• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis Pembangunan Ekonomi Wilayah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Tinjauan Teoritis Pembangunan Ekonomi Wilayah"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tinjauan Teoritis

2.1.1 Pembangunan Ekonomi Wilayah

Secara filosofis proses pembangunan dapat diartikan sebagai upaya sistematik dan berkesinambungan untuk menciptakan keadaan yang dapat menyediakan berbagai alternatif yang sah bagi pencapaian aspirasi setiap warga yang paling humanistik (Rustiadi et al., 2009). Pembangunan ekonomi dapat diartikan sebagai kegiatan-kegiatan yang dilakukan suatu negara untuk mengembangkan kegiatan ekonomi dan kualitas hidup masyarakatnya. Pembangunan ekonomi harus dipandang sebagai suatu proses dimana terjadi saling keterkaitan dan saling mempengaruhi diantara berbagai faktor. Pembangunan ekonomi harus dapat diidentifikasi dan dianalisis dengan seksama sehingga diketahui tuntutan peristiwa yang timbul sehingga akan mewujudkan peningkatan kegiatan ekonomi dan taraf kesejahteraan masyarakat dari suatu tahap pembangunan ke tahap pembangunan berikutnya (Arsyad, 1999).

Paradigma pembangunan ekonomi wilayah seharusnya lebih mengarah pada penguatan basis ekonomi yang memiliki prinsip keseimbangan (equity) yang mendukung pertumbuhan ekonomi (eficiency), dan keberlanjutan (sustainability). Pembangunan ekonomi wilayah seyogyanya juga dilakukan dengan menggunakan paradigma baru melalui pembangunan yang berbasis lokal dan sumberdaya domestik. Keberhasilan pembangunan ekonomi ditunjukkan oleh tiga nilai pokok, yaitu: (1) berkembangnya kemampuan masyarakat untuk memenuhi kebutuhan pokoknya, (2) meningkatnya rasa harga diri masyarakat sebagai manusia, (3) meningkatnya kemampuan masyarakat untuk memilih yang merupakan salah satu hak asasi manusia (Anwar, 2001).

Pembangunan daerah merupakan bagian integral dan merupakan penjabaran dari pembangunan nasional dalam rangka pencapaian sasaran pembangunan yang disesuaikan dengan potensi, aspirasi, dan permasalahan pembangunan di daerah. Kunci keberhasilan pembangunan daerah dalam mencapai sasaran pembangunan nasional secara efisien dan efektif, termasuk penyebaran hasilnya secara merata di seluruh Indonesia adalah koordinasi dan keterpaduan antara pemerintah pusat dan daerah, antarsektor, antara sektor dan

(2)

daerah, antar provinsi, antar kabupaten/kota, serta antara provinsi dan kabupaten/kota. Pembangunan daerah dilaksanakan dengan tujuan untuk mencapai sasaran pembangunan nasional serta untuk meningkatkan hasil-hasil pembangunan daerah bagi masyarakat secara adil dan merata (Nasution, 2009)

Miraza (2005) menyatakan bahwa pembangunan daerah berorientasi pada pengembangan wilayah pada suatu daerah yang dilakukan secara gradual, yang menyangkut fisik dan nonfisik wilayah dimana tercipta penataan ruang yang efisien dan infrastruktur publik yang cukup serta kondisi lingkungan yang nyaman. Dengan demikian keseimbangan antarkawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antar wilayah dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Seperti halnya bagian tubuh manusia, ketidakseimbangan pertumbuhan wilayah akan mengakibatkan kondisi yang tidak stabil. Disparitas antar wilayah telah menimbulkan banyak permasalahan sosial, ekonomi dan politik (Rustiadi et al., 2009).

Pembangunan ekonomi dilaksanakan secara terpadu, selaras, seimbang dan berkelanjutan dan diarahkan agar pembangunan yang berlangsung merupakan kesatuan pembangunan nasional, sehingga dalam mewujudkan pembangunan ekonomi nasional perlu adanya pembangunan ekonomi daerah yang pada akhimya mampu mengurangi ketimpangan antar daerah dan mampu mewujudkan kemakmuran yang adil dan merata antar daerah (Wijaya dan Atmanti, 2006). 2.1.2 Evaluasi Kesesuaian Lahan

Evaluasi lahan adalah bagian dari proses perencanaan tata guna tanah dengan membandingkan persyaratan yang diminta oleh tipe penggunaan lahan yang akan diterapkan dengan kualitas lahan yang dimiliki oleh lahan yang akan digunakan. Tujuan evaluasi lahan adalah untuk menentukan kelas kesesuaian lahan untuk tujuan tertentu (Sitorus, 2004; Hardjowigeno dan Widiatmaka, 2007).

Pengelolaan sumber daya alam disamping memberikan manfaat masa kini, juga menjamin kehidupan masa depan, harus dikelola sedemikian rupa sehingga fungsinya dapat selalu terpelihara sepanjang masa. Dewasa ini dinamika pemanfaatan lahan berlangsung relatif lebih cepat dan akibatnya terjadi perubahan fungsi pemanfaatan lahan yang cenderung menyebabkan menurunnya kualitas

(3)

lingkungan dan pada akhirnya akan mengakibatkan menurunnya daya dukung lahan, sehingga pemanfaatan lahan perlu diarahkan menurut fungsinya untuk menghindarkan dampak pembangunan yang negatif (Faturuhu, 2009)

Potensi suatu wilayah untuk pengembangan pertanian pada dasarnya ditentukan oleh kecocokan antara sifat fisik lingkungan yang mencakup iklim, tanah, terain, dan hidrologi dengan persyaratan penggunaan lahan atau persyaratan tumbuh tanaman. Kecocokan antara sifat fisik lingkungan dari suatu wilayah dengan persyaratan penggunaan atau komoditas yang dievaluasi memberikan gambaran atau informasi bahwa lahan tersebut potensial dikembangkan untuk komoditas tersebut, artinya bahwa jika lahan tersebut digunakan untuk penggunaan tertentu dengan mempertimbangkan berbagai asumsi mencakup masukan yang diperlukan akan mampu memberikan hasil sesuai dengan yang diharapkan (Sitorus, 2004)

Inti prosedur evaluasi lahan adalah menentukan jenis penggunaan (jenis tanaman) yang akan ditetapkan, kemudian menentukan persyaratan dan pembatas pertumbuhannya dan akhirnya membandingkan persyaratan penggunaan lahan (pertumbuhan tanaman) tersebut dengan kualitas lahan secara fisik. Klasifikasi kelas kesesuaian lahan yang biasa digunakan adalah klasifikasi menurut metode FAO (1976). Metode ini digunakan untuk mengklasifikasikan kelas kesesuaian lahan berdasarkan data kuantitatif dan kualitatif, tergantung data yang tersedia (Sitorus, 2004).

Hasil penilaian kesesuaian lahan dapat berupa kelas kesesuaian lahan aktual dan kelas kesesuaian lahan potensial. Menurut Hardjowigeno dan Widiatmaka (2007), kelas kesesuaian lahan aktual menyatakan kesesuaian lahan berdasarkan data dari hasil survei tanah atau sumberdaya lahan, belum mempertimbangkan masukan-masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala atau faktor-faktor pembatas yang berupa sifat lingkungan fisik termasuk sifat-sifat tanah dalam hubungannya dengan persyaratan tumbuh tanaman yang dievaluasi. Kesesuaian lahan potensial menyatakan keadaan yang akan dicapai apabila dilakukan usaha-usaha perbaikan. Usaha perbaikan yang dilakukan harus memperhatikan aspek ekonominya. Artinya, apabila lahan tersebut dibatasi kendala-kendalanya, maka harus diperhitungkan apakah secara ekonomi dapat memberikan keuntungan.

(4)

2.1.3 Kelayakan finansial usaha tani

Untuk mengetahui secara komprehensif bagaimana aspek pengembangan usaha suatu komoditi pertanian maka perlu dikaji kelayakannya secara finansial. Menurut Gittinger (1986), aspek finansial terutama menyangkut perbandingan antara pengeluaran dengan pendapatan dari usaha perkebunan karet rakyat serta waktu didapatkannya hasil. Untuk mengetahui secara komprehensif tentang kinerja layak atau tidaknya usaha tersebut, dikembangkan berbagai kriteria yang pada dasarnya membandingkan antara biaya dan manfaat atas dasar suatu tingkat harga umum tetap yang diperoleh dengan menggunakan nilai sekarang (present

value) yang telah didiskonto selama umur usaha produktif perkebunan Karet

rakyat.

Cara penilaian jangka panjang yang paling banyak digunakan adalah dengan menggunakan Discounted Cash Flow Analysis (DCF) atau Analisis Aliran Kas yang didiskonto (Gittinger, 1986). Analisis DCF mempunyai keunggulan yaitu bahwa uang mempunyai nilai waktu yang merupakan ciri-ciri yang membedakannya dari teknik lain. Ciri pokok dari analisis DCF adalah menilai harga dengan memperhitungkan unsur waktu kejadian dan besarnya aliran pembayaran tunai (cash flow). Biaya dipandang sebagai negative cash flow sedangkan pendapatan dipandang sebagai positive cash flow.

Analisis sensitifitas digunakan untuk menghindari ketidakpastian perkembangan ekonomi di masa yang akan datang dan sering analisis proyek didasarkan pada proyeksi-proyeksi sehingga ketidakpastian yang akan terjadi di masa yang akan datang, seperti terjadinya kenaikan biaya-biaya operasional, terjadinya penurunan harga yang menyebabkan penurunan keuntungan dapat diminimalisasi (Syahrani, 2003)

Analisis kepekaan/sensitivitas dilakukan untuk melihat sampai seberapa besar (persen) penurunan atau peningkatan faktor-faktor tersebut dapat mengakibatkan perubahan dalam kriteria investasi yaitu dari layak menjadi tidak layak dilaksanakan (Gittinger, 1986).

2.1.4 Kelayakan Pemasaran

Tingkat efisiensi sistem pemasaran suatu usaha dapat diukur antara lain dengan pendekatan margin tataniaga dan keterpaduan pasar. Azzaino (1983)

(5)

mendefinisikan margin tata niaga sebagai perbedaan harga yang dibayar konsumen akhir untuk suatu produk dengan harga yang diterima petani produsen untuk produk yang sama. Tomek dan Robinson (1977) mendefinisikan margin tataniaga sebagai berikut : (1) perbedaan harga yang dibayar konsumen dengan harga yang diterima produsen, (2) kumpulan balas jasa yang diterima oleh jasa tataniaga sebagai akibat adanya permintaan dan penawaran.

Analisis keterpaduan pasar adalah analisis yang digunakan untuk melihat seberapa jauh pembentukan harga suatu komoditi pada suatu tingkat lembaga tataniaga dipengaruhi oleh harga di tingkat lembaga lainnya. Berbagai pendekatan dapat dilakukan untuk melihat fenomena ini. Salah satunya adalah metode

Autoregressive Distributed Lag yang dikembangkan oleh Ravallion (1986) dan

Heytens (1986).

2.1.5 Sistem Informasi Geografis

Sistem Informasi Geografis (Geographic Information System/GIS) yang selanjutnya akan disebut SIG (Sistem Informasi Geografis) merupakan sistem informasi berbasis komputer yang digunakan untuk mengolah dan menyimpan data atau informasi geografis (Aronoff, 1989). SIG memungkinkan pengguna untuk memahami konsep-konsep lokasi, posisi, koordinat, peta, ruang dan permodelan spasial secara mudah. Selain itu, dengan Sistem Informasi Geografis pengguna dapat membawa, meletakkan dan menggunakan data ke dalam sebuah model representasi miniatur permukaan bumi untuk kemudian dimanipulasi, dimodelkan atau dianalisis baik secara teksdtual, secara spasial maupun kombinasinya (analisis melalui query atribut dan spasial), hingga akhirnya disajikan dalam bentuk sesuai dengan kebutuhan pengguna (Prahasta, 2005)

Beberapa ahli menjelaskan tahapan-tahapan kelengkapan dalam Sistem Informasi Geografis menjadi tiga tahapan. Tahap pertama kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah inventarisasi data. Data yang menjadi masukan dalam Sistem Informasi Geografis dapat berupa peta tematik digital maupun rekaman digital dari sistem satelit yang sudah memberikan kenampakan informasi yang dibutuhkan (Robinson et al., 1995). Tahap kedua kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah penambahan operasional analisis pada tahap pertama. Pada tahapan ini, bentuk data diberikan kedalam data dengan menggunakan data

(6)

statistik. Berbagai layer dari data yang dihasilkan pada tahap pertama dianalisis secara bersama-sama untuk menetapkan lokasi atau bentuk yang memiliki atribut sama atau serupa (Robinson et al., 1995).

Analisis ini bisa dilakukan dengan tumpang susun (overlay). Tumpang susun peta merupakan proses yang paling banyak dilakukan dalam SIG. Selanjtnya kalkulasi dapat dilakukan. Kalkulasi merupakan sekumpulan operasi untuk memanipulasi data spasial baik berupa peta tunggal maupun beberapa peta sekaligus. Operasi ini dapat berupa penjumlahan, pengurangan, maupun perkalian antar peta, namun dapat pula melalui pengkaitan dengan suatu basis data atribut tertentu. Tahapan terakhir kelengkapan Sistem Informasi Geografis adalah pengambilan keputusan. Pada tahap ini digunakan model-model untuk mendapatkan evaluasi secara real time, kemudian hasil yang didapatkan dari permodelan dibandingkan dengan kondisi di lapangan (Robinson et al., 1995). Keluaran utama dari Sistem Informasi Geografis adalah informasi spasial baru yang perlu disajikan dalam bentuk tercetak (hard copy) supaya dapat dimanfaatkan dalam kegiatan operasional (Danoedoro, 1996).

Sistem Informasi Geografis dapat digunakan untuk membangun suatu model pemetaan kesesuaian lahan di suatu wilayah dengan menggabungkan prosedur evaluasi lahan dengan pilihan-pilihan pengambilan keputusan dalam

suatu Sistem Informasi Geografis (SIG). Prosedur ini mencakup 5 tahapan yaitu: (1) mendisain unit pemetaan lahan; (2) mendiagnosa tipe-tipe penggunaan lahan

yang ada dan keperluan-keperluannya; (3) menganalisis kesesuaian lahan melalui “matching” antara unit pemetaan lahan dengan tipe penggunaan lahan; (4) mengintegrasikan data ke basis data relasional (sosial-ekonomi); (5) penyajian peta kesesuaian lahan melalui proses “join table” antara hasil kesesuaian lahan dengan unit pemetaan lahan dalam Sistem Informasi Geografis (Hashim I, 2002) 2.2 Prospek Pengembangan Tanaman Karet

Karet merupakan salah satu komoditi perkebunan penting, baik sebagai sumber pendapatan, kesempatan kerja dan devisa, pendorong pertumbuhan ekonomi sentra-sentra baru di wilayah sekitar perkebunan karet maupun pelestarian lingkungan dan sumberdaya hayati. Namun sebagai negara dengan luas areal terbesar dan produksi kedua terbesar dunia, Indonesia masih

(7)

menghadapi beberapa kendala yaitu rendahnya produktivitas, terutama karet rakyat yang merupakan mayoritas areal karet nasional dan ragam produk olahan yang masih terbatas, yang didominasi oleh karet remah (crumb rubber). Rendahnya produktivitas kebun karet rakyat disebabkan oleh banyaknya areal tanaman tua, rusak dan tidak produktif, penggunaan bibit bukan klon unggul serta kondisi kebun yang tidak terawat, sehingga perlu upaya percepatan peremajaan karet rakyat dan pengembangan industri hilir (Balitbang Pertanian, 2009).

Perkebunan karet rakyat dicirikan oleh pemilikan lahan yang sempit, tersebar serta produktivitas mutu hasil yang rendah. Produksi karet berupa sleb,

lump, SIT angin dan jenis mutu lainnya yang dikenal dengan bokar (bahan olah

karet rakyat) dari usahatani kecil kemudian diolah oleh perusahaan pengolah (processor) yang pada umumnya berada di dekat kota, menjadi bentuk karet remah (crumb rubber). Proses sampai ke pabrik pengolahan, produksi karet dari petani kecil tersebut harus melalui rantai tataniaga yang panjang menggunkan bentuk-bentuk kelembagaan yang telah berkembang, sehingga petani seringkali menerima bagian harga yang relatif rendah.

Kondisi agribisnis karet saat ini menunjukkan bahwa karet dikelola oleh rakyat, perkebunan negara dan perkebunan swasta. Pertumbuhan karet rakyat masih positif walaupun lambat yaitu 1,58%/tahun, sedangkan areal perkebunan negara dan swasta sama-sama menurun 0,15%/tahun. Oleh karena itu, tumpuan pengembangan karet akan lebih banyak pada perkebunan rakyat. Luas areal kebun rakyat yang tua, rusak dan tidak produktif mencapai sekitar 400.000 hektar yang memerlukan peremajaan. Persoalannya adalah bahwa belum ada sumber dana yang tersedia untuk peremajaan. Di tingkat hilir, jumlah pabrik pengolahan karet sudah cukup, namun selama lima tahun mendatang diperkirakan akan diperlukan investasi baru dalam industri pengolahan, baik untuk menghasilkan crumb rubber maupun produk-produk karet lainnya karena produksi bahan baku karet akan meningkat. Kayu karet sebenarnya mempunyai potensi untuk dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan furniture tetapi belum optimal, sehingga diperlukan upaya untuk pemanfaatan yang lebih lanjut (Balitbang Pertanian, 2009).

Pengembangan tanaman karet dan pengolahannya di masa mendatang tetap menjadi salah satu prioritas pengembangan di sub sektor perkebunan. Hal ini

(8)

disebabkan, tanaman karet memiliki beberapa keunggulan dibandingkan pengembangan tanaman perkebunan lainnya. Keuntungan tersebut antara lain sebagai berikut : (1) persyaratan tumbuh yang lebih mudah dibandingkan tanaman lainnya; (2) merupakan usaha yang didominasi oleh perkebunan rakyat; (3) mendukung pemerataan dan pemberdayaan ekonomi rakyat; (4) penyebaran dalam skala yang luas; (5) merupakan sumber pendapatan yang memadai secara berkesinambungan bagi petani; (6) mampu memperbaiki kondisi hidrologis pada lahan kritis dan memperbaiki serta melestarikan lingkungan hidup.

Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya taraf hidup diperkirakan masa depan karet alam tetap akan membaik. Kebutuhan akan produk-produk yang menggunakan bahan karet alam sebagai bahan baku juga akan bertambah. Persaingan antara negara produsen juga akan berlangsung ketat. Persaingan pasar global tidak terbatas pada produk yang dihasilkan, tetapi terkait dengan aspek proses, sumberdaya manusia dan lingkungan. Aspek lingkungan mendapatkan porsi yang lebih besar. Hal ini yang melatarbelakangi pabrik ban terkemuka dunia mulai memperkenalkan jenis ban yang berasal dari bahan baku karet yang dihasilkan dari kebun-kebun dengan pengelolaan lingkungan yang baik (“green tyres”). Diharapkan dengan penggunaan ban jenis tersebut permintaan terhadap karet alam akan meningkat, karena kandungan karet alam yang semula 30-40% akan ditingkatkan menjadi 60-80% untuk industri ban (Balitbang Pertanian, 2009).

Tujuan pengembangan karet ke depan adalah mempercepat peremajaan karet rakyat dengan menggunakan klon unggul, mengembangkan industri hilir untuk meningkatkan nilai tambah, dan meningkatkan pendapatan petani. Sasaran jangka panjangnya (2025) adalah : (1) produksi karet mencapai 3,5-4 juta ton yang 25% diantaranya untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas akan meningkat menjadi 1.200-1.500 kg/ha/tahun dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus tanam; (3) penggunaan klon unggul (85%); (4) pendapatan petani menjadi US$2.000/KK/tahun dengan tingkat harga 80% dari harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet. Sasaran jangka menengah (2005-2015) adalah : (1) produksi karet mencapai 2,3 juta ton yang 10% di antaranya untuk industri dalam negeri; (2) produktivitas meningkat menjadi 800 kg/ha/tahun

(9)

dan hasil kayu minimal 300 m3/ha/siklus; (3) penggunaan klon unggul (55%); (4) pendapatan petani menjadi US$1.500/KK/th dengan tingkat harga 75% dari harga FOB; dan (5) berkembangnya industri hilir berbasis karet di sentra-sentra produksi karet (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijakan operasional di tingkat on farm yang diperlukan bagi pengembangan agribisnis karet adalah: (1) penggunaan klon unggul dengan produktivitas tinggi (3.000 kg/ha/tahun); (2) percepatan peremajaan karet tua seluas 400.000 ha sampai dengan 2009 dan 1,2 juta ha sampai dengan 2025; (3) diversifikasi usahatani karet dengan tanaman pangan sebagai tanaman sela dan ternak; dan (4) peningkatan efisiensi usahatani. Di tingkat off farm kebijakan operasional yang dikembangkan adalah: (1) peningkatan kualitas bokar (bahan olah karet) berdasarkan SNI; (2) peningkatan efisiensi pemasaran untuk meningkatkan marjin harga petani; (3) penyediaan kredit usaha mikro, kecil dan

menengah untuk peremajaan, pengolahan dan pemasaran karet bersama; (4) pengembangan infrastruktur; (5) peningkatan nilai tambah melalui

pengembangan industri hilir; dan (6) peningkatan pendapatan petani melalui perbaikan sistem pemasaran dan lain-lain (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebutuhan investasi untuk peremajaan selama 2005-2015 untuk seluas 336.000 ha adalah sekitar Rp2,41 trilyun, sedangkan selama 2005-2025 untuk seluas 1,2 juta ha adalah Rp8,62 trilyun. Kebutuhan dana untuk investasi pada pabrik karet remah dengan kapasitas 70 ton/hari adalah Rp25,6 milyar, namun belum perlu segera penambahan pabrik baru. Untuk kayu karet, diperlukan dana sekitar Rp2,12 milyar untuk menghasilkan treated sawn timber dengan kapasitas 20 m3/hari (Balitbang Pertanian, 2009).

Kebijakan yang diperlukan untuk percepatan investasi tanaman karet adalah: (1) penciptaan iklim investasi yang makin kondusif seperti pemberian kemudahan dalam proses perijinan, pembebasan pajak (tax holiday) selama tanaman atau pabrik belum berproduksi, pemberian rangsangan kepada pengusaha untuk menghasilkan produk akhir bernilai tambah tinggi yang non-ban, yang prospek pasarnya di dalam negeri cerah, adanya kepastian hukum dan keamanan baik untuk usaha maupun lahan bagi perkebunan, dan penghapusan berbagai pungutan dan beban yang memberatkan iklim usaha; (2) pengembangan sarana dan

(10)

prasarana berupa jalan, jembatan, pelabuhan, alat transportasi, komunikasi, dan sumber energi (tenaga listrik); (3) penyediaan dana dengan menghidupkan kembali pungutan dari hasil produksi/ekspor karet (semacam CESS) yang sangat diperlukan untuk membiayai pengembangan industri hilir, peremajaan, promosi dan peningkatan kapasitas SDM karet; (4) pengembangan sistem kemitraan antara petani dan perusahaan, misalnya dengan pola ”PIR Plus”, dimana petani tetap memiliki kebun beserta pohon karetnya, dan ikut sebagai pemegang saham perusahaan yang menjadi mitranya (Balitbang Pertanian, 2009)

Kebijaksanaan pemerintah dalam pengembangan komoditas karet, selain ditekankan pada peningkatan penerimaan devisa negara, juga diarahkan pada upaya peningkatan pendapatan petani. Pendapatan petani sendiri merupakan refleksi, produktivitas kebun dan mutu bahan olah yang dihasilkan serta tataniaganya yang menentukan bagian harga bersih yang diterima petani. Sebagian besar lahan perkebunan rakyat terletak di daerah dengan sarana transportasi dan sumberdaya ekonomi yang relatif terbatas. Selain itu skala usahatani karet rakyat umumnya kecil dengan hasil produksi berupa sleb dengan mutu yang belum baku. Sementara dengan program crumb rubberisasi, ternyata pusat-pusat pengolahan karet remah pada umumnya berlokasi di sekitar ibukota propinsi atau kota-kota lainnya yang dekat dengan fasilitas pelabuhan ekspor, sehingga terdapat jarak secara spasial yang cukup besar antara pusat-pusat produksi karet rakyat dengan pusat-pusat pengolahannya. Keadaan demikian menyebabkan bertambahnya permasalahan tataniaga menjadi semakin panjang, yang ada pada gilirannya cenderung meningkatkan biaya tata niaga.

Kebijakan strategis pembangunan perkebunan secara nasional meliputi kebijakan umum dan kebijakan teknis. Kebijakan umum adalah membangun perkebunan yang berorientasi kepada pasar melalui peningkatan inisiatif dan partisipasi masyarakat sehingga peran pemerintah hanya menyediakan fasilitas umum, seperti sarana dan prasarana, iptek dan regulasi yang didasarkan kepada mekanisme insentif dan disentif. Kebijakan teknis mencakup: (1) kebijakan pemberdayaan masyarakat perkebunan yang dioperasionalisasikan melalui upaya pengembangan sumber daya manusia dan penguasaan iptek dengan meningkatkan kegiatan pendidikan, pelatihan dan penilaian kinerja serta pengembangan karier;

(11)

(2) kebijakan peningkatan daya saing dioperasionalisasikan melalui peningkatan produksi dan produktivitas, efisiensi, mutu dan promosi; (3) kebijakan investasi melalui upaya regionalisasi, penataan kembali kepemilikan, optimalisasi lahan Hak Guna Usaha (HGU), pemanfaatan iptek hasil litbang, diversifikasi usaha tanaman dan jaminan keamanan berusaha, dan (4) kebijakan restrukturisasi dan renovasi kelembagaan dioperasionalisasikan melalui upaya pembentukan lembaga keuangan alternatif, restrukturisasi, renovasi dan pengembangan lembaga penyuluhan, lembaga petani, lembaga pemasaran, lembaga usaha dan pengembangan jejaring kerja.

Untuk mengembangkan potensi dan memanfaatkan momentum, Pemerintah Republik Indonesia telah menerbitkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor: 33/Permentan/PT.140/7/2006 tentang Kebijakan Pengembangan Komoditi Perkebunan melalui Program Revitalisasi Perkebunan dengan salah satu komoditi yang dikembangkan adalah karet. Pengembangan agribisnis karet Indonesia ke depan perlu didasarkan pada perencanaan yang lebih terarah dengan sasaran yang lebih jelas serta mempertimbangkan berbagai permasalahan, peluang dan tantangan yang sudah ada serta yang diperkirakan akan ada sehingga pada gilirannya akan dapat diwujudkan agribisnis karet yang berdaya saing dan berkelanjutan serta memberi manfaat optimal bagi para pelaku usahanya secara berkeadilan (Drajat dan Hendratno, 2009).

2.3 Penelitian Terdahulu

Hutagalung (1993) yang melakukan penelitian berjudul “Beberapa Masalah Tata Produksi dan Pemasaran Karet Rakyat di Kecamatan Padangsidempuan Kabupaten Tapanuli Selatan” menunjukkan bahwa penambahan luas tanah garapan dan penggunaan input biaya produksi dalam usaha petani karet masih dapat menaikkan produksi dan pendapatan petani. Penelitian ini juga menyimpulkan bahwa pendapatan petani Karet masih dapat ditingkatkan lagi dengan pendayagunaan seluruh potensi sumberdaya yang mereka miliki baik sumberdaya alam maupun sumberdaya manusia. Pemerintah perlu mengadakan perbaikan sistem pemasaran berupa mempersingkat saluran tata niaga yaitu dengan memanfaatkan lembaga koperasi, kebijakan perpajakan, ekspor, dan

(12)

lain-lain. Kurangnya peremajaan Karet yang sudah tua yang menyebabkan pendapatan petani menurun.

Damanik (2000) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Dampak Pengembangan Komoditas Perkebunan terhadap Perekonomian Wilayah Propinsi Sumtera Utara” menyatakan komoditas perkebunan di Propinsi Sumatera Utara merupakan komoditas ekspor. Oleh karena pemasukan devisa negara melalui ekspor adalah hal yang sangat penting untuk membantu pemerintah dalam mengurangi defisit neraca pembayaran. Komoditas perkebunan tetap perlu dikembangkan terutama pada wilayah yang relatif mempunyai tingkat pendapatan dan kesempatan kerja yang tinggi dibanding wilayah lainnya, sehingga dengan cara demikian selain ada pemasukan devisa untuk negara juga dapat dijadikan instrumen dalam mengurangi kesenjangan ekonomi antar wilayah di Proinsi Sumatera Utara.

Myria (2002) melakukan penelitian berjudul “Kajian Strategi Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat sebagai komoditi Unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah” dengan menggunakan perangkat analisis Matriks IFE dan EFE, Matriks TOWS dan Matriks QSPM. Melalui penelitian tersebut diidentifikasi faktor strategis internal yang mempengaruhi pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai komoditi unggulan di Kabupaten Kapuas Propinsi Kalimantan Tengah adalah: (1) kelompok fungsional, (2) program kerja Dinas Perkebunan, (3) struktur organisasi Dinas Perkebunan, (4) koordinasi dengan instansi terkait, (5) kualitas SDM Dinas Perkebunan, (6) sarana dan prasarana, (7) penguasaan teknologi karet oleh petugas, (8) kurangnya ketersediaan bibit, (9) manajemen organisasi, (10) kerja sama dengan pabrik

crumb rubber. Faktor strategis eksternalnya adalah: (1) adanya pabrik crumb rubber, (2) karet merupakan komoditi ekspor, (3) menyerap tenaga kerja, (4) karet

telah lama dikenal secara turun temurun, dan (5) pemanfaatan kayu karet sebagai bahan baku industri, (6) perkembangan harga karet dunia, (7) tingginya tingkat suku bunga kredit komersil, (8) pertikaian antar etnis, (9) sarana transportasi darat dan (10) beralihnya mata pencaharian petani ke usaha pertambangan emas rakyat.

Pangihutan (2003) melakukan penelitian dengan judul “Kelayakan Finansial dan Ekonomi Pengelolaan Kebun dan Hutan Karet Rakyat di Desa Langkap,

(13)

Kecamatan Sungai Lilin, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan” menyatakan bahwa analisis kelayakan yang dilakukan dengan menggunakan tingkat faktor diskonto 18% dengan jangka waktu analisis 25 tahun untuk kebun karet dan 42 tahun untuk hutan karet ternyata kelayakan finansial karet maupun ekonomi kabun karet lebih baik dari hutan karet. Nilai finansial kebun karet diperoleh NPV sebesar Rp5.577.963, IRR 30,93% dan rasio B/C 1,50 sementara nilai finansial hutan karet adalah NPV Rp543.654, IRR 37,09% dan rasio B/C 1,08.

Sadikin, et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan judul “Dampak Pembangunan Perkebunan Karet Rakyat Terhadap Kehidupan Petani di Riau” menyatakan bahwa sejauh ini strategi dan langkah kebijakan yang dilakukan pemerintah untuk membangun dan mengembangkan perkebunan karet rakyat telah dilaksanakan seperti: (1) pembentukan pusat-pusat pengolahan karet di beberapa daerah sentra produksi dengan tujuan menampung dan mengolah lateks dari hasil perkebunan karet rakyat dan untuk memperbaiki mutu olahannya, (2) melakukan pembinaan perkebunan rakyat dengan membentuk unit pelaksana proyek (UPP) yang lebih populer di Propinsi Riau dikenal dengan proyek SRDP. Meskipun program ini berfungsi sebagai pembinaan petani karet secara menyeluruh dari masalah budidaya sampai ke persoalan pemasaran, namun dalam perjalanannya masih belum memberi banyak dampak dan manfaat kepada petani kebun, terlebih lagi bagi masyarakat miskin lain di pedesaan. Penyebabnya adalah strategi pembangunan perkebunan lebih berorientasi kepada peningkatan produksi untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi dan memperbesar devisa negara. Sementara aspek persoalan sosial kemasyarakatan seperti lembaga-lembaga lokal dan berbagai relasi produksi di tingkat lokal yang terkait langsung dengan upaya peningkatan taraf kehidupan masyarakat di pedesaan terkesan diabaikan.

Liu, et al. (2006) dalam penelitiannya yang berjudul “Environmental And

Socioeconomic Impacts of Increasing Rubber Plantations In Menglun Township, Southwest China” menyatakan bahwa perubahan yang signifikan dalam

penggunaan lahan dan tutupan lahan telah terjadi di Kecamatan Menglun, Cina Barat Daya yang merupakan wilayah yang memiliki keanekaragaman agro-ekologi yang tinggi. Analisis citra satelit menunjukkan bahwa pada tahun

(14)

1988-2003, luas perkebunan karet di wilayah ini meningkat sebesar 324%. Ekspansi ini umumnya terjadi pada hutan dan pertanian berpindah. Kebanyakan perluasan karet berada di daerah dataran rendah, di mana kesesuaian iklim mikro dan kedekatan dengan jalan lebih dipilih untuk pengembangan industri karet. Pesatnya perkembangan karet sebagai tanaman komersial dengan mengorbankan pertanian tradisional ditandai dengan hilangnya lahan pertanian tradisional dan peningkatan urbanisasi dan perkembangan tanaman komersial. Secara ekonomi, perubahan ini menunjukkan standar hidup masyarakat lokal yang lebih baik dimana dari tahun 1988-2003, total pendapatan bersih kecamatan meningkat dari CNY4.000.000 (US$0,490) menjadi CNY44.000.000 (US$5,490). Peningkatan jumlah populasi dan standar hidup dari daerah tersebut memperbesar tekanan terhadap lingkungan dan sumberdaya lahan yang tersedia. Meskipun pemerintah menganggap karet dan perkebunan lain seperti teh dan gula menjadi „Green Industry‟, hilangnya hutan hujan tropis dan lahan pertanian (termasuk kegiatan pertanian berpindah) menunjukkan bahwa potensi dampak kebijakan untuk mempromosikan Green

Industry harus dipertimbangkan dengan hati-hati, karena ada risiko yang terlalu

berat pada 1 atau 2 tanaman, terutama sekarang, di era pasar bebas yang sebagian besar tanaman tidak dilindungi. Hilangnya sistem pertanian tradisional yang fleksibel adalah sesuatu yang harus dimonitor dengan baik. Demikian pula, hilangnya keanekaragaman hayati juga harus menjadi perhatian besar, terutama dikarenakan sistem perkebunan karet yang dilaksanakan di Cina umumnya sistem monokultur dan dengan pembersihan lahan serta mengorbankan areal-areal hutan yang ada.

Sitepu (2007) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Produksi Karet Alam (Hevea Brasiliensis) Kaitannya dengan Pengembangan Wilayah” menyatakan bahwa karet merupakan komoditi yang memiliki pasar yang cukup besar, baik dalam negeri maupun luar negeri. Produksi Indonesia banyak ditunjang oleh adanya perkebunan karet rakyat akan memiliki arti yang penting sekali dalam upaya peningkatan pendapatan kesejahteraan petani serta upaya peningkatan devisa serta perekonomian Indonesia pada umumnya. Berkaitan dengan pengembangan budidaya tanaman karet di Propinsi Sumatera Utara, penelitian ini difokuskan pada pengeruh permintaan pasar, harga karet dan tenaga

(15)

kerja terhadap luas lahan dan produksi karet. Subjek penelitian ini adalah keseluruhan perkebunan karet di Sumatera Utara. Objek penelitian ini adalah luas lahan dan produksi karet di Propinsi Sumatera Utara sebagai indikator pengembangan perkebunan karet di Propinsi Sumatera Utara. Memperhatikan pengaruh pasar terhadap pengembangan wilayah di Sumatera Utara, maka disarankan perlu adanya kebijakan pemerintah Propinsi Sumatera Utara maupun pengelola perdagangan karet alam untuk meningkatkan perkebunan karet, melalui pemberian modal usaha serta pengaturan sistem perdagangan karet alam yang memberikan keuntungan bagi petani serta perlu diupayakan kebijakan yang menyangkut pengembangan industri produk turunan karet alam.

Goswami, et al. (2007) dalam penelitiannya yang berjudul “Economic

Analysis of Smallholder Rubber Plantations in West Garo Hills District of Meghalaya” melakukan analisis kepada kelompok petani perkebunan karet di

Meghalaya, India. Perkebunan karet sebagai komoditi utama di wilayah ini merupakan komoditi unggulan yang sangat menguntungkan dengan harga yang tinggi dan sistem pemasaran yang transparan dan efektif. Hasil analisis menunjukkan bahwa perkebunan karet di wilayah ini merupakan mata pencaharian utama masyarakat terutama petani-petani kecil. Total biaya untuk pembangunan perkebunan karet sebesar Rs 22.548/ha. Hal ini membutuhkan pasokan kredit yang terus meningkat sejalan dengan peningkatan biaya

input. Pemerintah India telah meluncurkan program khusus untuk sektor ladang

kecil dengan pinjaman jangka panjang, subsidi input dan subsidi bunga, tetapi program ini masih tidak banyak dikenal orang dan ada kasus di mana para petani karet tidak bisa memanfaatkan subsidi karena berbagai syarat dan kondisi kaku yang dikenakan pada penerima manfaat. Adanya gangguan sosial-politik dan non-ketersediaan sumber daya investasi yang cukup merupakan masalah yang paling menghambat perluasan perkebunan karet. Perluasan perkebunan karet sudah mulai dikembangkan di wilayah India, sehingga ada kebutuhan mendesak untuk mengembangkan keterampilan dalam seni penyadapan dan budidaya. Dalam konteks ini Pemerintah India telah melaksanakan program pelatihan yang juga merupakan salah satu solusi untuk mengatasi meningkatnya permintaan tenaga kerja terampil. Suatu kebijakan yang harmonis dapat dilakukan dengan

(16)

mentransfer hak kepemilikan wilayah pengembangan karet kepada para petani, diintegrasikan dengan rencana kredit yang sehat dan program pengembangan pelatihan keterampilan, diharapkan dapat mengubah program pengembangan perkebunan karet rakyat sebagai alternatif penggunaan lahan yang cocok untuk perladangan berpindah, hal itu akan mempertahankan pendapatan, pekerjaan dan mencegah degradasi lingkungan.

Parhusip (2008) menyatakan bahwa potensi karet alam dalam jangka panjang masih cukup baik yang disebabkan kebutuhan karet merupakan kebutuhan dasar dalam keperluan sehari-hari dan beberapa negara berkembang mengalami pertumbuhan industrialisasi yang cukup tinggi seperti Cina, India dan Brasil. Pergerakan harga karet dunia menunjukkan tren positif dan Indonesia sebagai salah satu produsen terbesar karet diharapkan dapat bekerja sama dengan produsen lain untuk dapat menjaga posisi harga yang tetap menguntungkan. Kerjasama tersebut dapat dilakukan dengan strategi mengurangi frekuensi sadapan karet atau mengatur perluasan/peremajaan lahan agar lebih optimal dapat mengatur pasokan ke pasar internasional. Pengembangan karet alam diharapkan dapat dioptimalisasi melalui kedua line usaha baik on farm maupun off farm. Permasalahan produktivitas lahan merupakan permasalahan utama dalam pengembangan on farm termasuk kualitas bahan baku yang masih rendah. Kondisi tersebut diharapkan dapat dijembatani dengan pola plasma antara perkebunan dalam peningkatan hasil dan harga. Pola plasma tersebut juga diharapkan dapat menjembatani perbankan dalam pemberian fasilitas kredit terkait dengan kemampuan manajemen dan jaminan yang selama ini masih menjadi kendala utama dalam meningkatkan kemampuan permodalan perkebunan. Menghadapi tantangan pelemahan pertumbuhan ekonomi dunia akibat krisis keuangan global, Indonesia dapat mengoptimalkan kondisi pasar jangka panjang melalui peningkatan produktivitas lahan dan kebijakan yang mendukung seluruh aspek komoditas karet baik sektor on farm maupun off farm.

Haryono (2008) dalam penelitian yang berjudul ”Kebijakan Pemerintah Daerah untuk Pemberdayaan Petani Karet Rakyat (PPKR) (Studi Kasus Implementasi Kebijakan Pengembangan Perkebunan Karet Rakyat di Kecamatan Pangean, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau)” menyatakan bahwa ada

(17)

tiga pola pengembangan perkebunan karet di Kabupaten Kuantan Singingi, yakni: (a) pola PIR (Perkebunan Inti Rakyat) atau KKPA (Kredit Koperasi Primer untuk Anggota); (b) pola UPP (Unit Pelaksana Proyek); dan (c) pola swadaya. (2) di lokasi penelitian hanya ditemukan perkebunan dengan pola swadaya, yakni kebun karet yang dikembangkan oleh masyarakat secara tradisional dimana produktivitas dan pendapatan petani karet pola swadaya tersebut relatif lebih rendah dibanding dua pola lainnya. Itu sebabnya tingkat kesejahteraan petani karet di lokasi penelitian belum berkembang sesuai harapan. Melalui implementasi kebijakan PPKR oleh pemerintah daerah, masyarakat petani karet mempunyai kesempatan untuk mengembangkan perkebunan karet mereka guna meningkatkan perekonomian dan kesejahteraannya. Hal ini merupakan sebuah proses awal bagi pemberdayaan petani karet di lokasi penelitian. Untuk itu peneliti menyarankan agar Pemerintah Daerah Kabupaten Kuantan Singingi tetap konsisten melaksanakan kebijakan PPKR karena sangat dibutuhkan oleh masyarakat petani karet, sehubungan dengan masih luasnya lahan karet yang sudah tidak produktif. Kemampuan petani untuk melakukan pengembangan kebunnya sendiri masih terbatas, sehingga diperlukan bantuan pemerintah untuk melakukan hal tersebut. Karena itu dukungan politik dan peningkatan komposisi anggaran untuk implementasi kebijakan PPKR perlu terus diupayakan.

(18)

Referensi

Dokumen terkait

Kegiatan yang dilakukan pada kegiatan pengabdian kepada masyarakat ini adalah penyuluhan tentang cara pola hidup bersih dan sehat, pembuatan aquaphonik dan budidaya lele

- Form Ubah akan tampil, isikan perubahan data pada Form tersebut lalu klik simpan atau tekan tombol ENTER pada Keyboard untuk berpindah field dan

Dalam bimbingan kelompokada empat tahapan yang harus dilalui yaitu tahap awal, peralihan, kerja dan pengakhiran (Glading, 1994). Dalam tahap awal hal-hal yang dilakukan

Berdasarakan komponen nasional share ternyata sektor yang memiliki pertumbuhan paling cepat di Kabupaten Langkat bila dibandingkan dengan pertumbuhan rata-rata

Predikat ayat kerjaan ini mesti mengandungi kata ganti nama yang menghubungkannya dengan subjek serta bersesuaian dari segi genus samada maskulin dan feminin dan dari

Layanan informasi adalah sebuah layanan yang memberikan informaasi kepada peserta didik tentang hal-hal yang menunjang kehidupannya untuk lebih berkembang,

Setiap tahunnya jumlah kendaraan yang melewati segmen satu terus mengalami peningkatan, sehingga dengan kapasitas jalan yang tetap, derajat kejenuhannya juga meningkat

Menurut Soejono dan Abdurrahman penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan / melukiskan keadaan