• Tidak ada hasil yang ditemukan

REKAYASA HORMONAL PADA UDANG VANAME SELAMA 14 HARI SEBAGAI PENGGANTI TEKNIK ABLASI MATA DALAM USAHA PERCEPATAN PEMATANGAN GONAD

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REKAYASA HORMONAL PADA UDANG VANAME SELAMA 14 HARI SEBAGAI PENGGANTI TEKNIK ABLASI MATA DALAM USAHA PERCEPATAN PEMATANGAN GONAD"

Copied!
34
0
0

Teks penuh

(1)

i

REKAYASA HORMONAL PADA UDANG VANAME SELAMA

14 HARI SEBAGAI PENGGANTI TEKNIK ABLASI MATA

DALAM USAHA PERCEPATAN PEMATANGAN GONAD

ARDILA MAR’ATUN QONITAH

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

(2)
(3)

iii

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul: Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad, adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, 26 Juli 2013

Ardila Mar’atun Qonitah

(4)

ABSTRAK

ARDILA MAR’ATUN QONITAH. Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad. Dibimbing oleh AGUS OMAN SUDRAJAT dan HARTON ARFAH

Induksi pematangan gonad dengan ablasi tangkai mata merupakan teknik yang umum digunakan dalam produksi benih udang. Namun demikian teknik ablasi tangkai mata ditentang oleh pecinta binatang dengan isu dari animal

welfare. Dalam penelitian ini induksi hormonal bagi pematangan gonad dari

udang vanname telah dilakukan dalam upaya menggantikan teknik ablasi. Induksi hormonal dilakukan dengan menggunakan hormon pregnant mare serum

gonadotropin (PMSG), rekombinan growth hormon (rGH), dan antidopamin,

dimana diberikan melalui pakan selama 14 hari. Udang mendapat perlakukan berupa: A. 40 IU PMSG/kg udang + 0.01 mg antidopamin/kg udang; B. 80 IU PMSG/kg udang + 0.02 mg antidopamin/kg udang; C. 40 IU PMSG/kg udang + 0.01 mg antidopamin/kg udang + 0.1 mg rGH/kg udang; D. 80 IU PMSG/kg udang + 0.02 mg antidopamin/kg udang + 0.1 mg rGH/kg udang; E. Ablasi; dan F. Kontrol, dimana setiap perlakuan terdiri dari 15 udangan. Hasil menunjukkan bahwa udang yang diberi perlakuan B memberikan hasil terbaik diantara perlakuan hormon dimana udang dapat matang gonad mulai hari ke-14 dengan total udang yang matang gonad sebanyak 47% sampai dengan hari ke-28. Pada udang yang diberikan perlakuan C dan D cenderung memiliki fekunditas dan pertumbuhan bobot lebih tinggi daripada perlakuan hormon lainnnya. Namun udang yang diablasi mulai dapat matang gonad pada hari ke 7 dengan total udang matang gonad sebanyak 93%. Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot udang (P<0,05). Pemberian PMSG dan antidopamin dapat merangsang pematangan gonad udang. Penambahan rGH dalam kombinasi hormon PMSG dan antidopamin dapat meningkatkan fekunditas dan bobot induk udang. PMSG dan antidopamin dapat menjadi pengganti teknik ablasi dalam menginduksi pematangan gonad pada udang.

Kata kunci: pematangan gonad, hormon, ablasi, udang vaname.

ABSTRACT

ARDILA MAR’ATUN QONITAH. Hormonal manipulation of white shrimp for 14 days rearing as an alternative of eye ablation technique in acceleration gonadal maturation. Supervised by AGUS OMAN SUDRAJAT and HARTON ARFAH.

Induction of gonadal maturation with eyestalk ablation was commonly technique used in the production of shrimp seed. unfortunately, eyestalk ablation technique opposed by animal lovers with issues of animal welfare. In this research, hormonal induction for gonadal maturation of white shrimp was done as an effort to replace the ablation technique. Hormonal induction performed using hormonal

(5)

(rGH), and antidopamin, which was given through the diet for 14 days. Shrimp got a treat: A. 40 IU PMSG/kg shrimp + 0.01 mg antidopamin/kg shrimp; B. 80 IU PMSG/kg + 0.02 mg antidopamin shrimp/kg shrimp; C. 40 IU PMSG/kg shrimp + 0.01 mg antidopamin/kg shrimp + 0.1 mg rGH/kg shrimp; D. 80 IU PMSG/kg shrimp + 0.02 mg antidopamin/kg shrimp + 0.1 mg rGH / kg shrimp; E. Ablation; and F. Control, where each treatment consisted of 15 shrimp. Results showed that shrimp fed treatment B gave the best results among hormone treatments where shrimp can mature gonads from day 14 to the total shrimp mature gonads by 47% up to day 28. On shrimp given treatment C and D tend to have weight fecundity and growth hormone treatment was higher than other woods. However, ablated shrimp begin to mature gonads at day 7 with total shrimp mature gonads was 93%. Recombinant growth hormone has effect on the growth of shrimp weight (P<0.05). Giving PMSG and antidopamin can stimulate gonadal maturation of shrimp. The addition of the combination hormone rGH and

antidopamin PMSG can increase fecundity and weight of shrimp broodstock.

PMSG and antidopamin can be substitute ablation technique in inducing gonadal maturation in shrimp.

(6)

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan

pada

Departemen Budidaya Perairan

REKAYASA HORMONAL PADA UDANG VANAME SELAMA

14 HARI SEBAGAI PENGGANTI TEKNIK ABLASI MATA

DALAM USAHA PERCEPATAN PEMATANGAN GONAD

DEPARTEMEN BUDIDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR

2013

(7)

Judul Skripsi : Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname Selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad

Nama : Ardila Mar'atun Qonitah

NIM : C14090038

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Disetujui oleh

Df If Ac f t -rrum udraiat, MSc IT Harton ATfah, MS i

Pembimbing I Pembimbing II

(8)

Judul Skripsi : Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname Selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad

Nama : Ardila Mar’atun Qonitah

NIM : C14090038

Program Studi : Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya

Disetujui oleh

Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc Pembimbing I

Ir Harton Arfah, MSi Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Sukenda, MSc

Ketua Departemen Budidaya Perairan

(9)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah memberikan rahmat, nikmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname Selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad”. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret 2013 sampai Mei 2013 bertempat di Instalasi Pembenihan Udang Gelung, Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada:

1. Bapak Dr Ir Agus Oman Sudrajat, MSc selaku Pembimbing I dan Bapak Ir Harton Arfah, MSi selaku Pembimbing II yang telah banyak memberikan arahan, bimbingan, dan nasehatnya kepada penulis sampai menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Dr Munti Yuhana, SPi, MSi dan Ibu Dr Dinamella Wahjuningrum, SSi, MSi selaku dosen penguji, atas perbaikan dan masukannya terhadap penyempurnaan skripsi.

3. Ayahanda Suhardi, Ibunda Isti’anah, dan Adik Zakiyah Darajat Puteri H. serta keluarga besar yang telah memberikan semangat, doa dan dukungannya. 4. Bapak Ir Dwi Soeharmanto, MM selaku kepala Balai Budidaya Air Payau

(BBAP) Situbondo dan Bapak Ir Mohamad Afandi selaku koordinator Instansi Pembenihan Udang Gelung yang telah memberikan izin kepada penulis dalam melaksanakan penelitian di Situbondo.

5. Bapak Ir Heru Wibowo, MM dan Mas Wendy Tri Prabowo, SPi selaku Pembimbing Lapang, serta Mas Deni, Mas Mulyadi, Mas Rico, Pak Sugianto, Pak Imron, Pak Hadi, Bu Nur, yang telah membantu penulis melaksanakan penelitian di Situbondo.

6. Kakak-kakak Pramuka IPB (Andi, Wildan, Yudha, Diani, Agung, Lucy, Doni, Siti, dll ) atas semangat, doa dan dukungannya.

7. Hari Ramdani atas kerjasamanya, serta keluarga besar BDP 46 terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya.

Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.

Bogor, 26 Juli 2013

(10)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... iv DAFTAR LAMPIRAN ... iv PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Tujuan Penelitian ... 3 METODE ... 3

Waktu dan Tempat ... 3

Rancangan Percobaan ... 3

Pelaksanaan Penelitian ... 4

Parameter Pengamatan ... 5

HASIL DAN PEMBAHASAN ... 9

Hasil ... 9

Pembahasan ... 14

KESIMPULAN DAN SARAN ... 17

Kesimpulan ... 17

Saran ... 18

DAFTAR PUSTAKA ... 18

LAMPIRAN ... 20

(11)

DAFTAR TABEL

1. Rerata bobot tubuh udang dan pertumbuhan relatif udang vaname setelah

diberi perlakuan hormon, ablasi, dan kontrol ... 9

2. Jumlah induk udang vaname yang matang gonad udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi, dan kontrol ... 10

3. Tingkat pemijahan induk udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi, dan kontrol ... 11

4. Rerata jumlah telur dan derajat penetasan telur udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol ... 12

DAFTAR GAMBAR

1. Tahapan perkembangan histologi pada udang vaname ... 8

2. Tingkat kelangsungan hidup induk udang vaname selama 28 hari pemeliharaan pada wadah terkontrol ... 9

3. Pertumbuhan bobot rata-rata induk udang vaname selama 28 hari pemeliharaan ... 10

4. Histologi gonad minggu ke-2 ... 12

5. Histologi gonad minggu ke-4 ... 13

DAFTAR LAMPIRAN

1. Tahapan ablasi mata ... 20

2. Tahapan pencampuran bahan percobaan pada pakan ... 20

3. ANOVA dan uji Duncan Bobot tubuh (g) udang vaname hari ke-28 ... 20

(12)

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kegiatan budidaya udang di Indonesia terus dikembangkan karena permintaan konsumen dari waktu ke waktu mengalami peningkatan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar ekspor. Kebutuhan pasar dunia terhadap komoditas ini merupakan satu peluang potensial yang dimiliki oleh sumberdaya alam Indonesia untuk menambah nilai devisa negara dari sektor budidaya. Berdasarkan data statistik kelautan dan perikanan 2011, nilai ekspor udang pada tahun 2011 mengalami kenaikan rata-rata sebesar 8.94% dari 145092 ton pada tahun 2010 menjadi 158062 ton pada tahun 2011 (KKP 2012). Produksi udang tahun 2012 mengalami peningkatan hingga 32.87%, dari 400385 ton pada tahun 2011 menjadi 457600 ton pada tahun 2012. Pada tahun 2014, KKP menargetkan peningkatan produksi udang sebesar 200 ribu ton (KKP 2013).

Menurut Thomas (2012), ketersediaan benur udang berkualitas masih menjadi kendala utama karena pasokannya tidak tersedia secara berkelanjutan. Jaminan benur berkualitas akan menjaga daya saing harga udang Indonesia di pasar ekspor. Kebutuhan benur udang nasional tahun 2012 mencapai 4.2 miliar ekor. Pasokan benur selama ini hanya mengandalkan unit hatchery yang hanya berkembang di pulau Jawa dan Bali dengan total produksi minim sekitar 1.2 juta ekor per tahun. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan ketersediaan induk-induk udang yang matang gonad dengan kualitas telur yang baik. Namun teknologi reproduksi dalam pembenihan udang belum mengalami perkembangan yang signifikan.

Mekanisme dan peranan hormon pada proses reproduksi udang belum banyak diketahui. Pada umumnya prosedur yang sering diadopsi untuk induksi pematangan gonad yaitu ablasi. Ablasi adalah proses pemotongan pada tangkai mata yang memiliki fungsi neurohormonal karena adanya sistem kelenjar sinus organ X (Cooke dan Sullivan 1985). Organ X berfungsi menghasilkan hormon penghambat perkembangan dan pematangan gonad (gonad inhibiting

hormone/GIH) (Swetha et al. 2011). Jika organ X sudah tidak ada, maka organ Y

menjadi lebih aktif menghasilkan hormon perangsang pembentukan gonad (gonad

stimulating hormone/GSH) sehingga proses pematangan gonad dapat berlangsung

dengan cepat. Menurut Swetha et al. (2011), berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa ablasi dapat mempercepat proses pematangan ovarium pada krustasea.

Teknik ablasi cukup efektif dalam merangsang perkembangan gonad, tetapi penghilangan organ penghasil hormon akan mengganggu sistem endokrin dalam tubuh udang. Pemotongan salah satu tangkai mata menyebabkan kerusakan permanen pada mata dan menurunkan 50 % sintesis neurohormon oleh kelenjar sinus. Hal ini menyebabkan kemampuan udang untuk mengatur berbagai proses fisiologis tidak berjalan dengan baik (Huberman 2000). Selain itu, ablasi dapat mempengaruhi metabolisme lipid, metabolisme protein, metabolisme karbohidrat (Cooke dan Sullivan 1985), mempengaruhi respon kekebalan pada udang vanname (Hernández et al. 2008). Penggunaan teknik ablasi mata juga ditentang oleh kelompok pecinta binatang melalui isu animal welfare. Uni Eropa dan negara

(13)

2

maju lainnya sebagai importir terbesar dunia telah menjadikan isu animal welfare sebagai persyaratan dalam perdagangan komoditas perikanan (Amin 2012). Oleh sebab itu perlu diupayakan teknik rangsangan pematangan gonad yang lebih efektif dan produktif untuk mempercepat kematangan gonad udang tanpa ablasi .

Manipulasi lingkungan merupakan cara yang efektif dan murah dalam merangsang sekresi hormon untuk mempercepat kematangan gonad, tetapi karakter spesifik dari sinyal-sinyal lingkungan untuk merangsang perkembangan gonad dan pemijahan, tidak diketahui secara pasti. Pada beberapa studi reproduksi udang putih telah diketahui bahwa fotoperiodisitas dan temperatur berpengaruh terhadap kecepatan perkembangan gonad tetapi hasilnya belum cukup optimal. Alternatif lain yang diduga cukup efektif dalam mempercepat perkembangan gonad adalah dengan rangsangan hormonal (Tarsim et al. 2007).

Antidopamin adalah bahan kimia yang dapat menghentikan kerja dopamin, sedangkan dopamin merupakan neurotransmitter yang berperan dalam menghambat pematangan gonad udang (Chen dan Zhuang 2003). Penelitian penggunaan antidopamin dimaksudkan untuk mencegah produksi hormon GIH (gonad inhibiting hormone) yang berperan sebagai penghambat perkembangan kematangan gonad dan berlokasi di tangkai mata udang. Hormon gonadotropin (GtH) berperan untuk merangsang percepatan pertumbuhan gonad. Produksi hormon gonadotropin (GtH) dirangsang oleh Pregnant mare serum gonadotropin (PMSG) melalui terjadinya lonjakan kadar GnRH yang selanjutnya akan mempengaruhi pituitary. PMSG merupakan chorionic gonadotropin dari jenis kuda yang disekresikan oleh endometrium di rahim kuda hamil. Hormon ini adalah hormon yang kandungannya berupa folikel stimulating hormone (FSH) dan

luteinizing hormone (LH) dimana pengaruh FSH-nya lebih besar. Hormon ini

mampu merangsang pertumbuhan sel interstisial ovarium, pertumbuhan dan pemasakan folikel (Bolamba et al. 1992). Kerja FSH yang lebih dominan ini diharapkan dapat memperbesar peluang berlangsungnya pematangan gonad.

Menurut Yusuf (2011), penggunaan antidopamin dan hormon gonadotropin (GtH) dapat menjadi alternatif dalam mempercepat pematangan gonad. Namun persentase kematangan gonad hanya mencapai 35% lebih rendah dari perlakuan ablasi yaitu sebesar 65%. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan penelitian kembali untuk menentukan dosis dan lama waktu perlakuan yang tepat untuk menghasilkan presentase kematangan gonad yang lebih tinggi pada perlakuan hormon sehingga dapat menggantikan teknik ablasi.

Hormon pertumbuhan rekombinan (recombinant growth hormone, rGH) merupakan cDNA GH (growth hormone) dari ikan kerapu kertang yang diproduksi dengan bantuan mikroba, seperti Escherichia coli, Bacillus sp,

Streptomyces sp, dan Saccharomyces sp (Brown, 2006). Studi pustaka

sebelumnya menunjukkan bahwa rGH dapat diberikan melalui penyuntikan atau injeksi, oral melalui pakan, dan perendaman. Penggunaan rGH untuk memacu pertumbuhan ikan sudah banyak dilakukan. Menurut Acosta et al. (2009), hormon pertumbuhan di dalam tubuh memiliki berbagai peran di antaranya meningkatkan massa otot, meningkatkan sintesis protein, merangsang glukoneogenesis dalam hati, dan merangsang sistem imun. Selain itu menurut Sirotkin (2005) GH (growth

hormone) dapat digunakan untuk meningkatkan reproduksi (spermatogenesis dan

oogenesis, ovulasi, perkembangan embrio, dan kelangsungan hidup). Penggunaan rGH ini diharapkan dapat membantu mempercepat kematangan gonad serta

(14)

3 meningkatkan jumlah telur pada udang vaname yang dikombinasikan dengan hormon PMSG dan antidopamin.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk membandingkan efektivitas dalam mempercepat kematangan gonad udang vaname Litopanaeus vannamei menggunakan metode ablasi mata dan menggunakan kombinasi hormon PMSG, rGH serta antidopamin dengan dosis berbeda selama 14 hari perlakuan.

METODE

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei 2013 yang bertempat di Instalasi Pembenihan Udang Gelung, Balai Budidaya Air Payau (BBAP) Situbondo, Jawa Timur untuk pemeliharaan dan pemberian perlakuan pada udang vaname. Pengambilan data uji histologi gonad dilakukan di Laboratorium Histopatologi, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.

Materi Uji

Udang yang digunakan yaitu calon induk udang Vaname Nusantara 1 yang berasal dari Balai Budidaya Air Payau Situbondo. Penelitian menggunakan senyawa kimia antidopamin dimaksudkan untuk mencegah produksi hormon GIH yang berperan sebagai penghambat perkembangan kematangan gonad dan berlokasi di tangkai mata udang, sedangkan PMSG berperan untuk merangsang percepatan pertumbuhan gonad. Selain itu, penggunaan rGH berperan untuk membantu mempercepat pertumbuhan dan kematangan gonad. Pemberian kombinasi hormone PMSG dan rGH serta senyawa antidopamin ini dilakukan dengan menggunakan metode pencampuran ke dalam pakan.

Rancangan Percobaan

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimental, data diolah menggunakan Microsoft Excel 2007 dan program SPPS ver 16.0 for

Windows, kemudihan dibahas secara deskriptif. Terdapat 6 perlakuan dan 15

ulangan individu pada penelitian ini, yaitu :

- Perlakuan A : 40 IU PMSG/kg udang + 0.01 mg antidopamin/kg udang

- Perlakuan B : 80 IU PMSG/kg udang + 0.02 mg antidopamin/kg udang

- Perlakuan C : 40 IU PMSG/kg udang + 0.01 mg antidopamin/kg udang + 0.1 mg rGH/kg udang

- Perlakuan D : 80 IU PMSG/kg udang + 0.02 mg antidopamin/kg udang + 0.1 mg rGH /kg udang

(15)

4

- Perlakuan E : Ablasi mata

- Perlakuan F : Kontrol

Dosis antidopamin dan PMSG yang digunakan pada perlakuan A merupakan dosis yang diberikan ke udang vaname pada penelitian Yusuf (2011) dengan persentase kematangan gonad mencapai 35%, sedangkan perlakuan B merupakan 2 kali dosis yang diberikan ke udang vaname pada penelitian Yusuf (2011), diharapkan dengan penambahan dosis 2 kali dapat meningkatkan hasil presentase kematangan gonad pada udang vaname. Dosis rGH yang digunakan pada perlakuan C dan D merupakan dosis yang biasa diberikan pada ikan untuk memacu pertumbuhan somatik (Li et al. 2003).

Pelaksanaan Penelitian

Persiapan Wadah

Wadah yang digunakan berupa 6 buah bak beton ukuran 2 x 3 x 1.5 m. Sebelum digunakan bak terlebih dahulu disterilisasi menggunakan kaporit dengan dosis 100 ppm. Kaporit dilarutkan dalam air kemudian ditebar merata pada dinding, lantai dan daerah disekitar bak pemeliharaan. Setelah 24 jam, dinding bak dibersihkan dan dibilas dengan air tawar. Sterilisasi juga dilakukan pada peralatan lainnya seperti selang aerasi, batu aerasi, pipa inlet dan outlet. Bak yang telah disiapkan diisi air setinggi 40 cm dan diaerasi kuat selama 24 jam.

Pemilihan Calon Induk

Induk udang vaname yang digunakan bersal dari BBAP Situbondo yaitu Vaname Nusantara 1. Induk udang vaname betina yang digunakan sebanyak 90 ekor dan jantan sebanyak 30 ekor. Kriteria induk yang digunakan pada penelitian ini yaitu tubuh tidak cacat, warna cerah, organ tubuh lengkap dan normal, umur 7-8 bulan, ukuran induk betina dengan panjang > 17 cm dan berat >35 g sedangkan induk jantan panjang > 15 cm dan berat >30 g.

Aklimatisasi Induk

Aklimatisasi induk dilakukan selama 3 hari sebelum penelitian yaitu dengan cara mengadaptasikan induk di dalam wadah penelitian. Langkah ini perlu dilakukan agar udang yang akan digunakan untuk penelitian benar-benar dalam keadaan sehat dan nyaman di lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan kehidupannya. Hal ini penting untuk menghindari udang stres pada saat dilakukan penelitian.

Ablasi Mata

Ablasi ini dilakukan pada induk udang betina pada perlakuan E, dengan menggunakan gunting yang dipanaskan terlebih dahulu. Pemotongan salah satu tangkai mata dilakukan dengan hati-hati dengan prosedur detil seperti terdapat pada Lampiran 1. Induk udang yang sudah diablasi akan pulih setelah 3-7 hari dan sudah siap untuk dipijahkan

(16)

5

Pembuatan dan Pemberian Pakan Mengandung PMSG, Antidopamin, dan rGH

Pakan yang digunakan adalah pakan komersial berbentuk pelet dengan kadar protein sebesar 48%. Dosis hormon yang diberikan yaitu: 0.01 mg antidopamin/kg udang dan 40 IU PMSG/kg udang untuk perlakuan A; 0.02 mg antidopamin/kg udang dan 80 IU PMSG/kg udang untuk perlakuan B; 0.01 mg antidopamin/kg udang, 40 IU PMSG/kg udang dan 0.1 mg rGH/kg udang untuk perlakuan C; dan 0.02 mg antidopamin/kg udang, 80 IU PMSG/kg udang serta 0.1 mg rGH/kg udang untuk perlakuan D. Antidopamin, PMSG, dan rGH dengan dosis tersebut dilarutkan dengan larutan fisiologis dengan perbandingan 1:2, kemudian dicampur dengan telur ayam (binder) sebanyak 1 butir telur/kg pakan dan bahan tersebut dicampurkan ke pakan. Setelah itu pakan dikering anginkan dan dapat diberikan langsung ke udang (Lampiran 2). Pembuatan pakan ini dilakukan satu kali dalam seminggu dengan Feeding Rate (FR) yang berbeda setiap minggunya yaitu 5% pada minggu pertama dan 7% pada minggu ke dua. Pakan yang telah dibuat disimpan dalam ruangan yang dilengkapi dengan mesin pendingin. Pemberian pakan yang ditambah antidopamin, PMSG, dan rGH dilakukan selama dua minggu (14 hari). Pemberian pakan dilakukan empat kali dalam sehari dengan kombinasi pakan pelet yang telah ditambahkan hormon dan pakan alami (cacing laut). Pemberian pelet dilakukan pagi dan malam hari, sedangkan pemberian cacing laut dilakukan siang dan sore hari.

Pemeliharaan Induk

Induk yang diberi perlakuan dipelihara selama 28 hari (empat minggu) di dalam wadah percobaan. Air yang digunakan berasal dari laut yang sebelumnya telah dilakukan filterisasi. Pergantian air dilakukan setiap harinya pada pagi hari sebanyak 100%. Suhu pemeliharaan dijaga antara 28-30°C dan salinitasnya 31-33 ppt. Pemberian pakan dilakukan 4 kali sehari dengan kombinasi pakan pellet dan pakan alami (cacing laut). Pemberian pelet dilakukan pagi dan malam hari sebanyak 5-7% dari bobot badan udang, sedangkan pemberian cacing laut dilakukan siang dan sore sebanyak 15-20% dari bobot badan udang. Selain itu, air dalam wadah percobaan juga diberi aerasi untuk meningkatkan kadar O2.

Parameter Pengamatan

Kelangsungan Hidup Induk

Derajat kelangsungan hidup merupakan persentase jumlah ikan yang hidup dari jumlah seluruh ikan yang dipelihara dalam suatu wadah. Derajat kelangsungan hidup akan menentukan keberhasilan produksi dan erat kaitannya dengan jumlah larva yang dihasilkan.

Untuk mengetahui tingkat kelangsungan hidup ikan pada akhir penelitian, digunakan rumus sebagai berikut:

% 100   o t N N SR

Keterangan : SR = Survival Rate (%)

(17)

6

No = Jumlah ikan pada saat awal (ekor)

Pertumbuhan Bobot Rata-rata

Pertumbuhan bobot rata-rata dilakukan dengan sampling secara rutin 1 kali seminggu. Pengambilan data bobot dilakukan penimbangan induk udang ke dalam timbangan digital sehingga dapat diketahui bobotnya. Data bobot rata-rata diketahui dengan mengakumulasikan seluruh bobot udang dibagi jumlah udang yang di sampling.

Analisis Data Statistik untuk Bobot Udang pada Hari ke-28

Bobot udang pada hari ke-28 dianalisis dengan menggunakan program

SPPS ver 16.0 for Windows. Perbedaan antar perlakuan dapat diketahui melalui

hasil pengujian menggunakan uji F (sidik ragam) dengan selang kepercayaan 99 dan atau 95%. Apabila uji F memberikan hasil yang berbeda nyata, dapat dilanjutkan dengan uji Duncan.

Pertumbuhan Relatif

Pertumbuhan relatif dirumuskan sebagai persentase pertumbuhan pada setiap interval waktu atau perbedaan ukuran pada akhir interval dengan awal interval, rumus pertumbuhan relatif sebagai berikut :

%

100

Wo

Wo

Wt

PR

Keterangan : PR = Pertumbuhan Relatif Wt = Biomasa akhir (gram) Wo = Biomasa awal (gram)

Tingkat Kematangan Gonad

Tingkat kematangan gonad diperiksa secara rutin setiap hari selama empat minggu. Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari setelah dilakukannya pergantian air. Tingkat kematangan gonad dicatat selama percobaan dan diakumulasikan hingga akhir percobaan. Pemeriksaaan tingkat kematangan gonad dilakukan dengan cara melihat perkembangan warna dan tingkat ketebalan gonad pada punggung udang.

Tingkat kematangan gonad diukur berdasarkan perkembangan ovari, yang terletak dibagian punggung atau dorsal dari tubuh udang, mulai dari carapace sampai ke pangkal ekor (telson). Ovari tersebut berwarna kuning sampai kuning gelap makin matang ovari makin gelap warnanya dan tampak melebar serta berkembang kearah kepala (Carapace).

Tingkat Pemijahan

Pemijahan dilakukan dengan memindahkan induk betina yang telah matang gonad kedalam bak pemijahan yang didalamnya terdapat induk jantan. Tingkat pemijahan diperiksa 5-8 jam setelah induk betina dan jantan digabungkan. Persentase tingkat pemijahan dapat dihitung sebagai berikut.

(18)

7 Induk yang memijah

Tingkat Pemijahan = --- x 100% Total induk betina yang digabung

Jumlah Telur

Jumlah telur dari setiap ekor induk ditentukan atas dasar contoh sebanyak 1 liter dari media yang diambil acak 10 kali. Jumlah telur contoh dalam media dihitung untuk dijadikan dasar penentuan jumlah total telur yang dilepas hewan uji dengan rumus:

Bp

Jt = --- x Yt

Ps x Gc

Keterangan : Jt = Jumlah telur yang dihasilkan setiap ekor induk Bp = Volume air wadah pemijahan

Ps = Frekuensi pengambilan contoh telur

Gc = Volume air contoh gelas ukur yang dipergunakan dalam pengambilan contoh telur

Yt = Jumlah telur dari seluruh contoh

Derajat Penetasan Telur (hatching rate/HR)

Derajat penetasan telur adalah persentase jumlah embrio yang menetas (EM) dibandingkan jumlah telur yang dibuahi (TB). Perhitungan HR dilakukan setelah telur menetas secara keseluruhan, dan HR dihitung dengan rumus perhitungan sebagai berikut:

EM

HR = x 100%

TB

Histologi Gonad

Pengamatan histologi diperlukan untuk mengetahui pengaruh rangsangan hormonal terhadap perkembangan ovarium yang sedang mengalami proses pematangan gonad. Histologi adalah ilmu yang mempelajari anatomi pada tingkat jaringan dan sel suatu organisme. Terdapat beberapa tahap dari histologi, yaitu

fixation, decalcification, bleaching, embedding, sectioning, staining, dan mounting. Pengambilan sampel gonad dilakukan pada minggu ke-2 dan minggu

(19)

8

Berikut ini merupakan tahapan perkembangan histologi gonad pada udang menurut Arcos, et al (2011):

Gambar 1 Tahapan perkembangan histologi pada udang vaname, TKG I: Previtellogenesis (chromatin nucleolus oocyte (cn), early perinucleolus oocyte (epn), late perinucleolus oocyte (lpn)), TKG II:

Vitellogenesis Primer (oil globule oocyte (og), yolkless oocyte (yl),

nucleus (n), nucleoli (nc)), TKG III: Vitellogenesis Sekunder (follicle cells (fc), yolk granule oocyte (yg), prematurarion oocyte

(pm); cortical crypts (cc)), TKG IV: Pematangan (maturation oocyte (m))

(20)

9

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Kelangsungan Hidup Induk

Kelangsungan hidup udang vaname pada semua perlakuan dan kontrol adalah 100% hingga 28 hari pemeliharaan (Gambar 1), pengambilan sampel untuk histologi gonad dianggap hidup. Hal ini menunjukan bahwa proses adaptasi hingga akhir pemeliharaan induk udang vaname mampu hidup pada kondisi lingkungan terkontrol. Selain itu pemberian perlakuan hormon, ablasi mata maupun kontrol tidak mempengaruhi kelangsungan hidup induk udang vaname.

Gambar 2 Tingkat kelangsungan hidup induk udang vaname selama 28 hari pemeliharaan pada wadah terkontrol

Rerata Bobot Tubuh dan Pertumbuhan Relatif Udang Vaname

Rerata bobot tubuh udang paling tinggi di akhir pemeliharaan terdapat pada perlakuan D (0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH) yaitu 45.07 g. Perlakuan D berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol, sedangkan perlakuan lainnya (A,B,C, dan E) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kontrol. Pertumbahan relatif tertinggi yaitu pada perlakuan C (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH) sebesar 22.28%, sedangkan pertumbuhan relatif terendah yaitu pada perlakuan E (ablasi) 7.31% (Tabel 1 dan Gambar 3). Hal ini menunjukan bahwa perlakuan D dan C dengan penambahan 0.1 mg rGH dapat meningkatkan rerata bobot tubuh dan memiliki nilai pertumbuhan relatif tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lainnya.

Tabel 1 Rerata bobot tubuh dan pertumbuhan relatif udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol

Perlakuan Rerata bobot tubuh hari ke-0* Rerata bobot tubuh hari ke-28* Pertumbuhan Relatif (%) (0.01 AD/40 PMSG) 38.80 ± 5.48 42.33 ± 4.27ab 9.11 (0.02 AD/80 PMSG) 38.80 ± 4.90 43.33 ± 4.86ab 11.68 (0.01 AD/40 PMSG/0.1 rGH) 35.60 ± 3.27 43.53 ± 2.20ab 22.28 (0.02 AD/80 PMSG/0.1 rGH) 39.20 ± 4.51 45.07 ± 4.13b 14.97 (Ablasi mata) 39.95 ± 4.01 42.89 ± 3.07ab 7.31 (Kontrol) 38.12 ± 6.57 41.27 ± 4.74a 8.25

* Nilai yang tertera merupakan rata-rata bobot tubuh ± standar deviasi; Huruf di belakang standar deviasi yang berbeda dalam baris menunjukkan perbedaan nyata (p<0.05).

0 20 40 60 80 100 120 A B C D E F K e lan gsu n gan h id u p (% ) Perlakuan

(21)

10

Gambar 3 Pertumbuhan bobot rata-rata induk udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol. Perlakuan A: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG; B: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG; C: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH; D: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH; E: Ablasi mata; F : Kontrol.

Jumlah Udang Matang Gonad

Jumlah induk udang vaname yang matang gonad hingga akhir pemeliharaan disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Jumlah induk udang vaname yang matang gonad setelah diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol.

Perlakuan

Jumlah Akumulasi Induk Udang Vaname Matang Gonad (hari ke-) Jumlah Total dan Persentase 0 7 14 21 28 A 0 0 2 5 6 6 (40%) B 0 0 5 5 7 7 (47%) C 0 0 0 2 4 4 (27%) D 0 0 0 0 2 2 (13%) E 0 2 7 11 14 14 (93%) F 0 0 0 0 1 1 (7%)

Keterangan: jumlah total udang setiap perlakuan masing-masing sebanyak 15 ekor. Perlakuan A: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG; B: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG; C: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH; D: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH; E: Ablasi mata; F : Kontrol.

Berdasarkan tabel tersebut, Jumlah induk yang matang gonad mulai berkembang setelah 1 minggu perlakuan yaitu pada perlakuan ablasi sebanyak 2 ekor. Hal ini dibuktikan berdasarkan perkembangan ovari, yang terletak dibagian

35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46

Hari ke-0 Hari ke-7 Hari ke-14 Hari ke-21 Hari ke-28

B o b o t (g) Sampling A B C D E F

(22)

11 punggung atau dorsal dari tubuh udang, mulai dari carapace sampai ke pangkal ekor (telson). Jumlah udang yang paling banyak matang gonad hingga akhir pemeliharaan berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi sebanyak 14 ekor, sedangkan udang yang tidak diberi perlakuan hanya 1 ekor. Keberhasilan dalam percepatan kematangan gonad paling tinggi berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi yaitu sebesar 93%.

Peningkatan dosis antidopamin dan hormon PMSG meningkatkan jumlah udang matang gonad seperti ditunjukkan pada perlakuan B dibandingkan dengan A. Pada perlakuan B di minggu ke 2 terjadi peningkatan jumlah induk yang matang gonad yaitu sebanyak 5 ekor, sedangkan pada perlakuan A hanya 2 ekor. Penambahan 0.1 mg rGH meningkatkan jumlah udang matang gonad (perlakuan C), tetapi peningkatan dosis antidopamin dan ditambah dengan rGH tidak menyebabkan peningkatan jumlah udang matang gonad (perlakuan D). Hal ini terlihat pada perlakuan C dan D di akhir pemeliharaan jumlah induk yang matang gonad pada perlakuan C sebanyak 4 ekor, lebih tinggi dari perlakuan D yang hanya 2 ekor. Induk yang matang gonad pada perlakuan C dan D baru terlihat pada minggu ke-3 dan ke-4. Presentase keberhasilan udang yang diberi perlakuan hormon paling tinggi yaitu pada perlakuan B sebesar 47%. Udang yang tidak diberi perlakuan memiliki keberhasilan paling rendah yaitu sebesar 7%.

Tingkat Pemijahan

Tingkat keberhasilan pemijahan hingga akhir pemeliharaan disajikan pada tabel 3. Keberhasilan pemijahan paling tinggi berasal dari udang yang diberi perlakuan ablasi yaitu sebesar 71 %, sedangkan keberhasilan yang diberi perlakuan hormon paling tinggi yaitu pada perlakuan B sebesar 57%. Udang yang tidak diberi perlakuan atau kontrol memiliki keberhasilan paling rendah yaitu sebesar 0% (tidak ada yang memijah). Tingkat keberhasilan perlakuan hormon yaitu mencapai 80% dibandingkan dengan perlakuan ablasi.

Tabel 3 Tingkat pemijahan induk udang vaname setelah diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol.

Perlakuan Matang Gonad (ekor)

Memijah

(ekor) Persentase Pemijahan (%)

A 6 3 50% B 7 4 57% C 4 2 50% D 2 1 50% E 14 10 71% F 1 0 0

Keterangan: Perlakuan A: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG; B: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG; C: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH; D: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH; E: Ablasi mata; F : Kontrol.

Jumlah Telur dan Derajat Penetasan Telur (hatching rate/HR)

Jumlah telur atau fekunditas induk, jumlah naupli dan derajat penetasan telur udang vaname disajikan pada Taabel 4. Udang yang diberi perlakuan ablasi memiliki fekunditas telur dan derajat penetasan telur yang lebih tinggi

(23)

12

dibandingkan dengan perlakuan lainnya. Rerata jumlah telur udang perlakuan ablasi adalah 96000 ± 2000 butir dengan derajat penetasan telur sebesar 50%. Jumlah rerata telur udang yang terbanyak pada perlakuan hormon adalah perlakuan D, yaitu sebesar 82000 butir dengan derajat penetasan telur sebesar 43%. Udang yang tidak diberi perlakuan (kontrol) tidak diketahui jumlah fekunditasnya karena tidak ada induk yang memijah. Tingkat keberhasilan perlakuan hormon yaitu mencapai 86% dibandingkan dengan perlakuan ablasi. Tabel 4 Rerata jumlah telur dan derajat penetasan telur udang vaname setelah

diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol.

Perlakuan n Rerata Jumlah Telur Rerata Jumlah Naupli HR

A 3 63000 ± 2646 20590 ± 1496 33 B 3 68000 ± 2000 23360 ± 1412 34 C 2 74000 ± 1414 31100 ± 2687 42 D 1 82000 35000 43 E 3 96000 ± 2000 47700 ± 2444 50 F 0 0 0 0

Keterangan: Perlakuan A: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG; B: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG; C: 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH; D: 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH; E: Ablasi mata; F : Kontrol.

Histologi Gonad

Berdasarkan uji histologi yang dilakukan pada minggu ke-2 (gambar 4) diketahui bahwa perlakuan abalasi (E) dan perlakuan kombinasi hormon (A dan B) telah berkembang hingga TKG III. Sedangkan uji histologi pada minggu ke-4 (gambar 5) diketahui bahwa semua perlakuan hormon maupun ablasi telah mencapai TKG IV. Udang yang tidak diberi perlakuan (kontrol) gonadnya baru mencapai TKG II pada minggu ke-4 masa pemeliharaan.

(24)

13

Gambar 4 Histologi gonad minggu ke-2, nucleus (n); nucleoli (nc); prematurarion oocyte (pm); cortical crypts (cc); maturation oocyte (m); A (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG); B (0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG); E (Ablasi mata)

(25)

14

Gambar 5 Histologi gonad minggu ke-4, nucleus (n); nucleoli (nc); follicle cells (fc); cortical crypts (cc); yolkless oocyte (yl); maturation oocyte (m); A (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG); B (0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG); C (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH); D (0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH); E (Ablasi mata); F (Kontrol).

Pembahasan

Udang Vannamei (Litopenaeus vannamei) pada penelitian ini memiliki tingkat kelangsungan hidup 100% pada semua perlakuan dengan waktu pemeliharaan 28 hari. Hal ini menunjukkan bahwa udang vaname mampu bertahan hidup di lingkungan terkontrol dan memiliki tingkat stress yang rendah. Selain itu pemberian perlakuan hormon, ablasi mata maupun kontrol tidak mempengaruhi kelangsungan hidup induk udang vaname. Kuantitas dan kualitas produksi benih udang vaname di hatchery bergantung kepada kualitas induk. Menurut Subaidah et al. (2008), kriteria induk yang baik antara lain, umur 7-8 bulan, ukuran induk untuk udang vanname betina > 18 cm/40 g dan jantan > 17 cm/35 g, tubuh tidak cacat, warna cerah, organ tubuh lengkap dan normal, disamping kriteria-kriteria tersebut kualitas media pemeliharaan dan pakan, juga harus mendukung dalam proses pematangan gonad dan perkawinan. Induk betina yang digunakan pada penelitian ini mempunyai panjang awal 17-19 cm dan bobot 35-40 g.

Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa rerata bobot tubuh udang paling tinggi di akhir pemeliharaan terdapat pada perlakuan D yaitu 45.07 g. Perlakuan D merupakan kombinasi dari 0.02 mg Antidopamin, 80 IU PMSG, dan 0.1 mg rGH g. Perlakuan D berbeda nyata (P<0.05) terhadap kontrol, sedangkan perlakuan lainnya (A,B,C, dan E) tidak berbeda nyata (P>0.05) terhadap kontrol. Pertumbahan relatif tertinggi yaitu pada perlakuan C (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH) sebesar 22.28%, sedangkan pertumbuhan relatif terendah yaitu pada perlakuan E (ablasi) 7.31%. Bertambahnya bobot udang selain dipengaruhi oleh faktor adaptasi udang terhadap lingkungan baru, juga

(26)

15 dipengaruhi jenis pakan yang diberikan. Pemberian pellet pada penelitian ini diselingi pakan segar yang berupa cacing laut dilakukan selama 28 hari pada masa pemeliharaan. Menurut Aquacop (1975), kombinasi pakan segar dan pakan buatan lebih efektif dibandingkan pemberian satu jenis pakan maupun kombinasi pakan alami saja. Penambahan rGH pada perlakuan D dan C juga diduga mempengaruhi peningkatan bobot pertumbuhan. GH berpartisipasi dalam hampir semua proses fisiologis utama dalam tubuh termasuk pertumbuhan dan fungsi kekebalan tubuh (Reinecke et al. 2005).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada penelitian ini, perlakuan ablasi dapat mempercepat kematangan gonad lebih awal daripada perlakuan hormon dan kontrol. Julmah udang yang matang gonad pada perlakuan ablasi mencapai 14 ekor dengan persentase keberhasilan 93%. Selain itu persentase keberhasilan pemijahannya pada perlakuan ablasi mencapai 71 % serta memiliki jumlah telur terbanyak yaitu 96000 ± 2000 butir dengan derajat penetasan telurnya mencapai 50%. Hal ini dikarenakan organ-x yang berperan sebagai penghambat dalam perkembangan gonad telah dihilangkan dengan memotong salah satu tangkai mata udang.

Menurut Huberman (2000), organ-X pada tangkai mata udang bekerja menghasilkan hormon GIH (Gonad Inhibiting Hormone) dan MOIH (Mandibular

Organ Inhibiting Hormone). Hormon GIH mempunyai peranan dalam

pematangan gonad baik jantan dan betina, hal ini dikarenakan GIH merupakan hormon yang bekerja menghambat perkembangan gonad. Sama halnya dengan hormon MOIH yang berfungsi untuk menghambat proses sintesis methyl

farnesoate (MF) oleh organ mandibular. MF tersebut memiliki peranan penting

dalam reproduksi udang terutama dalam perkembangan gonad. Pengaruh hormon GIH maupun MOIH sangat dominan pada udang sehingga dapat menghambat perkembangan gonad. Hilangnya organ-X pada udang membuat proses perkembangan gonad menjadi lebih efektif sehingga proses pematangan gonad dapat berlangsung dengan cepat.

Selain teknik ablasi mata pada penelitian ini juga dilakukan teknik percepatan kematangan gonad dengan menggunakan hormon. Hormon yang digunakan adalah kombinasi dari antidopamin, hormon PMSG dan rGH. Perlakuan hormon yang paling cepat dan banyak matang gonad yaitu pada perlakuan kombinasi 0.02 mg Antidopamin dan 80 IU PMSG. Induk udang yang matang gonad pada perlakuan ini terlihat pada minggu ke-2 sebanyak 5 ekor dan total induk yang matang gonad sampai minggu ke-4 mencapi 7 ekor, sehingga tingkat keberhasilan induk yang matang gonad pada perlakuan tersebut mencapai 50% dibandingkan dengan perlakuan ablasi. Sedangkan pada perlakuan tanpa pemberian hormon dan ablasi (kontrol) hanya terdapat 1 ekor udang yang matang gonad dengan persentase keberhasilan sebesar 7 %.

Hal ini menunjukkan bahwa pemberian hormon dapat mempengaruhi percepatan pematangan gonad pada udang vaname walaupun hasil yang diperoleh hanya 50% dari perlakuan ablasi. Peningkatan dosis 0.02 mg antidopamin dan 80 IU PMSG menunjukkan hasil yang lebih baik daripada perlakuan 0.01 mg antidopamin dan 40 IU PMSG (Perlakuan A). Hasil ini juga lebih baik jika dibandingkan penelitian sebelumnya, bahwa penggunaan 0.01 mg antidopamin dan 40 IU hormon gonadotropin (GtH) dapat mempercepat kematangan gonad 35 % (Yusuf 2011). Menurut Ismail (1991) rendahnya tingkat kematangan gonad

(27)

16

yang dicapai dimungkinkan akibat dosis pemberian hormon kurang atau lama waktu yang diperlukan untuk mencapai tingkat kematangan lanjut masih sangat singkat.

Peningkatan dosis antidopamin, PMSG, dan rGH tidak menyebabkan peningkatan jumlah udang matang gonad (perlakuan D). Hal ini terlihat pada perlakuan C (0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH) lebih tinggi dibandingkan dengan perlakuan D (0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH) di akhir pemeliharaan. Jumlah induk yang matang gonad pada perlakuan C sebanyak 4 ekor dengan persentase keberhasilan 29% lebih rendah dari perlakuan ablasi dan pada perlakuan D jumlah induk yang matang gonad hanya 2 ekor. Pengaruh rGH pada penelitian ini baru terlihat pada minggu ke-3 sampai puncaknya pada minggu ke-4. Hal ini didukung oleh hasil penelitian Nisa (2012), bahwa penggunaan rGH kerapu kertang dapat meningkatkan pertumbuhan benih ikan betok pada selang minggu ke-3 dan minggu ke-4.

Berdasarkan hasil jumlah telur dan derajat penetasan telur induk udang vaname pada perlakuan hormon, peningkatan dosis antidopamin, PMSG, dan rGH berpengaruh terhadap peningkatan jumlah telur dan derajat penetasan telur induk udang vaname. Hal ini dibuktikan pada perlakuan 0.02 mg Antidopamin + 80 IU PMSG + 0.1 mg rGH memiliki jumlah telur lebih banyak yaitu 82000 butir dengan derajat penetasan telur 43%. Sedangkan perlakuan 0.01 mg Antidopamin + 40 IU PMSG + 0.1 mg rGH memiliki jumlah telur sebanyak 74000 ± 1414 butir dengan derajat penetasan telur 42%. Perlakuan hormon dengan penambahan rGH (perlakuan C dan D) memberikan hasil jumlah telur dan derajat penetasan telur yang cukup baik setelah perlakuan ablasi. Tingkat keberhasilan perlakuan hormon yaitu mencapai 86% dibandingkan dengan perlakuan ablasi. Hasil tersebut memberikan pengaruh bahwa penambahan rGH pada kombinasi hormon PMSG dan antidopamin dapat meningkatkan bobot, jumlah telur dan derajat penetasan telur pada udang vaname. Menurut Sirotkin (2005) GH dapat digunakan untuk meningkatkan reproduksi yaitu pada proses spermatogenesis dan oogenesis, ovulasi, pengembangan embrio, dan kelangsungan hidup.

Perlakuan kombinasi antidopamin dan hormon PMSG yaitu perlakuan A dan B hanya diperoleh jumlah telur 63000 ± 2646 butir (derajat penetasan telur 33%) dan 68000 ± 2000 butir (derajat penetasan telur 34%). Rendahnya derajat penetasan pada perlakuan A dan B dimungkinkan akibat kualitas sperma dan kemampuan penempelan pada telikum serta media penetasan (suhu dan salinitas). Beberapa kegagalan yang mungkin terjadi adalah tidak terjadinya pembuahan yang disebabkan induk betina belum matang telur atau rusaknya spermatofor (Motoh 1981 dalam Bijaksana 2010).

Berdasarkan uji histologi yang dilakukan pada minggu ke-2 (gambar 6) diketahui bahwa perlakuan abalasi dan perlakuan kombinasi antidopamin dan hormon PMSG telah berkembang hingga TKG III yaitu tahap vitologenesis sekunder. Tahap ini ditandai dengan masih terdapat nucleus, prematurarion

oocyte , dan cortical crypts (Arcos, et al. 2011). Sedangkan uji histologi pada

minggu ke-4 (gambar 7) udang yang diablasi dan perlakuan hormon telah mencapai TKG IV yaitu tahap pematangan. Menurut Arcos, et al. (2011) pada tahap pematangan ditandai dengan adanya maturation oocyte dan cortical crypts. Munculnya maturation oocyte ditandai dengan mulai meleburnya nucleus dan beberapa sudah tidak tampak lagi, sedangkan penampakan cortical crypts

(28)

17 berbentuk blok-blok di bagian porifer dari sitoplasma dan mengandung akumulasi butiran kuning telur yang tersebar di seluruh sitoplasma (Yano 1988). Uji histologi pada perlakuan kontrol di minggu ke-4 hanya mencapai TKG II yaitu vitologenesis primer yang ditandai dengan adanya nucleus, follicle cells, dan

yolkless oocyte (Arcos, et al. 2011).

Pemberian hormon pada penelitian ini memberikan pengaruh positif terhadap percepatan kematangan gonad udang vaname. Hal ini membuktikan bahwa kombinasi hormon yang diberikan saling melengkapi dalam usaha pematangan gonad. Dopamin menghambat pematangan gonad dengan menstimulasi sekresi hormon penghambat perkembangan gonad (GIH) (Chen dan Zhuang 2003). Pengaruh antidopamin yang diberikan pada perlakuan berperan untuk memblok kerja dopamin sehingga dapat menstimulasi sekresi gonadotropin dalam proses pematangan gonad. Gonadotropin yang dihasilkan akan menuju gonad dan akan mempercepat terjadinya pematangan oosit. Menurut Rebers et al. (2002) struktur kimia PMSG mirip dengan FSH dan LH, akan tetapi kadar FSH lebih besar dari LH. Berdasarkan hasil penelitian Żukowska dan Arendarczyk (1981) efek FSH dan LH yang terkandung dalam GtH pada shrimp Crangon

crangon yaitu untuk merangsang ovarium. FSH menyebabkan pertumbuhan

jumlah sel somatik dari ovarium dan LH berperan pada meiosis dalam sel kelamin. Penambahan rGH pada perlakuan C dan D yaitu dengan penambahan rGH, juga sangat berpengaruh dalam reproduksi walaupun baru terlihat pada minggu ke-3 dan ke-4. Menurut Reinecke et al. (2005), GH berpartisipasi dalam hampir semua proses fisiologis utama dalam tubuh termasuk reproduksi.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Pemberian hormon selama 14 hari dapat memberikan pengaruh positif terhadap percepatan kematangan gonad udang vaname. Kombinasi hormon 80 IU PMSG dan 0.02 mg antidopamin memperlihatkan hasil percepatan kematangan gonad dan persentase pemijahan yang paling baik di antara perlakuan hormon lainnya. Jumlah udang yang matang gonad pada kombinasi hormon 80 IU PMSG dan 0.02 mg antidopamin sebanyak 7 ekor. Tingkat keberhasilan perlakuan hormon untuk percepatan pematangan gonad yaitu mencapai 50% dan keberhasilan pemijahan mencapai 80% dibandingkan dengan perlakuan ablasi. Pemberian hormon pertumbuhan rekombinan berpengaruh terhadap pertumbuhan bobot udang (P<0,05). Selain itu kinerja penambahan rGH dibandingkan dengan perlakuan ablasi menunjukkan hasil jumlah telur (fekunditas) dan derajat penetasan telur mencapai 86% dari performance ablasi. Pemberian hormon PMSG, rGH, dan antidopamin dapat menginduksi pematangan gonad pada udang vanname.

(29)

18

Saran

Penggunaan kombinasi hormon GtH dan antidopamin serta hormon PMSG, rGH, dan antidopamin dapat digunakan sebagai alternatif ablasi untuk penyediaan induk matang gonad guna menghasilkan benih udang vaname. Oleh karena itu disarankan perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk menentukan dosis optimal antidopamin, PMSG dan rGH sehingga dapat menggantikan teknik ablasi mata.

DAFTAR PUSTAKA

AcostaJ, EstradaM P, CarpioY, RuizO, MoralesR, MartínezE, ValdésJ, Borroto C, BesadaB, SánchezA et al. 2009. Tilapia somatotropin polypeptides: potent enhanchers of fish growth and innate immunity. Biotecnologia

Aplicada. 26:267-272.

Amin R. 2012. Market Brief Produk Pasar Ikan Hias di Hongaria. Indonesia Trade Promotion Center. Hungary: Budapest.

Aquacop. 1975 . Maturation And Spawning in Captivity of Penaeid Shrimp:

Penaeus merguiensis de Man, Penaeus japonicus Bate, Penaeus aztecus

Ives, Metapenaeus ensis de Hann, and Penaeüs semisu1catus de Haan. Proc. World Maricul. Soc. 6: 123-132.

Arcos F G, Ibarra A M , Racotta L S. 2011. Vitellogenin in hemolymph predicts gonad maturity in adult female Litopenaeus (Penaeus) vannamei shrimp. Aquaculture. 316: 93-98.

Bijaksana U. 2010. Kajian Fisiologi Reproduksi Ikan Gabus, Channa striata Blkr Di Dalam Wadah dan Perairan Rawa Sebagai Upaya Domestikasi [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Bolamba D, Matton P, Estrada R, Dufour J J. 1992. Effect of Pregnant Mare Serum Gonadotropin on follicular population and ovulation rates in prepubertal gilts with two morphologically different ovarium types. J.

Anim.Sci. 70 : 1916-1992.

Brown T.A. 2006. Gene cloning and analysis. Blackwell Science Ltd. United Kingdom.

Chen L, Zhuang X. 2003. Transgenic mouse model of dopamine deficiency. 54(6):91-100

Cooke M I, Sullivan E R. 1985. Hormones and neurosecretion In: the Biology of crustacea, Bliss, D.E. and Mantel, H.L. (eds.). London: Academic Press. (3): 205-290.

Hernández J C. Racotta L S, Dumas S, Hernández J. 2008. Effect of unilateral and bilateral eyestalk ablation in Litopenaeus vannamei male and female on several metabolic and immunologic variables. Aquaculture. 283:188–193. Huberman A. 2000. Shrimp endocrinology. A review. Aquaculture. 191:191-208. Ismail A. 1991. Pengaruh rangsangan hormon terhadap perkembangan gonad

individu betina dan kualitas telur udang windu Penaeus monodon [Disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

KKP. 2012. Statistik Perikanan dan Kelautan 2011. Kementrian Kelautan dan Perikanan, hal. 3.

(30)

19 KKP. 2013. Produksi Udang Akan Didorong 30 Persen [Internet].

http://www.kkp.go.id/index.php/arsip/c/8499/Produksi-Udang-Akan-Didorong-30-Persen [20 Juni 2013].

Li Y, Bai J, Jian Q, Ye X, Lao H, Li X, Luo J, Liang X. 2003. Expression of common carp growth hormone in the yeast Pichia pastoris and growth stimulation of juvenile tilapia (Oreochromis niloticus). Aquaculture 216: 329-341.

Nisa NK. 2012. Aplikasi hormone pertumbuhan rekombinan ikan kerapu kertang melalui pakan untuk meningkatkan pertumbuhan ikan betok [skripsi]. Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor.

Rebers F E M, Hassing G A M, Dijk W V, Straaten E V, Goos H J Th, Schulz R W. 2002. Gonadotropin-Releasing Hormone Does Not Directly Stimulate Luteinizing Hormone Biosynthesis in Male African Catfish. J Biol of Rep 66: 1604-1611.

Reinecke M, Björnsson B T, Dickhoff W W, McCormick S D, Navarro I, Power D M, Gutiérrez J. 2005. Growth hormone and insulin-like growth factors in Wsh: Where we are and where to go. General and Comparative Endocrinology. 142: 20–24 .

Sirotkin AV. 2005. Conrtol of reproductive processes by growh hormone: extra- and intracellular mechanism. Review. The veterinary Journal. 170 (3): 307-317.

Subaidah S, Triprabowo W, Gede, Darmawiyanti V, Yunus M, Slamet, Kusumaningrum I. 2008. Perbaikan Nutrisi Induk Udang Vanname (Litopenaeus vannamei) dengan Kombinasi Pakan Segar dan Pakan Buatan. http://www.kkp.go.id/ [Diakses 21 April 2013].

Swetha C H, Sainath S B, Reddy P R, Reddy P S. 2011. Reproductive Endocrinology of Female Crustaceans: Perspective and Prospective. J Marine Sci Res Development.

Tarsim, Junior M Z, Riani E. 2007. Rangsangan Perkembangan Gonad Induk Udang Putih Litopenaeus vannamei Dengan Penyuntikan Hormon Estradiol-17β [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Thomas. 2012. EKSPOR UDANG Diprediksi Tembus Rp17,5 triliun. http://www.bisnis.com/articles/ekspor-udang-diprediksi-tembus-rp17-5-triliun [Diakses 21 April 2013].

Yano I. 1988. Oocyte development in the kuruma prawn Penaeus japonicas. Marine Biology. 99: 549–553.

Yusuf, K. 2011. Efektifitas Antidopamin dan hormon GTH sebagai pengganti teknik ablasi mata dalam usaha percepatan kematangan gonad udang vaname [Skripsi]. Bogor (ID). Institut Pertanian Bogor.

Zukowska M, Arendarczyk. 1981. Effect of hypophyseal gonadotropins (FSH and LH) on the ovaries on the sand shrimp Crangon crangon (Crustacea: Decapoda). Marine Biology. 63 (3): 241–248.

(31)

20

LAMPIRAN

Lampiran 1. Tahapan ablasi mata

1. Calon induk udang yang tidak cacat dipilih terlebih dahulu.

2. Calon induk yang akan diablasi ditaruh kedalam ember dan ember ditaruh didekat bak pemeliharaan.

3. Gunting besi, tabung gas kecil, dan pemantik api yang telah dimodifikasi disiapkan.

4. Salah satu mata udang digunting menggunakan gunting yang telah dipanaskan dengan api.

5. Udang dimasukkan kedalam bak pemeliharaan.

Lampiran 2. Tahapan pencampuran bahan percobaan pada pakan

1. Bobot udang yang akan diberi perlakuan ditimbang terlebih dahulu untuk mengetahui dosis hormon

2. Pakan komersil berupa pelet disiapkan dengan feeding rate 5% pada minggu ke-1 dan 7% pada minggu ke-2.

3. Lalu disiapkan hormon sesuai dosis pada masing-masing perlakuan sesuai bobot tubuh udang, dosis tersebut dilarutkan dengan larutan fisiologis dengan perbandingan 1:2, kemudian dicampur dengan telur ayam (binder) sebanyak 1 butir telur/kg pakan

4. Seluruh bahan tersebut dicampurkan dalam baskom. 5. Lalu dikering anginkan selama 1 hari dalam ruangan. 6. Pakan siap digunakan.

Lampiran 3. ANOVA dan uji Duncan Bobot tubuh (g) udang vaname hari ke-28 Jumlah kuadrat Df Rataan Kuadrat F Sig.

Antar kelompok 121.600 5 24.320 1.525 .191

Dalam kelompok 1340.000 84 15.952

Total 1461.600 89

perlakuan N Subset for alpha = 0.05

1 2 F 15 41.2667 A 15 42.3333 42.3333 E 15 42.8667 42.8667 B 15 43.3333 43.3333 C 15 43.5333 43.5333 D 15 45.0667 Sig. .172 .098

(32)

21 Lampiran 4. Tahapan Pembuatan Preparat Histologi

1. Diagram alir pembuatan blok paraffin

Sampel organ ikan uji

Fiksasi dalam larutan Bouin’s selama 24 jam

Rendam dalam alkohol 70% atau larutan formalin 4%, selama 24 jam

Alkohol 70%, selama 24 jam

Alkohol 80%, selama 2 jam

Alkohol 90%, selama 2 jam

Alkohol 95%, selama 2 jam

Alkohol absolut I, selama 12 jam

Alkohol absolut II, selama 1 jam

Alkohol : Xylol (1:1), selama 30 menit

Xylol I, selama 30 menit

Xylol II, selama 30 menit

Xylol III, selama 30 menit

Infiltrasi paraffin dalam oven 60 oC

Xylol : paraffin (1:1), selama 45 menit

Paraffin I, selama 45 menit

Paraffin II, selama 45 menit

Paraffin III, selama 45 menit

Dicetak dalam blok paraffin Fiksasi Jaringan Dehidrasi Clearing Impregnasi Embedding

(33)

22

2. Diagram alir proses pemberian warna pada sediaan jaringan dengan pewarna haematoksilin dan eosin.

Preparat jaringan

Dicelup dalam larutan xylol I, 5 menit

Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit Alkohol 95%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit Alkohol 80%, 2-3 menit Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 50%, 2-3 menit Bilas dengan air mengalir (aquadest), 2

menit

Haemotoksilin , 7 menit Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5

menit Eosin, 3 detik

Bilas dengan air mengalir (aquadest), 5 menit

Alkohol 50%, 2-3 menit Alkohol 70%, 2-3 menit Alkohol 85%, 2-3 menit Alkohol 90%, 2-3 menit Alkohol absolut I, 2-3 menit Alkohol absolut II, 2-3 menit

Xylol I, 2-3 menit Xylol II, 2-3 menit

Preparat dilapisi dengan entellan neu kemudian ditutup dengan cover glass jangan samapai ada udara

Dikeringkan dalam oven pada suhu 40 oC, 24 jam

(34)

23

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Lamongan pada tanggal 2 Maret 1991 dari pasangan Bapak Suhardi dan Ibu Istianah. Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Menengah Atas Negeri 2 Lamonagn tahun 2009, penulis melanjutkan studi di Institut Pertanian Bogor melalui USMI (Ujian Saringan Masuk IPB) pada program studi Teknologi dan Manajemen Perikanan Budidaya, Departemen Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.

Selama masa perkuliahan, penulis aktif di UKM PRAMUKA IPB sebagai sekretaris divisi PSDM (2010-2011), sekretaris UKM (2011-2012), dan dewan adat PRAMUKA IPB (2012-2013). Selain itu penulis juga aktif di komunitas pencinta lingkungan “Rumah Kembara” (2010-2013). Penulis pernah menjadi asisten praktikum pada mata kuliah Fisiologi Reproduksi Organisme Akuatik (2011). Penulis juga pernah mengikuti Program Krativitas Mahasiswa (PKM) bidang Pengabdian Masyrakat dengan judul “Saung Sampah dan Plastik: Membentuk Usaha Mandiri Masyarakat Desa Sengked dengan Sistem Manajemen Sampah”.

Penulis pernah melakukan praktek pembenihan udang vaname di Instalasi Pembenihan Udang Gelung Balai Budidaya Air Payau Situbondo, Jawa Timur pada Juni-Agustus 2012. Tugas akhir di perguruan tinggi diselesaikan penulis dengan menulis skripsi berjudul “Rekayasa Hormonal pada Udang Vaname selama 14 Hari sebagai Pengganti Teknik Ablasi Mata dalam Usaha Percepatan Pematangan Gonad”.

Gambar

Gambar  1  Tahapan  perkembangan  histologi  pada  udang  vaname,  TKG  I:
Gambar  3  Pertumbuhan  bobot  rata-rata  induk  udang  vaname  setelah  diberi  perlakuan  hormon,  ablasi  dan  kontrol
Tabel 3 Tingkat pemijahan induk udang vaname setelah diberi perlakuan hormon,  ablasi dan kontrol
Tabel  4  Rerata  jumlah  telur  dan  derajat  penetasan  telur  udang  vaname  setelah  diberi perlakuan hormon, ablasi dan kontrol
+3

Referensi

Dokumen terkait