,06; dan Cc = 0,95. Sedangkan pehitungan yang dilakukan dengan pendekatan
rumus yang dikembangkan oleh Rajaratnam dan Subramanya (1967) diperoleh nilai Cd yang lebih rendah (maksimum 0,580) dengan nilai Cc sebesar 1,08.
Tingkat akurasi pengukuran debit pintu GFRP dengan menggunakan pendekatan Metode Swamee lebih rasional, karena nilai prediksi debit aliran hampir mendekati dengan nilai kalibrator. Hal ini diperkuat dengan nilai indeks performansi, yaitu berupa perhitungan Root Mean Square Error (RMSE) dan Mean Absolut Percentage Error (MAPE).
Tabel 8. Indeks Performansi Masing
Indeks
MAPE
RMSE
Keterangan : *) RS : Rajaratnam and Subramanya
Tabel 8 menunjukkan bahwa n
5,44% jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode RS. Ini menunjukkan bahwa
nilai porsentase relative error
dengan bias error pengukuran sebesar 5,68 l/det. Menurut Clemmens (2003), nilai error pengukuran debit dalam kondisi aliran bebas (
umum sebesar + 5%, sedangkan untuk kondisi
lebih dari 50%. Oleh karena itu, maka hasil kalibrasi dan pengujian pintu GFRP
lebar 50 cm untuk kondisi aliran
Untuk memudahkan pengukuran dan pengaturan di tingkat lapangan dan keperluan otomatisas
rasio tinggi aliran di hulu pintu (h
pengalirannya (Cd). Pada Gambar 2
eksperimen untuk pintu GFRP tersebut memi
dengan Henry’s Nomogram untuk jenis aliran free flow
Gambar
. Indeks Performansi Masing-masing Metode
Formula Swamee Method
∑
= − N i i i i Y Y Y N 1 ~ 100∑
= − N i i i Y Y N 1 2 ~ 1 5,44% 5,68 l/det 174,16% 20,65 l/detKeterangan : *) RS : Rajaratnam and Subramanya
Tabel 8 menunjukkan bahwa nilai MAPE untuk metode Swamee sebesar 5,44% jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode RS. Ini menunjukkan bahwa
relative error Swamee lebih baik dibandingkan dengan RS pengukuran sebesar 5,68 l/det. Menurut Clemmens (2003), nilai error pengukuran debit dalam kondisi aliran bebas (free flow
5%, sedangkan untuk kondisi submerged flow (ter
lebih dari 50%. Oleh karena itu, maka hasil kalibrasi dan pengujian pintu GFRP untuk kondisi aliran free flow dapat diterima dan masuk akal.
Untuk memudahkan pengukuran dan pengaturan di tingkat lapangan dan keperluan otomatisasi pintu irigasi, maka perlu dibuatkan kurva hubungan antara rasio tinggi aliran di hulu pintu (h1) dan bukaan pintu (w) dengan koefisien
). Pada Gambar 26 terlihat bahwa kurva yang dihasilkan dari eksperimen untuk pintu GFRP tersebut memiliki karakteristik pola yang sama
Henry’s Nomogram yang dibuat oleh Henry (1950) dalam
free flow.
Gambar 26. Grafik Hubungan (h1/w) dengan Cd
RS* Method
174,16%
20,65 l/det
MAPE untuk metode Swamee sebesar 5,44% jauh lebih kecil dibandingkan dengan metode RS. Ini menunjukkan bahwa e lebih baik dibandingkan dengan RS,
pengukuran sebesar 5,68 l/det. Menurut Clemmens et al. free flow) secara
(tergenang) adalah
lebih dari 50%. Oleh karena itu, maka hasil kalibrasi dan pengujian pintu GFRP dapat diterima dan masuk akal.
Untuk memudahkan pengukuran dan pengaturan di tingkat lapangan dan i pintu irigasi, maka perlu dibuatkan kurva hubungan antara ) dan bukaan pintu (w) dengan koefisien kurva yang dihasilkan dari liki karakteristik pola yang sama dalam Toepfer (2007).
Berdasarkan hasil study kalibrasi pintu GFRP semakin memperkuat metode Swamee (1992) yang mengembangkan formulasi perhitungan debit aliran bawah pintu dari persamaan klasik yang diperfomansi menggunakan regresi non linier pada Nomogram Henry. Dan yang mengejutkan lagi adalah bahwa nilai konstanta k0 dan k1 yang ditetapkan Swamee hampir dikatakan bersesuaian
dengan nilai k0 dan k1 hasil eksperimen pada pintu GFRP, yaitu pada Swame
diperoleh nilai k0=15 dan k1=0,072. sedangkan hasil eksperimen pintu GFRP
menunjukkan hasil k0=15 dan k1=0.062.
Perbedaannya adalah bahwa temuan baru dari penelitian ini dengan menggunakan jenis pintu GFRP dengan tambahan tonjolan ½ lingkaran pada bagian bawah pintu mampu meningkatkan nilai Cd hampir mendekati nilai 1
dengan nilai Cc = 0,951, sedangkan Henry (1950), Rajaratnam dan Subramanya
(1967) dan Swamee (1992) mendekati nilai konstan pada nilai 0,611 dan nilai Cc
sebesar 0,61. Hal ini berbeda akibat jenis pintu, baik bahan pintu, bentuk desain pintu yang digunakan berbeda. Ini sesuai dengan pendapat yang dikemukakan oleh Lin et al., (2002), yang menyatakan bahwa nilai Cc akan bervariasi
tergantung dari besaran bukaan pintu, bentuk daun pintu yang digunakan, kedalaman aliran air di hulu dan jenis aliran.
Sehingga dengan dapat ditingkatkannya nilai koefisien Cd dan Cc hampir
mendekati nilai 1, maka pintu air GFRP memiliki tingkat akurasi pengukuran/prediksi debit yang baik. Maka pintu ini layak digunakan untuk pengaturan dan pengukuran air di dalam saluran. Dengan peningkatan akurasi pengukuran debit ini diharapkan jalan menuju otomatisasi pintu air irigasi dapat tewujud. Maka langkah selanjutnya adalah bagaimana agar pemberian air itu bisa tepat waktu dan fleksibel. Hal ini hanya mungkin dilakukan menggunakan otomatisasi. Pada sub-bab di bawah ini akan dibahas mengenai simulasi pengendalian muka air secara otomatis menggunakan teknik kendali fuzzy sederhana.
5.5. Pengedalian Muka Air dengan Sistem Kendali Fuzzy
5.5.1. Setting Parameter untuk Optimasi Pengendalian
Berdasarkan hasil uji pada kedua musim (hujan dan kemarau) diperoleh nilai IP yang minimum pada setiap musim tersebut. Dengan menggunakan bantuan fasilitas SOLVER dalam Ms. Excel, maka diperoleh nilai f1 dan f2
optimum yang dapat menghasilkan nilai IP yang minimum. Nilai parameter f1
dan f2 yang digunakan dalam sistem kendali muka air dengan logika fuzzy sebesar
0,85 dan 1,00 (Tabel 9). Selain itu, jumlah solenoid valve dan kapasitas debit yang digunakan mempengaruhi nilai IP.
Tabel 9. Nilai Parameter yang Optimum
Musim Parameter Kapasitas Aliran / Q (mm/hari - l/det/ha) Indeks Performansi f1 f2 Hujan Kemarau 0,83 0,87 1,00 1,00 5,56 (0,64) 6,60 (0,77) 10,62 6,21 Rata-rata 0,85 1,00 6,08 (0,70) 8,41
Jumlah solenoid valve (Um) yang digunakan untuk menghasilkan hasil yang optimum seperti pada Tabel 2, sebanyak 2 buah dengan diameter pipa yang digunakan untuk irigasi dan drainase sebesar 2” dan kapasitas aliran rata-rata yang digunakan sebesar 6,08 mm/hari (0,70 l/det/ha) baik pada saat Musim Hujan maupun Kemarau. Maka dengan menggunakan data Um tersebut dapat ditentukan berapa besarnya debit aliran (Q) yang harus dialirkan atau dibuang untuk mempertahankan level muka air sesuai dengan muka air rencana (set point).
Data parameter dari sistem kendali fuzzy tersebut selanjutnya digunakan untuk analisa neraca air yang digunakan dan keluar dari lahan padi sawah dengan pola SRI.
5.5.2. Kondisi Evapotranspirasi
Selama proses pengendalian muka air di lahan padi SRI, kondisi evapotranspirasi menggunakan data pada dua musim, yaitu musim hujan (MH) dan kemarau (MK), pada tahun 2009 di Bekasi (Gambar 27). Nilai evapotranspirasi yang terjadi pada musim hujan lebih rendah dibandingkan pada
musim kemarau. Rata
mm/hari (0,10 – 9,03) dan MK sebesar 5,52 mm/hari (2,17
dikarenakan jumah curah hujan yang terjadi selama musim tanam pada saat MH sebesar 1.610,6 mm, sedangkan MK dengan total hujan yang terjadi 131,6 mm.
Gambar 27. Evapotranspirasi pada Musim Hujan dan Kemarau di Bekasi
5.5.3. Limpasan Permukaan (
Komponen Run off
suatu waktu melebihi tanggul
dibuat sebesar 20 mm dari permukaan sawah, hal ini disebabkan tinggi genangan maksimum yang diharapkan, terutama untuk kebutuhan pengolahan lahan dan penyiangan gulma sekitar angka tersebut. Total r
musim hujan lebih besar dari pada musi
(Gambar 28). Hal ini sebanding dengan tingginya curah hujan yang terjadi pada
bulan Januari – April 2009.
Gambar 0.0 1.0 2.0 3.0 4.0 5.0 6.0 7.0 8.0 9.0 10.0 0 5 10 E T c ( m m /h a ri )
musim kemarau. Rata-rata evapotranspirasi yang terjadi pada MH sebesar 3,61 9,03) dan MK sebesar 5,52 mm/hari (2,17 –
dikarenakan jumah curah hujan yang terjadi selama musim tanam pada saat MH sebesar 1.610,6 mm, sedangkan MK dengan total hujan yang terjadi 131,6 mm.
. Evapotranspirasi pada Musim Hujan dan Kemarau di Bekasi .3. Limpasan Permukaan (Run off)
Run off diperhitungkan apabila genangan yang terjadi pada suatu waktu melebihi tanggul limpasan (HL) yang ada pada lahan.
sar 20 mm dari permukaan sawah, hal ini disebabkan tinggi genangan maksimum yang diharapkan, terutama untuk kebutuhan pengolahan lahan dan penyiangan gulma sekitar angka tersebut. Total run off yang terjadi pada saat musim hujan lebih besar dari pada musim kemarau, yaitu sebesar
). Hal ini sebanding dengan tingginya curah hujan yang terjadi pada April 2009.
Gambar 28. Run Off pada MH selama musim tanam
15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95
HST (hari)
MH (Jan-Apr) MK (Jun-Sept)
rata evapotranspirasi yang terjadi pada MH sebesar 3,61 – 9,04). Hal ini
dikarenakan jumah curah hujan yang terjadi selama musim tanam pada saat MH sebesar 1.610,6 mm, sedangkan MK dengan total hujan yang terjadi 131,6 mm.
. Evapotranspirasi pada Musim Hujan dan Kemarau di Bekasi
diperhitungkan apabila genangan yang terjadi pada (HL) yang ada pada lahan. HL di lahan sar 20 mm dari permukaan sawah, hal ini disebabkan tinggi genangan maksimum yang diharapkan, terutama untuk kebutuhan pengolahan lahan dan yang terjadi pada saat m kemarau, yaitu sebesar 964,32 mm
). Hal ini sebanding dengan tingginya curah hujan yang terjadi pada
. Run Off pada MH selama musim tanam
5.5.4. Pengendalian Level Muka Air
Pada waktu inisial, tanah seluruhnya jenuh dengan muka air seragam di semua titik sama dengan tinggi muka air di saluran yaitu 200 mm (saluran penuh) atau sejajar dengan permukaan tanah. Kemudian karena pada hari setelah tanam pertama kali diperlukan penggenangan air sedalam 5 mm, maka diperlukan irigasi untuk mencapai Hsp tersebut dan memenuhi
kebutuhan perkolasi dan evapotranspirasi yang terjadi pada waktu itu. Perubahan ini dideteksi terus menerus oleh sistem kendali sehingga sistem merespon dengan menyalakan solenoid valve irigasi untuk menjaga level muka air tetap pada setpoint yang direncanakan.
Kinerja pompa untuk mengendalikan muka air dapat dilihat pada laju irigasi dan drainase. Dimana solenoid valve yang digunakan untuk irigasi dan drainase dapat berfungsi dengan baik. Baik dalam irigasi dan drainase, solenoid valve dapat mati (tidak beroperasi) dan beroperasi dengan menghidupkan selenoid valve sebanyak 1 atau 2 buah, sesuai dengan keperlun untuk mempertahankan muka air sesuai dengan rencana. Debit maksimum untuk irigasi dan drainase pada saat musim hujan dan kemarau sebesar 13,2 mm/hari atau 1,5 l/det/ha. Pada Gambar 29 ditampilkan kondisi aktual level muka air yang terjadi di lahan pada saat MH dan MK dengan jumlah solenoid valve maksimum dua buah dan diameter 2”.
Kondisi level muka air dapat dipertahankan mendekati level 0 – 5 mm akan tetapi sistem kendali mengalami gangguan yang cukup besar dalam pengendalian muka air pada saat hujan terjadi. Tetapi hal tersebut dapat ditangani dengan baik dengan adanya tanggul limpasan. Sehingga kelebihan air dapat dibuang menjadi surface run off. Hal ini terbukti dengan tingginya surface run off yang terjadi pada saat musim hujan, yaitu sebesar 964,32 mm (Tabel 10) atau 43,93% dari total air yang diberikan (hujan dan irigasi).
Gambar 29. Kondisi Muka Air Hasil Pengendalian dengan Um=2 buah
Tabel 10. Neraca Air Selama Pengendalian dengan Logika Fuzzy
Komponen Musim Hujan Musim Kemarau
mm % mm % A. Inflow Hujan (Rainfall) 1.610,60 73,37 131,60 11,33 Irigasi 584,55 26,63 1.029,40 88,67 B. Outflow Perkolasi 520,00 23,69 520,00 44,79 Evapotranspirasi 375,50 17,11 577,01 49,70 Run Off 964,32 43,93 19,47 1,68 Drainase 367,01 16,72 74,66 6,43
Pada waktu 62 – 68 HST tedapat sedikit keanehan yang muncul, dimana meskipun dalam kondisi musim hujan, tetapi kondisi aktual muka air hasil
-60 -55 -50 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 HST (hari) G e n a n g a n ( m m ) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 H u ja n ( m m )
Rainfal Hsetpoint Hactual
W a te r L e v e l (m m ) H u ja n ( m m ) -50 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 HST (hari) G e n a n g a n ( m m ) 0 20 40 60 80 100 120 140 160 180 200 220 240 260 280 300 320 340 360 380 400 H u ja n ( m m )
Rainfal Hsetpoint Hactual
W a te r L e v e l (m m ) H u ja n ( m m ) Musim Hujan Musim Kemarau
pengendalian berada jauh di
mm (setpoint 5 mm)
pengendalian sudah tepat menjalankan aktuasi berupa
bekerja pada hari-hari tersebut
kondisi muka air belum mampu mencapai
solenoid valve yang digunakan lebih kecil bila dibandingkan dengan valve pada saat musim kemarau.
Apabila jumlah
dan kapasitas debit diperkecil menjadi 2,9 mm/hari
digunakan 1”. Adapun nilai parameter sistem sedikit memperbaiki kondisi tersebut
genangan pada 62-68 HST sebesar 3,3 mm
Gambar 30
Kondisi muka air hasil pengendalian pada musim kemarau sedikit lebih baik dengan kondisi aktual hampir mendekati kondisi yang direncanakan.
ada sedikit keanehan
sebesar 6,4 mm pada hari sebelumnya dan meningkatkan muka air di lahan sawah menjadi 15 mm, tetapi keesokan harinya (88 HST) kondisi muka air turun secara drastis menjadi jauh dibawah
turun hingga di bawah permukaan sedalam 5 mm. Hal ini diakibatkan kondisi sistem pengendalian fuzzy
(hujan), sehingga langsung menghidupkan
buah untuk bekerja membuang. Hal inilah yang telah mengakibatkan perubahan pengendalian berada jauh di bawah setpoint dengan rata-rata tinggi genangan 1,3
5 mm). Pada 62 – 68 HST tidak terjadi hujan pengendalian sudah tepat menjalankan aktuasi berupa solenoid valve
hari tersebut dengan jumlah solenoid valve maksimum
kondisi muka air belum mampu mencapai setpoint. Hal ini dikarenakan kapasitas yang digunakan lebih kecil bila dibandingkan dengan
pada saat musim kemarau.
jumlah solenoid valve dari sistem ini ditingkatkan menjadi 4 buah dan kapasitas debit diperkecil menjadi 2,9 mm/hari dengan diameter pipa yang
Adapun nilai parameter sistem f1 dan f2 tetap sama. H
sedikit memperbaiki kondisi tersebut (lihat Gambar 30). Dimana rata 68 HST sebesar 3,3 mm dari setpoint 5 mm.
30. Nilai Um Diperbesar dan QSolenoid valveDiperkecil
Kondisi muka air hasil pengendalian pada musim kemarau sedikit lebih baik dengan kondisi aktual hampir mendekati kondisi yang direncanakan.
pada hari ke-88 setelah tanam. Walaupun telah terjadi hujan sebesar 6,4 mm pada hari sebelumnya dan meningkatkan muka air di lahan sawah menjadi 15 mm, tetapi keesokan harinya (88 HST) kondisi muka air turun secara drastis menjadi jauh dibawah setpoint yang direncanakan bahkan kondisi muka air turun hingga di bawah permukaan sedalam 5 mm. Hal ini diakibatkan kondisi sistem pengendalian fuzzy yang cukup responsif terhadap perubahan lingkungan (hujan), sehingga langsung menghidupkan solenoid valve drainase
buah untuk bekerja membuang. Hal inilah yang telah mengakibatkan perubahan rata tinggi genangan 1,3 tidak terjadi hujan, dan sistem solenoid valve irigasi untuk
maksimum, tetapi
i dikarenakan kapasitas yang digunakan lebih kecil bila dibandingkan dengan solenoid
ditingkatkan menjadi 4 buah dengan diameter pipa yang tetap sama. Hal ini dapat
. Dimana rata-rata tinggi
Diperkecil
Kondisi muka air hasil pengendalian pada musim kemarau sedikit lebih baik dengan kondisi aktual hampir mendekati kondisi yang direncanakan. Namun
88 setelah tanam. Walaupun telah terjadi hujan sebesar 6,4 mm pada hari sebelumnya dan meningkatkan muka air di lahan sawah menjadi 15 mm, tetapi keesokan harinya (88 HST) kondisi muka air turun secara ang direncanakan bahkan kondisi muka air turun hingga di bawah permukaan sedalam 5 mm. Hal ini diakibatkan kondisi yang cukup responsif terhadap perubahan lingkungan drainase sebanyak 1
drastis yang terjadi pada 89 sampai 91 HST, dimana muka air berada di bawah permukaan tanah.
Jika melihat nilai porsentase drainase dari total inflow yang ada, pada musim kemarau memang relatif cukup kecil (6,43%). Apabila dalam sistem pengendalian muka air ini hanya menyalakan solenoid valve irigasi saja atau air akan hilang secara alamiah melalui evapotanspirasi, seepage, perkolasi, dan run off. Berdasarkan simulasi pengendalian muka air tanpa menggunakan solenoid valve drainase dan nilai parameter tetap sama seperti pada Tabel 7, menunjukkan hasil yang cukup baik dan dapat memperbaiki kejanggalan yang terdapat pada simulasi sebelumnya (Gambar 31).
Gambar 31. Pengendalian Level Muka Air tanpa Solenoid valve Drainase Respons sistem yang tidak dapat mencapai tepat pada level yang diinginkan, diakibatkan oleh keterbatasan sistem pada setting pengendalian ini. Ini terbukti dengan nilai kondisi Indeks Performansi (IP) yang ada. Indeks performansi dengan Root Mean Square Error diperoleh hasil kendali muka air untuk MH dan MK sebesar 10,62 dan 6,21 (lihat Tabel 9). Indeks performansi merupakan indikator yang menunjukkan akar dari total rata-rata dari kuadrat error yang terjadi selama pengendalian muka air (yaitu selama musim tanam). Nilai IP yang kecil atau minimum menunjukkan kinerja pengendalian yang hampir mendekati dengan setpoint muka air rencana.
Untuk mengoptimumkan nilai IP dari sistem pengendalian ini, dapat dilakukan dengan cara merubah kapasitas debit aliran dan jumlah (dari solenoid
-60 -55 -50 -45 -40 -35 -30 -25 -20 -15 -10-5 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50 55 60 65 70 75 80 85 90 95 100 HST (hari) G e n a n g a n ( m m ) 0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120 H u ja n ( m m )
Rainfal Hsetpoint Hactual
W at er L ev el ( m m ) H uj an ( m m ) HST (hari)
valve, pompa, atau jenis aktuator lainnya). Namun begitu, pemilihan kapasitas debit yang digunakan harus diperhitungkan secara matang, baik dari segi teknis dan ekonomi. Pada Tabel 11 menunjukkan beberapa alternatif pilihan penggunaan kapasitas debit, jumlah aktuator, diameter pipa yang digunakan, dan indikator nilai indeks performansi yang dihasilkan. Pada simulasi ini menggunakan nilai rata-rata penyetelan parameter sistem pada musim hujan dan kemarau, yaitu f1=0,85 dan f2=1,00. Berdasarkan hasil analisa dari sistem
simulasi ini menunjukkan bahwa dengan pemilihan kapasitas dan jumlah solenoid valve yang tepat dapat mengoptimumkan nilai IP dari sistem kedali ini. Penggunaan Q = 1,5 m3/jam sebanyak 4 buah dengan diameter pipa 1” terlihat menjadi pilihan yang sedikit lebih baik untuk diterapkan, baik pada MH dan MK.
Tabel 11. Hubungan Q, Um, dan IP.
Kapasitas Debit (Q) Um D
IP
mm/hari l/det/ha m3/jam (buah) (inchi)
Musim Hujan 6,5 0,75 2,7 2 2 11,26 6,0 0,70 2,5 2 2 10,97 5,5 0,64 2,3 2 2 10,75 5,0 0,58 2,1 2 2 11,51 4,0 0,46 1,7 3 1 10,97 3,5 0,41 1,5 3 1 11,40 3,0 0,35 1,3 3 1 11,64 3,0 0,35 1,3 4 1 10,97 2,5 0,29 1,0 4 1 11,51 2,0 0,23 0,8 4 1 11,81 Musim Kemarau 7,0 0,81 2,9 2 2 6,37 6,5 0,75 2,7 2 2 6,28 6,0 0,70 2,5 2 2 7,09 4,5 0,52 1,9 3 1 6,23 4,0 0,46 1,7 3 1 7,09 3,5 0,41 1,5 4 1 6,37 3,0 0,35 1,3 4 1 7,09
Walaupun demikian, sistem kendali ini masih mampu mempertahankan level muka air mendekati setpoint dengan maksimum tinggi muka air yang terjadi sebesar + 30 mm dari tinggi maksimum rencana 20 mm dari permukaan lahan. Adapun tinggi muka air yang berada di bawah permukaan lahan berkisar antara 1
– 35 mm di bawah permukaan lahan, dimana kondisi terbesar ini terjadi pada saat menjelang panen dan harus dikeringkan.
Secara umum dapat dilihat bahwa sistem kendali fuzzy sederhana ini dapat digunakan untuk pengendalian muka air pada lahan pertanian SRI. Akan tetapi kondisi lapang dan kemampuan sistem kendali akan membatasi kinerja sistem irigasi otomatis ini. Output dari kendali ini dapat juga dilakukan dengan menggunakan pintu air GFRP hasil rancangan dengan beberapa level bukaan pintu.
5.6. Peluang dan Tantangan Otomatisasi Irigasi
Berdasarkan hasil analisa kalibrasi pengujian hidrolika aliran air bawah pintu dan simulasi pengendalian muka air pada saluran di lahan sawah, menunjukkan ada sebuah tantangan dan peluang dalam pengembangan otomatisasi irigasi, khususnya di daerah irigasi teknis, yang luasnya mencapai 7,4 juta ha (KEPMEN PU NO 390/KPTS/M/2007).
Peluang dan tantangan ini terdapat pada tingkat lahan (field level). Tantangan yang dihadapi adalah bagaimana mengatur level muka air pada saluran agar dapat meningkatkan efisiensi irigasi. Tantangan ini dapat menjadi peluang untuk dapat mengembangkan sistem pengontrolan muka air secara otomatis. Salah satu perangkat dalam sistem ini adalah pintu air, yang berfungsi sebagai pengatur air yang akan masuk ke lahan. Namun apabila hanya berfungsi sebagai pengatur, ini akan menjadi kerja tambahan bagi sistem kendali muka air tersebut karena tidak diketahui berapa bukaan pintu yang harus dibuka dan berapa jumlah debit yang keluar, serta berapa lama. Oleh karena itu diperlukan sebuah pintu air yang dapat mengatur sekaligus mengukur, sehingga langkah menuju otomatisasi dapat berjalan dengan baik.
Pada penelitian ini telah dihasilkan pintu air dari bahan fiberglass yang dapat menjalankan kedua fungsi tersebut. Berikut ini adalah gambaran pintu air tersebut dengan spesifikasi debit aliran yang dihasilkan (Gambar 32). Pintu ini memiliki nilai koefisien kontraksi sebesar 0,951. Untuk dapat mengukur debit secara langsung dengan pintu ini diperlukan sebuah sensor tekanan (pressure
tansducer) untuk mengetahui tinggi muka air di bagian hulu pintu (h1) serta sensor
posisi pintu untuk mengetahui besarnya bukaan pintu (w). Kedua data ini akan dikirimkan menuju komputer sebagai masukan bagi sistem untuk mengetahui besarnya koefisien pengaliran yang terjadi pada saat itu (Cd) serta dapat langsung
menghitung debit yang terjadi pada saat itu juga. Perhitungan Cd dengan
persamaan 1 . . 0 1 1 k c d w k h w h C C + −
= ; dimana nilai koefisien Cc, k0, dan k1
bedasarkan hasil eksperimen adalah 0,951 , 15, dan 0,062. Kemudian pehitungan debit menggunakan persamaan Q =Cd .w.b. 2.g.h1 . Nilai Cd akan mendekati
nilai konstan pada nilai 0,951.
Gambar 32. Spesifikasi Pintu Air Glass Fiber Reinforced Plastic (GFRP)
Berikut ini adalah simulasi perhitungan debit pada pintu dengan lebar 50 cm dengan beberapa alternatif bukaan pintu dan kondisi muka air di hulu pintu (Tabel 12). Pada hasil simulasi pengendalian muka air dengan logika fuzzy, diketahui bahwa kebutuhan air selama masa pertumbuhan padi sawah adalah 1,5 l/det/ha. Jika suatu petak tersier memiliki luas areal sebesar 10 ha dengan efisiensi pengaliran air dalam saluran sebesar 70%, maka kebutuhan air yang harus disediakan pada bangunan bagi/sadap adalah 21,4 l/det. Pada Tabel 12 terdapat nilai debit sebesar 25,6 l/det dengan kondisi bukaan pintu sebesar 2 cm dan tinggi muka air hulu 40 cm.
0.0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 1.0 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 (h1/w) C d 062 , 0 00 , 15 95 , 0 . . 1 0 0 1 1 1 = = = + − = k k Cc w k h w h C C k c d 1 . . 2 . . .wb g h C Q= d
Free flow Condition
062 , 0 00 , 15 95 , 0 . . 1 0 0 1 1 1 = = = + − = k k Cc w k h w h C C k c d 1 . . 2 . . .wb gh C Q= d R= 10 cm
Dengan pintu ini diharapkan akan membantu mempercepat mengetahui debit aliran yang keluar dari pintu, sehingga diharapkan pemberian air dapat diberikan secara tepat dan peluang langkah menuju otomatisasi semakin mudah dan baik. Namun sayangnya, dalam penelitian ini baru menghasilkan spesifikasi debit aliran pada pintu untuk kondisi aliran free flow. Jadi ini merupakan tantangan selanjutnya untuk membuat nomogram atau persamaan untuk aliran submerged (tenggelam).
Tabel 12. Simulasi Perhitungan Debit Aliran dari Pintu GFRP
Tinggi Muka Air di Hulu (h1) Bukaan Pintu (w) Koefisien Pengaliran (Cd) Q (cm) (cm) (l/det) 1 0,930 13,0 2 0,915 25,6 3 0,902 37,9 40 5 0,882 61,8 10 0,847 118,7 15 0,821 172,4 20 0,797 223,3 1 0,932 13,8 2 0,918 27,3 3 0,906 40,4 45 5 0,887 65,9 10 0,854 126,9 15 0,829 184,7 20 0,807 239,9 1 0,934 14,6 2 0,920 28,8 3 0,909 42,7 50 5 0,892 69,8 10 0,860 134,6 15 0,836 196,4 20 0,816 255,5