• Tidak ada hasil yang ditemukan

TEKNOLOGI GASIFIKASI BAWAH TANAH : SALAH SATU UPAYA PEMANFAATAN BATUBARA PERINGKAT RENDAH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TEKNOLOGI GASIFIKASI BAWAH TANAH : SALAH SATU UPAYA PEMANFAATAN BATUBARA PERINGKAT RENDAH"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TEKNOLOGI GASIFIKASI BAWAH TANAH :

SALAH SATU UPAYA PEMANFAATAN BATUBARA

PERINGKAT RENDAH

BUKIN DAULAY DAN SLAMET SUPRAPTO

Pusat Penelitian dan Pengembangan Teknologi Mineral dan Batubara

Jalan Jenderal Sudirman No 623 Bandung 40211, Telp. (022) 6030483, Fax. (022) 6003373 E-mail : bukin@tekmira.esdm.go.id

Naskah masuk : 02 Maret 2007, revisi pertama : 22 Maret 2007, revisi kedua : 26 Maret 2007, revisi terakhir : 31 Mei 2007

SARI

Teknologi gasifikasi batubara di bawah tanah (underground coal gasification, UCG) merupakan salah satu teknologi gasifikasi yang dilakukan di tempat/insitu tanpa mengekstraksi lapisan batubara terlebih dahulu. Teknologi UCG dilakukan dengan membuat dua lubang bor, yaitu sumur untuk injeksi katalis dan sumur produksi. Gas yang dihasilkan umumnya berupa CO dan H2, dengan kuantitas dan kualitasnya sangat tergantung

pada pereaksi yang digunakan, kualitas dan kedalaman batubara. Teknologi UCG sangat cocok untuk diterapkan pada batubara Indonesia, baik batubara peringkat rendah maupun peringkat tinggi yang tidak ekonomis lagi untuk dieksploitasi secara konvensional dengan tambang bawah tanah maupun tambang terbuka. Batubara tersebut diharapkan memiliki ketebalan yang homogen dan tidak banyak struktur geologi yang mempengaruhi perkembangannya agar gas yang dihasilkan tidak mengalami kebocoran. Namun mengingat teknologi ini belum berkembang di Indonesia, maka untuk penerapannya perlu terlebih dahulu dilakukan kajian awal terutama menyangkut struktur geologi, proses yang digunakan serta pasar pengguna produk gasnya. Kajian tersebut kemudian perlu ditindaklanjuti dengan penelitian pembuatan sumur uji coba sebagai pilot plant untuk memperoleh data teknis (kuantitas dan kualitas) dan keekonomian gas yang dihasilkan, sehingga kelayakan skala komersialnya dapat ditentukan.

Kata kunci : Batubara, gasifikasi batubara bawah tanah, pereaksi, lubang bor

ABSTRACT

Underground coal gasification (UCG) is one of the gasification technologies conducted in coal seam without coal seam exploitation. The UCG technology is operated by drilling two wells or boreholes, i.e. catalyst injection and production wells. The product gas is normally CO and H2, in which its quantity and quality

depend on catalyst, coal quality and coal depth. The implementation of UCG technology is suitable for Indonesian coals, both for low and high rank coals that become very expensive to exploit either by under- ground or open pit methods. The coal seam thickness is expected to be homogenous and there is no geological structure occurs in the coal seam to prevent the gas leaking. As this technology is still new in Indonesia, it is suggested to conduct a preliminary study, mainly geological structure of the coal seam, process and expected gas consumers. The study is then followed by drilling an experimental well as a pilot plant in order to have technical data (quantity and quality) and the economic of product gas. Therefore, the commercialization of the process can be decided.

(2)

1. PENDAHULUAN

Batubara merupakan sumber energi yang paling besar di Indonesia dengan sumber daya sekitar 61 milyar ton atau masih dapat bertahan sampai 146 tahun kalau dieksploitasi pada tingkat produksi seperti sekarang ini (Hadiyanto, 2006). Sedangkan minyak dan gas bumi dengan sumber daya masing-masing 87 miliar barel dan 385 TSCF (trillion standard cu- bic feat), hanya cukup bertahan masing-masing sampai 23 dan 62 tahun (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006). Sampai saat ini batubara belum dipergunakan secara optimal di dalam negeri, mengingat peran minyak dan gas bumi masih dominan pada bauran energi (energy mix). Pada tahun-tahun mendatang, pemanfaatan batubara di dalam negeri akan terus meningkat sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 5 Tahun 2006 dan batubara akan mempunyai kontribusi pada bauran energi nasional pada tahun 2025 sebesar 33%, dibandingkan dengan saat ini kontribusinya hanya 14%. Namun demikian, tidak semua cadangan batubara dapat diekstraksi secara konvensional dengan tambang terbuka maupun tambang bawah tanah. Di samping itu, peningkatan penggunaan batubara dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan lingkungan mulai dari kegiatan penambangan, pengangkutan sampai pada penggunaannya. Salah satu teknologi yang dapat mengatasi atau mengurangi permasalahan di atas adalah dengan meng- implementasikan underground coal gasification

(UCG).

Teknologi UCG berasal dari Rusia dan sudah dipergunakan secara komersial sejak 50 tahun yang lalu sebagai sumber listrik dan gas. Sedangkan negara - negara yang pernah dan sedang mengembangkan antara lain adalah Amerika Serikat, Perancis, Belgia, Jerman , Spanyol, Australia dan Cina (Jie, 2003). Dalam tulisan ini akan dibahas tentang kemungkinan penerapan teknologi UCG di Indonesia, terutama dalam upaya mengoptimalkan penggunaan batubara peringkat rendah. Uraian secara singkat tentang teknologi UCG dan status batubara peringkat rendah di Indonesia juga dibahas dalam tulisan ini.

2. STATUS BATUBARA PERINGKAT RENDAH INDONESIA

Batubara peringkat rendah Indonesia mencapai 36 juta ton atau sekitar 60 % dari total sumber daya batubara nasional. Batubara ini belum banyak

dieksploitasi karena sangat mahal untuk diangkut dalam jarak yang jauh mengingat kadar air total yang tinggi, mencapai 45% dan nilai kalor rendah, lebih kecil dari 5.000 kkal/kg (adb). Namun kalau dilihat dari unsur pengotor, batubara peringkat rendah pada umumnya cukup bersih karena kandungan abu dan sulfur cukup rendah, masing-masing <10% dan <1%. Selanjutnya, lapisan batubara peringkat rendah cukup tebal, mencapai 20 meter dan relatif homogen, tidak banyak struktur geologi (patahan dan lipatan) yang mengganggu perkembangan lapisan batubara, sehingga sangat sesuai untuk penerapan teknologi UCG.

Potensi batubara peringkat sedang - tinggi (subbituminus A – bituminus) yang saat ini dieksploitasi secara konvensional (open pit) sudah mulai menipis dan biaya penambangannya menjadi mahal karena nisbah pengupasannya di atas 7. Namun kalau dieksploitasi secara tambang bawah tanah juga mengalami kendala karena lapisan

interburden tidak cukup keras mengingat formasi pembawa batubara (coal measures) berumur relatif muda (Miosen – Pliosen). Selanjutnya untuk lapisan batubara yang mempunyai kemiringan yang besar sudah dapat dipastikan bahwa perolehan batubaranya (mining recovery) akan sangat kecil. Ini berarti tidak semua potensi batubara yang berada di daerah suatu penambangan dapat dieksploitasi. Kondisi yang demikian tentu sangat merugikan tidak saja untuk pengusaha pertambangan, akan tetapi juga untuk Indonesia karena sebagian dari batubaranya sebagai sum ber alam ada kemungkinan tidak akan termanfaatkan untuk selamanya.

3. PROSES UCG

Gasifikasi batubara adalah proses konversi batubara menjadi bahan bakar gas, baik menggunakan pereaksi maupun tanpa pereaksi, yakni pemanasan dengan oksigen terbatas (proses karbonisasi). Pembuatan gas dengan cara karbonisasi umumnya dilakukan dengan menggunakan batubara mengokas (coking coal) sehingga dihasilkan gas kota dan kokas metalurgi. Sedangkan gasifikasi menggunakan pereaksi dapat diaplikasikan terhadap semua jenis batubara, khususnya batubara tidak mengokas. Dalam sistem gasifikasi ini, batubara direaksikan dengan pereaksi berupa udara, campuran udara/uap air, oksigen/uap air, atau hidrogen (Suprapto, 1999).

Kualitas gas yang dihasilkan tergantung pereaksi yang digunakan. Penggunaan pereaksi udara akan menghasilkan gas yang disebut gas producer (

(3)

pro-ducer gas) dengan komponen utama CO dan H2 dan

pengotor berupa nitrogen mencapai lebih dari 50%. Gas yang dihasilkan dari gasifikasi yang menggunakan pereaksi campuran udara/uap air akan menghasilkan gas air (water gas) yang kualitasnya (kadar CO dan H2) lebih baik tetapi dengan kadar nitrogen yang

masih tinggi. Kedua produk gas tersebut termasuk gas kalori rendah dengan nilai kalor kurang dari 200 Btu/ft3 (Francis, 1965; Nowacki, 1981). Sedangkan

gasifikasi yang menggunakan pereaksi campuran oksigen/uap air akan menghasilkan gas lurgi (lurgi gas) dengan komponen utama CO dan H2 dan kadar

nitrogen rendah. Gas lurgi termasuk gas kalori menengah dengan nilai kalor antara 200-400 Btu/ft3

(Francis, 1965; Nowacki, 1981). Apabila gas lurgi dimurnikan, maka diperoleh gas sintesis (synthesis gas/syngas) yang merupakan bahan baku untuk menyintesis bermacam produk di antaranya gas metan (SNG, synthetic natural gas/substitue natural gas), industri kimia, bahan bakar cair dan pupuk. SNG juga bisa dihasilkan dari gasikasi batubara yang menggunakan pereaksi hidrogen. Gas ini termasuk gas kalori tinggi dengan nilai kalor kurang lebih 1000 Btu/ft3 (Elliot,1981; Ward, 1984).

Dalam proses gasifikasi, reaksi antara batubara dengan perekasi dapat dilakukan di dalam suatu reaktor yang disebut gasifier atau langsung pada lapisan batubara di dalam tanah yang disebut gasifikasi batubara bawah tanah (underground coal gasification, UCG). Sistem kontak antara batubara dengan pereaksi pada proses gasifikasi yang komersial terdiri dari unggun-tetap (fixed bed) dan unggun- terfluidakan (fluidized-bed) (Elliot, 1981).

UCG pada dasarnya merupakan teknologi untuk mengekstraksi endapan batubara dalam bentuk gas dari suatu cebakan tanpa harus mengeluarkan (menambang) batubaranya, dengan cara meng- injeksikan (mengalirkan) pereaksi (udara, udara/uap air atau oksigen/uap air) ke dalam lapisan batubara di bawah tanah. Pada prinsipnya, proses kimia yang terjadi di bawah tanah terdiri dari dua macam proses, yaitu pirolisis dan gasifikasi. Proses pirolisis yang disebut juga karbonisasi, devolatisasi atau dekomposisi termal mengonversikan batubara menjadi char dengan hasil ikutan berupa tar, minyak, molekul hidrokarbon rendah dan gas. Panas yang digunakan untuk pirolisis ini berasal dari pembakaran batubara atau reaksi antara batubara dengan oksigen. Sedangkan proses gasifikasi terjadi pada saat uap air, air tanah, O2, CO2 dan H2 bereaksi dengan char.

Dalam hal ini proses UCG menggunakan gasifikasi sistem unggun-tetap. Oleh karena itu, proses UCG dapat dikatakan merupakan kombinasi antara

karbonisasi/pirolisis dan gasifikasi batubara (Jie, 2003; Elliot, 1981).

Reaksi-reaksi yang terjadi pada proses UCG maupun gasifikasi batubara di atas permukaan (yang menggunakan reaktor) adalah sebagai berikut (Fancis, 1965; Ward, 1984):

Reaksi pembakaran

oksidasi karbon C + O2 J CO2

oksidasi hidrogen H2 + ½ O2 J H2O

Reaksi gasifikasi primer

reaksi water-gas C + H2O J CO + H2

pembakaran parsial C + ½ O2 J CO

reaksi Boudouard C + CO2 J 2 CO

reaksi hidrogenasi C + 2 H2 J CH4

Reaksi gasifikasi sekunder

reaksi shift CO + H2O J H2 + CO2

reaksi metanasi 3 H2 + CO J CH4

Proses UCG dimulai dengan melakukan pemboran pada 2 sumur yang bersebelahan dan mencapai kedalaman lapisan batubara. Melalui salah satu sumur (injection well), diinjeksikan pereaksi bertekanan (uap dan udara atau oksigen) dan diikuti dengan pembakaran lapisan batubara. Gas yang dihasilkan dari proses gasifikasi disalurkan melalui sumur kedua (production) seperti diilustrasikan pada Gambar 1 (Jie, 2003). Gas yang dihasilkan kemudian disalurkan ke instalasi pengolahan gas (gas process- ing) dan selanjutnya langsung dimanfaatkan untuk pembangkit listrik.

Teknologi UCG telah diaplikasikan, baik untuk batubara peringkat tinggi maupun batubara peringkat rendah dengan ketebalan batubara bervariasi dari 0,5 sampai 20 meter pada kedalaman 30 - 300 meter. Sedangkan air total batubara berkisar dari 4,3 sampai 35%, kadar abu 2,3 - 34.3% dan zat terbang 27,0 - 64,5%. Secara um um , satu ton batubara menghasilkan sekitar 2.700 Nm3 gas. Produksi gas

ini sangat tergantung terhadap kualitas (sifat kimia dan fisik) batubara, kedalaman, akurasi pembuatan sumur produksi dan efisiensi pengolahan gas (Jie, 2003).

Pada saat ini, sebagian besar proses UCG menggunakan pereaksi udara dan gas yang dihasilkan dipergunakan pada pembangkit listrik. Apabila

(4)

dipergunakan pereaksi berupa oksigen/uap air maka dihasilkan gas yang kualitasnya lebih baik dan selanjutnya dapat digunakan sebagai bahan baku industri kimia, gas alam sintetik (SNG), atau bahan baku bahan bakar cair. Pada Tabel 1 dapat dilihat perbandingan contoh komposisi gas hasil UCG dengan pereaksi udara dan gas hasil gasifikasi sistem unggun-tetap menggunakan berbagai jenis batubara dengan pereaksi campuran oksigen/uap air (Elliot, 1981).

Kualitas gas yang dihasilkan oleh proses UCG mirip dengan yang dihasilkan oleh proses gasifikasi batubara sistem unggun-tetap, terutama pada kadar CO dan H2 dan nilai kalor walaupun batubara yang

digunakan berbeda. Tingginya kadar CO dan H2 pada

produk gasifikasi sistem unggun-tetap adalah karena menggunakan batubara jenis bituminus. Sedangkan penggunaan pereaksi oksigen/uap air menghasilkan

gas dengan kadar CO dan H2 serta nilai kalor lebih

tinggi dan kadar nitrogen jauh lebih rendah. Apabila gas ini dimurnikan sehingga kadar H2 dan CO

meningkat, maka diperoleh gas sintesis yang dapat digunakan untuk menyintesis berbagai jenis produk. Teknologi UCG pertama kali dikembangkan di Uni Soviet (sekarang Rusia) sejak tahun 1933 dan diaplikasikan secara komersial di Cekungan Donetz pada tahun 1954 dan Cekungan Kusnetz pada tahun 1962 oleh Podzemgas (sekarang bernama Promgaz). Sampai saat ini, proses UCG yang menggunakan pereaksi udara dan pemanfaatan gasnya untuk pembangkit listrik masih dilakukan di Rusia. Namun demikian, pengembangan penggunaan pereaksi oksigen untuk memproduksi gas dengan kualitas yang lebih baik dan untuk dimanfaatkan sebagai bahan baku berbagai produk sedang dilakukan. Pengembangan UCG di negara-negara lain umumnya

Emisi udara rendah Pemisahan CO2 Pemurnian Gas Produksi Listrik Lubang injeksi Oksigen + air Co2 dimasukkan ke lapisan batubara tidak tertambang Luba g produk H2, Ch4, CO2 +p gotor Lapisan batubara

Sona terjadinya gasifikasi

Abu + cha

Gambar 1. Sketsa pengembangan underground coal gasification

Tabel 1. Perbandingan kualitas gas hasil UCG dan gasifikasi batubara sistem unggun-tetap

Proses UCG Gasifikasi Sistem Unggun-Tetap

Pereaksi Udara Udara oksigen/uap air

Batubara Subbituminous Bituminous Lignit Subbituminous

CO, % H2, %

CO2, %

CH4, %

N2, %

Nilai kalor, Btu/ft3

14,7 17,3 12,4 3,3 51,0 100-150 16,4 23,5 7,3 1,7 50,6 153 39,2 15,9 32,2 10,8 0,3 306 38,4 21,4 28,9 9,6 1,0 298

(5)

juga menggunakan teknologi dari Rusia dan masih pada tahap pilot plant dan sebagian sedang persiapan ke komersial. Tahun 1974 perusahaan Amerika Serikat mendapatkan lisensi teknologi UCG dan mengembangkannya bersama negara-negara lainnya (Australia, Spanyol, Belgia) , di samping Jepang dan Cina (Odira Energi Persada, 2004; UCG Engineering, 2004).

4. KEUNTUNGAN TEKNOLOGI UCG

Cara penambangan konvensional saat ini harus membuka lahan dengan menggunakan alat-alat berat sehingga lahan menjadi rusak, menimbulkan kerusakan ekologi air, harus mempunyai jalan angkut sendiri dan sering menimbulkan banyak debu, sehingga dampak negatif terhadap lingkungan menjadi besar. Selain itu, diperlukan pula reklamasi lahan setelah penambangan selesai. Dengan penggunaan teknologi UCG, lahan yang dibuka sangat sedikit, hanya khusus untuk keperluan pembuatan minimal dua buah lubang bor setiap unitnya untuk injeksi udara atau uap air dan untuk pengaliran gas hasil gasifikasi, sehingga dampak negatifnya sangat kecil dan cenderung tidak ada. Dengan demikian, pertentangan akibat penambangan batubara secara konvensional dengan alasan perusakan hutan dapat teratasi.

Beberapa keuntungan yang dapat diraih dengan mengubah batubara menjadi gas melalui UCG, antara lain:

1) Dapat memanfaatkan batubara peringkat rendah yang cadangannya sangat banyak dan sampai saat ini belum dilirik oleh para pengusaha tambang karena belum tersedia pasar;

2) Dapat menjadi substitusi minyak dan gas bumi yang pasokannya sudah mulai berkurang dan harganya cenderung naik terus, terutama diperuntukkan sebagai pengganti solar pada pem bangkit listrik tenaga diesel yang diperkirakan dapat menghemat biaya sampai 60% per-kWh;

3) Tidak perlu menggunakan reaktor gasifikasi; 4) Tidak perlu penanganan batubara dan abu sisa

pembakaran.

5) Jaringan transportasi dan distribusi gas melalui pipa sudah banyak tersedia dan akan lebih

ekonomis apabila dibandingkan dengan mengangkut batubara secara konvensional; 6) Produk gasifikasi batubara ram ah bagi

lingkungan;

7) Makin tinggi kedalaman batubara, makin efisien proses gasifikasi dan berkurang pencemaran lingkungan;

8) Penggunaan gas batubara cukup fleksibel untuk berbagai keperluan;

9) Apabila gas yang dihasilkan dipergunakan untuk pembangkit listrik, maka CO2 dari pembangkit

tersebut dapat diinjeksikan sebagai pereaksi ke dalam lapisan batubara dan bereaksi dengan karbon menjadi CO; dan

10) Dapat menimbulkan efek ganda (multiplier ef- fect), antara lain munculnya industri pendukung.

5. PROSPEK PENERAPAN TEKNOLOGI UCG DI INDONESIA

Potensi batubara Indonesia sebanyak 61 miliar ton yang sebagian besar tersebar di wilayah Kalimantan dan Sumatera ternyata sekitar 60% sulit untuk dimanfaatkan saat ini, karena termasuk peringkat rendah. Saat ini banyak diterbitkan KP (Kuasa Pertambangan) untuk batubara oleh Bupati dengan luas lahan berkisar dari 100 sampai 2000 Ha. Luas lahan ini relatif kecil untuk perencanaan penambangan yang baik, sehingga saat ini banyak terlihat lubang-lubang bekas penambangan yang tidak teratur dan sulit untuk direklamasi atau memerlukan biaya yang tinggi untuk reklamasinya. Kerugian lainnya adalah perolehan batubara sangat rendah apalagi kalau mempunyai beberapa lapisan batubara di bawahnya, sehingga sudah dipastikan bahwa batubara yang berada pada lapisan terbawah tidak akan pernah tereksploitasi. Selanjutnya, batubara bagian atas (top) dan batubara bagian bawah (floor) masing – masing sekitar 5 sentimeter pada umumnya ditinggal pada saat penambangan. Dengan teknologi UCG yang hanya memerlukan lahan yang kecil, maka teknologi ini sangat cocok untuk diterapkan pada kondisi lahan lapisan batubara tersebut. Untuk penambangan batubara yang letaknya sangat dalam, diperlukan metode tambang bawah tanah yang memerlukan biaya penambangan tinggi. Teknologi UCG ini lebih praktis dan aman karena tidak ada pekerja dalam tanah.

(6)

Dengan kemajuan teknologi UCG, batubara peringkat rendah Indonesia memungkinkan untuk dimanfaatkan melalui proses UCG. Dengan demikian, program ini patut dijadikan sebagai salah satu alternatif pengganti minyak dan gas bumi dalam rangka memperkuat ketahanan negara di bidang energi. Namun demikian, untuk menerapkan UCG di Indonesia masih diperlukan kajian yang mendalam menyangkut berbagai faktor, terutama kondisi geologis, proses dan pemanfaatan produk gasnya serta calon konsumennya.

Berbeda dengan gasifikasi biasa (surface coal gasifi- cation) yang dilakukan di atas permukaan tanah dengan menggunakan sebuah reaktor sehingga pengontrolannya lebih mudah, kelayakan teknis proses UCG banyak dipengaruhi oleh kondisi lapisan batubara yang digunakan. Oleh karena itu, teknologi UCG yang sudah komersial di Rusia belum tentu langsung dapat diterapkan pada endapan-endapan batubara di Indonesia mengingat kondisi geologisnya tentu berbeda. Hal ini terutama berakibat pada keamanan dan kebocoran gas apabila endapan batubaranya mempunyai struktur geologi yang kompleks dan banyak patahan.

Proses UCG yang menggunakan pereaksi udara menghasilkan gas kalori rendah kurang dari 200 Btu/ ft3 dan hanya layak dimanfaatkan di lokasi setempat

sebagai bahan bakar, misalnya untuk pembangkit listrik atau untuk bahan baku industri. Hal ini mengingat transportasi jarak jauh seperti pemipaan terhadap gas kalori rendah tidak ekonomis. Proses ini investasin ya relatif kecil karena hanya menggunakan udara dan tidak diperlukan pabrik oksigen. Namun, masalahnya adalah produknya tidak bisa ditransportasikan ke luar tambang, apalagi antarpulau. Sedangkan produk penambangan secara konvensional menghasilkan batubara yang bisa diangkut ke luar tambang bahkan antarpulau ataupun ekspor apabila biaya transportasinya memungkinkan atau setelah kualitasnya ditingkatkan misalnya dengan proses UBC (Upgraded Brown Coal). Proses UCG menggunakan pereaksi campuran oksigen/uap air menghasilkan gas dengan kualitas yang lebih baik bahkan bisa dibuat SNG yang bisa ditransportasikan menggunakan jaringan pipa gas alam yang sudah ada. Tetapi proses UCG ini investasinya relatif lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan pereaksi udara. Di samping itu, proses ini masih dalam pengembangan walaupun prosesnya mirip dengan gasifikasi yang menggunakan reaktor unggun-tetap dengan pereaksi yang sama (oksigen/uap air).

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penerapan UCG di Indonesia sebaiknya dilakukan secara bertahap melalui kajian awal terhadap kondisi geologi, endapan batubara yang bersangkutan, proses yang dipilih dan kemudian pasar (pengguna) produk gasnya. Apabila kajian awal tersebut layak, kemudian ditindaklanjuti dengan pilot plant

(pembuatan sumur uji). Penerapan secara komersial baru bisa dilakukan setelah kajian tersebut layak secara teknis maupun ekonomis.

6. KESIMPULAN

Teknologi UCG merupakan konversi batubara menjadi gas (terutama CO dan H2) langsung di dalam

tanah (lapisan batubara) dengan menggunakan pereaksi, baik berupa udara, campuran udara/uap air maupun oksigen/uap air. Teknologi UCG ini kemungkinan besar dapat diterapkan di Indonesia untuk memanfaatkan batubara peringkat rendah yang cadangannya sangat banyak dan beberapa batubara peringkat menengah – tinggi yang lokasinya sekarang sudah mulai tidak ekonomis lagi untuk ditambang secara konvensional. Teknologi ini memberikan kontribusi yang sangat besar, baik untuk pemanfaatan batubara maupun pelestarian lingkungan. Teknologi ini masih baru untuk perbatubaraan di Indonesia, walaupun sudah menjadi komersial di negara lain. Untuk itu, maka perlu dilakukan kajian kelayakan awal terutama menyangkut struktur geologi, proses yang digunakan serta pasar (konsumen) pengguna produk gasnya. Kajian tersebut kemudian perlu ditindaklanjuti dengan penelitian pembuatan sumur uji coba sebagai pilot plant yang hasilnya dapat digunakan sebagai dasar untuk pengembangan ke skala komersial.

DAFTAR PUSTAKA

Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2006. Kebijakan energi nasional. Seminar Era Kebangkitan Energi Indonesia, Jakarta. Elliot, M.A. (ed.), 1981. Chemistry of coal utiliza-

tion. Second Suppl. Vol., John Wiley & Sons, New York, p 1606-1624, 1830-1832.

Francis, W., 1965. Fuels and Fuel Technology. Vol. II, Sec. C: Gaseous Fuels, Pergamon Press. Ltd., London, p 351-424.

(7)

anatomi, penyebaran, kualitas dan kuantitas.

Seminar Nasional Batubara Indonesia, Jakarta.

Jie, L., 2003. An overview of the Chinese programme on underground coal gasification. UCG Research Centre, China University of Mining and Tech- nology, Beijing.

Nowacki, P. (ed.) 1981. Coal gasification process. Noyes Data Corporation, New Jersey, p 16-18.

Odira Energi Persada, 2004. Underground coal gas- ification. Bahan presentasi disampaikan untuk PT Bukit Asam.

(8)

Suprapto, S., 1999. Gasifikasi sistem unggun-tetap, alternatif pemanfaatan batubara untuk industri kecil.

Prosiding Kolokium dan Pameran Pertambangan’99, Bandung, 3 – 5 Nopember 1999.

UCG Engineering Ltd., 5 Nopember 2004. http://

www.coal-ucg.com.

Ward, C.R. (ed.), 1984. Coal geology and coal tech- nology. Blackwell Scientific Publications, Melbourne, p 134-137.

Gambar

Tabel  1.   Perbandingan kualitas gas hasil UCG dan gasifikasi batubara sistem unggun-tetap

Referensi

Dokumen terkait

Materi dan media merupakan salah satu elemen penting dalam memberikan layanan bimbingan konseling Islam agar lebih efisien dan efektif. Namun, dalam pemberian materi

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Perlakuan kedalaman penanaman Eucheuma spinosum berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan berdasarkan berat basah, berat komersil dan

Berdasarkan kepada hasil kajian yang diperolehi, penyelidik meyenaraikan beberapa cadangan yang boleh dimanfaatkan. a) Guru-guru Pendidikan Khas yang mengajar Kemahiran Hidup

Dengan ditetapkannya Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.04.1.23.09.10.9269 Tahun 2010 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik di

Berdasarkan hasil survey dan analisa data diatas menunjukkan bahwa persepsi pelaksanaan orientasi studi dan pengenalan kampus di kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang dirasa

Penelitian dengan judul “Strategi Penciptaan Merek dalam Perspektif Interaksionisme Simbolik” merupakan sebuah studi kasus yang dilakukan di PT Radio Permata Swaranusa atau yang

Berdasarkan hasil penelitian yang telah di- lakukan, maka dapat ditarik suatu kesimpulan se- mentara bahwa kemampuan materi/subjek spe- sifik pedagogi calon guru biologi