• Tidak ada hasil yang ditemukan

SENI CADAS DI WILAYAH BIAK TIMUR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SENI CADAS DI WILAYAH BIAK TIMUR"

Copied!
14
0
0

Teks penuh

(1)

SENI CADAS DI WILAYAH BIAK TIMUR

Erlin Novita Idje Djami (Balai Arkeologi Jayapura)

Abstract

Rock art in East Biak is an interesting subject to be examined. Its carved technique and motifs offer many important informations about cultural activities in the past, including the arts’ benefi ts toward the society. This research will explore fi ndings of rock art in East Biak in order to giving meanings or thorough description about the people and their culture in Biak. At least, there are fi ve main motifs or objects which can be explored and revealed through the study: human, animal, vegetation, material culture and abstract or unidentifi ed object. In addition to the understanding of rock art, the art can also contribute in learning human migration from Southeast Asia islands to Pacifi c region in the past since the art found widely in both area.

Keywords: Rock art, carved technique, meanings, migration, East Biak

Pendahuluan

Seni cadas1 merupakan salah satu bentuk tinggalan budaya dari masa prasejarah yang sangat penting untuk mengungkapkan pengetahuan dan perilaku para pembuatnya. Keberadaannya sebagai bukti pencapaian citarasa seni manusia di masa itu. Seni cadas mempunyai sebaran yang mencakup hampir seluruh pelosok dunia dan sudah ada sejak 50.000 tahun yang lalu ditemukan di Eropa, dan lainnya ditemukan di Afrika, Asia daratan dan kepulauan, Australia, Pasifi k hingga ke Amerika (Tanudirdjo, 2008).

Menurut Heekern, tinggalan seni cadas di Indonesia sudah ada sejak 4000 tahun yang lalu bertepatan dengan berakhirnya masa mesolitik dan dimulainya masa neolitik 1 Seni cadas atau rock art adalah suatu hasil karya seni manusia masa lampau yang diterakan pada permukaan batu-batu besar serta pada dinding batu dalam bentuk gua, ceruk dan tebing.Karya seni ini pada umumnya dinyatakan dalam tiga macam teknik penggambaran, yaitu lukisan (painting) dengan menggunakan b ahan-bahan warna tertentu, goresan (engraving) dan pahatan (cerving) (Lihat Bagyo Prasetyo, dkk, dalam ‘Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia’. Jakarta 2004, halaman 22.

(2)

(Soekmono, 1973; Djami, 2008). Temuan seni cadas di Indonesia terdapat di beberapa wilayah misalnya di Kalimantan Timur (di situs Gua Tewet), Sulawesi Selatan ( Situs Sumpang Bita, Pangkep, dan Maros), Pulau Muna, Pulau Buru, Pulau Seram, Pulau Flores (Lomblem), Pulau Timor, Pulau Kei, dan di Papua (Kokas, Kaimana, Sentani, Jayawijaya) (Arifi n dan Delanghe, 2004).

Temuan seni cadas di wilayah-wilayah tersebut berupa gambar-gambar cap tangan, manusia, hewan, tumbuhan, antropomorfi k, benda budaya dan benda-benda alam lainnya, yang torehkan pada dinding-dinding gua, dinding ceruk dan tebing karang dengan menggunakan zat berwarna merah, kuning, coklat, putih, dan hitam, yang dibuat dengan teknik lukis, garis, cap, percik, sembur, dan tabur serta ada juga yang dibuat dengan teknik gores tanpa zat pewarna dengan menggunakan benda keras seperti yang terdapat di situs Megalitik Tutari (Prasetyo, 2001; Arifi n dan Delanghe, 2004). Di samping itu ada yang dibuat dengan teknik pahat seperti temuan seni cadas di wilayah Biak Timur- Papua (Rudatin, 1997; Djami, 2008). Keberadaan seni cadas di wilayah Biak Timur tersebut sangat menarik untuk dikaji lebih jauh, selain karena teknik pembuatannya yang dibuat dengan cara dipahat, juga karena motif-motifnya dapat memberi banyak informasi penting tentang suatu perilaku budaya masa lampau, apakah itu berkaitan dengan siapa manusia pendukungnya, motivasi budaya pembuatnya, dan sejauhmana manfaatnya. Sehingga nantinya diperoleh suatu gambaran menyeluruh tentang manusia pendukung budaya tersebut.

Kerangka Pikir

Mencermati keberadaan seni cadas di wilayah Indonesia, telah memberikan suatu gambaran tentang persebaran budaya tersebut yang meliputi daerah Sulawesi Selatan, Pulau Muna, Pulau Seram, Kei Kecil, Pulau Flores (Lomblem), Timor Timur dan Papua serta Kalimantan Timur dan Barat. Ditinjau berdasarkan motif maupun kronologinya tersirat suatu hubungan yang menggambarkan adanya suatu proses migrasi. Berdasarkan hasil penelitian seni cadas pada gua-gua di Kalimantan Timur dan Barat, yang dihubungkan dengan lukisan cadas di kawasan Timur dan Asia Tenggara (Serawak, Thailand, dan Filipina). Bagyo Prasetyo dalam hipotesisnya mengatakan adanya jalur persebaran budaya lukisan cadas dari Asia Tenggara, Indonesia, dan Australia (Nurani, 2000).

(3)

Hipotesis tersebut mengasumsikan ada dua arus sebaran seni cadas yaitu dari jalur barat yang ditujukan oleh temuan seni cadas dari Kalimantan Barat dan Timur yang sejalur dengan lukisan cadas dari Thailand Selatan dan Serawak, yang selanjutnya menyebrang ke arah Sulawesi Tenggaraa dan terpecah menjadi 2, ada yang ke timur menuju kepulauan Maluku terus ke Papua dan ke selatan menuju Flores (Lomblen) terus ke Timor Timur. Dan dari jalur utara dihubungkan dengan temuan seni cadas di Sulawesi Selatan dan Filipina (Nurani, 2000).

Pendapat tersebut berbeda dengan asumsi Koentjaraningrat (1995) yang mengatakan bahwa kesamaan seni cadas di bagian barat Papua dengan di Flores dan Timor Timur mendapat pengaruh dari penduduk Papua yang ke arah barat, hal ini ditunjang oleh persebaran orang Austro-Melanesoid dari Papua ke kepulauan di sebelah barat daya (Nurani, 2000). Ras Austro-Melanesoid atau ras Paleo-Melanesoid merupakan nenek moyang orang Australia, Papua dan Melanesia yang pada zaman es terakhir sekitar 800.000 tahun yang lalu terpisah oleh adanya kenaikan muka air laut sehingga beberapa wilayah yang tadinya menyatu dengan Australia seperti Papua dan beberapa daerah lainnya mengalami pemisahan, dan ini berdampak juga pada perkembangan ras, yaitu ciri fi sik peduduk Australia berkembangan menjadi ciri fi sik Australoid sekarang dan ciri fi sik penduduk asli Papua dan Melanesia berkembang menjadi ras Melanesoid sekarang (Sutaarga dan Koentjaraningrat, 1994).

Dalam perkembangannya, penduduk Papua juga mengalami percampuran dengan pendatang dari Asia Timur di zaman purba, yaitu orang-orang Asia yang tiba dalam zaman yang lebih muda (Teuku Jacob, 1967 dalam Sutaarga dan Koentjaraningrat, 1994). Pandangan ini didukung pula oleh pernyataan Coon (1962, 1966), bahwa wilayah Indonesia dan wilayah Asia Tenggara daratan di dekatnya merupakan tanah air orang Australoid, yang kemudian dilanda serbuan atau ekspansi Mongoloid ke selatan sekurang-kurangnya sejak zaman neolitik dan memuncak pada masa sejarah selama 2000 tahun yang lalu (Bellwood, 2000).

Seiring dengan kedatangan orang-orag Asia ke wilayah Papua yang tiba pada zaman yang lebih kemudian telah membawa perubahan dan menambah bentuk keragaman budaya Papua, seperti keberadaan seni cadas di wilayah ini yang menurut Chris Ballard sebagai tradisi budaya yang dibawa oleh para penutur Austronesia sekitar 4000 tahun yang

(4)

lalu, hal ini ditinjau berdasarkan pada sebaran, hubungan antarmotif, lokasi, dan konteks linguistik pada seni cadas di Melanesia Barat termasuk Papua dan Maluku (Tanudirdjo, 1996 dalam Hartatik, 1999). Gambaran ini menunjukkan bahwa seni cadas tersebut dibuat pada berakhirnya masa mesolitik dan dimulainya awal neolitik (soekmono, 1973). Namun demikian, temuan seni cadas pada bongkah-bongkah batu yang dikerjakan dengan teknik gores di Bukit Tutari - Sentani, digolongkan kedalam kelompok tradisi budaya megalitik karena di situs ini juga terdapat beberapa materi budaya megalitik seperti menhir, jajaran batu dan batu temugelang (Prasetyo dkk, 1994).

Tetapi jika kita mengacu pada teori Riesenfelt yang mengatakan bahwa wilayah Papua telah mendapat pengaruh megalitik dari Asia Tenggara melalui dua jurusan yaitu pengaruh pertama datang dari barat melalui Indonesia sebelah selatan lewat kepulauan Maluku menuju bagian barat Irian Jaya, dan pengaruh kedua menyebar ke Mikronesia sebelum membelok ke arah barat menuju daerah Sepik di PNG melalui Filipina, Sulawesi Utara, dan Halmahera. Arus dari arah Barat mempengaruhi daerah pantai selatan, barat dan utara Irian Jaya hingga ke Mamberamo, sedangkan arus dari Mikronesia mempengaruhi seluruh Irian Jaya dengan batas di sebelah barat di daerah Sentani, karena disana terdapat beberapa arus Utara seperti pemahatan batu, adat mas kawin, dan atap rumah lengkung. Menurut para ahli pembawa dan penyebar kebudayaan megalitik ini adalah orang Melanesia asli atau Melanesia primitif atau proto Polinesia karena gaya kebudayaan ini menyebar dari Mikronesia ke arah Polinesia (Soejono, 1994).

Sehubungan dengan berbagai pendapat tentang seni cadas tersebut di atas, bagaimana dengan keberadaan seni cadas di wilayah Biak Timur yang dibuat dengan teknik pahat? Untuk mengetahuinya maka arkeologi sebagai ilmu yang mempelajari sisa hasil aktivitas manusia, manusia itu sendiri dan lingkungannya (Whiten and Hunter, 1990), mencoba untuk mengungkapkan tentang seni cadas di wilayah tersebut, setidaknya ada lima aspek utama yang dapat digali dan diungkap melalui kajian seni cadas yaitu aspek keruangan, berkaitan dengan keletakan atau sebaran seni cadas pada situs, ciri sifat situsnya, konteks ekologi situs baik secara lokal maupun regional; aspek kronologi, berkaitan dengan pertanggalan seni cadas, baik mutlak maupun relatif berdasarkan identifi kasi benda-benda yang digambarkan maupun asosiasi dengan hasil ekskavasi; aspek sintaktik, berkaitan dengan seni cadas itu sendiri yang meliputi ciri teknis, motif, gaya, cara penggambaran, dan tata letak; aspek semantik, melibatkan hubungan antara tanda dengan

(5)

apa yang ditandai dengan tujuan memberi penjelasan tentang arti dan gagasan yang ingin disampaikan pembuatnya; aspek pragmatik, menyangkut hubungan antara tanda atau lambang dengan orang yang menggunakannya dalam arti mengungkapkan tujuan atau fungsi seni cadas dengan menjelaskan perannya, mengapa dibuat, dan motivasi budaya yang melatarbelakanginya (Tanudirdjo, 2008).

Temuan Seni Cadas di Wilayah Biak

Mengacu pada hasil-hasil penelitian arkeologi di wilayah Biak Timur - Kabupaten Biak Numfor, terdapat beberapa situs yang mengandung seni cadas.Situs-situs tersebut berupa gua-gua alam yang pada permukaan dinding-dindingnya terdapat lukisan yang dibuat dengan teknik pahat.Seni cadas tersebut merupakan suatu gambaran tentang perilaku manusia masa lampau. Untuk lebih jelasnya dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Situs Gua Wow Sikiki

Temuan seni cadas di situs Gua Wou Sikiki berupa pahatan-pahatan gambar pada dinding gua maupun pada bongkah batu besar yang terletak di mulut gua.Adapun yang menjadi motif gambarnya adalah berupa motif patung arwah (amfi anir karwar) dan manusia ngangkang (Rudatin, 1997).

2. Situs Gua Abib

Temuan seni cadas di situs Gua Abib berupa pahatan-pahatan gambar padadinding-dinding dalam gua, langit-langit gua maupun pada dinding luar gua. Adapun yang menjadi motif gambarnya berupa manusia ngangkang, manusia sedang menari, perempuan yang sedang duduk, seorang wanita dan bayi yang tidur terlentang, manusia yang memiliki sayap, manusia dalam perahu, tanaman, ular, buaya/kadal, dan wadah,

3. Situs Gua Kufrai

Temuan seni cadas di situs Gua Kufraiberupa pahatan-pahatan gambar padadinding-dinding dalam gua. Adapun yang menjadi motif gambarnya berupa manusia ngangkang, manusia bersusun, manusia duduk, manusia dalam keadaan berdiri dengan menonjolkan bagian kelaminnya, tengkorak manusia, ular dan wadah,

(6)

4. Situs Gua Yenukem

Temuan seni cadas di situs Gua Yenukem berupa pahatan-pahatan gambar pada dinding-dinding dalam gua dan pada bongkah batu besar yang terletak di mulut gua.Adapun yang menjadi motif gambarnya berupa manusia ngangkang, manusia menari, manusia tidur, patung arwah (amfi anir karwar), kepala manusia, wadah dan abstrak (Djami, 2009).

Berdasarkan hasil pengamatan motif seni cadas pada situs-situs tersebut, terdapat beberapa objek gambar yang dapat dikelompokkan menjadi kelompok manusia, fauna, fl ora, benda budaya, dan benda abstrak lainnya. Adapun tampilan objek-objek gambar tersebut cukup bervariasi yaitu ditampilkan secara berkelompok maupun individu pada permukaan dinding gua maupun pada bongkah batu besar, dengan tata letak dan ukuran dari setiap objek cukup bervariasi yaitu ada yang ditempatkan di bagian bawah dinding dalam gua, bagian tengah dinding dalam gua, pada langit-langit gua, bagian luar dinding, dan bahkan pada bongkah batupun ada yang di atas, di bawah dan memenuhi seluruh permukaan batu dengan ukuran gambar ada yang kecil, sedang, dan besar.

Temuan seni cadas pada gua-gua alam di wilayah Biak Timur berbeda dengan temuan jenis cadas yang berada di wilayah Papua lainnya maupun di beberapa daerah di Indonesia. Kalau umumnya seni cadas yang ditemukan berupa lukisan-lukisan pada cadas yang dibuat dengan teknik gores, gambar, dan sembur atau percik dengan menggunakan zat berwarna merah, putih, kuning, coklat dan hitam, tetapi di wilayah Biak seni cadas yang ditemukan berupa gambar timbul atau relief yang dibuat dengan teknik pahat. Jika dilihat dari bentuknya, pembuatan seni cadas dengan teknik pahat ini tentunya didukung oleh peralatan yang lebih maju dan lebih tajam seperti pahat batu atau benda sejenisnya sehingga dapat menghasilkan suatu bentuk relief gambar timbul yang indah, dan dalam proses pembuatannyapun tentunya perlu suatu perencanaan berkaitan dengan peletakan gambar pada media berupa dinding gua atau bongkah batu sesuai dengan konsep cerita yang akan ditampilkan dan juga disesuaikan dengan berapa jumlah objek dan objek apa yang akan dipahat pada bagian-bagian permukaan dinding yang ada. Sebelum dipahat, terlebih dahulu dibuatkan garisan motif pada permukaan dinding gua maupun pada permukaan bongkah batu yang akan dipahat, setelah itu baru dilakukan pemahatan hingga menghasilkan bentuk relief gambar yang diinginkan dan dilakukan penghalusan pada motif gambar. Sedangkan dari hasil pengamatan pada kedaan situs dan lingkungan sekitarnya serta tata letak situs-situs yang berada pada satu wilayah ini, memberikan

(7)

gambaran bahwa pendukung budaya seni cadas merupakan suatu kelompok orang yang sama, hal ini didukung juga oleh teknik pembuatan dan motif-motif yang ditampilkan.

Di lain pihak, jika seni cadas di wilayah Biak Timur dihubungkan atau dibandingkan dengan seni cadas yang dibuat dengan menggunakan zat pewarna yang berada di daerah lainnya di Papua yaitu menunjukkan bahwa budaya ini berasal dari periode yang berbeda, yaitu seni cadas yang dibuat dengan teknik pahat ini diperkirakan berasal dari masa yang lebih muda yaitu pada masa megalitik2 yang masuk ke wilayah Papua melalui jalur Utara (Teori Resienfelt). Dugaan ini juga didukung oleh keberadaan salah satu motif khusus yaitu motif patung arwah (amfi anir karwar) sebagai salah satu simbol religi. Di samping itu juga, didukung pula oleh posisi wilayah Biak yang strategis di bagian utara Pulau Papua, tepatnya di kawasan Teluk Cenderawasih yang berbatasan langsung dengan Samudera Pasifi k, sehingga menjadikan wilayah ini sebagai salah satu jalur pelayaran penting yang sudah terjadi sejak zaman prasejarah.

Makna Seni Cadas bagi Manusia Pendukungnya

Seni cadas merupakan salah satu bentuk data arkeologi yang amat penting untuk mengungkapkan kehidupan manusia masa lampau, khususnya dari masa prasejarah. Tinggalan budaya tersebut dianggap mengandung banyak informasi tentang cara hidup manusia dan sebagai bukti pencapaian cita rasa seni manusia di masa lampau (Tanudirdjo, 2008). Dengan demikian temuan seni cadas di wilayah Biak Timur adalah sebagai suatu gambaran tentang khasanah pengetahuan seniman yang dipahatkan pada dinding-dinding gua dan pada bongkahan batu sebagai media untuk menuangkan atau mengekspresikan perasaannya tentang apa yang dilihat, dirasakan, dialami, maupun hanya sebagai imajinasi yang berkaitan dengan perilaku manusia dan segala sesuatu yang terlibat di dalamnya. Hal ini tercermin pada motif-motif yang ditampilkan yang mengandung berbagai informasi tentang nilai-nilai budaya masyarakat di masa itu.

Untuk mengetahui tentang bentuk seni cadas di wilayah Biak Timur, digunakan berbagai pendekatan diantaranya: Pendekatan model normal yaitu dengan menafsirkan 2 Diperkirakan dari masa megalitik atau pengaruh budaya megalitikkarena adanya pemanfaatan batu besar sebagai objek yang dipahat, dan didukung oleh teknologi peralatan yang lebih maju sehingga menghasilkan bentuk pahatan yang halus dan indah serta motif yang dipahat berkaitan dengan suatu aktivitas sosial-religi)

(8)

arti dan fungsinya yang dilakukan dengan cara menduga-duga bentuk yang ada dengan kemiripan-kemiripan bentuk yang dipersepsikan peneliti; Pendekatan arkeologi murni (pure archaeological approach) yaitu bahwa seni cadas diperlakukan sebagai artefak masa prasejarah yang terlepas dari konteks sistemnya; dan pendekatan semiotika yaitu memaknai lukisan (simbol atau lambang) dengan menghubungkan antara satu dan lainnya dalam suatu pola tertentu, sehingga pola itulah yang sebenarnya memberikan makna, dan pendekatan etnoarkeologi sebagai upaya memberikan penjelasan terhadap seni cadas dengan menarik analogi dengan data etnografi ataupun etnohistori (Clegg, 1985; Washburn, 1983; Llamazares, 1989; dalam Tanudirjo, 2008).

Pada dasarnya lukisan-lukisan pada batu, dinding gua dan karang menggambarkan kehidupan sosial-ekonomis dan religi masyarakat pada dewasa itu (Clark 1960 dalam Prasetyo dkk, 2004). Dengan demikian, dalam mengartikan atau memaknai seni cadas dengan teknik pahat, terlebih dahulu perlu dilakukan penafsiran motif-motif apa yang menjadi obyek gambar, gaya, cara penggambaran, tata letak, pengelompokan, komposisi, struktur, dan tema berulang. Untuk itu temuan seni cadas di wilayah Biak Timur diperoleh beragam bentuk motif-motif lukisan dan dapat diklasifi kasi ke dalam 5 (lima) kelompok, yaitu: (1) kelompok manusia berupa gambar manusia di dalam perahu yang sedang mendayung, gambar manusia bersayap yang sedang terbang, gambar manusia yang sedang menari, manusia sedang tidur, manusia ngangkang, seorang wanita dan bayi yang terlentang, wanita yang sedang duduk, seorang laki-laki dengan organ kemaluan yang ditonjolkan dan juga terdapat beberapa gambar manusia yang hanya sebagian organ saja seperti gambar kepala manusia dan tengkorak manusia; (2). Kelompok fauna berupa kadal/buaya dan ular; (3). Kelompok fl ora berupa tumbuhan; (4). Kelompok benda budaya berupa perahu, patung karwar dan wadah; dan (5). Kelompok abstrak yaitu untuk lukisan yang tidak berbentuk atau belum teridentifi kasi.

Lukisan-lukisan tersebut merupakan pancaran dari sikap hidup manusia mencakup pula nilai-nilai estetika dan magis yang bertalian dengan totem dan upacara-upacara ritual (Prasetyo dkk, 2004) serta cara hidup sehari-hari. Seperti lukisan dengan motif manusia tidak terlepas dari pola perilaku penghasil budaya itu sendiri, baik itu berkaitan dengan gambaran kehidupan sosial ekonomi maupun kehidupan religinya. Motif fauna yang dipahatkan berupa kadal dan ular memberi gambaran tentang fauna yang dilihat dan hidup di lingkungan sekitar pelukis, tetapi binatang-binatang tersebut juga memiliki makna simbolis yang sarat pesan seperti kadal dan ular yang cenderung menggambarkan

(9)

segi religius, yang mana kedua binatang tersebut selalu dikaitkan dengan keberadaan nenek moyang atau bahkan sebagai representasi dari roh nenek moyang maupun juga sebagai binatang mitologi,dan gambaran binatang tersebut juga sebagai tanda peringatan atau binatang yang membahayakan.

Motif fl ora berupa tumbuhan yang menggambarkan suatu jenis tanaman yang dibudidayakan dan dikonsumsi atau sebagai tanaman obat-obatan. Motif hasil budaya berupa perahu, patung karwar, dan wadah. Motif-motif tersebut dapat memberikan gambaran mengenai perilaku manusia masa itu, ditinjau dari fungsi peralatan tersebut dapat bersifat sosial, ekonomis maupun religi. Misalnya motif perahu sebagai alat transportasi yang dapat menggabarkan suatu proses pelayaran, baik itu untuk mencari ikan atau gambaran tentang suatu perjalanan migrasi masyarakat pendukungnya hingga tiba di tempat tersebut, atau juga sebagai tanda atau lambang kehadiran nenek moyang.

Motif patung karwar berkaitan dengan kegiatan religi dan motif wadah sebagai alat kebutuhan sehari-hari dan bisa berfungsi sosial, ekonomis maupun religi. Sedangkan motif lainnya adalah berupa benda-benda abstrak yang belum teridentifi kasi, namun keberadaan benda-benda tersebut memiliki arti penting bagi masyarakat pendukungnya.

Keberadaan seni cadas jika dikaitkan antarmotif yang ada akan menggambarkan suatu peristiwa budaya, seperti keberadaan manusia dalam perahu di Gua Abib menunjukkan suatu kegiatan pelayaran yang terjadi pada masa itu. Di samping itu, motif manusia dalam berbagai posisi, keberadaan kadal, ular dan tumbuhan juga menggambarkan suatu aktivitas tentang kehidupan manusia setelah kegiatan pelayaran baik itu berkaitan dengan aktivitas sehari-hari maupun yang berkaitan dengan kegiatan religi.

Di samping itu, lukisan manusia yang sedang menari dan gambar manusia dalam berbagai posisi serta gambar patung karwar (amfi anir karwar) di Gua Yenukem menunjukkan suatu pola kehidupan sosial religi masyarakat saat itu dalam suatu upacara inisiasi. Sedangkan gambaran lainnya seperti keberadaan tengkorak, manusia, wadah dan ular di Gua Kufrai juga merupakan suatu gambaran kehidupan religi yang berkaitan dengan mitologi masyarakat tentang suatu prosesi inisiasi, hal ini juga ditunjang oleh gambar manusia yang lebih menonjolkan pada alat kelaminnya, dan gambar tengkorak yang mungkin sebagai sarana memohon kekuatan perlindungan dari roh nenek moyang, serta gambar patung karwar dan manusia ngangkang di Gua Wow Sikiki sebagai suatu simbol perlindungan. Berkaitan dengan patung karwar dalam kehidupan masyarakat

(10)

Biak adalah sebagai sarana untuk memanggil arwah orang mati dengan tujuan meminta perlindungan, pertolongan, kekuatan dan juga untuk lebih dekat dengan si mati, karena didasari perasaan kasih sayang dan harapan agar si mati tetap berada dekat dengan sanak familinya. Di samping itu dalam tindakan religi orang Biak seperti dalam upacara inisiasi, patung karwar sangat berperan sebagai sarana penyatuan para inisiandus dengan leluhurnya. Didasarkan pada pemaknaan seni cadas tersebut diketahui bahwa tujuan pembuatannya sebagai tanda peringatan dan juga untuk kebutuhan magis religius dalam hubungannya upacara inisiasi dan penghormatan kepada roh nenek moyang serta untuk perlindungan.

Selain pemaknaan dari motif-motif seni cadas, juga melalui keberadaan seni cadas dapat membantu mengungkapkan berbagai sisi gelap migrasi manusia dari Asia Tenggara Kepulauan ke Pasifi k, karena seni cadas ditemukan cukup luas di kedua wilayah tersebut. Menurut Ballard (t.t), seni cadas di Melanesia Barat adalah tradisi budaya yang dibawa oleh orang-orang penutur Austronesia (Tanudirdjo, 2008). Para penutur Austronesia tersebut datang ke wilayah New Guinea pada gelombang kedua, mereka meninggalkan Taiwan pada 5000 tahun yang lalu dan menyebar ke arah Selatan dengan menggunakan perahu sampan maupun perahu layar dalam kelompok-kelompok kecil, mulanya mereka mencapai Filipina bagian Utara dan terus ke arah Selatan. Dan dari sini mereka terbagi ke dalam dua kelompok, kelompok pertama berlayar kearah Barat Daya dan kelompok kedua berlayar kearah Tenggara hingga mencapai Halmahera dan pesisir Utara New Guinea, mereka mendiami pulau-pulau sepanjang Samudera Pasifi k seperti di antaranya Yapen dan Biak, hal ini didukung oleh bukti lingustik (Muller 2008). Menurut Belwood (2000), bahasa Austronesia digunakan sejak 1500 SM dan telah berhubungan dengan bahasa-bahasa Papua di bagian utara. Sedangkan dari hasil penelitian Daud Aris Tanudirdjo yang menghubungkan seni cadas yang berasosiasi dengan kubur di Asia Tenggara Kepulauan dan Pasifi k, telah menunjukkan kaitan yang cukup erat dengan migrasi akhir orang-orang dari Asia Tenggara (kepulauan) ke ujung Pasifi k hingga Pulau Paskah.

Penutup

Keberadaan seni cadas di wilayah Biak Timur telah memberikan gambaran tentang pola kehidupan manusia pada masa lampau dan sebagai tanda atau simbol kebudayaan pendukungnya. Temuan seni cadas tersebut menunjukkan beragam bentuk

(11)

motif lukisan, yang jika dikaitkan antarmotifnya menggambarkan suatu peristiwa budaya seperti manusia dalam perahu yang menunjukkan kegiatan pelayaran dan beberapa bentuk motif manusia dalam berbagai posisi, serta keberadaan kadal, ular, dan tumbuhan sebagai gambaran kehidupan manusia setelah kegiatan pelayaran seperti terlihat pada seni cadas di Gua Abib.

Pada bagian lain, gambar manusia menari dan gambar manusia dalam berbagai posisi serta gambar patung karwar di Gua Yenukem menunjukkan pola kehidupan sosial religi masyarakat setempat berkait upacara inisiasi. Sedangkan gambar lainnya seperti keberadaan tengkorak, manusia, wadah dan ular di gua Kufrai merupakan suatu gambaran kehidupan religi manusia di masa itu, dapat pula dikaitkan dengan mitologi masyarakat tentang prosesi inisiasi. Hal ini juga ditunjang adanya gambar manusia yang lebih menonjolkan alat kelamin serta gambar tengkorak yang merupakan sarana memohon kekuatan perlindungan dari roh nenek moyang mereka seperti gambaran patung karwar dan manusia ngangkang di situs Gua Wow Sikiki.

Mengacu pada tehnik pembuatan seni cadas yang dibuat dengan cara dipahat pada dinding gua dan pada bongkah batu besar serta keberadaan objek gambarnya berupa patung karwar yang identik dengan pemujaan nenek moyang, maka budaya seni cadas di wilayah Biak Timur ini diperkirakan muncul bertepatan dengan masuknya pengaruh megalitik 2000 tahun yang lalu yang dibawa oleh para penutur Austronesia yang datang pada gelombang yang lebih muda melalui jalur utara, hal ini juga didukung oleh bukti linguistik.

Daftar Pustaka

Ballard, Chris, (tt). Painted rock art sites in western Melanesia: locational evidence for an “Austronesiaan” tradition. Naskah Makalah.

Bellwood, Peter. 2000.”Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia”, edisi Revisi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Clark, Graham. 1960. ”Archaeology and Society”. London: Methuen.

Clegg, J.K. 1985. “Comment” ( tentang artikel D. Gronfi eld ), Rock Art Research 2 (1), hlm.37-41.

(12)

Djami, Erlin Novita Idje. 2008, “Seni Cadas di Kabupaten Kaimana”, Laporan Penelitian Arkeologi No. 06. Balai Arkeologi Jayapura.

_________________. 2009, “Gua-Gua Prasejarah di Desa Makmakerbo Kabupaten Biak Numfor” dalam Laporan Penelitian Arkeologi No. 07. Balai Arkeologi Jayapura. Hartatik.1999, “Perbandingan Motif Nekara dan Lukisan Cadas di Indonesia Timur”,

dalam Naditira Widya. No. 03. Balai Arkeologi Banjarmasin. Hlm. 14-24. Llamazares, A.M. 1989. “A semiotic approach in rock art analysis” dalam Ian Hodder

(ed) The meaning of things. London: Happer Collins. Hlm 242-248. Muller, Kal. 2008. Mengenal Papua. Daisy World Books.

Prasetyo, Bagyo dkk. 1994, “ Situs Doyo Lama Kabupaten Jayapura”, Laporan Penelitian Arkeologi. Proyek Penelitian Purbakala Irian Jaya. Nopember.

_________________. 2004. ”Religi Pada Masyarakat Prasejarah di Indonesia” Jakarta: Proyek Penelitian dan Pengembangan Arkeologi.

Rudatin, Danang. 1997.“Survei Prasejarah di Kabupaten Biak Numfor Propinsi Irian Jaya ”Laporan Penelitian Arkeologi. Balai Arkeologi Jayapura.

Soejono, RP. 1994. ”Prasejarah Irian Jaya”, dalam Kontrjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, seri Etnografi Indonesia 5. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Sutaarga, M. Amir dan Koentjaraningrat.1994, “Kebinekaan Ras Penduduk Irian Jaya”, dalam Koentjaraningrat dkk, Irian Jaya Membangun Masyarakat Majemuk, seri Etnografi Indonesia 5. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Tanudirdjo, Daud A.. 2008 “Problema Dan Prospek Kajian Seni Cadas Prasejarah Di Indonesia”, dalam Gunadi Kasnowihadjo dan Sumijati Atmosudiro, Prasejarah Indonesia dalam Lintasan Asia Tenggara – Pasifi k. Asosiasi Prehistorisi Indonesia.Hlm: 10-32.

Washburn, D.K. 1983. “Toward a theory of structural style in art” dalam D.K. Wasburn (ed.), Structure and cognition in art, London: Cambridge University Press. Hlm. 1-7.

Whitten and Hunter. 1990.“Anthropology Contemporary Perspectives”. USA: A Division of Scott Foresman and Company.

(13)

Gambar 1. Pahatan manusia dalam perahu yang sedang berlayar di Gua Abib (dokumentasi Balar Jayapura, 2009)

Gambar 2. Pahatan bentuk

(14)

Gambar 3. Pahatan bentuk patung karwar berkepala besar, badan kecil dengan tangan melingkari kepala di Gua Yenukem (dokumentasi: Balar Jayapura, 2009)

Gambar 4. Pahatan manusia dengan lebih menonjolkan alat kelaminnya di Gua Kufrai (dokumentasi Balar Jayapura, 2009)

Gambar

Gambar 1. Pahatan manusia dalam perahu yang sedang berlayar di Gua Abib  (dokumentasi Balar Jayapura, 2009)
Gambar 4. Pahatan manusia dengan lebih menonjolkan alat kelaminnya di Gua Kufrai  (dokumentasi Balar Jayapura, 2009)

Referensi

Dokumen terkait

dan UNICEF (2002) yang dibuat untuk peningkatan cakupan ASI eksklusif, yaitu (1) inisiasi menyusu dini pada satu jam setelah kelahiran, (2) memberikan secara

Dari tabel di atas dapat diketahui bahwa aktivitas guru ketika proses pembeljaran menggunakan penerapan model pembelajaran kooperatif tipe STAD (Student Teams Achievement

Aplikasi dapat menangani manajemen data kategori, data barang, data karyawan, data supplier, data stok masuk, data stok keluar, melihat grafik stok masuk, melihat

Selanjutnya tabung tembaga dengan kumpulan kawat mono- filamen tersebut akan ditarik kembali seperti yang telah dilakukan pada saat pembuatan kawat mono-filamen,

5 Tatang Herman, Jurnal Pembelajaran Berbasis Masalah untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Matematis Tingkat Tinggi Siswa Sekolah Menengah Pertama.. 6 Eni Kartika,

Diklat Fungsional Penjenjangan Pranata Komputer adalah diklat yang diwajibkan bagi PNS yang akan memangku Jabatan Fungsional Pranata Komputer pada jenjang tertentu, kecuali

Adapun tanda dan gejala yang umum ditemukan atau sangat serius terjadi  pada lanjut usia menurut Buffer (2010), yaitu: sendi terasa kaku pada pagi hari,  bermula sakit dan

mujtahid dan mengambil pendapat yang lebih mudah telah lebih dahulu disepakati untuk tidak dilarang.. 17 أ ْرﺬﻔَلْﺑﺠَرزْرﺬ