• Tidak ada hasil yang ditemukan

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

KEPUTUSAN

KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

NOMOR HK.04.1.23.09.10.9269 TAHUN 2010 TENTANG

PEDOMAN TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK DI INDUSTRI FARMASI

KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa untuk melindungi masyarakat dari obat yang tidak memenuhi persyaratan keamanan, khasiat/kemanfaatan dan mutu perlu dilakukan pengawasan penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di industri farmasi;

b. bahwa hasil pengawasan terhadap penerapan CPOB di industri farmasi perlu ditindaklanjuti sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan;

c. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik Di Industri Farmasi;

Mengingat : 1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3671);

2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 143, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5062);

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063);

(2)

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

2

-4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3781);

5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Nomor 5044);

6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 60, Tambahan Lembaran Republik Indonesia Nomor 5126);

7. Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun 2005;

8. Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001 tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 52 Tahun 2005;

9. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

1010/Menkes/Per/XI/2008 tentang Registrasi Obat sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1120/Menkes/Per/XI/2008;

10. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;

(3)

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

3

11. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 05018/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4232 Tahun 2004;

12. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.1950 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat;

13. Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.3.0027 Tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat Yang Baik;

Menetapkan :

M E M U T U S K A N:

KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEDOMAN TINDAK LANJUT HASIL PENGAWASAN PENERAPAN CARA PEMBUATAN OBAT YANG BAIK DI INDUSTRI FARMASI.

Pertama : Mengesahkan dan memberlakukan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik Di Industri Farmasi, sebagaimana dimaksud dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan ini. Kedua : Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan

Cara Pembuatan Yang Baik di Industri Farmasi, sebagaimana dimaksud dalam Diktum Pertama merupakan acuan bagi Tim Inspeksi CPOB dalam menindaklanjuti hasil pengawasan.

(4)

BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA

4

-Ketiga : Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta

Pada tanggal 27 September 2010 KEPALA BADAN PENGAWAS OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA,

ttd.

(5)

Lampiran Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.04.1.23.09.10.9269 Tahun 2010 Tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat Yang Baik Di Industri Farmasi

I. PENDAHULUAN

Sebagaimana ditetapkan dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan Pasal 98 ayat (1), sediaan farmasi harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian Pasal 10 ditetapkan bahwa produksi sediaan farmasi harus memenuhi ketentuan Cara Pembuatan yang Baik.

Selama ini pengawasan penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) dilaksanakan berdasarkan Keputusan Kepala Badan POM No.

HK.00.05.3.0027 tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara

Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), yang menyatakan bahwa setiap industri farmasi diwajibkan menerapkan CPOB.

Untuk mengetahui tingkat kepatuhan industri farmasi terhadap Penerapan CPOB dinamis, Badan POM melakukan pengawasan secara rutin maupun pengawasan dalam penanganan kasus.

Untuk mendapatkan keseragaman dalam memberikan tindak lanjut hasil pengawasan berupa tindakan administratif maka perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan CPOB.

II. MAKSUD DAN TUJUAN

Untuk mendapatkan keseragaman dalam memberikan tindak lanjut berupa sanksi administratif maka perlu:

1. Menetapkan kategori penyimpangan penerapan CPOB

berdasarkan analisa terhadap kekerapan kejadian, tingkat kesulitan deteksi dan tingkat keseriusan risiko.

2. Menyamakan persepsi inspektur dalam memberikan penilaian terhadap kategori penyimpangan penerapan CPOB.

III. DASAR HUKUM

1. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika 2. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika

(6)

- 2 -

3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan

4. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang

Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan

5. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian

6. Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2010 tentang Prekursor 7. Peraturan Menteri Kesehatan No. 1010/MENKES/PER/XI/2008

tentang Registrasi Obat sebagaimana telah diubah dengan

Peraturan Menteri Kesehatan RI No. 1120/MENKES/PER/XI/2008 tentang Registrasi Obat

8. Keputusan Menteri Kesehatan No. 245/Men.Kes/SK/V/1990

Tahun 2009 tentang Pemberian Izin Usaha Industri Farmasi

9. Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.3.0027 Tahun

2006 tentang Penerapan Pedoman Cara Pembuatan Obat yang Baik

10. Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.3.1950 Tahun 2003 tentang Kriteria dan Tata Laksana Registrasi Obat

11. Keputusan Kepala Badan POM No. HK.00.05.35.02770 Tahun 2002 tentang Penambahan Jenis Prekusor

IV. RUANG LINGKUP

1. Ketentuan ini mengatur tentang kriteria pelanggaran serta tindak lanjut, termasuk sanksi terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh industri farmasi.

2. Pengertian

a. Pengawasan adalah inspeksi Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB) di industri farmasi oleh inspektur CPOB. b. Kritikal (K) adalah temuan /penyimpangan CPOB yang

bersifat sistemik baik yang sudah terjadi maupun berpotensi mengancam keselamatan hidup atau menyebabkan risiko yang bermakna terhadap kesehatan konsumen.

c. Mayor (M) adalah temuan yang bersifat sistemik dan/atau temuan yang dapat memengaruhi kesehatan manusia dan tidak termasuk dalam klasifikasi Kritikal.

d. Minor (m) adalah temuan yang bersifat non sistemik dan tidak menyebabkan risiko yang bermakna terhadap kesehatan.

e. Pelanggaran adalah temuan berupa penyimpangan terhadap pedoman CPOB atau ketentuan peraturan perundang-undangan yang diverifikasi kepada personil kunci industri farmasi pada saat inspeksi.

(7)

- 3 -

f. Kekerapan kejadian adalah pengulangan penyimpangan yang sama dalam kurun waktu tertentu.

g. Tingkat kesulitan deteksi adalah kesulitan mendeteksi penyimpangan. Makin sulit dideteksi, risiko makin tinggi.

h. Tingkat keseriusan risiko adalah risiko terhadap pengguna produk yang diakibatkan penyimpangan, langsung atau tidak langsung. Risiko langsung dapat mengakibatkan kematian atau kecacatan atau rawat inap. Risiko tidak langsung kemungkinan produk atau kontaminan dalam waktu lama bersifat karsinogenik atau teratogenik atau mutagenik.

i. Observasi temuan adalah kegiatan untuk mengetahui pola penyimpangan terhadap penerapan CPOB.

Contoh antara lain:

Tim inspeksi menemukan penyimpangan mayor di seluruh fasilitas sebagai berikut: Operator tidak konsisten mengikuti prosedur kesiapan jalur dan pembersihan untuk peralatan pengemasan; Protap tidak tersedia di tempat dimana dibutuhkan; Protap tidak direview atau dimutakhirkan dalam periode 2 tahun; Tidak ada personil yang ditunjuk untuk mengelola Protap; Pelatihan terhadap personil hanya dilakukan informal, Protap tidak digunakan sebagai dasar untuk pelatihan.

Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, tim inspeksi secara umum dapat mengidentifikasi pola temuan bahwa tidak ada cara atau sistem untuk mengkaji, memutakhirkan, mendistribusikan, mengelola dan menggunakan prosedur.

j. Temuan/penyimpangan non sistemik (isolated) adalah temuan yang jarang terjadi dan tidak berulang cenderung terjadi secara random di semua bagian tidak menunjukkan pola yang bermakna.

Contoh antara lain: Sampel tumpah atau tercecer oleh operator produksi atau petugas laboratorium; Kesalahan penulisan tanggal daluwarsa pada botol reagen; Menggunakan sarung tangan robek; Motor mesin tablet terbakar.

k. Temuan Sistemik (systemic) adalah temuan yang terjadi lebih dari sekali dan dapat dikaitkan dengan produk tertentu, proses, tanggung jawab, material, waktu, personalia atau unit organisasi serta menunjukkan pola.

Contoh antara lain: Ada kesalahan dalam Protap Instruksi di catatan bets tidak rinci sehingga menimbulkan keraguan dalam pelaksanaan; Fungsi pengawasan tidak ditegakkan secara terus-menerus untuk membuat pencatatan yang memadai; Program perawatan alat tidak mencakup motor mesin tablet.

(8)

- 4 -

l. Temuan/penyimpangan sistemik yang terkait proses adalah Penyimpangan yang terjadi dalam pelaksanaan proses pembuatan. Contoh antara lain: proses yang sepenuhnya tidak sesuai dengan Protap.

m. Temuan/penyimpangan sistemik yang tidak terkait proses adalah penyimpangan yang terjadi pada sebagian proses yang tidak memengaruhi keseluruhan proses.

Contoh antara lain: Operator membuat kesalahan karena tidak mengikuti prosedur secara benar atau membuat keputusan yang tidak tepat dalam satu proses tertentu.

n. Analisis temuan adalah analisis yang dilakukan untuk mengidentifikasi kekerapan kejadian; tingkat deteksi; tingkat keseriusan risiko; non sistemik atau sistemik; pola penyimpangan; keterkaitan dengan proses sehingga dapat menyimpulkan bahwa pelanggaran minor, mayor atau kritikal.

V. KETENTUAN PELANGGARAN

Kategori Pelanggaran

Kategori pelanggaran dalam Penerapan CPOB di industri farmasi dapat dikelompokkan sebagai berikut:

A. Pelanggaran Ringan (Minor)

Temuan dikategorikan Minor apabila mencakup salah satu dari berikut:

ƒ temuan/penyimpangan yang bukan kategori kritikal atau mayor tetapi berpotensi penyimpangan terhadap CPOB;

ƒ temuan yang tidak cukup informasi untuk dikategorikan sebagai kritikal atau mayor;

ƒ isu yang tidak signifikan biasanya tidak dilaporkan secara formal tetapi perlu diperhatikan oleh Industri Farmasi.

Contoh:

• Sistem Manajemen Mutu

- Prosedur “Recall“ tidak lengkap.

• Bangunan dan Fasilitas

- Pintu langsung ke lingkungan luar dari daerah

(9)

- 5 -

- Saluran buangan air tidak di-screen atau bukan desain “leher angsa“.

- Fasilitas ruang ganti dan toilet tidak memadai.

- Permukaan lantai,dinding dan atap tidak mudah

dibersihkan secara efektif.

- Ruang karantina secara elektronik dan fisik dimasuki oleh personil yang tidak berkepentingan, atau ruang karantina secara fisik tidak ada label dan/atau tidak sesuai penggunaan.

- Pipa air dan gas tidak ada identitas dan arah aliran.

- Aktivitas yang tidak berkaitan dengan produksi dilakukan di area produksi.

- Fasilitas penunjang (tempat istirahat, ruang ganti pakaian, wastafel dan toilet) tidak memadai.

- Tidak ada spesifikasi suhu dan kelembaban ruangan pada form pencatatan pemantauan suhu dan kelembaban.

- Pencatatan suhu dan kelembaban tidak dilakukan atau dilakukan namun tidak konsisten.

• Peralatan

- Jarak antara peralatan dan dinding tidak memadai

sehingga menyulitkan proses pembersihan.

- Permukaan lantai pada lokasi pembumian peralatan

permanent tidak ditutup secara benar sehingga menyulitkan pembersihan.

- Peralatan yang rusak atau dalam kondisi perbaikan atau sudah tidak dipergunakan tidak dipindahkan atau diberi label yang sesuai.

• Sanitasi

- Program sanitasi/desinfeksi tidak memadai.

- Pencatatan program sanitasi tidak lengkap namun

bangunan memenuhi kriteria kebersihan.

- Catatan pelaksanaan sanitasi untuk produk non steril tidak lengkap.

- Program sanitasi dan higiene kesehatan tidak sepenuhnya dilakukan atau dikerjakan oleh personil.

• Produksi

(10)

- 6 -

- Penempatan bahan baku di gudang terlalu rapat dan terlalu tinggi sehingga menyulitkan pembersihan dan penjaminan pengeluaran secara FIFO/FEFO.

- Akses ke daerah produksi tidak dibatasi khusus untuk petugas yang berwenang masuk.

- Kontrol penerimaan bahan awal tidak sesuai prosedur. - Protap pengemasan tidak lengkap.

- Prosedur penerimaan, penyimpanan dan pengiriman bahan awal/produk tidak tersedia atau tidak lengkap.

• Pengawasan Mutu

- Spesifikasi bahan pengemas sekunder tidak ada. - Pengujian tidak lengkap sesuai persyaratan. - Tidak ada bukti sertifikat analisa dari pemasok.

- Lemari asam belum dikualifikasi dan tidak dilakukan pemantauan.

• Dokumentasi

- Penyimpanan arsip dokumentasi tidak sesuai Protap.

• Uji Stabilitas

- Jumlah bets untuk pengujian stabilitas tidak representatif. - Parameter uji stabilitas tidak lengkap.

B. Pelanggaran Sedang (Mayor)

Temuan dikategorikan Mayor apabila mencakup salah satu dari berikut:

ƒ Penyimpangan non kritikal yang sudah terjadi atau mungkin terjadi.

ƒ Penyimpangan terhadap beberapa persyaratan pedoman

CPOB selain yang termasuk kategori kritikal.

ƒ Beberapa temuan minor/isolated yang muncul di satu aspek/beberapa aspek yang terkait, yang mungkin secara bersama-sama dapat menjadi temuan mayor.

Contoh:

• Sistem Manajemen Mutu

(11)

- 7 -

- Belum memiliki Kebijakan Mutu, Sasaran Mutu dan

Komitmen Mutu tertulis.

- Tidak memiliki Struktur Organisasi. - Tidak memiliki salah satu personil kunci.

- Pada struktur organisasi belum ada pemisahan fungsi Pemastian Mutu dan Pengawasan Mutu.

- Personil kunci bagian Pemastian Mutu dan bagian

Pengawasan Mutu tidak independen.

- Penyimpangan terhadap prosedur pelulusan bets.

- Personil kunci yang bertanggung jawab pada Pemastian Mutu, Pengawasan Mutu dan Produksi tidak terdaftar, tidak terkualifikasi dan tidak/belum memperoleh pelatihan yang sesuai.

- Personil kunci bekerja tidak purna waktu.

- Pelatihan awal dan lanjutan untuk personil tidak memadai dan tidak memiliki Catatan Pelatihan.

- Tidak tersedia sistem/prosedur untuk penanganan

Keluhan (Complaint) atau Pengembalian Produk.

- Pengolahan ulang produk tanpa mendapat persetujuan yang ditetapkan dalam Protap.

- Penyimpangan terhadap prosedur tidak mencantumkan persetujuan dari pejabat yang berwenang.

- Perubahan terhadap Dokumen Produksi Induk tidak

terdokumentasi atau tidak mencantumkan persetujuan dari pejabat berwenang.

- Sistem kontrol dokumen tidak ada dan/atau tidak berjalan (antara lain prosedur tetap yang sudah tidak berlaku masih berada di area kerja).

- Pemantauan lingkungan tidak dilakukan sesuai program. - Program Inspeksi Diri dan/atau audit eksternal tidak

dilaksanakan.

- Belum melakukan Peninjauan Produk Tahunan.

• Personil

- Tidak ada uraian tugas untuk personil kunci.

- Pendelegasian tanggung jawab Pemastian Mutu,

Pengawasan Mutu atau Produksi diberikan kepada personalia yang belum memenuhi kualifikasi.

(12)

- 8 -

- Pelatihan personil yang tidak sesuai ketentuan CPOB.

• Bangunan

- Terdapat perubahan fungsi ruangan produksi dari RIP tanpa dilaporkan ke Badan POM.

- Jumlah dan titik pengambilan sampel untuk menentukan kualifikasi ruangan tidak representatif dan metode sampling tidak memadai.

- Bangunan dan peralatan tidak dirancang atau dipelihara untuk mengurangi kontaminasi atau timbulnya debu.

- Area produksi tidak memungkinkan pembersihan yang efektif.

- Luas ruang produksi tidak cukup dan/atau alur proses tidak sesuai dengan tahapan proses produksi sehingga memungkinkan terjadi campur-baur (mix-up).

- Kondisi ruang pengambilan sampel bahan baku tidak sama dengan kondisi ruang produksi dan/atau tidak ada tindakan yang dapat mencegah kontaminasi silang selama proses sampling bahan baku.

- Pencahayaan/penerangan di area produksi dan inspeksi visual dalam rangka pengawasan selama proses tidak sesuai persyaratan.

- Suhu dan kelembaban tidak dikendalikan dan dipantau di ruangan dimana diperlukan dan/atau tidak mempunyai sistem alarm.

- Permukaan dinding atau atap atau lantai di area produksi retak, berpori dan tidak dilapis dan/atau cat mengelupas, ditemukan kontaminasi seperti lumut, jamur dan serbuk sisa dari produksi sebelumnya.

- Permukaan pipa, peralatan atau ducting yang

berhubungan langsung dengan produk atau peralatan produksi tidak dapat dibersihkan.

• Peralatan

- Peralatan yang digunakan untuk proses produksi belum dikualifikasi.

- Peralatan beroperasi tidak sesuai dengan spesifikasi dan tidak ada penanganan penyimpangan.

- Pipa yang digunakan untuk mengalirkan air setelah pengolahan bukan pipa stainless steel 316L.

(13)

- 9 -

- Permukaan peralatan yang kontak dengan produk tidak terbuat dari bahan inert.

- Mesin yang mengalami perbaikan, sementara dioperasikan dengan menggunakan suku cadang dan/atau alat lain yang tidak sesuai spesifikasi sehingga memengaruhi kinerja mesin.

- Tidak tersedia program perawatan mesin/peralatan.

- Tersedia program perawatan mesin/peralatan tapi tidak dilaksanakan.

- Prosedur pembersihan ruang dan/atau alat tidak tersedia dan tidak memiliki Catatan Pembersihan.

- Peralatan produksi tidak disimpan di tempat yang sesuai.

- Tangki untuk pembuatan cairan dan salep belum

dilengkapi dengan klem saniter.

• Produksi

- Pada area karantina, bahan awal dikarantina tidak sesuai dengan kondisi yang tercantum dalam klaim label tanpa justifikasi waktu sehingga dapat memengaruhi mutu bahan.

- Pada label bahan awal tidak tercantum tanggal uji ulang dan/atau tanggal daluwarsa.

- Lemari etiket tidak terkunci.

- Tidak melakukan verifikasi harian pada timbangan. - Peralatan produksi utama tidak mempunyai identitas.

- Peralatan wadah bahan yang telah diambil sampelnya tidak diberikan penandaan yang sesuai.

- Memproduksi produk yang tidak sesuai dengan

persetujuan izin edar.

• Pengawasan Mutu

- Pengujian bahan baku tidak lengkap tanpa justifikasi. - Prosedur pelulusan bahan awal yang dipasok (supply) tidak

sesuai pedoman CPOB.

- Pemeriksaan/Pengujian bahan pengemas tidak memadai - Pengurangan parameter uji QC dari bahan baku dilakukan

tanpa justifikasi.

- Release diberikan kepada produk non steril yang tidak

(14)

- 10 -

- Uap air yang digunakan untuk proses sterilisasi tidak dipantau untuk memastikan kualitasnya.

- Tidak ada sampel pertinggal bahan awal.

- Jumlah sampel pertinggal tidak cukup untuk pengujian. - Kondisi penyimpanan sampel pertinggal tidak sesuai

dengan klaim pada label.

• Stabilitas

- Tidak melasanakan program pengujian stabilitas ”on going” dan/atau tersedia data stabilitas untuk semua produk. - Jumlah bets untuk pengujian stabilitas tidak representatif

dan parameter uji stabilitas tidak mencakup parameter indikator stabilitas (stability indicating parameter).

• Validasi

- Tidak membuat/mempunyai Rencana Induk Validasi (RIV). - Metode analisa tidak divalidasi

- Prosedur pembersihan alat kritis tidak divalidasi.

- Clean In Place (CIP) peralatan tidak divalidasi.

- Validasi ulang untuk air murni dan air untuk injeksi tidak memadai setelah upgrade, dan bila trend di luar spesifikasi.

- Validasi proses tidak dilakukan terhadap 3 bets berturut-turut.

• Produk Steril

- Pengendalian/monitoring lingkungan tidak memadai

termasuk monitoring mikroorganisme viable selama proses pengisian produk secara aseptis.

- Tidak dilakukan pemantauan bioburden sebelum

sterilisasi.

- Jumlah unit yang diisi selama proses validasi aseptik tidak memadai.

- Proses validasi aseptik tidak mensimulasikan kegiatan operasional sehari-hari.

- Tidak dapat diperlihatkan kemampuan media untuk

menumbuhkan mikroorganisme dengan spektrum luas. - Kesalahan dalam menafsirkan hasil proses validasi aseptik. - Tidak ada uji kebocoran ampul.

(15)

- 11 -

- Jumlah sampel untuk uji sterilitas tidak cukup atau tidak mewakili 1 bets produksi.

- Air baku untuk sistem air untuk injeksi dan generator uap air murni tidak menggunakan air murni.

- Uap air murni (clean steam) yang digunakan untuk sterilisasi tidak dimonitor untuk memastikan kualitas dan tidak adanya kontaminan.

- Pengawasan terhadap jumlah maksimum personil yang diperbolehkan pada area bersih dan aseptis tidak memadai.

- Gas yang digunakan untuk menghilangkan cairan dari suatu produk tidak melalui filter sterilisasi.

- Inspeksi visual terhadap partikel dan kerusakan dalam produk jadi tidak memadai.

- Catatan pelaksanaan sanitasi tidak lengkap.

C. Pelanggaran Berat (Kritikal)

Temuan dikategorikan kritikal apabila mencakup:

ƒ bersifat sistemik yang berpengaruh kepada produk sehingga mengancam kesehatan manusia;

ƒ pola teridentifikasi; dan

ƒ terkait proses utamanya pada aspek sistem manajemen mutu, validasi, tata udara dan sistem pengolahan air.

Contoh:

• Sistem Manajemen Mutu

Tidak memiliki Struktur Organisasi termasuk personil kunci, bagian Produksi dan bagian Pengawasan Mutu tidak independen, serta ditemukan bukti bahwa pelulusan produk jadi tetap dilakukan walaupun hasil uji tidak memenuhi spesifikasi dan/atau tidak ada pengendalian perubahan dan/atau tidak ada pengendalian penyimpangan.

• Bangunan dan Fasilitas

- Pemisahan yang tidak memadai dalam pembuatan produk berisiko tinggi seperti grup penisilin, sefalosporin, sitotoksik, hormon steroid sehingga dapat menyebabkan risiko kontaminasi.

- Bangunan dan fasilitas pabrik tidak memadai sehingga menimbulkan risiko tinggi terhadap kontaminasi produk.

(16)

- 12 -

- Tidak tersedia atau tidak memadainya filtrasi udara di ruang produksi untuk mengurangi kontaminan lingkungan (dari udara sekitar).

- Sistem tata udara/AHS tidak berfungsi sehingga

berpotensi terjadi kontaminasi atau kontaminasi silang, terbukti dengan ditemukannya parameter pemantauan lingkungan melebihi spesifikasi.

- Sistem tata udara/AHS laboratorium (ruang uji sterilitas) menjadi satu dengan ruang produksi.

- Tidak diadakan sistem pemisahan antara produk dalam status “Karantina” dan yang “Diluluskan” yang berpotensi menimbulkan campur-baur.

- Invasi pest yang luas.

• Peralatan

- Peralatan produksi yang kritikal tidak terkualifikasi.

- Peralatan sampling bahan baku aktif produk betalaktam dan non betalaktam menjadi satu.

- Mesin dioperasikan dengan menggunakan suku cadang dan/atau alat lain yang tidak sesuai spesifikasi secara permanen sehingga mempengaruhi kinerja mesin.

• Sanitasi

- Terdapat penumpukan residu atau bahan lain pada

peralatan produksi yang berpotensi untuk kontaminasi silang.

- Tidak melaksanakan program pembersihan yang

ditetapkan, dengan bukti fasilitas dan peralatan yang tampak kotor.

• Produksi

- Tidak mempunyai Dokumen Produksi Induk.

- Tidak membuat Catatan Produksi atau sengaja membuat dan/atau menginterpretasikan Catatan Pengolahan dan Pengemasan Bets Produk dengan tidak benar.

- Ketidaksesuaian atau kekeliruan pemesanan bahan baku aktif dan bahan kemas untuk proses produksi dan pengemasan.

- Penandaan (labeling) yang salah pada produk.

(17)

- 13 -

- Bahan baku tidak diuji (termasuk uji identifikasi yang benar) untuk memenuhi spesifikasi yang ditetapkan.

- Tidak melakukan pengujian terhadap produk jadi sebelum dipasarkan.

- Meluluskan produk jadi yang tidak sesuai dengan

spesifikasi yang disetujui untuk dipasarkan .

- Ketidaksesuaian atau kekeliruan pembacaan hasil

pengujian.

- Ketidaksesuaian atau kekeliruan dokumentasi hasil pengujian.

- Sengaja membuat dan/atau menginterpretasikan hasil analisa dengan tidak benar.

- Menggunakan baku pembanding yang kadaluwarsa.

- Menggunakan baku pembanding bakteri yang tidak

bersertifikat.

• Stabilitas

- Tidak tersedia data atau justifikasi untuk menetapkan batas waktu edar (ED) produk yang telah terdaftar.

- Terbukti melakukan manipulasi data atau salah

mengintepretasikan data stabilitas.

• Validasi

- Sarana Penunjang produksi (sistem tata udara, sistem pengolahan air) tidak/belum dikualifikasi tapi sudah digunakan.

• Produk Steril

- Tidak tersedia baju steril yang memenuhi syarat.

- Validasi proses sterilisasi (atau proses yang kompleks dari suatu produk kritis) tidak ada atau tidak memadai.

- Proses sterilisasi dengan menggunakan metode probability

of survival yang belum tervalidasi.

- Sistem Pengolahan Air untuk produksi produk steril tidak divalidasi, dengan bukti terdapat masalah pada angka mikroba/endotoksin diluar spesifikasi.

- Belum tersedia validasi proses aseptik yang membuktikan bahwa proses aseptis valid.

- Melakukan proses pengisian secara aseptis meskipun hasil validasi proses aseptik tidak memenuhi syarat.

(18)

- 14 -

- Tidak ada pengendalian lingkungan atau pemantauan mikroorganisme viable selama proses pengisian produk secara aseptis.

- Bets yang tidak lulus uji sterilitas awal tetap diluluskan untuk dipasarkan hanya berdasarkan pengujian kedua tanpa penyelidikan yang menyeluruh.

- Release diberikan kepada produk yang tidak memenuhi

spesifikasi steril yang ditetapkan

VI. SANKSI ADMINISTRATIF

Pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan terkait penerapan CPOB, dapat dikenai sanksi administratif. Jenis sanksi administratif ditetapkan berdasarkan pada risiko kesehatan yang ditimbulkan.

Kriteria penentuan sanksi administratif sebagai tindak lanjut inspeksi CPOB:

1. Peringatan, jika ditemukan:

1.1 Satu sampai dua temuan kritikal dan

1.2 Temuan mayor tidak bersifat sistemik dan/atau 1.3 Temuan minor yang berulang dalam 2 kali inspeksi. 2. Peringatan Keras, jika ditemukan:

2.1 Tiga atau lebih temuan kritikal dan

2.2 Temuan mayor tidak bersifat sistemik yang berulang dan/atau 2.3 Temuan mayor yang bersifat sistemik dan/atau

2.4 Tidak ada perbaikan atau rencana perbaikan terhadap

peringatan dalam jangka waktu yang sudah ditentukan dalam surat peringatan.

3. Penghentian Sementara Kegiatan (PSK), jika ditemukan:

3.1 Temuan kritikal yang langsung berdampak terhadap kesehatan konsumen dan/atau

3.2 Tidak ada perbaikan yang signifikan terhadap Peringatan Keras yang telah diberikan sebanyak 2 (dua) kali.

3.3 Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan.

3.4 PSK dapat diterapkan untuk satu atau lebih fasilitas produksi terkait dengan penyimpangan atau produksi produk tertentu yang terbukti ada penyimpangan.

(19)

- 15 - 4. Penarikan Kembali Obat:

4.1 Jika hasil uji terhadap sampel yang diambil pada saat inspeksi di fasilitas produksi tidak memenuhi spesifikasi sehingga berdampak terhadap kesehatan.

4.2 Produk diproduksi di fasilitas yang tidak sesuai dengan sertifikat jenis sediaannya.

4.3 Produk diproduksi tidak sesuai dengan proses yang disetujui pada dokumen registrasi.

4.4 Produk diberi label salah (wrong label).

4.5 Produk yang diproduksi tanpa Nomor Izin Edar (NIE) dan/atau diproduksi pada fasilitas yang tidak mempunyai sertifikat CPOB.

5. Pemusnahan (bahan awal, bahan kemas, produk ruahan, produk antara, produk jadi):

5.1 Produk yang diamankan sementara dan telah diputuskan tidak dapat digunakan dan/atau terjadi pelanggaran terhadap

ketentuan yang berlaku.

5.2 Produk hasil penarikan kembali sebagaimana butir 4. 6. Pembatalan Nomor Izin Edar (NIE) Produk, jika ditemukan:

6.1 Temuan kritikal dari suatu produk yang menyangkut sistem manajemen mutu dan berdampak luas.

6.2 Pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan

(contoh: Produk mencantumkan indikasi tidak sesuai dengan indikasi yang disetujui pada NIE).

7. Pembekuan Sementara Sertifikat CPOB, jika:

Industri Farmasi yang mendapat sanksi Penghentian Sementara Kegiatan (PSK) tidak melaporkan tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap penyimpangan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak surat diterima.

8. Pencabutan Sertifikat CPOB, jika:

Industri Farmasi yang mendapat sanksi Penghentian Sementara Kegiatan (PSK) tidak melaporkan tindakan perbaikan dan pencegahan terhadap penyimpangan dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan sejak surat diterima.

Pencabutan Sertifikat CPOB diikuti dengan Pencabutan Nomor Izin Edar.

(20)

- 16 -

9.1 Tidak melakukan perbaikan selama 3 (tiga) tahun sejak diberikan sanksi pencabutan seluruh sertifikat CPOB yang dimiliki.

9.2 Terbukti melakukan pelanggaran terhadap peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

VII. SANKSI PIDANA

Selain dapat dikenai sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Angka Romawi VI, pelanggaran penerapan CPOB juga dapat dikenai sanksi pidana apabila diduga atau patut diduga ditemui pelanggaran pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

VIII. PENUTUP

Dengan ditetapkannya Keputusan Kepala Badan POM RI Nomor HK.04.1.23.09.10.9269 Tahun 2010 tentang Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan Cara Pembuatan Obat yang Baik di Industri Farmasi maka semua tindak lanjut hasil pengawasan penerapan CPOB di industri farmasi yang dilaksanakan oleh Badan POM dan/atau Balai Besar/Balai POM sebagai unit pelaksana teknis di lingkungan Badan POM harus sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam pedoman ini.

Pedoman ini juga diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan untuk mempermudah pelaksanaan tindak lanjut hasil pengawasan penerapan CPOB bagi para inspektur CPOB.

Pedoman ini bersifat dinamis dan apabila di kemudian hari Pedoman Tindak Lanjut Hasil Pengawasan Penerapan CPOB di Industri Farmasi ini perlu disempurnakan, maka akan dilakukan penyempurnaan sesuai perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan, ttd.

Referensi

Dokumen terkait

Batas penggunaan maksimum adalah jumlah milligram per kilogram (mg/kg) pemanis buatan yang diizinkan untuk ditambahkan ke dalam produk pangan atau jumlah pemanis buatan yang

Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1745 tentang Kosmetik, Jakarta: Badan Pengawas Obat dan Makanan.. BPOM

Mufassir lain, Imam As-Syaukani memberi tafsiran, “Ayat ini merupakan dalil wajibnya hijrah dari negeri kafir menuju negeri muslim bagi yang tidak kuasa menjalankan agamanya.” Syaikh

Begitu pula dengan mencari tingkat kemiripan suatu situs web dengan situs web lainnya, manusia dapat dengan mudah menentukan apakah situs web tersebut memiliki tingkat

Persamaan (3.5) menjadi fungsi utilitas atau yang bisa juga disebut fungsi objektif yang akan diminimumkan oleh negara penerima (domestik) setelah fungsi tersebut dikenakan

Pengertian pengenalan secara otomatis pada definisi biometrik adalah dengan menggunakan teknologi (computer), pengenalan terhadap identitas seseorang dapat dilakukan

Optimasi aliran daya menggunakan metode Binary Linear Programming (BLP) dengan penempatan 3 buah distributed generation tipe Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD)

siswa kelas XI IPA 2, dalam menata dan menghasilkan sebuah pola ritme yang indah. Melalui model pembelajaran Inovatif – Progresif, para siswa diberi kesempatan untuk bekerja. Peneliti