• Tidak ada hasil yang ditemukan

mencapai 37 minggu. Bayi yang lahir kurang bulan belum siap hidup di luar melawan infeksi dan menjaga tubuh tetap hangat (Depkes RI, 2009).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "mencapai 37 minggu. Bayi yang lahir kurang bulan belum siap hidup di luar melawan infeksi dan menjaga tubuh tetap hangat (Depkes RI, 2009)."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.1 Bayi berat lahir rendah (BBLR) 2.1.1 Definisi BBLR

Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi dengan berat badan lahirnya kurang 2500gr tanpa memandang masa kehamilan. Berat badan lahir adalah berat badan yang ditimbang dalam 1 jam setelah bayi lahir. Bayi berat lahir rendah terjadi karena kehamilan prematur, bayi kecil masa kehamilan dan kombinasi keduanya. Bayi kurang bulan adalah bayi yang lahir sebelum umur kehamilan mencapai 37 minggu. Bayi yang lahir kurang bulan belum siap hidup di luar kandungan sehingga bayi akan mengalami kesulitan dalam bernapas, menghisap, melawan infeksi dan menjaga tubuh tetap hangat (Depkes RI, 2009).

2.1.2 Klasifikasi BBLR

Berdasarkan berat badan lahir, BBLR dibagi menjadi (Maryunani, 2013) : 2.1.2.1 Bayi berat lahir rendah (BBLR) adalah bayi yang lahir dengan berat badan

kurang dari 2500 gr.

2.1.2.2 Bayi berat lahir sangat rendah (BBLSR) atau Very Low Birth Weight (VLBW) adalah bayi yang lahir dengan berat badan antara 1000-1500 gr. 2.1.2.3 Bayi berat lahir amat sangat rendah (BBLASR) adalah bayi yang lahir

dengan berat badan kurang dari 1000 gr.

(2)

2.1.3 Dampak BBLR

Peningkatan angka disabilitas, morbiditas dan mortalitas neonatus, bayi dan anak salah satunya karena BBLR. Kejadian BBLR dapat berpengaruh terhadap kehidupan anak di masa depan antara lain, keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan pada masa anak-anak, meningkatkan risiko penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit kardiovaskuler dan diabetes mellitus tipe 2 dan pada anak perempuan akan berisiko melahirkan BBLR ketika mereka menjadi ibu (UNICEF dan WHO, 2004; WHO, 2014).

2.2 Faktor Risiko BBLR

Menurut beberapa sumber, banyak faktor risiko yang menjadi penyebab atau pencetus kejadian BBLR. Menurut WHO (2004), Depkes RI (2009) dan Manuaba (2010), faktor-faktor tersebut adalah:

2.2.1 Usia ibu

Kehamilan pada masa remaja (umur <20 tahun) menimbulkan tantangan bagi remaja dan janin yang dikandungnya. Peningkatan risiko terhadap komplikasi kehamilan dan luaran perinatal yang buruk seperti pre eklamsia, berat lahir janin rendah dan prematuritas. Kehamilan pada umur remaja berdampak pada pertumbuhan yang kurang optimal karena kebutuhan zat gizi pada masa tumbuh kembang remaja sangat dibutuhkan oleh tubuhnya sendiri (Simbolon dan Aini, 2013). Ibu yang berumur kurang 20 tahun kondisi rahim dan panggul ibu belum tumbuh secara sempurna, sehingga kemungkinan akan mendapat kesulitan dalam persalinan yaitu mengalami perdarahan sebelum atau sesudah bayi lahir. Risiko melahirkan anak cacat dan bayi kurang bulan juga menjadi lebih besar. Ibu

(3)

yang hamil pada umur lebih dari 35 tahun akan mengalami banyak kesulitan karena pada usia tersebut ibu mudah sakit, organ kandungan mengalami penurunan fungsi dan jalan lahir semakin kaku sehingga mudah terjadi persalinan macet dan perdarahan (Rochjati, 2011).

Ibu hamil dengan umur yang terlalu muda atau terlalu tua akan mempengaruhi kebutuhan gizi selama hamil. Ibu hamil yang terlalu muda memerlukan tambahan gizi yang ganda, hal ini dikarenakan kebutuhan gizi tersebut dipergunakan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang dikandung juga diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan tubuh ibu sendiri. Ibu hamil dengan umur yang terlalu tua memerlukan tambahan energi yang cukup banyak, hal ini dikarenakan melemahnya fungsi organ tubuh (Kristyanasari 2010).

Penelitian yang dilakukan Tafwid (2010) di Kepulauan Bangka Belitung, mendapatkan usia ibu <20 tahun berisiko 4,1 kali lebih banyak melahirkan BBLR dibanding melahirkan bayi berat normal sedangkan usia >35 tahun berisiko 3,6 kali. Hasil penelitian Sistiarani (2008) di Banyumas mendapatkan ibu umur <20 tahun dan >35 tahun (umur berisiko) mempunyai risiko 4,28 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu dengan umur 20-35 tahun (umur tidak berisiko). Hasil penelitian Budiman dkk (2010) bahwa kejadian BBLR lebih banyak pada ibu usia risiko (<20 tahun dan >35 tahun). Penelitian di Cina oleh Chen dkk (2011) usia ibu, baik <20 tahun dan >35 tahun, merupakan faktor risiko melahirkan BBLR. Penelitian Sharma dkk (2015) di Nepal menunjukkan bahwa ibu-ibu muda (<20

(4)

tahun) berisiko dua kali lebih melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang lebih tua

2.2.2 Jarak kehamilan

Jarak kehamilan sangat berpengaruh terhadap berat bayi yang dilahirkan ibu. Jarak kehamilan dikatakan berisiko apabila ibu hamil dalam waktu kurang dari dua tahun dari kehamilannya yang sebelumnya. Hamil dengan jarak yang terlalu dekat akan mengakibatkan berkurangnya suplai darah yang kaya oksigen dan makanan ke plasenta. Fungsi plasenta yang terganggu dapat mempengaruhi kondisi janin antara lain, gangguan pertumbuhan hasil konsepsi, imaturitas, prematuritas, cacat kongenital dan BBLR (Depkes, 2003).

Jarak kehamilan yang terlalu dekat akan menyebabkan kondisi tubuh ibu belum sepenuhnya pulih dari kehamilan dan persalinan sebelumnya. Ibu hamil dengan kondisi tubuh yang belum pulih sempurna dapat memberi risiko sistem reproduksi terganggu. Sistem reproduksi ibu yang terganggu dapat mengganggu pertumbuhan perkembangan janin salah satunya adalah BBLR (Trihardiani, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Nurfilaila (2012) menemukan ada hubungan jarak kehamilan dengan kelahiran BBLR. Kehamilan dengan jarak yang terlalu dekat (kurang dua tahun) dikhawatirkan berpengaruh terhadap proses pertumbuhan janin dalam rahim sehingga memungkinkan terjadinya BBLR. Penelitian Trihardiani (2011) mendapatkan hasil tidak ada hubungan jarak kehamilan dengan kelahiran BBLR.

(5)

2.2.3 Kurang energi kronik (KEK)

Kekurangan energi kronik (KEK) adalah masalah gizi yang sering dialami ibu hamil. Dampak negatif KEK untuk ibu hamil dan janin yang dikandung antara lain peningkatan kematian ibu, bayi berisiko mengalami BBLR, kematian dan gangguan pertumbuhan dan perkembangan (Festy, 2010). Kekurangan energi dalam jangka waktu yang lama dapat menyebabkan KEK. Wanita dengan KEK di negara berkembang adalah kurang gizi secara kumulatif sejak masa janin, bayi dan anak-anak serta berlanjut hingga dewasa. Penyebab KEK secara khusus pada ibu hamil adalah adanya asupan untuk pemenuhan kebutuhan dan pengeluaran energi yang tidak seimbang. Ketersediaan pangan musiman, distribusi yang tidak proporsional di keluarga dan beban kerja ibu hamil yang berat berpengaruh terhadap ketidakseimbangan pemenuhan kebutuhan gizi (Albugis, 2008).

Ibu hamil yang menderita KEK, dalam tubuh ibu akan mengalami penurunan volume darah dan cardiac output yang berpengaruh pada penurunan aliran darah dari ibu ke plasenta. Aliran darah dari plasenta yang menurun akan menyebabkan berkurangnya transfer zat makanan dari ibu ke plasenta. Hal ini menyebabkan pertumbuhan plasenta menjadi kecil yang memberikan dampak pada gangguan pertumbuhan janin sehingga berat badan bayi akan lebih rendah (Soetjiningsih, 2012). WUS dengan risiko KEK di Indonesia ditetapkan dengan ambang batas LILA 23,5 cm (Ariyani dkk, 2012). Lingkar lengan atas (LILA) merupakan salah satu parameter status gizi untuk WUS, calon ibu hamil dan ibu hamil. Pengukuran LILA merupakan cara deteksi dini yang mudah untuk

(6)

mengetahui status KEK yang dapat digunakan untuk menapis perempuan yang berisiko melahirkan BBLR (Supariasa dkk, 2002).

Penelitian Trihardiani (2011) menemukan ibu hamil dengan KEK berisiko melahirkan BBLR 7,9 kali dibandingkan ibu hamil yang tidak KEK. Penelitian di Kota Bantul oleh Syarifuddin (2011), ibu hamil dengan KEK 3,95 kali berisiko melahirkan BBLR. Penelitian Sulistiani (2014) di Tangerang Selatan bahwa KEK pada ibu hamil berisiko 8,719 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak KEK.

2.2.4 Status penambahan berat badan

Status gizi ibu selama hamil dapat ditentukan dengan mengukur lingkar lengan atas (LILA), mengukur kadar hemoglobin dan memantau pernambahan berat badan selama hamil (Waryono, 2010). Penambahan berat badan pada ibu hamil ditentukan berdasarkan indeks massa tubuh (IMT) (Proverawati dan Asfuah, 2009). FAO dan WHO (2002) menentukan batasan berat badan normal terhadap tinggi badan orang dewasa berdasarkan nilai indeks massa tubuh (IMT)/body mass index (BMI). IMT dihitung berdasarkan berat badan dalam kilogram (kg) dibagi dengan tinggi badan dalam meter kuadrat (m²) dan tidak terikat dengan jenis kelamin. Anjuran penambahan berat badan selama kehamilan dapat dilihat pada Tabel 2.1.

(7)

Tabel 2.1 Penambahan berat badan selama kehamilan berdasarkan IMT

IMT (kg/m² ) Total kenaikan berat

badan yang disarankan (kg) Selama trimester 2 &3 (kg/minggu) Kurus (IMT<18,5) 12,7 – 18,1 0,5 Normal (IMT 18,5-22,9) 11,3 – 15,9 0,4 Overweight (IMT 23-24,9) 6,8 – 11,3 0,3 Obesitas (IMT≥25) < 6,8 0,2

Sumber : Proverawati dan Asfuah, 2009

Penambahan berat badan yang cukup selama hamil menggambarkan kebutuhan ibu dan janin yang terpenuhi sehingga dapat mendukung pertumbuhan dan perkembangan janin. Penambahan berat badan yang kurang selama hamil akan memungkinkan terjadinya keguguran, kelahiran prematur, berat bayi yang kurang dan perdarahan setelah persalinan (Proverawati dan Misaroh, 2010).

Penambahan berat badan selama hamil diharapkan dapat bertambah sesuai dengan usia kehamilan. Laju pertumbuhan janin dapat dinilai secara langsung dengan mengetahui berat badan ibu sebelum hamil dan penambahan berat badan selama hamil. Penambahan berat badan ibu yang sesuai merupakan indikasi kebutuhan gizi yang terpenuhi selama hamil. Kebutuhan gizi yang tercukupi selama hamil dapat menunjang pertumbuhan dan perkembangan janin. Penambahan berat badan ibu yang tidak sesuai merupakan faktor yang dapat meningkatkan risiko terjadinya keguguran, kelahiran prematur dan BBLR. (Trihardiani, 2011).

Penelitian yang dilakukan oleh Festy (2010) di Kabupaten Sumenep mendapatkan penambahan berat badan ibu yang kurang berisiko 8,264 kali

(8)

menyebabkan BBLR. Penelitian Trihardiani (2011) bahwa ibu hamil dengan penambahan berat badan yang kurang mempunyai risiko 6,6 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil dengan penambahan berat badan yang cukup. Penelitian Mumbare dkk (2012) di India bahwa berat badan ibu sebelum kelahiran bayi 55 kg merupakan faktor risiko yang signifikan terkait dengan berat badan lahir rendah. Penelitian Ota dkk (2010) menemukan bahwa BMI ibu yang kurang dan peningkatan berat badan dari <10 kg selama kehamilan berisiko melahirakan bayi dengan berat lahir yang rendah.

2.2.5 Anemia

Penyebab anemia pada kehamilan sebagian besar karena kurangnya zat besi yang dibutuhkan untuk proses pembentukan hemoglobin. Zat gizi besi dari makanan yang tidak cukup diserap oleh tubuh akan menyebabkan berkurangnya pembentukan sel darah merah. Kondisi tersebut menyebabkan seseorang menderita anemia gizi besi. Pemasukan dan pengeluaran zat besi dalam tubuh yang tidak seimbang menyebabkan berkurangnya distribusi oksigen ke jaringan dan metabolisme jaringan menurun sehingga pertumbuhan janin dapat terganggu dan mengakibatkan bayi dapat lahir dengan berat badan yang rendah (Trihardiani, 2011).

Ibu hamil merupakan kelompok yang sangat rentan terhadap anemia karena kebutuhan zat-zat gizi bagi pembentukan darah meningkat selain untuk dirinya sendiri juga untuk kebutuhan janinnya. Ibu hamil yang anemia akan berisiko perdarahan saat persalinan bahkan bila ibu hamil menderita anemia berat akan meningkatkan risiko gangguan pertumbuhan dan perkembangan, keguguran,

(9)

prematur (lahir sebelum waktunya), melahirkan BBLR bahkan kematian janin dalam rahim dan kematian perinatal (meninggal sebelum umur satu minggu). Hal ini terjadi karena fungsi hemoglobin dalam darah adalah membawa oksigen yang diperlukan oleh jaringan tubuh dalam proses dan membuang karbondioksida (CO²). Bila dalam darah kekurangan hemoglobin, maka oksigen yang dibawa darah ke seluruh tubuh juga berkurang sehingga kebutuhan jaringan tubuh terganggu termasuk pertumbuhan janin dalam kandungan ibu (Amalia, 2011).

Anemia pada kehamilan adalah kondisi ibu hamil dengan kadar hemoglobin pada trimester I dan III di bawah 11 gr% atau kadar hemoglobin pada trimester II < 10,5% (Depkes RI, 2009). Penelitian Despande dkk (2011) di India mendapatkan faktor maternal yang berhubungan dengan BBLR adalah anemia, ibu hamil yang anemia berisiko 2,54 kali lebih besar akan melahirkan BBLR. Penelitian di Nepal oleh Sharma dkk (2015) mendapatkan ibu dengan kadar hemoglobin kurang dari 11gr/dl secara bermakna dikaitkan dengan kejadian BBLR. Penelitian di Zimbabwe oleh Ferezu dkk (2015) bahwa ibu hamil dengan anemia 2,63 kali dapat meningkatkan risiko melahirkan BBLR. Penelitian Amalia (2011) di Kabupaten Gorontalo bahwa ibu hamil yang menderita anemia 4,643 kali akan melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak menderita anemia. Penelitian Sulistiani (2014) mendapatkan ibu hamil yang anemia 3,989 kali berisiko melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak anemia. 2.2.6 Merokok

Merokok selama kehamilan dikaitkan dengan berbagai hasil yang merugikan bagi janin, bayi baru lahir dan anak. Karbon monoksida dan nikotin

(10)

dari asap tembakau dapat mengganggu pasokan oksigen janin karena nikotin mudah melintasi plasenta. Nikotin berkonsentrasi dalam darah janin, cairan ketuban, dan ASI. Hal ini memperlihatkan bahwa nikotin dapat memberikan efek toksik ganda pada janin dan bayi. Efek buruk dari merokok selama kehamilan dapat mencakup risiko untuk kelahiran mati, kematian bayi, sindrom kematian bayi mendadak, kelahiran prematur, masalah pernapasan, mengganggu pertumbuhan janin dan bayi lahir rendah(NIDA, 2011).

Menurut Wheeler (2004) berat lahir yang rendah terjadi akibat penurunan perfusi uteroplasenta dan penurunan oksigenasi yang disalurkan ke janin. Ibu hamil perokok lebih dari ½ pak perhari cenderung akan melahirkan BBLR daripada ibu bukan perokok. Menurut Rasyid dkk (2012) nikotin pada rokok menimbulkan pembuluh darah berkontriksi akibatnya, darah yang mengalir ke tali pusat ke janin berkurang sehingga mengurangi penyaluran nutrisi kepada janin. Hemoglobin dalam darah diikat oleh karbon monooksida sehingga kerja hemoglobin dalam darah berkurang. Kerja hemoglobin yang berkurang dalam mengikat oksigen yang akan disalurkan ke seluruh tubuh mempengaruhi pendistribusian oksigen dan makanan ke janin.

Ibu yang terpapar asap rokok (perokok pasif) memberikan paparan pasif untuk janin (asap tersier), mengakibatkan peningkatan risiko melahirkan BBLR dan kelahiran prematur (NIDA, 2011). Penelitian yang dilakukan oleh Rasyid dkk (2012) mendapatkan ibu hamil yang mengalami keterpaparan asap rokok selama hamil berisiko 4,2 kali lipat terhadap kejadian BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak terpapar asap rokok. Penelitian Amalia (2011) mendapatkan ibu hamil

(11)

yang terpapar asap rokok 5,516 kali berisiko melahirkan BBLR dibandingkan ibu hamil yang tidak terpapar asap rokok.

2.2.7 Konsumsi minuman beralkohol

Konsumsi minuman beralkohol telah dihubungkan dengan defisit neurologis pada bayi baru lahir dengan BBLR. Ibu hamil yang peminum berat bisa mengakibatkan terjadinya sindrom alkohol janin (Ladewig dkk, 2005). Konsumsi minuman beralkohol secara berlebihan dapat meningkatkan risiko keguguran, lahir mati, kematian bayi baru lahir dan sindrom alkohol janin [Fetal Alcohol Syndrome (FAS)]. Bayi dengan FAS memiliki berat badan rendah lahir, cacat jantung, cacat wajah, kecacatan intelektual dan keterbelakangan mental. Tingkat aman dari mengonsumsi alkohol selama kehamilan belum diketahui secara jelas. Hal terbaik yang bisa dilakukan adalah tidak minum minuman beralkohol sama sekali, bahkan satu gelas sehari telah terbukti memiliki efek pada pertumbuhan janin. Waktu terbaik untuk berhenti adalah saat sebelum hamil. Jika kehamilan tidak direncanakan, ibu harus segera berhenti (Cunningham dkk, 2013)

Ibu hamil yang mengonsumsi alkohol satu gelas atau lebih perhari berisiko mengalami aborsi spontan sampai dua kali lipat dan setiap dua gelas alkohol yang dikonsumsi di kehamilan tahap lanjut akan membuat berat lahir kurang (Wheeler, 2004). Penelitian Silva dkk (2011) ibu yang mengonsumsi minuman beralkohol selama hamil akan berisiko 4,20 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang tidak mengonsumsinya. Penelitian Cooper dkk (2013) mendapatkan ibu hamil yang peminum akan berisiko 1,68 kali melahirkan BBLR.

(12)

2.2.8 Konsumsi obat-obatan terlarang

Penggunaan narkoba selama kehamilan secara signifikan meningkatkan risiko hasil kelahiran yang merugikan secara signifikan, karena usia kehamilan saat melahirkan dan berat bayi adalah prediktor biologis dari jangka pendek dan jangka panjang dari hasil kehamilan. Sejumlah penelitian telah melaporkan hubungan yang signifikan antara paparan ganja selama periode prenatal dengan penurunan berat badan lahir dan usia kehamilan. Penggunaan methamphetamine selama kehamilan meningkatan risiko berat badan lahir rendah dan gangguan pertumbuhan janin.Penggunaan kokain selama hamil dapat meningkatkan 2,2 kali lipat risiko melahirkan BBLR (NIDA, 2011)

Ibu hamil dianjurkan untuk tidak mengonsumsi obat-obatan selama hamil yang tidak diresepkan oleh dokter (Maryunani, 2013). Penggunaan golongan obat teratogenik sebelum atau selama hamil merupakan hal yang berisiko bagi janin. Ibu hamil yang mengkonsumsi obat-obatan selama hamil dapat berpengaruh terhadap janin yang dikandungnya, antara lain gangguan pertumbuhan janin, kelainan bawaan dan BBLR (Trihardiani, 2011).

2.2.9 Tinggi badan

Tinggi badan ibu hamil yang kurang dari rata-rata akan memengaruhi berat badan bayi yang dilahirkan. Kelahiran BBLR pada ibu hamil dengan badan yang pendek sangat dipengaruhi oleh faktor anatomi tubuh ibu (UNICEF dan WHO, 2004). Penelitian Budiman (2011), ibu hamil dengan tinggi badan yang berisiko adalah ≤ 145 cm. Semakin tinggi badan ibu hamil maka makin besar berat bayi yang dilahirkan. Sebuah studi di India melaporkan tingginya insiden

(13)

bayi BBLR pada ibu dengan tinggi badan <145 cm daripada ibu dengan tinggi badan >145 cm. Ibu yang memiliki tinggi badan <145 cm berisiko 1.32 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang memiliki tinggi badan >145 cm. Penelitian Sulistiani (2014) mendapatkan ibu hamil yang mempunyai tinggi badan <145 cm akan berisiko 6,337 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang mempunyai tinggi >145 cm.

2.2.10 Status bekerja

Pengeluaran energi yang besar pada ibu hamil sebagai akibat dari suatu pekerjaan yang membutuhkan tenaga fisik yang berat akan berpengaruh terhadap janin yang dikandung. Hal ini dapat terjadi karena sebagian besar kalori terkuras oleh pekerjaan yang dilakukan oleh ibu sehingga berakibat pada pengurangan jumlah kalori yang tersedia untuk janin. Kebutuhan energi yang tidak tercukupi pada ibu hamil dengan pekerjaan berat adalah salah satu faktor yang dapat memengaruhi berat lahir bayi yang dilahirkan nanti. Penelitian Yuliva dkk (2009) menunjukkan rata-rata berat lahir bayi berdasarkan pekerjaan dengan aktivitas fisik berat pada kelompok ibu bekerja lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata berat lahir bayi ibu tidak bekerja dengan aktivitas yang berat.Widyastuti (2008) yang menunjukkan bahwa pekerjaan berisiko 3,47 kali menyebabkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak bekerja.

2.2.11 Tingkat pendidikan

Pendidikan tinggi akan lebih memudahkan bagi seseorang untuk memperoleh informasi tentang kesehatan lebih banyak dibandingkan dengan yang berpendidikan rendah. Perkembangan seseorang terhadap nilai-nilai yang baru

(14)

dikenal akan dihambat oleh pendidikan yang kurang (Notoadmodjo, 2010). Tingkat pendidikan dapat menjadi dasar seseorang untuk mengambil keputusan. Penerimaan serta pengembangan pengetahuan dan teknologi ditentukan oleh pendidikan yang dimiliki seseorang. Ibu dengan pendidikan yang tinggi akan semakin mampu untuk mengambil keputusan untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang dapat mencegah permasalahan secara dini dalam kehamilan bagi ibu dan janinnya. Pendidikan berhubungan dengan tingkat pengetahuan ibu tentang kebutuhan selama kehamilan yaitu perawatan dan gizi selama kehamilan (Simamarta, 2010).

Menurut UU RI No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tingkat pendidikan berdasarkan lama pendidikan dikategorikan menjadi pendidikan rendah dengan pendidikan setinggi-tingginya tamat SLTP atau jumlah tahun sukses sekolah sampai dengan 9 tahun, pendidikan sedang yaitu dengan jumlah tahun sukses sekolah sampai dengan 12 tahun atau menamatkan pendidikan SLTA dan pendidikan tinggi dengan tahun sukses sekolah lebih dari 12 tahun atau perguruan tinggi. Penelitian Yuliva dkk (2009), bayi dengan berat lahir yang lebih rendah dilahirkan oleh ibu dengan pendidikan yang kurang. Pendidikan memengaruhi pengetahuan ibu tentang perawatan kehamilan, persalinan dan nifas. Daya serap terhadap pengetahuan dan keinginan seseorang untuk mengetahui setiap hal yang berkaitan dengan kehamilan berkaitan dengan tingkat pendidikan seseorang.

Penelitian yang dilakukan oleh Atriyanto (2006) mendapatkan ibu hamil yang memiliki pendidikan rendah (tidak tamat SLTA ke bawah) berisiko 1,84 kali

(15)

melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu hamil yang berpendidikan tinggi (tamat SLTA ke atas). Penelitian Amalia (2011) mendapatkan ibu dengan tingkat pendidikan <SMP berisiko 1,709 kali melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tingkat pendidikannya SMP. Penelitian Lestariningsih dan Duarsa (2013) mendapatkan kemungkinan risiko melahirkan BBLR pada ibu dengan pendidikan rendah adalah 5,29 kali lebih besar dibandingkan pada ibu dengan pendidikan tinggi. Penelitian Khanal dkk (2011) di Nepal bahwa para ibu dengan pendidikan dasar lebih mungkin untuk memiliki bayi BBLR.

2.2.12 Status ekonomi

Bayi dengan berat badan rendah banyak dilahirkan oleh ibu hamil dengan status ekonomi yang rendah. Kurang gizi dalam waktu yang lama termasuk selama kehamilan berdampak terhadap kelahiran bayi dengan berat lahir rendah. Kemiskinan penyebab tingginya angka kejadian komplikasi dan penyakit infeksi selama kehamilan. Melakukan pekerjaan yang berat selama kehamilan berkontribusi pada gangguan pertumbuhan janin (UNICEF dan WHO, 2004).

Kondisi sosial, ekonomi dan demografi adalah tolak ukur rumah tangga yang berkualitas. Ketahanan pangan, gizi, pendidikan dan kesehatan rumah tangga dipengaruhi oleh kondisi tersebut. Bayi yang lahir dengan berat badan yang rendah merupakan tolak ukur yang sering digunakan dalam berbagai penelitian untuk menemukan hubungan dengan banyak masalah gizi dan kesehatan (Subarkah dan Yudarini, 2003).

(16)

2.2.13 Riwayat kelahiran BBLR

Penyebab kelahiran prematur dan BBLR yang telah diketahui dapat diperbaiki dengan perawatan antenatal yang baik, pengurangan faktor risiko lainnya serta pembatasan kegiatan dapat membantu mencegah hal tersebut terulang kembali. Bila penyebab kelahiran prematur dan BBLR tidak dapat dicegah atau diperbaiki maka kelahiran prematur dan BBLR dapat ditunda. Pengunduran waktu sejenak dapat bermanfaat, dimana setiap hari tambahan nutrisi bayi yang berada dalam uterus akan meningkatkan kesempatan untuk selamat (Maryunani, 2013). Seorang wanita yang pernah melahirkan bayi prematur, pada kehamilan berikutnya berisiko untuk melahirkan bayi prematur. Ibu yang melahirkan bayi dengan berat badan ≤ 1,5 kg berisiko 50% melahirkan bayi prematur pada kehamilan selanjutnya (Dardiantoro, 2007).

2.2.14 Penyakit ibu

Penyakit dalam kehamilan terdiri dari adanya riwayat penyakit kronis seperti hipertensi, penyakit jantung, diabetes mellitus, penyakit hati, penyakit ginjal dan toksemia, adanya penyakit infeksi seperti malaria kongenital serta infeksi vagina dan rubella. Ketidakseimbangan hormonal pada ibu hamil disamping dapat menyebabkan keguguran setelah kandungan besar, ketidakseimbangan hormonal juga dapat menyebabkan kelahiran prematur dan BBLR (Maryunani, 2013).

Penyakit jantung memberi dampak yang kurang menguntungkan bagi kehamilan dan janin dalam kandungan. Gangguan sianosis dan hipoksia pada ibu akan berdampak pada tidak berkembangnya hasil konsepsi sehingga dapat terjadi

(17)

abortus. Jika hasil konsepsi bisa bertahan hidup, bayi bisa lahir kurang bulan atau lahir cukup bulan namun dengan BBLR. Selama persalinan janin dapat mengalami hipoksia dan gawat janin. Bayi lahir dengan nilai APGAR skor rendah. Volume plasma yang lebih rendah banyak ditemukan pada ibu hamil dengan penyakit jantung pada kehamilan 32 minggu dan persalinan kala I (Wiknjosastro, 2012).

2.2.15 Usia kehamilan

Usia kehamilan berlangsung selama 40 minggu atau 280 hari. Usia kehamilan merupakan jangka waktu ibu mengandung hasil konsepsi yang dihitung mulai dari haid pertama haid terakhir (HPHT). Usia kehamilan disebut matur atau cukup bulan apabila usia kehamilan ibu memasuki 37-42 minggu bila <37 minggu disebut prematur atau kurang bulan, bila >42 minggu disebut postmatur atau serotinus (Wiknjosastro, 2012).

Kelahiran prematur adalah penyebab utama kecacatan, kesakitan dan kematian bayi. Kehamilan yang yang berlangsung lebih pendek menyebabkan bayi lebih kecil serta mempunyai risiko untuk mengalami cacat, sakit dan mati. Kondisi ini menunjukkan terdapat kecenderungan yaitu kematian bervariasi di antara spektrum berat lahir dan meningkat terus menerus dengan semakin menurunnya berat badan. Jika dihubungkan dengan pertumbuhan yang tidak maksimal pada saat anak-anak kejadian sakit pada saat dewasa lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang tumbuh dengan baik seperti kardiovaskuler, hipertensi, DM tipe 2. Pada perempuan terdapat tambahan risiko yaitu dapat melahirkan bayi dengan berat badan yang rendah nantinya (UNICEF dan WHO,

(18)

2004). Penyebab BBLRsalah satunya disebabkan karena adanya kelahiran prematur. Bayi yang prematur sekitar 60% akan mengalami BBLR (WHO, 2011).

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Surtiati (2003) mendapatkan ibu yang melahirkan di umur kehamilan kurang dari 37 minggu memiki risiko 10 kali untuk mengalami BBLR dibandingkan dengan ibu yang melahirkan pada umur kehamilan ≥ 37 minggu. Penelitian Sulistiani (2014) mendapatkan usia kehamilan ibu <37 minggu berisiko 143,5 kali melahirkan BBLR dibandingkan ibu yang melahirkan pada usia kehamilan ≥ 37 minggu.

2.2.16 Pre eklamsia

Pre eklamsia yaitu ibu yang mengalami peningkatan tekanan darah pada saat kehamilan. Kondisi tersebut dapat membahayakan ibu dan bayi yang dikandung (Maryunani, 2013). Munculnya pre eklamsia diikuti dengan adanya gejala hipertensi, edema dan proteinuria. Pre eklamsia dapat menyebabkan kematian pada ibu dan janin. Umumnya pre eklamsi terjadi pada trimester ke 3 kehamilan dan dapat berlangsung selama kehamilan, persalinan dan pasca persalinan (Wiknjosastro, 2012). Vasospasme menyebabkan terjadinya konstriksi pada berbagai organ termasuk plasenta. Resistensi aliran darah karena konstriksi akan menyebabkan hipertensi arterial pada plasenta. Menurunnya darah yang mengalir ke plasenta berdampak pada terganggunya fungsi plasenta yang dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan janin (Cunningham dkk, 2013).

Gejala pre-eklamsia yang timbul lebih dahulu adalah gejala hipertensi. Kenaikan tekanan sistolik mencapai 30 mmHg atau lebih di atas tekanan yang biasanya ditemukan, atau mencapai 140 mmHg atau lebih dan tekanan diastolik

(19)

naik mencapai 15 mmHg atau lebih atau menjadi 90 mmHg sehingga diagnosa hipertensi dapat ditegakkan (Manuaba, 2008). Komplikasi serius pada trimester kedua-ketiga salah satunya diakibatkan oleh pre-eklamsia dengan gejala klinis hipertensi, edema, dan proteinuria, kejang sampai koma. Hipertensi mengakibatkan spasme pada pembuluh darah, sehingga fungsi plasenta mengalami gangguan yang dapat menghambat sirkulasi uteroplasenter. Terganggunya sirkulasi uteroplasenter memengaruhi pasokan nutrisi dan O² pada janin sehingga bayi akan lahir dengan berat badan yang rendah (Kurniawati, 2010).

Edema adalah penimbunan cairan yang berlebih di dalam jaringan tubuh. Edema bisa dideteksi secara dini melalui kenaikan berat badan, adanya muka, jari tangan dan kaki yang mengalami pembengkakan. Kewaspadaan dapat ditingkatkan pada ibu hamil yang mengalami kenaikan berat badan ½ kg seminggu beberapa kali. Proteinuria merupakan komplikasi lanjutan dari hipertensi dalam kehamilan. Hipertensi menyebabkan ginjal mengalami kerusakan sehingga beberapa protein yang disaring oleh ginjal menjadi terbuang bersama urin. Dalam kondisi normal, urin memang mengandung sejumlah protein tetapi tidak melebihi 0,3 gr dalam 24 jam. Proteinuria merupakan bentuk adanya komplikasi hipertensi, kondisi ini membutuhkan perhatian dan penanganan segera (Manuaba, 2008).

Penelitian Lestariningsih dan Duarsa (2013) mendapatkan ibu dengan pre-eklampsia dalam kehamilan kemungkinan berisiko 10,118 kali lebih besar untuk melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak pre eklampsia. Penelitian

(20)

Kurniawati (2010) di RSUD Sragen mendapatkan ibu hamil dengan pre eklamsia 3,5 kali berisiko melahirkan BBLR dibandingkan dengan ibu yang tidak pre-eklamsia. Penelitian Ferezu dkk (2015) di Zimbabwe menemukan pre-eklamsi 2,64 kali meningkatkan risiko kelahiran BBLR.

2.2.18 Kehamilan ganda

Kehamilan ganda adalah kehamilan dengan janin yang dikandung jumlahnya lebih dari satu (Maryunani, 2013). Ibu dan janin dapat mempunyai risiko yang lebih tinggi dengan adanya kehamilan ganda. Kekurangan gizi seperti anemia dalam kehamilan dapat membuat gangguan pertumbuhan janin dalam rahim, hal ini terjadi karena tidak tercukupinya kebutuhan untuk pertumbuhan pada kehamilan ganda (Lubis, 2011).

Pada umur kehamilan yang sama berat badan janin hamil kembar lebih ringan dibandingkan berat badan janin hamil tunggal. Kenaikan berat badan janin kehamilan kembar akan sama dengan janin kehamilan tunggal pada umur kehamilan 30 minggu. Regangan berlebihan pada kehamilan ganda menyebabkan peredaran darah plasenta berkurang sehingga kenaikan berat badan janin menjadi lebih kecil. Pada kehamilan kembar berat badan satu janin rata-rata 1000 gr lebih ringan daripada janin kehamilan tunggal. Umumnya pada kehamilan kembar berat badan bayi yang baru lahir adalah 2500 gr (Wulandari, 2011). Salah satu anak dapat lebih berat 50-1000 gr dari lainnya. Separuh kasus bayi mempunyai berat badan cukup bulan. Seperdelapan kehamilan kedua bayi dibawah 1500 gr. Tiga perdelapan sisanya antara 1500 – 2500 gr (Oxorn dan Forte, 2010).

(21)

2.2.19 Cacat bawaan

Cacat bawaan dapat didefinisikan sebagai anomali struktural atau fungsional (misalnya gangguan metabolisme) yang terjadi selama kehidupan intrauterin. Cacat bawaan dapat diidentifikasi sebelum lahir, saat lahir atau di kemudian hari. Sekitar 50% dari semua cacat bawaan tidak dapat dikaitkan dengan penyebab spesifik. Beberapa penyebab yang diketahui atau merupakan faktor risiko yaitu faktor sosial ekonomi dan demografi, faktor genetik (komunitas etnis misalnya Yahudi Ashkenazi atau Finlandia), infeksi maternal (sifilis dan rubella), status gizi ibu (kekurangan yodium dan insufisiensi folat), faktor lingkungan maternal (paparan pestisida tertentu dan bahan kimia lainnya, serta obat-obatan tertentu, alkohol, tembakau, obat-obatan psikoaktif dan radiasi selama kehamilan). Bayi yang mengalami cacat bawaan, umumnya akan dilahirkan sebagai BBLR atau bayi kecil untuk masa kehamilannya. Bayi berat lahir rendah dengan cacat bawaan 20% akan meningggal dalam minggu pertama kehidupannya (Winkjosastro, 2012).

2.2.20 Infeksi dalam rahim

Infeksi dalam rahim salah satunya dapat diakibatkan oleh infeksi hepatitis. Infeksi tersebut akan mengganggu hati untuk mengatur dan mempertahankan metabolisme pada tubuh ibu hamil. Metabolisme yang tidak stabil membuat aliran nutrisi dari ibu ke janin dapat terganggu. Ibu hamil dengan hepatitis akan meningkatkan risiko terjadinya keguguran, persalinan prematuritas dan kematian janin dalam rahim (Manuaba, 2008). Infeksi rubella pada ibu hamil akan berakibat

(22)

buruk terhadap janin antara lain, BBLR, cacat kongenital dan kematian janin (Mochtar dan Sofian, 2012).

Gambar

Tabel 2.1 Penambahan berat badan selama kehamilan berdasarkan IMT

Referensi

Dokumen terkait

Jumlah pakan yang diberikan tidak efisien artinya ikan tidak dapat mencerna pakan menjadi bobot tubuh dengan baik, penyebab dari tingginya nilai rasio konversi

Tujuan dari perancangan proyek akhir ini adalah merancang sebuah kampanye sosial yang dapat memberikan pemahaman dan edukasi mengenai kesulitan makan pada anak yang

- Menghitung hasil jawaban kuesioner pertanyaan no.1-6 terkait partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah, dimana jawaban (Ya) yang telah diberikan skor pada

Pengembangan sektor hasil kelautan dan perikanan diKabupaten Pulang Pisau dengan luas wilayah yang umumnya berupa laut, sungai, danau dan rawa pasang surut maupun pesisir

Bila sinyal AC yang kecil digandengkan pada basis melelui kapasitor maka sinyal ini akan menghasilkan ayunan-ayunan pada arus kolektor dengan dengan bentuk

Variabel dependen yang digunakan dalam penelitian ini adalah indeks pembangunan manusia pada kabupaten/kota di Provinsi Jawa Tengah, sedangkan untuk variabel

Hasil dari aplikasi yang disertai dengan evaluasi menggunakan kuesioner kepada para pemain Scrabble menunjukkan hasil keseluruhan yang hampir sempurna baik dalam tingkat kecerdasan

Studi penelitian ini diberi judul “ Pengaruh Tingkat Kesehatan Bank ter- hadap Pertumbuhan Laba pada Peru- sahaan Sektor Perbankan,” Penelitian ini merupakan replikasi dari