• Tidak ada hasil yang ditemukan

REPRESENTASI SEMANTIK DALAM KONSTRUKSI KLAUSA BAHASA INDONESIA. Miftahulkhairah Anwar (Dosen FBS UNJ)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "REPRESENTASI SEMANTIK DALAM KONSTRUKSI KLAUSA BAHASA INDONESIA. Miftahulkhairah Anwar (Dosen FBS UNJ)"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

REPRESENTASI SEMANTIK

DALAM KONSTRUKSI KLAUSA BAHASA INDONESIA Miftahulkhairah Anwar

(Dosen FBS UNJ)

Dipublikasikan pada Prosiding Seminar Nasional: Bahasa, Sastra dan Pengajarannya. Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Pendidikan Ganesha. Penerbit Pustaka Larasan. Juni 2012. ISBN 978-979-3790-80-0

Persoalan sintaksis sering dianggap tak berhubungan secara langsung dengan semantik, terutama dalam hal klausa. Umumnya, analisis klausa hanya berfokus pada fungsi sintaksis, yakni subyek, predikat, obyek, pelengkap, keterangan; dan belum memberi perhatian lebih pada representasi semantik yang menyertai jalinan klausa tersebut. Padahal semantik dan sintaksis bagaikan dua sisi mata uang. Membahas sintaksis pasti melibatkan semantik, dan sebaliknya, membahas semantik pasti melibatkan sintaksis. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan bagaimana menganalisis klausa berdasarkan pada representasi semantik. Atau dengan kata lain, menganalisis klausa dari makna ke bentuk.

Menurut Valin (2005), struktur klausa itu berlapis (layered structure of the clause/LSC), terdiri dari nucleus yang berisi predikat, core yang berisi nucleus dan argumen, serta periphery yang berisi keterangan. Nucleus dan core disebut lapisan inti, sedangkan keterangan disebut periphery atau lapisan non inti/pinggiran. Setiap lapisan inti dimodifikasi oleh beberapa operator (penghubung), termasuk kategori gramatikal seperti kala, aspek, modalitas, dan evidensi. Lapisan inti memiliki struktur makna, yakni makna khusus (mikro) dan makna makro. Gagasan Valin ini diaplikasikan ke dalam struktur klausa bahasa Indonesia.

Tulisan ini diharapkan menambah variasi dalam mengkaji klausa bahasa Indonesia, sehingga klausa tidak hanya benar menurut fungsi sintaksisnya, tetapi benar pula menurut struktur logikanya dan pola semantiknya.

(2)

A. Pendahuluan

Bahasa tidak dapat dilepaskan dari proses sosial budaya. Keduanya bagaikan sisi mata uang yang saling melengkapi. Dalam pengertian tersebut, bahasa selalu merealisasikan suatu perilaku verbal maupun nonverbal yang membawa fungsi-fungsi tertentu dari suatu proses sosial budaya yang terdapat di dalam suatu masyarakat.

Paradigma ini kemudian mendorong ahli bahasa untuk melihat bahasa sebagai suatu sistem fungsi. Gagasan untuk melibatkan fungsi komunikasi bahasa dalam kajian linguistik dicetuskan pertama kali oleh Czech Mathesius tahun 1920-an. Gagasan ini kemudian dikembangkan oleh ahli bahasa yang menyebut diri mereka sebagai aliran fungsional. Aliran ini berkembang dan menghasilkan pandangan yang beragam (Valin, 2001: 319)

Ada tiga teori besar dalam aliran fungsional ini: Functional Grammar (FG) yang dicetuskan oleh Simon Dick; Sistemic Functional Grammar (SFG/LFS) yang dicetuskan oleh Halliday; Role and Reference Grammar (RRG) yang dicetuskan oleh Van Valin. Valin, sebagai pencetus konsep RRG memandang bahasa sebagai suatu sistem tindak komunikasi sosial. Oleh karena itu, analisis fungsi komunikatif struktur gramatika memainkan peran penting dalam kajian bahasa. Struktur gramatikal hanya dapat dipahami dengan mengacu pada fungsi semantik dan komunikatif (Valin, 2005). Bagi Valin, tema yang menyatukan aneka pendekatan fungsional ialah keyakinan bahwa bahasa harus dikaji dalam hubungannya dengan peran bahasa dalam komunikasi manusia.

Konsep lingusitik fungsional yang dicetuskan oleh Valin sangat menarik jika diterapkan dalam memahami struktur klausa bahasa Indonesia. Hal ini disebabkan oleh pandangan dia yang lebih menitikberatkan persoalan semantik dalam memahami konstruksi klausa. Persoalan sintaksis sering dianggap tak berhubungan secara langsung dengan semantik, terutama dalam hal klausa. Umumnya, analisis klausa hanya berfokus pada fungsi sintaksis, yakni subyek, predikat, obyek, pelengkap, keterangan; dan belum memberi perhatian lebih pada representasi semantik yang menyertai jalinan klausa tersebut. Padahal semantik dan sintaksis bagaikan dua sisi mata uang. Membahas sintaksis pasti melibatkan semantik, dan sebaliknya, membahas semantik pasti melibatkan sintaksis. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan bagaimana menganalisis klausa berdasarkan pada representasi semantik.

B. Hakikat Bahasa Perspekstif Valin

Valin (2005), sebagai pencetus konsep RRG memandang bahasa sebagai suatu sistem tindak komunikasi sosial. Oleh karena itu, analisis fungsi komunikatif struktur gramatika memainkan peran penting dalam kajian bahasa. Struktur gramatikal hanya dapat dipahami dengan mengacu pada fungsi semantik dan komunikatif. Bagi Valin, tema yang menyatukan aneka pendekatan fungsional ialah keyakinan bahwa bahasa harus dikaji dalam hubungannya dengan peran bahasa dalam komunikasi manusia.

Penting untuk mengklarifikasi apa yang dimaksud dengan ‘komunikasi manusia’. Umat manusia tidak berkomunikasi satu sama lain dalam kevakuman tetapi dalam sosiokultural yang mendifinisikan aktifitas-aktifitas dan situasi-situasi dimana para partisipan mengambil peran-peran dan status-status yang secara sosial telah terdefinsikan. Selanjutnya, terdapat aspek sosiokultural yang signifikan bagi komunikasi. Komunikasi seringkali diterangkan dalam pengertian yang sempit berarti ‘menyampaikan informasi tentang suatu hal dari seseorang kepada orang lain’. Akan tetapi, pembahasan tentang komunikasi mencakup luasnya jarak peristiwa-peristiwa ucapan yang terdapat di dalam masyarakat (Valin, 2001: 320-321; Valin, 1984: 8).

Komunikasi adalah fungsi utama dari bahasa. Pernyataan ini sering diperdebatkan oleh ahli bahasa. Bagi kaum tradisional, komunikasi adalah menyampaikan suatu hal dari pikiran pembicara kepada lawan bicara. Sesuatu yang disampaikan dapat berupa keadaan, realitas, atau imajinasi. Akan tetapi, bagi Valin, bahasa bukan sekadar merepresentasikan keadaan, melainkan bahasa digunakan pada semua interaksi sosial verbal, seperti menjawab pertanyaan, memberi perintah, membuat janji, mengekspresikan keinginan dll. Oleh karena itu, asumsi bahwa bahasa sebagai sebuah sistem komunikasi seharusnya memperlakukan bahasa sebagai komponen penting dari interaksi sosial dan menempatkan tingkal laku kebahasaan (seperti bertanya, berjanji, memerintah, menyatakan suatu hal, meminta, dan aktivitas-aktivitas tutur dalam skala yang lebih luas) sebagai tingkah laku sosial. Hal ini menunjukkan bahwa meskipun fungsi utama bahasa adalah komunikasi, tidak berarti bahwa bahwa semua fungsi bahasa bersifat komunikatif. Terdapat peristiwa verbal yang nonkomunikatif. Akan tetapi, peristiwa verbal nonkomunikatif ini tidak mengurangi prinsip dasar kaum fungsionalis yang berpandangan bahwa pemahaman struktur bahasa membutuhkan pemahaman akan fungsi-fungsi bahasa. Valin menganalogikan pandangan ini dengan sebuah palu. Menurutnya, untuk memahami struktur palu, kita perlu mengetahui apa fungsi dasarnya. Fungsi dasar palu adalah memukul paku, tetapi palu juga dapat digunakan untuk memukul benda lain, menindih kertas, dll. Fungsi lain dari palu tentu tidak menghilangkan fungsi dasarnya sebagai alat untuk memukul paku. Karena fungsinya ini, kepala palu biasanya terbuat dari besi dan pegangannya terbuat dari kayu atau plastik. Analogi ini menunjukkan bahwa fungsi dapat menyampikan informasi tentang suatu hal. Dengan demikian, fungsi utama bahasa, yaitu bahwa bahasa adalah instrument interaksi verbal diantara manusia. (Valin, 2001: 320-321).

RRG meletakkan teorinya atas dasar fungsi komunikasi sosial bahasa. Fungsi komunikasi dapat diintegrasikan ke dalam kajian struktur bahasa sebab menganalisis struktur bahasa, tentu melibatkan peristiwa tutur atau wacana. Hal ini didasari oleh sistem sintagmatik bahasa, dalam arti bahwa jika unsur-unsur dalam substitusi adalah fonem, kombinasi sintagmatiknya adalah morfem. Jika unsur-unsur dalam substitusi adalah morfem, kombinasi sintagmatiknya adalah kata.

(3)

Adv/F.Prep

K

Jika unsur-unsur dalam substitusi adalah kata, kombinasi sintagmatiknya adalah kalimat. Jika unsur dalam substitusi adalah kalimat, kombinasi sintagmatiknya adalah wacana atau jenis-jenis peristiwa tutur. Oleh karena itu, sangat mungkin untuk memperluas wilayah kajian bahasa dan sangat mungkin untuk menganalisis konteks-konteks potensial yang tampak dalam konstruksi bahasa (Valin, 2001: 327).

C. Struktur Klausa

Klausa merupakan satuan sintaksis pembentuk kalimat. Klausa berpotensi menjadi kalimat jika disertai oleh intonasi akhir, atau jika dalam tulisan, dimulai dengan huruf besar dan diakhiri dengan titik, tanda tanya, atau tanda seru.

Menurut Valin (2005), struktur klausa itu berlapis (layered structure of the clause/LSC), terdiri dari: • Nucleus yang berisi predikat

Core yang berisi nucleus dan argumen dari predikat • Klausa

Periphery yang berisi keterangan

Nucleus, core, dan klausa disebut lapisan inti, sedangkan keterangan disebut periphery atau lapisan pendukung. Setiap lapisan inti dimodifikasi oleh beberapa operator (penghubung), termasuk kategori gramatikal seperti kala, aspek, modalitas, evidensi.

RRG mencoba untuk membangun teori konkrit dengan menghadirkan analisis bentuk aktual kalimat. Analisis unsur-unsur ini menyerupai bangunan candi, sehingga Valin menyebutnya ‘syntactic templates’. Selain itu, analisis ini juga menginventarisasi konstituen bahasa, sehingga disebut’syntactic inventory’.

Jika diaplikasikan dalam bahasa Indonesia, maka struktur klausa itu dapat digambarkan sebagai berikut.

Berdasarkan bagan di atas, tampak bahwa struktur klausa itu terdiri atas lapisan inti dan non inti/pinggiran. Baik lapisan inti maupun lapisan non inti, keduanya membentuk hubungan semantik dan hubungan gramatikal sintaksis (Khairah, 2011: 117).

Yang termasuk unsur inti dalam hubungan semantik adalah predikator beserta argumen-argumennya. Predikator biasanya berupa verba, sedangkan argumen adalah sesuatu yang dibendakan atau yang dianggap sebagai benda, sehingga biasanya diisi oleh kata berkategori nomina, pronomina, numeralia, dan adjektiva. Adapun unsur yang bukan inti disebut luar inti atau periferal. Unsur ini biasanya diisi oleh keterangan yang berkategori adverbia atau frasa preposisi. Perhatikan contoh berikut ini!

KLAUSA

INTI ---NONINTI/PERIFERAL

Argumen 1 (N) Predikator (V) Argumen 2 (FN) Frase preposisi

Pemerintah akan menaikkan harga BBM pada bulan Mei

Biasanya, keberadaan keterangan dalam klausa memang tidak termasuk inti, tetapi dalam beberapa kasus tertentu, keberadaan keterangan justru wajib karena predikator tersebut mewajibkannya hadir. Contoh: Dia tinggal di

KLAUSA Non inti/pinggiran Inti Argumen 1 (FN) Argumen 3 (FN) Argumen 2 (FN) Nucleus/ Predikator (FV) PEL O P S

(4)

Makassar. Verba tinggal mewajibkan hadirnya unsur K dalam klausa tersebut karena konstruksi *dia tinggal... tentulah tidak gramatikal. Hanya sedikit verba yang berprilaku demikian dalam bahasa Indonesia.

Inti dalam sebuah klausa sangat bergantung pada jenis verba yang mengisi predikatornya. Hal ini berarti kehadiran argumen 1,2, atau 3 ditentukan oleh predikator. Verba merupakan pusat klausa yang menentukan kehadiran unsur lain dan sangat berpengaruh pada keutuhan makna. Bagi Dick (1980:3), kerangka verba adalah struktur awal yang menentukan (1) kategori sintaksis lainnya (nomina, adjektiva yang diperlakukan sebagai predikat), (2) jumlah argumen yang dibutuhkan oleh predikator , (3) peran semantik dari masing-masing nomina, (4) posisi yang harus diduduki oleh nomina.

Urgensi verba pada struktur klausa mengharuskan pengguna bahasa maupun pemelajar bahasa memiliki pemahaman yang mamadai terhadap verba, termasuk struktur logikanya dalam konstruksi klausa. Karena selain berhubungan dengan struktur klausa, verba ini juga berperan dalam menentukan fungsi suatu klausa/kalimat, apakah berfungsi untuk memerintah, membujuk, menginformasikan suatu hal, mengajak, mengharap, dsb.

Setiap makna verba di atas memiliki struktur logika. Struktur logika verba biasanya dituliskan dengan cara V = predikat (x) atau (x,y). Artinya, verba ini menduduki fungsi predikator yang mewajibkan hadirnya 1 argumen/ (x) atau 2 argumen/ (x,y). Simbol (x,y) menunjukkan jumlah argumen yang dapat menyertai verba ini. Berikut ini adalah struktur logika verba (Valin 2005 dalam Khairah, 2011: 119-120).

Verba perbuatan = predikat (x), (x,y) atau (x,y,z). Artinya, predikat yang berjenis verba keadaan mewajibkan hadirnya satu, dua, atau tiga argumen.

Contoh:

1) Saya mandi

2) Miftah menyapu lantai 3) Adik menjahitkan ibu baju.

Pada contoh (1) verba mandi menghadirkan satu argumen, yaitu saya. Pada contoh (2) verba menyapu menghadirkan dua argumen, yaitu Miftah dan lantai, sedangkan pada contoh (3) verba menjahitkan menghadirkan tiga argumen, yaitu adik, ibu, dan baju.

Verba proses = predikat (x). Artinya, predikat yang berjenis verba proses mewajibkan hadirnya 1 argumen. Contoh:

4) Rambut anak itu memutih 5) Air itu membeku

Baik contoh (4) maupun contoh (5), kedua verbanya hanya menghadirkan satu argumen.

Verba keadaan= predikat (x) atau (x,y). Artinya, predikat yang berjenis verba keadaan mewajibkan hadirnya satu atau dua argumen.

Contoh:

6) Kucing itu sudah mati 7) Sam menjadi hakim

Pada contoh (6) verba mati menghadirkan satu argumen, yaitu kucing; sedangkan verba menjadi pada contoh (7) menghadirkan dua argumen, yaitu Sam dan hakim.

Verba pengalaman= predikat (x) atau (x,y). Artinya, predikat yang berjenis verba pengalaman mewajibkan hadirnya satu atau dua argumen.

Contoh:

8) Mereka mendengar suara itu 9) Dia sedang mual

Pada contoh (8) verba mendengar menghadirkan dua argumen, yaitu mereka dan suara itu; sedangkan verba mual pada contoh (9) menghadirkan satu argumen, yaitu dia.

Verba relasional = predikat (x,y). Artinya, predikat yang berjenis verba relasional mewajibkan hadirnya dua argumen.

Contoh:

10)Tokyo adalah ibukota Jepang 11)Indonesia merupakan negara agraris

Baik contoh (10) maupun contoh (11), kedua verbanya menghadirkan dua argumen.

Verba eksistensial = predikat (x,y). Artinya, predikat yang berjenis verba eksistensial mewajibkan hadirnya satu argumen atau dua argumen.

Contoh:

(12) Ada polemik dalam tubuh partai itu

(13) Terdapat dua asumsi dasar dalam rasionalisme (14) Semua masalah ada pemecahannya

(5)

Pada contoh (12) argumennya satu, yaitu polemik. Demikian pula dengan contoh (13), argumennya satu, yaitu dua asumsi dasar. Pada contoh (14), argumennya dua, yaitu semua masalah dan penyelesaiannya.

Verba semelfaktif = predikat (x) atau (x,y). Artinya, predikat yang berjenis verba semelfaktif mewajibkan hadirnya satu atau dua argumen.

Contoh:

(15) Anak itu bersin (16) Chris melirik John

Pada contoh (15) verba bersin menghadirkan satu argumen, yaitu anak itu; sedangkan verba melirik pada contoh (16) menghadirkan dua argumen, yaitu Chris dan John.

Struktur logika verba ini tentu berpengaruh pada makna yang terkandung dalam argumen suatu klausa.

D. Peran Semantik Klausa

Hubungan antara predikator dengan argumennya menghasilkan makna yang disebut peran semantik. Peran semantik ada dua, yaitu (1) peran semantik khusus, (2) peran semantik makro.

1. Peran Semantik Khusus

Peran semantik khusus adalah peran yang berhubungan dengan posisi argumen yang terdapat pada struktur logika predikator. Atau dengan kata lain, hubungan makna antara predikator dengan argumennya. Sebagai contoh, kaca itu pecah. Unsur predikator klausa tersebut adalah verba pecah, sedangkan unsur argumennya adalah kaca itu. Verba Pecah bermakna keadaan karena termasuk ke dalam jenis verba keadaan. Hubungannya dengan makna pecah, makna yang terdapat dalam argumen kaca itu adalah penderita. Artinya, yang mengalami pecah adalah kaca sehingga ia berperan sebagai penderita dari verba pecah. Dengan demikian, peran semantik khusus berkaitan dengan makna yang terdapat di dalam predikator dan makna yang terdapat di dalam argumennya.

Makna predikator mencakup perbuatan, proses, keadaan, pengalaman, relasional, eksistensial, semelfaktif, posisi, lokasi, kuantitas, dan identitas (atribut). Makna Argumen mencakup pelaku, sasaran, hasil, pengalam, peruntung, sumber, jangkauan, ukuran, pokok, dan identitas. Selain makna yang terdapat pada predikator dan argumen (inti klausa), terdapat pula makna pada unsur tambahan. Makna unsur periferal mencakup: alat, tempat, waktu, asal, kemungkinan, keharusan, kepastian, cara, penyerta, perihal, tujuan, sebab, peralihan, arah, perbandingan, kesalingan, kemungkinan, kepastian, harapan, kesangsian. Makna predikator, argumen, dan periferal dalam tulisan ini diadaptasi dari pendapat Valin (2005), Harimurti (2002), dan Chaer (2010).

PERAN SEMANTIK

INTI KLAUSA PERIFERAL/NONINTI:

Tempat waktu

PREDIKATOR: ARGUMEN: asal

Perbuatan pelaku alat

Proses sasaran penyerta

Keadaan hasil perihal

Pengalaman pengalam tujuan

Relasional pokok sebab

Eksistensial peruntung peralihan

Semelfaktif jangkauan arah

Posisi ukuran cara

Lokasi identitas perbandingan

Identitas kesalingan

Kuantitas kemungkinan

Kepastian Harapan Kesangsian

Masing-masing peran ini mengacu pada bentuk kata atau ketegori tertentu, yaitu nomina/frasa nomina, verba/frasa verba, adjektiva/frasa adjektiva, numeralia/frasa numeralia, pronomina/frasa pronomina, adverbia/frasa adverbia, preposisi/frasa preposisi. Karena itu, Valin mengistilahkannya dengan peran dan acuan. Artinya, peran itu harus mengacu pada suatu peristiwa/keadaan yang disimbolkan dalam bentuk kata nomina, verba, dst.

(6)

a. Peran Semantik Predikator

1) Perbuatan. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna perbuatan.

Contoh: DPR merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah institusi 2) Proses. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna proses.

Contoh: masalah sosial merebak

3) Keadaan. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna keadaan. Contoh: masyarakat fobia pada nuklir

4) Pengalaman. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna pengalaman. Contoh: anggota Pansus mendengar pengakuan saksi

5) Relasional. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna relasi Contoh: antelop merupakan hewan suci masyarakat Afrika

6) Eksistensial. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna eksistensi. Contoh: ada peletakan batu pertama

7) Semelfaktif. Unsur predikator diisi oleh verba bermakna semelfaktif. Contoh: penggelembungan harga pasar mengejutkan rakyat

8) Posisi. Unsur predikator diisi oleh nomina lokatif atau frasa preposisi yang mengacu pada posisi dan arah. Contoh: lukisan itu di atas batu cadas

9) Lokasi. Unsur predikator diisi oleh frasa preposisi yang mengacu pada tempat. Contoh: lukisan Goa di Sulawesi Selatan

10)Identitas. Unsur predikator diisi oleh nomina atau adjektiva yang berfungsi untuk memberi identitas pada argumen pokok.

Contoh: penyakitnya hepatitis; istrinya seorang buronan

11)Kuantitas. Unsur predikator diisi oleh numeralia atau adverbia jumlah. Contoh: tugasku sangat banyak

b. Peran Semantik Argumen

1) Pelaku, yaitu yang melakukan perbuatan atau yang bertindak.

Contoh: DPR merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah nstitusi 2) Sasaran,yaitu yang menjadi sasaran dari perbuatan atau yang dikenai tindakan.

Contoh: DPR merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah institusi 3) Hasil, yaitu benda yang dihasilkan oleh perbuatan/tindakan.

Contoh: seharusnya, bulan ini petani menanam padi

4) Pengalam, yaitu yang mengalami suatu keadaan atau kejadian yang dinyatakan oleh predikator. Contoh: masyarakat fobia pada nuklir

5) Peruntung, yaitu yang mendapat keuntungan dan manfaat dari perbuatan atau keadaan yang dinyatakan oleh predikator.

Contoh: pianis Ananda Sukirlan sedang mencarikan siswanya piano 6) Jangkauan, yaitu yang menjadi ruang lingkup predikator.

Contoh: kejahatan dunia maya meliputi pembajakan digital, peretasan komputer, pelecehan seksual 7) Ukuran, yang mengungkapkan ukuran sesuatu.

Contoh: rumahnya berjarak lima ratus meter dari kantor pajak 8) Pokok, yaitu sesuatu yang diterangkan oleh benda yang lain.

Contoh: lukisan itu di atas batu cadas ; penyakitnya hepatitis; tugasku sangat banyak

9) Identitas. Selain terdapat dalam prediaktor, peran ini juga terdapat pada argumen. Peran ini diisi oleh nomina atau adjektiva yang berfungsi untuk memberi identitas pada argumen pokok.

Contoh: istrinya adalah seorang pengusaha, Ia menjadi juara pada permainan bulu tangkis c. Peran Semantik Unsur Periferal

Peran semantik unsur periferal pada dasarnya sesuai dengan ciri semantik nomina atau frase preposisi yang mengisinya. Jika unsur ini diisi oleh nomina atau frase preposisi yang menunjukkan waktu, peran yang dihasilkan juga mengacu pada waktu. Jika unsur ini diisi oleh nomina atau frase preposisi yang menunjukkan tempat, peran yang dihasilkan juga mengacu pada tempat, dan seterusnya. Berikut ini adalah beberapa peran yang terdapat pada unsur periferal.

1) Tempat. Contoh: ada masalah ditribusi PNS di daerah-daerah

2) Waktu. Contoh: jumlah PNS mencapai 4.708.330 orang per Mei 2011 3) Asal. Contoh: pengusaha itu kebanyakan dari cina

(7)

5) Penyerta. Contoh: bersama anaknya, ia mengadukan nasib ke komnas HAM

6) Perihal. Contoh: DPR merevisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang mahkamah institusi

7) Tujuan. Contoh: renegosiasi perlu dilakukan demi perbaikan pengelolaan sumber daya pertambangan 8) Sebab. Contoh: dua SPBU di Balikpapan tutup karena sepi

9) Peralihan. Contoh: warga beralih profesi dari petani ke pengumpul mangan 10)Arah. Contoh: saat ini, industri pertanian dikembangkan ke sektor rambutan

11)Cara. Contoh: yang pasti, penawaran pensiun dini harus direncanakan dengan sebaik-baiknya 12)Keterangan perbandingan/kemiripan.

Contoh: semua bentuk tingkah laku kita bergerak seperti pola pikir kita 13)Keterangan kesalingan.

Contoh: sesama anggota partai tak seharusnya beradu mulut antara satu sama lain 14)Keterangan Kemungkinan.

Contoh: kemungkinan besar Indonesia akan menghentikan pengiriman TKW ke Arab Saudi 15)Keterangan kepastian.

Contoh: yang pasti, penawaran pensiun dini harus direncanakan dengan sebaik-baiknya 16)Keterangan harapan.

Contoh: mudah-mudahan, pemilu 2014 berlangsung secara jujur dan adil 17)Keterangan kesangsian.

Contoh: barangkali, kami harus mempekerjakan PNS sesuai kebutuhannya

2. Peran Semantik Makro

Peran semantik makro adalah peran yang bersifat umum. Ada dua peran semantik makro: aktor dan undergoer. Keduanya berfungsi menghubungkan antara struktur logika verba dan representasi sintaksis pada klausa berpredikator verba transitif. Dalam gramatika struktural, kedua peran ini menduduki fungsi subyek dan obyek (Valin, 2005). Perhatikan contoh berikut ini.

Klausa Aktif Klausa Pasif

Pemerintah perlu menetapkan kebijakan strategis

pelaku perbuatan sasaran

Aktor Undergoer S P O

Kebijakan strategis perlu ditetapkan pemerintah Sasaran perbuatan pelaku Undergoer aktor S P O Bus itu menghantam motor

Alat proses sasaran

Aktor Undergoer

S P O

Motor dihantam oleh bus itu Sasaran proses alat Undergoer aktor S P O Petani menanam padi

Pelaku perbuatan hasil Aktor Undergoer

S P O

Padi ditanam petani Hasil perbuatan pelaku undergoer aktor S P O Dosen itu memberikan mahasiswanya nilai A

Pelaku perbuatan peruntung sasaran Aktor Undergoer

S P O Pel

Mahasiswa diberikan nilai A oleh dosen itu Peruntung perbuatan sasaran pelaku Undergoer aktor S P Pel O

Hakim mendengar pengakuan saksi pengalam pengalaman sasaran

Aktor Undergoer S P O

Pengakuan saksi didengar oleh hakim Sasaran pengalaman pengalam undergoer aktor S P O

Berdasarkan contoh di atas, tampak bahwa aktor dapat diisi oleh pelaku dan pengalam; sedangkan undergoer dapat diisi oleh sasaran, hasil, dan peruntung. Aktor dan undergoer berbeda dengan relasi gramatikal subyek dan obyek. Subyek dapat menjadi obyek pada kalimat aktif, sedangkan obyek dapat menjadi subyek pada kalimat pasif. Terjadi suatu kejanggalan, dalam arti bahwa relasi gramatikalnya berbeda, tetapi peran semantik khususnya sama (perhatikan perubahan subyek dan obyek serta peran semantik dari kalimat aktif menjadi kalimat pasif pada contoh di atas). Oleh karena itu, pemetaan peran makro ke dalam aktor dan undergoer berfokus pada peran-peran khusus semantiknya, bukan

(8)

pada urutan katanya. Konsekuensinya, ketika kalimat aktif berubah menjadi pasif, peran semantik makronya tidak berubah, tetapi tetap disesuaikan dengan peran semantik khususnya. Hal ini tentu berbeda dengan subyek dan obyek. Peran subyek pada kalimat aktif dan obyek pada kalimat pasif disebut aktor, sedangkan peran obyek pada kalimat aktif dan subyek pada kalimat pasif disebut undergoer. Perhatikan kembali contoh berikut ini!

- Anak itu (SUBYEK/AKTOR pelaku) memotong (PREDIKAT/PERBUATAN), kue (OBYEK/UNDERGOER sasaran)

- Kue (SUBYEK/UNDERGOER sasaran) dipotong (PREDIKAT/PERBUATAN) anak itu (OBYEK/AKTOR pelaku).

E. Penutup

Memahami klausa dengan tepat, tidak hanya mementingkan aspek relasi gramatikal semata, tetapi juga harus memperhatikan representasi semantik yang terkandung dalam relasi predikator, argumen, dan periferal.

DAFTAR PUSTAKA

Catatan: Sebagian isi dari makalah ini sudah diterbitkan dalam buku Sintaksis Bab “Klausa”, Penerbit Bumi Aksara, Tahun 2014.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang menjadi fokus perbaikan adalah “Apakah metode pemberian tugas dapat meningkatkan prestasi belajar siswa terhadap

Prinsip dari metode Huffman pada citra digital adalah mengkodekan setiap nilai keabuan dengan rangkaian bit 0 dan 1, di mana simbol yang memiliki frekuensi

7.2 Berkomunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik dengan bahasa yang khas dalam interaksi kegiatan/permainan yang mendidik yang terbangun secara siklikal

Panitia Pengadaan Barang / Pekerjaan Konstruksi / Jasa lainnya pada Dinas Kesehatan Kabupaten Pati akan melaksanakan Pelelangan Umum dengan

2 Pasal 38 undang-undang No.. kepada Presiden dalam upaya mewujudkan Kepolisian Negara Republik Indonesia yang profesional dan mandiri, dan ketiga; menerima saran dan keluhan

[r]

Kategori pertama disebut sebagai “core values”, yaitu terkait dengan manfaat yang diperoleh perguruan tinggi melalui implementasi TIK yang berkaitan langsung dengan

Khusus bagi Dokter yang telah selesai menjalani masa bakti sebagai pegawai tidak tetap, dan pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 2005, telah