• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA: SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MASJID JAMI PITI LAKSAMANA MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA: SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA

MASJID JAMI PITI LAKSAMANA

MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA:

MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA:

MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA:

MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA:

MUHAMMAD CHENG HO PURBALINGGA:

SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

SIMBOL KEINDAHAN TOLERANSI

DALAM

DALAM

DALAM

DALAM

DALAM AKUL

AKUL

AKUL

AKUL

AKULTURASI

TURASI

TURASI

TURASI

TURASI

Dinda Wulan Afriani

STAIN Purwokerto

Jl. Ahmad Yani 40-A, Purwokerto-53126. Telp. (0281) 635624

E-mail: dinda.kamaya@yahoo.com

HP. +62-85642523828

Abstrak: Abstrak: Abstrak:

Abstrak: Abstrak: Artikel ini menganalisis salah satu masjid unik di Indonesia yang terletak di Kabupaten Purbalingga, Jawa Tengah. Masjid Laksamana Muhammad Cheng Ho Purbalingga merupakan salah satu dari tiga masjid Cheng Ho di Indonesia. Kehadiran masjid ini merupakan wujud simbol keindahan toleransi antar etnis dan budaya dalam sebuah akulturasi. Bentuk arsitektur masjid ini merupakan perpaduan dari budaya Islam-Tiongkok-Arab-Jawa. Keistimewaan masjid ini bukan hanya terletak pada bentuk arsitektur bangunan dan ragam hias arsitekturnya saja. Namun juga pada keindahan makna dan nilai falsafah kehidupan yang terkandung di dalamnya, yang tentu saja selaras dengan peran sertanya dalam masya-rakat. Dalam membaca tanda dan makna, artikel ini juga menyajikan penalaran melalui metode semiotika visual secara singkat namun cukup padat.

Kata Kunci: Kata Kunci:Kata Kunci:

Kata Kunci:Kata Kunci: Masjid, Cheng Ho, Akulturasi, Simbol, Ornamen, dan Arsi-tektur.

A. P

ENDAHULUAN

Islam di Indonesia mengalami sejarah dan perkembangan yang cukup unik dengan adanya akulturasi budaya. Indonesia dengan keberagaman budaya memiliki harmonisasi yang terjalin sangat erat dalam beragam. Hal itu salah satunya tercermin dalam arsitektur masjid, lengkap dengan ragam hias orna-mennya. Masjid pun menjadi salah satu perwujudan akulturasi budaya.

Dalam keyakinan Islam, masjid juga sering disebut baitullah yang berarti rumah Allah. Maka dari itu, kehadiran sebuah masjid pun menjadi sangat

(2)

istimewa. Keistimewaan masjid juga dijelaskan pada sebuah hadis riwayat Muslim dalam sahihnya, bahwa Rasulullah telah bersabda “Bagian negeri yang paling Allah cintai adalah masjid-masjidnya”.

Masyarakat Muslim biasanya membangun masjid dengan bergotong-royong, baik dalam hal perencanaan, pendanaan sampai tenaga. Masyarakat muslim percaya bahwa membangun masjid merupakan suatu ibadah jariah yang diartikan sebagai ibadah yang mengandung pahala abadi, selama masjid yang dibangun nantinya masih digunakan sebagai tempat untuk beribadah.

Rasulullah bersabda: “barang siapa membina (membangun) masjid karena Allah dan mengharapkan keridaanNya, maka Allah akan membuat rumah baginya dalam surga”

Masjid memang identik dengan Islam sebagai agama yang diturunkan Allah SWT dijazirah Arab. Namun, seiring ekspansi dakwah rasul beserta sahabat yang sangat luas, maka Islam pun sampai di berbagai penjuru negeri di bumi ini. Beberapa diantaranya, di negeri Tiongkok dan Indonesia.

Tiongkok atau Cina sebagai sebuah negeri yang kaya akan tradisi dan budaya, ternyata juga telah mendapatkan sentuhan ajaran Islam kira-kira sejak pertengahan abad ke 7 (577-656). Sa’ad bin Abi Waqqash, seorang utusan di zaman Khalifah Ustman bin Affan yang bertugas mengenalkan ajaran Islam di tanah Cina. Tidak heran, pada saat itu pun telah di bangun sebuah masjid pertama di daratan Cina, letaknya di Guangzhou bernama masjid Huai Sheng (Yuanzhi, 2007: 277-279).

Di Indonesia sendiri, proses Islamisasi telah mempengaruhi berbagai aspek kehidupan, tradisi, dan budaya asli masyarakatnya. Menurut sejarah dan per-kembangan, teori tentang masuknya Islam ke Indonesia adalah melalui para saudagar dari berbagai penjuru dunia. Baik itu dari Arab, Persia, India, juga Cina (Sunanto, 2005: 7). Dengan demikian, maka akulturasi budaya pun terjadi seiring dengan harmonisasi Islamisasi.

Lalu seperti apakah wajah akulturasi kebudayaan Islam-Cina di tanah Jawa jika terwujud dalam sebuah masjid? Bagaimana pula makna simbol dan ragam hias ornamen yang ada pada masjid tersebut? Tulisan ini hadir untuk mema-parkan akulturasi budaya dalam arsitektur s masjid yang unik nan menawan, yaitu Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Ho Purbalingga. Selain itu, tulisan ini juga berusaha mengungkap sisi filosofis pahatan ragam hias ornamen dan arsitektur, serta peran fungsinya di masyarakat.

(3)

B. K

ONSEP

K

ONTRUKSI

A

RSITEKTUR

M

ASJID

C

HENG

H

O

P

UR

-BALINGGA

Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Ho Purbalingga berada di grumbul Mejingklak Rt 3 Rw 4, desa Selaganggeng, Kecamatan Mrebet, Kabupaten Purbalingga Jawa Tengah. Masjid yang mulai dibangun kira-kira pada tahun 2005 dan diresmikan pada 5 Juli 2011 ini merupakan satu dari tiga masjid Cheng Ho di Indonesia. Dua masjid Cheng Ho Indonesia yang sebelumnya telah dibangun, adalah Masjid Jami Cheng Ho Surabaya dan Masjid Cheng Ho Palembang.

Sesuai dengan namanya, masjid Cheng Ho Purbalingga adalah masjid yang bernuansa budaya Tiongkok (Cina). Salah satu latar belakang dibangunnya masjid Cheng Ho di Indonesia, adalah untuk mengenang dan menghormati jasa seorang bahariwan muslim Cina bernama Laksamana Muhammad Cheng Ho, yang dalam sejarah diceritakan sebagai salah seorang tokoh pembawa risalah Islam di Nusantara (wawancara dengan Bpk Untung, Ketua Imam masjid Cheng Ho Purbalingga).

Masjid Jami PITI Muhammad Cheng Ho Purbalingga dibangun atas inisiatif seorang warga setempat yang merupakan mualaf keturunan Cina bernama Herry Wakong. Dengan bangun rancang yang unik dan istimewa di bawah naungan Persatuan Imam Tauhid Indonesia (PITI) cabang Purbalingga. Bergaya arsitektur khas Cina dikombinasikan dengan sentuhan budaya Arab dan Jawa sehingga terjadi satu akulturasi budaya yang mengemuka dalam wujud masjid jami yang elok, bersih dan enak dipandang mata. Hal itu ditopang dengan nilai-nilai seni dan budaya lewat sentuhan tangan-tangan para ahli yang punya kemampuan dan capable di bidangnya baik dari sisi teknik bangunannya sendiri maupun arsitekturnya (Suparjdo, 2011: 2-3). Sehingga pada saat ini, bisa dilihat dan dinikmati model atap, pilar-pilar dan bagian-bagian yang sangat bervariasi pada masjid ini. Konsep pembangunan masjid Cheng Ho Purbalingga sendiri, mengacu pada konsep masjid Cheng Ho Surabaya.

Sepintas, masjid Cheng Ho Purbalingga ini serupa dengan bangunan klenteng atau tempat ibadah umat Tridharma. Dominan warna merah menghiasi masjid ini, lengkap dengan hiasan dan ornamennya. Di teras masjid sebelum pintu masuk, terdapat sebuah bedug berukuran tidak terlalu besar sebagai pelengkap masjid. Sentuhan nuansa Tiongkok hadir dalam lampu-lampu lampion merah yang cantik. Kemudian pada bagian atas pintu masuk, terdapat sambutan papan nama masjid Cheng Hoo yang ditulis dengan huruf mandarin.

(4)

Pintu masuknya terbuat dari kayu, diukir rapi dengan gaya Tiongkok, namun ukirannya membentuk lafadz “Allah”.

Saat pertama kali masuk kedalam masjid Cheng Ho Purbalingga ini, maka kita akan sangat dibuat terkesan dengan segala perpaduan simbol ornamennya. Fokus pertama pada bagian kubah masjid yang berbentuk segi delapan, juga dilengkapi ukiran melingkar yang membentuk lafadz “Allah”. Sementara itu, rangka atap bagian dalam masjid disusun rapi dengan gaya khas rumah Jawa (usuk). Jendela masjid juga berbentuk segi delapan dengan kaca hias warna kombinasi yang menyala. Senada dengan lantai dan karpet merahnya, semakin membuat ruangan masjid ini seakan-akan “menyala”. Apalagi ditambah dengan lampu hias berukuran cukup besar, yang membuat ruangan masjid ini menjadi indah. Beberapa lampion didalam masjid juga dihiasi lafadz “Allah” dan “Muhammad”. Dinding di dalam masjid juga dilengkapi ornamen kaligrafi arab yang semakin membuat masjid ini benar-benar menjadi sangat unik dan istimewa. Dari sisi sosial, kontruksi masjid Cheng Ho ini juga dikonsep untuk semakin menyatukan masyarakat serta untuk menambah daya tarik wisata di Kabupaten Purbalingga.

Sejak diresmikan pada tahun 2011, masjid Cheng Ho Purbalingga sudah mulai digunakan oleh masyarakat sekitar untuk berbagai kegiatan ibadah seperti sholat berjamaah, majelis ta’lim, sholat Jum’at dan sholat hari raya. Karena konsep bangunannya yang unik, maka masjid ini juga sering di jadikan pilihan untuk melaksanakan prosesi akad nikah dan lokasi foto pre-wedding. Masjid ini juga tidak pernah sepi pengunjung, baik di waktu sholat maupun di luar waktu sholat. Pengunjung rata-rata adalah para musafir atau orang yang sedang dalam perjalanan dan tidak sengaja melewati kawasan tersebut. Para pengun-jung dari berbagai penjuru yang mampir ke masjid ini rata-rata mampir untuk beribadah, beristirahat atau sekedar berfoto-foto menikmati keindahan dan keunikan masjid ini (wawancara dengan Teguh, Penjaga Masjid).

C. S

EMIOTIKA

V

ISUAL DAN

M

AKNA

V

ISUALITAS

A

RSITEKTUR

M

ASJID

C

HENG

H

O

P

URBALINGGA

Semiotika visual (visual semiotics) (dalam Budiman, 2003: 13) pada dasarnya merupakan salah sebuah bidang studi semiotika yang khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan (visual senses). Salah satu tokoh pelopor dari konsep dasar ilmu adalah Charles Sanders Pierce. Pierce dalam semiotika komunikasi melihat tanda (representament) sebagai bagian yang tak terpisahkan dari objek refe-rensinya serta pemahaman subjek atas tanda (interpretant) (Sobur, 2003: xii).

(5)

Dalam gagasannya, Pierce mengatakan bahwa sebuah tanda atau repre-sentament adalah sesuatu yang bagi seseorang mewakili sesuatu yang lain dalam beberapa hal atau kapasitas. Sesuatu yang lain itu dinamakan sebagai interpretant dari tanda yang pertama pada gilirannya mengacu kepada objek. Dengan demikian, sebuah tanda atau representament memiliki relasi triadik langsung dengan interpretant dan objeknya. Lalu muncul istilah proses semiosis yang merupakan suatu proses yang memadukan entitas yang disebut sebagai representament satu dengan entitas lain yang disebut sebagai objek. Proses semiosis ini sering pula disebut sebagai signifikasi (signification)

(Budiman, 2003:25-26).

Secara sederhana, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda (Sobur, 2003: 15).

Memang, tidaklah sederhana dalam menjelaskan semiotika. Namun dalam perkembangannya, bisa diambil telaah yang sekiranya cukup simpel melalui upaya klasifikasi yang dikerjakan oleh Pierce terkait semiotika visual. Pem-bedaan tipe-tipe tanda telah dibagi menjadi beberapa diantaranya : ikon (icon), indeks (index) dan simbol (symbol) (Budiman, 2003: 29).

1. Ikon (ikon) (dalam Budiman, 2003: 29) adalah tanda yang mengandung kemiripan “rupa” (resemblance) sebagaimana dapat dikenali oleh para pema-kainya. Di dalam ikon hubungan antara representament dan objeknya terwujud sebagai “kesamaan dalam beberapa kualitas”. Suatu peta atau lukisan, misal-nya, memiliki hubungan ikonik dengan objeknya sejauh di antara keduanya terdapat keserupaan. Hal ini tentu dapat diterapkan pada pola arsitektur masjid Cheng Ho Purbalingga yang memang, secara bentuk bangunannya memiliki “keserupaan”, “kesamaan” atau “kemiripan” dengan bangunan klenteng atau tempat ibadah umat Tridharma dari negeri Tiongkok. Terlepas dari makna falsafah yang sesungguhnya, eksistensi masjid Cheng Ho Purbalingga secara visual telah menjadi sebuah ikon toleransi antara 2 umat, yaitu Islam dan Tri-dharma. Atau sah saja jika disebut sebagai ikon dari akulturasi 2 budaya, Islam-Tiongkok.

2. Indeks (index) adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya bersifat konkret, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Misalnya : jejak tela-pak kaki di atas permukaan tanah merutela-pakan indeks dari seseorang yang telah lewat disana (Budiman, 2003: 31). Jika konsep indeks ini digunakan untuk memandang keberadaan masjid Cheng Ho Purbalingga, maka bisa saja secara visual bermakna beberapa kemungkinan di antaranya : masjid tersebut merupakan indeks dari eksistensi etnis Muslim-Tionghoa di sekitar wilayah tersebut. Bisa jadi, sebuah indeks bahwa masjid tersebut dibangun oleh seorang

(6)

tokoh Muslim-Tionghoa, atau bahkan karena masjid tersebut ber papan nama masjid “Muhammad Cheng Ho”, dengan demikian lewat pemaknaan visual akan menghasilkan semacam “indeks prasangka” bahwa tokoh bernama Muhammad Cheng Ho adalah seorang tokoh penting dan pernah mukim atau mampir di kawasan tersebut.

3. Simbol (Symbol), yang merupakan jenis tanda yang bersifat arbitrer dan konvensional (Budiman, 2003: 32). Secara etimologis, simbol (symbol) berasal dari kata Yunani “sym-ballein” yang berarti melemparkan bersama suatu (benda, perbuatan) dikaitkan dengan suatu ide (Hartoko & Rahmanto, 1998: 133). Simbol atau lambang menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah semacam tanda, lukisan, perkataan, lencana dan sebagainya, yang menyatakan sesuatu hal, atau mengandung maksud tertentu.

Ketika konsep simbol ini digunakan untuk memandang wajah arsitektur multikultural dari masjid Cheng Ho Purbalingga, sekiranya boleh mengatakan bahwa secara visual, kehadiran masjid Cheng Ho di Kabupaten Purbalingga menjadi simbol keindahan akulturasi budaya sekaligus menjadi simbol kerukunan antar etnis dan agama (toleransi). Selain itu, kehadiran masjid Cheng Ho ini juga menjadi simbol daya tarik wisata religi di Kabupaten Purbalingga.

D. M

EMBACA

M

AKNA

S

IMBOL DAN

R

AGAM

H

IAS

O

RNAMEN

M

ASJID

C

HENG

H

O

P

URBALINGGA

M

ELALUI

M

ATA

R

ETORI

-KA

C

ITRA

Setelah beberapa kali mengunjungi, mengumpulkan data, serta sempat berdialog dengan pengurus masjid Cheng Ho Purbalingga, penulis menyadari bahwa keindahan dan keunikan masjid Cheng Ho Purbalingga tidak terlepas dari falsafah maupun ‘mitos’ atau mitologi dalam ragam hias ornamennya. Untuk dapat membaca makna simbol dan ragam hias ornamen dari masjid Cheng Ho Purbalingga dari tinjauan semiotika visual, maka tidak ada salahnya jika kita menggunakan “mata” dari seorang tokoh semiotika, Roland Barthes. Dalam teori retorika citranya, Barthes (dalam Budiman, 2003: 70) mengatakan bahwa “apabila kita secara khusus hendak membaca mitos-mitos yang bersifat citrawi, kita lebih dahulu harus membedakan dua buah tipe pesan yang niscaya terkandung didalam sebuah citra”. Barthes mengklasifikasikan dua tipe pesan yang niscaya terkandung dalam sebuah citra.

1 .

1 .

1 .

1 .

1 . Citra Ikonik

Citra Ikonik

Citra Ikonik

Citra Ikonik

Citra Ikonik

Hal yang dimaksud oleh Barthes citra itu sendiri sebagai pesan ikonik (iconic message) yang dapat kita lihat, entah berupa adegan (scene), lanskap

(7)

atau relitas harfiah yang terekam. Citra sendiri menurut Barthes (1984: 17 dan 33-36 dalam Budiman, 2003: 70), dibedakan menjadi dua tataran : (1). Pesan harfiah atau pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message) dan (2). Pesan simbolik atau pesan ikonik berkode (coded iconic message).

Pesan harfiah atau pesan ikonik tak berkode (non-coded iconic message) sebagai analogon itu sendiri, merupakan tataran denotasi citra yang berfungsi untuk menaturalkan pesan simbolik. Pesan harfiah misalnya terkait makna warna-warna yang mendominasi masjid Cheng Ho Purbalingga. Warna dalam arsitektur Cina mengandung makna dan simbolisasi yang sangat mendalam. Karena warna merupakan simbol dari lima elemen, dan masing-masing memiliki makna sendiri. Lima elemen unsur dasar tersebut merupakan penggambaran dari Yin dan Yang (simbol keseimbangan dalam mitologi Cina). Unsur-unsur tersebut adalah : Shui (Air), Huo (Api), Mu (Kayu), Chin (Logam),

Tu (Tanah) (Moedjiono, 2011: 22).

Secara keseluruhan, Masjid Cheng Ho Purbalingga didominasi oleh warna merah, hijau dan putih. Makna warna merah dalam arsitektur Cina merupakan simbol unsur api (Huo) yang melambangkan kegembiraan, harapan, keber-untungan dan kebahagiaan. Warna hijau merupakan simbol unsur kayu (Mu) yang melambangkan panjang umur, pertumbuhan dan keabadian. Kemudian warna putih simbol dari unsur logam (Chin) yang menjadi lambang kedudukan dan kesucian.

Ketiga warna tersebut, merupakan warna-warna yang dianggap melam-bangkan makna dan pesan yang sakral dan penting dalam mitologi kepercayaan Cina. Namun ketika warna-warna tersebut diaplikasikan dalam sebuah masjid, maka makna dan pesan dalam simbol warna-warna tersebut menjadi lebih natural dan bermakna lebih umum, yakni warna yang bermakna mempercantik sebuah bangunan. Sementara itu, pesan simbolik itu sendiri merupakan tataran konotasi yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu atau familiaritas (kesamaan) terhadap strereotipe tertentu.

Dengan kata lain, sebagai suplemen dari isi analogis tersebut, kita mene-mukan makna pada tataran kedua yang petanda-petandanya mengacu kepada budaya tertentu: kode dari tataran konotasi ini mungkin tersusun dari suatu tatanan simbolik universal atau retorik dari satu periode tertentu, atau singkat-nya dari semacam stok stereotipe kultural. Petanda-petanda dari citra yang berkonotasi kemudian disebut dengan ideologi, sedangkan penanda-pe-nandanya disebut retorik atau konotator-konotator (Budiman, 2003: 70-71)

Sebagai contoh, ornamen segi delapan yang melengkapi keindahan dan keunikan arsitektur masjid Cheng Ho Purbalingga. Secara simbolik, segi

(8)

delapan atau dalam falsafah mitologi China disebut dengan “pat kwa”, angka 8 dalam bahasa Tionghoa disebut “fat” yang berarti jaya dan keberuntungan,. Pat Kwa juga bermakna mengusir hawa jahat dan sebagai lambang kemak-muran serta keselamatan (Moedjiono, 2011: 21-22). Namun, pemaknaan menggunakan falsafah tersebut ditepis oleh salah seorang tokoh pengurus masjid Cheng Ho Purbalingga. Dalam sebuah kesempatan, penulis sempat berdialog dengan salah seorang tokoh pengurus masjid kemudian bertanya perihal makna ornamen segi delapan yang banyak ditemukan pada bangunan masjid Cheng Ho Purbalingga. Makna ornamen segi delapan yang dimaksud ternyata terkait dengan sebuah risalah dalam Islam. Alkisah, pada saat Nabi Muhammad SAW melakukan hijrah dari Mekkah ke Madinah, beliau dikejar-kejar oleh kaum kafir Quraish dan bersembunyi di dalam gua Tsur. Pada saat hendak memasuki gua tersebut, terdapat rumah laba-laba yang bentuknya seperti segi 8, Nabi yang meskipun dalam keadaan bahaya tidak mau merusak rumah laba-laba tersebut. Beliau lalu memohon kepada Allah SWT agar diberikan perlindungan dan keselamatan dari kejaran kaum kafir Quraish. Dengan bantuan Allah SWT, Nabi pun akhirnya dapat memasuki gua Tsur tanpa harus merusak rumah laba-laba tersebut. Saat situasi sudah aman, beliau keluar dari gua Tsur dan melanjutkan perjalanan menuju Madinah untuk berhijrah guna menyampaikan wahyu yang diberikan Allah SWT kepada umat muslim di Madinah. Saat berada di gua Tsur pada waktu perjalanan hijrah tersebut, Allah SWT memberikan perlindungan (keberuntungan dan keselamatan) kepada Nabi Muhammad SAW untuk dapat melalui rumah laba-laba itu dengan damai tanpa harus merusak dan mengganggu makhluk lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa agama Islam yang diwahyukan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW merupakan agama yang cinta damai.

Dari ornamen segi delapan yang ditemukan pada masjid Cheng Ho Purba-lingga, maka dapat dikatakan bahwa ornamen segi delapan merupakan sebuah pesan simbolik yang merupakan tataran konotasi (mitos) yang keberadaannya didasarkan atas kode budaya tertentu serta mengandung familiaritas terhadap stereotipe tertentu. Ornamen berbentuk segi delapan yang terdapat di masjid Cheng Ho Purbalingga merupakan sebuah tanda atau simbol yang didasarkan pada kode budaya. Dalam falsafah atau mitologi budaya Tionghoa, segi delapan dikenal dengan “pat kwa” yang bermakna jaya dan keberuntungan serta keselamatan. Sementara itu dalam risalah kebudayaan Islam, segi delapan disebut sebagai bentuk sarang laba-laba yang maknanya dikaitkan dalam sebuah peristiwa kenabian pada masa lampau. Akhirnya, dipahami makna pada tataran semiologis kedua yang oleh Barthes disebut dengan tataran konotasi

(9)

atau mitos (Budiman, 2003: 67) pada suatu petanda berbentuk segi delapan, dan ternyata petanda tersebut mengandung makna dualisme budaya yaitu Tionghoa dan Islam.

2 .

2 .

2 .

2 .

2 . Citra

Citra

Citra

Citra

Citra T

T

T

T

Tekstual

ekstual

ekstual

ekstual

ekstual

Sebuah citra sebenarnya bukanlah suatu struktur yang tertutup karena, setidaknya, ia berkomunikasi dengan sebuah struktur lain, yaitu teks. Dalam hal ini, apa yang dimaksud dengan teks adalah semata susunan kata-kata, perkataan-perkataan, atau kalimat-kalimat yang bersifat parasitik dan sengaja didesain untuk mengkonotasikan citra. Oleh karena itu, tipe pesan yang kedua ini disebut Barthes dengan pesan lingual (linguistic message).

Konsep struktur arsitektur masjid Cheng Ho Purbalingga memang sengaja disusun secara unik. Pun demikian, untuk semakin menegaskan citra akulturasi budaya pada masjid ini, kemudian dikomunikasikan dengan struktur lainnya, berupa ragam hias ornamen dalam bentuk teks. Papan nama di atas pintu masuk masjid sengaja didesain menggunakan huruf mandarin. Pintu masuk kayu bergaya khas Tiongkok nya diukir rapi dengan detail ukiran yang membentuk lafadz “Allah” serta dihiasi ornamen geometri. Secara umum, arsitektur Tiong-kok atau Cina dikelompokkan menjadi 5 kategori; Hewan (fauna), tumbuhan (flora), fenomena alam, legenda dan geometri. Begitu juga dengan detail ukiran pada kubah segi delapan di dalam masjid yang dihiasi dengan ukiran lafadz “Allah”. Selain itu, di dalam dinding masjid juga terdapat ornamen kaligrafi Arab Asmaul Husna (nama-nama Allah) dan sebuah ayat yang diambil dari Q.S. Al-Hajj ayat ke 77 tentang perintah kewajiban shalat. Pada beberapa lampion di dalam masjid juga sengaja dipercantik dengan lafadz “Allah” dan “Muham-mad”. Maka itulah, yang dimaksud Barthes dengan pesan lingual (linguistic message).

E. F

ALSAFAH DALAM

E

KSOTISME

M

ASJID

C

HENG

H

O

P

URBA

-LINGGA

Secara umum, masjid Cheng Ho Indonesia berukuran 21 x 11 meter, dengan bangunan utama berukuran 11 x 9 meter. Pada sisi kiri dan kanan bangunan utama terdapat bangunan pendukung yang tempatnya lebih rendah dari bangunan utama. Setiap bangunan Masjid Muhammad Cheng Ho Indonesia memiliki arti tersendiri. Misalnya ukuran bangunan utama, panjang 11 meter pada bangunan utama Masjid cheng Ho ini menandakan bahwa Ka’bah saat dibangun pertama kali oleh Nabi Ibrahim AS memiliki panjang dan lebar 11 meter. Sedangkan lebar 9 meter pada bangunan utama ini diambil dari

(10)

keberadaan Walisongo dalam melaksanakan syi’ar Islam di tanah Jawa. Arsitekturnya yang menyerupai model klenteng itu adalah gagasan untuk menunjukkan identitas dan eksistensi muslim Tionghoa (Islam Tiongkok) di Indonesia dan untuk mengenang leluhur warga Tionghoa yang mayoritas beragama Budha.

Bagian depan masjid Cheng Ho Purbalingga memiliki tiga ambal lantai sebelum mencapai pintu masuk. Berdasarkan hasil wawancara dengan tokoh Imam setempat, makna tiga ambal lantai tersebut melambangkan falsafah trilogi dasar agama Islam yang meliputi Islam (penyerahan), Iman (keyakinan)

dan Ihsan (kebaikan). Dalam ajaran Islam, seorang muslim untuk mencapai apa yang disebut dengan Insan Mukmin al-Kamil (manusia mukmin yang sempurna) harus memiliki ketiga hal tersebut. Dengan memiliki Islam, Iman dan Ihsan maka seorang muslim akan mempunyai ahlak yang baik (ahlak al kari-mah). Dengan ahlak yang baik seorang muslim pun akan menjadi insan kamil. Karena Nabi pun pernah mengatakan bahwa “manusia yang paling baik adalah mausia yang paling baik ahlaknya”. Dan tokoh Imam setempat menjelaskan bahwa masjid Cheng Ho Purbalingga pun menjadi salah satu tempat untuk bisa mencapai hal tersebut. Maka siapapun orang Islam, sudah semestinya masuk ke dalam masjid dan menjadikan masjid sebagai tempat untuk menempa spiritualitas dengan berbagai macam aktivitas ibadah.

Rasulullah SAW bersabda: “ Di masjid seorang mukmin laksana matahari yang terpantul di Air”

Dalam hadis lain juga dijelaskan bahwa salah satu dari tujuh golongan mukmin yang kelak akan mendapatkan naungan (pertolongan) Allah SWT pada hari kiamat adalah golongan mukmin yang hatinya senantiasa terikat dengan masjid (Nawawi: 227). Setiap Muslim dalam ajaran Islam juga di-anjurkan untuk senantiasa memakmurkan masjid (Q.S. At-Taubah : 18-19).

Selain sebagai tempat ibadah, masjid dalam ajaran Islam memiliki makna dan nilai falsafah kehidupan yang mendalam. Sejak masa kenabian, masjid sangat berperan penting dalam penyebaran dan pengajaran nilai-nilai tauhid. Bahkan, masjid Nabawi sebagai masjid yang pertama kali dibangun pada masa Nabi Muhammad bin Abdullah, memang sempat menjadi pusat dakwah, tarbiyah, dan segala aktivitas umat muslim pada masa itu. Meskipun bangunan arsitektur Masjid Nabawi pada saat itu tentunya belum semegah sekarang, namun peran dan fungsinya sangat penting dalam mengumpulkan dan menyatukan umat pada kala itu.

Di Indonesia, para pejuang dakwah Islam terdahulu atau lebih dikenal dengan Wali Songo ketika mendirikan kerajaan Islam pertama di Jawa, yaitu

(11)

kerajaan Demak, bebarengan dengan itu juga mendirikan masjid Agung Demak. Dalam melaksanakan misi dakwah, para Wali kemudian juga menjadikan masjid sebagai basis gerakannya. Dan hal tersebut merupakan semacam tradisi yang diwariskan Nabi Muhammad SAW pada awal-awal menenggakan ajaran Islam. Masjid (dalam Thoha, 2002: 37) dianggap sebagai miniatur (kosmos kecil) dari konfigurasi kehidupan (kosmos besar). Di sana terjadi interaksi sosial, di sana ada masyarakat (makmum) dan pemimpin (imam), masjid adalah tempat untuk beribadah; memperhalus benang spiritual (hablum minallah); dan ada ruang untuk mengaji; memperdalam keilmuan, silaturahim serta membahas permasalahan sosial (hablum minannas). Masjid kemudian menjadi simbol kehidupan yang tertata apik membentuk arsitektur kebudayaan serta mozaik peradaban.

Masjid, langgar, surau, meunasah (Rasyidah, 2012: 222) dalam arti luas bukan hanya terbatas sebagai tempat untuk melakukan ibadah sembahyang atau shalat, tetapi juga sebagai pusat kegiatan budaya masyarakat Muslim. Karena itu di dalam masjid, langgar, meunasah dan lain-lain diucapkan khotbah-khotbah, tabligh-tabligh mengenai keagamaan kemasyarakatan untuk kehi-dupan masyarakat Muslim di dunia dan akhirat. Secara tradisional serambi masjid dipergunakan untuk kenduri-kenduri seperti maulidan dan lain-lain yang bersifat semiprofan (Tjandrasasmita, 2000: 167-168).

Sejak eksistensinya, Masjid Cheng Ho Purbalingga sebagai masjid yang memiliki wajah multikultural nan menawan, juga telah menjelma sebagai tempat untuk berbagai kegiatan umat Islam. Bahkan, sholat Idul Adha pertama di masjid ini dilaksanakan pada tahun 2010 saat bangunan masjid belum sempurna selesai dibangun. Pasca peresmian pada tahun 2011, maka pening-katan aktivitas ibadah masyarakat di masjid ini pun semakin terasa. Sholat wajib berjama’ah, sholat Jum’at, madrasah pendidikan al-Qur’an (TPQ), ta’lim muslimat, pengajian peringatan hari bersejarah Islam serta prosesi akad nikah. Dari penjelasan tokoh masjid setempat, halaman belakang masjid juga tengah dalam perencanaan hendak dibangun sebuah pesantren agar masjid tersebut semakin berperan dan berfungsi.

Respon masyarakat setempat terhadap masjid berbentuk klenteng terse-but juga sangat baik. Pada bulan Ramadhan tahun 2013 misalnya, masyarakat secara swadaya dan sukarela menyediakan ta’jil di serambi masjid guna berbuka puasa bagi siapa saja yang mampir di masjid tersebut (wawancara dengan Teguh, penjaga masjid). Hal tersebut mencerminkan bahwa kehadiran masjid ini telah menggerakkan semangat gotong-royong dan kebersamaan masyarakat setempat dalam hal ibadah dan kebaikan.

(12)

Peran sosial-ekonomi dari eksistensi masjid unik ini juga terlihat pada geliat pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat. Karena daya tariknya sebagai salah satu dari tiga masjid Cheng Ho di Indonesia, kawasan inipun menjadi ramai dikunjungi oleh para wisatawan lokal dari berbagai daerah. Hal ini membuat masyarakat setempat kemudian berinisiatif untuk membuka usaha tempat makan dan semacam warung souvenir.

Pasca selesai pembangunan dan peresmian pada tahun 2011, tidak berarti menandakan “pembangunan” masjid ini telah dihentikan. Justru, saat inilah masyarakat setempat bersama dengan komando para tokoh Imam masjid, tengah dalam tahap perjuangan yang lebih berat lagi yaitu bagaimana caranya memakmurkan masjid (QS:9 : 18) dalam rangka “membangun masjid” dalam setiap hati umat. Karena, jika dalam setiap hati umat telah ‘terbangun masjid’ atau semacam ruang untuk senantiasa beribadah dan mengingat Allah, maka energi positif akan terpancar dari setiap insan muslim dalam wujud akhlak al karimah.

F. S

IMPULAN

Salah satu kekayaan khazanah kebudayaan Islam di Indonesia terwujud dalam bangunan arsitektur masjid. Masjid Laksamana Muhammad Cheng Ho Purbalingga merupakan salah satu contoh nyata dari sekian banyak masjid unik nan istimewa di Indonesia. Perpaduan akulturasi dari budaya Islam-Tiongkok-Arab-Jawa menjadikan masjid ini hadir sebagai simbol keindahan toleransi antar etnis dan umat beragama di Indonesia. Keistimewaan masjid ini bukan hanya dari bentuk arsitektur dan ragam hias ornamennya semata. Namun nilai-nilai falsafah yang indah seperti toleransi atas keberagaman, semangat spiri-tualitas dan kedamaian pun selaras terpadu bersama dengan peran fungsinya di masyarakat dalam bidang dakwah, pendidikan dan sosial-ekonomi.

D

AFTAR

P

USTAKA

Budiman, Kris. 2003. Semiotika Visual. Yogyakarta: Buku Baik.

Departemen Agama RI. 2012. Al-Qur’an dan Terjemahanya: Special For Women. Bandung: Syaamil al-Qur’an.

Hasil Observasi Lapangan di Masjid Cheng Ho Purbalingga September 2013. Liliweri, Alo. 2003. Dasar-dasar Komunikasi Antar Budaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Moedjiono. 2011. “Ragam Hias dan Warna Sebagai Simbol dalam Arsitektur Cina” dalam jurnal Modul edisi Vol. 11, No. 1, Januari 2011.

(13)

Rasyidah. 2012. “Kontruksi Makna Budaya Islam pada Masyarakat Aceh” dalam Jurnal Ibda’ edisi Vol. 10, No, 2, Juli-Desember 2012.

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung: Remaja Rosydakarya. Supardjo, Untung. 2011. Sekilas Sejarah Berdirinya Masjid Jami PITI

Muhammad Cheng Ho Kabupaten Purbalingga. Purbalingga: DPC PITI Kabupaten Purbalingga.

Thoha, Zainal Arifin. 2002. Eksotisme Seni Budaya Islam : Khazanah Peradaban dari Serambi Pesantren. Yogyakarta: BukuLaela.

Tjandrasasmita, Uka. 2000. Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia. Kudus: Menara Kudus.

Yuanzhi, Kong. 2007. Muslim Tionghoa: Cheng Ho “Misteri Perjalanan Muhibah di Nusantara. Jakarta: Pustaka Populer Obor.

Referensi

Dokumen terkait

Dari tabel 4. diatas terlihat bahwa terdapat perbedaan hasil belajar matematika antara tiap tingkat pengelolaan kelas terhadap siswa ketika pembelajaran dan

Strategi penyelesaian konflik yang dilakukan antara Zarri Bano dan Sikander adalah strategi menang-kalah dengan cara tawar menawar. Konflik yang terjadi antara

Dari kesimpulan ini diketahui bahwa pada lingkungan TPAS terdapat bakteri udara yang tergolong gram positif sedangkan bakteri yang ditemukan pada sampel air sumur

Tujuan: Untuk mengetahui gambaran sistem sensori pada lansia di Balai Pelayanan Sosial Lanjut Usia Dewanata Cilacap.. Metode: Jenis penelitian ini

Salah satu upaya pengendalian yang dapat dilakukan untuk memperkecil infeksi nosokomial adalah dengan memelihara kualitas lingkungan meliputi faktor fisik ruangan

✓ Analisis kualitatif ialah teknik yang digunakan untuk mengenal pasti jenis kation dan anion yang hadir di dalam sesuatu bahan. ✓ Prosedur am dalam menganalisis kualitatif

Pendidikan musik merupakan salah satu aspek dari keseluruhan pendidikan kesenian yang merupakan sarana untuk membantu anak didik membentuk pribadinya. Melalui