• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKULTURASI PADA FASAD RUMAH BETAWI Studi Kasus: Rumah Si Pitung di Marunda

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKULTURASI PADA FASAD RUMAH BETAWI Studi Kasus: Rumah Si Pitung di Marunda"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

AKULTURASI PADA FASAD RUMAH BETAWI

Studi Kasus: Rumah Si Pitung di Marunda

ACCULTURATION ON BETAWI’S HOUSE FACADE

Case Study: Si Pitung’s House in Marunda

Westi Annita Sari

Program Studi Teknik Arsitektur, Universitas Gunadarma westi_anita@staff.gunadarma.ac.id

Abstrak

Pembangunan yang meningkat pesat di Jakarta berdampak dengan semakin tergerusnya budaya lokal masyarakat setempat, yaitu masyarakat Betawi. Upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menetapkan beberapa kawasan sebagai cagar budaya Betawi, salah satunya adalah rumah si Pitung yang juga bagian dari kawasan museum kebaharian Jakarta situs Marunda. Dalam sejarahnya, kota Jakarta banyak didatangi oleh pendatang dari berbagai macam etnis sehingga terjadi akulturasi, yang juga terlihat di rumah Betawi. Penulisan ini bertujuan untuk mengetahui akulturasi pada fasad rumah Betawi. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif naratif yaitu dengan cara memaparkan berbagai data survey terkait fasad rumah Betawi dan mengaitkannya dengan studi literatur. Hasil dari penelitian menunjukkan bahwa terdapat akulturasi pada fasad rumah si Pitung di Marunda, dengan pengaruh kebudayaan yang sangat beragam dari berbagai etnis lain, baik dari dalam Indonesia maupun luar Indonesia.

Kata Kunci: arsitektur tradisional, akulturasi, rumah, Betawi.

Abstract

Rapid development in Jakarta had an impact on the diminishing of the local people’s culture which is Betawi tribe’s culture. Efforts made by the government to overcome this problem is to establish several areas as Betawi cultural preservation, one of it is the Pitung’s house which is also part of the maritime museum Jakarta in Marunda site. In its history, the city of Jakarta was visited by migrants from various ethnic groups, resulting in acculturation, which was also seen in the Betawi house. This research aims to determine the acculturation of the Betawi house façade. Research method used in this paper is descriptive narrative, by presenting various data survey related to Betawi’s house facade and linking it with study of literature. The result of the research shows there is acculturation in the rumah si Pitung facade in Marunda, with the cultural influences are very diverse from various other ethnic groups, from within Indonesia and outside Indonesia.

Keywords: traditional architecture, acculturation, home, Betawi.

PENDAHULUAN

Urbanisasi dan pembangunan yang meningkat pesat di Jakarta berdampak pada semakin tergerusnya budaya lokal masyarakat setempat, yaitu masyarakat Betawi. Berbagai

kebudayaan Betawi sudah jarang terlihat di Jakarta, pun rumah-rumah tradisional Betawi yang sudah tergantikan dengan rumah-rumah modern, apartemen ataupun rumah-rumah permukiman padat. Beberapa situs budaya yang

(2)

masih menjaga keberadaan rumah Betawi antara lain di kawasan Setu Babakan, Condet, anjungan TMII dan Marunda.

Masyarakat Betawi sejak sekitar abad awal masehi telah didatangi berbagai bangsa dari Asia, seperti orang India, Cina, Arab dan Gujarat. Setelah itu, barulah kedatangan orang-orang Eropa. Begitu pula orang-orang-orang-orang dari seluruh nusantara, antara lain orang Melayu dan orang-orang dari Indonesia timur, seperti Bugis, Makassar, Bali dan Ambon. Setelah bercampur selama beberapa abad –entah melalui proses akulturasi, enkulturasi, atau asimilasi- akhirnya melahirkan satu kebudayaan Betawi yang banyak diwarnai oleh kebudayaan dari para pendatang tadi (Chaer. 2015).

Masyarakat proto Betawi sendiri diduga telah ada sejak abad ke 2, lalu dikuasai oleh kerajaan Tarumanegara dan Pakuan pada abad ke 16 lalu mulai masuklah kebudayaan Sunda di kawasan Betawi. Sebagai kawasan pesisir yang memiliki pelabuhan internasional, masyarakat Betawi tempo dulu banyak berinteraksi dengan pedagang dari berbagai daerah, misalnya Jawa, Makassar, Bugis, Malaka hingga Arab, Cina dan India. Bangsa Portugis mulai datang pada tahun 1512 dan ribuan pasukan dari Demak dan Cirebon tiba tahun 1526. Hal ini menimbulkan akulturasi budaya lokal Betawi dengan budaya para pendatang (Swadarma, 2013)

Kedatangan para pendatang dari berbagai etnis ke Jakarta tempo dulu mengakibatkan terjadinya akulturasi yaitu percampuran dua kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling mempengaruhi. Akulturasi terjadi pada aspek kesenian, kuliner, bahasa, arsitektur, dan lain sebagainya. Percampuran kebudayaan-kebudayaan tersebut menjadi kekhasan dari kebudayaan Betawi yang sayangnya semakin tergerus oleh modernisasi.

UU No. 29 tahun 2007 pasal 26 ayat 6 yang berbunyi “Pemerintah Provinsi DKI

Jakarta melestarikan dan mengembangkan budaya masyarakat Betawi serta melindungi berbagai budaya masyarakat daerah lain yang ada di daerah Provinsi DKI Jakarta“ merupakan indikasi bahwa perlu dijaga dari kepunahan dan perlu dikembangkan agar diketahui oleh masyarakat luas terutama di kota Jakarta karena merupakan warisan leluhur, salah satu bentuk kebudayaan tersebut adalah rumah Betawi.

Arsitektur rumah Betawi adalah fenomena yang muncul dari percampuran pengaruh berbagai kebudayaan, baik kebudayaan yang berasal dari Indonesia maupun kebudayaan yang berasal dari luar Indonesia (Alamsyah, 2009).

Arsitektur memiliki cakupan yang sangat luas, dalam penelitian ini penulis membatasi amatan pada bagian fasad. Fasad masih menjadi elemen arsitektur terpenting dalam perannya untuk mengomunikasikan fungsi dan signifikansi dari bangunan. Fasad tidak hanya memenuhi persyaratan dasar yang ditentukan organisasi ruang-ruang yang ada di belakangnya tetapi juga menceritakan situasi budaya dan mengungkapkan keunikan ornamentasi dan dekorasi serta menggambarkan tentang penghuni bangunan, memberikan identitas kolektif pada suatu komunitas dan representasi dalam masyarakat (Krier, 1983).

Fasad yang merupakan wajah suatu bangunan dapat menjadi indikasi adanya akulturasi pada bangunan. Misalnya saja pada rumah tradisional di Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo terdapat akulturasi arsitektur Jawa dan arsitektur Kolonial Belanda pada elemen pintu, jendela, atap dan ornamen (Agustin, 2017). Fasad adalah ekspresi visual yang pertama kali dilihat orang dalam suatu bangunan, sehingga penilaian terhadap fasad identik dengan penilaian terhadap keseluruhan bangunan. Pengolahan fasad yang baik menjadi penting dalam perancangan arsitektur. Pun dalam mengidentifikasi suatu bangunan, khususnya

(3)

bangunan tradisional, tanpa perlu melihat bangunan secara keseluruhan publik dapat langsung mengetahui asal suatu rumah tradisional hanya dari fasadnya saja.

Penyusunan tulisan ini bertujuan untuk mengetahui akulturasi pada fasad rumah Betawi dengan studi kasus rumah si Pitung sehingga diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan arsitektur tradisional terutama arsitektur rumah Betawi sehingga memajukan upaya-upaya pelestarian arsitektur rumah Betawi.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini bersifat kualitatif, penelitian kualitatif memiliki beragam metode dalam menuju tujuannya, meliputi interpretatif dan pendekatan naturalis pada subjeknya. Penelitian kualitatif mencoba menginterpretasi makna dari suatu fenomena serta melibatkan berbagai macam studi dan materi-materi empiris (Denzin, 1998)

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah melalui observasi dan studi literatur tentang fasad rumah si Pitung di Marunda. Dalam observasi, penulis melakukan survey lapangan dan mendokumentasikan fasad rumah si Pitung sedangkan dalam studi literatur penulis mencari informasi terkait rumah si Pitung maupun rumah Betawi secara umum lewat buku cetak, ebook, jurnal, dan internet.

Pada penelitian ini, variabel penelitiannya meliputi pintu, jendela, dinding, lisplang, bentuk atap dan ornamen pada fasad rumah si Pitung di Marunda. Metode analisis data yang digunakan adalah metode deskriptif, yaitu memaparkan secara naratif variabel-variabel penelitian dengan menyertakan gambar dari variabel terkait. Lalu, menganalisisnya berdasarkan teori-teori yang didapat dari studi literatur, dari situ akan didapat apakah ada kesamaan atau kemiripan antara arsitektur pada fasad rumah si

Pitung dengan arsitektur lainnya, yang menandakan adanya akulturasi di sana. Tahapan terakhir adalah menarik kesimpulan tentang elemen-elemen pada fasad rumah si Pitung di Marunda yang terdapat akulturasi dan menyajikannya dalam bentuk tabel.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Rumah si Pitung terletak di Marunda, Jakarta Utara. Rumah ini merupakan salah satu dari sedikit rumah panggung betawi yang masih tersisa yang merupakan representasi dari hunian masyarakat Betawi di wilayah pesisir. Berdasarkan SK Gubernur no 475 tahun 1993 dan SK Menteri no 140/M/1998, rumah ini menjadi museum dan cagar budaya di mana pertunjukan kebudayaan betawi sering diadakan. Bangunan ini diperkirakan telah berdiri sekitar abad ke 20, pemilik bangunan ini yaitu Haji Saipudin diyakini adalah sahabat erat dari si Pitung. Si Pitung sendiri adalah jawara asal Betawi yang kerap membela penduduk pribumi dari kesewenang-wenangan penjajah Belanda. Pitung mengambil harta penjajah Belanda dan orang-orang yang berpihak pada mereka untuk diberikan pada rakyat yang tertindas.

Rumah si Pitung telah mengalami beberapa kali pemugaran yaitu mengganti lantai aslinya yang berbentuk bilak-bilah bambu dengan kayu serta merenovasi gerbang dan pagar yang mengelilingi rumah si Pitung. Model asli bangunan tetap dipertahankan walaupun terjadi beberapa kali pemugaran.

Fasad adalah sisi terluar atau eksterior sebuah bangunan, umumnya istilah fasad merujuk pada sis depan bangunan saja tetapi kadang makna fasad juga merujuk pada sisi samping atau belakang dari suatu bangunan. Dalam arsitektur fasad merupakan salah satu komponen penting dalam mendesain karena ia memberikan citra dari bangunan secara keseluruhan dan memberi suasana bagi bagian-bagian lain

(4)

pada bangunan juga menjadi bagian yang pertama kali dilihat seseorang pada suatu bangunan. Sehingga pengolahan fasad merupakan hal yang penting dalam mendesain suatu bangunan.

Pada penelitian ini, penulis merujuk pada istilah fasad pada seluruh sisi eksterior

bangunan, tidak hanya bagian depan saja. Elemen fasad rumah si Pitung terdiri dari tangga, pintu, jendela, dinding, railing, lisplang, konsol dan bentuk atap. Berikut ini pembahasan tiap-tiap elemen tersebut.

Gambar 1. Tampak Depan Rumah Si Pitung

Kolom

Terdapat sekitar 40 buah kolom yang menopang rumah si Pitung yang berjenis rumah panggung ini. Rumah ini bertipe rumah panggung karena letaknya yang berada di pesisir pantai sehingga rawan terkena pasang air laut. Ketinggian kolom ini sendiri sekitar 165 cm. Kolom kayu pada rumah si Pitung berdiri di atas pondasi umpak. Kolom berfungsi sebagai soko guru. Terdapat ukiran sederhana pada kolom ini yang mirip dengan arsitektur Arab.

Gambar 2. Kolom Rumah Si Pitung Tangga Depan

Konstruksi tangga pada rumah Betawi memiliki istilah balaksuji, balak artinya bencana sedangkan suji artinya penyejuk. Filosofi dari balaksuji yaitu sama halnya dengan kolam air di depan masjid, yaitu membersihkan kaki bagi orang yang ingin masuk ke dalam namun maknanya tidak hanya membersihkan kaki saja

tetapi juga bersih lahir dan batin. Filosofi ini memiliki kemiripan dengan tangga pada rumah Sunda.

Motif railing pada tangga depan adalah motif tumbuhan berupa bunga dan sulur, motif ini merupakan ciri dari pengaruh kebudayaan Melayu pada rumah si Pitung.

(5)

Gambar 3. Tangga pada Rumah Si Pitung Pintu

Terdapat sebuah pintu masuk dengan dua daun pintu yang terletak di tengah-tengah. Daun pintu berbentuk persegi panjang dengan material kayu. Bentuk pintu seperti ini umum digunakan di manapun, sehingga tidak ada pengaruh kebudayaan apapun pada pintu ini. Namun di atas pintu terdapat hiasan yang bercirikan ornamen Melayu.

Gambar 4. Pintu Rumah Si Pitung

Jendela

Terdapat dua jenis jendela pada rumah si Pitung. Jendela pertama berbentuk persegi panjang dan memiliki kisi-kisi dengan pola garis-garis horizontal, jendela ini disebut jendela krepyak. Jendela ini terdapat pada sebagian besar sisi-sisi rumah si Pitung. Sedangkan jendela jenis kedua terdapat pada teras, bentuknya melengkung menyerupai kubah masjid pada sisi atasnya serta tidak memiliki daun jendela. Ciri pada jendela jenis kedua ini merupakan pengaruh dari kebudayaan Arab pada rumah si Pitung.

Dinding

Dinding pada rumah si Pitung terdiri dari dua jenis, jenis pertama menggunakan material kayu dengan pola-pola vertikal, dinding jenis ini terdapat pada sebagian besar sisi rumah si Pitung. Dinding seperti ini umum ditemukan di manapun sehingga disimpulkan bahwa tidak ada akulturasi pada dinding ini.

(6)

Gambar 5. Jendela Rumah Si Pitung

Dinding jenis kedua terdapat pada sisi beranda depan, pada dinding ini terdapat ukiran ukiran pada bagian atas dan kisi-kisi pada bagian bawah. Ukiran pada bagian atas terdiri dari tiga buah motif, motif pada sisi kanan dan kiri memiliki bentuk serupa yaitu lingkaran dengan

bentuk-bentuk geometris di dalamnya. Sedangkan motif pada bagian tengah berbentuk sulur-sulur tumbuhan. Motif ini merupakan pengaruh arsitektur cina pada rumah si Pitung. Pada bagian bawah, terdapat ventilasi dengan kisi-kisi mirip arsitektur Jawa.

Gambar 6. Dinding Rumah Si Pitung

Railing

Langkan adalah istilah dalam arsitektur Betawi untuk menamakan railing atau pagar pembatas. Istilah langkan berasal dari bahasa Cina yaitu lang-kan atau pelangkan yang artinya duduk, karena dalam rumah Betawi langkan/railing juga berfungsi sebagai tempat untuk duduk-duduk. Langkan merupakan

bagian dari paseban/belandongan (teras), dan berfungsi sebagai pembatasnya.

Motif langkan pada rumah Betawi umumnya menyerupai simbol dari patung manusia yang bermakna etika yang baik dalam bertamu adalah melalui depan rumah. Datang bertamu lewat belakang atau samping rumah adalah etika yang buruk bagi masyarakat Betawi. Namun pada rumah si Pitung,

motif langkannya kental dengan nuansa

arsitektur Cina yaitu berupa komposisi bentuk persegi.

(7)

Gambar 7. Railing Rumah Betawi Lisplang

Lisplang pada rumah Betawi memiliki istilah gigi balang yaitu simbol dari belalang sembah. Ornamen ini memiliki makna bahwa tiap orang pasti memiliki masalah dalam

hidupnya, karena itu manusia harus sabar, rajin dan ulet seperti belalang. Dapat juga diartikan penghormatan pemilik rumah atas tamunya. Bentuk ornamen pada rumah ini memiliki pengaruh dari kebudayaan Melayu.

Gambar 8. Lisplang Rumah Betawi Konsol

Konsol rumah si Pitung terdiri dari dua jenis, jenis pertama bermotif lengkung dengan material besi tempa. Konsol jenis pertama ini hanya terdapat pada serondoy. Konsol jenis kedua berbentuk segitiga dengan material kayu.

Konsol besi sendiri merupakan salah satu peninggalan kolonial Belanda yang menjadi tren pada rumah-rumah betawi dalam jangka waktu yang lama (Swadarma, 2013).

(8)

Gambar 9. Konsol Rumah Betawi Bentuk Atap

Salah satu ciri khas yang dapat dijadikan pedoman untuk mengidentifikasi rumah Betawi adalah atapnya. Umumnya rumah betawi daerah pedalaman memiliki tiga tipe atap, yaitu joglo, bapang atau kebaya dan gudang. Sedangkan rumah si Pitung yang terletak di pesisir, memiliki tipe atap yang berbeda yaitu atap limas,

namun persamaannya adalah adanya serondoy pada semua jenis atap rumah Betawi.

Gambar 10. Bentuk Atap Rumah Si Pitung

Gambar 11. Aneka Bentuk Atap Rumah Betawi Dari pembahasan di atas, akulturasi terjadi pada sebagian besar elemen fasad rumah si Pitung. Pada pintu, dan bentuk atap tidak terdapat indikasi pengaruh budaya dari luar. Pengaruh budaya dari luar terindikasi pada tangga depan yang memiliki falsafah yang sama dengan tangga depan pada rumah Sunda. Pada dinding terdapat pengaruh Cina pada bentuk ukirannya dan pengaruh Jawa pada ventilasinya. Di jendela terlihat pengaruh arsitektur Cina dan Arab. Pada elemen railing, akulturasi terdapat

Pada istilah “langkan“ yang berasal dari Cina dan memiliki arti duduk, karena pada rumah Betawi railing juga kerap dijadikan tempat untuk duduk-duduk serta motif dari langkan yang juga kental dengan nuansa arsitektur Cina. Ornamen pada lisplang mendapat pengaruh dari kebudayaan Melayu. Pengaruh budaya Eropa terdapat pada konsol besi tempa dengan bentuk melengkung yang menggantikan model tou-kung yang berasal dari Cina yang dulu kerap digunakan pada rumah Betawi. Akulturasi pada fasad rumah Betawi dapat disimpulkan dalam Tabel 1.

(9)

Tabel 1. Akulturasi Pada Fasad Rumah Si Pitung

Akulturasi Pada Ada Tidak Ada Budaya yang

Mempengaruhi

Tangga depan V Sunda

Pintu v -

Jendela V Arab dan Cina

Dinding V Jawa dan Cina

Railling V Jawa dan Cina

Lisplang V Melayu

Konsol V Eropa

Bentuk atap v -

SIMPULAN

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa rumah si Pitung di Marunda mendapat pengaruh dari berbagai etnis lain, baik dari dalam Indonesia maupun luar Indonesia. Dari dalam Indonesia pengaruh didapat dari kebudayaan Sunda, Jawa dan Melayu hal ini dikarenakan secara geografis Jakarta berbatasan dengan masyarakat-masyarakat tersebut. Sedangkan dari luar Indonesia, pengaruhnya didapt dari kebudayaan Arab, Cina dan Eropa. Hal ini dikarenakan Jakarta sebagai kota pelabuhan internasional sejak masa lalu, sehingga masyarakat asing pertama kali datang ke Indonesia melalui Jakarta. Bangsa Arab datang ke Indonesia untuk berdakwah dan berdagang, Bangsa Cina untuk berdagang dan Bangsa Eropa antara lain Portugis, Belanda dan Inggris pernah menjajah Indonesia. Kedatangan bangsa asing tersebut memberi pengaruh berupa akulturasi pada kebudayaan masyarakat Betawi, salah satunya ada pada rumah si Pitung.

Pembahasan mengenai fasad rumah si Pitung memberikan banyak informasi mengenai adanya akulturasi pada rumah Betawi, elemen interior pun sesungguhnya dapat digali untuk mendapat informasi mengenai adanya pengaruh kebudayaan lain pada arsitektur rumah Betawi. Pengaruh yang didapat dari akulturasi tersebut pun beragam, mulai dari ornamen, penamaan istilah hingga makna filosofisnya. Sehingga bisa dikatakan bahwa ciri khas dari arsitektur Betawi

adalah pencampuran arsitektur dari berbagai etnis itu sendiri. Sehingga dalam upaya pelestarian arsitektur Betawi khususnya dalam perancangan fasadnya, diperlukan pula wawasan mengenai arsitektur etnis lain yang mempengaruhinya yaitu Jawa, Sunda, Melayu, Cina, Arab dan Eropa.

DAFTAR PUSTAKA

Alamsyah, S (2009) Arsitektur Tradisional Rumah Betawi. Patanjala, vol.1 no.1, p.12-26 [versi online via ejurnal patanjala kemdikbud.go] [diakses pada 20 Juli 2019]

Agustin, D (2017) Kajian Fasade Rumah Tradisional Kampoeng Batik Jetis Sidoarjo. Prosiding Seminar Heritage IPLBI, p.39-44 [versi online via seminar.iplbi.or.id] [diakses pada 25 Juli 2019]

Chaer, A (2015) Betawi Tempo Doeloe. Depok: Masup Jakarta

Denzin, N & Lincoln, Y (1998) Strategies For Qualitative Inquiry. California: Sage publications

Kbbi.web.id/akulturasi [diakses pada 22 Juli 2019]

Krier, R (1983) Elements Of Architecture. London: Academy Group Ltd [versi online via robkrier.de] [diakses pada 25 Juli 2019]

(10)

Swadarma, D. & Aryanto,Y. (2013) Rumah Etnik Betawi. Jakarta: Penebar Swadaya Grup

Id.m.wikipedia.org/wiki/Rumah_si_pitung Jakarta.go.id/artikel/konten/3793/pitung-si

Gambar

Gambar 2. Kolom Rumah Si Pitung
Gambar 3. Tangga pada Rumah Si Pitung
Gambar 5. Jendela Rumah Si Pitung
Gambar 7. Railing Rumah Betawi
+3

Referensi

Dokumen terkait

(3) Perangkat Desa yang diberhentikan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf c diputus bebas atau tidak terbukti bersalah oleh

Berdasarkan hasil analisis keseluruhan kompetensi kepribadian konselor yang diharapkan siswa SMA Negeri 11 Yogyakarta, maka dapat disimpulkan bahwa kompetensi

Sediaan Biofarmaka bentuk sediaan infusa untuk obat luar (cuci mata) yang dapat digunakan untuk pengobatan penyakit mata pada kambing bisa menggunakan beberapa campuran bahan

Kawasan ini sangat unik dan menarik karena memiliki tipe habitat dan ekosistem yang bervariasi mulai dari wilayah perairan dangkal Teluk Cenderawasih sampai ke Pulau Karang

telemetri temperatur multichannel multibit menggunakan mikrokontroler ATMega8535 dengan pemrograman Borland Delphi 7 sehingga dihasilkan pengukuran dengan ketelitian

dipengaruhi cuaca selama penanaman, pada tahun 2013 dan 2015 rerata suhu maksimal mencapai 36.98 o C dan 37.33 o C dimana suhu tersebut lebih tinggi dibandingkan rerata

Dimensi ekologi terdiri atas 8 atribut atau parameter, yaitu : elevasi, arah lereng, kondisi land cover , tingkat kemiringan lereng, ketersediaan bahan organik (pupuk kandang dan

Penyesuaian dalam keluarga (family adjustment) pada warga desa Tambakbulusan termasuk dalam kategori sedang. Hal ini berarti orangtua cukup mampu menyeimbangkan