SKRIPSI
DISUSUN OLEH
DESY ATHRA AFIFAH
99 320 033
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA 2004
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
untuk Memenuhi Persyaratan Guna Memperoleh
Derajat Sarjana S-i Psikologi
Oteh •
Desy Athra Afifah
99 320 033
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA YOGYAKARTA
Dipertahankan di Depan Dewan Penguji Fakultas Psikologi Universitas Islam Indonesia
dan Diterima untuk Memenuhi Sebagian Syarat-syarat Guna Memperoleh Derajat Sarjana SI Psikologi
Pada Tanggal ^ , , , , n, *,-- f
L, : • ---*
Dewan Penguji
1. Sentot Haryanto, Drs., M.Si
2. Qurotul Uyun, S,Psi., M.Si
3. Yulianti Dwi Astuti, S. Psi
Mengesahkan
Fakultas Psikologi
Universitas Islam Indonesia Deka
Sukarti, Dr
'',/nV^
/
<*>_
<s> <<&•$?->],
"Mohontah pertoCongan JLttah dengan sabar dan shotat. J£a[ itu
sungguh 6erat %ecuad bagi mere^ayang %husu^'.
"Meref(a itu seCaCu yafiin bahwa mere^a a%an berhadapan dengan
Huhan dan hanya /(epada-Nya saja a^an %embaR".
(M-®aqarafi 2:45- 46)
%prya ini ^upersembah^an kepada
(Bapaf^dan Mamaf(,
K Vsman <3. <Dan Hj. Asni Vsman
JZtas %asih sayangyang meRmpah dan untaian doayang tiada henti
ananda
Alhamdulillahi rabbil'aalamin, segala puji dan syukur kehadirat Allah swt atas
segala karunia yang telah Engkau limpahkan kepada hambamu. Shalawat serta salam
tercurah kepada junjungan kita nabi Muhammad saw beserta keluarga dan para
sahabatnya. Atas berkah, rahmah dan karunia Allah swt, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan karya ini.
Ibu Sukarti, Dr. selaku Dekan Fakultas Psikologi UII. Semoga selalu diberi
limpahan kekuatan oleh Yang Maha Kuasa untuk mengemban tugas tersebut
sebaik-baiknya.
Bapak Sentot Haryanto Drs., M.Si yang telah bersedia menjadi pembimbing
utama skripsi. Atas kesediaannya untuk mengoreksi berbagai kekurangan dalam skripsi
ini walaupun sangat sibuk dengan jadwal mengajar dan jam terbang keluar kota.
Ibu Yulianti Dwi Astuti, S.Psi sebagai pembimbing pendamping atas semua
kesabaran, bantuan dan kebaikannya selama penulis berjuang untuk menyelesaikan
skripsi ini.
Bapak Sus Budiharto, S.Psi selaku pembimbing akademik penulis, atas segala
perhatian dan bimbingan yang diberikan kepada penulis selama masa studi di Fakultas
Psikologi. Untuk segenap Dosen Fakultas Psikologi UII yang telah bersedia mentransfer
segala ilmunya selama penulis berada di Fakultas Psikologi serta semua karyawan
Fakultas
Psikologi
yang
telah
membantu
kelancaran
penulis dalam
mengurus
administrasi selama masa kuliah. Untuk Karyawan wanita RSU. PKU Muhammadyah
menganugrahkan aku keluarga yang sangat kucintai. Bapak dan mamak tersayang,
terima kasih untuk semua cinta dan pengorbanan yang dicurahkan. Semoga Allah
membalasnya dengan keselamatan dan kebahagiaan didunia dan akhirat. Untuk
Kakakku yang semata wayang, aku sangat bersyukur dengan kebersamaan kita sedari
kecil dan untuk selamanya, cepat dewasa ya....semoga selalu bahagia dengan Ndutt.
Untuk Bibie goleNk tersayang, terima kasih atas semua cinta dan kasih sayangnya,
untuk waktu, tenaga, perhatian yang tiada henti dan semua dukungan moril dan materi
yang tidak terbatas,..pengertian dan tanggung jawabmu adalah suatu anugrah untukku.
Serta semua dukungan dan perhatian dari keluarga besar yang sangat berarti dalam
kehidupan penulis.
Untuk teman-teman akrabku, ibu kost Viki', BundaVeronica yahya' dan Mahesa
'Sapei'. Terima kasih untuk waktu-waktu beharga yang kita lewati bersama, semua
keceriaan kalian memberi warna indah dalam hidupku. Aku sayang kalian, semoga kita
selalu diberkahi oleh Yang Maha Kuasa, sukses dalam meraih cita dan cinta. Untuk
sahabat terbaikku "eva tonjang", ada banyak doa dan harapan yang tercurah agar kamu
meraih kemenangan dalam perjuangan panjangmu. Thanks for everything, tawa dan
tangis kita takkan teriupakan, ipromise!
Untuk teman-teman kuliah angkatan '99 Fakultas Psikologi UII. QQ dan Turq,
Runi, bunda "Syueb", Ega, Neni, Budi, Dini, Eno, Wiwiek, Erwin, Andri'Be2k', khusus
Fauzia' untuk olah datanya' dan semua teman-teman dari kelas A,... Thanks to you my
Woro, dan semua Struktural LEM-U dan DPM-U priode 98/99. Terima kasih banyak
untuk semua bimbingan dan persahabatan yang dicurahkan. Semoga kalian menjadi
pribadi terbaik dan berguna bagi proses pencerahan banyak orang.
Untuk
semua
orang-orang
yang
berarti
dalam
hidupku.
B' Pi
untuk
kekompakannya, teman plus keluargaku Tepin "Sourino", Ade "Babam" dan Apek
"Gobang"
untuk semua dukungan dan hiburannya disaat-saat kesedihanku, dan
teristimewa untuk malaikat-malaikat kecilku. Babang, Dhe2k, Putri, Diva, Aldo dan calon baby yang sedang tumbuh dan akan datang..."kalian adalah matahari dalam hidup
Bunda.."
Untuk anak-anak " l|J BOEAYA" dan khususnya Anto'ajie' atas persahabatan dan
kebersaman selama penulis berada di Kota gudeg "Jogjakarta", waktu-waktu kita adalah
pengalaman tak terlupakan. Terakhir, untuk "Thie"... Terima kasih untuk cinta dan
keyakinanmu sayang..
Penulis menyadari sangat banyak kekurangan dalam penulisan skripsi ini.
Dengan segala kerendahan hati, penulis meminta dibukakan pintu maaf. Semoga segala
bantuan yang telah diberikan serta ketulusannya mendapatkan ridho dari Allah swt.
Penulis berharap semoga karya ini mampu memberi manfaat kepada semua pihak yang
membacanya. Kebaikan dari karya ini semata-mata hanya karena Allah swt, dan
kekurangan karya ini disebabkan karena keterbatasan penulis sendiri.
Yogyakarta, Maret 2004
Penulis
HALAMAN JUDUL i
HALAMAN PENGESAHAN ii
MOTTO iii
HALAMAN PERSEMBAHAN iv
KATA PENGANTAR v
UCAPAN TERIMA KASIH vii
DAFTAR ISI x
DAFTAR TABEL xi
DAFTAR LAMPIRAN xii
BAB I. PENDAHULUAN 1
A. Permasalahan 1
B. Orisinalitas Penelitian 11
C. Tujuan Penelitian 11
D. Manfaat Penelitian 12
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 13
A. Konflik Peran Ganda 13
B. Orientasi Religiusitas
23
C. Hubungan Antara Orientasi Religiusitas Dengan Konflik
Peran Ganda 32
D. Hipotesis Penelitian
35
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
36
C.
Subyek Penelitian
37
D.
Metode Pengumpulan Data
37
E. Validitas dan Reliabilitas 41
F. Metode Analisis Data 42
BAB IV. PELAKSANAAN, ANALISIS DATA, HASIL PENELITIAN DAN
PEMBAHASAN 43
A. Orientasi Kancah dan Persiapan penelitian 43
B. Pelaksanaan Penelitian 49
C. Hasil penelitian
50
D. Pembahasan 54
BAB IV. PENUTUP 59
A. Kesimpulan
59
B. Saran 60
DAFTAR PUSTAKA 61
LAMPIRAN - LAMPIRAN 64
Halaman
1. Distribusi Nomor Aitem Skala Konflik Peran Ganda sebelum uji coba 39
2. Distribusi Nomor Aitem Skala Religiusitas sebelum uji coba 40
3. Distribusi Nomor aitem Angket Konflik Peran Ganda Setelah ujicoba
47
4. Distribusi Nomor Aitem Angket Orientasi Religiusitas Setelah uji coba
48
5. Deskripsi Statistik Data Penelitian
50
6. Kriteria kategorisasi Konflik Peran 51
Lampiran A
Halaman
1. Angket uji coba
64
2. Angket penelitian
74
Lampiran B
1. Data Skor Tiap Aitem Subjek Uji Coba
83
2. Data Skor Tiap Aitem Subjek Penelitian
95
3. Uji Daya Tiap Aitem
103
4. Uji Reabilitas
107
Lampiran C
1. Data Subjek Penelitian
Ill
2. Uji Asumsi
112
3. Grafik 114
LAMPIRAN D
1. Surat Ijin Penelitian 117
2. Surat Bukti Penelitian 120
A. Latar Belakang Masalah
Dewasa ini
kemajuan zaman yang mengarah pada era globalisasi,
memungkinkan terjadinya perubahan dalam setiap aspek kehidupan. Semakin
terbukanya kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan akan
berpengaruh terhadap luasnya pola pikir perempuan. Hal ini akan mempengaruhi
cara berpikir dan berperilaku perempuan karena adanya interaksi nilai, keyakinan,
norma dan budaya. Sebagai manusia perempuan juga ditantang untuk ikut andil
dalam menghadapi berbagai perubahan yang terjadi dimasyarakat, sehingga
perempuan memerlukan wadah untuk mengaktualisasikan potensinya. Salah satu
bentuk perwujudannya adalah dengan bekerja. Bagi perempuan bekerja memiliki
arti yang penting (Utarini dalam Burhan, 2002).
Perempuan adalah satu jenis mahluk Tuhan yang diciptakan dengan banyak
keunikan. Satu sifat atau karakter yang dipandang sebagai kodrat wanita adalah
keibuan, dimana mempunyai tugas dan kewajiban yang tidak dapat dilakukan oleh
mahluk lain. Tugas tersebut antara lain adalah mengandung, melahirkan, menyusui
dan memelihara yang selalu disertai rasa ikhlas dan penuh kasih-sayang. Tugas
seorang ibu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah dan ringan. Banyak hak yang
dikorbankan sebagai seorang perempuan untuk dapat melaksanakan tugas sebagai
kemampuan perempuan sering diragukan dalam mencapai sebuah prestasi.
Kesuksesan perempuan di tempat kerjanya, jika tidak mendapat dukungan
dari keluarga akan mengakibatkan perasaan bersalah yang berakhir dengan konflik
pada peran yang dijalani. Disatu sisi, perempuan dituntut untuk mengabdikan
waktu, tenaga dan pikiran agar sukses dipekerjaannya. Disisi lain, sebagai ibu rumah
tangga perempuan juga dituntut pengabdiannya untuk keharmonisan dan
kesejahteraan keluarga. Dua orientasi yang berbeda untuk masing-masing peran ini
memberi kontribusi bagi timbulnya konflik bagi perempuan yang memutuskan untuk
berperan ganda.
Banyak persoalan yang dialami oleh para wanita dan ibu rumah tangga yang
bekerja di luar rumah, seperti bagaimana mengatur waktu dengan suami dan anak
hingga mengurus tugas-tugas rumah tangga dengan baik. Ada yang bisa menikmati
peran ganda-nya, namun ada yang merasa kesulitan hingga akhirnya
persoalan-persoalan rumit kian berkembang dalam hidup sehari-hari (Rini, 2002). Dilema yang
sering dialami ibu bekerja pada umumnya relatif sama. Di rumah wanita ingin
menjadi ibu sekaligus istri yang baik, yang memenuhi semua kebutuhan termasuk
kebutuhan spiritual dan emosional anak. Dalam waktu bersamaan, meinginkan
karier dikantor terus menanjak, dan mencapai kesuksesan seperti yang didambakan
Selama bertahun-tahun saya mengira hanya bisa memilih salah satu:
pekerjaan atau anak-anak. Dan saya membiarkan kekhawatiran yang
muncul menekan hasrat saya untuk menjadi seorang ibu. Kemana pun saya
menengok, apa pun yang saya baca, dan hampir semua orang yang saya
ajak berbicara mengatakan bahwa saya menginginkan sesuatu yang
mustahil-yakni bekerja dengan baik sekaligus menjadi seorang ibu yang
baik. Saya terus berusaha mengabaikan suara hati saya, hampir sepanjang
hidup. Para ibu masa kini memang seolah serba salah. Masyarakat
cenderung menyepelekan ibu yang tinggal di rumah, namun disisi lain juga
menuduh para ibu bekerja telah menelantarkan anak-anak mereka.
Kini zaman telah berubah dan pola pikir kaum perempuan Indonesia kinipun
ikut berubah. Perempuan saat ini mulai berpikir untuk berperan ganda dalam
kehidupannya, sehingga perempuan saat ini bisa merasakan kehidupan yang lebih
berarti dan
lebih dihargai
oleh lingkungan,
keluarga dan
suami.
Selain itu
perempuan juga punya keinginan dan harapan untuk bisa ikut membantu suami
mencari nafkah, sehingga dapat mengangkat kehidupan ekonomi keluarga menjadi
lebih baik dan mapan di masa depan.
Juniarly (2001), mengatakan bahwa keputusan untuk berperan ganda saat
ini bukan berarti mengatasi masalah masa depan sudah selesai. Keputusan untuk
berperan ganda merupakan awal dari sebagian hidup yang lain. Kemungkinan untuk
menghadapi masalah beserta segala akibat yang menyertai saat berperan ganda
akan besar sekali terjadi, khususnya dalam usaha menjaga keharmonisan rumah
konflik tentang
kombinasi
peran-perannya. Seperti kemarahan anak karena
berkurangnya perhatian ibu akan menimbulkan perasaan gundah dan tidak nyaman.
Ditambah dengan kecemburuan, ketidakpedulian, dan ketidakpercayaan suami
membawa perempuan ke dalam keragu-raguan dan ketidakberdayaan.
Hukum wanita bekerja menurut syara' adalah boleh bekerja di luar rumah
seperti
laki-laki,
ikut andil
dalam produksi,
pembangunan, dan
kegiatan
kemasyarakatan. Agama Islam telah memuliakan wanita dan memberikan hak-hak
kemanusiaan
kepada
wanita
jauh
beberapa
abad
sebelum
bangsa
Barat
mengenalnya. Aktivitas yang dilakukan wanita dianggap sebagai hak yang akan
menjernihkan air mukanya, sekaligus dapat menjaga kehormatannya agar tidak
menjadi barang dagangan yang diperjualbeli seenaknya ketika dibutuhkan atau
dikurbankan ketika darurat. Islam memberi batas-batas syariah terhadap aktivitas
yang diperbolehkan bagi wanita muslimah, yang bekerja untuk dunianya tanpa
merugikan agamanya, yang lepas dari kekolotan orang-orang ekstrem yang tidak
menghendaki kaum wanita belajar dan bekerja serta keluar rumah walau ke masjid
sekalipun. (Qardhawi, 2002).
Pepatah Rusia mengatakan, "Kalaupun wanita itu dibuat dari kaca, tetap
mereka tidak tembus dipandang.". Ibarat sebuah buku, wanita Islam tidak cukup
dikenali hanya melalui judul dan kulitnya, sebab tidak jarang judul buku tidak
sinkron dengan isinya. Berarti bukan main terselubungnya wanita sehingga sulit nian
agenda dari zaman ke zaman hingga sekarang. Berbicara tentang problema wanita
diera teknologi dan industri sekarang, bukan lagi membahas masalah manusia atau
bukan, namun bagaimana memposisikan wanita pada kedudukannya yang wajar,
mengemban aneka tugas sebagai istri, ibu dan anggota masyarakat dalam
wadah-wadah kewanitaan, sehingga tugas utama tidak terabaikan.
Dalam berbagai
komunitas masyarakat, pembagian peran antara laki-laki dan wanita biasa kita
kenal. Laki-laki bekerja diluar rumah untuk mencari nafkah (peran publik), dan
wanita
bertugas
merampungkan
pekerjaan-pekerjaan
dalam
rumah
(peran
domestik) di samping hams melahirkan anak (fungsi produksi).
Sementara itu, pemerintah di Indonesia juga semakin memperhatikan
peranan perempuan dalam pembangunan. Hal ini terbukti dengan adanya prioritas
pembangunan pada perempuan sejak Repelita III yang diwujudkan dalam program
-program di bawah koordinasi mentri negara urusan wanita. Semenjak itulah
partisipasi kaum wanita di dalam pembangunan, khususnya partisipasi sebagai
sumber daya manusia semakin meningkat dalam kualitas maupun kuantitas. Saat ini
jumlah perempuan yang bekerja diberbagai bidang pekerjaan semakin bertambah
dan peluang untuk meningkatkan kualitas melalui pendidikan formal maupun
mengemukakan 4 hal yang mendukung meningkatnya jumlah perempuan bekerja
yaitu :
1. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi.
2. Keinginan untuk mengamalkan ilmu dan ketrampilan yang telah diperoleh.
3. Keinginan untuk mengembangkan dan mengaktualisasikan diri.
4. Tuntutan untuk membantu suami mencari tambahan penghasilan.
Oleh karena itu, adanya keterlibatan perempuan dalam dunia kerja
menimbulkan perubahan peran dari kaum wanita yaitu ; tidak hanya sebagai ibu
rumah tangga (sektor domestik), tetapi juga dapat memiliki peran lain di luar rumah
(sektor publik). Semakin kompleksnya kehidupan membuat intensitas peran yang
dijalani oleh kaum wanita semakin bertambah, ini menuntut perempuan untuk dapat
memikul tugas yang lebih besar dan responsif. Hal ini disebabkan peran ganda
perempuan disektor domestik dan sektor publik mempunyai orientasi yang berbeda.
Seorang
ibu diharapkan selalu
berpusat pada
orang
lain, pasif dan
lebih
mementingkan kebutuhan keluarga, sedang perempuan bekerja dituntut untuk
berpusat pada diri sendiri, tegas dan mementingkan pekerjaannya (Arinta, 1993).
Menurut Scanzoni & Scanzoni (dalam Arinta, 1993) di Amerika umumnya
bagi anak-anak yang ibunya bekerja akan mengalami masalah-masalah emosional
sehingga mengganggu perkembangan anak sebagai akibat berpisah setiap hari
dengan ibunya. Selain itu angka perceraian dari keluarga dengan ibu bekerja lebih
bersalah.
Uraian-uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa diabad 21 ini, fenomena
perempuan berperan ganda telah mewarnai lebih dari separuh kehidupan wanita
Indonesia, sehingga begitu banyak perempuan yang memutuskan untuk berperan
ganda. Namun sosialisasi yang minim terhadap masing-masing fungsi peran yang
dijalani akan menampilkan perilaku yang tidak berorientasi pada kompleksitas peran.
Hal ini dapat menimbulkan konflik pada peran yang sedang dijalani. Faktor-faktor
lainnya yang menyebabkan konflik peran dapat diurai sebagai berikut:
1. Faktor internal:
Persoalan yang timbul adalah persoalan yang berasal dari dalam diri pribadi
individu tersebut. Ada perempuan yang lebih senang jika dirinya hanya menjadi
seorang ibu rumah tangga yang mengatur keperluan keluarga. Namun ada keadaan
yang menuntut perempuan untuk bekerja demi menyokong keuangan keluarga.
Selain itu ada juga tekanan yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan peran
ganda itu sendiri, sehingga diperlukan manajemen waktu yang baik untuk dapat
memainkan peran sebagai ibu yang bijaksana dan wanita karir yang sukses.
Disamping itu faktor yang paling menentukan adalah
orientasi religiusitas yang
harus dimiliki oeh wanita untuk dapat mengendalikan konflik peran yang dihadapi.
dukungan suami.
Dari uraian faktor-faktor tersebut tidak heran jika perempuan yang berperan ganda cenderung mengalami stres lebih besar daripada perempuan yang berperan
tunggal. Perempuan berperan ganda sering hidup dalam pertentangan yang tajam
antara peran dirumah (domestik) dan peran di luar rumah peran (publik). Hal ini
menarik minat peneliti untuk melakukan penelitian bahwa ada hubungan antara orientasi religiusitas terhadap konflik peran. Peneliti ingin membuktikan bahwa dengan orientasi religius intrinsik dapat menangkal stres akibat konflik yang
dihadapi. Dalam hal ini individu yang memiliki orientasi religius dianggap lebih
mudah dalam mengatasi permasalahan hidup.
Dewasa ini dalam kehidupan manusia, memungkinkan seorang perempuan untuk berinteraksi dengan pihak yang disukai menjadi bertambah banyak. Bagi
hubungan suami-istri, kesempatan menjalin interaksi dengan pihak lain di luar
perkawinan bisa menjadi ancaman untuk kelangsungan kehidupan perkawinan.
Hawari (dalam Muthahhari 2002), menyatakan untuk mengantisipasi
kesulitan-kesulitan dalam perkawinan, bagi suami-istri disarankan agar meningkatkan segi
kehidupan beragama. Sebab nilai-nilai keagamaan mampu memberi tuntunan pada
suami- istri tentang bagaimana menjalin kerukunan hidup antar sesama manusia. Pendapat ini senada dengan Mc. Ginnis (dalam Barkah, 2002), yang menyatakan bahwa taraf orientasi religius suami-istri membentuk kelanggengan perkawinan.
berbagai proses baik secara internal maupun eksternal. Oleh karena itu diperlukan
kepekaan terhadap setiap gejala yang muncul dalam kehidupan agar individu
mampu
memberikan
alternatif
pemecahan
dengan
tetap
menjunjung
tinggi
komitmen nilai-nilai illahiyah. Jika prinsip keseimbangan selalu diterapkan dalam
kehidupan keluarga dan bermasyarakat, saat individu mengalami konflik, dan
ketidakberdayaan menghadapi realitas hidup yang tidak dapat dielakkan, insyaallah
akan dapat diterima dengan kelapangan hati dan jiwa. Nilai-nilai religiusitas tersebut
sangat penting artinya untuk mengatasi cobaan dan ujian yang menghampiri.
Seseorang dengan religiusitas yang tinggi diharapkan mampu untuk mengatasi
ketidakberdayaan yang dialami.
Di samping itu, sebuah rumah tangga bisa mencapai kebahagiaan optimal
bila ada suasana religiusitas yang kental. Ketidakpedulian suami-istri terhadap
masalah agama, paling tidak untuk keluarganya sendiri, akan menyebabkan kekeringan spiritual. Bila ini berlangsung terus, kehampaan dalam rumah tangga akan datang dan membelenggu. Karena itu, setiap suami istri hendaknya menjaga diri dan keluarganya dari hal-hal yang bisa menyebabkan rumah tangga jauh dari
suasana religius (Adhim, 2003).
Suatu konflik peran ganda yang saat ini banyak dialami oleh para wanita bekerja adalah keterbatasan waktu antara keluarga dan pekerjaan, serta sosialisasi
sama, disatu sisi seorang wanita ingin menjadi ibu yang baik yang bisa memenuhi
semua kebutuhan spiritual dan emosional anak dan disisi lainnya ingin sukses
menunjukkan aktualisasi diri sebagai wanita karir. Namun dalam menjalankan peran
tersebut, tidak jarang wanita dihinggapi berbagai masalah dan konflik pada peran
yang dijalani. Masalah dan konflik peran terkadang bisa mempengaruhi kesehatan
jiwa jika individu tidak memiliki kontrol diri yang tangguh. Dalam hal ini kontrol diri
erat kaitannya dengan fungsi agama yang dianut oleh individu. Penghayatan dan
keselarasan terhadap orientasi religius sangat berperan besar dan tidak terpisahkan
dalam kehidupan seseorang, karena individu yang menjadikan agama sebagai tujuan hidup akan mampu bertahan saat menghadapi masalah. Konflik peran ganda sebagai masalah bagi wanita yang bekerja, akan mampu diatasi oleh individu yang memiliki orientasi religius intrinsik karena individu dengan orientasi religius intrinsik
telah memiliki pola-pola perilaku dalam dirinya.
Dari paparan masalah di atas, dapat dijelaskan rumusan masalah yang akan diteliti, yaitu apakah ada hubungan orientasi religius dengan konflik peran ganda?. Kalau ada sejauh mana sumbangan orientasi religius terhadap konflik peran yang
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis:
Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
mengembangkan
pengetahuan
khususnya disiplin ilmu psikologi wanita tentang seberapa besar pengaruh orientasi
religiusitas terhadap sikap seseorang dalam menghadapi konflik peran ganda.
2. Manfaat praktis:
Manfaat praktis dari penelitian ini diharapkan mampu memberi sumbangan
bagi wanita yang
berperan ganda agar lebih memahami
pengaruh orientasi
A. Konflik Peran Ganda
1. Peran Ganda Wanita
Furhmann (dalam Listyowati, 2000), berpendapat bahwa peran adalah
suatu kategori tingkah laku yang disediakan untuk suatu kelompok individu.
Misalnya seorang ibu yang mempunyai peranan sebagai ibu, dilain sisi juga
dapat berperan sebagai dosen. Perilaku yang diharapkan dari seorang ibu adalah
memperhatikan kebutuhan emosional dan fisik anak, sedangkan perilaku yang
harus ditampilkan sebagai seorang dosen antara lain menyiapkan materi
perkuliahan dan mengajar mahasiswa, dalam hal ini peran sebagai ibu dan
sebagai dosen memiliki orientasi yang berbeda.
Peran ganda adalah satu pandangan yang menekankan bahwa urusan dalam lingkup rumah tangga tidak boleh dilupakan oleh perempuan meskipun aktif diluar (Aripurnami dalam Arinta, 1993). Menurut Barnadib (dalam Izzati, 1996), perempuan berperan ganda adalah perempuan yang memiliki dua peran. Pertama perempuan menjadi pelaku proses kemanusiaan yang sesuai kodratnya yaitu sebagai istri dan ibu lewat keluarga. Kedua perempuan menjadi partisipan
aktif dalam pembangunan lewat masyarakat.
Jadi dapat disimpulkan bahwa peran ganda adalah peran yang dimiliki oleh wanita yang telah memiliki keluarga dan juga bekerja diluar rumah. Peran ganda adalah merupakan satu kesatuan utuh karena tidak dapat dipisahkan.
2. Konflik Peran Ganda Wanita
Menurut kamus besar Bahasa Indonesia, konflik diartikan sebagai adanya
dua atau lebih gagasan dan keinginan yang saling bertentangan untuk
menguasai diri sehingga ini mempengaruhi tingkah laku. Burton (dalam
Listyowati, 2000), menyatakan bahwa konflik merupakan sebuah situasi yang tidak menarik dimana banyak pertentangan didalamnya.
Konflik peran ganda adalah suatu kegiatan sehari-hari dari dua atau lebih peran dimana pemenuhan salah satu peran dapat menimbulkan kesulitan
pemenuhan peran yang lain (Katz & Kahn, dalam Burhan, 2002). Mulyani (dalam Arinta, 1993), mengemukakan bahwa konflik peran ganda bersifat psikologis dengan gejala antara lain rasa bersalah, gelisah, tergantung dan frustasi. Konflik peran ganda muncul karena peran dengan orientasi berbeda tersebut sama-sama membutuhkan pengabdian. Jika peran yang satu dilakukan dengan baik,
maka peran yang lain akan terabaikan. Masalah seperti ini pasti akan muncul terutama pada ibu yang bekerja dengan anak dalam pengasuhan baik secara
fisik maupun secara mental spiritual (Ihromi dalam Burhan, 2002).
Konflik peran dapat timbul karena kecemasan akan terjadinya efek
negatif terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan atau kemampuan
membina rumah tangga yang ideal (Sedyono dalam Arinta, 1993); serta dilema
psikologis atau moral yang harus dihadapi saat mengalami peran ganda
(Puspitasari, dalam Izzati, 1996). Menurut Beutell & Greenhouse (dalam Arinta, 1993), konflik dibagi menjadi 3 tipe yaitu :
a. Konflik terjadi karena distribusi waktu dan energi sebagai ibu dan perempuan
b. Konflik karena tekanan dari tuntutan yang berbeda dari masing- masing peran membangkitkan keadan emosi yang mengarah pada konflik.
c. Konflik terjadi karena manajemen perilaku yaitu kesulitan perempuan untuk
bergerak secara bergantian dari satu peran ke peran lain yang menimbulkan masalah pada sikap dan perasaan.
Penelitian yang dilakukan Coke dan Rosseou (1984), membuktikan bahwa semakin besar harapan yang diberikan, baik ditempat kerja maupun dirumah, pada karyawan perempuan yang memiliki anak, maka kemungkinan timbulnya konflik antar peran akan semakin besar pula.
Peningkatan keterlibatan perempuan dalam profesi dan dunia kerja itu menuntut dedikasi dan komitmen yang tinggi. Hal ini cenderung menimbulkan konflik antar peran yang lebih besar dari kaum pria. Ini dianggap wajar, karena semakin banyak peran yang dimiliki seseorang maka akan semakin besar kemungkinan terjadinya konflik antar peran yang berbeda (Beehr, 1995).
Konflik peran ganda merupakan salah satu sumber stres pada gangguan hubungan pekerjaan dan keluarga (Lewis dan Coper dalam Burhan, 2002). Hal ini dapat mengakibatkan rendahnya kesehatan mental, gangguan kondisi fisik, ketidakpuasan kerja dan berujung pada ketidakpuasan hidup (Moorehouse; Williams dkk, dalam Arinta, 1993). Selain itu, manifestasi konflik peran yang biasa dialami oleh perempuan berperan ganda yaitu ketidakjelasan tugas, ketidakjelasan peran, beban yang berlebihan menyangkut pekerjaan maupun tugas di rumah, peningkatan absensi, serta kemangkiran. Perempuan berperan
ganda juga sering mengalami penyakit psikosomatis yang ringan, seperti
Menjadi seorang ibu yang baik di rumah tidaklah selalu mudah bagi para wanita yang bekerja. Diferensiasi dalam beberapa peran itu dapat menumbuhkan
kompetisi dalam penggunaan waktu, energi, perhatian dan komitmen. Hal ini dapat memicu timbulnya konflik peran ganda. Jadi konflik peran ganda dapat timbul bila individu pada saat yang sama melakukan peran yang berbeda - beda (Snock dalam Burhan, 2002).
Wolfman (dalam Arinta, 1993), mengungkapkan beberapa ketegangan yang dapat menimbulkan konflik peran ganda yaitu:
1. Adanya persepsi ganda pada perempuan tentang peran yang dilakukan.
2. Rasa tertekan oleh pendapat lama tentang sifat perempuan dan sifat
pekerjaan yang bertentangan.
3. Merasa tidak yakin dengan kesanggupan atas pilihan dan prioritas sendiri.
Dari uraian di atas penulis menyimpulkan bahwa konflik peran ganda perempuan adalah suatu kondisi yang dialami oleh perempuan bekerja yang telah menikah, dimana perempuan dihadapkan pada dua motivasi yang berbeda, yaitu sebagai istri dan ibu yang baik atau sebagai perempuan pekerja. Dalam hal ini konflik peran timbul karena proses sosialisasi yang dialami perempuan tidak
mempersiapkan pribadi perempuan untuk menampilkan perilaku yang
berorientasi pada kompleksitas peran. Banyak hambatan yang memberikan kontribusi terciptanya konflik seperti hambatan fisik, teologis, sikap pandang, sosial budaya dan historis.
3. Faktor - faktor Konflik Peran Ganda
Shaevitz (dalam Izzati, 1996) berpendapat bahwa faktor penyebab
timbulnya konflik pada peran ganda perempuan biasanya bersumber dari diri
perempuan itu sendiri. Perempuan biasanya menuntut dirinya sendiri untuk menjalankan semua perannya dengan sempurna. Jika perempuan kurang mengenal diri sendiri, maka perempuan cenderung memaksakan diri untuk
melakukan sesuatu diluar batas-batas kemampuannya. Hal ini termasuk pemicu
timbulnya konflik dan ketegangan. Adapun faktor-faktor internal konflik peran
ganda antara lain:
1. Pengasuhan anak
Berdasarkan kajian yang diungkapkan para ahli ternyata anak- anak menjadi teman yang memberi kekuatan sekaligus merupakan tanggung jawab yang dapat menyebabkan tekanan bagi perempuan (Woflman dalam Burhan, 2002). Bagi ibu bekerja, mengasuh anak adalah sumber kesulitan, terlebih jika memiliki anak yang pra-sekolah. Penelitian Valdez &Gutek (dalam Arinta, 1993), menemukan bahwa perempuan dengan jabatan profesional atau manajerial ternyata memilki anak yang lebih sedikit dibanding dengan perempuan dengan jabatan yang rendah. Oleh karena itu membatasi jumlah anak merupakan salah-satu cara untuk mengantisipasi kemungkinan menghadapi konflik peran ganda
yang tinggi (Gerson dalam Arinta, 1993).
2. Waktu
Satu keluhan umum dari perempuan bekerja adalah masalah kekurangan waktu. Hal ini dikarenakan harus menangani dua macam kegiatan secara
3. Bantuan pekerjaan rumah tangga
Di lingkungan keluarga beban pekerjaan rumah tangga sebanyak 95 %
menjadi tugas ibu (Shaevit dalam Izzati, 1996). Hal ini membuktikan suami dan
anak-anak memiliki keterlibatan yang teramat kecil. Namun konflik peran
sebagai ibu dan perempuan bekerja dapat berkurang bila sistim kekeluargaan
dan kondisi sosial ekonomi masyarakat memungkinkan bagi keluarga untuk
mendapatkan tenaga pembantu rumah tangga dengan mudah dan relatif
murah.
4. Menentukan prioritas
Soekanto (dalam Fridani, 1991), mengatakan bahwa kesulitan yang dapat menimbulkan konflik peran ganda perempuan bekerja adalah menentukan
prioritas, kecenderungan ini merupakan akibat adanya sifat wanita yang kurang asertif. Sehingga bisa menyulitkan diri wanita bila harus memilih antara dua kegiatan yang sama pentingnya.
5. Komunikasi dan interaksi kelurga
Komunikasi adalah unsur penting untuk menciptakan hubungan yang harmonis dalam keluarga (Shaevitz dalam Izzati, 1996). Dalam hal ini menjaga komunikasi dengan anak dan suami sebagai fungsi utama bagi wanita yang berperan ganda sangat penting agar wanita tidak kehilangan dukungan dari keluarga saat berperan ganda.
Perempuan yang telah berumah tangga dan bekerja dituntut untuk
berhasil dalam dua peran yang bertentangan. Birnbaum (Hoffman, 1974),
menyebutkan bahwa 1 dari 6 wanita profesional mengalami konflik dalam karir dan rumah tangga. Hal ini membuat perempuan tidak adekuat sebagai orangtua
(Hell, dalam Hoffman, 1974). Hoffman (1974), mengemukakan bahwa
perempuan bekerja mengalami konflik karena kekhawatiran mereka terhadap akibat buruk bagi anak-anak, sehingga mereka sering merasa bersalah. Barruch
(1983), menerangkan bahwa konflik peran bersifat psikologis dengan gejala
yang terlihat antara lain; merasa bersalah, kegelisahan, ketergantungan dan
frustasi.
7. Pandangan suami terhadap peran ganda wanita
Walaupun dewasa ini banyak suami yang mulai mendukung secara positif terhadap istri bekerja, tetapi kesuksesan istri yang berkarir dapat dirasakan sebagai kegagalan dalam diri suami dalam menyeimbangkan karir dengan istrinya. Khususnya bila kesuksesan istri mengakibatkan keterlibatan yang lebih besar terhadap pekerjaan sehingga makin kurang waktu untuk keluarga. Hal ini akan megakibatkan suami merasa tersisihkan (Shaevitz dalam Izzati, 1996). Perempuan harus memahami bahwa hal ini adalah masalah yang potensial demi keutuhan hidup perkawinan, karena pekerjaan merupakan " akar" harga diri dan eksistensi bagi seorang pria.
8. Orientasi religiusitas
Dalam kehidupan perkawinan, perempuan yang bekerja dituntut untuk dapat memanajemen waktu yang baik agar dapat memainkan peran sebagai ibu
B. Orisinalitas Penelitian
Penelitian mengenai Orientasi Religiusitas pernah dilakukan oleh Taufik
(2000) yang dikaitkan dengan sikap moral karyawan dalam bekerja. Hasil penelitian
tersebut menunjukkan bahwa semakin rendah orientasi religius intrinsik seseorang
maka sikap moral relatif rendah. Sedangkan penelitian tentang konflik peran pernah
dilakukan oleh Listyowati (2000) yang dikaitkan dengan kecemasan kerja. Hasil
penelitian menunjukkan semakin tinggi kecemasan kerja yang dialami, maka
kecenderungan mengalami konflik peran relatif tinggi.
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan penelitian yang telah
ada karena peneliti meneliti hubungan orientasi religius terhadap konflik peran pada
ibu rumah tangga yang berperan ganda. Variabel penelitian yaitu orientasi religius
sebagai variabel bebas dan konflik peran sebagai variabel tergantung, dengan pendekatan penelitian bersifat kuantitatif.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian korelasional ini adalah untuk mengetahui hubungan orientasi religius dengan konflik peran ganda pada perempuan bekerja.
sangat memungkinkan seorang perempuan untuk berinteraksi dengan pihak lain diluar perkawinan. Bagi hubungan suami-istri, hal ini bisa menjadi ancaman untuk kelangsungan kehidupan perkawinan. Pendapat Mc.Ginnis (dalam Barkah,
2002) menyatakan bahwa taraf orientasi religiusitas yang dimiliki oleh suami-istri
sangat mempengaruhi kelanggengan kehidupan perkawinan. Semakin tinggi (intrinsik) taraf orientasi religiusitas yang dimiliki suami-istri semakin erat pula
persatuan perkawinan.
Di samping fakor-faktor internal tersebut di atas ada juga faktor-faktor eksternal yang memberi kontribusi terjadinya konflik peran, antara lain :
1. Jam kerja
Penelitian yang dilakukan pada istri yang bekerja biasanya dengan kriteria istri bekerja partime dan fulltime yang bervariasi antara 20-35 jam/minggu
(Gutek dalam Arinta, 1993). Perbedaan tersebut biasanya terletak pada
fleksibilitas jam kerja yang hal ini dapat mempengaruhi tingkat keterlibatan dalam pekerjaan. Dalam penelitian Moen & McClain (Arinta, 1993) membuktikan bahwa wanita yang bekerja fulltime menginginkan mempersingkat jam kerjanya untuk mengurangi ketegangan akibat konflik peran antar pekerjaan dan keluarga dibandingkan wanita yang bekerja partime. Jadi dapat disimpulkan bahwa wanita yang bekerja fulltime cenderung lebih memiliki konflik peran ganda dibandingkan
wanita yang bekerja partime.
2. Jenis Pekerjaan
Penelitian yang dilakukan oleh Valdez dan Gutek (Arinta, 1993)
menemukan bahwa ada hubungan antara jenis pekerjaan dengan tingkat konflik peran ganda yang dialami wanita. Contohnya wanita dengan jabatan profesional
dan manajerial memiliki tingkat konflik peran yang lebih tinggi bila dibandingkan wanita dengan jabatan lebih rendah. Hal ini disebabkan wanita dengan status
pekerjaan rendah memiliki tuntutan terhadap karir yang relatif rendah
dibandingkan wanita dengan status pekerjaan tinggi.
3. Jumlah anak dan usia anak
Ada beberapa penelitian tentang adanya hubungan antara konflik peran yang dialami ibu bekerja dengan jumlah dan usia anak. Penelitian valdez dan Gutek (Arinta, 1993) menemukan bahwa wanita dengan jabatan profesional dan manajerial ternyata memiliki anak yang relatif lebih sedikit dibandingkan wanita dengan jabatan lebih rendah. Penyebabnya karena ketegangan peran meningkat seiring dengan jumlah anak, oleh karena itu dalam mengantisipasi kemungkinan terjadinya konflik peran ganda yang tinggi wanita cenderung untuk membatasi
jumlah anak.
4. Lama kerja setelah menikah.
Hubungan antara lama bekerja setelah menikah atau setelah berperan
ganda dengan konflik peran ganda belum pernah diteliti oleh para ahli.
Kebanyakan penelitian menguji hubungan antara usia dan konflik peran. Gutek dkk (Arinta, 1993) meneliti adanya keterkaitan antara lama bekerja dengan komitmen kerja. Hal ini karena lama kerja merupakan merupakan salah satu
aspek dari komitmen kerja selain job rewards, job invesments dan job
alternatives. Komitmen kerja berkaitan dengan disiplin diri untuk memenuhi
kebutuhan biasanya untuk masa yang lama (Vuurin dalam Arinta, 1993).
Penelitian Marks (Arinta, 1993) menyatakan bahwa komitmen yang tinggi dalam peran sebagai karyawan dapat menghasilkan stress bagi ibu bekerja. Jadi
komitmen pada peran yang berbeda dapat menimbulkan konflik peran ganda (Snock dalam Arinta, 1993), oleh karena komitmen kerja berhubungan dengan lama kerja maka dapat diasumsikan bahwa komitmen pada peran keluarga dan pekerjaan akan berhubungan dengan lama kerja setelah menikah atau berperan ganda. Jadi lama kerja setelah menikah dapat berhubungan dengan konflik peran ganda.
5. Pembantu rumah tangga / pengganti peran ibu.
Dalam mengasuh dan mendidik anak khususnya di Indonesia,
memungkinkan seorang ibu yang bekerja mendelegasikan tugas dan wewenang ini kepada orang lain misalnya baby sitters, orang tua atau orang lain yang dipercaya. Namun demikian pandangan masyarakat tetap memberikan tanggung
jawab kepada ibu sebagai pemegang peran utama dalam mengasuh dan
mendidik anak. Stycos & Weller (Arinta, 1993) mengemukakan bahwa konflik atau ketidakserasian antara peranan sebagai karyawan dapat berkurang bila sistim kekeluargaan dan kondisi sosial ekonomi masyarakat memungkinkan bagi keluarga untuk mendapatkan bantuan tenaga kerja untuk rumah tangga.
Berdasarkan uraian di atas dapat diambil kesimpulan bahwa faktor-faktor tersebut baik secara internal maupun eksternal merupakan masalah yang potensial untuk memicu konflik dalam diri perempuan yang mempunyai peran ganda. Oleh sebab itu sangat diperlukan sosialisasi yang matang terhadap fungsi peran yang dijalani. Di samping itu nilai-nilai yang dianut individu menentukan pandangan individu terhadap peran yang dijalani.
B. Orientasi Religiusitas
1. Religius dan Religiusitas
Religiusitas dasar katanya adalah religion yang berasal dari bahasa latin
religio. Religio memiliki akar kata religare yang berarti mengikat (Drikarya dalam
Ahmad, 1995) atau ikatan (Nasr dalam Taufik, 2002). Secara instansial, religio menunjuk pada sesuatu yang dirasakan sangat dalam, yang bersentuhan dengan keinginan seseorang, membutuhkan ketaatan dan memberikan imbalan atau mengikat seseorang dalam suatu masyarakat (Wulff dalam Ahmad,1995).
Dengan demikian maka menurut Wulff kata religion berarti suatu perasaan yang
terdapat dalam diri seseorang yang mengandung suatu semangat kekuatan. Di samping istilah religion dan religi terdapat pula istilah lain, beberapa diantaranya yaitu relligie (Belanda), dien (Arab), dan agama (Indonesia) yang kesemuanya itu mempunyai arti dan makna yang sama dan hanya bahasanya yang berbeda. Ini sesuai dengan pendapat Anshari (dalam Taufik, 2002), meskipun masing-masing mempunyai arti etimologis, riwayat dan sejarahnya sendiri-sendiri, akan tetapi dalam arti terminologi dan tehnis semua istilah itu
berinti sama.
Menurut William James dalam bukunya yang berjudul " Religion and Soul
" (dalam Mutthahari, 2002), dalam diri setiap manusia terdapat dorongan untuk
mengikatkan diri kepada yang ghaib sebagaimana kecenderungan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan alam seperti makan, minum, tidur dan
berkembang-biak.
Kecenderungan untuk mengikatkan diri pada yang ghaib ini sebenarnya merupakan sesuatu yang kodrati {fitrah). Tim bedah saraf dari Universitas
California yang dipimpin oleh Ramachandran menemukan bahwa pada diri
manusia terdapat God-spot, yaitu noktah otak yang merespon ajaran moral
keagamaan (dalam Barkah, 2002).
Berkenaan dengan pendapat bahwa kecenderungan mengikatkan diri kepada yang ghaib merupakan fitrah, Bahesti mengatakan bahwa ketika manusia melihat fenomena alam, manusia akan berusaha untuk mencari sebab-sebab fenomena tersebut. Pencarian ini akan mengantar manusia pada satu titik yaitu zat yang tidak bermula dan tidak berakhir yang menjadi sumber dari segala sebab (Mutthahari, 2002). Ini merupakan bentuk kesadaran awal untuk meyakini Tuhan Yang Maha Esa (muwahhid), tetapi belum sampai kepada tingkat religi dimana kepercayaan kepada Tuhan itu diikuti dengan serangkaian aturan yang meliputi kewajiban dan larangan yang harus dipatuhi oleh pemeluknya.
Kurniawan (1998), menyimpulkan menurut beberapa ahli bahwa di dalam diri manusia terdapat naluri untuk meyakini dan mengadakan penyembahan terhadap satu kekuatan di luar diri manusia. Menurut Nasr (dalam Taufik, 2002),
manusia menurut watak menerima keberadaan Allah swt. Frezzer (dalam
Andriyani, 2001), mengemukakan bahwa secara fitrah manusia memiliki
dorongan yang kuat untuk berserah diri kepada Allah swt dengan mentati segala perintah dan larangan-Nya, secara dinamik dan berlangsung terus-menerus
dalam diri manusia.
Proses ini tidak terhenti ketika manusia telah dengan sadar memeluk
agama. Frezzer (dalam Andriyani, 2001) bahkan menyatakan bahwa ini
merupakan permulaan, artinya setelah manusia memeluk agama (aslama)
sebelumnya boleh jadi lebih banyak dipengaruhi faktor-faktor ekstrinsik berubah
menjadi dorongan yang sifatnya benar-benar intrinsik. Pada tingkat ini individu akan melahirkan perilaku-perilaku mulia yang benar-benar tulus.
Menurut Madjid (dalam Jamaluddin, 1995); religiusitas seseorang adalah tingkah laku manusia yang sepenuhnya dibentuk oleh kepercayaan kepada yang ghaib yaitu kenyataan-kenyataan supra-empiris. Religiusitas bersifat kompleks dan memiliki banyak segi. Religiusitas lebih dalam dari agama yang tampak, formal dan resmi. Religiusitas melihat riak getaran hati nurani pribadi, serta sikap personal yang sedikit banyak misteri bagi orang, yakni cita rasa yang mencakup
totalitas termasuk rasio dan rasa manusiawi ke dalam pribadi (Mangunwijaya, dalam Fidyah 2001).
Fromm (dalam Mutthahari, 2002), menyebutkan bahwa tidak ada
seorangpun yang tidak membutuhkan agama. Daradjat (dalam Andriyani, 2001)
mengatakan bahwa pengetahuan tentang agama yang ditanamkan sejak kecil akan menjadi bagian dari unsur-unsur kepribadian yang akan mengatur sikap dan prilaku individu secara otomatis dari dalam. Oleh sebab itu seorang religius adalah seseorang yang mencoba mengerti hidup dan kehidupan secara lebih dalam dari batas lahiriah semata, yang bergerak dalam dimensi vertikal dari
kehidupan dan mentransendensikan hidup ini.
Menurut Najati (dalam Andriyani, 2001) pemahaman dan internalisasi
tuntunan agama dalam kehidupan individu akan membuat orang tersebut akan
lebih sanggup untuk menjalankan setiap perintah Tuhan-Nya. Sehingga religiusitas pada individu akan memberikan pengaruh besar pada dirinya, misalnya meningkatkan percaya diri, menambah kesabaran, tahan dalam
menghadapi penderitaan dalam hidupnya, serta membuat jiwa tenang dan bahagia.
Dari uraian-uraian tersebut di atas dapat diambil kesimpulan bahwa
pengertian religiusitas adalah intensitas dan keterikatan {religious commitment)
seseorang
terhadap
agama
berkenaan
dengan
perasaan,
pemahaman,
kepercayaan dan ketaatan terhadap ajaran-ajarannya. Oleh karena itu, semakin
dekat seseorang pada agama, maka semakin melekatkan agama itu pada diri
individu sehingga segala sesuatu yang dilakukan oleh individu selalu diwarnai
oleh nilai - nilai yang diajarkan oleh agamanya.
Dalam pembahasan mengenai religiusitas yang berkenaan dengan keagamaan, penulis membatasi hanya pada satu agama dari beberapa agama yang ada di Indonesia yaitu agama Islam. Mengingat obyek yang akan diteliti
adalah muslim atau pemeluk agama Islam.
2. Islam sebagai Religi
Dalam peristilahan bahasa, religie memilki makna yang sama dalam bahasa Belanda, Ad-din dalam bahasa Arab. Menurut Tabbarah (dalam Ahmad, 1995), Islam adalah agama yang dibawa oleh nabi Muhammad sebagaimana yang biasa berlaku pada berbagai ajaran agama lainnya (tetapi dinyatakan secara langsung oleh Tuhan dalam kitab suci-Nya), yang berbunyi :"Hari ini telah Ku-sempurnakan agama bagimu, dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku bagimu, dan Ku-pilihkan bagimu Islam sebagai satu-satunya agama yang Ku- ridhai".
Fridani (1996), menyatakan bahwa secara terminologis Islam merupakan bentuk kata jadian yang berasal dari kata jadian juga, yakni Aslama. Kata
dasarnya adalah Salima yang berarti sejahtera, tidak tercela, dan tidak cacat. Islam juga berarti kedamaian, kepatuhan dan penyerahan diri kepada Tuhan Y.M.E yang inti ajarannya adalah berserah diri kepada Allah swt.
Lang (dalam Fridani, 1996), mengatakan bahwa secara terminologis Islam berarti " menyerah" atau "tunduk " pada sebuah penghentian perlawanan. Sebuah penerimaan kepada kehendak Tuhan secara suka rela pada peraturan yang ditetapkan-Nya dan pada fitrah sejati manusia.
Zaidan (dalam Andriyani, 2001), menerangkan beberapa definisi Islam yang secara keseluruhan rangkuman pengertian tentang islam, yaitu:
1. Islam, sesuai hadist Rasulullah menyebutkan; bahwa Islam itu ialah kamu
menyaksikan tiada Tuhan selain Allah swt dan Muhammad saw adalah utusan Allah, mendirikan sholat, menunaikan zakat, berpuasa di bulan ramadhan dan ke baitullah jika mampu. Berdasarkan hadist tersebut, maka orang Islam yang baik
itu ialah yang selalu dapat melaksanakan rukun Islam dengan baik.
2. Islam ialah taat dan menyerahkan diri kepada Allah swt atas segala ketetapan. Taat kepada Allah dan menerima secara total (kaffah) atas seluruh ajaran
Rasulullah.
3. Islam adalah agama yang menyempurnakan agama yang datang sebelumnya, bahkan merupakan korektor terhadap penyimpangan-penyimpangan yang dibuat oleh agama sebelumnya.
4. Islam adalah agama yang mengandung peraturan-peraturan yang mencakup
seluruh segi kehidupan manusia. Tidak ada satupun persoalan kehidupan yang
kecilpun telah diatur di dalam agama Islam. Ini menunjukkan kelengkapan dan kesempumaan ajaran Islam.
Dari uraian-uraian tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa Islam adalah
agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Islam berarti kedamaian, kepatuhan
dan penyerahan diri kepada Allah swt serta sebuah penerimaan kepada
kehendak Allah secara suka rela pada peraturan yang ditetapkan agar kembali pada fitrah manusia.
3. Aspek - aspek Religiusitas
Merujuk pada keterangan Allport dan Rose (Adhim, M.F. 2000) yang
menggunakan pendekatan motivasional untuk menjelaskan tipologi sebagai
berikut; Individu yang termotivasi secara ekstrinsik memanfaatkan agamanya
dan menunjukkan visi kehidupan keagamaan yang bersifat fungsional.
Sedangkan individu yang berorientasi religius intrinsik akan menganggap agama sebagai tujuan hidup.
Allport dan Rose (Adhim, M.F. 2000), membagi 2 orientasi religiusitas
sebagai berikut:
1. Orientasi religius intrinsik
Individu yang berorientasi religius intrinsik memperlihatkan motivasi utama dalam agama yang dianutnya, lebih memusatkan pada kepentingan
agama {religion's sake). Bagi individu seperti ini, agama yang mengatur dan menggerakkan seluruh aktivitas kehidupannya, dimana mereka berusaha untuk mengintemalisasikan dan mengikuti ajaran agama secara penuh.
Individu yang berorientasi religius ekstrinsik cenderung memanfaatkan agama demi kepentingan-kepentingan sendiri. Memandang agama menurut kerangka kegunaan dan umumnya mengembangkan keyakinan agama secara selektif, sejauh itu sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan primernya. Bagi individu
agama berguna untuk mendukung kepercayaan diri, memperbaiki status,
bertahan melawan kenyataan atau memberi sanksi pada satu cara hidup. Individu mengarahkan diri pada Tuhan tetapi tidak bertolak dari dirinya sendiri.
Berdasarkan penafsiran Hunt dan King (dalam Nashori, 1998), terhadap
pemikiran Allport, beberapa aspek sikap yang berkaitan dengan orientasi
kehidupan keagamaan intrinsik adalah sebagai berikut:
a. Personal vs Institusional. Individu yang berorientasi intrinsik akan
memasukkan secara personal nilai-nilai ajaran agama sebagai hal yang vital dan mengupayakan penghayatan yang lebih mendalam, sedangkan individu yang berorientasi secara ekstrinsik tidak demikian, penghayatan terhadap agama hanya bersifat kelembagaan.
b. Selfish vs Unselfish. Individu yang berorientasi intrinsik akan berusaha mentransendensikan kebutuhan yang berpusat pada dirinya. Seseorang yang beragama secara mendalam akan memiliki kerinduan untuk bertemu dengan Tuhan-Nya. Bagi individu seperti ini mendekatkan diri pada Tuhan adalah hal yang menyenangkan dan dilakukan dalam rangka melaksanakan perintah Tuhan.
c. Relevansi terhadap seluruh kehidupan keagaman, artinya individu memenuhi kehidupannya dengan motivasi dan makna religius. Agama Islam menganjurkan bagi pemeluknya untuk beragama secara keseluruha (kaffah atau comprehensive). Bila ini dilakukan maka setiap muslim akan berusaha agar yang
mendasari perilakunya adalah agamanya. Saat melakukan aktivitas-aktivitas
dalam kehidupan semuanya dilandasi dengan motivasi religius.
d. Kepenuhan penghayatan keagamaan. Individu dengan orientasi
agama secara intrinsik akan menghayati keyakinannya, artinya beriman dan menerima kenyataan agama secara mendalam, tidak dangkal atau tidak penuh.
e. Pokok vs Intsrumental. Individu yang berorientasi secara intrinsik
menjadikan agama sebagai tujuan akhir atau pokok, bukan sebagai sarana {instrumen).
f. Asosiasional vs Komunal. Asosiasional berarti pencarian nilai religius
yang lebih mendalam. Salah satu pokok ajaran Islam adalah perlunya usaha setiap muslim untuk menambah ilmu pengetahuan agar menguatkan pemahaman keagamannya. Sedangkan komunal berarti individu berafiliasi demi
sosiabilitas dan status.
g. Keteraturan penjagaan iman, artinya memelihara Iman secara
konsisten dan teratur. Islam menjelaskan bahwa hati manusia iti bisa stabil dan
bisa juga tidak stabil. Untuk menstabilkannya individu diminta untuk memperbanyak perbuatan baik terhadap manusia maupun Allah.
Dari uraian-uraian di atas, diketahui bahwa individu yang memiliki orientasi religius intrinsik memiliki pandangan terhadap agama sebagai hal yang personal, selfish, penuh penghayatan, sebagai tujuan akhir yang konsisten dan
4. Tinjauan Islam Tentang Konflik Peran Ganda Wanita
Keikutsertaan wanita dalam kehidupan sosial dan masyarakat adalah
untuk menjalankan profesi dan membantu suaminya (jika penghasilan suami belum mencukupi), serta untuk mendapatkan biaya yang akan digunakan dalam mewujudkan tujuan yang baik, atau menunaikan sebagian fardhu kifayah yang
khusus di dalam masyarakat modern, seperti mendidik wanita-wanita muslim
dan anak-anak. Apapun maksud profesi wanita yang paling penting kegiatan
tersebut tidak mengganggu hak suami dan anak-anaknya karena mengurus
rumah tangga adalah tanggung jawab utama kaum wanita (dalam Syuqah,
1997).
Seorang wanita berkewajiban mengurus rumah tangga dan anak-anak sebaik mungkin. Kegiatan pofesi tidak boleh sampai menghalangi pelaksanan tanggung jawab ini. Bagaimanapun, urusan rumah tangga dan anak-anak merupakan tanggung jawab bagi wanita yang sudah berkeluarga. Allah SWT
berfirman : "Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.. " (Ar
-Rum : 21).
Bagi seorang istri, walaupun turut andil dalam menjalankan kegiatan profesi, tetap harus menjadikan rumah sebagai taman surgawi bagi suami dan anak-anaknya. Sehingga wanita yang bergelut dalam bidang profesi seyogianya melakukan segala sesuatu secara seimbang dengan langkah-langkah yang telah diperhitungkan, agar kegiatan profesi tidak sampai merugikan kepentingan
tidak boleh merusak keseimbangan kehidupan keluarga yang asli dan peranan
wanita yang utama hanya karena kesibukan-kesibukan tambahan atau keasyikan
bergelut dalam bidang profesi.
Peran wanita secara Islam adalah sebagai ibu rumah tangga sesuai
peran tradisional yang disabdakan oleh Rasulullah saw, "...dan seorang istri
adalah pemimpin bagi rumah suami dan anak-anaknya, dan dia akan dimintai
pertanggungjawaban tentang mereka..." (HR Bukhari dan Muslim dalam Syuqah,
1997). Peran tradisional wanita pada saat ini harus diselaraskan dengan tuntutan - tuntutan modern yang tidak dapat dihindari. Selain sebagai ibu rumah tangga wanita sekarang telah memutuskan untuk berperan ganda sebagai wanita yang
bekerja diluar rumah, hal ini menyebabkan timbulnya konflik yang tidak dapat
dihindari oleh wanita.C. Hubungan Antara Orientasi Religiusitas Dengan Konflik Peran Ganda
Kemajuan jaman dewasa ini telah menimbulkan perubahan dalam setiap aspek kehidupan. Wanita saat ini sudah mulai berpikir untuk berperan ganda dalam kehidupannya. Namun sosialisasi yang minim terhadap masing-masing fungsi peran yang dijalani akan menampilkan perilaku yang tidak berorientasi pada kompleksitas peran sehingga dapat menimbulkan konflik pada peran ganda
yang dijalani. Sebagai akibat dari tuntutan kemajuan jaman dibutuhkan adanya
keselarasan dalam menghayati orientasi religiusitas agar dapat mengendalikan
diasumsikan dapat mengendalikan konflik peran ganda yang dihadapi oleh wanita yang bekerja.
Peluang kerja yang lebar bagi perempuan sebagai konsekuensi pendidikan yang semakin tinggi telah menempatkan perempuan untuk berbuat dan mengembangkan serta mewujudkan semua potensi dan kemampuan yang dimilikinya secara luas. Meskipun demikian masih banyak budaya pada umumnya yang tidak mengharapkan perempuan untuk mandiri, Perempuan tetap dituntut untuk berperan sesuai dengan peran jenis (peran tradisional) yang telah
ditanamkan.
Shaevitz (dalam Izzati, 1996) berpendapat bahwa faktor penyebab timbulnya konflik pada peran ganda perempuan biasanya bersumber dari diri perempuan itu sendiri. Perempuan biasanya menuntut dirinya sendiri untuk menjalankan semua peran dengan sempurna, hal ini memicu timbulnya konflik
dan ketegangan, serta dilema psikologis saat berperan ganda. Di samping itu
konflik dapat timbul karena kecemasan akan terjadinya efek negatif terhadap keluarga seperti berkurangnya kesempatan atau kemampuan untuk membina
rumah tangga yang ideal (Sedyono dalam Arinta, 1993).
Keinginan untuk berperan secara efektif dan efisien dalam dua peran yang berbeda akan membutuhkan tenaga dan pikiran perempuan semaksimal mungkin. Hal ini menimbulkan dilema yang sulit untuk di jawab, akibatnya timbul
ketegangan dalam kehidupan keluarga sehingga muncul perasaan bersalah, frustasi, stres dalam pekerjaan dan akhirnya dapat merembes pada sendi
Dalam mengatasi permasalahan di atas, kehidupan beragama dianggap mempunyai peranan yang sangat penting. Karena dengan orientasi religius secara intrinsik individu telah menerapkan pola-pola perilaku untuk diri sendiri.
Individu yang sangat religius akan merasa terlindungi dari keresahan-keresahan saat menghadapi masalah, karena orang yang aktif menjalankan agama akan lebih mampu mengatasi kesulitan-kesulitan hidup dan mereka lebih berbahagia. Berbeda dengan individu yang memiliki orientasi religius ekstrinsik, manusia dengan orientasi seperti ini cenderung memanfaatkan agamanya sebagai tameng, sehingga ketika dilanda masalah dalam hidup individu ini hanya akan
merasakan gelisah dan cemas yang berakhir pada stres. Fromm (Mutthahari, 2002) menyebutkan bahwa tidak ada seorangpun yang tidak membutuhkan agama. Pada saat individu mengalami masalah yang sangat rumit, individu
cenderung untuk lari dan mencari suatu kekuatan di luar dirinya yang dianggap dapat memberikan perlindungan dan ketenangan. Dalam hal ini agama seringkaii
dapat memecahkan berbagai masalah kehidupan, sehingga agama meningkatkan
kebermaknaan hidup bagi individu. Sehingga faktor religiusitas sangat
mempengaruhi sikap individu dalam menghadapi situasi yang kontroversial dan memiliki peranan dalam menjaga kestabilan mental manusia saat menghadapi
goncangan-goncangan seperti frustasi, kekecemasan dan konflik peran ganda
dalam hidup sehingga individu tetap aktif dan kreatif dalam melaksanakan tugas-tugas mereka.
Maka dapat dikatakan bahwa agama berhubungan dengan tingkat konflik
peran ganda. Diasumsikan bahwa semakin intrinsik orientasi religiusitas seseorang maka semakin mampu individu untuk mengatasi konflik peran ganda.
D. Hipotesis Penelitian
Hipotesis yang diajukan berdasarkan dari permasalahan di atas adalah "Ada Hubungan negatif antara Orientasi Religiusitas dengan Konflik Peran Ganda
Wanita". Semakin Intrinsik orientasi religiusitas seseorang maka konflik peran
yang dihadapi relatif kecil, sebaliknya semakin eksternal orientasi religiusitas seseorang maka konflik peran yang dihadapi semakin besar.
A. Identifikasi Variabel Penelitian
Variabel - variabel dalam penelitian ini, yaitu :
1. Variabel Tergantung Konflik Peran Ganda Perempuan
2. Variabel Bebas : Orientasi Religiusitas
B. Definisi Operasional Variabel Penelitian
1. Konflik Peran Ganda
Konflik peran ganda adalah munculnya pertentangan dalam diri
perempuan yang telah menikah atas peran yang dimainkan, yaitu perannya
sebagai perempuan yang bekerja diluar rumah dan perannya sebagai istri dan ibu dari anak-anak. Konflik peran yang dialami perempuan bekerja yang menikah dioperasionalkan sebagai skor yang diperoleh subyek dari angket konflik peran ganda yang digunakan. Semakin tinggi nilai skor yang diperoleh, maka semakin
rendah tingkat konflik peran ganda. Sebaliknya semakin rendah skor yang diperoleh, maka semakin tinggi tingkat konflik peran ganda yang dialami.
2. Orientasi religiusitas
Orientasi religius adalah keterikatan religius {religious commitment)
subyek terhadap agamanya, dalam hal ini adalah agama Islam. Seseorang yang
memiliki keterikatan religius yang lebih besar akan menjalankan ajaran dan aturan agamanya dengan patuh. Orientasi religius dapat dilihat dari skor total skala religiusitas yang digunakan. Semakin tinggi nilai skor yang diperoleh maka
semakin intrinsik orientasi religius seseorang dan sebaliknya semakin rendah nilai skor yang diperoleh maka semakin ekstrinsik orientasi religius seseorang.
C. Subyek Penelitian
Subyek dalam penelitian ini adalah karyawan wanita yang bekerja di kantor pusat Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. Karakteristik subyek yang akan diteliti yaitu: subyek minimal lulus SLTA dan sejenisnya, subyek telah menikah dan berada dalam rentang usia 25-50 tahun, karena di usia tersebut seorang perempuan sudah memiliki pekerjaan yang tetap dan sudah memiliki anak sekurang-kurangnya satu orang. Jumlah subyek yang hendak diteliti yaitu
35 orang.
D. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode skala. Alasan menggunakan metode skala ini menurut Azwar (1999),
adalah sebagai berikut:
1. Data yang diungkap berupa konstrak atau konsep psikologis yang
menggambarkan aspek kepribadian tertentu.
2. Pertanyaan sebagai stimulus pada skala tertuju pada indikator perilaku guna
memancing subyek untuk merefleksikan keadaan subyek yang tidak
disadarinya. Pertanyaan digunakan untuk mengumpulkan sebanyak mungkin indikasi dari aspek kepribadian yang lebih abstrak pada variabel penelitian.
3. Skala memungkinkan subyek tidak menyadari arah jawaban yang dikehendaki
dan kesimpulan apa yang sesungguhnya diungkap oleh
pertanyaan-pertanyaan dalam skala.
4. Skala hanya digunakan untuk mengungkap satu atribut tunggal.
5. Skala Psikologi dapat dipertanggung-jawabkan, karena hasil ukurannya teruji
dari segi reliabilitas dan validitasnya.
1. Penyusunan Skala Konflik Peran Ganda Perempuan
Penyusunan butir-butir soal dalam Skala Konflik Peran di dasarkan atas aspek-aspek yang mempengaruhi timbulnya konflik peran. Skala dimodifikasi peneliti berdasarkan Skala Konflik Peran ganda dari listiyowati (2000). Peneliti melakukan modifikasi dalam penyusunan tata bahasa yang digunakan serta menambah jumlah aitem. Jumlah skala terdiri dari 60 aitem yang mencakup 30
aitem favorable dan 30 aitem unfavorable dengan menggunakan model
summated rating dari Likert, yang terdiri dari 4 pilihan jawaban yaitu; sangat
sesuai (SS), sesuai (S), tidak sesuai (TS), sangat tidak sesuai (STS). Subyek diharuskan memilih salah satu dari empat alternatif jawaban yang paling sesuai dengan keadaan dirinya.
Untuk menghindari stereotipe jawaban, pertanyaan dalam skala dibuat bervariasi antara pertanyaan yang bersifat mendukung variabel konflik peran
{favorable) dan tidak mendukung {unfavorable). Kriteria pemberian nilai /
penyekoran tergantung pada sifat favorable dan unfavorable dari pertanyaan, untuk pertanyaan yang bersifat favorable jawaban diberi skor 4 = SS, 3 = S, 2 = TS, 1 = STS. Sebaliknya untuk jawaban unfavorable diberi skor 1 = SS, 2 = S, 3 = TS, 4 = STS.
Tabel 1.
Distribusi Nomor Aitem Skala Konflik Peran Ganda
sebelum uji coba
Aspek Nomor Butir Jumlah Favorable Unfavorable I. Pengasuhan anak 10,13,23,30,31 9,14,57 8 II. Waktu 3,4,40,52,53,58 39,50,51 9 III. Bantuan Pekerjaan Rmh tg IV. Menentukan prioritas 25,26,41,55
T^IT^
33,34,49 27,29,60 7 ~7~" V. Komunikasi & Interaksi Klga 6,11,44,45 2,5,18,24,28,38,42, 43 12 IV. Tekanan Karir dim Pekerjaan 19,20,48,56 1,16,21,22,37,46, 47,54 12VII. Dukungan suami 8,36,59 15,32 5
60
Total 30 30
2. Religiusitas
Penyusunan skala religiusitas ini berdasarkan aspek-aspek yang
mempengaruhi faktor religiusitas. Skala yang digunakan ini adalah skala
religiusitas Faisal (1995), skala merupakan adaptasi dan perluasan skala orientasi
Religius Feagin yang disusun berdasarkan teori orientasi religius Allport dengan
menyesuaikan sampel yang diambil yaitu beragama Islam. Skala religiusitas ini berfungsi untuk mengukur orientasi keagamaan subyek. Skala religiusitas ini berjumlah 60 aitem yang terdiri dari 30 aitem favorable (mendukung) dan 30 aitem unfavorable (tidak mendukung). Nilai skor favorable bergerak mulai 4=SS
(sangat sesuai), 3=S (sesuai), 2=TS (tidak sesuai), l=STS(sangat tidak sesuai). Sedangkan skor untuk aitem unfavorable bergerak dari 1=SS, 2=S, 3=TS,
4=STS. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas tentang distribusi aitem,
dapat dilihat pada tabel 2 sebagai berikut:
Tabel 2.
Distribusi Nomor Aitem Skala Religiusitas sebelum uji coba
Aspek Nomor Butir Jumlah Favorable Unfavorable I. Personal vs institusional II. Unselfish vs selfish 10,11,18,59 13,15,55 7 7 17,36,51,52 1,54,56 III. Relevansi thd keseluruhan kehidupan 4,14,30,45 8,20,26,37,42,47 10 IV. Kepenuhan Penghayatan Keyakinan 27,28,44,46,48,50 12,38,40,43,58 11 V. Pokok vs Instrumental 21,25,41,49,53 5,9,16,19,29,31,34 12 VI. Assosiasonal Vs komunal 7,35,39,60 22,24,32 7 VII. Keteraturan Penjagaan iman 3.6,33 30 2.23.57 30 6 60 Total 40
E. Validitas dan Reliabilitas
Suatu alat ukur yang baik harus memenuhi persyaratan validitas
(kesahihan) dan reliabilitas (keandalan) yang baik pula. Untuk mengetahui suatu alat ukur telah memenuhi persyaratan validitas dan reliabilitas yang baik, maka sebelum dipergunakan dalam penelitian perlu dilakukan uji coba terlebih dahulu.
Validitas menunjukkan pada ketepatan dan kecermatan alat ukur dalam
menjalankan fungsinya, sedangkan reliabilitas menunjuk pada pengertian
konsistensi alat ukur (Azwar, 2003).
Validitas berasal dari kata validityyang berarti sejauhmana ketepatan dan kecermatan suatu alat ukur dalam melakukan fungsi ukurnya. Valid tidaknya suatu alat ukur tergantung pada mampu tidaknya alat ukur tersebut mencapai tujuan pengukuran yang dikehendaki dengan tepat (Azwar, 2003). Suatu alat ukur yang valid, tidak sekedar mampu mengungkapkan data dengan tepat tetapi ia juga harus memberikan gambaran yang cermat mengenai data tersebut, serta memilki varian error yang kecil karena error pengukuran kecil sehingga angka yang dihasilkan dapat dipercaya sebagai angka yang "sebenarnya" atau angka yang mendekati keadaan yang sebenarnya (Azwar, 2003).
Reliabilitas alat ukur menunjukkan sejauhmana pengukuran itu dapat memberikan hasil yang relatif tidak berbeda, bila dilakukan pengukuran kembali pada subyek yang sama (Azwar, 2003). Secara emprik, tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Semakin tinggi koefisien korelasi kedua tes tersebut berarti konsistensi antara hasil pangenaan dari kedua tes tersebut semakin baik dan semakin reliabel
(Azwar, 2003). Data yang terkumpul dianalisis dengan menggunakan program
statistik SPSS for windows release 10.01.
F. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan teknik korelasi product
moment dan Pearson dengan menggunakan program statistik SPSS for windows
release 10.01. Asumsi yang harus dipenuhi untuk dapat menggunakan teknik
korelasi product moment adalah: distribusi kedua variabel normal dan kedua variabel berhubungan tinier.
A. Orientasi Kancah dan Persiapan penelitian
1. Orientasi kancah
Pengambilan data penelitian dilakukan di kantor pusat Universitas Islam
Indonesia (UII) yang terletak di Jalan Cik Ditiro No. 1 Yogyakarta. Universitas Islam
Indonesia ini didirikan pada tangga 18 Juli 1945 atau bertepatan dengan tanggal 27 Rajab 1464 H. Kantor pusat Universitas Islam Indonesia selain sebagai kantor Rektor Universitas Islam Indonesia saat ini terdiri dari sepuluh badan atau lembaga dengan jumlah pegawai keseluruhan yaitu 109 orang, yang terbagi dari 20 orang pegawai wanita dan 89 orang pegawai lelaki. Sepuluh badan tersebut yaitu Badan Wakaf yang berjumlah 12 orang, BAK berjumlah 11 orang, BAAK berjumlah 14 orang, BAU 34 orang, BPSDM berjumlah sembilan orang, PUSKOM berjumlah lima orang, PUSTAKA berjumlah 12 orang, LPPAI berjumlah empat orang, LP berjumlah dua orang dan LPM berjumlah enam orang.
Karena penelitian ini subjek penelitian adalah wanita, dengan jumlah pegawai wanita yang terbatas, sebagian subjek diambil dari pegawai administrasi berbagai fakultas dari Universitas Islam Indonesia. Distribusi subjek penelitian fakultas antara lain dari Fakultas Psikologi berjumlah lima orang, Fakultas Sipil dan Perencanaan dua orang, Fakultas Teknik Industri tiga orang, Fakultas MIPA tiga