• Tidak ada hasil yang ditemukan

Vol. 23 No. 1, April

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Vol. 23 No. 1, April"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Salam redaksi,

Degradasi lingkungan masih terus kita lihat dan rasakan hingga saat ini. Berbagai program perbaikan dan pencegahan kerusakan lingkungan, telah diaktualisasikan berbagai pihak yang peduli pada

pelestarian alam.

Wetlands International, saat ini sedang mengembangkan dan menerapkan suatu kegiatan perbaikan wilayah pesisir melalui pendekatan “Membangun Bersama Alam”.

Kegiatan ini pada intinya memanfaatkan kekuatan (jasa) alam daripada melawannya, dan menyediakan kesempatan bagi alam itu sendiri untuk menjalankan fungsinya. Contoh kegiatan dengan teknik soft

engineering tsb, tersaji pada kolom fokus kali ini.

Simak pula informasi-informasi menarik lainnya.

Selamat membaca.

Fokus Lahan Basah

Membangun Bersama Alam: Memanfaatkan Alat Perangkap Lumpur di Pesisir Desa Talibura 3

Konservasi Lahan Basah

Nelayan Berjibaku: Selamatkan Mangrove 4

Berita Kegiatan

Stop Press: Indonesia dan Belanda meluncurkan Inisiatif Penyelamatan Pesisir di Pulau Jawa 6 Serunya ‘Sekolah Alam’ di Mangrove Information Centre Reroroja, Kab. Sikka, NTT 7

Berita Umum Lahan Basah

Muara Gembong: Hutan Mangrove dan Habitat

Lutung Jawa di Ujung Bekasi yang Terabaikan 8 Menyoal Masa Depan Pusat Kekayaan Hayati Laut Dunia di Wilayah Pesisir Kepala Burung Papua 10 Peranan Hutan Mangrove pada Ekosistem

Pesisir yang Terabaikan 12

Flora & Fauna Lahan Basah

Habitat dan Penyebaran Labi-labi (Amyda

cartilaginea) di Kalimantan Timur 14

Dokumentasi Perpustakaan 19

DEWAN REDAKSI:

Pimpinan Redaksi:

Direktur

Wetlands International Indonesia

Anggota Redaksi:

Triana Ragil Satriyo Gumilang “Artikel yang ditulis oleh para penulis,

sepenuhnya merupakan opini yang bersangkutan dan Redaksi tidak bertanggung

jawab terhadap isinya”

Dari Redaksi

Daftar Isi

UcApAN

TERImA KASIh DAN UNDANgAN

Kami haturkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya khususnya kepada seluruh penulis yang telah secara sukarela berbagi pengetahuan dan pengalaman berharganya untuk dimuat pada majalah ini.

Kami juga mengundang pihak-pihak lain atau siapapun yang berminat untuk menyumbangkan bahan-bahan berupa artikel, hasil pengamatan, kliping, gambar dan foto, untuk dimuat pada majalah ini. Tulisan diharapkan sudah dalam bentuk soft copy, diketik dengan huruf Arial 10 spasi 1,5 maksimal 4 halaman A4 (sudah berikut foto-foto). Semua bahan-bahan tersebut termasuk kritik/saran dapat dikirimkan kepada:

Triana - Divisi Publikasi dan Informasi Wetlands International Indonesia Jl. A. Yani No. 53 Bogor 16161 tel: (0251) 8312189

(3)

Membangun Bersama Alam

Memanfaatkan Alat Perangkap Lumpur di Pesisir Desa Talibura

Eko Budi Priyanto*

...bersambung ke hal 8

Fokus Lahan Basah

M

uhoring, salah seorang warga Desa Talibura, Kabupaten Sikka, menyebutkan bahwa setelah tsunami 1992 sampai sekarang, daratan tempat dia tinggal telah mengalami kemunduran/abrasi lebih dari 100 meter akibat gerusan gelombang pasang. Pada saat yang sama, banjir yang terjadi setiap tahun, pada bulan Februari-Maret, membawa material lumpur yang kemudian mengendap di sekitar muara sungai selama beberapa hari dengan tebal endapan mencapai 40 cm, sebelum kemudian tercuci ke laut.

Dari hasil diskusi dengan

masyarakat, dan dibantu oleh Tim Kajian Wetlands International Indonesia dari Bogor, muncul gagasan untuk membuat semacam perangkap yang memungkinkan endapan tebal lumpur tetap tinggal di sekitar muara pinggir pantai. Sedimen lumpur yang terperangkap

kemudian dapat digunakan sebagai media tumbuh mangrove. Disamping itu, bangunan perangkap tersebut dapat digunakan untuk mengurangi kekuatan gelombang laut yang menuju pantai sehingga dapat mengurangi resiko abrasi pantai. Pihak pemerintah Desa Talibura mendukung secara formal gagasan tersebut, yang kemudian terwujud dalam bentuk kesepakatan dukungan yang diberikan oleh Pemerintah Desa Talibura, BPD Desa Talibura, tokoh masyarakat, relawan Siaga Bencana Berbasis Masyarakat (SIBAT – Palang Merah Indonesia-Sikka), anggota Kelompok Klakat Indah dan anggota masyarakat lainnya . Pembangunan alat perangkap lumpur tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan dan memanfaatkan alat-alat serta material yang tersedia secara alami. Bangunan sepanjang 180 meter tersebut dibangun dengan menggunakan potongan bambu

petung sepanjang sekitar 3 meter, sebanyak sekitar 2.600 potong. Pada sela-sela potongan bambu tersebut diselipkan potongan daun kelapa dan bilah-bilah bambu, sedemikian rupa sehingga dapat menahan lolosnya lumpur. Setelah berjalan lebih dari 8 bulan, masyarakat mengamati telah terjadi pengendapan

lumpur di bagian dalam bangunan penangkap lumpur, yang kemudian memungkinkan dilakukannya penanaman mangrove. Masih terlalu dini untuk mengklaim pendekatan ini berhasil, namun setidaknya sejauh ini ada banyak hal yang cukup menggembirakan dan menjanjikan. Membangun bersama alam intinya adalah melakukan kegiatan memperbaiki alam dengan mengikuti pola dan perilaku alam itu sendiri.

(4)

Nelayan Berjibaku

Selamatkan Mangrove

Onrizal*

Konservasi Lahan Basah

Gangguan hutan mangrove

A

real mangrove register 8/L di pesisir timur Kabupaten Langkat, telah ditetapkan sebagai kawasan lindung (L) sejak zaman kolonial Belanda. Sampai awal tahun 2000-an, hutan mangrove di kawasan tersebut masih tergolong baik. Beberapa gangguan hutan mangrove umumnya terbatas pada dekat lokasi sumur minyak bumi yang merupakan bagian eksploitasi minyak bumi Brandan-Pangkalan Susu yang sudah ada sejak zaman Belanda.

Azhar Kasim selaku Ketua Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari yang juga warga Brandan, Langkat mengisahkan awal okupasi lahan mangrove register 8/L dimulai pada tahun 2003. Ribuan hektar hutan mangrove di kawasan tersebut di tebang habis (land clearing) untuk dijadikan kebun kelapa sawit secara ilegal, baik oleh perusahaan perkebunan kelapa sawit maupun perorangan. Diduga modus utamanya adalah merekayasa seolah-olah masyarakat lokal mengklaim lahan hutan mangrove tersebut adalah lahan warisan mereka dan kemudian dijual kepada pihak perusahaan, tanpa mengindahkan bahwa areal tersebut termasuk ke dalam hutan register. Pada tahun 2007, hutan mangrove yang telah dibabat habis itu mulai ditanami kelapa sawit.

Perlawanan masyarakat

nelayan

Akibat konversi hutan mangrove tersebut menjadi perkebunan kelapa sawit, hasil tangkap

nelayan turun drastis pada wilayah tersebut. Hal ini kemudian memicu perlawanan masyarakat nelayan yang terkena dampak. Pada tahun 2011, masyarakat nelayan bergerak massif dan terus-menerus serta dengan melibatkan jaringan nelayan di tingkat kabupaten, provinsi dan nasional. Termasuk upaya yang dilakukan melalui penyebaran informasi di media massa. Hal ini mampu “menekan” aparat penegak hukum untuk bertindak, sehingga sekitar 1,200 ha lahan yang telah dikonversi berhasil dibebaskan. Namun kasus hukumnya berjalan lambat, dan pada 18 September 2013 salah satu terdakwa bernama Sutrisno atau Akam yang merupakan Direktur UD Harapan Sawita dijatuhi hukuman yang ringan, yakni hanya enam bulan penjara dengan masa percobaan delapan bulan dan denda Rp 5 juta serta subsider satu bulan, seperti dilaporkan Kompas Online pada 18 September 2014 (http://regional.kompas. com/read/2013/09/18/2201049/ Alihkan.Mangrove.Jadi.Sawit. Sutrisno.Dihukum.6.Bulan). Artinya sang pelaku tidak dipenjara, hanya hukuman percobaan.

Berjuang merehabilitasi

mangrove yang rusak

Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari Kabupaten Langkat

kemudian secara swadaya mulai melakukan rehabilitasi lahan mangrove yang telah berhasil dibebaskan. Secara swadaya kelompok ini juga telah melakukan penanaman mangrove seluas ± 70 ha. Meskipun demikian berbagai bentuk intimidasi sering mereka dapatkan, antara lain berupa perusakan persemaian atau tanaman mangrove di lokasi rehabilitasi ataupun intimidasi pada nelayan yang terlibat dalam program rehablitasi secara langsung. Namun hal tersebut tak menyurutkan langkah mereka untuk merehabilitasi hutan mangrove yang telah rusak dan menjaga yang masih baik bersama masyarakat nelayan. Selain itu, pendekatan kepada pihak pemerintah terkait terus dilakukan. Dukungan pihak pemerintah secara nyata oleh pihak nelayan mulai dirasakan pada tahun 2012. Kelompok nelayan ini mendapatkan dukungan program dari Balai Pengelolaan Hutan Mangrove (BPHM) Wilayah II yang berkedudukan di Medan untuk merehabilitasi 25 ha lahan mangrove yang rusak yang lokasinya bersebelahan dengan 70

(5)

Konservasi Lahan Basah

...bersambung ke hal 19 hektar lahan mangrove yang telah

mereka rehabilitasi sebelumnya secara swadaya. Dukungan pihak BPHM Wilayah II ini semakin mengokohkan perjuangan nelayan setempat. Selanjutnya, dukungan diperoleh dari Pemerintahan Kabupaten Langkat, dan Bupati Langkat hadir dan ikut menanam mangrove sebagai tanda Program Pembuatan Areal Model Rehabilitasi Mangrove yang bekerjasama

dengan BPHM Wilayah II dimulai diimplementasikan.

Kegiatan ini tidak hanya melibatkan anggota kelompok tani, namun juga nelayan sekitar yang tak termasuk kelompok tani. Jumlah pengurus dan Kelompok Tani Mangrove Keluarga Bahari ini adalah 175 orang yang tersebar di 7 desa yang tercakup dalam 3 kecamatan (Sei Lepan, Brandan Barat, dan Babalan), Kabupaten Langkat.

Dukungan pada upaya kelompok nelayan terus bertambah. Pada tahun 2012 juga, kelompok ini bekerjasama dengan KLH dalam rehabilitasi mangrove seluas 25 ha dengan jumlah bibit sekitar 80.000 batang. Pada tahun yang sama bersama pasukan marinir, mereka menanam sekitar 50.000 batang mangrove pada areal mangrove bekas konversi tersebut. Selanjutnya pada tahun 2013, kelompok ini kembali mendapat kepercayaan dari pihak BPDAS Wampu Sei Ular untuk melaksanakan pembuatan bibit mangrove untuk rehabilitasi mangrove dengan luas 304 ha pada kawasan register L/8.

Fasilitasi pembuatan areal model rehabilitasi mangrove seluas 25 ha oleh BPHM II sangat membantu dan meningkatkan kepercayaan kelompok dalam melanjutkan rehabilitasi mangrove pada kawasan tersebut karena dukungan lembaga resmi pemerintah, yakni BPHM II, Pemerintahan Kabupaten Langkat, BPDAS, KLH dan Marinir. Pada sisi lain, hal ini juga menyebabkan

berkurangnya tingkat gangguan dan ancaman dari pihak-pihak yang diduga dari kelompok/kaki tangan perusahaan yang sebelumnya telah mengkonversi kawasan register tersebut.

Meskipun tingkat tekanan dan ancaman mulai berkurang, serta kehadiran nelayan, namun pada malam hari tanggal 7 Juli 2013 pembibitan yang dibuat kelompok diduga disiram minyak mentah oleh orang tak dikenal. Sehingga, 200.000 batang dari 800.000 batang bibit mangrove yang berada di persemaian mengalami kerusakan/ kematian. Kasus ini juga telah dilaporkan kelompok kepada pihak kepolisian, namun sampai sekarang belum ditemukan tersangkanya. Untuk sementara, penjagaan secara bergilir oleh anggota kelompok merupakan upaya menjaga keamanan kegiatan kelompok di lapangan.

Evaluasi keberhasilan

rehabilitasi

Tingkat keberhasilan hidup tanaman pada areal model rehabilitasi berkisar antara 65-75% pada pertengahan tahun 2013. Penyebab utamanya diduga akibat tingginya kandungan pirit pada lahan mangrove yang dikonversi menjadi perkebunan kelapa sawit. Indikasi kehadiran pirit tanah pada lahan areal model rehabilitasi tersebut dapat dilihat pada lapisan coklat keperakan pada permukaan air. Kandungan pirit pada areal akar tanaman (atau sekitar 0-50 cm) bersifat racun bagi tanaman mangrove, sehingga menghambat pertumbuhan sampai menyebabkan kematian.

Penanaman mangrove pada areal yang sebelumnya dikonversi menjadi kebun sawit secara illegal. Pada sisi kanan tampak instalasi saluran minyak mentah dengan pipa besi.

Kondisi pondok kerja kelompok tani (kiri) dan lapisan pirit pada permukaan air yang berasal dari tanah areal mangrove yang direhabilitasi (kanan)

Kondisi benih mangrove yang baik karena tidak terkena siraman (kanan) dan yang mati karena terkena siraman minyak mentah (kiri) di persemaian di kawasan register L/8, Langkat.

Salah satu kegiatan nelayan tangkap (kiri) dan hasil tangkapannya (kanan) pada areal bekas mangrove yang dikonversi menjadi perkebunan sawit dan sekarang mulai dikembalikan lagi menjadi hutan mangrove melalui penghancuran benteng kebun dan diikuti dengan penanaman mangrove (Foto-foto: Onrizal)

(6)

Indonesia dan Belanda meluncurkan Inisiatif

Penyelamatan Pantai Utara Pulau Jawa

Berita Kegiatan

Pada tanggal 3 Maret 2015, pemerintah Belanda dan Indonesia meluncurkan inisiatif kemitraan publik dan swasta yang komprehensif selama lima tahun ke depan untuk mengamankan pantai utara Pulau Jawa. Inisiatif yang diberi nama Building with Nature ini bertujuan membangun kawasan pesisir yang stabil dengan risiko erosi rendah melalui integrasi unik antara restorasi mangrove, upaya teknik sipil skala kecil, dan pemanfaatan lahan berkelanjutan.

Program Building with Nature, atau Membangun bersama Alam, bertujuan untuk

menstimulasi pendekatan teknik pesisir berkelanjutan dengan memanfaatkan perlindungan alami yang diberikan oleh ekosistem seperti habitat mangrove dan rawa payau. Ini mewakili transisi dari desain infrastruktur tradisional yang biasanya melawan alam menuju solusi yang bekerja dengan dan bersama alam. Bentuk yang kedua ini sering

kali lebih hemat biaya sambil membawa kemakmuran bagi ekonomi lokal, seperti melalui peningkatan kegiatan perikanan dan penyimpanan karbon. Pendekatan Building with Nature akan dipromosikan oleh Wetlands Internasional dalam Konferensi Dunia tentang Pengurangan Risiko Bencana (PRB) ke-3 yang akan diselenggarakan di Sendai, Jepang pada bulan Maret. Pengurangan risiko bencana melalui solusi berbasis alam merupakan tema lintas bidang yang pertama dalam kerangka kerja PRB ini.

Atas nama Ecoshape, Wetlands International mengkoordinasikan inisiatif ini melalui kemitraan dengan pemerintah Indonesia, lembaga konsultan Witteveen + Bos, lembaga riset Deltares dan Universitas & Pusat Penelitian Wageningen, perusahaan pengeruk Boskalis and van Oord, serta pemerintah daerah dan masyarakat. Permasalahan utama pantai utara Jawa adalah abrasi. Tiga puluh juta

penduduk menderita karena banjir dan erosi di kawasan pesisir, yang mempengaruhi 3.000 desa di pantai utara Jawa. Permasalahan ini sebagian besar diakibatkan oleh hilangnya sabuk mangrove untuk pembangunan budidaya perikanan, infrastruktur pesisir yang tidak lestari, dan ekstraksi air tanah secara berlebih yang mengakibatkan subsiden lahan. Di beberapa daerah, lebih dari 3 kilometer daratan beserta desa-desa telah ditelan oleh laut. Banyak penduduk kehilangan sebagian besar mata pencahariannya, hingga 60-80% di beberapa desa. Selain itu sektor budi daya pertanian dan perikanan, dua penggerak ekonomi utama di Indonesia, mengalami kerugian milyaran rupiah. Dengan adanya program kerjasama antara pemerintah Indonesia dengan pemerintah Belanda bisa menjadi salah satu dorongan bersama untuk merehabilitasi dan revitalisasi pantai utara Jawa. ••

(7)

Berita Kegiatan

“Fungsi hutan bakau adalah sebagai benteng alami apabila bencana tsunami datang, sebagai tempat berkembang biak ikan, penahan abrasi dan juga sebagai tempat rekreasi.

Hasil identifikasi saat kami berada di

hutan bakau Desa Reroreja, ditemukan berbagai jenis pohon antara lain Bakau kacang hijau (Lumnitzera rasemosa), Bakau akar tongkat (Rhizophora apiculata), Bakau akar lutut (Avicennia marina). Selain itu kami juga menemukan banyak kerang, ikan glodok, kepiting, dan burung’, itulah presentasi yang disampaikan oleh Sonia, salah satu siswi SMPN 1 Magepanda saat mengikuti kegiatan kampanye lingkungan di MIC Desa Reroroja.

Kegiatan kampanye lingkungan yang dilaksanakan oleh Wetlands International Indonesia pada tanggal 4 Oktober 2014 disambut antusias dan meriah oleh 50 siswa SMPN 1 Magepanda. Bertempat di Pusat Informasi Mangrove (MIC) Reroreja mereka belajar tentang manfaat dan fungsi mangrove dengan cara mengidentifikasi berbagai jenis langsung di dalam hutan mangrove, kemudian dilanjutkan dengan pemutaran film dokumenter ‘Prahara Tsunami Bertabur Bakau’, presentasi dari masing-masing kelompok dan diskusi dengan pakar mangrove sekaligus pejuang lingkungan, Babah Akong. Menurut Pak Deni guru pendamping dari SMPN 1 Magepanda, kegiatan kampanye lingkungan tentang mangrove sangat

Serunya ‘Sekolah Alam’

di Mangrove Information Centre Reroroja,

Kab. Sikka, NTT

bagus karena para siswa belajar secara langsung pada sumbernya, tidak hanya membaca dan melihat di buku saja seperti yang selama ini diajarkan di sekolah. Untuk itu Pak Deni akan mengusulkan kepada kepala sekolah bahwa kegiatan belajar di hutan mangrove sebagai kegiatan ekstra kurikuler wajib yang nantinya masuk dalam pelajaran muatan lokal.

Babah Akong dalam diskusi dengan para siswa menyampaikan agar anak-anak tidak hanya belajar dari buku saja tetapi belajar juga dengan alam sekitar terutama pada laut dan hutan bakau karena kita hidup di pesisir pantai. Kalau kedua tempat itu rusak kita akan sangat rugi, karena itu laut harus kita jaga dari pengeboman ikan karena akan merusak terumbu karang, dan hutan bakau sebagai pelindung abrasi, angin kencang dan tsunami harus dijaga dan terus ditanam. Babah Akong juga menceritakan pengalamannya saat terjadi bencana tsunami tahun 1990 yang menelan banyak korban jiwa karena tidak ada hutan bakau, dan juga saat awal mulai menanam pohon bakau banyak yang menganggapnya gila dan kurang kerjaan. Saat ini hutan bakau sudah ada dan manfaatnya juga sudah dirasakan banyak orang, sebagai generasi penerus para siswa yang hadir dan seluruh generasi penerus lainnya wajib menjaga dan melestarikannya. Sebagai penutup Babah Akong menyampaikan

apresiasi dan terima kasih kepada Wetlands International yang sejak awal kegiatannya selalu melibatkan anak-anak. Menurut beliau berbicara soal perubahan iklim, pengurangan resiko bencana dan konservasi tanpa melibatkan mereka adalah seperti makan nasi tanpa lauk. Anak-anak sebagai pemegang estafet kehidupan harus dilibatkan terutama melalui kegiatan-kegiatan yang menambah pengetahuan dan wawasan mereka. Pendidikan tentang lingkungan adalah salah satu kuncinya. ••

*Staf Proyek Wetlands International Indonesia

Si sw a s ed an g m

engikuti pemutaran

f lm doku ment er (F oto: Did ik F .) Sis

wa-siswi SMPN 1 Megapanda se

dang bel ajar m eng identif

kasi jenis-jenis mangrove (Fot o: Di

dik F .)

(8)

Muara Gembong: Hutan Mangrove dan

Habitat Lutung Jawa

di Ujung Bekasi yang Terabaikan

Saniyatun Mar’atus Solihah* dan Akhyarul Umam**

Berita Lahan Basah

M

uara Gembong, mungkin

terdengar asing bagi masyarakat awam. Muara Gembong adalah salah satu kecamatan di Kabupaten Bekasi Provinsi Jawa Barat. Mungkin tidak sepopuler nama Bekasi, Muara Gembong terletak 64 Km dari pusat Kota Bekasi, berbatasan langsung dengan perairan Laut Jawa di sebelah Utara dan terhimpit diantara Jakarta Utara dengan Kabupaten Karawang. Sebagian Besar Penduduk Muara Gembong bermatapencaharian sebagai nelayan, hasil tangkapan mereka jual ke Jakarta khususnya ke daerah Cilincing, Ancol dan Muara Angke. Keseluruhan kawasan pemukiman penduduk pinggir laut seluas 14.009 ha yang didominasi oleh lahan perairan.

Muara Gembong terkenal dengan potensi alamnya. Muara ini merupakan habitat ikan bandeng “bandeng gembong’’, kepiting dan udang yang sangat digemari oleh warga Jakarta. Namun siapa sangka, dengan potensi alam tersebut justru banyak permasalahan yang timbul, seperti alih fungsi hutan mangrove, ancaman kepunahan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), kemiskinan dan masalah sanitasi warga sekitar.

Permasalahan dan Kondisi

Ekosistem Mangrove di

Muara Gembong

Kondisi mangrove di pesisir Bekasi saat ini luasnya semakin sempit dan kondisinya memprihatinkan. Kerusakan ekosistem mangrove di pesisir Bekasi khususnya di Kecamatan Muara Gembong sudah berada pada ambang batas yang sangat mengkhawatirkan. Kerusakan terutama terjadi akibat tekanan (kepentingan) ekonomi, seperti keperluan perluasan tambak, perluasan pemukiman, penebangan mangrove untuk kebutuhan kayu bakar dan bahan bangunan, alih fingsi lahan, eksplorasi minyak dan gas dan sebagainya (Gambar 1). Hal tersebut mengakibatkan terjadinya abrasi pantai dan intrusi air laut di sebagian besar wilayah Kecamatan Muara Gembong (Gambar 2). Abrasi pantai, secara ekonomi sangat menguntungkan bagi masyarakat karena rumput laut liar jenis Gracillaria tumbuh dengan baik, namun secara ekologis hal ini sangat memperlihatkan perubahan ekosistem khususnya mangrove (perairan payau) yang tergantikan oleh ekosistem laut (perairan asin).

Gambar 1. Penggunaan kawasan hutan mangrove di Muara Gembong (Sumber: Savemugo, 2014).

G am

ba r 2

. Ko

ndisi wilayah di Muara Gembo ng (F oto: San iyat un M .S .)

(9)

Berita Lahan Basah

...bersambung ke hal 18 Gambar 3. Habitat Trachypithecus auratus di kawasan hutan

mangrove Muara Gembong (Foto: Saniyatun M. Solihah)

G

am ba

r 4. S

onneratia caseolaris (Foto: Sa

niya tun M. S olih ah G am ba r 5 . Tra

chypithecus auratus (Foto: Sa

niyat un M

. Sol

ihah

) Abrasi juga menyebabkan semakin

berkurangnya luas hutan mangrove yang merupakan habitat Lutung Jawa (Trachypithecus auratus), dengan demikian keberadaan Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) yang menghuni Muara Gembong juga ikut terancam (Gambar 3). Permasalahan ini diperparah dengan masih adanya perburuan illegal, padahal Lutung Jawa (Trachypithecus auratus) merupakan hewan langka yang dilindungi (Savemugo, 2014). Menurut The IUCN Red List of Threatened Species (2014) jenis primata ini masuk dalam status konservasi Vulnerable (VU) A2cd ver 3.1. Dampak lain dalam masalah ini adalah dampak sosial dan lingkungan dimana banyak warga Muara Gembong yang mengalami keterbatasan sanitasi dan akses air bersih. Keterbatasan sarana sanitasi umum juga mengakibatkan banyak warga yang melakukan kegiatan MCK sehari – hari di sungai. Untuk konsumsi minum sehari – hari warga harus membeli, padahal masih banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan.

Perlu kesadaran penuh untuk membenahi hal tersebut, secara konteks kewilayahan masyarakat sekitarlah yang harus mengambil peran strategis dalam melakukan

proses panjang dan berkelanjutan. Hingga saat ini, masyarakat masih memerlukan dukungan, bantuan, bimbingan dan pembinaan untuk dapat melakukan banyak hal dalam melestarikan hutan mangrove. Dengan demikian, meskipun pemanfaatan hutan mangrove dilakukan secara maksimal namun tidak merusak dan mengurangi nilai hutan secara ekologis sehingga ekosistem akan tetap terjaga.

Karakteristik Hutan Mangrove

Muara Gembong

Luas kawasan hutan mangrove di Muara Gembong sebenarnya mencapai ratusan hektar. Kawasan ini banyak dimanfaatkan masyarakat diantaranya untuk pemukiman dan kegiatan pertambakan. Menurut hasil pengamatan Savemugo (2014), hutan ini didominasi oleh vegetasi mangrove jenis api-api (Avicennia alba), bakau (Rhizophora sp.), pedada (Sonneratia caseolaris) dan tancang (Bruguiera sp.) (Gambar 4). Jenis– jenis ini selain ditanam di kawasan hutan mangrove juga pada pematang (galengan) tambak. Fungsi dari penanaman jenis – jenis tersebut adalah sebagai penahan dari bahaya abrasi dan penawar racun serta polutan yang ada di dalam air dan tanah.

Pada tahun 1985 banyak Trachypithecus auratus mauritius atau Lutung Jawa berekor panjang yang menghuni hutan mangrove pesisir Muara Gembong ini (Gambar 5). Umumnya mereka hidup berkelompok sekitar 30 ekor. Kelompok ini sering terlihat ketika mencari makan pada waktu pagi dan sore. Mereka secara bersama menjulurkan ekornya yang panjang untuk memancing

kepiting. Setelah kepiting mencapit ekornya, maka lutung–lutung tersebut berteriak sambil menarik ekornya dan membantingkan kepiting ke pohon mangrove. Aktivitas ini, sekarang sudah jarang terlihat seiring dengan semakin menipis dan terbukanya kawasan hutan mangrove (Savemugo, 2014).

(10)

Menyoal Masa Depan Pusat Kekayaan Hayati Laut Dunia

di Wilayah Pesisir Kepala Burung Papua

Freddy Pattiselanno* & Jeffry Manuhutu**

Berita Lahan Basah

Segitiga karang & Kepala

Burung Papua: Mengapa

penting?

R

atifikasi segigita karang – atau lebih dikenal dengan “Coral Triangle” oleh 6 negara antara lain Indonesia, Timor Leste, Philipina, Malaysia dan Papua New Guinea merupakan awal yang baik bagi upaya menjaga kelestarian wilayah pesisir di Kawasan Timur Indonesia (Gambar 1).

Wilayah coral triangle banyak menarik perhatian para ahli pesisir dan kelautan dunia termasuk Australia karena lokasi ini yang juga berbatasan langsung dengan negara kangguru. Kepala Burung Papua sangat strategis karena berada di pusat dari coral triangle.

Lokasi ini menjadi perhatian dunia global karena kekayaan laut yang dimiliki, sementara di sisi lain kawasan ini memiliki 12 Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) yang dikelola bersama pemerintah dan masyarakat setempat.

Wilayah Kepala Burung Papua (KBP) dengan luasan sekitar 22.5 juta hektar membentang sepanjang wilayah pesisir dan pulau-pulau satelit di provinsi Papua Barat. Kawasan ini sangat unik dan menarik karena memiliki tipe habitat dan ekosistem yang bervariasi mulai dari wilayah perairan dangkal Teluk Cenderawasih sampai ke Pulau Karang di Kepulauan Raja Ampat, juga termasuk kawasan pesisir yang didominasi aliran sungai dan mangrove di sekitar Teluk Bintuni. Berdasarkan pengalaman dari perjalanan kami ke beberapa tempat di wilayah KBP antara lain ke Kawasan Konservasi Laut Daerah (KKLD) Abun dan Taman Nasional Laut Teluk Cenderawasih (TNLTC), melalui wawancara dengan masyarakat, review beberapa literatur yang relevan serta pengamatan langsung di lapangan, kami coba melihat masa depan KBP yang notabene terletak di jantung pusat kekayaan hayati dunia atau coral triangle.

Apa yang menarik di Kepala

Burung Papua?

Wilayah KBP diperkirakan memiliki keragaman karang dan ikan karang terbesar di dunia. Hasil berbagai penelitian yang pernah dilakukan di wilayah ini mencatat kurang lebih 577 scleretinian coral atau sekitar 75% dari total yang ada di dunia. Survey yang dilakukan secara intensif pada dekade terakhir ini juga mencatat sekitar 1638 jenis ikan karang yang terdiri dari 476 genera dan 117 famili (Allen dan Erdmann, 2012).

Tidak hanya itu, berbagai tipe ekosistem – sagu, campuran palem-paleman daerah berawa, mangrove dan lahan basah serta hutan dataran rendah membentang merata di wilayah KBP. Menurut perkiraan Bakosurtanal (2009), ada sekitar 1,6 juta ha hutan mangrove yang menyebar di berbagai daerah di Papua termasuk kawasan KBP misalnya di Raja Ampat Teluk Wondama, Manokwari dan Sorong (Gambar 2). Sedangkan sepanjang pesisir KBP dan pulau-pulau satelitnya terdapat potensi hutan tropis dataran rendah yang sekaligus dimanfaatkan sebagai areal pemukiman karena daerahnya relatif datar. Semakin ke arah hutan (kawasan hutan dataran tinggi) daerahnya berbukit dan bergunung yang terjal dan curam, dan merupakan kawasan konservasi, misalnya Cagar Alam Pegunungan Tambrauw. Gambar 1. Wilayah segitiga karang yang

melintas di enam Negara termasuk Indonesia (Sumber: http://www.csmonitor.com/

(11)

...bersambung ke hal 17

Berita Lahan Basah

G am ba r 2 . P ote nsi ma ngro

ve Telaga Wasti, Manokwar

i (Fot o: A

. Aro baya

)

Wilayah KBP juga dikenal unik karena sebagian besar wilayah pantai berpasir merupakan habitat sejumlah species yang terancam dan dilindungi di dunia. Misalnya, perhatian pemerhati lingkungan dan keanekaragaman hayati, tertuju ke areal pantainya yang diketahui merupakan lokasi peneluran penyu hijau (Chelonia mydas) hawksbill (Eretnochelys imbricata) dan leatherback (Dermochelys coriacea). Potensi hiu di kawasan ini cukup menjajikan khususnya di Kepulauan Raja Ampat, Kaimana, Teluk Cenderawasih dan beberapa tempat di dalam dan sekitar wilayah KBP.

Meskipun terjadi penurunan populasi hiu akibat perburuan guna mendapatkan sirip hiu dengan harga yang cukup menjanjikan, di wilayah KBP menurut Allen dan Erdmann (2008) populasi hiu tetap berada dalam kondisi yang baik termasuk jenis-jenis yang bukan merupakan sasaran perburuan sirip seperti tasseled wobbegongs (Eucrossorhinus dasypogon) dan tiga species epaulette yaitu (Hemiscyllium freycineti, Hemiscyllium galei dan Hemiscyllium henryi) yang termasuk dalam kelompok endemik KBP.

Kurangnya publikasi tentang cetacean di wilayah KBP bukan

berarti keberadaan kelompok ini tidak terdeteksi, akan tetapi berdasarkan survey cepat dan pengamatan di lapangan menunjukkan wilayah KBP sebagai ‘hotspot’ dan merupakan wilayah penyebaran beragam species cetacean yang termasuk dalam “red list IUCN”.

Kehadiran dugong di wilayah perairan Teluk Cenderawasih Kepulauan Biak dan Padaido, Kwatisore, Sorong, Raja Ampat, Bintuni, Fak fak dan Kaimana menjadikan KBP sebagai salah satu kawasan dengan penyebaran dugong yang cukup tinggi.

Letaknya di wilayah pesisir menjadikan kawasan ini sebagai daerah dengan sumber pendapatan utama dari hasil laut walaupun aktivitas perikanan tangkap subsisten yang umumnya dijumpai di daerah ini (Gambar 3). Model perikanan seperti ini biasanya hanya untuk memenuhi kebutuhan konsumsi rumah tangga.

Perusahaan udang skala komersial pernah beroperasi sejak tahun 90-an di kawasan Teluk Bintuni, meskipun saat ini sudah tidak

aktif lagi. Meskipun sumber penghidupan utama berasal dari wilayah pesisir, sejauh ini informasi tentang berapa besar kontribusi sektor perikanan terhadap perekonomian daerah melalaui pajak pendapatan setempat di tingkat kabupaten dan provinsi masih sangat kurang. Saat ini industri kerang mutiara skala komersial dengan fokus produksi pada perak dan emas mutiara dari jenis kerang Pinctada maxima telah bekerja sama dengan komunitas lokal beroperasi di Kaimana dan Raja Ampat

KBP bukan hanya memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat diperbarui, tetapi juga kaya akan hasil tambang seperti minyak, gas dan mineral. Perusahaan gas terbesar yang saat ini beroperasi di KBP ada LNG Tangguh dengan perkiran pendapatan sekitar USD $ 3.6 biliun untuk pemerintah daerah Papua Barat dan USD $ 8.7 biliun untuk pemerintah pusat selama 20 tahun ke depan (GRM International, 2009).

Ekoturisme adalah salah satu potensi terbesar di KBP, karena dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir ini ekspansi besar-besaran khususnya untuk objek turisme pesisir di KBP menjadikan kawasan ini sebagai salah satu tujuan diving dengan reputasi menonjol di dunia. Perhatian turis internasional ke kawasan Raja Ampat karena keindahan dan pesona bawah lautnya sudah bukan rahasia lagi. Sementara itu kawasan Teluk Cenderawasih juga menarik perhatian turis asing karena atraksi hiu paus (Rhincodon typus) yang akhir-akhir ini mulai dikenal sehingga pengunjung ke kawasan ini meningkat secara signifikan. Gambar 3. Nelayan tradisional dengan

parahu dayung dan jarring sederhana menggantungkan hidup dari model perikanan subsistens (Gambar F. Pattiselanno)

(12)

Berita Lahan Basah

Peranan Hutan Mangrove pada

Ekosistem Pesisir yang Terabaikan

(Kerusakan Hutan Mangrove di Taman Wisata Alam

Teluk Youtefa, Kota Jayapura, Prov. Papua)

Alfred Antoh, S.Hut, M.Si*

I

ndonesia merupakan negara tropis yang mempunyai area mangrove terluas di dunia yaitu sekitar 3,2 juta ha atau 19% total area mangrove di dunia (FAO, 2007 dalam Bakosurtanal, 2009). Papua merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang memiliki luas hutan mangrove terluas di Indonesia yaitu seluas 1.158.268 ha (Bakosurtanal, 2009). Dari luasan tersebut ternyata luas hutan mangrove di dalam wilayah kota Jayapura hanya seluas 288.061 ha. Luas areal hutan ini semakin berkurang seiring dengan tingginya tingkat pemanfaatan lahan untuk kebutuhan pembangunan pemukiman dan infrastruktur jalan dan jembatan. Hutan mangrove Entrop yang berlokasi sangat dekat dengan pusat kota menjadi sangat menarik untuk dicermati sebagai bagian dari ekosistem pantai yang hilang oleh karena kebutuhan pengembangan dan pembangunan wilayah kota Jayapura. Penggunaan vegetasi mangrove untuk menahan abrasi pantai di wilayah pantai Hamadi tentu jauh lebih murah apabila dibandingkan dengan dibangunnya pemecah ombak (breakwater) disepanjang pantai Hamadi yang mengeluarkan biaya pembangunan cukup tinggi. Tulisan ini mengemukakan suatu gagasan ilmiah tentang perlunya sebuah

perencanaan jangka panjang dalam mempertahankan sebuah ekosistem hutan pantai yang lebih strategis untuk kepentingan ekonomi maupun ekologi.

Permasalahan

Beberapa permasalahan dasar pengelolaan hutan mangrove di pesisir Papua, antara lain :

1. Letak dan posisi habitat hutan mangrove yang sangat dekat dengan pusat kota. Arus peningkatan jumlah penduduk yang cukup tinggi dalam beberapa tahun terakhir ini mendorong pemerintah perlu membuka kawasan pemukiman baru dengan mengabaikan hutan mangrove sebagai salah satu ekosistem pantai yang penting; 2. Hutan mangrove di wilayah

Entrop berada pada zona penyangga bagi kawasan Taman Wisata dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian, Nomor 372/ Kpts/ UM/ 1976 tertanggal 9 Juni 1976 dengan luas 1.659 ha. Ada indikasi pengabaian aturan hukum terhadap kebutuhan pembangunan wilayah Kota Jayapura;

3. Seiring pembangunan jalan ringroute di wilayah kota, tentu akan memberikan dampak semakin berkurangnya luasan hutan

mangrove di wilayah tersebut; 4. Hilangnya hutan mangrove

berarti hilangnya juga manfaat hutan mangrove sebagai sumber makanan dan kebutuhan lainnya. Masyarakat kampung Enggros dan Tobati akan semakin sulit untuk mendapatkan tambahan pendapatan dari hutan mangrove; 5. Hilangnya hutan mangrove dapat

menimbulkan terjadinya erosi dan abrasi pantai Hamadi dan sekitarnya sehingga dapat merusak ekosistem pantai;

6. Hilangnya hutan mangrove akan berdampak pada berkurangnya upaya filterisasi udara akibat pencemaran udara dari kawasan perkotaan.

Untuk mengatasi permasalahan yang sedang dihadapi wilayah pesisir Papua tersebut, perlu dilakukan langkah-langkah, antara lain: 1. Pentingnya mempertahankan hutan

mangrove dari adanya konversi lahan bagi kepentingan pembangunan dan relokasi pemukiman baru dan pembangunan infrastruktur fisik baru;

(13)

Berita Lahan Basah

2. Perlu memperhatikan status

kawasan hutan mangrove sesuai dengan ketentuan peraturan hukum yang berlaku sehingga dapat menjamin pantai dari adanya kerusakan;

3. Untuk mengingatkan semua pihak, bahwa pembangunan jalan alternatif hendaknya tidak melakukan penebangan/ konversi terhadap hutan mangrove;

4. Perlu melibatkan peran serta masyarakat kampung Enggros dan Tobati di dalam melakukan rehabilitasi hutan magrove secara partisipatif dalam

menjaga ekosistem pantai sambil memikirkan pengembangan ekonomi masyarakat lokal; 5. Untuk mencegah dan

menanggulangi kerusakan pantai dari bahaya erosi dan abrasi pantai; 6. Untuk meningkatkan baku

mutu udara dengan melakukan penanaman kembali pada areal hutan yang rusak.

Kriteria Tingkat Kerusakan

Hutan Mangrove

Hutan mangrove dapat dibagi ke dalam 3 kondisi, yaitu rusak berat, rusak sedang dan tidak rusak. Kondisi hutan mangrove yang rusak berat, ciri-cirinya: habisnya hutan mangrove dalam satu wilayah, rusaknya keseimbangan ekologi yang ditandai dengan intrusi air laut dan menurunnya kualitas tanah dan keanekaragaman hayati. Sedangkan untuk rusak sedang, yaitu: masih tersisa sedikit hutan mangrove dalam satu wilayah, keseimbangan ekologi dalam tingkatan sedang dan intrusi yang terjadi tidak terlalu parah. Untuk hutan mangrove yang tidak rusak, yaitu : kondisi hutan mangrove masih terjaga dan lestari dan biasa masuk dalam wilayah konservasi yang tetap dijaga.

Berdasarkan kriteria di atas, hutan mangrove di wilayah Entrop, Taman Wisata Alam Teluk Youtefa masuk dalam kategori rusak sedang. Kondisi ini memberi data bagi kita untuk perlu menjaga dan mempertahankan hutan mangrove tersebut sebagai kawasan hijau. Isu lingkungan saat ini sedang mendorong agar setiap kota di Indonesia perlu memiliki Ruang Terbuka Hijau (RTH) seluas 30 % dari luas kota. Artinya, Kota Jayapura yang berkedudukan di pesisir pantai perlu dijaga kelestarian hutan kota sebagai filter khususnya hutan mangrove di wilayah Entrop terhadap meningkatnya polusi udara dari adanya aktivitas perkotaan yang menghasilkan karbon dioksida dan bahan pencemar udara lainnya.

Perlu Menekan Kegiatan

Konversi Lahan Hutan

Mangrove

Pengembangan Kota dengan pembangunan infrastruktur pemukiman, jalan dan bangunan fisik lainya dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota

Jayapura perlu mempertimbangkan eksistensi hutan mangrove

yang berada di dekat pantai. Pengembangan kota, tidak harus mengorbankan hutan mangrove sebagai suatu ekosistem penting. Isu-isu tentang mencairnya es di kutub utara dan selatan sebagai akibat dari adanya pemanasan global dan letak Pulau Papua yang berada pada jalur gempa perlu dipikirkan secara bijak apabila terjadi gempa yang berpotensi menghasilkan Tsunami. Kita masih ingat bencana tsunami Aceh tahun 2004 dan tsunami di Fukusima, Jepang tahun 2011 yang memakan banyak korban. Oleh sebab itu, menjaga hutan mangrove adalah bagian penting dalam menghindarkan dan mencegah terjadinya bencana alam di Papua, khususnya di Kota Jayapura.

Pembukaan areal pemukiman baru tidak harus dilakukan di pesisir pantai, sehingga pembabatan terhadap hutan mangrove dan pengrusakan habitat tidak terjadi lagi. Mencari areal baru yang lebih tepat, tentu akan sangat bermanfaat dibandingkan dengan harus merusak hutan mangrove yang berperan strategis dalam melindungi pantai dari ancaman kerusakan pantai.

Menegakan Kembali

Aturan-Aturan dalam Mengelola

Hutan Mangrove

Kewenangan besar yang dimiliki daerah baik pada tingkat kabupaten maupun kota, memberikan ruang bagi daerah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) setinggi-tingginya. Akibatnya, sumberdaya alam yang dimiliki sering menjadi ‘korban’ eksploitasi tanpa terkontrol. Disamping itu, jumlah migrasi penduduk ke suatu wilayah baru semakin tinggi, sehingga mendesak perluasan areal pemukiman-pemukiman baru. Fatalnya, alih fungsi kawasan seringkali mengabaikan aturan-aturan legal yang ada. Untuk itu, ketegasan dan penegakan aturan-aturan yang berlaku penting

dilaksanakan sebagai upaya preventif dalam mencegah timbulnya masalah dikemudian waktu.

...bersambung ke hal 16 Gambar 1. Pembangunan jalan ringroute di dalam kawasan Taman Wista Alam Teluk Youtefa sebagai jalan alternatif di Kota Jayapura untuk menghindari kemacetan (Foto : Alfred Antoh, 2015)

(14)

Flora & Fauna Lahan Basah

Habitat dan Penyebaran Labi-labi

(

Amyda cartilaginea

) di Kalimantan Timur

Teguh Muslim*

L

abi-Labi (Amyda cartilaginea) termasuk satwa liar yang tidak dilindungi oleh Undang-Undang RI namun masuk dalam Apendix II CITES dan IUCN dengan status terancam (Vurnerable). Pada 2008 CITES Animal Committee (AC) memutuskan untuk memasukkan Amyda cartilaginea dalam Review of Significant Trade (CITES, 2011). Hal ini berarti perlu ada perhatian khusus terhadap populasi alami, yang bermakna bahwa pemanfaatan untuk pemanenan harus sesuai dengan kaidah kelestarian. Amri. K, & Khairuman (2002) menyebutkan bahwa permintaan ekspor labi-labi semakin meningkat. Untuk memenuhi permintaan tersebut, umumnya labi-labi diperoleh dari hasil tangkapan di alam, walaupun sudah ada budidaya di berbagai lokasi di Indonesia (namun jumahnya masih sedikit). Mengingat lambatnya perkembangan populasinya di alam dan kurangnya usaha budidaya labi-Labi Amyda cartilaginea maka dikhawatirkan akan mengancam kelestariannya.

Penyebaran Amyda

cartilaginea di Indonesia saat ini diketahui hanya ada di Pulau Sumatera, Jawa dan Kalimantan. Di Kalimantan penyebarannya hampir merata akan tetapi belum ada data dan informasi yang lengkap mengenai habitat dan penyebarannya (Kusrini. dkk, 2009). Khususnya di Kalimantan Timur, belum diketahui secara lengkap informasi sebaran maupun habitat labi-Labi Amyda cartilaginea, sehingga populasinya belum dapat diperkirakan. Untuk melengkapi informasi Amyda cartilaginea, maka perlu dilakukan penelitian mengenai penyebaran dan habitat labi-labi di Kalimantan Timur agar dapat mendukung data populasinya di alam sehingga upaya/tindakan konservasi dapat dilakukan dengan tepat.

Habitat dan Penyebaran

Amyda cartilaginea

di

Kalimantan Timur

Habitat Amyda cartilaginea

tersebar hampir di seluruh wilayah sungai di Kalimantan Timur namun berdasarkan referensi/ pustaka dan penelusuran informasi yang berhasil dikumpulkan melalui wawancara serta pengamatan di lapangan maka daerah sungai yg menjadi habitat Amyda cartilaginea terbagi menjadi 6 Kelompok

Wilayah Sungai (di Kalimantan Timur bagian Utara), yaitu Kelompok Wilayah Sungai Sesayap, Kayan, Berau-Kelai, Mahakam, Karangan, dan Kendilo. Sementara berdasarkan daerah yang menjadi kantong pemanenan dan bukan kantong pemanenan dibagi menjadi: lokasi kantong pemanenan antara lain di sekitar Bulungan, Berau, Malinau dan Nunukan, meliputi Sungai Kasai, Sungai Sengayan, Sungai Kekayap, Sungai Sembakung dan Sungai Mayo. Sedangkan yang bukan menjadi lokasi kantong pemanenan adalah selain wilayah perairan yang disebutkan di atas (Lihat Gambar. 1). Berdasarkan informasi Muslim, T. (2012), menyebutkan lokasi yang pernah terlihat/ ditemukan Amyda cartilaginea di wilayah sungai yang tidak termasuk kantong pemanenan antara lain: Kec. Samboja di sungai-sungai kecil sekitar Jl. Soekarno Hatta (KM. 38, 39, 42), Kec. Sepaku (Sungai Sepaku dan Mentawir), Kec. Kenohan (Sungai Kahala dan Belayan), Kec. Kembang Janggut (rawa desa Buak dan Hambau), Kec. Kota Bangun, Kec. Muara Kaman (Sungai Menamang dan Sungai Mao), Kec. Muara Ancalong, Kec. Muara Wahau, Kab. Kutai Barat, Kab. Penajam Paser Utara, dan Kab. Paser. Beberapa lokasi yang telah di survey meliputi: Teluk Bingkai (N 01.992E 116 22.034), Sungai Loa Surut (N 01.018 E 116 23.589), Kahala S 01.362 E 116

(15)

Flora & Fauna Lahan Basah

21.720), Tuana Tuha (S 01.253 E 116 25.828), Buak (N 01 794 E 116 25.’659), Sungai Tiwei (S 01o29’14.7”E 116o 08’23.9”), Sungai Lombok (S 01o37’14.5”E 116o 07’56.7”).

Karakteristik Sungai yang

Menjadi Habitat

Amyda

cartilaginea

Habitat yang disukai Amyda cartilaginea adalah perairan tergenang dengan dasar perairan lumpur berpasir, terdapat batu-batuan dan tak terlalu dalam, terkadang nampak di atas batu-batuan untuk berjemur. Menurut Muslim, T (2012), karakteristik sungai dan kualitas air bukan satu-satunya penentu keberadaan Amyda cartilaginea akan tetapi dapat dijadikan salah satu indikator pencarian spot-spot habitat Amyda cartilaginea. Beberapa indikator tersebut antara lain warna air, kecepatan arus, suhu air, dasar sungai, dan sumber pakan. Sumarno (1996) menyebutkan bahwa Amyda cartilaginea hidup di alam seperti rawa-rawa, danau, sungai yang suhu airnya berkisar 25 – 30°C.

Berdasarkan indikator tersebut di atas, dapat dikatakan bahwa hampir semua lokasi survey sesuai dengan habitat Amyda cartilaginea, namun yang lebih mendekati dengan kriteria adalah rawa Buak bila dilihat dari arus air (tenang), suhu air (25,1 – 28,20 C), dasar perairan (lumpur berpasir), dan dari sumber pakan. Makanan Amyda cartilaginea berupa udang kecil, ikan dan kerang-kerangan (Maswardi. dkk, 1996). Sedangkan menurut Mashar (2009), selain ikan dan udang-udangan, Amyda cartilaginea juga menyukai makanan dari bangsa amphibi, jenis siput atau keong. Dari laporan Muslim, T (2012), hasil analisis kualitas air menunjukan bahwa sebagian besar sungai yang disurvey masih tergolong dalam standar mutu yang dipersyaratkan bagi budidaya perikanan, yang berarti masih sesuai bagi habitat Amyda cartilaginea kecuali untuk sungai Tiwei dan pada kolam penampungan dengan kadar DO dibawah standar mutu air yang layak yaitu DO ≥3 mg/L. Sedangkan menurut Mulyawati, (2009).

Semakin besar nilai DO pada air, mengindikasikan air tersebut memiliki kualitas yang bagus. Sebaliknya jika nilai DO rendah, dapat diketahui bahwa air tersebut telah tercemar. Pengukuran DO juga bertujuan melihat sejauh mana badan air mampu menampung biota air seperti ikan dan mikro-organisme. Selain itu kemampuan air untuk membersihkan

pencemaran juga ditentukan oleh banyaknya oksigen dalam air. Kadar DO < 3 hanya layak digunakan untuk tujuan pengairan tanaman.

Untuk membedakan Amyda cartilaginea jantan dan betina secara mudah dapat dilihat dari bentuk ekor (Maswardi, dkk. 1996). Pada jantan bentuk ekor memanjang sehingga ujungya banyak terlihat di luar cangkangnya, sebaliknya pada betina bentuk ekor lebih pendek sehingga tidak tampak di luar cangkangnya. Muslim, T (2012) melaporkan bahwa Amyda cartilaginea yang ada pada pengumpul lebih banyak jantannya daripada betina dengan perbandingan 3 (tiga) betina: 4 (empat) jantan.

Sedangkan penggolongan kelas umur Amyda cartilaginea menurut Rahmi, N. (2008), dapat diperkirakan berdasarkan Panjang Lengkung Karapas (PLK). Kelas umur I (PLK≤5,9 cm = Tukik), kelas umur II ( 6 ≤ PLK ≤ 19,9 cm = Remaja), kelas umur III (20 ≤ PLK ≤ 24,9 cm = Dewasa Muda), kelas umur IV (PLK ≥ 25 cm = Dewasa). Dalam laporan Muslim, T.

(2012), disebutkan data individu Amyda cartilaginea yang

berhasil dikumpulkan berasal dari pengumpul pada tiga lokasi, yaitu Kec. Samboja, Kec. Kenohan (dari Kahala, Buak dan Hambau). Kec. Kembang Janggut (Desa Tuana Tuha). Berdasarkan Panjang Lengkung Karapas (PLK), maka individu yang ada pada pengumpul tersebut dapat digolongkan menjadi 3 kelas umur saja yaitu : remaja 3 (tiga) ekor, dewasa muda 7 (tujuh) ekor, dan dewasa 4 (empat) ekor. Hal ini dimungkinkan karena individu dewasa lebih mudah terlihat dan mata pancing yang digunakan berukuran besar (bila menggunakan alat pancing) sehingga tukik/anakan tidak tertangkap.

* Peneliti pada Balitek KSDA, Samboja E-mail: tm97_forester@yahoo.com Gambar 1. Peta Kelompok Wilayah Sungai di Kalimantan Timur

(16)

Pendekatan perbaikan dengan menggunakan struktur non-alami, seperti tembok beton, sudah banyak terbukti memakan biaya sangat besar dan mengalami kegagalan. Membangun bersama alam di Desa Talibura pada intinya adalah memanfaatkan kehadiran alam untuk kemudian menyediakan sarana alami bagi alam untuk memperbaiki dirinya sendiri. Dalam hal ini, perangkap lumpur membantu membentuk kondisi habitat yang memungkinkan menjadi tempat tumbuh mangrove. ... sambungan dari halaman 3

Membangun Bersama Alam ...

Melihat adanya potensi berjalan baiknya gagasan membangun bersama alam ini, kelompok dampingan dari Caritas Keuskupan Maumere, telah berkunjung ke lokasi tersebut dan merencanakan untuk membuat perangkap lumpur dengan pola membangun bersama alam di Dusun Fata Desa Magepanda. Tetua Adat Desa Talibura

mengingatkan dengan bahasa lokal, ”Noran nuba nanga jadi ita neni ua naha giit menong, nora ne near neni nora nitu lau nuba puan dewa lau

nanga wan ami neni ita naa waiha, lalan ha, tena ha, gepung ha,mai mogat jaga pelamang hama – hama , pagar ami gua nain ei nimu naha giit menong” artinya: “…di lokasi ini terdapat muara yang berguna, jadi kami minta ijin leluhur di sungai, dewa di pintu muara, kita sama- sama harus searah sejalan, menjaga bersama-sama perangkap ini agar bertahan lama dan aman.” ••

*Staf Wetlands International Indonesia E-mail: eko.has@gmail.com

Diperlukan kerjasama berbagai pihak, tidak hanya Dinas Kehutanan dan Konservasi Provinsi Papua dan Dinas Kehutanan Kota jayapura, tetapi juga pihak swasta, LSM, tokoh masyarakat dan agama maupun lembaga perguruan tinggi, guna membangun model pengelolaan hutan pantai yang lestari untuk generasi yang akan datang. Isu RTH seluas 30% untuk Kota Jayapura dapat digaungkan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove. Hutan mangrove Entrop berada dalam wilayah adat Ondoafi besar Hamadi yang bersinggungan langsung dengan Kampung Enggros dan Tobati. Masyarakat umumnya hidup sebagai nelayan yang sangat tergantung pada hasil laut yang berada di wilayah hutan mangrove. Kegiatan konversi lahan hutan mangrove, secara tidak langsung dapat mematikan aktivitas perekonomian masyarakat setempat, karena ikan, udang dan kepiting yang banyak ditemukan di areal hutan mangrove tersebut menjadi hilang.

Jasa Lingkungan yang dapat

dinikmati dari Pengelolaan

Hutan Mangrove

Selain peran dan manfaat ekologi, hutan mangrove juga memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi areal ekowisata. Masyarakat dapat menjual keindahan alam lingkungan untuk kepentingan kunjungan

wisata baik lokal, domestik maupun mancanegara.

Penutup

Keberadaan hutan mangrove khususnya di pesisir Kota Jayapura harus terus dijaga dan dipertahankan. Jangan mengkonversi hutan mangrove hanya untuk kepentingan sesaat tanpa memperhitungkan dampak-dampak negatifnya bagi lingkungan dan generasi penerus kita di

kemudian hari. Kondisi hutan

mangrove yang baik dan lestari, akan jadi benteng pelindung kota dari bahaya erosi, abrasi dan tsunami. Disamping itu masyarakat (sekitar) akan terus merasakan manfaat/jasa lingkungan yang diberikan hutan mangrove bagi kehidupan mereka secara berkelanjutan. Semoga ••

*Universitas Cenderawasih E-mail :alfred.antoh@gmail.com

Fokus Lahan Basah

Berita Lahan Basah

... sambungan dari halaman 13

Peranan Hutan Mangrove pada Ekosistem Pesisir yang Terabaikan ...

Gambar-2. Tampak Kampung Enggros dan Tobati di dalam Areal Kawasan Mangrove Teluk Youtefa (foto :Alfred Antoh, 2015)

(17)

... sambungan dari halaman 11

Menyoal Masa Depan Pusat Kekayaan Hayati ...

Mengapa potensi hayati

dan penghidupan di KBP

terancam?

Secara umum ancaman yang dihadapi KBP dapat dikategorikan dalam ancaman alami (disebabkan oleh alam) dan ancaman yang dikarenakan oleh kesalahan manusia dalam berinteraksi dengan alam. Perubahan iklim global mengancam keberadaan potensi hayati dan penghidupan di KBP misalnya saja dengan perubahan suhu ekstrim yang ikut berdampak terhadap peningkatan suhu permukaan laut, tingkat keasaman perairan dan peningkatan permukaan laut. Kombinasi dari dampak perubahan iklim global mampu mengubah bentang alam misalnya saja terjadinya erosi yang tidak terkendali, banjir yang berkepanjangan, badai yang berpotensi merusak yang pada akhirnya ikut mempengaruhi penghidupan di KBP.

Pengalaman buruk sudah dialami kawasan Teluk Cenderawasih akibat pemutihan karang – coral bleaching yang menyebabkan meningkatnya kematian karang. Kesemuanya ini bukan hanya mengurangi keindahan dan pesona bawah laut KBP tetapi juga berdampak terhadap pendapatan yang diperoleh dari sektor perikanan dan pariwisata. Berdasarkan pengamatan pribadi kami dan publikasi dari hasil penelitian yang pernah dilakukan di sekitar kawasan KBP, ancaman akibat ulah manusia sangat beragam, antara lain pemanfaatan sumberdaya alam yang tidak terkontrol dan berdampak terhadap kerusakan lingkungan. Berkembangnya usaha pertambangan, logging dan pertanian komersial, jika tidak

dilakukan secara arif dan bijaksana akan menjadi pemicu perubahan bentang alam yang signifikan di sepanjang aliran sungai, pesisir pantai dan lingkungan pesisir secara umum (Gambar 4).

Menatap masa depan Kepala

Burung Papua

Perubahan iklim global yang memicu meningkatnya suhu dan permukaan air laut telah menimbulkan dampak dan ancaman bagi kelestarian sumberdaya pesisir KBP dan bagi masa depan penghidupan serta ketahanan pangan masyarakat

setempat. Wilayah KBP saat ini sedang berjuang menahan laju perubahan kondisi alam yang terjadi, perubahan sosial masyarakat setempat dan perubahan ekonomi yang sangat cepat sebagai dampak dari pembangunan. Untuk itu, diperlukan berbagai upaya terpadu dari pemerintah daerah, lembaga swadaya masyarakat dan para pihak yang terkait untuk mengembangkan pesisir KNP secara ramah lingkungan, efektif dan berkelanjutan.

Undang-undang 26 dan 27 Tahun 2007 harus dipertimbangkan sebagai dasar hukum dalam usaha reformasi perencanaan spasial secara efektif dan terintegrasi antara wilayah pedesaan dan perkotaan. Tentunya hal ini harus ditunjang dengan pembangunan sektoral yang terpadu guna memampukan kekuatan yang bersinergi antara perencanaan spasial di tingkat kabupaten, provinsi dan dalam skala yang lebih luas di tingkat nasional.

Saat ini sedang diupayakan model pengelolaan ekoturisme berbasis pemberdayaan masyarakat dengan fokus utama model ekoturisme yang berkelanjutan dengan

memperhatikan konservasi kawasan pesisir di KBP. Pada akhirnya, penguatan kapasitas lembaga pemerintah dan masyarakat setempat dalam pengelolaan sumberdaya yang ada sangat diperlukan dan penting untuk masa depan KBP yang berkelanjutan dan menjamin ketahanan pangan masyarakat setempat. ••

* Laboratorium Produksi Ternak Fakultas Peternakan Perikanan & Ilmu Kelautan, Univ. Negeri Papua, Manokwari Email: freddy.pattiselanno@fppk.unipa.ac.id;

pattiselannofreddy@yahoo.com **Laboratorium Perikanan, Fakultas Peternakan Perikanan & Ilmu Kelautan, Universitas Negeri Papua, Manokwari Gambar 4a. Di musim hujan, curah

hujan yang tinggi menyebabkan banjir pada daerah aliran sungai di wilayah Amberbaken Kabupaten Tambrauw (Gambar F. Pattiselanno)

Gambar 4b. Dampak dari penebangan liar di hulu sungai berdampak pada daerah aliran sungai pasca banjir (Gambar F. Pattiselanno)

(18)

Berita Lahan Basah

... sambungan dari halaman 9

Muara Gembong: Hutan Mangrove dan Habitat Lutung Jawa ...

G am

bar 6. Pro

duk olahan makanan (juice dan dodol) dari

jenis pedada

(Sonne

ratia caseolaris) (Foto: Saniyatun M. Soli hah)

Ga mb

ar 7. P

enanaman 1000 Bakau untuk Muara Gembong (Fo

to: #sa

vemug o, 20

15)

Potensi hutan mangrove

muara gembong

Diperlukan pengelolaan hutan mangrove yang baik, tepat dan berkelanjutan, agar ancaman dan permasalahan-permasalahan yang ada dapat segera teratasi, serta peran dan manfaat hutan mangrove yang rusak/ hilang dapat kembali pulih. Hutan mangrove Muara Gembong sebagai habitat Lutung Jawa berekor panjang (Trachypithecus auratus Mauritius), memiliki potensi untuk dikembangkan menjadi wahana ekowisata, yang akan berdampak bagi peningkatan perekonomian masyarakat dan pemerintah setempat. Selain itu, mangrove dapat dikembangkan sebagai bahan dasar pembuatan sirup, pakan ternak, bahan industri, bahan sintetik, pewarna batik, obat, dan makanan (dodol, krupuk, jalabia mangrove dan lain-lain) (Gambar 6). Hal lain yang dapat dikembangkan disini adalah wanamina (silvofshery), yaitu suatu kegiatan yang terintregasi antara budidaya perikanan air payau (perikanan) dengan pengembangan mangrove (kehutanan) pada lokasi yang sama. Mangrove yang biasa dipakai adalah mangrove jenis pohon (Rhizophora spp. dan Aveicennia alba). Dengan mengkampanyekan program silvofshery sebagai salah satu

kearifan lokal bagi masyarakat pesisir merupakan salah satu upaya yang sangat baik untuk mencegah abrasi dalam jangka panjang.

Partnership dengan gerakan

#savemugo

Dalam rangka memperluas dampak baik terhadap hutan mangrove Muara Gembong, baik secara langsung maupun tidak langsung, maka tercetuslah gerakan penyelamatan hutan mangrove Muara Gembong

pada bulan Mei 2013 yang diinisiasi oleh Komunitas Bekasi Green Attack. Inisiatif ini kemudian berkembang dan mendapat dukungan banyak pihak. Dengan menggunakan people power melalui kerelawanan, gerakan ini telah melakukan berbagai kegiatan baik berupa penanaman mangrove, penyuluhan kepada warga Muara Gembong, sharing di berbagai media dan kegiatan lainnya.

Seluruh kegiatan Gerakan

#savemugo adalah murni bersifat non proft oriented dimana semua pendapatan atau kontribusi finansial akan digunakan untuk promosi dan pelaksanaan berbagai program yang berbasis ekoturisme (Gambar 7). Segala partnership akan dijalankan dengan transparan dan terbuka serta dengan perencanaan dan laporan pertanggungjawaban yang matang.

Untuk mendukung keberlanjutan program-program dalam bidang pariwisata dan budaya, kami membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak baik dari swasta, LSM/ NGO, institusi pemerintah atau masyarakat umum. Untuk informasi lebih lanjut mengenai kegiatan ini dapat dilihat di website ayopeduli.com dan www.savemugo. org atau menghubungi ke email info@savemugo.org, twitter @ savemugo dan contact person Zaenal Gufron (081214939954). ••

* Pusat Konservasi Tumbuhan kebun Raya – LIPI, Jl. Ir. H. Juanda No. 13 Bogor Email: sani_sms@rocketmail.com ** #SaveMugo Yayasan Ayo Peduli Nusantara, KCP Bekasi Juanda, Jawa Barat

(19)

Dokumentasi perpustakaan

Konservasi Lahan Basah

... sambungan dari halaman 5

Nelayan Berjibaku Selamatkan Mangrove ...

Pada areal demikian, disarankan

dilakukan pencucian lahan terlebih dahulu sebelum kegiatan penanaman. Proses pencucian pirit di tanah dapat dilakukan dengan menjebol sebanyak mungkin tanggul yang dibangun oleh perkebunan kelapa sawit, sehingga aliran pasang surut berjalan lancar yang sekaligus proses pencucian lahan tersebut terus berjalan.

Program ini sekarang manfaatnya telah mulai dirasakan. Pembukaan kanal-kanal dan anak-anak sungai yang sebelumnya ditutup oleh perkebunan kelapa sawit telah memungkinkan perkembangbiakan biota air, sehingga hasil tangkap nelayan perlahan-lahan kembali meningkat. Saat survey lapangan, masyarakat nelayan lokal telah kembali menjaring ikan dan udang. Perangkap kepiting bakau yang sebelumnya terhenti ketika kawasan tersebut dikuasai perkebunan sawit ilegal sebelumnya, kini mulai tampak lagi. Kehadiran nelayan ini,

secara otomatis juga meningkatkan pengamanan kawasan termasuk tanaman mangrove hasil rehabilitasi.

Tindakan kedepan

Agar upaya pelestarian mangrove terus berjalan dan berhasil,

kelembagaan rehabilitasi yang telah ada di kawasan tersebut perlu terus diperkuat. Peningkatan kapasitas kelompok untuk mengelola sebagai kawasan wisata mangrove perlu didukung, termasuk kapasitas untuk membuat berbagai makanan dan minuman hasil olahan dari bagian selain kayu tumbuhan mangrove, serta dukungan pemasaran produk-produk tersebut. Dengan demikian, tidak hanya hasil tangkap biota perairan saja yang meningkat, namun juga hasil penjualan jasa wisata mangrove dan berbagai produk olahan dari hutan mangrove selain kayunya.

Semoga program rehabilitasi mangrove yang sedang berjalan dapat berhasil, sehingga mampu memulihkan kembali fungsi ekosistem hutan mangrove bagi kesejahteraan masyarakat pesisir dan mendukung kecukupan gizi anak bangsa dari berbagai hasil tangkap biota perairan dan hasil hutan mangrove selain kayu, seperti lebah madu dan berbagai makanan dan minuman berbahan baku bunga, buah dan daun mangrove. ••

Ucapan terima kasih

Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak BPHM Wilayah II atas fasilitasi survey lapangan.

*Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara E-mail: onrizal03@yahoo.com Desitarani, H. Wiriadinata, H.

Miyakawa, I. Rachman, Rugayah. 2014. Field Guide Book of Plants for Restoration: Project on Capacity Building for Restoration of

Ecosystems in Conservation Areas. PHKA/JICA/LIPI.

Jesus, G.R.D. 2014.Creating New Paths to Resilience Experiences from Indonesia and Philippines. Climate and Development Knowledge Network.

Lestari, T.A. 2014. Community Vulnerability and Capacity Assessment in the context of Disaster Risk Reduction. Case Studies of Villages in Kabupaten Sikka, Kabupaten Ende and Kota Serang. Wetlands International.

Mahardi, W. 2014. Kajian Efektivitas Metode Struktur Alat Pemecah Ombak dan Struktur Permeabel Hybird, Egineerinf sebagaiStudi Pengembangan Konsep Rehabilitasi Pantai di Kabupaten Demak. Fakultas MIPA UI. Indonesia National Coordinating Body. 2015. National Strategy and Action Plan Indonesia 2012-2015. Mangrove for the future.

Koichi, S., N. Yoshihiro, J.G. Jae, C.Kelin and {et.al}. 2015. Wetlands Culture in East Asia: A Lasting Legacy of Skills, Knowladge and Wisdom. Wetlands International. Miyakawa, H. 2015. Laporan Kegiatan Akhir Periode (Mei 2014 - Feb 2015). PHKA/JICA.

Miyakawa, H. and H. Saito. 2015. Kegiatan Restorasi Melalui Kolaborasi dengan Perusahaan Swasta (Maret 2010 - Februari 2015). PHKA/JICA.

(20)

Gambar

Gambar 1. Penggunaan kawasan hutan mangrove  di Muara Gembong (Sumber: Savemugo, 2014).
Gambar 3. Habitat Trachypithecus auratus di kawasan hutan  mangrove Muara Gembong (Foto: Saniyatun M
Gambar 1. Wilayah segitiga karang yang  melintas di enam Negara termasuk Indonesia  (Sumber: http://www.csmonitor.com/
Gambar 1. Pembangunan jalan ringroute  di dalam kawasan Taman Wista Alam  Teluk Youtefa sebagai jalan alternatif   di Kota Jayapura untuk menghindari  kemacetan (Foto : Alfred Antoh, 2015)

Referensi

Dokumen terkait

Kebanyakan dari pesantren tersebut menjadi pusat orientasi (anutan) orang ramai. Sebelum komunikasi berkembang pesat seperti sekarang, institusi ini menjadi pusat

Upaya yang dilakukan oleh CEO Suargo fm dalam menangani masalah ini adalah mengharuskan setiap penyiar untuk membuat materi pada setiap program terlebih dahulu dengan

Sama seperti Azka dalam buku ini, ia juga kesal karena baju kesayangannya.. Bagaimana Azka menyelesaikan masalahnya, silakan membaca

Dalam filem spongebob, peneliti menemukan ada (1) lima jenis deixis, yaitu deixis orang (orang pertama, kedua orang, dan orang ketiga), deixis tempat (proksimal dan

reaksi terhadap kejadian, masalah atau trauma yang sangat berat pada individu akibat ketidakmampuan untuk mengurangi ketegangan dan kecemasan yang dialami7. •

$ektor aat pasir betina %sand &amp;y'( serangga peng!isap dara! yang !idup di daera! tropis dan subtropis. *akro)ag akan mem)agositosit promastigot. Di daam makro)ag

menghubungkan beberapa sistem-sistem komputerisasi dan software aplikasi baik secara fisik maupun secara fungsional. [4] Sistem ini yang pada dasarnya adalah optimalisasi

Rataan nilai rasa sosis ikan gulamah berkisar antara yang terendah 5,09 pada inter- aksi perlakuan kombinasi “wrapping plastic” styrofoam dengan lama penyimpanan 15 hari (A2B6)