• Tidak ada hasil yang ditemukan

IMPLIKASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TRANSFORMATIF DALAMPEMBELAJARAN AGAMA DI PESANTREN Ibrahim, M.A 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "IMPLIKASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TRANSFORMATIF DALAMPEMBELAJARAN AGAMA DI PESANTREN Ibrahim, M.A 1"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

17

IMPLIKASI PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN TRANSFORMATIF

DALAMPEMBELAJARAN AGAMA DI PESANTREN

Ibrahim, M.A1

1 Prodi Manajemen Pendidikan Islam STITNU Sakinah Dharmasraya

Article Info ABSTRACT

Article history:

Received Agust 21th, 2019

Revised Aug 30th, 20119

Accepted Sept 26th, 2019

The transformative learning Model requires transforming institutional management, relationship patterns, and building critical and progressive minds among learners. Its application in Pesantren will give implications, both positive and negative, let alone the pesantren that has its own distinction and charisma. To present this writing, the authors use a descriptive approach and analysis of hermeneutics-philosophical, philosophical and theoretical approaches of psychological. Among the implications of Pesantren-from the plus side-is the progression of the management of the institution and the logical power, while the downside is the educational distinksi management pattern, Kiai and students relationship patterns as well as the development of liberal humanism, if applied in full. However, this can be minimized by the formulation of a collaborative and transactional learning implementation.

Keyword: Implikasi Transformatif and Pesantren Corresponding Author: Ibrahim, M.A, Email: ibrahimmustikas1s2s3@gmail.com Pendahuluan

Penyelenggaraan pembelajaran di era globalisasi dan modernisasi di setiap jenjang dan lembaga pendidikan dituntut untuk mampu melakukan berbagai inovasi dalam rangka mengiringi dan menjawab segala tantangan dan efek dari arus globalisasi ini. Pada sisi lain, arus globalisasi dan modernisasi memporak-porandakan kualitas output pendidikan pada nuansa pemanusiaan dan manusia Pancasila. Menurut Azyumardi Azra, era yang tidak bisa dielakkan yang menimbulkan perubahan penting dalam berbagai aspek kehidupan; ekonomi, politik, sosial, budaya, teknologi, pendidikan dan lain-lain.1

Manusia Pancasila sebagai manusia Indonesia yang didambakan tidak kunjung terwujud dalam jumlah yang massif. Output dan outcome pendidikan terjebak dalam paradigma materialistis, sekulerisme dan liberalisme buta. Sehingga lepas dari makna pendidikan yang berfalsafahkan Pancasila yang religius.

Kondisi sosiologis -konfrehensif- yang demikian hancur harus mendesak untuk melakukan transformasi secara luas. Dalam aspek penggenerasian, maka pendidikan segera melakukan transformasi ke arah perbaikan dengan tidak meninggalkan nuansa perenialisme sebagai basis kehidupan. Transformasi ini diwujudkan dalam bentuk pendidikan transformasi yang menghendaki gerakan perubahan dan pembaharuan segala aspek atau komponen pendidikan secara sinergis. Pada aspek yang lebih kecil -pembelajaran-, menuntut untuk melakukan dan menjadikan model pembelajaran transformatif.

Berdasarkan perspektif Islam, lembaga pendidikan pesantren sebagai salah satu wadah pendidikan -yang eksistensinya tidak diragukan lagi- harus juga melakukan dan menjadikan pembelajaran transformatif, sebagai upaya menggenerasikan manusia sempurna dalam kerangka manusia Pancasilais.

Penerapan model pembelajaran transformatif, bukan suatu wujud yang selalu sempurna dan positif setidaknya bagi culture pendidikan yang telah dibangun oleh lembaga pendidikan pesantren selama ini. Maka

1 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 51.

(2)

18

implikasi positif atau negatif dari penerapan merupakan suatu keniscayaan. Selanjutnya untuk mengungkap implikasi dari penerapan model pembelajaran transformasi pada pesantren, penulis akan uraikan dalam tulisan ini.

Metode

Tulisan ini disajikan dalam kerangka mendeskripsikan terlebih dahulu konsep pembelajaran transformatif, pesantren dan pendidikan diniyah beserta polanya, barulah diinferensikan sisi positif dan negatifnya. Metode penulisan menggunakan pendekatan deskriptif dan analisis hermeneutic-filosofis, yaitu memberikan penafsiran yang lebih analitis dan konfrehensif serta menggunakan pendekatan filsafat- untuk menemukan dasar filosofis dan teoritis psikologis model pembelajaran transformatif.

Hasil dan Pembahasan

Model Pembelajaran Transformatif

1. Pengertian model pembelajaran transformatif

Pembelajaran transformatif (transformatif learning) merupakan model pembelajaran yang dikembangkan dari perspektif transformasi. Mezirow adalah salah satu orang yang melakukan penelitian tentang pendidikan transformatif yang berasal dari aliran psikologi kognitif. Sebagai teori pembelajaran, pembelajaran transformatif muncul sekitar tahun 1970-an. Mezirow melakukan penelitian terhadap pengalaman belajar para wanita yang kembali lagi bersekolah setelah lama meninggalkan bangku sekolah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kegiatan pembelajaran mampu merubah perspektif yang dimiliki dalam memaknai kenyataan dan pengalaman hidup yang dialami. Sejak saat itu, banyak bermunculan penelitian tentang pembelajaran transformatif, dan fokus studi transformasi semakin meluas, mulai dari transformasi personal, transformasi sosial, pembelajaran interkultural, refleksi kritis, lifestyle, bahkan perubahan karir.

Transformasi memiliki makna perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi, dan sebagainya) atau perubahan struktur.2 Transformasi juga dapat dibagi dalam tiga perubahan yaitu (a) merubah bentuk, penampilan atau struktur; (b) mengubah kondisi, hakikat atau karakteristik; bahkan (c) mengganti substansi. Dengan demikian, semua transformasi adalah perubahan, tetapi

tidak semua perubahan adalah transformasi. Perubahan

lebih bersifat superfisial, sedangkan transformasi lebih bersifat substansial.

Dengan merujuk pada pendapat Paulo Freire mengenai tujuan transformasi sosial, menurut Freire “... sangat menaruh perhatian pada transformasi sosial melalui pengungkapan kebenaran oleh orang-orang yang tertindas dengan cara membangkitkan kesadaran kritis mereka di mana mereka belajar untuk menerima pertentangan-pertentangan sosial, politis dan ekonomi,

serta mengambil tindakan dalam

melawan elemen-elemen opresif kebenaran”.3 Pandangan Freire ini memberikan sebuah konsep bahwa pembelajaran transformatif didasarkan oleh perubahan-perubahan sosial yang terjadi baik penindasan, pertentangan sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang selalu cendrung mengalami perubahan (transformatif). Maka pembelajaranpun diharapkan untuk melakukan perubahan sebagai pejawantahan dari konsep manusia, perubahan sosial dan sebagainya.

Secara sederhana pembelajaran transformatif merupakan proses pembelajaran yang berorientasi pada perubahan (transformasi) seseorang, baik sisi kognitif, afektif maupun psikomotor serta hal-hal lainnya, tergantung pada apa objeknya. Proses perubahan itu didasari oleh kesadaran. Sehingga proses penyadaran peserta didik terhadap kesalahan atau kelemahan perspektif beserta asumsi dasar yang dimiliki, untuk kemudian beralih pada perspektif baru yang dinilai tepat menjadi pondasi untuk melakukan transformasi. Dalam dunia pendidikan, seseorang dapat dikatakan telah belajar jika telah mengalami perubahan. Seperti pandangan Behavioral bahwa belajar adalah terjadi perubahan tingkah laku sebagai akibat dari interaksi stimulus-respon.4 Maka perubahan menjadi sesuatu yang mendasar bagi setiap orang yang belajar, baik anak-anak atau manusia dewasa. Sejatinya, pendidikan adalah melakukan upaya penyadaran untuk melakukan perubahan dan pengembangan potensi peserta didik.

2 KBBHI Off Line.

3 Taylor, E. The Theory and Practice of Transformative Learning: A Critical Review, (Ohio: Vocational Education, Ohio State University, 1998). Dapat diakses melalui alamat web:w.cete.org/acve/mp_taylor_01.asp (diakses pada tanggal 14 Juni 2018).

(3)

19 Model pembelajaran transformatif berkembang karena didasarkan pada asumsi bahwa manusia adalah makhluk otonom yang memiliki multy potensi yang siap dikembangkan, Menurut Hasan Langgulung -dikutip Ramayulis-, potensi manusia tersimpul pada 99 asmul husna.5 Proses pengembangan itu melibatkan proses kesadaran, pemberian kebebasan sehingga bisa tumbuh menjadi manusia yang holistik, kritis, kreatif, partisipatif dalam kerangka yang interaktif. Sehingga jauh dari tekanan, pemasungan serta ketidakberdayaan dari praktek pendidikan yang tidak memanusiakan.

Model pembelajaran transformatif adalah pembelajaran perubahan, pembebasan, individulisasi, menemukan identitas, egalitarian, dialogis interaktif, persuasif, pemberian makna (meaning-hermeneutik) yang didasari oleh proses penyadaran.

Berbagai penjelasan di atas, dapat disarikan bahwa model pembelajaran transformatif adalah model pembelajaran menuju perubahan diri dengan berdasarkan pada proses penyadaran untuk pengembangan potensi, pengembangan daya berpikir kritis, pembelajaran dialogis-interaktif, emansipatoris, partisipatif, egalitarian, serta pemberian makna.

2. Bangunan filosofis dan teori dari model pembelajaran transformatif

Secara filosofis, model pembelajaran transformatif dibangun oleh beragam jenis filsafat pendidikan. Mulai sejak awal hingga masa ini, terus mengalami perubahan. H.A.R. Tilaar menjelaskan bangunan filsafat dan perubahannya dari model pembelajaran transformatif dalam bentuk tabel berikut ini.6

Tabel 1. Perkembangan Pedagogik Transformatif

Filsafat Orientasi Budaya Orientasi Kependidikan Orientasi Proses Belajar Orientasi Individu Idealisme Skolastisisme Revitalisasi budaya Perenialisme Esensialisme Eksistensialis-me Transfer nilai budaya Pengemba-ngan potensi individu Posistivisme Realisme Pragmatisme Eksperimenta-lisme Sumber daya manusia Progresivisme Liberalism Strukturalisme

Aktif kreatif Kebebasan individu

Pragmatism Rekonstruk- sionisme Rekonstruk Sionisme Interaktif, kreatif, kritis Kebebasan individu dalam lingkungan sosial budaya Kontemporer Kritisisme perubahan sosial

Transformatif Interaktif, kreatif,

kritis dan

partisipatif

Interaksi kebebasan individu untuk mengembang-kan potensinya dalam dan untuk perubahan sosial.

Menilik perkembangan filsafat pendidikan hingga pendidikan transformatif, maka dapat diketahui bahwa filsafat yang mendasari model pembelajaran transformatif adalah dimulai dari filsafat idealisme hingga

5 Ramayulis, Ilmu Pendidikan Islam (Jakarta: Kallam Mulia, 2002), h. 103.

6 H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Peodagogik Transformatif untuk Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta, 2012), h. 259.

(4)

20

filsafat kontemporer. Sementara menurut H.A.R Tilaar, bahwa filsafat kontemporer yang dimaksud adalah filsafat kritisisme masyarakat atau filsafat yang hidup dalam masyarakat dewasa ini.7 Menurut penulis, apabila filsafat tersebut bercerita tentang proses pendidikan adalah proses penumbuhkembangan potensi peserta didik, pemanusiaannya serta pembebasannya dari segala pasungan yang dapat mengekang berkembangannya potensi, maka filsafat tersebut menjadi bassic atas model pembelajaran transformatif. Terlepas dari filsafat kritis, yang jelas bahwa kemunculan pembelajaran transformatif didasari oleh perkembangan filsafat sejak dari idealism hingga filsafat kritisisme. Kesemua filsafat itu menghendaki adanya pengembangan potensi peserta didik, kebebasan individu, lingkungan sosial budaya serta pengembangan potensi untuk perubahan sosial.

Adapun deskripsi filsafat yang mendasari pembelajaran transformatif -sekilas- diantara sebagai berikut:

1. Filsafat positivisme sebagai salah satu landasan filosofis terhadap pembelajaran transformatif yang menghendaki bahwa pemikiran manusia harus berkembang ke arah yang lebih positif (modern) dan riil yang didasarkan pada ilmu positif yang didasarkan pada observasi dan eksperimen, diantara tokohnya adalah Agus Comte.8 Ini memberikan makna bahwa dalam perubahan pembelajaran dan pendidikan hendaknya didasarkan pada sesuatu yang nyata/riil yang dihasil dari observasi dan eksperimen yang berhubungan dengan pendidikan terutama dalam arus perubahan sosial.

2. Filsafat pragmatisme, adalah filsafat yang melihat ukuran nilai atau tidak, benar atau salah ditentukan oleh ukuran nilai guna atau manfaat. Jika bermanfaat maka sesuatu dianggap bernilai atau benar secara praktis, diantara tokohnya adalah William James.9 Dalam hubungannya dengan perubahan, maka perubahan yang diharapkan adalah perubahan yang memberikan nilai guna bagi perkembangan peserta didik baik, kemampuan kognitif, psikomotor, dan afektif serta masa depan pekerjaan peserta didik.

Semua filsafat yang mendasari pembelajaran transformatif merupakan filsafat yang dikembangkan di belahan barat yang syarat dengan asas negaranya yang liberal. Oleh karena itu, pengadobsiannya ke pendidikan Indonesia mesti harus didasarkan sikap kritis dan modifikasi penuh kehati-hatian.

Selanjutnya teori belajar yang mendasari model pembelajaran transformatif yang utama adalah teori belajar humanisme10 dan kognitif. Karena teori ini yang memberikan upaya pembebasan manusia dari proses pendidikan yang tidak memanusiakan manusia, sehingga manusia terjebak dalam kungkungan dunia pendidikan. Humanistik berpendapat bahwa proses belajar harus ditujukan untuk kepentingan memanusiakan manusia itu sendiri.11

Jika dilihat dari sisi, bahwa manusia adalah makhluk individu dan otonom yang memiliki banyak kompetensi. Maka teori nativisme juga menjadi teori yang menjadi dasar atas bangunan model pembelajaran transformatif. Menurut teori nativisme manusia atau individu lahir kedunia sudah membawa kemampuan atau bakat yang akan berkembang menurut arahnya masing-masing.12 Nativisme ini ditokohi oleh Arthur Schopenhaur seorang filsuf berkebangsaan Jerman.13

Selanjutnya menurut H.A.R. Tilar bahwa model pembelajaran transformatif tidak hanya memfokuskan pengembangan individuasi pada aspek kecerdasan intelejensi (IQ), tetapi juga aspek emosional question (EQ)

dan spiritual question (SQ) bahkan keseluruhan potensi pribadi.14 Maka, ini berarti filsafat perenialisme juga

ikut serta membangun model pembelajaran transformatif dari sisi mengembalikan pada nilai-nilai agama yang sudah terjamin. Karena filsafat perenialisme filsafat yang berpegang pada nilai-nilai yang bersifat abadi yang

7 Menurut hemat penulis, filsafat kontemporer hari ini, bukan sekedar filsafat kritis masyarakat akan tetapi filsafat pragmatism, progressive, kontruktivisme dan sebagainya juga termasuk dalam kelompok filsafat kontemporer.

8 Hasan Bakti Nasution, Filsafat Umum, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), h. 183. 9 Poedjawijatna, Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, (Jakarta: Rineka Cipta, 1997), h. 133. 10 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 332.

11 C. Asri Budiningsih, Op.Cit, h. 68.

12 M. Sukardjo dan Ukim Komarudin, Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, (Jakarta: PT RadjaGrafindo Persada, 2012), h. 24.

13 Alex Sobur, Psikologi Umum, (Bandung: Pustaka Setia, 2003), h. 147. 14 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 307.

(5)

21 telah terbukti sepanjang sejarah.15 Kembali ke masa lalu dilakukan sebagai upaya untuk menghadapi problematika kehidupan manusia sekarang bahkan untuk masa yang akan datang.16

3. Karakteristik model pembelajaran transformatif

Karakteristik model pembelajaran transformatif, menurut H.A.R Tilaar ada 15 macam yang didasarkan pada prinsip model pembelajaran transformatif, yaitu: 17

a. Proses pendidikan normatif. Mendidik adalah suatu proses, akan tetapi model transformatif tidak hanya berhenti pada hakikat proses pendidikan melainkan apa yang harus diperbuat dan ke arah mana proses mendidik itu diarahkan. Inilah yang dimaksud sebagai proses pendidikan normatif.

b. Proses individuasi, adalah bagaimana seseorang manusia yang unik mengembangkan dirinya untuk memperoleh identitas dirinya. Oleh karena manusia adalah makhluk sosial maka proses pendidikan -individuasi- tidak bisa dilepaskan dari kehidupan sosial dan kebudayaan di mana ia hidup.

c. Identitas individu, manusia adalah makhluk otonom (individu) dan memiliki potensi yang harus dikembangkan. Pengembangan individu itulah yang dikenal dengan proses mencari identitas sehingga menjadi dirinya sendiri (akunya). Dengan prinsip ini, individu bukanlah seseorang yang hanya menerima segala sesuatu dari luar seperti yang diprogramkan oleh sekolah, orang tua dan masyarakat. d. Model transformatif adalah model komunikatif, ini artinya seorang peserta didik tidak mampu

mengembangkan potensi dirinya sehingga ia menjadi eksis jika tidak berinteraksi dengan yang lainnya. e. Prinsip dialogis, bahwa proses dialogis antara peserta didik dengan yang lainnya (guru-masyarakat

serta kehidupan) sebagai suatu realitas. Karena proses perubahan (transformatif) tidak akan terjadi pada ruang kosong melainkan dalam kegiatan dialogis atau partisipatif sehingga pengembangan diri menjadi terarah dan konkret.

f. Berorientasi masa depan. Maka proses pendidikan harus berorientasi ke masa depan yang lebih terarah bukan kembali ke masa lalu atau masa kini. Karena, jika tidak maka tidak akan terjadi realitas yang tidak berubah. Serta tindakan individu tidak hanya ditentukan oleh masa lalu dan masa kini yang tidak berbentuk tetapi merupakan perpaduan antara masa lalu, kini dan masa yang akan datang (cita-cita).

g. Hak azazi manusia. Proses pendidikan harus mampu memberikan perhargaan dan pengakuan hak azazi manusia, karena individu adalah makhluk yang otonom. Sehingga terjadilah perilaku menghargai hak-hak orang lain sebagai eksistensi seseorang serta tumbuh perilaku tanggung jawab atas hak-hak-hak-hak yang dimilikinya.

h. Lingkungan proksimatif, artinya manusia adalah bukan makhluk isolasi melainkan makhluk sosial dan budaya. Anak harus dibesarkan dalam lingkungan sosial budaya yang konkret, sehingga terjadi proses belajar dan terjadilah proses individuasi.

i. Proses perkembangan dari luar ke dalam. Ini terjadi saat individu mampu melakukan kegiatan komunikasi, dialogis, lingkungan sosial yang konkret.

j. Proses perkembangan dari dalam ke luar, ini dimaksudkan bahwa seorang individu adalah makhluk otonom yang memiliki kebebasan dan mengambil keputusan. Proses indivuasinya menjadi bahagian dari proses pengembangan potensinya.

k. Harmonisasi kekuatan dari dalam dan dari luar. Harmonisasi ini bisa terjadi jika adanya pengakuan akan otonom seorang, jika tidak maka harmonisasi tidak akan terjadi.

l. Proses pendidikan adalah proses memberi arti (meaning) bukan proses pemaksaan.

15 Ramayulis dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Telah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para

Tokohnya, (Jakarta: kallam Mulia, 2009), h. 21.

16 Ali Ashraf, Horizon Baru Pendidikan Islam, (Jakarta: Pustaka Progresif, 1984), h. 50. 17 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 292-303.

(6)

22

m. Belajar sepanjang hayat dan proses humanisasi. Model transformatif melihat manusia sebagai makhluk yang berubah dan bertujuan, maka model ini mengakui kebebasan manusia dan menentang segala bentuk penindasan.

n. Berorientasi sebagai pedagogik kritis. Karena memang, model ini bukan model pembelajaran dogmatis. Memahami 15 karakteristik yang ditawarkan oleh H.A.R Tilaar di atas, memunculkan banyak inferensi, diantaranya:

a. Model pembelajaran transformatif dibangun berdasarkan multi filsafat, multi teori, multi psikologi yang terus berkembang. Sehingga model transformatif, sesuai dengan maknanya akan selalu mengalami perubahan. Perubahan baik dari sisi IQ, EQ, SQ, KQ, dan sebagainya menjadi target utama dari model pembelajaran transformatif.

b. Model pembelajaran transformatif menghendaki adanya beragam pendekatan pembelajaran, yaitu:

1. Student centre, merupakan pendekatan pembelajaran bahwa siswa adalah subjek pendidikan yang

memiliki potensi yang siap dikembangkan maka fungsi guru adalah memfasilitasi proses pembinaan, bimbingan, dan pengembangan potensinya dalam proses pembelajaran.

2. Humanistic approach, ini melihat bahwa peserta didik adalah manusia yang unik, memiliki potensi

dan menuntut untuk diperlakukan sebagai mausia seutuhnya.

3. Cognitive-Rational Approach, pendekatan ini melihat bahwa proses pembelajaran harus

mengembangkan kognitif rasionalis seorang peserta didik, bukan memasung aktivitas pengembangan daya cognitive-rational.

4. Emancipatory Approach, pendekatan ini memandang bahwa dalam proses pembelajaran peserta

didik diposisikan setara dan merdeka atas beragam perbedaan kemampuan, asal usul, jenis kelamin serta pengukungan peserta didik.

5. Developmental Approach, merupakan pendekatan yang melihat proses pembelajaran adalah

proses pengembangan mental peserta didik. Maka pembelajaran harus disetting untuk mewadahi proses pengembangan sikap atau mentalitas peserta didik ke arah yang lebih baik.

6. Spiritual-Integrative Approach, pendekatan melihat bahwa proses pembelajaran harus berjalan di

atas nilai-nilai spiritual18 yang terpadu dan membumi. Jadi bukan nilai-nilai spiritualitas teoritis, melainkan praktis. Sehingga menciptakan kondisi lingkungan spiritual -dalam makna luas- yang konkret.

c. Model pembelajaran tranformatif menghendaki metode-metode pembelajaran yang mampu mewadahi aktivitas peserta didik untuk melakukan perubahan, memberikan kesempatan pada peserta didik untuk melakukan dan sebagainya.

d. Model pembelajaran transformatif menghendaki peran dan eksistensi peserta didik sebagai subjek pembelajaran bukan objek pembelajaran. Sehingga proses belajar menjadi kegiatan yang bermuara pada dialogis partisipatif.

Sebagai sebuah perbandingan pola pendidikan tradisionalis, kritis dan transformatif, dapat dilihat dalam tabel berikut ini.19

Tabel 2. Perbandingan Pola Pendidikan Tradisionalis, Kritis dan Transformatif

Aspek Pendidikan Tradisonal Pendidikan

Kritis

Pendidikan Transformatif

Pendekatan Berpusat pada guru, sebagai objek

Sosio-politik Individuasi partisipatif dalam masyarakat berubah

Pengembangan potensi Memberdayakan

(empowerment)

Penyadaran dan pengembangan potensi individu dalam kebersamaan bermasyarakat

Humanism Humanism politik Humanisme sosio-kultural Steril dari kebudayaan Bagian dari Penggerak kebudayaan

18 Nilai-nilai spiritual yang dimaksud sangat berbeda dengan apa yang dimaksud dalam perspektif Islam, bagi Barat spiritual atau kecerdasan spiritual adalah sifat yang dibangun sebagai perpaduan oleh kecerdasan IQ dan EQ. Sementara dalam perspektif Islam adalah gabungan seluruh kecerdasan yang bersifat ilahiyah. 19 H.A.R. Tilaar, Op.Cit, h. 332.

(7)

23 kebudayaan

Evolusionisme Revolusionisme “jalan ketiga” (the third way) Pedagogic sebagai disiplin ilmu Pedagogisme Sosio-politik pedagogic Hermeneutic pedagogic

Guru Investor data (subjek) Pemberdaya Mitra belajar Peserta didik Sebagai objek Sebagai subjek yang

sadar akan keberadaa dan perannya dalam kehidupan sosial politik

Sebagai subjek partisipatif antisipatif dalam perubahan sosial

Proses pendidikan/ Belajar

Aktif mekanistik Dialogis Dialogis partisipatif

Kelembagaan pendidikan

Bahagian dari kekuasaan yang ada

Rekosntruktor sosial Dekonstruktor dan rekonstruktor sosial

Melalui matriks, maka semakin jelaslah bagaimana konsep model pembelajaran transformatif, yang lebih menitik tekankan perubahan didasarkan pada kondisi sosial yang terus mengalami fluktuatif secara nilai. Maka peserta didik diupayakan untuk siap dan mampu mengambil keputusan untuk melakukan perubahan secara benar dalam bimbingan, pengembangan, pembinaan di atas pendekatan dialogis partisipatif. Proses pengambilan keputusan peserta didik merupakan bahagian dari proses pemberian makna-proses hermeneutic.

4. Unsur-unsur model pelajaran transformatif

Merujuk pada penjelasan-penjelasan sebelumnya, maka penulis mencoba untuk memberikan uraian tentang unsur-unsur pembelajaran yang meliputi sintax, social system, principle of reaction dan support system.20

a. Sintax

Langkah-langkah yang harus dilakukan oleh pendidik dalam melaksanakan model pembelajaran transformatif sebagai berikut:

1. Memahami dengan baik konsep transformatif-pada posisi ini seorang pendidik harus memahami terlebih dahulu konsep pembelajaran transformatif dengan baik dan membuat rencana pembelajaran berbasis prakondisi kepada peserta didik, menyiapkan rencana dan media, monitoring dan penilaian.

2. Guru melaksanakan pembelajaran sebagai fasilitator, sementara peserta didik sebagai subjek pembelajaran. Jadi semua model pembelajaran modern yang bertumpu pada psikologi kognitif, humanistik dan konstruktivisme selalu memposisikan peserta didik sebagai subjek pembelajaran sementara pendidik/kiai/ustadz/guru hanyalah sebagai fasilitator. Sehingga

20 Setiap model pembelajaran, strategi dan metode harus memiliki 4 unsur yaitu sintax, social system, principle

of reaction dan support system. Jika tidak ada kejelasan kedudukan keempat unsur maka sesuatu term tidak

dapat dikatakan sebagai sebuah model, strategi dan metode. Hal ini dapat ditemui dalam Bruce Joyce dkk,

(8)

24

seorang kiai/ustadz di pesantren harus melakukan reformasi metode pembelajaran wetonan dengan pembelajaran berbasis klasikal dengan model dan metode yang modern.

3. Menggunakan metode pembelajaran yang sesuai dengan konsep transformatif, yang menempatkan peserta didik sebagai subjek, membangun pola berpikir kritis-solutif, membebaskan, komunikatif, dialogis-interaktif dan sebagainya

4.

Melakukan kegiatan dialogis partisipatif dan membangun budaya kritis atas kondisi sosial yang terjadi. Sehingga materi bidang studi yang diajarkan memiliki

korelasi langsung dengan

kondisi sosial, ini akan memberikan makna tersendiri bagi peserta didik

(

hermeneutic process

).

5.

Menstimulus

atau

membimbing

peserta

didik

untuk

memberi

makna

(

meaning/hermeneutic

) terhadap kondisi sosial dan atau materi pembelajaran yang

disajikan oleh guru. Sehingga ini semakin menambah ruh sebuah ilmu serta mampu mengkorelasikan ilmu dengan dunia nyata-realitas sosial.

6. Melakukan refleksi dan evaluasi.

Dalam bentuk teknis-praktis dapat dilihat pada skema sintax yang ditawarkan oleh Hardika berikut ini.21

b. Social system

Social system ini berisi tentang sub-sub sistem yang saling bergantungan sehingga membentuk pola

pembelajaran atau aturan pembelajaran. Adapun sosial sistem dalam model pembelajaran transformatif menurut penulis adalah pendidik harus melakukan:

1. Pengkondisian tempat yang bersifat transformatif atau memungkinkan terjadi proses transformatif seperti kenyamanan, kebersihan, penataan tempat duduk dan sebagainya.

2. Metode yang transformatif, sehingga dapat mengejawantahan nilai-nilai komunikatif, kritis dan dialogis peserta didik seperti metode tanya jawab, diskusi, dan sebagainya.

3. Aturan belajar yang transformatif seperti bentuk komunikasi yang dibangun dalam pembelajaran, membuat pertanyaan, mengkritisi, merenungkan, demokrasi pembelajaran dan sebagainya.

c. Principle of reaction

Principle of reaction, merupakan prinsip-prinsip atau aturan-aturan yang mengatur pola interaksi

lanjutan yang berlangsung dalam pembelajaran. Adapun principle of reaction yang harus diwujudkan dalam pembelajaran transformatif diantaranya adalah: 1) guru memberikan jawaban

(9)

25 pertanyaan yang dialogis, mencerahkan, tidak menekan dan memaknakan, 2) guru bersifat fasilitator yang selalu siap membantu kesulitan-kesulitan dalam pembelajaran, 3) melakukan proses pengawasan dan penilaian dengan baik serta 4) menghargai pertanyaan, ide, atau gagasan peserta didik dan sebagainya.

d. Support system

Support system dalam pembelajaran memiliki makna sebagai segala sesuatu yang mendukung

ketercapaian dari tujuan model pembelajaran atau daya dukung yang dibutuhkan untuk penerapan suatu model pembelajaran agar berjalan efektif dan efisien. Adapun yang menjadi support system

dalam model pembelajaran adalah

1. Metode yang mendukung terjadi transformatif pada peserta didik, seperti metode yang bisa mengembangkan kemampuan berpikir kritis-solutif, imajinatif, dialogis, seperti metode-metode pada pembelajaran kooperatif learning.

2. Kemampuan guru, ini menjadi salah satu kunci utama penyajian model pembelajaran transformatif.

3. Kemampuan peserta didik. Sehubungan dengan model pembelajaran transformatif, maka pendidik perlu secara kontiniu merubah cara pikirnya dan cara pikir peserta didiknya dalam pembelajaran agar pembelajaran dapat berlangsung secara aktif dan bermakna. Jika peserta didik dalam kondisi intimidasi doktrin -seperti kiai tidak boleh disanggah- maka pembelajaran transformatif tidak terjadi karena daya dukung dari peserta didik tidak ada -berpikir kritis. 4. Bahan-bahan yang mendukung metode dan transformasi seperti bahan pembelajaran, media,

serta kasus sosial atau realitas sosial yang sudah tersusun oleh pendidik.

5. Kondisi ruangan yang mendukung untuk tercipta proses transformasi. Ini juga menentukan kenyamanan pelaksanaan pembelajaran yang transformatif.

Unsur-unsur pembelajaran model transformatif yang penulis tawarkan bukanlah sesuatu yang kaku serta menutup bentuk yang lain. Akan tetapi, unsur-unsur tersebut sifatnya fleksibel, bisa dikembangkan sesuai dengan strategi dan metode yang dipilih untuk menerapkan model transformatif. Model pembelajaran transformatif masih sangat konseptual sehingga menuntut untuk dikembangkan dan menjadi alternatif model pembelajaran.

Pesantren; Lembaga Pendidikan Islam Tradisionalis

1. Pengertian pesantren

Pesantren merupakan bentuk pendidikan keagamaan Islam. Ia muncul sebagai wadah pendidikan keagamaan bagi umat Islam yang membutuhkan -kering- pengetahuan ke-Islaman. Pesantren mendapat legalitas pada Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Standar Pendidikan Nasional Pasal 30 ayat 4 bahwa Pendidikan keagamaan berbentuk pendidikan diniyah, pesantren, pasraman, pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis.22 Peraturan turunannya adalah Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan

Keagamaan, PP ini menjelaskan secara rinci tentang bentuk-bentuk

pendidikan agama dan keagamaan baik yang masuk kelompok formal maupun non formal.

Menurut Sudjoko Prasodjo, “pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santri berdasarkan kitab-kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya

(10)

26

tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut”.23 Menurut Mastuhu, pesantren adalah lembaga pendidikan Islam tradisional untuk mempelajari, memahami, mendalami, menghayati, dan mengamalkan ajaran Islam dengan menekankan pentingnya moral keagamaan dalam kehidupan sehari-hari.24 Maka pesantren dalam pengertian ini adalah lembaga pendidikan Islam yang keberadaannya telah ada sebelum dan selalu mengalami perkembangan sesudah kemerdekaan yang mengajarkan kitab-kitab klasik serta ilmu-ilmu umum di bawah asuhan seorang Kiai dan memiliki asrama (pondok) sebagai tempat tinggal santri. Dengan elemennya adalah pondok, masjid, santri, kitab-kitab klasik serta kiai.25

Pesantren dapat menyelenggarakan 1 (satu) atau berbagai satuan dan/atau program pendidikan pada jalur formal, nonformal, dan informal. Pada Pasal 26 ayat 2 dijelaskan bahwa Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.26 Dengan demikian pesantren tidak ubahnya -bisa berbentuk- lembaga induk yang memiliki anak-anak lembaga pendidikan dalam bentuk jenjang pendidikan.

2. Karakteristik pesantren

Character adalah watak, perangai, sifat dasar yang khas, satu sifat atau kualitas yang tetap terus dan

kekal yang dapat dijadikan ciri untuk mengidentifikasikan seorang pribadi.27 Adapun karakteristik dari pendidikan pesantren:

a. Kiai.

Kiai adalah seorang pendidik atau guru utama di pesantren, disebabkan karena kiai bertugas membimbing, mengarahkan, dan mendidik para santri.28 Kiai adalah salah satu unsur yang paling dominan dalam kehidupan suatu pesantren, kemasyhuran, perkembangan dan kemajuan suatu pesantren sangat -banyak- tergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa dan keterampilan seorang kiai.29 Dilihat dari sisi sosial, posisi kiai sebagai posisi elit dalam struktur sosial dan politik suatu

masyarakat. Sehingga masyarakat memberikan penghormatan yang tinggi

melebihi pejabat setempat.

30

b. Santri

Santri adalah sebutan seorang peserta didik yang merelakan dirinya untuk belajar di sebuah pesantren. Maka pada kata santri terkandung makna yang cukup luas yaitu orang selalu mengikuti seseorang guru, orang yang menumpangkan diri pada seseorang, atau seseorang yang miskin ilmu dan berharap akan ilmu. Makna ini terungkap dari asal santri yang berasal dari bahasa Jawa-salah satu pendapat- yaitu cantrik yang berarti mengikuti guru ke mana guru pergi.31 Seorang santri yang akan menimba ilmu di pesantren harus mematuhi segala aturannya. Maka seorang kiai akan melakukan penanaman (internalisasi of values) nilai-nilai utama pada setiap santri. Martin Van Brunessen menyatakan bahwa sikap hormat, takzim dan kepatuhan mutlak terhadap kiai adalah salah satu nilai pertama yang ditanamkan pada setiap santri.32 Sehingga tidak mengherankan jika pada setiap pesantren di pulau Jawa menekankan dan mengajarkan tentang adab murid dengan guru secara berulang-ulang (kontiniu) hingga santri hafal dan memahami dengan baik.

c. Kitab kuning

Kitab kuning merupakan buku-buku klasik yang berbahasa Arab gundul (tidak berbaris) dan memang berwarna kuning. Bagi Azyumardi Azra, kitab kuning adalah kitab-kitab keagamaan berbahasa

23 Sudjoko Prasodjo, et al. “Profil Pesantren”. Dalam Abudin Nata (Editor). Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Grasindo, 2001), h. 104.

24 Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan

Pesantren, (Jakarta: INIS, 1994), h. 55.

25 Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta: LP3ES, 1982), h. 44. 26 Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

27 Ramayulis, Psikologi Agama, (Jakarta: Kallam Mulia, 2008), h. 160. 28 Abd Halim Soebahar, Op.Cit, h. 38.

29 Hasbullah, Op.Cit, h. 144. 30 Mujamil Qomar, Op.Cit, h. 29.

31 Nuchalish Majid, Op.Cit, h. 20. .

(11)

27 Arab, Melayu, dan Jawa atau bahasa lokal lainnya. Memang umumnya orang berpendapat bahwa kitab kuning adalah kitab-kitab klasik yang ditulis oleh para ulama Timur Tengah dengan cetakan berwarna kuning. Akan tetapi kitab kuning juga banyak yang ditulis oleh orang Indonesia dengan bahasa Arab dan daerah seperti kitab-kitab yang ditulis oleh al-Raniri (Sirathal Mustaqim), al-Banjari (Sabiil

al-Muhtadiin), dan al-Sinkili (Mir’at al-Thullaab), judulnya berbahasa Arab akan tetapi isinya diuraikan

dalam bahasa Melayu.33 Kitab kuning yang dimaksud dalam tradisi keagamaan pesantren adalah kitab yang ditulis oleh para ulama di abad pertengahan -yang masuk dalam kelompok ahli sunnah waljamaah-, itupun tidak semua disiplin ilmu melainkan hanya beberapa cabang ilmu seperti bidang

tafsir-hadis, fiqh, teologi, tasawuf, ilmu-ilmu balaghah, nahw dan ilmu-ilmu yang serumpun.34

d. Masjid/Mushalla/Langgar

Masjid menjadi pusat pelaksanaan ibadah dalam pesantren. Masjid menjadi lambang spritualitas pesantren, tanpa adanya masjid/mushalla maka eksistensi pesantren tersebut tentu diragukan. Eksistensi masjid adalah pusat pendidikan dalam tradisi pesantren sebagai manifestasi universalitas sistem pendidikan tradisional yang mengadopsi sistem pendidikan Islam pada masa rasul.35 Menurut Haidar, meskipun

pesantren sudah memiliki ruang belajar berupa kelas-kelas,

tetapi masjid tetap digunakan sebagai tempat belajar.

36

e.

Asrama/pemondokan

Pondok atau asrama merupakan unsur khas utama dari pesantren. Ia menjadi tempat

tinggal dan belajar para santri di bawah bimbingan seorang kiai. Sehingga sering sekali kata

pondok digabungkan dengan kata pesantren menjadi “pondok pesantren”

yang mengisyaratkan proses pendidikan dan pembinaan santri 24 jam ada di pesantren, karena telah disediakan tempat tinggal atau asrama atau pondok.

f. Metode pengajarannya meliputi metode wetonan, sorogan dan hafalan. Semuanya ini terjadi pada pesantren dalam masa tradisional atau pesantren tradisional dengan pola pendidikan yang bercirikan transmisi keilmuan atau kitabi, bukan pada pengembangan ilmu.

g. Pola kehidupan pesantren, sepenuhnya diatur oleh seorang kiai. Sehingga nuansa di pesantren adalah kharismatik, penta’zhiman, pensakralan -tidak semua pesantren di era sekarang- kemandirian, kesederhanaan dan sebagainya.

3. Metode pengajaran di Pesantren dalam hubungannya dengan adab santri. Metode yang berlangsung pada pesantren memiliki kemiripan dengan metode pendidikan di Timur Tengah era kemunduran hingga sekarang ini seperti metode hafalan. Adapun metode pengajaran yang berlangsung pada pesantren diantaranya adalah

a. Metode sorogan adalah metode pengajaran dengan cara seorang santri menghadap kepada kiai secara perorangan dengan membawa kitab yang akan dipelajarinya. Menurut Mujamil Qomar, bahwa metode ini digunakan untuk santri kelas rendah yaitu mereka yang baru mempelajari baca Qur’an. Melalui metode ini, Kiai mengetahui kemampuan intelektual seorang santri secara secara utuh, sehinga bisa diberikan bimbingan yang maksimal terhadap para santri. Akan tetapi penggunaan metode ini

33 Azyumardi Azra, Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, (Jakarta: Kencana, 2012), h. 143-145.

34 Sa’id Aqiel Siradj, et al. Pesantren Masa Depan: Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), h. 292.

35 Abd Halim Soebahar, Op.Cit, h. 40.

36 Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 63.

(12)

28

membutuhkan keuletan, kesabaran dan ketekunan seorang kiai/guru. Metode ini juga terasa kurang efisien, karena menghabiskan waktu yang sangat lama untuk bisa mencapai seluruh santri tingkat rendah, karena sifat metodenya yang individual.37

b. Metode wetonan adalah metode pengajaran dalam bentuk kuliah, di mana santri duduk melingkar dihadapan kiai. Kegiatan santri adalah menyimak dan mencatat pelajaran yang disampaikan oleh kiai. Metode ini dikenal juga dengan nama bandongan di Jawa Barat dan halaqah di Sumatera Barat. Metode ini dikenal juga sebagai metode pengajaran secara kolektif atau bersama-sama.38

c. Metode hafalan yaitu metode pengajaran dengan cara memerintah santri untuk menghafal suatu materi pelajaran dalam bentuk teks dari suatu kitab yang dipelajari.39 Metode

hafalan ini dikenal

juga dengan istilah lalaran yang arti kegiatan belajar masing-masing individu melalui kegiatan menghafal pada tempat-tempat yang dibolehkan seperti di mesjid, mushalla, serambi mesjid dan sebagainya. d. Model pendidikan kitabi, yang dalam bahasa Azyumardi Azra disebut sebagai “transmisi keilmuan atau

penanaman ilmu/knowledge implantation” dengan metode hafalan sebagaimana yang terjadi di Timur Tengah,40 bukan pada pengembangan ilmu. Sehingga lebih pencetakan ulama-ulama kitabi dengan prinsip ilmu al-fi shudur, yang pada akhirnya miskin pengembangan sekaligus menjadi ciri khas dunia pesantren.

Melihat pada ketiga metode dan sistem tata nilai yang berlaku pada pesantren, maka Mastuhu berpendapat bahwa pendidikan yang berlangsung di pesantren menggunakan pedekatan teochentric. Dalam prakteknya, pendekatan ini wujud dalam sikap belajar yang cendrung dan berorientasi ukhrawi serta berperilaku sakral dalam kehidupan sehari-hari.41 Pada sisi yang lain metode pendidikan di pesantren menggambarkan culture dan habit yang dibangun di pesantren. Sehingga sulit ditemukan dipesantren tradisional yang menerapkan metode kooperatif learning, diskusi, dan sebagainya, karena metode ini, secara tidak langsung -sedikit/banyak- akan menimbulkan budaya mengkritisi termasuk mengkritisi keilmuan dan perilaku kiai. Akan tetapi pada pesantren modern yang telah mengalami perubahan -disesuaikan-, tidak terpaku lagi dalam penggunaan metode ngajarannya pada sorogan atau wetonan. Hal ini dapat terlihat pada pesantren-pesantren modern seperti pondok pesantren-pesantren Gontor Ponorogo, Pesantren al-Salam Pabelan, pesantren-pesantren Darunnajah Jakarta dan sebagainya.42

Implikasi Penerapan Model Pembelajaran Transformatif

Adapun implikasi penerapan model pembelajaran transformatif di pesantren dari sisi positif maupun negatifnya sebagai berikut:

Menilik pada karaktersitik pendidikan di pesantren maka akan didapatkan banyak sisi positif dari penerapan model pembelajaran transformatif diantaranya adalah

a. Terbentuknya santri yang humanis religious. Karena model pembelajaran transformatif adalah proses memanusiakan manusia, santri diperlakukan sebagai manusia yang utuh, egaliter serta tunduk pada norma kesantrian yang Islamis. Model transformatif, lebih pada pemanusian yang sesungguhnya -tentu perspektif Islam bukan perspektif Maslow yang kering dari makna manusia. Maka tugas setiap pemerhati pendidikan Islam dan pengelola serta pendidik di satuan pendidikan untuk berusaha mengformulasi model transformasi Islam sehingga memang spirit yang dibawa representatif Islam. b. Terbentuknya santri yang kritis. Model pemebelajaran yang dikedepankan transformatif adalah

melatih daya berpikir kritis terhadap segala persoalan sosial termasuk dalam konteks agama dan tantangannya globalisasi saat ini. Sehingga tafaquh fi din tetap terjaga untuk menyiapkan calon-calon ulama masa depan yang mumpuni dengan dialektika modern bukan ulama taklid. Berkembang pemikiran kritis para santri akan mampu memberi pengaruh pada kemajuan suatu pesantren. Asalkan nuansa kritis itu dibangun dengan dasar-dasar Islami, sifat kritis solutif, sehingga melahirkan

37 Mujamil Qomar, Op.Cit, h. 142-143.

38 Nor Huda, Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2015), h. 310. 39 Samsul Nizar (Editor), Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai

Indonesia, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 287.

40 Azyumardi Azra, Esei-Esei Intelektual Muslim…..Op.Cit , h. 89 41 Mastuhu, Op.Cit.,h. 62.

(13)

29 pemikiran-pemikiran yang membangun untuk kemajuan pesantren, hal ini tentu harus didasari oleh kesiapan kiai dan para ustadz untuk mengkoordinir dan mengakomodir nuansa kritis santri sebagai akibat positif dari pembelajaran transformatif.

c.

Melestarikan generasi yang memiliki multi kecerdasan, tidak hanya sebatas kecerdasan spiritual, melainkan seluruh aspek kemanusiaannya. Karena fakta sains telah menjawab bahwa pada manusia memiliki banyak kecerdasan, baik IQ (kemampuan syaraf manusia untuk berpikir logis, numeric dan taat asas.43), EQ (mewakili dimensi emosi) dan SQ (mewakili dimensi spiritual seseorang).44 Bahkan saintis Howard Gardner menemukan kecerdasan baru yang disebut dengan MI yaitu multiple

intelligences atau multi kecerdasan atau kecerdasan ganda yang meliputi kecerdasan linguistik,

matematis logis, ruang, kinestetik badani, musical, interpersonal, intrapersonal, naturalis/lingkungan dan eksistensial.45 Menurut penulis, masih banyak lagi kecerdasan manusia yang belum ditemukan, penemuannya sangat bergantung pada perkembangan dan temuan sains.

Secara dogmatis normatif,

manusia adalah makhluk yang sempurna yang disiapkan untuk menjadi khalifah di muka

bumi.

46

d.

Terjadi perubahan komponen pendidikan di pesantren, mulai dari manajemen, metode

pembelajaran, sikap pendidiknya serta daya dukung lainnya. Karena memang model ini

mengharapkan adanya keterpaduan perubahan dalam mekanisme yang sinergik, bukan

parsial. Transformatif pesantren semakin perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi perubahan sosial yang begitu cepat. Menurut HM. Amien Haedari, ada beberapa langkah yang dilakukan diantaranya 1) melakukan pembaharuan kepemimpinan di bawah kiai dalam makna melakukan kaderisasi pemimpin pengganti Kiai pendiri saat ia telah meninggal, bukan menggantikan atau merusak sentralistik kepemimpinan kiai karena hal itu merupakan cirri khas kepesantrenan, 2) pembenahan metodologi pembelajaran yang kreatif dengan tetap mempertahan budaya transmisi keilmuan, dan 3) memperjelas orientasi pesantren di tengah-tengah pendidikan, keagamaan dan peran sosial.

e. Menguatkan normatif Islam, bahwa pendidikan berlangsung bersifat sepanjang hayat. Karena memang dalam konsep pembelajaran transformatif, Proses individuasi bukan suatu proses yang bisa berhenti, akan tetapi merupakan proses yang terus berlangsung selama hidup. Maka untuk menjadikan identitas diri menjadi lebih baik, maka harus selalu melakukan kegiatan belajar sepanjang masa. Dengan begitu tumbuh dan bangkitnya gairah menuntut waktu di setiap lintasan waktu dan siap untuk melakukan perubahan.

f. Membangun sikap santri yang peka sosial, sehingga hal ini berdampak positif terhadap perjalanan pesantren. Model pembelajaran transformatif, adalah pembelajaran yang memberi makna terhadap perubahan sosial serta ikut melakukan perubahan itu sendiri, hal ini tentu sesuai juga dengan semangat dakwah dalam Islam seperti dikemukakan banyak ayat seperti firman Allah swt surat Ali Imran ayat 110.

Sementara sisi negatif yang muncul dalam dunia pesantren sebagai ekses penerapan model pembelajaran transformasi adalah

43 Agus Efendi, Revolusi Kecerdasan Abad 21; Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence Atas IQ, (Bandung: Alfabeta, 2005), h. 82.

44 Ary Ginanjar Agustian, Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan, (Jakarta: Arga, 2004), h. 221.

45 Paul Suparno, Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah; Cara Menerapkan Teori Multiple

Intellegences Howar Gardner, (Jakarta: Kanisius, 2013), h. 17 dan 19.

(14)

30

a. Dimungkinkan akan berkurangnya nuansa pensakralan, pentakzhiman dan pemuliaan yang berlebihan

dari seorang Kiai di pesantren, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

b. Dimungkinkan munculnya generasi -santri- yang selalu siap memberikan kritikan terhadap pelaksanaan pendidikan di pesantren. karena nuansa model transformatif adalah membangun sikap kritis peserta didik. Sementara pola pendidikan di pesantren bukan membangun sikap kritis terhadap kondisi dan perubahan sosial di pesantren. Akan tetapi jika para pengampu pesantren, memiliki cara pandang yang luas, berpikir visioner dan tetap menjaga kharismatik yang sesungguhnya maka ini akan menjadi energi positif bagi pengembangan pesantren itu sendiri.

c. Hilangnya atau memudarnya otoritas seorang Kiai dalam pengelolaan dan pendidikan di pesantren. Karena model pembelajaran ini menjadikan peserta didik sebagai subjek pendidikan dan menghendaki perubahan pola pembelajaran yang bersifat sorogan dan

wetonan serta manajemen

pesantren terutama yang sentralistik pada seorang Kiai. Penggunaan model pembelajaran transformatif menghendaki metode-metode pembelajaran yang transformatif pula sehingga bisa membangun cara berpikir kritis, dialogis, komunikatif serta peka sosial.

d. Kurang menariknya metode pembelajaran dan memudarnya pola pengajaran pesantren dalam bentuk sorogan dan wetonan, karena pola ini tidak membentuk proses transformasi peserta didik dengan nuansa kritis dan dialogis-interaktif.

e. Melunturnya culture di pesantren yang cendrung mistis/sinkretis -terutama pesantren pola tradisional-, hal ini didasarkan pada pandangan filosofis positivisme dan

eksperimentalisme yang

cendrung rasional dan riil. Akan tetapi, nuansa spiritual sufistik masih tetap bisa

dipertahankan

selama didasarkan pada prinsip-prinsip tauhid, bukan pengelabuan berkedok agama seperti pengkeramatan seorang kiai bahkan lebih dari -yaitu mesakralkan dan meminta kekuburan kiai.

f. Melunturnya budaya kitab kuning, karena pola pendidikan tidak menatap masa depan dan mengisolasi diri dari kitab-kitab yang lain. Karena pengajaran melalui kitab-kitab muqarrarah menggunakan sistem pengajian non klasikal dengan urutan membaca, menterjemahkan dengan memperhatikan tiap-tiap kata dalam kalimat, hamper tidak mungkin untuk mengembangkan dan mendorong terciptanya suatu pikiran yang mandiri, merdeka dan kritis dalam diri seorang santri. Sehingga tidak mendorong seseornag untuk berijtihad, bahkan gagasan untuk melakukan ijtihad menjadi bahan tertawaan, karena para santri memahami ijtihad dalam makna ijtihad yang dilakukan oleh ulama terkemuka seperti Imam Syafi’I, Hambili, Maliki dan sebagainya.47

g. Posisi Kiai yang dianggap setara dalam proses pembelajaran, karena model ini lebih mengedepankan nuansa egaliteran dan emansipatoris. Hal inilah yang paling fatal dalam pelaksanaan pembelajaran dengan model transformatif. Karena posisi kiai yang sedemikian tinggi dalam pandangan para santri. Akan tetapi hal ini bisa diminimalisir jika kiainya bisa membangun karisma yang tepat.

h. Rendahnya kemampuan ilmu terapan dari seorang ustadz dalam praktek membelajarkan santri, maka model pembelajaran ini berdampak kegagalan penerapannya.

Kesimpulan

Merujuk pada uraian tentang model pembelajaran transformatif di atas, maka dapat dipahami bahwa model pembelajaran transformatif merupakan model pembelajaran menuju perubahan diri dengan berdasarkan pada proses penyadaran untuk pengembangan potensi, pengembangan daya berpikir kritis, pembelajaran dialogis-interkatif, emansipatoris, partisipatif, egalitarian, kebebasan, serta pemberian makna/hermeneutik.

Model pembelajaran seperti ini menjadi penting dan keharusan di tengah kondisi pendidikan yang tidak sejalan dengan makna pendidikan. Pendidikan yang seharusnya membebaskan, justru yang terjadi adalah pemasungan. Pendidikan yang semesti mengembangkan potensi berubah menjadi pendidikan yang mengekang kemampuan peserta didik, ditambah lagi ekspansi dari luar pendidikan sebagai akibat arus globalisasi yang berdampak terhadap perubahan secara massif segala aspek kehidupan, baik politik, sosial, budaya, hukum dan tidak luput pendidikan itu sendiri. Dampak yang paling jelas itu adalah semakin deras arus dan cara pandang masyarakat yang materialistis dan liberalisme buta.

47 Mujamil Qomar, Op.cit, h. 71.

(15)

31 Semoga tulisan ini dapat memberikan sumbangsih -sedikit atau banyak- terhadap khasanah keilmuah dan ada flow up dari tulisan ini sehingga menjadi khasanah keilmuan yang dapat dijadikan rujukan dan masukan dalam model pembelajaran pada pendidikan Islam.

(16)

32

Reference

Azra, Azyumardi. Pendidikan Islam; Tradisi dan Modernisasi di Tengah Tantangan Milenium III, Jakarta: Kencana, 2012.

---. Esei-esei Intelektual Muslim dan Pendidikan Islam, JaKarta: Logos Wacana Ilmu, 1998. Ashraf, Ali. Horizon Baru Pendidikan Islam, Jakarta: Pustaka Progresif, 1984.

A Steenbrink, Karel. Pesantren, Madrasyah, Sekolah; Pendidikan Islam dalam Kurun Modern, Jakarta: LP3ES, 1994.

Arif, Mahmud. Pendidikan Islam Transformatif, Yogyakarta: LKiS, 2008. Bakti Nasution, Hasan. Filsafat Umum, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001. Bruce Joyce dkk, Models of Teaching, Boston: Allyn and Bacon, 2000. Budiningsih, C. Asri, Belajar dan Pembelajaran, Jakarta: Rineka Cipta, 2005.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi Pesantren; Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta: LP3ES, 1982.

Efendi, Agus. Revolusi Kecerdasan Abad 21; Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Successful Intelligence Atas IQ, Bandung: Alfabeta, 2005.

Ginanjar Agustian, Ary. Rahasia Sukses Membangkitkan ESQ Power; Sebuah Inner Journey Melalui Al-Ihsan,

Jakarta: Arga, 2004.

Halim Soebahar, Abd. Modernisasi Pesantren; Studi Transformasi Kepemimpinan Kiai dan Sistem Pendidikan

Pesantren, Yogyakarta: LKIS, 2013.

Hardika. Pembelajaran Transformatif Berbasis Learning How To Learn, Malang: UMM Press, 2012.

Hasbullah. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia; Lintas Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta: PT Radja Grafindo Persada, 1999.

---. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001.

HM. Amien Haedari. Editor, Pesantren dan Peradaban Islam, Jakarta: Puslitbang Pendidikan Agama dan Keagamaan Balitbang dan Diklat Kementerian Agama, 2010.

Huda, Nor. Sejarah Sosial Intelektual Islam di Indonesia, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2015. KBBHI Off Line.

M. Sukardjo dan Ukim Komarudin. Landasan Pendidikan; Konsep dan Aplikasinya, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2012.

Mastuhu. Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren; Suatu Kajian tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan

Pesantren, Jakarta: INIS, 1994.

Nata, Abuddin. Sejarah Sosial Intelektual Islam dan Institusi Pendidikan, Jakarta: PT. RadjaGrafindo Persada, 2012.

Nizar, Samsul. Sejarah dan Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam; Potret Timur Tengah Era Awal dan

Indonesia, Jakarta: Ciputat Press, 2005.

--- (Editor). Sejarah Pendidikan Islam; Menelusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasulullah sampai

Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Poedjawijatna. Pembimbing Ke Arah Alam Filsafat, Jakarta: Rineka Cipta, 1997.

Prasodjo, Sudjoko, et al. ”Profil Pesantren”. Dalam Abudin Nata (Editor). Sejarah Pertumbuhan dan

Perkembangan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Grasindo, 2001.

Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan.

Putra Daulay, Haidar. Sejarah Pertumbuhan dan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2007.

Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kallam Mulia, 2002.

Ramayulis dan Samsul Nizar. Filsafat Pendidikan Islam; Telaah Sistem Pendidikan dan Pemikiran Para Tokohnya,

Jakarta: kallam Mulia, 2009.

---. Sejarah Pendidikan Islam; Napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam

dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Jakarta: Kallam Mulia, 2011.

---. Psikologi Agama, Jakarta: Kallam Mulia, 2008.

Rachman Shaleh, Abdul. Pendidikan Agama dan Keagamaan: Visi, Misi dan Aksi, Jakarta: Gemawindu Pancaperkasa, 2000.

Saleh Abdullah, Abdurrahman. Teori-teori Pendidikan Berdasarkan Al-Qur’an, Jakarta: Rineka Cipta, 1990. Sobur, Alex. Psikologi Umum, Bandung: Pustaka Setia, 2003.

(17)

33 Suparno, Paul. Teori Intelegensi Ganda dan Aplikasinya di Sekolah; Cara Menerapkan Teori Multiple Intellegences

Howar Gardner, Jakarta: Kanisius, 2013.

Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan; Pengantar Peodagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta, 2012.

Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Qomar, Mujamil. Manajemen Pendidikan Islam: Strategi Baru Pengelolaan Lembaga Pendidikan Islam, Jakarta: Erlangga, 2007.

---. Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demokratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, tt. Van Bruinessen, Martin Kitab Kuning; Pesantren dan Tarekat, Bandung: Mizan, 1995.

Gambar

Tabel 1. Perkembangan Pedagogik Transformatif
Tabel 2. Perbandingan Pola Pendidikan Tradisionalis, Kritis dan Transformatif

Referensi

Dokumen terkait

Hambatan yang timbul dalam penyusunan Anggaran dan Pendapatan Belanja Desa (APBDes). Beberapa hambatan yang muncul dalam penyusunan APBDes di Desa Ngrambe dapat

Berdasarkan latar belakang tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kerentanan pencemaran pada jenis batuan atau litologi akuifer batugamping

Dari sisi hukum acara pidana, yang dimaksud dengan saksi verbalisan atau disebut juga dengan saksi penyidik adalah seorang penyidik yang kemudian menjadi saksi atas suatu perkara

Hasil perhitungan dan analisis terhadap 46 data trafik internet agregat harian pada 4 lokasi router (pengukuran trafik internet secara spasial) menunjukkan bahwa

[r]

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segala berkat, rahmat, serta karunia yang telah diberikan-Nya, sehingga penulis sehingga dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi yang

Kajian tentang konsep dasar hukum sebagai norma sosial di Indonesia melalui Undang-Undang No 1 tahun 1974 pada aspek nilai-nilai dasar hukum keluarga dan

1. Pembentukan sikap mental perlu dipupuk mulai dari lingkungan keluarga. Sebab orang tua adalah merupakan benteng ketahanan dan rasa keimanan yang sangat besar untuk