• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Watansoppeng merupakan ibukota Kabupaten Soppeng salah satu kabupaten dalam wilayah Propinsi Sulawesi Selatan. Kawasan Watansoppeng memiliki sumberdaya budaya (SDB) yang beragam. Sumberdaya budaya yang dimaksud adalah tinggalan budaya Kerajaan Soppeng baik yang berupa material (sumberdaya Arkeologi) maupun yang non-material (tradisi-tradisi tradisional yang masih berlangsung). Sebaran SDB seperti kompleks Istana Datu Soppeng dan peninggalan kolonial di Kota Watansoppeng menimbulkan kesan sebagai kota tua bersejarah.

Masyarakat Sulawesi Selatan juga mengenal Watansoppeng sebagai kota dengan sumberdaya alam yang khas. Keindahan lansekap kota yang bergelombang dan ribuan kelelawar yang bergantungan di pohon asam di jantung Kota Watansoppeng, yang merupakan daya tarik kawasan ini. Masyarakat Sulawesi Selatan bahkan memberi julukan Watansoppeng sebagai kota kelelawar. Selain itu di kawasan Watansoppeng, terdapat permandian alam Ompo yang terkenal dengan sumber airnya muncul dari dalam tanah, serta memiliki air yang jernih dan sejuk. Kekhasan dan keunikan sumberdaya alam Watansoppeng berpadu dengan sebaran SDB peninggalan Kerajaan Soppeng, menjadikan kawasan ini berpotensi dikembangkan di bidang kepariwisataan (lihat gambar 2, hlm. 4).

(2)

Sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng dalam tulisan ini adalah wanua (kampung) bekas kerajaan yang mengandung tinggalan Arkeologi. Kerajaan Soppeng sudah tidak ada lagi, hanya situs-situs bekas kerajaan yang sebagian besar tersebar di kawasan Watansoppeng. Pertanggalan situs Kerajaan Soppeng oleh Bulbeck dkk, (1989:19,20,21,32), dari hasil analisis keramik asing yang dilakukan di Situs Sewo, Tinco, Laleng Benteng dan Botto dimulai sekitar abad XII.

Situs atau wanua Kerajaan Soppeng yang tersebar di kawasan Watansoppeng antara lain: Laleng Benteng (kompleks Istana Datu Soppeng), Bila (kompleks makam Jera’ Lompoe), Botto (bangunan kolonial Villa Juliana), Mattabulu (kompleks makam Petta Bulu Matanre), kompleks megalitik Situs Sewo, batu bergores Situs Lawo, bekas pemukiman awal Kerajaan Soppeng di Situs Tinco, situs megalitik Salotungo dan situs makam Ujung. Tujuh situs peninggalan Kerajaan Soppeng di atas yaitu kompleks Istana Datu Soppeng, kawasan Villa Yuliana, makam Jera Lompoe, makam Petta Bulu Matanre, Situs Sewo, Lawo dan Tinco telah dikelola oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (DISBUDPAR) Kabupaten Soppeng menjadi objek wisata Sejarah, wisata budaya dan wisata religi (Perencanaan dan Pengembangan Pariwisata Soppeng, 2012).

Data inventaris situs yang diperoleh dari Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar memperlihatkan, lima dari sembilan situs di atas sudah terdata sebagai cagar budaya. Situs tersebut adalah Kompleks Makam Jera Lompoe (No.INV 258), Villa Yuliana (No.INV 448), Situs Sewo (No.INV 265), Situs Lawo (No.INV 257) dan Situs Tinco (No.INV 263) (Data Base BPCB Makassar).

(3)

3

Gambar 1. Acara Mappadendang

Sumber:http://tksoppeng.blogspot.com/2010/09/mappadendang -di-soppeng.html

Selain sumberdaya budaya material peninggalan Kerajaan Soppeng, sumberdaya budaya non-material seperti tradisi dan adat istiadat masih biasa dijumpai di Watansoppeng. Tradisi tersebut antara lain: upacara pernikahan keturunan bangsawan Soppeng, ritual tahunan pembersihan regalia kerajaan, tradisi tahunan massapo wanua yaitu tradisi yang dipercaya dapat melindungi warga Soppeng dari musibah dan wabah penyakit, ritual pattaungeng di Situs Tinco yaitu arajang Soppeng dibawa ke Desa Tinco dan dilakukan upacara adat, maddoja bine yaitu ritual yang dilakukan untuk memulai menanam padi dan mappadendang yaitu tradisi syukuran panen padi.

(4)

4 Gambar 2. Peta Sebaran Sumberdaya Budaya dan Sumberdaya Alam di Watansoppeng

(5)

5 Pengelolaan sebagian besar SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng sudah dilakukan oleh DISBUDPAR. Langkah pengelolaan yang telah dilakukan pada sebagian besar objek tersebut adalah:

1. Penempatan pegawai di beberapa situs atau objek wisata (juru pelihara situs dan pegawai sukarela).

2. Penetapan Peraturan Daerah tentang pelestarian kelelawar di Watansoppeng (Lembaran Daerah Kabupaten Soppeng Nomor 66 Tahun 2006 tentang Pelestarian Burung Kelelawar).

3. Pengembangan bangunan kolonial Villa Yuliana menjadi Museum Daerah Latemmamala pada tahun 2007.

4. Sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat tentang pentingnya pelestarian SDB dan sumberdaya alam.

5. Adanya pameran tahunan yang terangkai dengan hari jadi Kabupaten Soppeng. Pameran dengan tema kebudayaan Soppeng sekaligus sebagai ajang promosi wisata.

Pengelolaan SDB Watansoppeng telah dilakukan oleh DISBUDPAR berkoordinasi dengan beberapa lembaga terkait seperti BPCB Makassar dan Balai Arkeologi Makassar. Hasil yang dicapai meliputi: a) Beberapa SDB Watansoppeng telah dilestarikan dan dipugar, seperti bangunan Villa Yuliana dipugar pada tahun 1996 dan makam Jera Lompoe dipugar pada tahun 1977-1978 (Data Base BPCB Makassar). b) Beberapa situs telah tertata dengan rapi, seperti Villa Yuliana, Makam Jera Lompoe dan Situs Megalitik Sewo dipagari dan dilakukan penataan taman. c) Beberapa bangunan seperti Bola Ridie dan Villa

(6)

Yuliana dapat dipertahankan keberadaan dan dikuatkan konstruksinya. d) SDM untuk mengelola SDB cukup menunjang, beberapa PNS (Pegawai Negeri Sipil) di DISBUDPAR Soppeng adalah alumni mahasiswa ilmu budaya (Arkeologi, Sejarah, Antropologi, Sastra Daerah, Sastra Indonesia dan Sastra Inggris). d) Penempatan pamong/penyuluh budaya oleh BPCB Makassar di Kabupaten Soppeng.

Selain hasil yang telah dicapai seperti yang dikemukakan di atas, juga masih terdapat hal yang belum tercapai. Rencana strategis yang disusun oleh DISBUDPAR tahun 2010, yaitu menjadikan Kabupaten Soppeng sebagai salah satu daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan belum bisa dikatakan berhasil. Data jumlah pengunjung 10 daerah tujuan wisata utama di Sulawesi Selatan menempatkan Kabupaten Soppeng di peringkat ke-10. (Sumber: DISBUDPAR Provinsi Sulawesi Selatan, 2014). Berikut tabel persentase distribusi wisatawan nusantara ke Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan.

(7)

7

Tabel 1 Persentase Distribusi Wisatawan Nusantara ke Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2014

No Daerah Tujuan Wisata Kontribusi Peringkat

1 Makassar 46,78 % I

2 Pare-pare 9, 73 % II

3 Tana Toraja 6, 24 % III

4 Toraja Utara 5, 80 % IV 5 Maros 5, 75 % V 6 Gowa 3, 20 % VI 7 Bantaeng 2, 51 % VII 8 Bulukumba 2, 45 % VIII 9 Enrekang 1, 91 % IX 10 Soppeng 1, 83 % X

Sumber: DISBUDPAR Prov. SulSel, 2014 Uraian langkah-langkah positif oleh DISBUDPAR Soppeng dan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa DISBUDPAR Soppeng telah melakukan upaya pengelolaan meskipun hasilnya belum maksimal. Jika indikator yang digunakan adalah jumlah kunjungan wisata, maka hasilnya dapat dikatakan masih kurang. Kondisi seperti ini memang ironis mengingat potensi kawasan yang dimiliki sangat menjanjikan.

Melihat potensi dan keragaman SDB dan sumberdaya alam di Watansoppeng cukup tinggi, tetapi belum dikelola secara optimal dan professional, maka penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan SDB menggunakan perspektif Cultural Resources Manajemen (CRM). Penulis tertarik untuk meneliti lebih dalam nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs-situs Kerajaan Soppeng, serta pihak-pihak terkait (stakeholder) dengan pengelolan SDB Watansoppeng. Nilai penting dan data stakeholder akan dijadikan dasar dalam menentukan dua hal. Pertama, untuk menentukan jenis pemanfaatan yang tepat

(8)

dari setiap SDB. Kedua, untuk menentukan model pemanfaatan yang memadukan SDB dan sumberdaya alam Watansoppeng.

B. Masalah Penelitian

Fokus penelitian ini yaitu pemanfaatan SDB Watansoppeng dengan perspektif Cultural Resources Management. Permasalahan yang diajukan adalah:

a. Apa nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting masing-masing situs Kerajaan Soppeng? Berdasarkan nilai penting tersebut, jenis pemanfaatan apa yang tepat digunakan?

b. Bagaimana persepsi stakeholder terhadap pemanfaatan SDB di Watansoppeng? Bagaimana pemanfaatan sumberdaya budaya Watansoppeng dengan mempertimbangkan kepentingan stakeholder? c. Model pemanfaatan seperti apa yang tepat berdasarkan sumberdaya

budaya dan sumberdaya alam kawasan Watansoppeng? C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan strategi atau model pemanfaatan yang memadukan sumberdaya budaya dengan sumberdaya alam Watansoppeng menggunakan perspektif Cultural Resources Management.

D. Tinjauan Pustaka

Sumberdaya budaya di Watansoppeng khususnya peninggalan Kerajaan Soppeng telah banyak diteliti oleh peneliti asing dan peneliti lokal. Pelestarian dan penelitian juga sering dilakukan oleh instansi pemerintah di bidang kepurbakalaan yaitu Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Makassar dan Balai Arkelologi

(9)

9

(BALAR) Makassar. Selain itu, tercatat pula beberapa akademisi yang melakukan penelitian di Watansoppeng.

Secara kronologis tercatat beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada situs-situs tinggalan Kerajaan Soppeng. Awalnya dilakukan oleh Ian Caldwell (1988) dalam rangka penulisan tesisnya, yang berjudul South Sulawesi A. D 1300-1600 Ten Bugis Texts. Hasil telaahnya terhadap naskah lontarak attoriolonna Soppeng (naskah kuno Kerajaan Soppeng), Naskah E (=MAK 188, hlm.5.7.29), menyebutkan bahwa masyarakat Soppeng berasal dari dua tempat yaitu Sewo dan Gattareng. Orang-orang yang berasal dari Sewo menempati daerah yang disebut Soppeng Riaja (Soppeng Barat) dan yang berasal dari Gattareng menempati Soppeng Rilau (Soppeng Timur). Pada kedua tempat tersebut terdapat 60 wanua (kampung yang dipimpin oleh seorang kepala yang disebut Matoa). Wanua-wanua tersebut antara lain Salotungo, Lompok, Kubba, Paningcong, Talagae, Attasalo, Mangkutta, Maccile, Watuwatu, dan Akkampeng, termasuk dalam wilayah Soppeng bagian barat. Pesse, Seppang, Pising, Launga, Mattabulu, Ara, Lisu, Lawo, Madello Rilau dan Tinco, termasuk dalam wilayah Soppeng bagian timur. Cenrana, Salokaraja, Malaka, Mattoanging, termasuk ke dalam wilayah Soppeng barat dan timur (Caldwell, 1988:106-112 dan Bulbeck dkk, 1989:11).

Masih berdasarkan pada lontarak attoriolonna Soppeng yang menyebutkan bahwa Kerajaan Soppeng memiliki 60 wanua, Bulbeck dkk (1989), meneliti dan menelusuri wanua tersebut yang kemudian ditulis dalam sebuah laporan penelitian yang berjudul Survei Pusat Kerajaan Soppeng 1100-1986. Hasil penelitian tersebut membuktikan bahwa wanua Kerajaan Soppeng merupakan

(10)

tempat aktivitas manusia masa lampau dengan ribuan data artefaktual. Dapat disebutkan antara lain: regalia Kerajaan Soppeng, bangunan kolonial Villa Yuliana, batu bergores, lumpang batu, dakon, dolmen, batu tempat air suci, altar batu, menhir, batu temu gelang, pagar/benteng batu, fragmen gerabah dan keramik asing, serta beberapa makam Islam yang berorientasi utara-selatan. Hasil dari penelitian Bulbeck dkk juga membantu pertanggalan situs Kerajaan Soppeng. Hasil analisis yang dilakukan pada beberapa fragmen keramik asing yang ditemukan pada situs-situs bekas Kerajaan Soppeng memperlihatkan keramik tersebut berasal dari abad XII hingga abad XX (Bulbeck dkk, 1989).

Selain itu Kerajaan Soppeng juga disebutkan mempunyai hubungan dengan kerajaan-kerajaan lain, sebagaimana yang dikemukakan oleh Pelras (dalam Manusia Bugis, 2006), hasil telaahnya pada teks La Galigo bahwa zaman La Galigo merupakan periode keemasan (sekitar abad ke-11 hingga abad ke-13) yang berkaitan dengan ekspansi perdagangan antar pulau dan internasional, yang melahirkan berbagai kerajaan seperti Luwu’, Cina, Soppeng dan Suppa’ (Pelras, 2006:395).

Selain penelitian di atas, tercatat juga beberapa penelitian yang dilakukan oleh akademisi dan praktisi Arkeologi. Khatimah (2002:84), menulis tentang Pengelolaan Situs Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil penelitiannya merekomendasikan Villa Yuliana lebih tepat dikelola secara terpadu, meliputi penelitian, pelestarian dan pemanfaatan. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan kemudian dilakukan upaya pelestarian sesuai dengan kondisi situs yang meliputi pelestarian fisik bangunan maupun

(11)

11

lingkungannya yang dilakukan dalam bentuk konservasi, preservasi, rehabilitasi, pemintakatan dan penataan lingkungan situs. Selanjutnya, setelah dilakukan upaya pelestarian fisik juga perlu dilakukan pelestarian non fisik yaitu pelestarian nilai-nilai budaya yang dimilikinya. Salah satu pemanfataan situs yang mengacu pada tujuan tersebut adalah pemanfaatannya sebagai museum daerah dan objek wisata budaya.

Abdullah (2005:68), menulis tentang evidensi bentuk artefaktual terhadap data naskah dan toponim berdasarkan aktivitas masyarakat di Situs Tinco Kabupaten Soppeng. Penelitian tersebut melakukan pembuktian data naskah lontarak dan toponim dengan data sebaran artefak yang merefleksikan aktivitas manusia pendukungnya. Data naskah yang ditunjukkan melalui toponim atau tempat di situs Tinco di dalamnya terdapat beragam temuan artefaktual.

Selanjutnya Hasanuddin (2004) dan Utomo (2006) mengklasifikasikan tinggalan Arkeologis Situs Tinco, yaitu; a. kelompok peralatan rumah tangga (fragmen gerabah dan keramik), b. kelompok media ritual (monument megalit, seperti: batu dakon, lumpang batu, batu temu gelang, batu bergores bergambar rusa, benteng batu), c. kelompok sisa makanan (tulang, gigi dan kerang), d. kelompok alat batu (alat serpih, beliung persegi, batu asah).

Selanjutnya Savitri (2007:72), menulis tentang sebaran situs-situs Kerajaan Soppeng (analisis Arkeologi ruang). Hasil dari penelitian tersebut menyebutkan,pola sebaran 10 situs Kerajaan Soppeng adalah acak atau tidak teratur. Variabel yang dipakai adalah administratif, jarak dan grid. Lingkungan fisik terlihat cukup berpengaruh dalam pemilihan ruang. Variabel lingkungan fisik

(12)

yang digunakan yaitu ketinggian, kelerengan, jenis batuan, jenis tanah dan sungai. Kesimpulan dari penelitian ini adalah lingkungan fisik merupakan salah satu faktor penempatan situs-situs Kerajaan Soppeng.

Penelitian yang dilakukan oleh Hasrianti (2013:127), dengan judul Arsitektur Villa Yuliana di Watansoppeng Kabupaten Soppeng. Hasil penelitian tersebut menyimpulkan bahwa bentuk arsitektur Villa Yuliana memadukan gaya arsitektur bangunan Eropa dan rumah tradisional Bugis. Di dalam perpaduan akulturasi tersebut, pengaruh Eropa lebih dominan dibanding arsitektur Bugis. Gaya Eropa yang mendominasi merupakan perpaduan gaya klasik yaitu indische empire, renaisans, viktoria dan gotik dengan gaya modern (art nouveau).

Penelitian yang dilakukan Rosmawati (2013), dengan tema Tamaddun Awal Islam di Sulawesi Selatan, dari Perspektif Arkeologi dan Sejarah. Penelitian ini dilakukan pada semua makam kuno Islam di Sulawesi Selatan, salah satunya pada kompleks makam Jera Lompoe Kabupaten Soppeng. Hasil penelitiannya adalah klasifikasi nisan Jera Lompoe yang menonjol yaitu nisan tipe pedang (pipih) merupakan khas tipe Bugis, nisan tipe menhir dan nisan tipe balok merupakan khas tipe Makassar, serta nisan tipe mahkota dan hulu keris merupakan nisan khas tipe Mandar.

Uraian penelitian di atas menunjukkan banyaknya penelitian yang telah dilakukan pada situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng. Sebagian besar penelitian merupakan penelitian Sejarah dan penafsiran data Arkeologi, serta belum ada yang membahas pengelolaan situs dalam satu kawasan. Berbeda dengan penelitian sebelumnya, penelitian ini mencoba mengkaji pemanfaatan

(13)

13

situs-situs Kerajaan Soppeng dalam satu kawasan Watansoppeng. Nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting situs peninggalan Kerajaan Soppeng dijadikan dasar dalam menawarkan model pemanfaatan SDB. Selain itu data kepentingan stakeholder juga digunakan untuk menawarkan suatu model pemanfaatan SDB Watansoppeng.

E. Landasan Teori

Penelitian ini mengangkat tema pemanfaatan sumberdaya budaya Watansoppeng dengan menggunakan perspektif manajemen sumberdaya budaya atau Cultural Resources Management (CRM). Daft (1988) dalam Knudson (2001), menyebutkan definisi pengelolaan (management) adalah capaian hasil dari tujuan organisasi dengan cara yang efektif dan efisien melalui perencanaan, pengorganisasian, pemimpinan dan pengontrolan. Lebih lanjut Knudson menjelaskan tujuan CRM, yaitu konservasi informasi nilai budaya dan/atau pengalaman spiritual dan estetis yang melekat dalam potensi sumberdaya budaya dalam konteks yang berasosiasi dengan nilai publik (misalnya lingkungan fisik, ekonomi dan kebutuhan masyarakat) (Knudson, 2001:361).

Definisi sumberdaya budaya adalah tidak sekedar tinggalan Arkeologi in situ yang terpendam di tanah, tetapi mencakup tradisi yang masih berlangsung, struktur bahasa daerah, dan koleksi museum (McManamon dan Hatton, 2003:3). Lebih lanjut McManamon dan Hatton (2003:48-49) menyebutkan, ada tiga aspek penting dalam pendekatan CRM, yaitu:

1. Identifikasi dan evaluasi sumberdaya budaya 2. Pemeliharaan sumberdaya budaya

(14)

3. Konsep pengelolaan jangka panjang terhadap sumberdaya budaya.

Menurut Mason (2002:26-27), idealnya prinsip berkelanjutan atau pengelolaan jangka panjang akan dipengaruhi perencanaan model dalam beberapa cara dan beberapa tahapan, antara lain, membentuk tujuan program, komposisi kelompok stakeholder, analisis signifikansi dan konteks manajemen, dan evaluasi luaran program. Melihat kembali efektifitas dari keputusan merupakan kunci sukses implementasi perencanaan yang terukur dan realisasi manajemen yang efektif bagi konservasi warisan budaya.

Darvill (2005:41-43), membagi nilai penting menjadi sembilan nilai kegunaan yaitu penelitian Arkeologi, penelitian ilmiah, kesenian, pendidikan, rekreasi dan pariwisata, representasi simbolik, tindakan yang sesuai dengan undang-undang, solidaritas sosial dan integrasi, memperoleh uang dan keuntungan. Karena manfaat yang dapat didatangkan tersebut, sumberdaya budaya perlu mendapat perlakuan pelestarian. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pelestarian sumberdaya budaya sebaiknya dilakukan sejalan seperti yang dinyatakan oleh Haryono (2003). Pada penerapannya CRM mencakup empat langkah utama seperti yang dijabarkan oleh Pearson and Sullivan (1995:19), yakni: 1) Lokasi, identifikasi dan dokumentasi sumberdaya baik sumberdaya budaya maupun kawasannya, 2) penilaian nilai penting terhadap kawasan, 3) Perencanaan dan pembuatan keputusan berdasarkan nilai penting, peluang dan hambatan yang sesuai dengan prinsip-prinsip konservasi, 4) implementasi dari perencanaan dan kebijakan, untuk upaya pemanfaatan dan pengelolaan suatu tempat.

(15)

15

Situs-situs Kerajaan Soppeng tersebar dalam wilayah atau kawasan Watansoppeng. Menurut Kovacs dkk (2008:126), kawasan konservasi heritage adalah satuan bangunan atau situs atau kelompok bangunan dan lingkungan yang berada dalam satu kawasan. Contohnya, konservasi kawasan perkotaan bersejarah yang mengandung struktur, bangunan, atau situs yang berdiri sendiri maupun situs yang mengelompok.

F. Metode Penelitian

Wilayah penelitian secara administratif berada di Kecamatan Lalabata, atau di kawasan Watansoppeng. Pembatasan wilayah penelitian berdasarkan konsentrasi sebaran SDB situs-situs peninggalan Kerajaan Soppeng yang ada pada wilayah ini. Penelitian diawali dengan pengumpulan data pustaka untuk memperoleh gambaran tentang karakter SDB di lokasi penelitian.Selain itu, pengumpulan data juga dilakukan dengan carapenelusuran sumber pustaka di internet. Data awal tersebut dijadikan dasar untuk menentukan strategi pengumpulan data.

Sehubungan dengan masalah penelitian yang dipilih yaitu pemanfaatan SDB di Watansoppeng, maka data yang dikumpulkan bervariasi. Data yang dimaksudkan meliputi data pustaka, data SDB yang berbentuk material maupundata berupa tradisi masyarakat, data stakeholder, dan data tentang kondisi pengelolaan yang sedang berlangsung.

Penelitian lapangan meliputi survei dan wawancara. Survei dilakukan untuk memperoleh data tentang karakteristik situs dan lingkungan bekas Kerajaan Soppeng, serta tradisi lokal yang masih berlangsung. Selain itu, survei juga dilakukan untuk menjaring data tentang sumberdaya alam sekitar lokasi

(16)

penelitian, aksesibilitas, akomodasi, serta sarana dan prasarana penunjang yang memungkinkan untuk program pemanfaatan SDB.

Wawancara menggunakan dua metode yaitu wawancara terstruktur (structured interview) dan wawancara tak-terstruktur (unstructured interview). Wawancara terstruktur yaitu selama proses wawancara para responden akan mendapatkan sederet pertanyaan (lembar kuesioner) yang sama dan harus dijawab secara berurutan (Fontana dkk, 2009:504).

Wawancara terstruktur dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan lembar kuesioner. Pertanyaan yang dilontarkan kepada responden dijawab secara berurutan sesuai dengan urutan pertanyaan dalam lembar kuesioner. Wawancara terstruktur dilakukan guna mengetahui sejauh mana persepsi dan kebijakan stakeholder terhadap pengelolaan SDB di Watansoppeng. Responden yang dipilih dengan latar belakang profesi/pekerjaan dan pendidikan yang berbeda-beda. Responden tersebut antara lain, masyarakat setempat (keturunan Raja Soppeng dan masyarakat pendatang), instansi cagar budaya (Kepala Kantor DISBUDPAR Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar, serta beberapa stafnya), serta akademisi budaya dan non-budaya (dosen, guru dan mahasiswa).

Wawancara tak-terstruktur (unstructured interview), wawancara ini digunakan untuk memahami kompleksitas perilaku anggota masyarakat tanpa adanya kategori, yang dapat membatasi kekayaan data yang dapat diperoleh (Fontana dkk, 2009:507-508). Wawancara tak-terstruktur dalam penelitian ini dilakukan tanpa menggunakan format isian, dengan demikian pertanyaan yang diajukan kepada responden tidak terstruktur. Cara penelitian ini ditempuh supaya

(17)

17

suasana penelitian tidak formal dan lebih santai. Tujuan dari wawancara ini agar dapat memperoleh informasi lebih detail, dan ingin lebih dekat dengan responden agar informasi yang diperoleh lebih komprehensif.

Pemilihan responden didasarkan pada jenis informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Jika informasi tentang adat istiadat yang dicari maka responden yang dipilih adalah tokoh adat dan tokoh masyarakat setempat (seperti, keturunan bangsawan dan raja Soppeng). Selain itu dilakukan pula wawancara dengan akademisi yang pernah melakukan penelitian di Watansoppeng dan praktisi di bidang Arkeologi seperti staf pegawai DISBUDPAR Soppeng, BALAR Makassar dan BPCB Makassar.

Data yang telah dikumpulkan kemudian dikatagorikan menjadi dua bagian berdasarkan dua alat analisis yang digunakan, yaitu analisis nilai penting dan analisis pemetaan kepentingan stakeholder. Analisis pertama adalah analisis nilai penting. Referensi utama yang digunakan adalah UU Nomor 11 tahun 2010 tentang Cagar Budaya, pasal 1 ayat (1). Regulasi ini menyebutkan ada lima nilai penting Cagar Budaya yaitu nilai penting Sejarah, ilmu pengetahuan, pendidikan, agama, dan kebudayaan. Alasan penulis merujuk nilai penting seperti yang digariskan dalam regulasi di atas karena pengelola SDB Watansoppeng adalah pemerintah daerah Soppeng. Penyesuaian regulasi dengan program di daerah tetap akan terkait. Secara akademis, acuan nilai penting dalam UU CB No. 11 tahun 2010 lebih fleksibel sehingga mudah disesuaikan dengan nilai penting SDB yang sedang penulis teliti.

(18)

Selain itu definisi unsur nilai penting yang penulis gunakan yaitu merujuk pendapat dari beberapa ahli, antara lain Tanudirjo (2004) menguraikan definisi nilai penting Sejarah, pendidikan dan kebudayaan. Nilai penting religi menurut Mason (2002). Nilai penting pendidikan menurut Darvill (2005). Nilai penting arsitektural menurut Pearson dan Sullivan (1995) dan nilai penting publik menurut (Scovill, 1977 dan Lipe, 1977 dalam Tanudirjo, 2004). Alasan penggunaan definisi nilai penting tersebut karena kompleksnya kandungan nilai penting SDB, baik karakter maupun jenisnya dan lebih bervariasi dalam satu kawasan Watansoppeng.

Setelah penentuan nilai penting, langkah selanjutnya adalah melakukan pembobotan nilai penting. Pembobotan untuk memeringkat kandungan nilai penting SDB Watansoppeng dengan melihat skala nilainya. Variabel pembobotan yang digunakan dalam penelitian ini mengacu pada yang diusulkan oleh Tanudirjo (2004), yaitu: kelangkaan, keunikan, umur/pertanggalan, tataran, integritas dan keaslian.

Analisis kedua adalah analisis pemetaan kepentingan stakeholder, dengan melihat persepsi stakeholder terhadap sumberdaya budaya yang ada. Analisis pemetaan stakeholder yang dipilih adalah analisis analogi bawang bombay dengan cara memetakan posisi, kepentingan dan kebutuhan (Setyowati,2011:6) setiap pihak yang memiliki hubungan dengan pemanfaatan SDB di Watansoppeng. Langkah analisis ini dilakukan agar rumusan konsep yang dihasilkan dapat mengakomodasi kepentingan dan kebutuhan pihak-pihak yang terkait dengan pemanfaatan.

(19)

19

Setelah semua data dianalisis, hasil analisis kemudian diintegrasikan dan disintesiskan untuk mendapatkan sebuah model pemanfaatan SDB di Watansoppeng. Model pemanfaatan yang dihasilkan akan mempertimbangkan nilai penting kawasan Watansoppeng dan nilai penting SDB Watansoppeng, serta mengakomodasi kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Sintesis penelitian ini adalah model pemanfaatan SDB Watansoppeng berbasis nilai penting dan mempertimbangkan posisi, kebutuhan dan kepentingan stakeholder. Selain itu beberapa model alternatif pemanfaatan yang direkomendasikan yaitu pemanfaatan untuk penelitian ilmiah, pemanfaatan pariwisata terpadu perspektif kawasan Watansoppeng, pemanfaatan yang menggandeng wisata alam seperti pengolahan sutera di Desa Tajuncu atau permandian alam air panas Lejja, pemanfaatan agrowisata heritage, dan pemanfaatan menerapkan marketing nostalgia.

(20)

Alur Penelitian Pengumpulan data:

1. Data pustaka dan data dari di internet 2. Data lapangan:

a. Survei b. Wawancara

Hasil pengumpulan data: data SDB berbentuk material dan non-material, data stakeholder dan data pengelolaan saat ini

Analisis data:

1. Nilai penting dan pembobotan 2. Posisi, kepentingan, dan kebutuhan

stakeholder

Model pemanfaatan untuk pariwisata

terpadu dan pemanfaatan untuk kepentingan akdemis/ilmu pengetahuan

Model alternatif pemanfaatan:

a. Pemanfaatan untuk penelitian ilmiah b. Pemanfaatan pariwisata terpadu

persepektif kawasan

c. Pemanfaatan menggandeng wisata alam pengolahan sutera dan wisata alam permandian air panas Lejja

d. Pemanfaatan untuk agrowisata heritage e. Pemanfaatan menerapkan marketing

Gambar

Gambar 1. Acara Mappadendang
Tabel 1 Persentase Distribusi Wisatawan Nusantara ke  Kabupaten/Kota di Sulawesi Selatan 2014

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian Pemanfaatan Internet Sebagai Media Promosi Pemasaran Produk lokal Oleh Kalangan Usaha Di Kota Makassar menyimpulkan bahwa : Pengusaha produk lokal

Peraturan Daerah Kabupaten Soppeng Nomor 41 Tahun 2020, tentang perubahan atas lampiran peraturan Bupati Soppeng Nomor 108 Tahun 2019 tentang Tarif Layanan Kesehatan pada

Segala puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan atas segala berkah, dan limpahan kasih sayang-Nya, sehingga penulis dapat meneyelesaikan penulisan skripsi yang

Hasil penelitian ini dapat mengetahui tingkat pengetahuan perawat Puskesmas dalam penilaian tanda dan gejala awal penyakit dengan menggunakan format Manajemen Terpadu Balita

Dengan menggunakan regresi berganda yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh atau hubungan faktor yang mempengaruhi minat mahasiswa akuntansi dalam pemilihan karir sebagai

Muatan lokal yang dimaksud di sini yaitu muatan lokal pada pembelajaran Aswaja (ke-NU-an). Dengan tujuan untuk mengetahui upaya-upaya apa yang dilakukan dalam

Besaran butir patah pada perlakuan pratanak 0,8 kg/cm2 lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya karena dengan semakin rendahnya tekanan pengukusan menyebabkan tingkat