• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Terhadap Pasal UUD 1945

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Analisis Terhadap Pasal UUD 1945"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS TERHADAP BAB DAN PASAL DI DALAM UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA (UUD NRI 1945)

PENDAHULUAN

Sejak reformasi digulirkan pada tahun 1998, Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945 (UUD NRI 1945) telah mengalami empat kali amandemen. Oleh karena itu pada kesempatan kali ini dan untuk memenuhi tugas mata kuliah politik hukum, penulis akan menganalisis seluruh bab dan pasal-pasal di dalam UUD NRI 1945.

BAB I. BENTUK DAN KEDAULATAN Pasal 1 ayat (1)

Berdasarkan pasal 1 ayat (1) dapat dianalisis bahwa bentuk negara Indonesia adalah negara kesatuan. Berbeda dengan negara federal, negara kesatuan bercirikan dengan kekuasaan pemerintah pusat yang menonjol. Ciri lainnya dari negara kesatuan ialah bahwa “kedaulatan tidak terbagi” atau dengan kata lain kekuasaan pemerintah pusat tidak dibatasi, karena konstitusi negara kesatuan tidak mengakui adanya badan legislatif lain, selain dari badan legislatif pusat. Selain itu, ada 2 ciri mutlak melekat pada suatu negara kesatua, yaitu :

1. Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat atau kepala wilayah atau kepala wilayah, kepala instansi, vertikal tingkat atasannya kepada pejabat-pejabat di daerah.

2. Desentralisasi, adalah penyerahan urusan pemerintah dari pemerintah pusat sebagai tingkat atasnya kepada daerah menjadi urusan rumah tangga daerah bersangkutan.

Pasal 1 ayat (2)

Berdasarkan pasal 1 ayat (2) dapat dianalisis bahwa Indonesia adalah negara yang demokratis, karena kedaulatan negara ada di tangan rakyat. Menurut J.J. Rousseau demokrasi adalah perwujudan nyata dari teori kedaulatan rakyat. Demokrasi sebagai wujud kedaulatan negara di tangan rakyat, maka negara memberi kekuasaan tertinggi kepada rakyat atau juga disebut pemerintahan dari

(2)

rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan salah satu prinsip pengelolaan negara Republik Indonesia, disamping prinsip lainnya, yaitu theokrasi (negara berdasarkan ketuhanan), nomokrasi (negara berdasarkan hukum), dan ekokrasi (negara yang berkedaulatan lingkungan).

Pasal 1 ayat (3)

Berdasarkan pasal 1 ayat (3) dapat dianalisis bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum adalah suatu negara yang menentukan cara bagaimana hak-hak asasi dilindungi. Dengan demikian negara hukum adalah suatu sistem yang wajar dalam negara demokrasi. Negara demokrasi merupakan bentuk pemerintahan yang akan menyalurkan kepentingan-kepentingan rakyat sebagai pernyataan dari hak asasinya. Antara prinsip demokrasi dan nomokrasi harus ada di dalam penyelenggaraan kenegaraan suatu negara, termasuk Indonesia. Demokrasi tanpa nomokrasi akan menghasilkan anarki, sedangkan nomokrasi tanpa demokrasi akan menghasilkan tirani.

BAB II. MAJELIS PERMUSYAWARATAN RAKYAT Pasal 2 ayat (1)

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) dapat dianalisis bahwa Indonesia menganut pembagian badan legislatif yang bersifat bikameral (dua kamar). Artinya, dengan amandemen yang telah dilakukan, saat ini keanggotaan Majelis Permuswaratan Rakyat (MPR) terdiri dari anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD), yang semuanya dipilih melalui pemilihan umum (pemilu). Sebelum amandemen, anggota MPR terdiri dari anggota DPR (dipilih melalui pemilu) dan utusan daerah serta golongan yang keanggotaannya berdasarkan pengangkatan presiden.

Pasal 2 ayat (2)

Berdasarkan pasal 2 ayat (1) dapat dianalisis bahwa dengan kata-kata “bersidang sedikitnya sekali dalam lima tahun”, artinya dalam jangka waktu 5 tahun tentu boleh bersidang lebih dari sekali dengan mengadakan persidangan istimewa.

(3)

Pasal 2 ayat (3)

Berdasarkan pasal 2 ayat (3) dapat dianalisis bahwa MPR dalam pengambilan keputusannya dilakukan dengan voting (suara terbanyak).

Pasal 3 ayat (1, 2, dan 3)

Berdasarkan pasal 3 ayat (1, 2, dan 3) menjelaskan tentang tugas dan wewenang MPR. Pasal ini bisa dikategorikan sebagai politik ketatanegaraan Negara Republik Indonesia.

BAB III. KEKUASAAN PEMERINTAHAN NEGARA Pasal 4 ayat (1) dan (2)

Berdasarkan pasal 4 ayat (1 dan 2) dapat dianalisis bahwa Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensiil. Bisa dikatakan demikian, karena dalam rumusan pasal tersebut dinyatakan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Ciri utama sistem pemerintahan presidensiil adalah presiden mengangkat para menteri sebagai pemimpin lembaga kementerian/departemen pemerintahan dan para menteri tidak bertanggung jawab kepada legislatif, melainkan kepada presiden. Akan tetapi, dalam praktek ketatanegaraannya, Indonesia ternyata tidak menganut sistem presidensiil secara murni, lebih tepatnya sebagai kuasi-presidensiil. Hal itu tampak dalam pengangkatan seorang menteri, presiden memanggil para pimpinan partai politik untuk memberikan saran dan pandangannya. Adapun mengenai wakil presiden, kedaulatannya hanya sebagai wakil kepala negara yang sifatnya seremonial dan lambang saja.

Pasal 5 ayat (1) dan (2)

Berdasarkan pasal 5 ayat (1 dan 2) presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang (RUU) kepada DPR. Selama ini (dari orde lama sampai sekarang) mayoritas inisiatif pengajuan RUU selalu berasal dari lembaga eksekutif (baca: presiden). Peraturan pemerintah merupakan petunjuk pelaksana (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) dari undang-undang. Jadi, suatu undang-undang dapat berlaku secara materiil, jika sudah ada juklak dan juknisnya. Jika belum, maka diibaratkan undang-undang tersebut masih berada “di atas awang-awang”.

(4)

Pasal 6 ayat (1) dan (2)

Berdasarkan pasal 6 ayat (1 dan 2) mengatur tentang integritas moral seorang calon presiden dan wakil presiden. Seseorang yang akan menjadi pemimpin negeri ini sudah sepatutnya mempunyai dasar moral yang baik, diantaranya memiliki rasa nasionalisme yang tinggi. Hal itu dibuktikan dengan tidak pernah menerima kewarganegaraan lain atas kehendaknya dan tidak pernah menghianati negara. Selain integritas moral, ada juga syarat lainnya yang tidak kalah penting, yaitu kemampuan memimpin secara rohani dan jasmani.

Pasal 6A ayat (1) s.d. (5)

Pasal ini mengatur tentang tata cara dan prosedur pemilihan presiden dan wakil presiden.

Pasal 7

Pasal ini membatasi waktu kekuasaan presiden dan wakil presiden selama 5 tahun dan membatasi periode kekuasaannya hanya untuk dua kali masa jabatan, apabila terpilih lagi dalam jabatan yang sama. Pembatasan periode tersebut sejalan dengan prinsip demokrasi yang dianut oleh negara Indonesia dengan tujuan untuk pembatasan kekuasaan pemerintah.

Pasal 7A

Pasal ini merupakan hasil dari amandemen ketiga UUD NRI 1945. Hasilnya adalah MPR dapat memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dengan memperhatikan beberapa pertimbangan (bisa juga berdasarkan usul DPR). Sebelum amandemen, MPR tidak dapat memberhentikan (impeach) presiden dan/atau wakil presiden. Dahulu presiden dan/atau wakil presiden ‘hanya’ dapat diberhentikan oleh dirinya sendiri sesuai dengan yang mereka kehendaki.

Pasal 7B ayat (1) s.d. (7)

Pasal ini mengatur tentang tata cara dan prosedur pemberhentian presiden dan/atau wakil presiden. Dengan dapat diberhentikannya presiden dan/atau wakil presiden, maka kedudukan presiden (juga wakil presiden) menjadi tidak lagi ‘sakral’ dan dapat diganggu-gugat.

(5)

Pasal 8 ayat (1) s.d. (3)

Pasal ini mengatur tentang bagaimana mengatasi ‘kekosongan kekuasaan’ di dalam lembaga kepresidenan, baik itu karena ketiadaan presiden, wakil presiden, maupun keduanya (presiden dan wakil presiden).

Pasal 9

Sebagai seorang pejabat negara yang akan memimpin seluruh negeri, sudah selayaknya presiden dan wakil presiden bersumpah dan berjanji untuk menjalankan tugasnya dengan sungguh-sungguh. Begitulah kira-kira apa yang menjadi esensi dari pasal 9 tersebut.

Pasal 10

Pasal ini menyatakan bahwa presiden sebagai panglima tertinggi atau penguasa militer tertinggi di negara Republik Indonesia.

Pasal 11 s.d. Pasal 15

Dari pasal-pasal tersebut menunjukkan kekuasaan dan kewenangan presiden di bidang pemerintahan, yang di dalam teori ketatanegaraan sering disebut sebagai hak prerogratif Presiden.

BAB IV. DEWAN PERTIMBANGAN Pasal 16

Pasal ini mengatur tentang pembentukan dewan pertimbangan yang bertugas memberikan nasihat dan pertimbangan kepada presiden. Sebelum amandemen tugas dan kewenanangan dewan pertimbangan ini dilaksanakan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA). DPA waktu itu merupakan lembaga tinggi negara yang setingkat pula dengan DPR dan Presiden. Akan tetapi, sejalan dengan era reformasi yang menghasilkan amandemen UUD 1945, maka kedudukan DPA ditiadakan.

BAB V. KEMENTERIAN NEGARA Pasal 17 ayat (1) s.d. (4)

Sebagai konsekuensi sistem pemerintahan presidensiil, maka menteri-menteri merupakan pembantu presiden yang diangkat dan diberhentikan oleh

(6)

Presiden. Menteri-menteri ini adalah sebagai pelaksana langsung kekuasaan eksekutif di bidangnya masing-masing.

BAB VI. PEMERINTAH DAERAH Pasal 18, 18A, dan 18B

Sebagai konsekuensi menjadi negara kesatuan, Indonesia menganut konsep dekonsentrasi dan desentralisasi sebagaimana telah dijelaskan pada pembahasan pasal 1 ayat(1). Dekonsentrasi menghasilkan pembagian wilayah administrasi atas daerah-daerah berupa provinsi, kota, dan kabupaten (Pasal 18 ayat (1). Dari pembagian wilayah tersebut membawa konsekuensi, bahwa masing-masing wilayah mempunyai kepala pemerintahan (gubernur untuk provinsi, walikota untuk kota, dan bupati untuk kabupaten) yang dipilih secara demokratis (Pasal 18 ayat (4). Sedangkan asas desentralisasi nampak pada Pasal 18 ayat (2, 5, dan 6). Pada ayat-ayat dalam pasal tersebut menegaskan bahwa pemerintah daerah menjalankan otonomi yang seluas-luasnya dalam menjalankan urusan pemerintahannya. Hal ini sejalan dengan asas utama desentralisasi sebagaimana analisis dari pasal 1 ayat (1) di atas.

Sedangkan pada pasal 18A dan 18B, mengatur dan mengakui keragaman adat di tiap daerah beserta kelengkan kesatuan adatnya, termasuk hukum adat (sepanjang masih hidup dan sesuai dengan prinsip NKRI). Jadi, hukum adat sebagai sumber hukum materiil (diakui keberlakuannya, meskipun secara hukum bukan sebagai sumber hukum negara (hukum positif) diakui keberadaannya oleh UUD NRI 1945.

BAB VII. DEWAN PERWAKILAN RAKYAT Pasal 19 ayat (1, 2, dan 3)

Di dalam pasal tersebut menyatakan bahwa anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dipilih melalui pemilihan umum. Pemilu sebagai salah satu indikator kehidupan bernegara yang demokratis, dapat pula dijadikan indikator untuk menilai sistem perwakilan di suatu negara. Semakin pemilu diselenggarakan dengan jujur dan adil serta semakin banyaknya anggota lembaga perwakilan yang terpilih berdasarkan pemilu, maka semakin demokratis pula negara tersebut. Akan tetapi

(7)

sebaliknya, jika semakin banyak anggota lembaga perwakilan yang dipilih melalui pengangkatan (tidak melalui pemilu), maka makin rendah kadar demokrasi yang dianut oleh negara tersebut.

Pasal 20 ayat (1 s.d. 5)

Di dalam pasal tersebut menegaskan fungsi DPR sebagai lembaga legislasi (lembaga pembentuk undang-undang) sekaligus sebagai manifestasi prinsip kedaulatan rakyat dari aspek struktural (pembentukan lembaga-lembaga perwakilan).

Pasal 20A ayat (1 s.d. 4)

Selain memiliki fungsi legislasi, DPR juga mempunyai fungsi lainnya, yaitu fungsi anggaran dan pengawasan. Dalam pelaksanaan fungsinya tersebut DPR mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat. Selain itu, setiap anggota DPR mempunyai hak mengajukan pertanyaan, menyampaikan usul dan pendapat, serta imunitas. Sebenarnya ada 1 fungsi lagi yang dimiliki oleh DPR, selain fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan, yaitu fungsi sarana pendidikan politik. Fungsi pendidikan politik yaitu melalui pembahasan-pembahasan kebijaksanaan pemerintah di DPR , dan dimuat di dalam media massa. Rakyat mengikuti persoalan yang menyangkut kepentingan umum dan menilainya menurut kemampuan mereka. Sehingga selain memberikan efek edukasi (publikasi di media massa) juga memberikan kesempatan kepada rakyat untuk melakukan kontroling terhadap segala kebijakan DPR di dalam menjalankan fungsinya. Dari hal tersebut, diharapkan terjadi check and balances antara DPR dan rakyat yang diwakilinya. Pasal 21 ayat (1 dan 2), 22, dan 22A

Pada pasal tersebut mengatur tentang pengajuan usul RUU oleh DPR dan mengenai penetapan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang oleh Presiden.

Pasal 22B

Pada pasal tersebut mengatur tentang dapat diberhentikannya anggota DPR dari jabatannya. Di satu sisi, pasal tersebut bermaksud untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh anggota DPR sekaligus sebagai wujud ‘punishment’ terhadap pelanggaran kode etik perpolitikan yang dilakukan oleh anggota DPR. Di sisi lain, pasal tersebut dirasa bertentangan dengan pasal

(8)

sebelumnya (pasal 20A ayat (3) tentang hak imunitas terhadap setiap tindakan anggota DPR yang dilakukan dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya.

BAB VIIA. DEWAN PERWAKILAN DAERAH (DPD) Pasal 22C ayat (1 s.d. 4) dan Pasal 22D

Di dalam kedua pasal tersebut menjelaskan tentang kedudukan (pasal 22C ayat (1 dan 4), jumlah anggota DPD (pasal 22C ayat (2), prosedur persidangan (pasal 22 ayat(3), dan tugas serta wewenang anggota DPD (pasal 22D ayat (1 s.d. 4).

BAB VIIB. PEMILIHAN UMUM Pasal 22E ayat (1 s.d. 6)

Secara teoritis, prosedur ‘duduknya’ seorang anggota perwakilan di dalam lembaga perwakilan, terbagi menjadi 2 cara, yaitu melalui pemilihan umum dan pengangkatan. Sering para ahli meneybutkan bahwa kadar demokrasi yang dianut oleh suatu negara banyak ditentukan oleh pembentukan lembaga perwakilannya, apakah melalui pemilu atau pengangkatan atau gabungan pemilihan dan pengangkatan. Makin dominan perwakilan berdasarkan hasil pemilu makin tinggi kadar demokrasinya dan sebaliknya makin dominan pengangkatan makin rendah kadar demokrasi yang dianut oleh negara tersebut. Untuk saat ini, Indonesia sudah menganut cara pemilihan anggota lembaga perwakilan (DPR) melalui prosedur pemilu, sehingga kehidupan bernegara kita bisa dikatakan demokratis atau setidaknya menuju ke arah demokratis.

BAB VIII. HAL KEUANGAN Pasal 23, 23A s.d. 23D

Pada Bab VIII tersebut mengatur tentang kebijakan fiskal negara Indonesia. Sehingga tepatlah kiranya jika bab tersebut diberi judul hal keuangan, khususnya keuangan negara.

BAB VIII A. BADAN PEMERIKSA KEUANGAN Pasal 23E s.d. 23G

(9)

Pada bab tersebut mengatur tentang struktur, kedudukan, tugas, dan wewenang dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Lembaga ini berfungsi memeriksa penggunaan anggaran oleh pemerintah, apakah sesuai atau tidak dengan APBN yang ditetapkan oleh pemerintah dan DPR. Hasil pemeriksaannya disampaikan kepada DPR, DPD, dan DPRD, sesuai dengan kewenangannya. Lembaga ini sering juga disebut sebagai lembaga inspektif.

BAB IX. KEKUASAAN KEHAKIMAN Pasal 24, 24A, 24B, dan 25

Menurut pasal 24 ayat 2, dinyatakan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung (yang terdiri dari peradilan umum, agama, militer, dan tata usaha negara) dan Mahkamah Konstitusi. Kemudian di dalam pasal 24B ayat (1), mengatur tentang adanya suatu lembaga yudisial di luar MA dan MK, yaitu Komisi Yudisial yang berwenang menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Singkatnya, wewenang KY adalah melakukan pengawasan dan penilaian terhadap segala keputusan yang diambil oleh hakim dalam menyelesaikan suatu perkara.

Pada pasal 24C mengatur tentang eksistensi sebuah lembaga yudisial baru, yang sebelum amandemen UUD 1945 tidak dikenal di dalam hirarki sistem ketatanegaraan Indonesia, yaitu Mahkamah Konstitusi. Salah satu fungsi lembaga tersebut adalah melakukan judicial review (melakukan pengujian undang-undang secara materiil atau substansinya terhadap UUD).

BAB IXA. WILAYAH NEGARA Pasal 25A

Pasal ini menegaskan tentang yurisdiksi negara Indonesia agar dihormati oleh negara lain. Pencantuman kata-kata “wilayah” dalam UUD tersebut tidak mempunyai arti yuridis sama sekali, karena penentuan wilayah tidak bisa ditentukan secara sepihak. Oleh karena itu, dibutuhkan pengakuan oleh negara lain melalui perjanjian antar negara, baik bilateral (antar 2 negara saja) maupun multilateral (jika lebih dari 2 negara). Penentuan dalam UUD tersebut hanya suatu peringatan saja bahwa negara itu mempunyai wilayah yang terbatas.

(10)

BAB X. WARGA NEGARA DAN PENDUDUK Pasal 26 ayat (1, 2, dan 3)

Dari pasal 26 ayat (1) UUD NRI 1945, bisa dikatakan bahwa Indonesia menganut asas campuran (menganut asas ius sanguinus dan ius soli sekaligus) dalam hal kewarganegaraan. Karena yang diakui menjadi warga negara adalah bangsa Indonesia asli dan bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Diktum “bangsa Indonesia asli” mengacu pada asas Ius Sanguinus, yaitu asas dimana seseorang menjadi warga negara berdasarkan keturunan. Hal tersebut diperkuat dengan kata-kata “asli” yang merujuk pada keturunan atau dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia. Sekaligus juga menganut asas Ius Soli, yaitu asas dimana seseorang menjadi warga negara berdasarkan tempat kelahiran. Jadi, seseorang itu menjadi warga negara Indonesia, karena ia dilahirkan dari orang tua yang berwarganegara Indonesia dan/atau dilahirkan di wilayah Indonesia.

Penduduk berbeda dengan warga negara. Penduduk Indonesia terdiri dari warga negara Indonesia dan orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia. Penduduk adalah orang yang mendiami suatu wilayah atau negara tertentu. Sedangkan warga negara adalah orang yang mendiami suatu yurisdiksi atau wilayah hukum tertentu suatu negara dengan memiliki hak dan kewajiban yang melingkupinya.

Pasal 27 ayat (1, 2, dan 3)

Pasal 27, terutama ayat (1), masih berkaitan dengan pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945, yaitu yang menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Sebagai konsekuensi atas pemroklamiran menjadi negara hukum, maka Indonesia dalam konstitusinya harus mencantumkan asas persamaan di muka hukum (equality before the law). Asas tersebut kemudian diakomodir dalam pasal 27 ayat (1), yang menyatakan : “Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan…..dengan tidak ada kecualinya.”. Pasal 27 ayat (1) tersebut semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum.

(11)

Pasal 28 tersebut, memberikan ruang kebebasan berpendapat bagi publik. Hal ini sejalan dengan semangat sila ke-4 Pancasila untuk menciptakan kehidupan bernegara yang demokratis.

BAB XA. HAK ASASI MANUSIA Pasal 28A s.d. 28J

Sebagai konsekuensi dari amanat pasal 1 ayat (3) yang jelas mendeklarasikan bahwa negara RI adalah negara hukum, maka Indonesia tidak bisa lepas dari prinsip-prinsip negara hukum yang harus dijalankannya. Prinsip-prinsip tersebut adalah:

1. Equality before the law, artinya setiap manusia mempunyai kedududkan hukum yang sama dan mendapatkan perlakuan yang sama.

2. Supremacy of Law, artinya kekuasaan negara terletak pada hukum. 3. Hak-hak asasi manusia tidak bersumber pada undang-undang dasar.

Hal tersebut sejalan dengan ajaran John Locke yang berpendapat bahwa pemerintah harus melindungi hak-hak asasi rakyat, dan karena itu hak-hak asasi rakyat, dan karena itu hak-hak asasi itu dicantumkan dalam UUD.

BAB XI. AGAMA Pasal 29 (ayat (1) dan (2)

Pasal tersebut semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negara yang berketuhanan (theokrasi). Secara umum, negara theokrasi terbagi menjadi 2 hal bagian, yaitu teori theokrasi langsung dan tidak langsung. Teori theokrasi langsung beranggapan bahwa yang berkuasa di dalam negara itu adalah langsung Tuhan. Contoh konkretnya diantaranya adalah negara Jepang semasa Perang Dunia II, yang menganggap rajanya adalah anak Tuhan. Sedangkan teori theokrasi tidak langsung berpandangan bahwa Tuhan tidak berkuasa sendiri secara langsung, melainkan memerintahkan raja bertindak atas nama Tuhan.

Indonesia memiliki corak yang berbeda, dengan tidak menganut teori theokrasi langsung maupun tidak langsung, tetapi memiliki kekhasan tersendiri dengan mengacu pada Pembukaan UUD NRI 1945 (khusunya Pancasila sila I). Indonesia bukan negara berdasarkan agama, tapi setiap warga negaranya harus

(12)

memeluk suatu agama/kepercayaan kepada Tuhan. Singkatnya, negara Indonesia adalah negara yang berdasarkan ketuhanan.

BAB XII. PERTAHANAN DAN KEAMANAN NEGARA Pasal 30 ayat (1) s.d.(5)

Pasal tersebut merupakan penjabaran sekaligus manifestasi dari sila III Pancasila tentang nasionalisme, bahwa setiap warga negara berhak melakukan bela negara.

BAB XIII. PENDIDIKAN KEBUDAYAAN Pasal 31 ayat (1) s.d. ayat (5)

Sesuai dengan amanat Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya alinea keempat tentang tujuan negara yang salah satunya menyatakan pemerintah wajib untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, maka diimplementasikan atau dijabarkan dalam pasal 31 tersebut. Selain itu, pasal 31 tersebut juga dapat dikatakan sebagai penjabaran prinsip kedaulatan rakyat, khususnya aspek kultural.

Pasal 32 ayat (1) dan (2)

Selain pendidikan, aspek kultural sebagai penjabaran prinsip kedaulatan rakyat, juga dimanifesasikan ke dalam pasal 32 tersebut. Semangat pasal 32 tersebut sejalan dengan budaya hukum masyarakat yang bersifat demokratis (dengan memperhatikan kearifan lokal) harus tetap dipelihara dan dikembangkan.

BAB XIV

PEREKONOMIAN NASIONAL DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL Pasal 33 ayat (1) s.d. (5) dan Pasal 34 ayat (1) s.d. (4)

Pasal 33 merupakan penjabaran dari amanat Pembukaan UUD NRI 1945, khususnya alinea keempat yang menyatakan bahwa pemerintah wajib “memajukan kesejahteraan umum”. Kemudian di dalam sila kelima Pancasila (yang terdapat juga di dalam alinea keempat Pembukaan UUD NRI 1945) yang isinya menyatakan bahwa “serta dengan mewujudkan suatu Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Menurut Hans Kelsen dengan Stufenbau Theory-nya, posisi Pembukaan UUD NRI 1945 berada pada posisi paling puncak dari piramida/hirarki peraturan

(13)

perundang-undangan, kemudian setelah itu di bawahnya adalah UUD (konstitusi). Jadi, apa yang diamanatkan oleh Pembukaan UUD NRI 1945 harus dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD NRI 1945, termasuk mengenai masalah kesejahteraan dan keadilan sosial yang kemudian dijabarkan ke dalam pasal 33 dan 34 UUD NRI 1945.

BAB XV

BENDERA, BAHASA, DAN LAMBANG NEGARA, SERTA LAGU KEBANGSAAN

Pasal 35, 36 s.d. 36C

Bab XV mendeklarasikan tentang identitas nasional negara Indonesia. Bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan yang dimiliki oleh negara Indonesia merupakan ciri pembeda dari negara lain. Apa yang dimiliki negara Indonesia tersebut merupakan simbol yang tidak dimiliki oleh negara lain. Seringkali pemahaman masyarakat awam, rasa nasionalisme diartikan dan diwujudkan dengan penghormatan serta kebanggaan terhadap identitas negara tersebut. Parameter nasionalisme seringkali hanya dimaknai sebatas penghormatan terhadap simbol-simbol tersebut.

BAB XVI. PERUBAHAN UNDANG-UNDANG DASAR Pasal 37 ayat (1) s.d. (5)

Menurut sifatnya, konstitusi dapat dibagi menjadi 2, yaitu fleksibel dan rigid. Untuk menilai konstitusi suatu negara termasuk kategori fleksibel atau rigid dapat dilihat dari pasal-pasal konstitusi itu sendiri (yuridis formal). Bagaimana dengan Indonesia? Setelah empat kali amandemen (perubahan), maka dapat dikatakan bahwa UUD atau konsitusi Indonesia bersifat fleksibel. Hal tersebut dibuktikan dengan telah terjadinya empat kali perubahan terhadap UUD (mudah menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat) serta di dalam pasal 37 UUD NRI 1945 yang berisi tentang persyaratan ‘yang mempermudah’ untuk melakukan perubahan terhadap konstitusi. Akan tetapi, ada bagian tertentu yang bersifat rigid (secara yuridis formal) yaitu tentang bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan (pasal 37 ayat (5).

(14)

ATURAN PERALIHAN Pasal I

Untuk mecegah ketiadaan hukum (vacuum of power) secara substansial, maka dinyatakan di dalam pasal I yang pada intinya memberlakukan segala peraturan perundang-undangan yang lama sebelum diadakan yang baru menurut UUD NRI 1945.

Pasal II

Untuk mecegah ketiadaan hukum (vacuum of power) secara struktural, maka dinyatakan di dalam pasal II yang pada intinya menyatakan semua lembaga negara yang lama tetap berfungsi sebelum diadakan yang baru menurut UUD NRI 1945.

Pasal III

Sesuai dengan amanat pasal 24C tentang pembentukan lembaga negara baru, yaitu Mahkamah Konstitusi (MK) yang bertugas melakukan judicial review terhadap undang-undang dan peraturan lainnya yang secara hirarkis lebih rendah dari undang-undang, maka selambat-lambatnya pada tanggal 17 Agustus 2003 harus sudah terbentuk. Sebelum MK terbentuk segala kewenangannya dilakukan oleh Mahkamah Agung.

ATURAN TAMBAHAN Pasal I

Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004, Ketetapan MPR (Tap MPR) telah dikeluarkan dari hirarki hukum di Indonesia. Namun, dengan pengesahan RUU yang menempatkan Tap MPR kembali lagi ke dalam hirarki hukum di Indonesia, dikhawatirkan Tap MPR akan bersifat ‘kekal’ atau abadi. Sebab DPR dan pemerintah hanya berwenang mengubah undang-undang dan MPR hanya berwenang mengubah UUD NRI 1945.

(15)

Sebelum amandemen, UUD Indonesia terdiri dari Pembukaan, Batang Tubuh (pasal-pasal), dan Penjelasan. Akan tetapi setelah amandemen, UUD Indonesia atau lebih tepatnya UUD NRI 1945 terdiri dari Pembukaan dan pasal-pasal. Adapun materi dari bagian penjelasan UUD terdahulu telah dimanifestasikan ke dalam materi pasal-pasal UUD NRI 1945.

PENUTUP

Sebagai penutup dari tulisan ini, akan saya gambarkan dalam bentuk tabel pembagian atau klasifikasi bab dan pasal UUD NRI 1945 berdasarkan politik ketatanegaraan.

No UUD NRI 1945 Politik Ketatanegaraan Bidang

Bab Pasal

1. Bentuk dan Kedaulatan Pasal 1 Bentuk negara (ayat 1),

demokrasi/kedaulatan rakyat (ayat 2), nomokrasi/kedaulatan hukum (ayat 3) Politik dan Hukum 2. Majelis Permusyawaratan Rakyat Pasal 2 dan 3

Penjabaran aspek struktural dari demokrasi Politik 3. Kekuasaan Pemerintahan Negara Pasal 4 s.d. 15

Sistem pemerintahan presidensiil dan pembatasan kekuasaan presiden

Politik

4. Dewan Pertimbangan Pasal 16

Sistem pemerintahan presidensiil Politik 5. Kementerian Negara Pasal

17

Sistem pemerintahan presidensiil Politik 6. Pemerintah Daerah Pasal

18, A, dan B

Bentuk negara dan pembagian kekuasaan kepada daerah

Politik 7. Dewan Perwakilan Rakyat Pasal 19 s.d. 22B

Penjabaran aspek struktural dari demokrasi Politik 8. Dewan Perwakilan Daerah Pasal22 C&

Penjabaran aspek struktural dari demokrasi

(16)

9. Pemilihan Umum Pasal 22E

Penjabaran aspek substansial dari demokrasi

Politik 10. Hal Keuangan Pasal

23, A s.d. D

Budgeting atau penganggaran Ekono mi 11. Badan Pemeriksa Keuangan Pasal 23E s.d. G

Penjabaran aspek struktural dari demokrasi

Politik & Ekono mi 12 Kekuasaan Kehakiman Pasal

24, A s.d.C, 25

Penjabaran aspek struktural dari nomokrasi

Hukum

13. Wilayah Negara Pasal 25A

Unsur negara Politik

14. Warga Negara dan Penduduk

Pasal 26, 27, & 28

Unsur negara Politik

15. Hak Asasi Manusia Pasal 28 A s.d. J

Penjabaran aspek substansial dari demokrasi dan nomokrasi

Politik & Hukum

16. Agama Pasal

29

Dasar hukum bagi kekuasaan negara (theokrasi) Politik 17. Pertahanan dan Keamanan Negara Pasal 30

Penjabaran aspek struktural dari demokrasi Politik 18. Pendidikan dan Kebudayaan Pasal 31 & 32

Penjabaran aspek kultural dari demokrasi Politik 19. Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan 34

Penjabaran aspek kultural dari demokrasi dan ekokrasi

Ekono mi 20. Bendera, Bahasa, dan

Lambang Kebangsaan Negara, serta Lagu Kebangsaan

Pasal 35, 36, A s.d. C

Identitas Nasional Politik

21. Perubahan Undang-Undang Dasar

Pasal 37

(17)

Referensi

Dokumen terkait

Materi perubahan ketiga UUD 1945 salah satu yang sangat kursial adalah masuknya penambahan 1 (satu) ayat pada pasal 1 ayat ( 3) yang menyatakan bahwa negara Indonesia adalah

Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai

Penguasaan negara terhadap sumber daya alam diatur dalam Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup

Sila ini memiliki keterkaitan dengan Pasal 29 UUD Negara RI Tahun 1945. Sila pertama ini memberikan jaminan kemerdekaan bagi rakyat Indonesia untuk memeluk agamanya

Pasca Perubahan rumusan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara RI tahun 1945 yang tidak lagi menempatkan MPR sebagai pelak- sana sepenuhnya kedaulatan rakyat, tentu saja kita

Pasal 33 UUD 1945 ini juga dikenal sebagai pasal yang mengatur mengenai ideologi dan politik ekonomi negara Indonesia, yang mana di dalamnya memuat ketentuan

Namun, yang sangat sulit ditemukan dalam pemaknaan Pasal 33 ayat (2) UUD 1945 adalah penegasan cabang produksi apa saja yang harus dikuasai oleh Negara karena

Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana tercantum dalam Undang – Undang Dasar Republik Indonesia 1945 Pasal 1 Ayat 3. sebagai Negara hukum Indonesia mempunyai