• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan"

Copied!
5
0
0

Teks penuh

(1)

314 JSBPSDM 1(4)(2020), 314-318

Jurnal Sipatokkong BPSDM Sulawesi Selatan

https://ojs.bpsdmsulsel.id/

Pentingnya Pendidikan Multikultural Sebagai Upaya Pencegahan

Culture Shock

Fathana Haslami

Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Fakultas Ilmu Pengetahuan, Universitas Negeri Makassar Email: fathanahaslami15@gmail.com

ABSTRACK

The condition of Indonesian society consisting of various cultural groups, races, ethnicities, languages, ethnicities, and even religions makes Indonesia one of the countries with a variety of diversity and wealth. Indonesia is called a Multicultural Country. As a diverse country, Indonesia apparently is inseparable from the problems caused by its diverse cultures, one of which is culture shock. Culture is a psychological term that describes the condition and feelings of someone in dealing with different social and cultural environmental conditions. There are several stages of Culture Shock, namely, as initial euphoria, irritation and hostility, gradual adjustment, acceptance and integration. So far, multicultural education is still limited to topics and concepts that always want to be developed in the world of education.

Keywords: Multicultural Education, Culture Shock

ABSTRAK

Kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok budaya, ras, suku, bahasa, etnis, bahkan agama menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai keanekaragaman dan kekayaan tersendiri. Indonesia disebut sebagai Negara Multikultural. Sebagai Negara yang beranekaragam, Indonesia ternyata tidak terlepas dari adanya permasalahan akibat dari beragam budaya yang dimilikinya, salah satunya adalah culture shock. Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gegar budaya adalah istilah psikologis yang menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Ada beberapa tahapan-tahapan Culture Shock yaitu, sebagai euforia awal, iritasi dan permusuhan, penyesuaian bertahap, penerimaan dan integrasi Selama ini pendidikan multikultural masih sebatas pada bahasan dan konsep yang selalu ingin dikembangkan dalam dunia pendidikan.

Kata Kunci: Pendidikan Multikultural, Culture Shock

© 2020 Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia Provinsi Sulawesi Selatan

PENDAHULUAN

Indonesia adalah Negara multikultural terbesar di dunia. Menurut Nurcahyono (2018), negara Indonesia terdiri dari berbagai kelompok etnis, suku, agama, budaya dan lain sebagainya. Pada saat ini Indonesia terdiri dari 13.000 pulau besar dan kecil, Populasi penduduknya sekitar 250 juta jiwa dengan berbagai macam keberagamannya, terdiri dari 300 suku, dan 200 bahasa. Selain itu, masyarakat Indonesia menganut memiliki berbagai macam agama seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Budha, dan Konghuchu, serta berbagai macam aliran kepercayaan.

Sebagai Negara yang beranekaragam, Indonesia ternyata tidak terlepas dari adanya permasalahan akibat dari beragam budaya yang dimilikinya. Menurut Hasna Rufaida (2017) keanekaragaman yang ada merupakan anugerah, tetapi juga mempunyai potensi yang dapat menimbulkan konfilk.Contoh konflik dalam hal ini adalah Culture Schock.yang termasuk dalam konflik sosial.

Pendidikan multikultural secara etimologis dibentuk dari dua kata yakni pendidikan dan multikltural. Dike (2017) mendefinisikan pendidikan dalam arti luas sebagai proses yang

(2)

315 berkaitan dengan upaya mengembangkan diri seseorang pada tiga aspek yaitu aspek kognitif, aspek afektif dan psikomotorik. Dengan demikian pendidikan multikultural secara sederhana diartikan sebagai upaya memfasilitasi keragaman budaya peserta didik dalam berbagai aspek yang ada di sekolah.

PEMBAHASAN

Faktor Penyebab Culture Shock

Kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari bernbagai kelompok budaya, ras, suku, etnis, bahkan agama menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai keanekaragaman dan kekayaan tersendiri. Utami dan Cahyono (2018) menyatakan bahwa, hal inilah yang menjadikan negara Indonesia merupakan negara multikultural. Melalui Realitas seperti inilah yang menjadikan sumber kekuatan bahwa Indonesia harus selalu menanamkan kekayaan yang dimilikinya melalui keberagaman yang ada.

Sebagai Negara yang beranekaragam, Indonesia tidak terlepas dari adanya permasalahan akibat dari beragam budaya yang dimilikinya. Menurut Hasna Rufaida (2017) keanekaragaman yang ada merupakan anugerah, tetapi juga mempunyai potensi yang dapat menimbulkan konfilk. Contoh konflik dalam hal ini adalah Culture Schock.yang termasuk dalam konflik sosial. Mitasari & Istiqomayanti (2018) menyatakan bahwa Culture Shock adalah keadaan yang dapat menyebabkan seseorang bingung terhadap lingkungan dengan budaya yang baru sehingga dapat memicu timbulnya emosi negatif. Culture shock ini dialami dan akan sangat terasa oleh mahasiswa perantau yang berasal dari pulau yang berbeda.

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gegar budaya adalah istilah

psikologis yang menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Menurut Harlinda & Susilo (2018) Culture shock

dapat dialami oleh siapa saja yang telah sekian lama tinggal di suatu tempat, kemudian karena suatu hal dia pindah ke tempat lain yang memiliki budaya berbeda. Karena perpindahan seseorang ke lingkungan yang baru dapat menimbulkan culture shock, maka seseorang tentu juga akan berusaha melakukan adaptasi atau penyesuaian diri terhadap budaya di lingkungan baru mereka.

Tahap-Tahapan Culture Shock

Reaksi terhadap budaya baru bervariasi. Namun, menurut Ernofalina (2017) pengalaman dan penelitian telah menunjukkan bahwa ada tahapan yang berbeda dalam proses penyesuaian. Dalam Ernofalina (2017) ada beberapa tahapan-tahapan Culture Shock sebagai euforia awal (perasaan gembira yang berlebihan), iritasi dan permusuhan, penyesuaian bertahap, penerimaan dan integrasi. Dalam euforia awal, para pendatang baru mungkin merasa senang oleh semua dari hal-hal baru yang ditemui. Mereka mungkin memiliki beberapa masalah tetapi biasanya dapat menerimanya sebagai bagian dari hal yang baru. Selain itu, Schneider (2005) dalam Ernofalina (2017) mengungkapkan bahwa dalam tahap euforia, semuanya tidak ada yang salah ,hebat, dan orang-orang bersenang-senang.

Ernofalina (2017) menyatakan bahwa, orang euforia awal akan terpesona oleh segala sesuatu dalam budaya baru. Namun, periode ini tidak berlangsung selamanya. Dalam tahap iritasi dan permusuhan individu-individu merasa berada dalam masalah-masalah baru. Mereka mungkin menghadapi masa-masa sulit dan krisis dalam kehidupan sehari-hari.

Pada tahap ini, mungkin ada perasaan tidak puas, tidak sabar, marah, sedih, dan merasa tidak cakap. Mereka mungkin mulai merasa agresif dan mulai mengeluh tentang budaya tempat ia tinggal. Ini terjadi ketika seorang pendatang baru sedang mencoba membandingkan budaya baru yang sangat berbeda dari budaya yang mereka miliki sendiri atau budaya asalnya.

Menurut Ernofalina (2017) selama masa transisi, mungkin ada yang kuat perasaan tidak puas. Pada titik ini, seorang pendatang baru mulai menolak daerah tempat ia tinggal, mengeluh dan hanya memperhatikan hal-hal buruk. Pada tahap penyesuaian bertahap, individu menjadi merasa lebih nyaman dalam budaya baru mereka.

(3)

316 Pada tahap penyesuaian, mereka mulai rileks dalam situasi baru. Setiap hari kegiatan tidak lagi menjadi masalah besar. Mereka mungkin belum lancar berbicara bahasa, tetapi mereka sekarang dapat mengekspresikan ide dan perasaan dasar mereka.

Lebih banyak hal dapat diprediksi, orang merasa lebih terkendali dan lebih nyaman Pada titik ini, mereka mulai merasa lebih betah di lingkungan baru dan untuk menerima norma dan kode sosial di sekitarnya. Dalam tahap penerimaan dan integrasi, individu memiliki kemampuan untuk berfungsi dalam keduanya budaya. Itu terjadi ketika mereka merasa betah dalam budaya inang dan memiliki kemampuan untuk hidup berhasil dalam dua budaya.

Mereka menjadi lebih nyaman dengan bahasa dan dengan kebiasaan negara tuan rumah. Mereka mendapatkan beberapa pemahaman tentang budaya tuan rumah. Sebuah perasaan senang dan rasa humor baru mungkin dialami. Seseorang mungkin mulai merasakan keseimbangan psikologis tertentu. Mereka sekarang dapat bergerak tanpa perasaan cemas (Ernofalina, 2017).

Cara Mengatasi Culture Shock

Menurut Utami dan Cahyono (2018) salah satu cara yang dapat dilakukan adalah melalui proses pendidikan, karena hal ini menjadi jembatan dalam menyampaikan pada generasi muda sejak dini tentang relaitas multikultural tersebut. Pendidikan menurut UU No. 20 Tahun 2003 yaitu usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik mengembangkan potensi dirinya secara aktif untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan oleh peserta didik, masyarakat, bangsa, dan negara.

Menurut Lestariningsih, Jayusman, & Purnomo: 2018 dalam hal ini, berarti Culture Shock

dapat ditangani dengan cara mengecam pendidikan salah satunya yang dapat diterapkan adalah pendidikan multikultural. Selama ini pendidikan multikultural masih sebatas pada bahasan dan konsep yang selalu ingin dikembangkan dalam dunia pendidikan. Nyatanya baik kurikulum ataupun pendidikan khusus yang dilakukan untuk pendidikan multikultural memang belum dijumpai di beberapa negara termasuk di negara Indonesia.

Konsep pemikiran pendidikan multikultural ini belum sepenuhnya dipahami oleh masyarakat dan pemikiran tentang pendidikan multikultural juga belum disadari dalam proses belajar mengajar. Seperti yang dijelaskan oleh Utami dan Cahyono (2018) adanya pendidikan multikultural dimaksudkan untuk membangun jembatan antara kurikulum dan karakter guru, iklim kelas, kemampuan pedagogi serta kultur sekolah untuk mewujudkan visi misi sekolah yang menjunjung kesetaraan. Berdasarkan hal tersebut, pendidikan jelas memiliki peran yang cukup penting untuk menjadi role model pendidikan multikultural dalam proses pembelajaran maupun dalam bersikap.

Utami dan Cahyono (2018) mengkonsepkan pendidikan multikultural dalam 5 dimensi, yaitu:

1. Content Integration; hal ini berkenaan dengan cara guru memadu padankan konten untuk

memberikan contoh dari beragam budaya dan beragam kelompok yang bertujuan menggeneralisasikan suatu konsep sesuai bidang kajian;

2. Knowladge Construction; hal ini berkenaan dengan bagaimana keterlibatan pendidik dalam

membantu menyelidiki dan menentukan asumsi suatu budaya yang tersirat sehingga peserta didik mampu menyusun pengetahuan didalamnya;

3. An Equity Pedagogy; Pada bagian ini penggunaan gaya mengajar pendidik sangat

diperlukan. Seorang pendidik dikatakan memberikan suatu kesetaraan pada peserta didik apabila mampu mengubah cara pengajaran untuk fokus memfasilitasi prestasi akademik bagi semua peserta didik dari berbagai kelompok ras, budaya dan kelas sosial.

4. Prejudice Reduction; poin ini memfokuskan pada sikap rasial peserta didik yang dapat

diubah atau diarahkan melalui metode atau model pengajaran;

5. An Empowering School Culture; budaya di sekolah harusnya mampu untuk

memberdayakan peserta didik dari berbagai perbedaan kelompok, ras, etnis, dan budaya. Menurut Utami dan Cahyono (2018) pula ada beberapa hasil yang diharapkan setelah dilakukan pendidikan multikultural yaitu sebagai berikut:

(4)

317 1. Peserta didik diharapkan mempunyai pemikiran kritis yang mampu mengkaji materi

yang disampaikan dan mampu menanggapinya secara kritis;

2. Peserta didik diharapkan mempunyai kesadaran tentang sikap curiga yang dimiliki oleh pihak lain dan mampu mengkaji mengapa dan dari mana kecurigaan itu muncul sehingga mampu menghilangkan sifat curiga tersebut;

3. Peserta didik diharapkan menyadari bahwasannya ilmu itu bagaikan dua mata pisau yang memiliki sisi baik dan sisi buruk, kedua hal ini sangat tergantung pada siapa yang memiliki ilmu tersebut sehingga peserta didik mampu bersikap bijak dalam mengkaji suatu ilmu;

4. Peserta didik diharapkan mempunyai keterampilan dalam memanfaatkan dan mengimplementasikan ilmu yang sudah dikuasai

5. Peserta didik sebagai a learning person, berarti selalu belajar sepanjang hayat;

6. Peserta didik diharapkan mempunyai cita-cita yang diraih dengan cara bekerja keras; 7. Peserta didik paham tentang apa yang dipelajari dengan apa yang dibutuhkan oleh

bangsa.

Menurut Daniela (2015) Culture shock dapat menghalangi antarbudaya komunikasi dan terkadang bisa buat pribadi mengalami masalah. Sedangkan Harlinda & Susilo (2018) menyatakan bahwa, akibat dari perpindahan seseorang ke lingkungan yang baru akan dapat menimbulkan culture shock, maka dalam keadaan tersebut seseorang pasti akan berusaha melakukan adaptasi atau penyesuaian diri terhadap budaya di lingkungan baru mereka. Mungkin pada awalnya mereka akan merasa kaget dengan budaya baru tersebut. Kemudian, mereka akan melakukan suatu tindakan atau cara untuk menghadapi culture shock yang mereka alami untuk dapat menyesuaikan diri dengan lingkungan baru mereka.

Menurut Harlinda dan Susilo (2018) saat memasuki suatu budaya yang dianggap asing maka mahasiswa akan berusaha beradaptasi terhadap cara hidup yang baru dan mereka harus mempelajari hal-hal baru yang ada pada dirinya. Berkaitan dengan hal tersebut maka mahasiswa tersebut akan melakukan penyesuaian diri agar dapat bersikap adaptif terhadap lingkungan sosial dimana ia tinggal. Penyesuaian diri ini terjadi baik secara internal maupun eksternal, sehingga mahasiswa yang dapat melakukan penyesuaian diri ini secara bertahap akan dapat terhindar dari dampak culture shock secara psikologis. Kesulitan penyesuaian diri yang dialami oleh mahasiswa dapat berdampak dalam berbagai hal terkait dengan kegiatan belajar. Kunci keberhasilan dari suatu proses belajar adalah penyesuaian.

Urgensi Pendidikan Multikultural

Sedini mungkin pendidikan multikultural sangat perlu diberikan kepada anak, agar anak bisa mengerti dan menyadari bahwa di lingkungan mereka memiliki keragaman budaya. Menurut Retnasari dan Hidayat (2018), keragaman budaya tersebut dapat mempengaruhi terhadap cara berfikir, sikap dan perilaku manusia, sehingga memiliki tata cara kebiasan-kebiasan, aturan moral serta adat yang berbeda satu dengan yang lainnya. Jika perbedaan-perbedaan tersebut tidak bisa diterima dengan baik dan bijaksana, maka dapat terjadi pertentangan di dalam masyarakat.

Retnasari dan Hidayat (2018) menyatakan bahwa pendidikan multikultural baru dapat dikatakan berhasil apabila terbentuk sikap toleran, tidak bermusuhan dan berkonflik yang dilatarbelakangi perbedaan SARA pada peserta didik. Perubahan dalam konteks multikultural ini tidak terletak pada penilaian secara kognitif, namun lebih kepada terciptanya kondisi kehidupan masyarakat yang damai dan toleransi. Adanya sikap etnosentrisme suatu golongan serta era globlalisasi saat ini, dapat membuat benturan yang mengakibatkan konflik dan membuat pertemuan antar budaya menjadi ancaman serius bagi peserta didik yang dapat melunturkan budaya asli Indonesia. Sehingga, guna menyikapi fakta global tersebut, hendaknya pendidik memberi penyadaran dan pengetahuan tentang keberagaman, agar peserta didik memiliki pengetahuan yang luas mengenai pengetahuan global termasuk pada aspek pengetahuan kebudayaan.

(5)

318 Kondisi masyarakat Indonesia yang terdiri dari berbagai kelompok budaya, ras, suku, bahasa, etnis, bahkan agama menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan berbagai keanekaragaman dan kekayaan tersendiri. Indonesia disebut sebagai Negara Multikultural. Sebagai Negara yang beranekaragam, Indonesia ternyata tidak terlepas dari adanya permasalahan akibat dari beragam budaya yang dimilikinya, salah satunya adalah culture shock.

Culture shock atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan gegar budaya adalah istilah

psikologis yang menggambarkan keadaan dan perasaan seseorang dalam menghadapi kondisi lingkungan sosial dan budaya yang berbeda. Ada beberapa tahapan-tahapan Culture Shock yaitu, sebagai euforia awal, iritasi dan permusuhan, penyesuaian bertahap, penerimaan dan integrasi Selama ini pendidikan multikultural masih sebatas pada bahasan dan konsep yang selalu ingin dikembangkan dalam dunia pendidikan.

Sebagai Pendidik, mestinya kita dapat melaksanakan pendidikan multikultural, agar siswa kita tercegah dari keadaan culture shock. Peran pendidik dalam pendidikan multikultural salah satunya dapat melalui proses pembelajaran, dengan menerapkan metode atau model pembelajaran yang dapat mempermudah dalam penyampaian pendidikan berbasis multikultural.

DAFTAR PUSTAKA

Daniela, M. I. (2015). The Culture Shock in an Intercultural Society. International Journal of

Management and Applied Science, 1(9), 116-118.

Dike, D. (2017). Pendidikan Multikultural Sekolah Dasar di Wilayah 3T. Jurnal DIDIKA:

Wahana Ilmiah Pendidikan Dasar, 1(2), 2549-9149.

Ernofalina. (2017). Culture Shocks Experienced by Indonesian Students Studying Overseas.

International Journal of Educational Best Practices (IJEBP), 1(2), 87-105.

Harlinda, K., & Susilo, H. (2018). Analisis Strategi Adaptasi Ekspatriet dalam Mengatasi Culture Shock (Studi pada Ekspatriet PT AKT Indonesia, Pasuruan). Jurnal Administrasi Bisnis

(JAB), 59(1), 33-40.

Lestariningsih, W. A., Jayusman, & Purnomo, A. (2018). Penanaman Nilai-Nilai Multikultural dalam Pembelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Rembang Tahun Pelajaran 2017/2018.

Indonesian Journal of History Education, 6(2), 123-131.

Mitasari, Z., & Istikomayanti, Y. (2018). Hubungan Antara Culture Shock dengan Hasil Belajar Mahasiswa Tahun Pertama. Jurnal Psikologi Pendidikan & Konseling: Jurnal Kajian Psikologi

Pendidikan dan Bimbingan Konseling, 4(2), 105-113.

Nurcahyono, O. H. (2018). Pendidikan Multikultural di Indonesia: Analisis Sinkronis dan Diakronis. Jurnal Pendidikan, Sosiologi dan Antropologi, 2(1), 105-115.

Retnasari, L., & Hidayat, M. T. (2018). Pendidikan Multikultural dengan Pendekatan Aditif di Sekolah Dasar. Jurnal Pendidikan Ilmu Sosial, 28(1), 16-21.

Rufaida, H. (2017). Menumbuhkan Sikap Multikultural melalui Internalisasi Nilai-Nilai Multikultural dalam Pembelajaran IPS. Social Science Education Journal, 4(1), 14-24.

Utami, P. S., & Cahyono, H. (2018). Implementasi Pendidikan Berbasis Multikultural melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning pada Mahasiswa Prodi PPKn Universitas Muhammadiyah. Jurnal Dimensi Pendidikan dan Pembelajaran, 6(1), 8-14.

Referensi

Dokumen terkait

Bagi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Formasi Tahun Anggaran 2010, yang Surat Keputusan Pengangkatannya telah selesai diproses (daftar nama terlampir) dapat mengambil Surat Keputusan

Dalam penelitian ini dirumuskan masalah yang terkait dengan latar belakang di atas yakni: pertama, Bagaimana Kemunculan dan Perkembangan Tarekat Asy- Syahadatain di Desa

Melalui perancangan media komunikasi visual sebagai sarana promosi Carissa Cuci Mobil Otomatis (CCMO), dan untuk menjaga eksistensi menghadapi pesaingnya,

Seorang nyai berperan di dalam transformasi modernisasi di Jawa pada khususnya, transformasi modernisasi yang penulis maksud adalah proses perubahan kebiasaan atau budaya

Menurut Edward Djamaris dalam bukunya yang berjudul Metode Penelitian Filologi, metode landasan dipakai apabila menurut tafsiran, nilai naskah jelas berbeda sehingga ada satu

Hal ini didukung oleh pernyataan Siagian (dalam Syamsi, 1995) bahwa pengambilan keputusan adalah suatu pendekatan sistematis terhadap suatu masalah, pengumpulan fakta-fakta dan

Batas aliran lalu lintas yang ada pada suatu ruas jalan dilampaui, maka rata-rata kecepatan lalu lintas akan turun sehingga pada saat kecepatan mulai turun maka

Babakan Baru RT.03/03 Desa Rumpin