• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Ekstrak Selulosa dari Rumput Laut Merah (Hypnea spinella)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Ekstrak Selulosa dari Rumput Laut Merah (Hypnea spinella)"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS EKSTRAK SELULOSA DARI RUMPUT LAUT

MERAH Hypnea spinella

SKRIPSI

Diajukan Oleh

DEVI SULFIDA NIM. 150704002

Mahasiswa Fakultas Sains dan Teknologi Program Studi Kimia

FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY

DARUSSALAM-BANDA ACEH 2020 M/ 1441 H

(2)
(3)
(4)
(5)

v ABSTRAK

Nama : Devi Sulfida

NIM : 150704002

Program Studi : Kimia

Judul : Analisis Ekstrak Selulosa dari Rumput Laut Merah (Hypnea spinella)

Tanggal Sidang : 17 Januari 2020 Tebal Skripsi : 57 lembar

Pembimbing I : Bhayu Gita Bhernama, M. Si Pembimbing II : Cut Nuzlia, M. Sc

Kata Kunci : Rumput Laut, Hypnea spinella, Ekstraksi, Selulosa

Hypnea spinella merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyta) yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis di perairan laut dangkal yang di kenal sebagai penghasil senyawa agarosa, selulosa, agar, karaginan, dan metabolit sekunder lainnya. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui cara ekstraksi, kadar, dan jenis selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella. Selulosa Hypnea spinella di ekstraksi menggunakan metode soxhletasi dengan pelarut metanol 80%, ekstrak selulosa kemudian dianalisis secara kualitatif menggunakan pereaksi benedict dan iodium, serta uji kuantitatif menggunakan spektofometer FTIR dan XRD. Kadar selulosa yang didapatkan dari ekstrak rumput laut Hypnea spinella sebesar 8,42% dari 50 gram sampel yang digunakan. Uji kualitatif dengan pereaksi benedict dan iodium menunjukkan hasil positif terhadap selulosa. Hasil analisis gugus fungsi menggunakan FTIR menunjukkan puncak serapan O-H (3456,59 cm-1), C-H (2919,39 cm-1), dan C-O (1050-1300 cm-1). Dan analisis struktur menggunakan XRD (X-ray diffraction) menghasilkan tiga puncak difraksi pada sudut 2θ, yaitu 26,7o

, 24,04o, dan 22,3o. Derajat kristalinitas selulosa diketahui sebesar 81,43%, indeks kristalinitas sebesar 84,34%. Jenis selulosa rumput laut Hypnea spinella dikonfirmasikan sebagai α-selulosa dengan ukuran kristal sebesar 1,49 nm dan indeks kristalinitas sebesar 85,9% serta derajat kristalinitas sebesar 87,6%.

(6)

vi

Name : Devi Sulfida

NIM : 150704002

Majors : Chemistry Faculty Of Science and Tecnology

Title : Analysis of Cellulose Extract from Red Seaweed (Hypnea spinella)

Trial Date : 17 January 2020 Thesis Thickness : 57 Sheets

Adviser I : Bhayu Gita Bhernama, M. Si Adviser II : Cut Nuzlia, M. Sc

Keywords : Seaweed, Hypnea spinella, Extraction, Cellulose

Hypnea spinella is a type of red seaweed (Rhodophyta) that grows in tropical and subtropical areas in shallow sea waters and known as a producer of agarose, cellulose, agar, carrageenan, and other secondary metabolites. This study aims to determine how to extract, grade, and type of cellulose from Hypnea spinella red seaweed. Hypnea spinella cellulose was extracted using a soxhletation method with 80% methanol as the solvent, cellulose extract was then analyzed qualitatively using benedict and iodine reagents, and quantitative tests using FTIR and XRD spectropometers. Cellulose content obtained from Hypnea spinella seaweed extract was 8.42% of the 50 grams of the sample used. Qualitative tests with benedict and iodine reagents showed positive results on cellulose. The results of the functional group analysis using FTIR showed the peak absorption of O-H (3456.59 cm-1), C-H (2919.39 cm-1), and C-O (1050-1300 cm-1). And structural analysis using XRD (X-ray diffraction) produces three diffraction peaks at 2θ angles, namely 26.7o, 24.04o, and 22.3o. The degree of crystallinity of cellulose is known to be 81.43%, the crystallinity index is 84.34%. Type of seaweed cellulose Hypnea spinella was confirmed as α-cellulose with a crystal size of 1.49 nm and a crystallinity index of 85.9% and a degree of crystallinity of 87.6%.

(7)

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan hidayah dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi. Selanjutnya shalawat beriring salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabat sekalian yang telah membimbing umat manusia dari zaman jahiliyah ke zaman yang islamiyah yang bisa kita rasakan sampai saat ini.

Dalam kesempatan ini penulis akan mengambil judul skripsi Analisis ekstrak selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella” yang ditulis untuk melengkapi tugas-tugas dan memenuhi syarat sebagai penulisan skripsi untuk menyelesaikan pendidikan pada Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh. Penulis menyadari dalam penyusunan skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dari berbagai pihak. Karena itu pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ayanda Sulaiman dan ibunda Suriati Is, selaku orang tua yang telah memberikan dukungan baik secara moral maupun materil sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini.

2. Ibu Khairun Nisah M. Si., selaku Ketua Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

3. Bapak Muhammad Ridwan Harahap, M. Si., selaku Pembimbing Akademik serta Sekretaris Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

4. Ibu Bhayu Gita Bhernama, M. Si., selaku pembimbing I di Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry.

(8)

viii

Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry. 6. Bapak/Ibu dosen di Program Studi Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi,

Universitas Islam Negeri Ar-Raniry yang turut serta membantu dan mendukung penulisan skripsi.

7. Kawan-kawan seperjuangan yang telah memberi solusi dan motivasi dalam penyelesaian skripsi.

Kami menyadari skripsi ini tidak luput dari berbagai kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan dan perbaikannya sehingga akhirnya dapat memberikan manfaat bagi bidang pendidikan dan penerapan dilapangan serta bisa dikembangkan lagi lebih lanjut.

Banda Aceh, 17 Januari 2020

(9)

ix DAFTAR ISI

LEMBARAN PERSETUJUAN ... ii

LEMBARAN PENGESAHAN ... ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ... iv

ABSTRAK ... iv

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR GAMBAR ... xi

DAFTAR TABEL... xii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiii

BAB I : PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1 1.2Rumusan Masalah ... 4 1.3Tujuan Penelitian... 4 1.4Manfaat Penelitian... 5 1.5Batasan Masalah ... 5

BAB II : LANDASAN TEORITIS 2.1 Deskripsi Rumput Laut Hypnea spinella ... 6

2.2 Hypnea spinella ... 7

2.3 Kandungan Rumput Laut Merah Hypnea spinella ... 9

2.4 Manfaat Rumput Laut Merah Hypnea spinella ... 10

2.5 Selulosa ... 10 2.6 Isolasi Selulosa ... 13 2.5.1 Maserasi ... 13 2.5.2 Sokletasi ... 14 2.5.3 Hidrolisis Alkali ... 15 2.5.4 Hidrolisi Asam ... 15 2.5.5 Ledakan Uap... 16 2.2.6 Enzimatik ... 16 2.6 Manfaat Selulosa ... 17 2.7 Uji Benedict ... 18 2.8 Uji Iodium ... 18

2.9 FTIR (Fourier Transform Infra Red) ... 18

2.10 XRD (X-Ray Diffraction) ... 19

2.10.1 Komponen Dasar XRD ... 20

2.10.2 Aplikasi XRD ... 21

BAB III : METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 23

3.2 Alat dan Bahan Penelitian ... 23

(10)

x

3.3.3 Uji Iodium ... 25

3.3.2 Uji FTIR ... 25

3.3.3 Uji XRD ... 25

BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Hasil Penelitian ... 27

4.2 Pembahasan ... 27

BAB V : KESIMPULAN DAN SARAN 1.1 Kesimpulan ... 33

1.2 Saran ... 33

DAFTAR KEPUSTAKAAN ... 34

LAMPIRAN-LAMPIRAN ... 39

(11)

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Rumput Laut Merah Hypnea spinella ... 9

Gambar 2.2. Struktur Selulosa ... 11

Gambar 2.3. StrukturAlfa Selulosa ... 12

Gambar 2.4. Struktur Beta Selulosa ... 12

(12)

xii

Tabel 4.1. Kadar Selulosa ... 27 Tabel 4.2. Uji Kualitatif Ekstrak Selulosa Rumput Laut Hypnea spinella ... 27 Tabel 4.3. Spektra FTIR Ekstrak Selulosa Rumput Laut Hypnea spinella ... 27

(13)

xiii

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1. Skema Kerja ... 39

Lampiran 2. Perhitungan ... 41

Lampiran 3. Spektra FTIR ... 45

Lampiran 4. Difraktogram XRD Selulosa Hypnea spinella ... 46

Lampiran 5. Identifikasi Taksonomi ... 49

(14)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Rumput laut merupakan salah satu sumber hayati yang didapatkan di pesisir pantai atau laut sebagai komoditas perikanan. Pemanfaatan rumput laut ini selain sebagai bahan makanan, juga digunakan sebagai sumber bahan baku industri farmasi, kosmetik, tekstil, minuman, dan pasta gigi. Selain itu juga dimanfaatkan secara luas dalam bidang bioteknologi dan mikrobiologi (Anton, 2017). Karena tumbuhan jenis ini manfaatnya sangat luas, maka rumput laut merupakan peranan penting bagi peningkatan perekonomian masyarakat. Rumput laut (seaweed) diklasifikasikan sebagai rumput laut hijau (Chlorophyta), rumput laut coklat (Phaeophyta) dan rumput laut merah (Rhodophyta). Indonesia memiliki 782 spesies rumput laut yang terdiri dari 179 rumput laut hijau, 134 rumput laut coklat, dan 452 rumput laut merah (Suparmi dan Achmad, 2009).

Aceh Selatan merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang berada di area pesisir pantai atau laut. Dengan demikian, tidak heran Aceh Selatan kaya akan sumber daya alam baik sumber daya hayati maupun non-hayati. Namun potensi kelautan tersebut belum dimanfaatkan secara optimum untuk meningkatkan perekonomian masyarakat yang hidup di sekitar sumber daya alam, terlebih pada tumbuhan laut yang tidak dimanfaatkan oleh masyarakat daerah tersebut (Muchlisin dkk, 2012). Rumput laut di Aceh baru sebagian kecil dimanfaatkan menjadi produk olahan seperti agar-agar, karaginan atau di bidang industri lainnya, bahkan terkadang tidak dimanfaatkan sama sekali. Berdasarkan penelitian dari Kadi (2007) menyatakan rumput laut yang didapatkan di Aceh

(15)

2

bagian Barat-Selatan mempunyai kepadatan tertinggi diduduki oleh kelas Phaeophyta dari jenis Dictyota dichotoma dan Paclina australis kemudian disusul kelas Chlorophyta oleh Halimeda macroloba. Namun, daerah Gunong Cut Kecamatan Sama Dua, Aceh Selatan, juga memiliki beberapa macam rumput laut. Rumput laut yang didapatkan di daerah Gunong Cut, salah satunya adalah rumput laut merah Hypnea spinella. Oleh karena itu, pengembangan rumput laut merah Hypnea spinella harus menjadi salah satu prioritas pembangunan di Aceh Selatan sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan ekonomi secara umum di kawasan ini.

Hypnea spinella merupakan salah satu jenis rumput laut merah (Rhodophyta) yang tumbuh di daerah tropis dan subtropis perairan laut dangkal (Ruslaini, 2017). Jenis rumput laut merah ini jarang dikonsumsi oleh masyarakat dan dibiarkan tumbuh pada perairan laut tanpa dimanfaatkan untuk kebutuhan ekonomis dan kebutuhan lainnya. Berdasarkan kandungan senyawa metabolitnya, rumput laut merah (Rhodophyta) diketahui mengandung paling banyak senyawa metabolit dibandingkan dengan rumput laut hijau dan coklat. Selain itu, rumput laut merah (Rhodophyta) juga dikenal sebagai penghasil agarosa, agar, karaginan, selulosa dan metabolit sekunder penting lainnya (Amaranggana dan Nasrul, 2017).

Selulosa adalah bahan alam yang dapat diperbaharui dan kegunaanya sangat luas. Hal ini dikarenakan selulosa banyak digunakan untuk pembuatan kertas dan produk-produk dengan sifat yang beragam. Selain itu, selulosa juga dapat digunakan pada bidang industri film transparan, film fotografi, sinar-X,

(16)

plastik biodegradable hingga sebagai membran yang digunakan pada bidang industri lainnya (Kentjana dkk, 2002).

Komponen-komponen penyusun rumput laut selain selulosa adalah hemiselulosa, lignin, dan bahan-bahan ekstraktif lainnya. Hemiselulosa mengisi ruang dalam dinding sel dan lebih mudah larut dalam air. Karena itu hemiselulosa umumnya dapat dihilangkan selama proses pembuatan ekstrak selulosa. Adapun tahapan pembuatan ekstrak selulosa adalah penghilangan bahan pengotor dari sampel, delignifikasi, pencucian, penyaringan, pemucatan, penetralan dan pengeringan (Thobias, 2017).

Berbagai penelitian telah dilakukan dalam upaya mengekstraksi selulosa dari rumput laut, diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh Nurhayati dan Rinta (2014) tentang sintesis selulosa asetat dari limbah pengolahan agar yang menggunakan metode maserasi pada proses ekstraksi selulosa dan menghasilkan kadar α-selulosa sebesar 53,33%, sementara Fitriani (2007), melakukan ekstraksi selulosa dari limbah pembuatan karaginan dari rumput laut Euchema sp juga menggunakan metode maserasi dan menghasilkan kadar selulosa sebesar 39,45% dan Siddhanta dkk (2009), menggunakan metode soxhletasi menghasilkan kadar selulosa dari berbagai rumput laut asal india yaitu Kappaphycus alvarezii sebesar 2,00%, Gelidiella Acerosa sebesar 13,63%, Sargassum tenerrimum sebesar 12,24%, dan S. Scinaioides sebesar 2,1%.

Proses ekstraksi selulosa pada penelitian ini dilakukan menggunakan metode soxhletasi karena mempunyai banyak keuntungan dibandingkan dengan metode ekstraksi lainnya. Keuntungan utama metode soxhletasi merupakan metode cara pemanasan yang menggunakan pelarut yang lebih sedikit, waktu

(17)

4

yang digunakan lebih cepat, dan sampel diekstraksi secara sempurna karena dilakukan secara berulang-ulang. Dan juga jarang digunakan dalam penelitian lainnya, sehingga pada proses ekstraksi lebih memilih untuk menggunakan metode soxhletasi pada penelitian ini (Puspitasari dan Prayogo, 2017).

Sementara itu, analisis ekstrak selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella sangat sedikit ditemukan. Sehingga perlu dilakukan penelitian tentang analisis ekstrak selulosa dari rumput laut merah Hypnea Spinella yang berasal dari Desa Gunong Cut Kabupaten Aceh Selatan.

1.2. Rumusan Masalah

1. Bagaimana cara ekstraksi selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella? 2. Berapakah kadar selulosa yang didapatkan dari rumput laut merah Hypnea

spinella?

3. Apa jenis selulosa yang didapatkan dari rumput laut merah Hypnea spinella?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui bagaimana cara melakukan ekstraksi selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella.

2. Mengetahui kadar selulosa yang terkandung dalam rumput laut merah Hypnea spinella

3. Mengetahui jenis selulosa yang didapatkan dari rumput laut merah Hypnea spinella

(18)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mengetahui cara mendapatkan ekstrak selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella dengan menggunakan metode sokletasi.

1.5. Batasan Masalah

1. Metode ekstraksi dilakukan berdasarkan Siddhanta, dkk, 2009.

2. Selulosa diekstraksi dari Hypnea spinella yang berasal dari Desa Gunong Cut, Kecamatan Sama Dua, Kabupaten Aceh Selatan.

3. Karakteristik selulosa menggunakan spektrofotometer FTIR (Fourier Trasform Infra Red) dan XRD (X-ray diffraction) serta uji kualitatif dengan pereaksi Benedict dan Iodium.

(19)

6 BAB II

LANDASAN TEORITIS

2.1. Rumput Laut

Rumput laut merupakan makroalgae yang termasuk dalam divisi Thallophyta, yaitu tumbuhan yang mempunyai struktur kerangka tubuh yang terdiri dari batang/thalus dan tidak memiliki daun serta akar. Jenis rumput laut yang banyak terdapat di perairan Indonesia adalah Gracilaria, Gelidium, Eucheuma, Hypnea, Sargasum dan Tubrinaria. Dari beragam jenis rumput laut tersebut, yang dibudidayakan, dikembangkan dan diperdagangkan secara luas di Indonesia adalah jenis Karaginofit (Eucheuma spinosium, Eucheuma edule, Eucheuma serra, Eucheuma cottonii, dan Echeuma spp), Agarofit (Gracilaria spp, Gelidium spp dan Gelidiella spp), serta Alginofit(Sargassum spp, Laminaria spp, Ascophyllum spp dan Macrocystis spp), yang merupakan bahan baku berbagai industri karena merupakan sumber keraginan (tepung rumput laut), agar-agar dan alginate (Sahat, 2013).

Rumput laut dalam bahasa ilmiah dikenal dengan istilah alga. Berdasarkan pigmen yang dikandung alga dapat dikelompokkan menjadi beberapa kelompok, yaitu Rhodopyceae (alga merah), Phaeopyceae (alga coklat), dan Chlorophyceae (alga hijau). Rumput laut bermanfaat untuk makanan, obat dan bahan baku industri.

Phaeophyceae memiliki bentuk talus yang bervariasi yaitu lembaran, bulat atau batang yang bersifat lunak atau keras. Pigmen yang terdapat pada divisi ini meliputi klorofil α, β karoten, fukosantin, dan xanthofil. Pigmen ini menyebabkan talus pheophyta berwarna coklat atau pirang. Reproduksi rumput laut divisi ini

(20)

terjadi secara aseksual dan seksual. Dinding selnya disusun oleh selulosa, asam alginat, dan mukomolisakarida (Bold dan Wynne, 1985).

Rhodophyceae memiliki bentuk talus yang bervariasi yaitu silindris, pipih dan lembaran. Pigmen yang terdapat pada divisi ini meliputi klorofil α-alofikosianin, β-karoten, dan beberapa xantofil. Pigmen ini merupakan talus rhodophyta berwarna merah kecoklatan atau merah kekuningan. Reproduksi divisi ini terjadi secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dengan pembentukan bermacam-macam aplanospora (monospora, bispora, tetraspora, polispora, dan spora netral). Persediaan makanan berupa kanji, dinding selnya disusun oleh senyawa selulosa, agar, karaginan, propiran, dan furseleran (Trono dan Ganzon, 1988).

Chlorophyceae memiliki bentuk talus lembaran, batang, dan bulat yang bersifat lunak atau keras. Pigmen yang terdapat pada divisi ini meliputi klorifil α dan β karoten, xantofil, dan lutein. Reproduksi dilakukan secara aseksual dan seksual. Reproduksi aseksual dengan pembentukan zoospora atau fragmentasi talus. Persediaan makanan berupa kanji dan lemak. Dinding selnya mengandung selulosa (Trono dan Ganzon, 1988).

2.2. Hypnea spinella

Genus Hypnea (Rhodophyta) mencakup sekitar 54 spesies, yang melimpah di zona intertidal dan subtidal tropis dan perairan beriklim hangat. Genus ini dibedakan dengan talus bercabang merah kecoklatan atau kuning kehijauan (Sampaoi dkk, 2014). Duri-duri tersusun berseling dan spiral, pendek dan rapat, tersusun radial seputar sumbu dan percabangan, tunggal dan jarang sekali

(21)

8

menggarpu. Ujung talus runcing, ujung duri runcing, ujung percabangan runcing dan tidak bersegmen, talus tidak mengandung kapur, talus tegak. Holdfast mencakram dan membentuk perlekatan sekunder (Mardiana dkk, 2018). Berikut adalah klasifikasi taksonomi dari rumput laut merah Hypnea spinella :

Regnum : Protista Phyllum : Rhodophyta Classis : Florideophyceae Ordo : Gigartinales Familia : Hypneaceae Genus : Hypnea

Spesies : Hypnea spinella

Thallus rumput laut merupakan tempat penyimpanan hasil proses fotosintesis yaitu polisakarida berupa agar-agar, karaginan dan alginat. Agar-agar dan karaginan ditemukan pada rumput laut merah (Rhodophyceae), sedangkan alginat ditemukan pada rumput laut coklat (Phaeophyceae). Sementara itu, rumput laut hijau (Chlorophyceae) dikenal banyak menghasilkan kanji dan lemak. Berdasarkan kemampuan tersebut rumput laut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu agarofit (Penghasil agar-agar), karaginofit (Penghasil karaginan), dan alginofit (Penghasil alginat) (Wibowo, 2014).

Hypnea spinella umumnya warna merah karena adanya protein fikobilin, terutama fikoeritrin, tetapi warnanya bervariasi mulai dari merah ke coklatan atau kadang-kadang hijau karena jumlahnya pada setiap pigmen. Dalam kondisi ini, Hypnea spinella dapat melakukan penyesuaian pigmen dengan kualitas pencahayaan sehingga dapat menimbulkan berbagai warna thallus. Warna-warna

(22)

yang terbentuk antara lain : merah tua, merah muda, pirang, coklat, kuning dan hijau. Dinding sel terdiri dari selulosa dan gabungan pektik, seperti agar-agar, karaginan dan fursellarin. Genus Hypnea ini dikenal dalam keluarga Hypneaceae dari ordo Gigartinales secara luas distribusi geografis, sejumlah besar spesies dan kepentingan ekonomi untuk produksi karaginan (Nauer, 2014). Adapun gambar dari rumput laut Hypnea spinella sebagai berikut :

Gambar 2.1. Rumput Luat Merah Hypnea Spinella ( Dokumen pribadi).

2.3. Kandungan Rumput Laut Merah Hypnea spinella

Kandungan senyawa yang paling banyak didapatkan dalam rumput laut merah adalah karaginan yang merupakan polisakarida alami yang diekstraksi dari rumput laut merah tertentu misalnya, Eucheuma cottonii, Gigartina acicularis,

dan Hypnea musciformis. Polisakarida linier ini terdiri dari pengulangan unit disakarida dari monomer galaktosa (Andrade dkk, 2000). Polisakarida sulfat yang ditemukan dalam rumput laut merah umumnya dalam bentuk galaktan tersulfasi. Galaktan tersulfasi terutama terdiri dari karagenan, namun biomolekul kimia penting lainnya, seperti protein dan fenolik (Sousa dkk, 2016).

(23)

10

2.4. Manfaat Rumput Laut Merah Hypnea spinella

Genus Hypnea adalah sumber penting polisakarida yang digunakan sebagai agen pembentuk gel dan penebalan dalam makanan (Roberto dkk, 2010). Hypnea spinella juga dimanfaatkan sebagai bahan makanan, obat, dan material penting dalam industri makanan, kosmetik, dan obat-obatan. Di Indonesia pemanfaatan rumput laut merah untuk industri dimulai dari industri agar-agar yang dihasilkan dari Gelidium, Gelidiella, dan Gracilaria, sedangkan untuk industri karaginan dihasilkan dari Eucheuma. Pemanfaatan rumput laut merah secara tradisional terutama digunakan sebagai bahan pangan seperti sayur, manisan, kue, dan obat-obatan. Beberapa jenis rumput laut merah yang sudah dimanfaatkan secara tradisional di Indonesia antara lain dari marga Porphyra, Acanthophora, Catenella, Eucheuma, Gelidium, dan Gracilaria (Nontji, 2007).

2.5. Selulosa

Selulosa adalah komponen utama penyusun biomassa. Selulosa juga merupakan komponen dasar pada dinding sel dan serat yang tersusun dari 1,4-β-glukopiranosa yang memberi kekuatan akan serat. Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pektin, hemiselulosa, dan xilan. Di dalam tumbuhan molekul selulosa tersusun dalam bentuk fibril yang terdiri atas beberapa molekul paralel yang dihubungkan oleh ikatan glikosidik sehingga sulit diuraikan (Moniriqsa, 2012). Berikut adalah struktur dari senyawa selulosa :

(24)

Gambar 2.2. Struktur Selulosa

Selulosa dapat dibedakan atas tiga jenis berdasarkan derajat polimerisasi (DP) dan kelarutan dalam senyawa natrium hidroksida (NaOH), yaitu selulosa alfa, selulosa beta dan selulosa gamma. Selulosa dapat larut dalam asam pekat (seperti asam sulfat 72%) yang mengakibatkan terjadinya pemecahan rantai selulosa secara hidrolisis.

Selulosa alfa merupakan jenis selulosa berantai panjang, tidak larut dalam larutan NaOH 17,5% atau larutan basa kuat dengan derajat polimerisasi 600-1500. Selulosa alfa dipakai sebagai penduga dan atau penentu tingkat kemurnian selulosa. Selulosa alfa merupakan kualitas selulosa yang paling tinggi (murni). Selulosa alfa > 92% memenuhi syarat untuk digunakan sebagai bahan baku utama pembuatan propelan dan atau bahan peledak, sedangkan selulosa kualitas dibawahnya digunakan sebagai bahan baku pada industri kertas dan industri sandang/kain. Semakin tinggi kadar alfa selulosa, maka semakin baik mutu bahannya. Adapun struktur alfa selulosa sebagai berikut :

(25)

12

Gambar 2.3. Struktur Alfa Selulosa

Selulosa beta adalah jenis selulosa berantai pendek, larut dalam larutan NaOH 17,5% atau basa kuat dengan derajat polimerisasi 15-90, dapat mengendap bila dinetralkan. Adapun struktur beta selulosa sebagai berikut :

Gambar 2.4. Struktur Beta Selulosa

Sedangkan Selulosa gamma adalah Selulosa yang sama dengan beta selulosa, tetapi derajat polimerisasinya kurang dari 15.

Sifat selulosa terdiri dari sifat fisika dan kimia. Selulosa dengan rantai panjang memiliki sifat fisik yang lebih kuat, tahan lama terhadap degradasi yang disebabkan oleh pengaruh panas, bahan kimia maupun biologis. Sifat fisika dari selulosa yang penting ialah panjang, lebar, dan tebal molekulnya. Sifat fisik lain dari selulosa ialah :

(26)

1. Dapat terdegradasi oleh hidrolisa, oksidasi, fotokimia maupun secara mekanis sehingga berat molekulnya turun.

2. Tidak larut dalam air maupun pelarut organik, tetapi sebagian larut pada larutan alkali.

3. Dalam keadaan kering, selulosa bersifat higroskopis (baik menyerap air), keras, juga rapuh. Jika selulosa mengandung banyak air, maka akan bersifat lunak. Jadi fungsi air disini adalah sebagai pelunak.

4. Selulosa dalam kristal memiliki kekuatan lebih baik dibandingkan dengan bentuk amorfnya (Putera, 2012).

2.6. Isolasi Selulosa 2.6.1. Maserasi

Maserasi adalah proses pengekstrakan simplisia dengan menggunakan pelarut beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada suhu kamar. Maserasi bertujuan untuk menarik zat-zat berkasiat yang tahan pemanasan maupun yang tidak tahan pemanasan, serta untuk menghilangkan lemak, protein, dan metabolit sekunder yang ada didalam komponen kayu suatu sampel (Istiqomah, 2013).

Prinsip dasar dari maserasi adalah Penyaringan zat aktif yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam pelarut tertentu pada temperatur kamar yang terlindungi dari cahaya matahari, pelarut akan masuk kedalam sel melewati dinding sel. Isi sel akan larut karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan didalam sel dengan di luar sel. Larutan yang konsentrasinya tinggi akan terdesak keluar dan diganti oleh pelarut dengan konsentrasi rendah (proses difusi). Peristiwa tersebut berulang sampai terjadi keseimbangan konsentrasi

(27)

14

antara larutan di luar sel dan di dalam sel. Selama proses maserasi dilakukan pengadukan dan penggantian pelarut setiap kalinya. Endapan yang diperoleh dipisahkan dan filtratnya dipekatkan.

Kerugian utama dari metode maserasi ini adalah memakan banyak waktu, pelarut yang digunakan cukup banyak, dan besar kemungkinan beberapa senyawa hilang. Selain itu, beberapa senyawa mungkin saja sulit diekstraksi pada suhu kamar. Namun di sisi lain, metode maserasi dapat menghindari rusaknya senyawa-senyawa yang bersifat termolabil (Mukhriani, 2014).

2.6.2. Soxhletasi

Soxhletasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut yang selalu baru yang umumnya dilakukan dengan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi kontinyu dengan jumlah pelarut yang relatif konstan dengan adanya pendingin (kondensor). Biomassa ditempatkan dalam wadah soklet yang dibuat dengan kertas saring, melalui alat ini pelarut akan terus direfluks (Istiqomah, 2013). Soxhletasi merupakan metode yang digunakan untuk memperoleh selulosa dengan memisahkannya dari lignin atau senyawa lainnya (Umaningrum dkk, 2018).

Adapun prinsip metode soxhletasi adalah penyaringan yang berulang-ulang sehingga hasil yang didapatkan sempurna dan pelarut yang digunakan relatif sedikit serta mudah menguap dan dapat melarutkan senyawa organik yang terdapat pada bahan tersebut, tapi tidak melarutkan zat padat yang tidak diinginkan (Fessenden, 1986). Keuntungan menggunakan metode ini adalah membutuhkan pelarut yang sedikit dan untuk penguapan pelarut biasanya digunakan pemanasan. Adapun kelemahannya adalah waktu yang dibutuhkan

(28)

untuk ekstraksi cukup lama sampai beberapa jam, sehingga kebutuhan energinya tinggi dan dapat berpengaruh negatif terhadap bahan tumbuhan yang peka terhadap suhu (Joice, 2010).

2.6.3. Hidrolisis Alkali

Perlakuan hidrolisis alkali, metode yang paling umum digunakan untuk delignifikasi bahan lignoselulosa. Perlakuan ini dilakukan dengan tujuan mengganggu struktur lignin dan memungkinkan pemisahan hubungan struktural antara lignin dan selulosa. Dalam perlakuan ini juga mengakibatkan putusnya ikatan pada rantai selulosa. Jufrinaldi (2018) melaporkan berhasil melakukan delignifikasi menggunakan pemanasan gelombang radiasi mikro. Metode radiasi gelombang mikro terbukti lebih effisien dan efektif dibandingkan dengan metode konvensional terutama dalam waktu proses. Perlakuan alkali biasanya dilkukan bersamaan dengan perlakuan asam. Metode ini merupakan proses yang sederhana, ekonomis dan ramah lingkungan. Namun, penting untuk diperhatikan bahwa proses ini perlu dikontrol dengan hati-hati untuk menghindari hal yang tidak diinginkan seperti degradasi selulosa (Jufrinaldi, 2018).

2.6.4. Hidrolisis Asam

Perlakuan hidrolisis asam, proses umum yang paling banyak digunakan karena membutuhkan waktu reaksi yang lebih pendek dari pada proses lainnya. Asam bersenyawaan klorida, asam peroksida sering digunakan dalam perlakuan asam ini karena selain berfungsi sebagai delignifikasi juga berfungsi sebagai pemutih. Putih yang dihasilkan menggunakan asam

(29)

16

peroksida lebih gelap dibandingkan dengan asam berklorida tetapi dampak terhadap lingkungan dapat diminimalisasi apabila menggunakan asam peroksida. Selain senyawa asam tersebut, asam sulfat juga sering digunakan dalam perlakuan asam

2.6.5. Ledakan Uap

Proses perlakuan ledakan uap telah diselidiki sebagai metode pulp mekanis yang menjanjikan karena menawarkan banyak hal menarik dibandingkan dengan teknologi lain. Seperti investasi modal lebih rendah, dampak lingkungan lebih rendah, lebih sedikit bahan kimia. Proses berbahaya dan kondisi lebih banyak potensi energi efisiensi. Proses perlakuan ledakan uap dibagi ke dalam 2 tahap yaitu ekstraksi untuk pemulihan selulosa berderajat polimer rendah dan peresapan asam mineral kuat. Beberapa penulis melaporkan bahwa ledakan uap memungkinkan pemecahan bahan lignoselulosa komponen dengan pemanasan uap, gaya geser akibat ekspansi kelembaban dan hidrolisis ikatan glikosidik oleh asam organik yang terbentuk selama proses (Jacquet dkk, 2015).

2.6.6. Enzimatik

Teknologi enzimatik, teknologi terbaru yang digunakan dalam isolasi selulosa. Belum banyak peneliti melaporkan tentang isolasi selulosa. Hal ini mungkin dikarenakan proses enzimatik lebih mahal dilihat dari nilai ekonomi tetapi mampu menghasilkan selulosa dengan kris kristalinitas lebih rendah (Hanna dkk, 2001).

(30)

2.7. Manfaat Selulosa

Selulosa merupakan penyusun utama dinding sel tumbuhan dan beberapa organisme lainnya seperti rumput laut. Pada tumbuhan selulosa sangat berperan penting bagi kelangsungan hidupnya di alam. Untuk sifat kuat dan kaku yang dimiliki oleh selulosa memungkinkan tumbuhan untuk tumbuh tegak di atas permukaan bumi. Untuk karakter selulosa yang kuat serta tidak larut akan air ini membuat selulosa memiliki banyak manfaat. Diantaranya yakni selulosa digunakan sebagai bahan tambahan untuk membuat kain atau karpet dan lainnya. Selulosa yang tidak larut air ini sangat mudah dipisahkan dari senyawa atau cairan lainnya. Selain itu berkat adanya selulosa yang menyusun dinding sel tumbuhan salah satunya dimanfaatkan untuk kardus ataupun tisu. Adapun serat pada selulosa juga dimanfaatkan untuk membuat kerajinan tangan ataupun tali yang amat sangat kuat.

Selulosa dibuat dalam berbagai turunannya diantaranya turunan ester dan eter. Ester selulosa banyak digunakan sebagai serat dan plastik, sedangkan eter selulosa sebagai pengikat dan bahan tambahan untuk mortir khusus atau kimia khusus untuk bangunan dan konstruksi juga stabilisator viskositas pada cat, makanan, produk farmasetik, dan lain-lain. Selulosa juga merupakan bahan dasar dalam pembuatan kertas. Seratnya mempunyai kekuatan dan durabilitas yang tinggi. Jika dibasahi dengan air, menunjukkan pengembangan ketika jenuh, dan juga higroskopis. Bahkan dalam keadaan basah, serat selulosa alami tidak kehilangan kekuatannya (Husni, 2018).

(31)

18

2.8. Uji Benedict

Uji Benedict adalah uji kimia untuk mengetahui kandungan gula (karbohidrat) pereduksi (yang memiliki gugus aldehid atau keton bebas). Gula pereduksi meliputi semua jenis monosakarida dan beberapa disakarida seperti laktosa, glukosa dan maltosa. Uji benedict berdasarkan reduksi Cu2+ menjadi Cu+ oleh gugus aldehid atau keton bebas dalam suasana alkalis, biasanya ditambahkan zat pengompleks seperti sitrat atau tatrat untuk mencegah terjadinya pengendapan CuCO3. Uji positif ditandai dengan terbentuknya endapan merah bata, kadang disertai dengan larutan yang berwarna hijau, merah, atau orange (Riyadi, 2009).

2.9. Uji Iodium

Uji iod bertujuan untuk mengidentifikasi polisakarida. Uji iod juga dapat membedakan amilum dengan nitrogen. Reaksi antara polisakarida dengan iodin membentuk rantai poliodida. Polisakarida umumnya membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan dengan iodin, sedangkan karbohidrat berantai pendek seperti disakarida dan monosakaraida tidak membentuk struktur heliks sehingga tidak dapat berikatan dengan iodin (Riyadi, 2009).

2.10. FTIR (Fourier Trasform Infra Red)

FTIR merupakan singkatan dari Forier Transform Infra Red. Dimana FTIR ini adalah teknik yang digunakan untuk mendapatkan spektrum inframerah dari absorbansi, emisi, fotokonduktivitas atau Raman Scattering dari sampel padat, cair, dan gas. Karakterisasi dengan menggunakan FTIR bertujuan untuk

(32)

mengetahui jenis-jenis vibrasi antar atom. FTIR juga digunakan untuk menganalisa senyawa organik dan anorganik serta analisa kualitatif dan analisa kuantitatif dengan melihat kekuatan absorpsi senyawa pada panjang gelombang tertentu (Anam, 2007).

FTIR adalah salah satu instrumen yang menggunakan prinsip spektroskopi yang dilengkapi dengan transformasi fourier untuk deteksi dan analisis hasil spektrumnya. Spektroskopi inframerah berguna untuk identifikasi senyawa organik karena spektrumnya yang sangat kompleks yang terdiri dari banyak puncak-puncak. Selain itu, masing-masing kelompok fungsional menyerap sinar inframerah pada frekuensi yang unik (Suseno, 2018).

2.11. XRD (X-ray diffraction)

XRD merupakan alat yang digunakan untuk mengkarakterisasi struktur kristal, ukuran kristal dari suatu bahan padat. Semua bahan yang mengandung kristal tertentu ketika dianalisa menggunakan XRD akan memunculkan puncak-puncak yang spesifik. Sehingga kelemahan alat ini tidak dapat untuk mengkarakterisasi bahan yang bersifat amorf (Darwis, 2017).

Pada tahun 1895 W. Rontgen menemukan bahwa sinar dari tabung dapat menembus bahan yang tak tembus cahaya dan mengaktifkan layar film foto. Sinar ini berasal dari titik dimana elektron dalam tabung mengenai sasaran didalam tabung tersebut atau tabung kacanya sendiri. Rontgen tidak dapat menyimpangkan sinar-sinar ini didalam medan magnetik, sebagaimana yang diharapkan jika sinar tersebut berupa partikel bermuatan, tidak juga dapat mengamati difraksi atau interferensi, sebagaimana yang diharapkan jika sinar tersebut berupa gelombang.

(33)

20

Rontgen memberi nama sinar tersebut yaitu sinar-X. Ia menyelidiki sinar ini secara intensif dan menemukan bahwa semua bahan tertembus oleh sinar tersebut dalam derajat tertentu dan bahwa derajat ketertembusan berkurang dengan meningkatkan densitas bahannya (Hamsina, 2015).

2.11.1. Komponen Dasar XRD

Komponen-komponen utama yang terdapat pada XRD, diantaranya adalah tabung elektron, monokromator, filter, sampel holder, detektor, dan software analisa (Setiabudi dkk, 2012).

1. Tabung elektron

Tabung elektron merupakan tempat pembentukan elektron yang digunakan untuk menumbuk plat logam sehingga menghasilkan sinar-X. Berkas sinar-X inilah yang kemudian digunakan untuk menumbuk material sampel dan menghasilkan spektrum kontinyu maupun spektrum garis. Di dalam tabung elektron sendiri terdapat beberapa komponen, yakni filament yang terbuat dari tungsten sebagai sumber elektron, tabung kedap udara sebagai media perantara elektron, plat logam (Cu, Au, dan lain-lain), dan pendingin.

2. Monokromator

Monokromator merupakan komponen yang berperan untuk mengubah berkas polikromatik menjadi masing-masing berkas monokromatik.

3. Filter

Filter berguna untuk menyaring sebagian bekas cahaya yang tidak diinginkan yang dapat mengganggu analisa data karena menciptakan gangguan

(34)

(noise). Filter dapat terbuat dari logam yang berbeda dengan logam yang terdapat pada tabung elektron, sebagai contoh nikel.

4. Sampel holder

Sampel holder merupakan tempat untuk meletakan sampel yang akan dianalisa. Sampel dapat diletakkan dalam berbagai orientasi untuk mendapatkan sudut difraksi.

5. Detektor

Detektor digunakan untuk mendeteksi berkas cahaya yang terdifraksi pada sudut-sudut tertentu dengan intensitasnya masing-masing. Berkas cahaya yang mengalami difraksi terekam pada pita.

6. Sofware

Perangkat lunak ini dapat dipisahkan menjadi dua jenis. Jenis yang pertama adalah perangkat lunak yang berfungsi untuk menterjemahkan rekaman pada pita menjadi nilai sudut 2θ yang kemudian diubah menjadi pola difraktogram sesuai dengan intensitasnya yang terdeteksi oleh detektor. Jenis yang kedua adalah perangkat lunak yang digunakan untuk menginterpretasikan data sudut 2θ dengan intensitasnya untuk kemudian diketahui Indeks Miller dan nilai parameter kisi serta jarak antar kisi (d-spacing) sehingga dapat diketahui struktur kristal pada material sampel.

2.11.2. Aplikasi XRD

1. Penentuan Struktur Kristal

Penentuan struktur kristal, dapat dilakukan dengan menggunakan metode difraksi serbuk (powder diffraction method). Metode ini dikenal pula dengan

(35)

22

nama metode Debye-Scherrer sesuai dengan nama dua peneliti asal Jerman yang mengusulkan metode ini pada tahun 1916. Metode ini dipilih karena dapat memberikan peluang yang lebih besar bagi berkas cahaya untuk terdifraksi yang disebabkan oleh banyaknya kristal yang berada pada orientasi yang memungkinkan untuk mendifraksikan berkas cahaya yang datang.

2. Analisis Reaksi Kimia dan Sintesis Material

Instrumen XRD juga dapat digunakan untuk memantau proses berlangsungnya reaksi kimia maupun sintesis material. Kekhasan pola difraksi suatu senyawa akan berubah jika senyawa itu mengalami perubahan struktur, misalnya karena direaksikan dengan senyawa lain. Perubahan pola difraksi inilah yang menjadi prinsip analisis proses sintesis dengan menggunakan XRD.

3. Analisis Kemurnian Suatu Spesi

Kemurnian suatu spesi juga dapat dianalisis salah satunya dengan menggunakan instrumen difraksi sinar-X. Pola difraktogram yang dihasilkan dari analisis XRD suatu senyawa murni akan menunjukan pola yang khas untuk senyawa tersebut. Pola yang khas tersebut akan ditunjukan dengan puncak-puncak yang terbentuk pada sudut 2θ yang khas dengan intensitas tertentu (Setiabudi dkk, 2012).

(36)

23 BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan pada tanggal 16 September-11 Oktober 2019 di Laboratorium Kimia, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Ar-Raniry Banda Aceh.

3.2. Alat dan Bahan Penelitian

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah perlengkapan soxhletasi, Spektrofotometer FTIR (Fourier Trasform Infra Red) 21 Prestige Shimadzu, spektrofotometer XRD (X-ray diffraction) merk MAXima tipe XRD-7000, gelas kimia 500 mL, gelas ukur 100 mL, gelas ukur 250 mL, tabung reaksi, pipet tetes, spatula, kaca arloji, batang pengaduk, pH meter, kertas saring, hot plate stirrer, waterbath labtech, timbangan analitik, blender dan termometer.

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah rumput laut merah Hypnea spinella, metanol (CH3OH) 80%, natrium hipoklorit (NaOCl) 5%, natrium hidroksida (NaOH) 0,5 M, asam klorida (HCl) 5%, pereaksi benedict (CuSO4.5H2O), pereaksi iodin (I2), dan akuades (H2O).

3.3. Prosedur Kerja

3.3.1. Ekstraksi Selulosa

Rumput laut Hypnea spinella diambil dari nelayan Desa Gunong Cut Kecamatan Sama Dua Kabupaten Aceh Selatan, lalu dibersihkan rumput laut tersebut dengan air mengalir hingga bersih. Rumput laut yang telah dibersihkan di

(37)

24

keringkan di bawah matahari selama 4 hari. Sampel yang telah kering kemudian dipotong-potong dan dihaluskan sampai berbentuk serbuk menggunakan blender. Sampel yang telah halus diayak dengan pengayak biasa (ayakan tepung). 50 gram serbuk rumput laut yang telah diayak diektraksi berulang dengan metanol 80% (250 mL x 4) menggunakan metode soxhletasi selama empat hari pada suhu 80oC sampai pelarut yang digunakan sedikit jernih. Residu rumput laut hasil soxhletasi kemudian direndam dalam 450 mL NaOCl 5% untuk pemutihan pada suhu 60oC selama 3 jam. Rumput laut yang telah diputihkan kemudian dicuci dengan air sampai air pencucian menunjukkan pH 7 dan disaring. Residu kemudian ditambahkan 300 mL NaOH 0,5 M pada suhu 60oC semalaman. Kemudian dicuci kembali sampai netral, disaring dan dikeringkan pada suhu kamar. Produk kering ditambahkan HCl 5 % 100 mL dan dipanaskan hingga mendidih. Produk yang berbentuk bubur yang dihasilkan disimpan semalaman pada suhu kamar. Dicuci dengan air untuk menghilangkan kelebihan asam, disaring dan dikeringkan untuk mendapatkan selulosa dan kemudian dihitung kadarnya (Siddhanta, 2009). Rumus yang digunakan untuk menghitung kadar selulosa :

3.3.2. Uji Benedict

1 gram ekstrak selulosa dilarutkan dalam akuades secukupnya ke dalam gelas kimia, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 3 tetes pereaksi benedict sambil dikocok. Diamati perubahan warna yang terjadi.

(38)

Perubahan warna hijau, kuning, atau merah menunjukkan reaksi positif karbohidrat (Desyanti, 2013).

3.3.3. Uji Iodium

1 gram ekstrak selulosa di larutkan dalam akuades secukupnya ke dalam gelas kimia, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi dan ditambahkan 3 tetes pereaksi iodium sambil dikocok. Diamati perubahan warna yang terjadi. Perubahan warna coklat menunjukkan reaksi positif selulosa (Desyanti, 2013).

3.3.4. Uji FTIR (Fourier Trasform Infra Red)

Selulosa hasil ekstraksi dianalisis gugus fungsinya dengan Fourier Transform Infrared Spectrofotometer (FTIR). Sampel diletakkan dalam plat Zink Selenium kemudian dipadatkan, setelah itu diukur serapannya.

3.3.5. Uji XRD (X-ray diffraction)

Sisa selulosa hasil ekstraksi rumput laut Hypne spinella diambil 1 gram dan di uji XRD menggunakan merk MAXima tipe XRD-7000 dengan radiasi CuKα (λ=1,54 Å). Intensitas relatif direkam pada dari 10 hingga 80 dengan voltase 40 kV dan 30 mA. Perhitungan ukuran kristal digunakan persamaan Scherrer yaitu :

Dimana D merupakan ketebalan kristal yang juga dapat dianggap sebagai ukuran kristal (nm), K merupakan Konstanta (0,9), λ merupakan panjang gelombang

(39)

26

sinar-x yang digunakan pada waktu pengukuran (nm), B merupakan FWHM (Full Width at Half Maximum), dan θ merupakan sudut difraksi berasal dari data grafik 2θ pada difraktogram (Bahana, Ridho, 2010). Dan indeks kristalinitas (Cl) serta derajat kristalinitas (%Cr) dihitung dengan metode empiris segal yaitu :

Keterangan : CI : Indeks kristalinitas %Cr : Derajat kristalinitas

I002 : Intensitas puncak tertinggi yang sesuai dengan bidang pada sampel dengan indeks miller (002) pada sudut 2θ

(40)

27 BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Hasil Penelitian

Berdasarkan penelitian ekstraksi selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella diperoleh data uji kualitatif dan kuantitatif sebagai berikut :

Tabel 4.1. Kadar Selulosa Rumput Laut Hypnea spinella Sampel Selulosa (%) Rumput laut merah Hypnea spinella 8,42

Tabel 4.2. Uji Kualitatif Ekstrak Selulosa Rumput Laut Hypnea spinella

Sampel Hasil Pengamatan

Uji Benedict Uji Iodium Ekstrak selulosa rumput laut

Hypnea spinella Positif (Terbentuk warna hijau) Positif (Terbentuk warna coklat)

Tabel 4.3. Spektra FTIR Ekstrak Selulosa Rumput Laut Merah Hypnea spinella Bilangan Gelombang (cm-1) Gugus Fungsi Jenis Vibrasi

3456,59 O – H Stretching 2919,39 C – H Stretching 1455,35 CH2 Bending 1163,13 C – O Stretching 1249,93 C – O Stretching 897,90 C – H Bending 666-900 -(CH2)n Bending 4.2. Pembahasan

Analisis klasifikasi taksonomi rumput laut merah yang diambil dari Desa Gunong Cut, Kecamatan Sama Dua, Kabupaten Aceh Selatan, menunjukkan hasil sebagai berikut :

Regnum : Protista phyllum : Rhodophyta Classis : Florideophyceae

(41)

28

Ordo : Gigartinales Familia : Hypneaceae Genus : Hypnea

Spesies : Hypnea spinella

Ekstraksi selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella menggunakan metode soxhletasi dengan pelarut metanol 80% untuk menghilangkan lemak, protein, dan metabolit sekunder yang ada didalam komponen rumput laut. Moniriqsa (2012) menyatakan bahwa selulosa adalah komponen utama penyusun biomassa, dan juga merupakan komponen dasar pada dinding sel dan serat yang tersusun dari 1,4-β-glukopiranosa yang memberi kekuatan akan serat. Selulosa tidak pernah ditemukan dalam keadaan murni di alam, tetapi selalu berasosiasi dengan polisakarida lain seperti lignin, pektin, hemiselulosa, dan xilan, sehingga perlu dilakukan proses ekstraksi.

Serbuk rumput laut setelah melalui proses ekstraksi soxhletasi kemudian direndam dengan NaOCl 5% yang bertujuan untuk proses pemucatan dan menghilangkan sisa lignin yang terkandung dalam ekstrak selulosa (Susana, 2011). Proses delignifikasi pada penelitian ini menggunakan NaOH 0,5 M, berfungsi untuk melarutkan komponen nonselulosa yang ada pada rumput laut. Proses pemasakan dengan pelarut alkali akan mendegradasi lignin sehingga mengakibatkan lignin menjadi larut dalam air pada saat proses pencucian. Delignifikasi dilakukan karena lignin dapat meningkatkan kekakuan suatu senyawa. Kemudian dilanjutkan dengan hidrolisis asam, jenis asam yang digunakan adalah asam kuat yaitu HCl, yang bertujuan untuk meluruhkan hemiselulosa sehingga hanya selulosa yang terkandung dalam pulp. Hemiselulosa

(42)

perlu dihilangkan karena dapat meningkatkan kerapuhan senyawa (Pratiwi dkk, 2016).

Kadar selulosa yang didapatkan dari ekstraksi Hypnea spinella pada penelitian ini sebesar 8,42%. Namun pada penelitian sebelumnya dari Sari dkk (2013), meghasilkan kadar selulosa dari pengolahan agar Gracilaria sp sebesar 20,17 %. Sedangkan Septiany (2013), menghasilkan kadar selulosa dari rumput laut merah Gracilaria verrucosa sebesar 13,04 % dan Eucheuma cottonii sebesar 9,51%. Perbedaan selulosa pada rumput laut dapat dipengaruhi oleh musim, lokasi geografi, jenis spesies, umur panen, dan kondisi lingkungan (Ortiz dkk, 2006).

Ekstrak selulosa Hypnea spinella kemudian dianalisis secara kualitatif dengan pereaksi benedict dan iodium. Hasil dari uji benedict menunjukkan positif terhadap selulosa, karena adanya perubahan warna larutan dari sedikit kecoklatan menjadi warna hijau. Berdasarkan penelitian dari Kusbandari (2015), uji benedict menghasilkan endapan merah bata yang menandakan adanya gula pereduksi pada ekstrak selulosa. Endapan yang terbentuk dapat berwarna hijau, kuning atau merah bata tergantung pada konsentrasi gula reduksinya. Semakin berwarna merah bata maka gula reduksinya semakin banyak. Sedangkan hasil uji iodium juga menunjukkan positif terhadap selulosa karna menimbulkan perubahan warna dari warna sedikit kecoklatan menjadi warna lebih coklat. Menurut Desyanti (2013), Uji iodium bertujuan untuk mengidentifikasi polisakarida. Uji iodium juga dapat membedakan amilum dengan nitrogen. Reaksi antara polisakarida dengan iodin membentuk rantai poliiodida. Polisakarida umumnya membentuk rantai heliks (melingkar), sehingga dapat berikatan dengan iodin, dan terbentuk warna biru-ungu untuk amilum, coklat-merah untuk glikogen, dan coklat untuk selulosa.

(43)

30

Gambar 4.1. Spektra FTIR Ekstrak Selulosa Hypnea spinella

Analisis kuantitatif ekstrak selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella menggunakan FTIR menunjukkan adanya puncak serapan gugus O-H stretching muncul pada bilangan gelombang 3456,59 cm-1. Meenakshi dkk (2002) menjelaskan bahwa puncak tajam pada bilangan gelombang 3.700-3.100 cm-1 menunjukkan gugus -OH dengan stretching vibration serta menunjukkan adanya ikatan hidrogen intra-molekuler. Gugus C-O bending ditunjukkan pada bilangan gelombang 1163,13 cm-1 dan 1249,93 cm-1. Daerah serapan yang terjadi sekitar 1050-1300 cm-1 mengacu pada terdapatnya perenggangan C-O dan struktur dari komponen selulosa (Putera, 2012). Gugus C-H stretching ditunjukkan pada bilangan gelombang 2919,94 cm-1 dan gugus C-H bending pada bilangan gelombang 897,90 cm-1. Daerah serapan antara 666-900 cm-1 menunjukkan getaran C-H yang mengindikasikan adanya karakteristik penyerapan dari β-glycosidic. Dimana daerah resapan bersifat original berasal dari β-glycosidic yang menghubungkan antara unit glukosa pada selulosa (Putera, 2012) . Gugus fungsi O-H, C-H dan C-O β-glycosidic merupakan gugus utama selulosa (Thaiyibah dkk, 2016).

(44)

Selanjutnya ekstrak selulosa dianalisis XRD merk MAXima tipe XRD-7000 yang ditunjukkan pada lampiran 4. Menggunakan radiasi CuKα pada bilangan gelombang 1,54 Å dengan voltase 40 kV dan 30 mA. Intensitas relatif direkam pada dari 10 hingga 80 . Berdasarkan hasil difaktogram XRD, ekstrak selulosa dari Hypnea spinella memiliki tiga puncak tertinggi yang muncul pada sudut 2θ yaitu 26,7o

, 24,04o dan 22,3o. Pada puncak 2θ = 22,3o menunjukkan struktur selulosa dengan jarak 3,98339 Å, dengan indeks kritalinitas sebesar 81,43% serta derajat kristalinitas sebesar 84,34%. Dari penelitian Nisak (2018) menjelaskan puncak difraksi tersebut merupakan tipikal puncak selulosa dengan nilai 2θ daerah kristalin direntang 22o

. Doh (2019) juga menyatakan puncak pada 2θ = 22o

mewakili struktur selulosa yang khas pada rumput laut. Namun diperoleh hasil, dimana terdeteksi puncak pada sudut 2θ = 26,7o dengan indeks kristalinitas sebesar 96,9% dan derajat kristalinitas sebesar 97,04% serta memiliki ukuran kristal sebesar 1,39 nm. Hal ini kemungkinan adanya senyawa iota karaginan pada ekstrak selulosa. Berdasarkan hasil penelitian dari Ghani dkk, (2018) menunjukkan puncak difraksi iota karaginan pada 2θ = 25,5o. Pernyataan ini juga dibuktikan dengan munculnya bilangan gelombang 897,9 cm-1 pada uji FTIR yang menunjukkan senyawa galaktosa-4-sulfat yang dimiliki oleh struktur karaginan. Struktur karaginan yang ditunjukkan pada lebar spektrum 750 - 948 cm-1 adalah senyawa galaktosa-4-sulfat (Chayo dkk, 2018). Dari penelitian Roberto (2010), menyatakan bahwa fraksi polisakarida dari Hypnea spinella adalah karaginan. Sehingga Hypnea spinella dikenal sebagai rumput laut yang banyak memproduksi karaginan dari pada senyawa lainnya.

(45)

32

Difaktogram XRD daerah kristalin struktur selulosa menunjukkan intensitas minimum bidang amorf (Iam) terletak pada puncak 2θ = 14,5o dan intensitas kristal maksimum (I002) muncul pada puncak 2θ = 24,04o

. Dimana puncak tertinggi struktur selulosa pada penelitian ini menunjukkan jenis α- selulosa yang memiliki ukuran kristal sebesar 1,49 nm dengan indeks kristalinitas selulosa diketahui sebesar 85,9% dan derajat kristalinitas sebesar 87,6%. Derajat kristalinitas perlu diketahui untuk menetukan tingkat keteraturan penempatan atom-atom dalam suatu unit sel tertentu. Berdasarkan Hasil penelitian Siddhanta (2009) memperkirakan α-selulosa dari berbagai rumput laut muncul pada puncak 20-24o, sedangkan β-selulosa muncul pada puncak 20-22o. Puncak sudut difraksi dari selulosa rumput laut Hypnea spinella menunjukkan bahwa puncak dengan intensitas tinggi terdapat pada 2θ = 24,04o dengan nilai intensitas 624. Sedangkan puncak dengan intensitas rendah terdapat pada 2θ = 22,3o dengan intensitas sebesar 474. Sehingga struktur selulosa Hypnea spinella diperkirakan pada struktur α-selulosa. Karena struktur kristal α-selulosa banyak didapatkan dalam rumput laut. Selain itu, bentuk selulosa dinyatakan dominan polimorf dalam selulosa rumput laut.

(46)

33 BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan maka disimpulkan bahwa :

1. Ekstraksi selulosa dari rumput laut Hypnea spinella dilakukan dengan metode soxhletasi yang menggunakan pelarut metanol 80% melalui beberapa tahap, yaitu pembersihan, ekstraksi, pemucatan, delignifikasi, perendaman, dan pengeringan.

2. Kadar selulosa yang didapatkan dari ekstraksi rumput laut Hypnea spinella sebesar 8,42%

3. Hasil analisis kualitatif dengan benedict dan iodium menunjukkan positif terhadap selulosa. Serta analisis kuantitatif menggunakan FTIR menunjukkan puncak serapan O-H (3456,59 cm-1), C-H (2919,39 cm-1), dan C-O (1050-1300 cm-1) terhadap ekstrak selulosa. Dan uji XRD struktur kristal selulosa menunjukkan puncak difraksi pada 2θ = 22,3o. Jenis selulosa yang didapatkan dari rumput laut Hypnea spinella merujuk pada α-selulosa yang memiliki ukuran kristal sebesar 1,49 nm dengan indeks kristalinitas 85,9% dan derajat kristalinitas sebesar 87,6%.

5.2. Saran

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disarankan sebagai berikut : Selulosa hasil ekstraksi dari rumput laut merah Hypnea spinella sebaiknya dimanfaatkan lebih lanjut untuk kebutuan ekonomis seperti pembuatan membran.

(47)

34

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Amaranggana, L., & Nasrul, W. (2017). Manfaat alga merah (Rhodophyta) sebagai sumber obat dan bahan alam. Jurnal farmasi, 2(1), 16-19.

Anam, C., Sirojudin, K., & Sofjan, Firdausi. (2007). Analisis gugus fungsi pada sampel uji, bensin dan spiritus menggunakan metode spektroskopi FTIR. Berkala Fisika, 10(1), 79–85.

Andrade, C., Azero, E., Luciano, L., & Gonçalves, M. (2000). Rheological properties of mixtures of κ-carrageenan from Hypnea musciformis and galactomannan from Cassia javanica. International Journal of Biological Macromolecules, 27(5), 349–353.

Anton. (2017). Pertumbuhan dan kandungan agar rumput laut (Gracilaria sp) pada beberapa tingkat salinitas. Jurnal Airaha, 6(2), 54-64.

Bold, H.C., & M. J. Wynne. (1985). Introduction to the algae. USA : Prentice Hall.

Chayo, D. A., Syamsul, A., dan Lukman, N. H. (2018). Pengaruh konsentrasi pada ekstraksi karaginan dari alga hijau (Chlorophyceae) di Bontang. Jurnal Chemurgy, 2(1), 12-16.

Darwis, A. (2017). Pengenalan dasar X-Ray difraksi. Artikel ilmiah. Makassar : UIN Alauddin.

Desyanti. 2013. Metode Analisi Kualitatif dan Kuantitatif Karbohidrat. http://www. Analisa_kualitatif_dan_kuantitatif_karbohidrat.pdf. Diakses pada tanggal 24 Oktober 2019.

Doh, H., Lee, M. H., and Whiteside, W. S. (2019). Physicochemical Characteristics of Cellulose Nanocrystals Isolated From Seaweed Biomass. Food Hydrocolloids, 102(6), 105-542.

Fessenden, R.J., and J. S. Fessenden. (1986). Kimia Organik Dasar. Edisi Ketiga. Jilid 1. Terjemah Pudjaatmakan. Erlangga : Jakarta.

Fitriani, D. (2007). Ekstraksi selulosa dari limbah pembuatan karaginan. Jurnal Packapanen dan Bioteknologi, 2(2), 91.

Ghani, N.A.A., Othaman, R., Ahmad, A., Anuar, F.H., dan Hassan, N. H. (2018). Impact of purification on iota carrageenan as solid polymer electrolyte. Arabian Journal of Chemistry, 12(3), 370-376.

(48)

Hamsina. (2005). Karakteristik beberapa jenis antibiotik berdasarkan pola difraksi sinar-X (XRD) dan spektrum FTIR. Journal Marina Chimica Acta, 1(3), 1-10.

Hanna, M., Biby, G., and Miladinov, V. (2001). Production of microcrystalline cellulose by reactive extrusion, US Patent.

Husni, D. A.P., Erwin A. R., dan Ruslan. (2018). Pembuatan Membran Selulosa Asetat dari Selulosa Pelepah Pohon Pisang. Jurnal kimia, 4(1), 41-52. Istiqomah. (2013). Perbandingan metode ekstraksi maserasi dan sokletasi terhadap

kadar piperin buah cabe jawa (piperin retrofacti fructus). Skripsi. Jakarta : Fakultas kedokteran dan ilmu kesehatan UIN Syarif Hidayatullah. Jacquet, N., Vanderghem, D., Quievy, N., Blecker, C., Devaux, J., dan Paquot, M.

(2012). Influence of steam explosion on physicochemical properties and hydrolysis rate of pure cellulose fibers, Bioresource Technol, 121, 221-227.

Joice, S. G. S. (2010). Pengaruh variasi metode ekstraksi secara maserasi dan alat soklet terhadap kandungan kurkuminoid dan minyak atsiri dalam ekstrak etanolit kunyit. Skripsi. Yokyakarta : Fakultas farmasi Universitas Sanata Dharma.

Jufrinaldi. (2018). Isolasi selulosa dari bagas tebu melalui pemanasan radiasi gelombang mikro. Jurnal Ilmu Teknik KimiaUNPAM. 2(2), 36-46. Kadi, A. 2007. Kondisi habitat dan komunitas makro algae di perairan Pulau

Simeulue Aceh Barat paska tsunami. Oseanologi dan Limnologi di Indonesia-LIPI 33:427-439.

Kentjana, Y. P., Setiawan, Y., Endang, R. C. C., dan Casmara. (2002). Penentuan kondisi optimum pembuatan selulosa asetat untuk bahan membran prosiding. Balai besar penelitian dan industri selulosa. Bandung.

Kusbandari, A. (2015). Analisis kualitatif kandungan sakarida dalam tepung dan pati umbi ganyong (Canna edulisker). Jurnal farmasi, 5(1), 35-42.

Mardiana., Sukiman., Sri, P.A., dan Mursal, G. (2018). Identifikasi makroalga epifit pada budidaya rumput laut kappaphycus alvarezii di perairan teluk

gerupuk kabupaten lombok tengah. Diakses dalam

http://eprints.unram.ac.id/11276/1/JURNAL%20MARDIANA.pdf Diakses pada tanggal 22 November 2019.

Meenakshi, P., S. E. Noorjahan,. R. Rajini., U. Venkateswarlu., C. Rose and T.P. Sastry. (2002). Mechanical and Microstructure Studies On The Modification of Cellulose Acetate (CA) Film by Blending with Polystyrene (PS). Bulletin Material Science, 25(1), 25-29.

(49)

36

Moniriqsa, D., Niken, O., Andriani, A., Dormian, A. N., Haloho., Lestari, S., Arison, Mi., Adi, S., dan Aldes, L. (2012). Ekstraksi Selulosa dari Kayu Gelam (Melaleuca leucadendron Linn) dan Kayu Serbuk Industri Mebel. Jurnal penelitian sains. 15(3), 96.

Muchlisin, Z. A., M. Nazir dan M. Musman. (2012). Pemetaan potensi daerah untuk pengembangan kawasan minapolitan di beberapa kawasan dalam Provinsi Aceh. Depik jurnal. 1(1), 68-77.

Mukhriani. (2014). Ekstraksi pemisahan senyawa dan identifikasi senyawa aktif. Jurnal kesehatan. 7(2), 361-367.

Naure, F., Natalia, R., Guimaraes., Valeria, C., Nair, S., Yokoya., dan Mariana, C. O. (2014). Hypnea species (Gigartinales, Rhodophyta) from the southeastern coast of Brazil based on molecular studies complemented with morphological analyses, including descriptions of Hypnea edeniana sp. nov. and H. flava sp. Jurnal phycol. 49(4), 550-575.

Nisak, A. (2018). Optimasi konsentrasi nanokristalin selulosa dan ampas tebu (Sugarcane officinarum) sebagai bahan alternatif pembuatan kapsul bebas gelatin. Skripsi. Malang : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan. UIN Maulana Malik Ibrahim.

Nontji, A. (2007). Laut Nusantara. Penerbit Djambatan : Jakarta

Nurhayati, dan Rinta, K. (2014). Sintesis selulosa asetat dari limbah pengolahan agar. JPB perikanan. 9(2), 97-107.

Ortiz, J., N. Romero, P. Robert, J. Araya, H.J. Lopez, C. Bozzo, E. Navarrete, A. Osorio, and A. Rios. 2006. Dietary fiber, amino acid, fatty acid and tocopherol contents of the edible seaweeds Ulva lactuca and Durvillaea antarctica. Food Chemistry, 99:98-104.

Pratiwi, R., Driyanti, R., Melisa, I., dan Barliana. (2016). Pemanfaatan selulosa dari limbah jerami padi (Oryza sativa) sebagai bahan bioplastik. Jurnal farmasi. 3(3), 83-91.

Puspitasari, A. D., dan Prayogo, L. S. (2017). Perbandingan metode ekstraksi maserasi dan sokletasi terhadap kadar fenolik total ekstrak etanol daun kersen (Muntingia calabura). Jurnal ilmiah cendekia eksakta. ISSN 2528-5912.

Putera, R. D. H. (2012). Ekstraksi serat selulosa dari tanaman eceng gondok (Eichornia crassipes) dengan variasi pelarut. Skripsi. Depok : Fakultas Teknik. Universitas Indonesia.

Riyadi, W. (2009). Uji Kualitatif Karbohidrat. Diakses dalam http://wahyuriyadi.blogspot.com//2009/10/uji-kualitatif-karbohidrat.html Diakses pada tanggal 24 Oktober 2019.

(50)

Roberto, T., Abdala, D., Mariana, C., Alejandro, C.P., Juan, L.G.P., Felix, L., dan Figueroa. (2010). Characterization of polysacharides from Hypnea spinella (Gigartinales) and Halopithys incurva (Ceramides) and their effect on RAW 264.7 macropage activity. J Appl Phycol, 23, 523-528. Sahat, H. J. (2013). Rumput laut indonesia. Jakarta : Remarkable Indonesia. Sampaio, A., Rangel Miguel, T., Schmidt, E., Bouzon, Z., P. Nascimento, F., Da

Cunha, M., Miguel, E. (2014). Morphology, ultrastructure and immunocytochemistry of Hypnea cervicornis and Hypnea musciformis-(Hypneaceae, Rhodophyta) from the coastal waters of Ceará, Brazil. Journal of Microscopy and Ultrastructure, 2(2), 104.

Sari, R.N., Sugiyono, & L. Assadad. (2013). Optimasi Waktu Proses Hidrolisis dan Fermentasi dalam Produksi Bioetanol dari Limbah Pengolahan Agar (Gracilaria sp) Industri. JPB Perikanan. 8(2), 33-142.

Septiany, I. (2013). Produksi bioetanol dari selulosa alga merah dengan sistem fermentasi dua tahap menggunakan jamur Trichoderma viride dan bakteri zymomonas mobilis. Tesis. Makassar : Program pascasarjana Universitas Hasanuddin.

Setiabudi, A., Rifan, H., dan Ahmad, Mr. (2012). Prinsip dan Aplikasinya dalam Penelitian Kimia. UPI PRESS : Bandung.

Shiddhanta, A. K., Prasad, K., Ramavatar, M., Gayatri, P., Gaura, K., Mehta Mahesh, U., Chhatbar, M. D., Oza, S. K., Naresh, D., dan Sanandiya. (2009). Profiling of cellulose content in indian seaweed species. Bioresource Technology. 100, 6669-6673.

Sousa, N.A., Baros, F.C.N., Araújo, T.S.L., Costa, D.S., Souza, L.K.M., Sousa, F.B.M., Medeiros, J.V.R. (2016). The efficacy of a sulphated polysaccharide fraction from Hypnea musciformis against diarrhea in rodents. International Journal of Biological Macromolecules, 86, 865– 875.

Suparmi, dan Achmad, S. (2009). Mengenal Potensi Rumput Laut: Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Rumput Laut dari Aspek Industri dan Kesehatan. Jurnal Sultan Agung. 154(118), 95 – 116.

Susana. (2011). Ekstraksi selulosa limbah mahkota nanas. Jurnal vokasi.7(1), 87-94.

Suseno, E., Jatmiko.,dan Firdausi, S. K. (20018). Rancang Bangun Spektroskopi FT-IR (Fourier Transform Infrared) Untuk Penentuan Kualitas Susu Sapi. Berkala Fisika,1(1), 23–28.

(51)

38

Thaiyibah, N., Alimuddin., Aman, S., dan Panggabean. (2016). Pembuatan dan karakterisasi membran selulosa asetat-PVC dari eceng gondok (Eichornia crassipes) untuk adsorpsi logam tembaga II. Jurnal kimia mulawarman. 4(1), 29-35.

Thobias, T. (2017). Kualitas Rumput Laut Merah (Kappaphycus alvarezi) dengan metode pengeringan sinar matahari. Jurnal Media Teknologi Hasil Perikanan. 5(2), 152-153.

Trono, G. C dan E. T. Ganzon-Fortes. (1988). Philippines Seaweeds. National Book Store, Inc. Publisher. Metro Manila, The Philippines.

Umaningrum, D., Radna, N., Maria, D. A., Mardhatillah., Ani, M., dan Diah, M. (2018). Isolasi selulosa dari jerami padi menggunakan variasi konsentrasi basa. Sains dan Terapan Kimia. 12(1), 25-33.

Wibowo, S., Rosmawati, P., Muhammad, D., dan Arif, R. (2014). Teknik pengolahan ATC dari rumput laut Eucheuma cattonii. Penebar swadaya: Jakarta.

(52)

39

LAMPIRAN-LAMPIRAN Lampiran 1. Skema kerja

1.1.Ekstraksi selulosa dari rumput laut merah Hypnea spinella

- Di bersihkan dengan air mengalir

- Dikeringkan dibawah sinar matahari selama 4 hari

- Dipotong-potong dan dihaluskan menggunakan blender panasonic hingga berbentuk serbuk.

- Diayak dengan pengayak biasa (Ayakan tepung).

- Diekstraksi berulang dengan metanol 80% (250 mL x 4) menggunakan metode soxhletasi selama 4 hari pada suhu 80oC sampai pelarut yang digunakan sedikit jernih.

- Sampel direndam dalam 450 mL NaOCl 5% pada suhu 60 ◦C selama 3 jam

- Massa sampel dicuci dengan air sampai pH 7 dan disaring - Sisa penyaringan Ditambahkan 300 mL NaOH 0,5 M pada

suhu 60 ◦C semalaman.

- Kemudian dicuci kembali sampai netralitas, disaring dan dikeringkan pada suhu kamar

- Produk kering ditambahkan HCL 5% 100 mL dan dipanaskan hingga mendidih.

- Produk yang berbentuk bubur yang dihasilkan disimpan semalaman pada suhu kamar

- Dicuci dengan air, disaring dan dikeringkan.

-1.2.Uji Benedict

- Dilarutkan dalam aquades

- Dimasukkan kedalam tabung reaksi - Ditambahkan 3 tetes pereaksi benedict - Diamati perubahan warna

sampel

50 gram sampel

Ekstrak selulosa

1 gram ekstrak selulosa

(53)

40

1.3.Uji iodium

- Dilarutkan dalam aquades

- Dimasukkan kedalam tabung reaksi - Ditambahkan 3 tetes pereaksi iodium - Diamati perubahan warna

1 gram ekstrak selulosa

(54)

Lampiran 2. Perhitungan 1. Pengenceran Metanol 80%

Keterangan :

M1 : Konsentrasi awal

M2 : Konsentrasi yang ingin dibuat V1 : volume yang awal

V2 : volume yang akan dibuat

2. Pembuatan NaOH 0,5 M sebanyak 300 mL

Keteranga :

M : Molaritas

Mr : Massa molekul relatif V : Volume 3. Kadar selulosa

Gambar

Tabel 4.1. Kadar Selulosa ...............................................................................
Gambar 2.1. Rumput Luat Merah Hypnea Spinella ( Dokumen pribadi).
Gambar 2.2. Struktur Selulosa
Gambar 2.3. Struktur Alfa Selulosa
+3

Referensi

Dokumen terkait

Gencarnya upaya Indonesia meningkatkan daya saing rumput laut di pasar ASEAN pada tahun 2012-2014 menjadikan Indonesia menempati posisi pertama dalam produksi rumput

Pada penelitian ini, pembuatan membran elektrolit selulosa asetat dilakukan beberapa tahap, yaitu isolasi selulosa daun pandan laut, dilanjutkan sintesis selulosa

(2014) menyatakan bahwa metanol merupakan pelarut yang paling baik dalam mengekstraksi total karotenoid pada rumput laut diikuti oleh DMSO dan aseton.. Limantara dan Heriyanto

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian ekstrak rumput laut Ascophyllum nodosum dengan bentuk serbuk dan cair yang memberikan hasil terbaik

Modul dengan judul Pengolahan Rumput Laut ini berisi uraian mengenai cara pengolahan selai rumput laut, nata rumput laut, dodol rumput laut dan permen rumput laut. Modul ini

Tujuan jangka panjang penelitian ini adalah meningkatkan produksi rumput laut jenis Eucheuma di Nusa Tenggara Barat dengan berbagai metode budidaya untuk menghasilkan rumput laut yang

Hasil uji fitokimia pada ekstrak metanol rumput laut merah Eucheuma spinosum segar dan kering keduanya sama-sama mengandung golongan senyawa flavonoid, alkaloid, terpenoid, saponin dan

Diagram pemrosesan rumput laut segar menjadi bubuk/tepung rumput laut Penambahan bubuk Eucheuma cottonii pada makanan dapat meningkatkan dan melengkapi serat pangan dan kandungan