• Tidak ada hasil yang ditemukan

mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang berarti menegang. Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular junction, dan saraf otonom.1,2

Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan, seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada tetanus neonatorum, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,3

Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus Neonatorum).2,4,5

Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884, Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang

(2)

mempertunjukkan sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf mereka di pangkal paha dengan nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada tahun 1889, Clostridium tetani terisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun 1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-luka pertempuran selama Perang Dunia II.5

(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

DEFINISI TETANUS

Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang mempunyai manifestasi klinis utama kekauan otot (spasme) tanpa disertai gangguan kesadaran.1 Gejala ini bukan disebabkan oleh kuman bakteri secara langsung tetapi sebagai dampak suatu eksotoksin yang dihasilkan oleh bakteri Clostridium tetani yang bernama tetanospasmin pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, sambungan neuro muskular (neuromuscular junction) dan saraf autonom.1

Gambar 1. Bakteri Clostridium Tetani

ETIOLOGI

Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki sifat:1,2,3

 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.

 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob) dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.

Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan dan desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,

(4)

mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.

 Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi, dan ayam.

Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin. Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang dapat menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan minimal dari kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram (154lb) manusia.

Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

(5)

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

EPIDEMIOLOGI

Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1

Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan, kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-akhir ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka kesakitan dan kematian menurun secara drastis.

Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol), ataupun pada alat suntik dan operasi.1

Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat pencemaran lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan angka kejadian adalah

(6)

mengubah lingkungan fisik atau biologik. Port d`entree tidak selalu dapat diketahui dengan pasti, diduga melalui:6

1. Luka tusuk

2. Luka operasi, luka yang tidak dibersihkan (debridement) dengan baik 3. Otitis media, karies gigi, luka kronik

4. Pemotongan dan perawatan tali pusat yang tidak steril pada tetanus neonatorum.

PATOGENESIS DAN PATOFISIOLOGI

Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anaerobik pada luka yang terinfeksi berubah menjadi bentuk vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin.6 Toksin tersebut dilepaskan setelah bentuk vegetatif ini lisis dan mati. Dalam jaringan anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya nanah, nekrosis jaringan, atau akibat adanya benda asing, seperti bambu, pecahan kaca dan sebagainya.6

Terdapat dua mekanisme yang dapat menerangkan penyebaran toksin ke susunan saraf pusat:8 (1) Toksin diabsorpsi di neuromuscular junction, kemudian bermigrasi melalui jaringan perineural ke susunan saraf pusat, (2) Toksin melalui pembuluh limfe dan darah ke susunan saraf pusat. Pada mekanisme pertama, toksin yang berikatan pada neuromuscular junction secara endositosis menyebar melalui saraf motorik menuju sitoplasma α-motor neuron selanjutnya secara transinaptik ke saraf motorik dan otonom yang berdekatan, kemudian ditransport secara retrograd menuju sistem saraf pusat.6 Tetanospasmin yang merupakan zinc-dependent endopeptidase memecah vesicle associated membrane protein II (VAMP II atau synaptobrevin) pada suatu ikatan peptida tunggal. Molekul ini penting untuk pelepasan neurotransmiter di sinaps, sehingga pemecahan ini mengganggu transmisi sinaps. Toksin awalnya mempengaruhi jalur inhibisi, mencegah pelepasan glisin dan γ-amino butyric acid (GABA). GABA adalah neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah pelepasan impuls saraf yang eksesif.6 Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik

(7)

menghambat pelepasan kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.6 Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi, toksin diangkut ke arah sel secara esktra aksonal dan menimbulkan perubahan potensial membran dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena.

Pada saat interneuron menghambat α motor neuron juga terkena

pengaruhnya, terjadi kegagalan dalam inhibisi refleks motorik sehingga muncul aktivitas saraf motorik tak terkendali, mengakibatkan peningkatan tonus dan rigiditas otot berupa spasme otot yang tiba-tiba dan potensial merusak. Hal ini merupakan karakteristik tetanus. Otot wajah terkena paling awal karena jalur axonalnya pendek, sedangkan neuron-neuron simpatis terkena paling akhir, mungkin akibat aksi toksin di batang otak. Pada tetanus berat, gagalnya penghambatan aktivitas otonom menyebabkan hilangnya kontrol otonom,

(8)

aktivitas simpatis yang berlebihan dan peningkatan kadar katekolamin. Ikatan neuronal toksin sifatnya irreversibel, pemulihan membutuhkan tumbuhnya terminal saraf yang baru, sehingga memanjangkan durasi penyakit ini.

Dampak pada ganglion pra medulla spinalis disebabkan oleh karena eksotokson memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.1 Dampak pada otak diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada tetanus.1 Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan menimbulkan gejala keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi, hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia.1

MANIFESTASI KLINIS

Terdapat empat macam manifestasi klinis dari tetanus, yaitu:5  Tetanus lokal

Tetanus lokal merupakan bentuk penyakit tetanus yang ringan dengan angka kematian sekitar 1%. Gejala dari tetanus lokal meliputi kekakuan dan spasme yang menetap disertai rasa sakit pada otot di sekitar atau proksimal luka. Tetanus lokal dapat berkembang menjadi tetanus generalisata.

 Tetanus sefalik

Bentuk tetanus lokal yang mengenai wajah dengan masa inkubasi 1 – 2 hari, disebabkan oleh luka pada daerah keala atau otitis media kronis. Gejalanya berupa trismus, disfagia, rhisus sardonicus, dan disfungsi nervus kranial. Tetanus sefalik jarang terjadi, dapat berkembang menjadi tetanus umum dan prognosisnya buruk. Tetanus sefalik dianggap sebagai tetanus derajat berat.

 Tetanus generalisata

Bentuk tetanus yang paling sering ditemukan. Gejala klinis dapat berupa trismus, iritabel, kekakuan leher, susah menelan, kekakuan dada dan perut (opistothonus) fleksi-abduksi lengan serta ekstensi tungkai, rasa

(9)

sakit dan kecemasan yang hebat serta kejang umum yang dapat terjadi dengan rangsangan ringan seperti sinar, suara dan sentuhan dengan kesadaran yang tetap baik.

 Tetanus neonatorum

Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi tali pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat. Gejala yang sering timbul adalah ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, iritabel dikuti oleh kekakuan dan spasem. Posisi tubuh klasik seperti trismus, kekakuan pada otot punggung sehingga menimbulkan opistothonus yang berat dengan lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku denan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal, ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan fleksi jari-jari kaki. Kematian disebabkan oleh henti nafas, hipoksia, pneumonia, kolaps sirkulasi dan kegagalan jantung paru. Oleh karenanya tetanus neonatorum sudah dianggap menjadi tetanus derajat sangat berat.

Adapun derajat penyakit tetanus menurut modifikasi dan klasifikasi Ablett’s adalah:4

Tabel 1. Severitas Tetanus berdasarkan Klasifikasi Ablett Grade I (ringan)

Trismus ringan, spastisitas menyeluruh, tidak ada yang membahayakan respirasi, tidak ada spasme, tidak ada disfagia

Grade II (sedang)

Trismus sedang, rigiditas, spasme singkat, disfagia ringan, keterlibatan respirasi sedang, Frekuensi pernafasan >30

Grade III (berat)

Trismus berat, rigiditas menyeluruh, spasme memanjang, disfagia berat, serangan apneu, denyut nadi >120, frekuensi pernafasan >40

Grade IV (sangat berat, derajat terminal)

(10)

PEMERIKSAAN LABORATORIUM

Anamnesis dan gejala cukup khas sehingga sering tidak diperlukan pemeriksaan penunjang, kecuali dalam keadaan meragukan untuk membuat diagnosis banding. Umumnya hasil pemeriksaan laboratorium pun tidak khas pada penyakit tetanus. Pemeriksaan yang dapat dilakukan untuk membedakan antara tetanus neonatorum dengan sepsis neonatal atau meningitis adalah:1

 Pungsi lumbal; pada tetanus, likuor serebrospinal normal

 Pemeriskaan darah rutin, preparat darah hapus; jumlah leukosit dapat normal atau sedikit meningkat.

 Kultur dan sensitivitas; Biakan kuman memerlukan prosedur khusus untuk bakteri anaerob, membutuhkan biaya yang tinggi serta hasil biakan positif tanpa gejala klinis tidak mempunyai arti dalam diagnosis tetanus.

DIAGNOSIS BANDING

Adapun diagnosis banding yang dapat dipertimbangkan oleh karena beberapa gejala yang menyerupai maupun pada kasus yang tidak didapatkan gejala khas dari tetanus adalah sebagai berikut:1,6,9

 Infeksi susunan saraf pusat (SSP)─Meningitis, meningoensefalitis, ensefalitis; pada infeksi SSP tidak dijumpai adanya trismus, risus sardonikus dan dijumpai adanya gangguan kesadaran dan kelainan likuor serebrospinal.

 Tetani; tetani disebabkan oleh karena hipokalsemia, secara klinis dijumpai adanya spasme karpopedal.

 Keracunan strihnin

 Rabies; pada rabies dijumpai gejala hidrofobia dan kesukaran menelan, sedangkan pada anamnesis diketahui adanya gigitan binatang pada waktu epidemi

 Trismus yang disebabkan oleh proses lokal, seperti mastoiditis, OMSK, abses tonsilar; umumnya proses lokal tersebut akan menimbulkan gejala trismus yang asimetris.

(11)

TATALAKSANA

Tetanus merupakan suatu kondisi medis yang emergensi yang membutuhkan hospitalisasi dan tatalaksana segera untuk mencegah progesivitas gejala dari tetanus yang dapat menimbulkan komplikasi lebih berat. Pada tatalaksana tetanus terdapat tiga prinsip penatalaksanaan tetanus yakni:1,6,8,9,10 (1) membuang sumber tetanospasmin; (2) menetralisasi toksin yang tidak terikat; (3) perawatan penunjang (suportif) sampai tetanospasmin yang berikatan dengan jaringan telah habis dimetabolisme.

1. Membuang sumber tetanospasmin

Antibiotik

Pemberian antibiotik memang direkomendasikan sebagai terapi adjuvan dalam penatalaksanaan tetanus. Antibiotik diberikan sebagai pencegahan terhadap proliferasi dari C. tetani pada luka. Perlu diperhatikan bahwa dapat terjadi kegagalan terapi antibiotik dalam mengeradikasi bakteri C. tetani oleh karena manajemen dan perawatan luka yang tidak adekuat.9

Berdasarkan Buku Ajar IDAI Infeksi dan tropis 2015,1 antibiotik lini pertama dapat diberikan metronidazol secara intravena maupun oral dengan dosis inisial 15 mg/KgBB dilanjutkan dosis 30 mg/KgBB/hari dengan interval setiap 6 jam selama 7-10 hari. Sebagai lini kedua, dapat diberikan penisilin prokain G 50.000 – 100.000 IU/KgBB/hari selama 7-10 hari. Kedua antibiotik tersebut efektif untuk mengurangi jumlah kuman C. tetani bentuk vegetatif. Bila penderita hipersensitif terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/KgBB/hari untuk anak berumur lebih dari 8 tahun.

Rodrigo C dkk, mengatakan dalam studi review nya bahwa antibiotik yang dapat digunakan pada tetanus adalah penicillin G, metronidazole dan doxycyclin. Banyak literatur mengatakan bahwa metronidazole merupakan pilihan yang lebih baik dibandingkan dengan penicillin. Hal ini diduga oleh karena penisilin dan juga sefalosporin generasi tiga mempunyai efek antagonis GABA yaitu dengan menginhibisi reseptor GABA-A secara non kompetitif pada

(12)

post-sinaps yang dapat menimbulkan eksitasi dari sistem saraf pusat.5,6,7 Pemberian penicillin pada dosis yang lebih tinggi dapat menyebabkan kejang, selain itu secara teori penicillin diduga dapat memperkuat kerja dari tetanospasmin.10,11

Menurut Gomez dkk, alternatif antibiotik yang dapat diberikan adalah cephalexin dan erythromycin secara oral, terutama pada kasus tetanus yang lebih ringan.12 Pada suatu studi penelitian yang membandingkan pemberian metronidazol dan penicillin, didapatkan bahwa kelompok yang diterapi dengan metronidazole terbukti mempunyai mortalitas yang lebih rendah dibandingkan kelompok yang diterapi dengan penisilin (7 vs. 24 persen), walaupun terdapat dua studi yang tidak mendapatkan adanya perbedaan dalam mortalitas kedua antibiotik tersebut.9,10,13 Studi lain mengobservasi perbedaan outcome atau perbaikan secara klinis pasien tetanus yang diberikan dua antibiotik tersebut bukan akibat dari aktivitas antimikrobanya, Jika terdapat infeksi sekunder lain dapat diberikan antibiotik yang sesuai─contohnya adalah sefalosporin generasi satu seperti ceftriaxone.9

Pada penelitian oleh Campbell JI et al,11 mendapatkan bahwa isolasi bakteri C. tetani pada 45 subjek yang di diagnosis klinis sebagai tetanus mendapatkan bahwa semua bakteri C. tetani tidak resisten terhadap penicillin dan metronidazol, tetapi resisten terhadap co-trimoxazole. Dari data penelitian tersebut, penicillin masih merupakan antibiotik yang efektif terhadap pengobatan tetanus dengan metronidazole sebagai alternatifnya. Fakta bahwa pemberian penicillin secara intravena pada pasien tetanus tidak efektif dapat diterangkan bahwa hanya sejumlah kecil obat yang dapat mencapai daerah luka disebabkan vaskularisasi sekitar luka yang kurang baik.11 Penetrasi penicillin pada jaringan luka juga diketahui tidak sebaik metronidazole, sehingga beberapa literatur lebih merekomendasikan metronidazole sebagai lini pertamanya. Dalam kondisi tersebut C. tetani terus berkembang biak dan produksi toksin terus menerus dan

(13)

mengakibatkan kondisi tetanus yang lebih berat, sehingga penggunan antibiotik secara topikal diperkirakan masih lebih menguntungkan.11

Anti serum

American Academy of Pediatric dan beberapa literatur lain merekomendasikan pemberian anti serum Human Tetanus Immunoglobulin (HTIG) 3.000 – 6.000 IU secara intramuskular. Beberapa literatur juga mengemukakan pemberian dosis 500 IU juga sama efektifnya.9,10,13 Apabila pada fasilitas kesehatan tidak tersedia HTIG maka dapat diberikan Anti Tetanus Serum (ATS) yang berasal dari equine (kuda). ATS ini diberikan dalam dosis yang besar─dosis yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan 50.000 IU IV.1 Pemberian ATS harus berhati-hati akan reaksi anafilaktik, sehingga harus didahului dengan tes untuk menilai adanya hipersentivitas terhadap ATS sebelum pemberian anti serum. Tes tersebut dilakukan dengan pneyuntikkanATS dosis 0,1 ml dengan dilusi 1 : 10, secara intradermal.9 Pada tetanus anak, pemberian anti serum dapat disertai dengan imunisasi aktif dT setelah anak pulang dari rumah sakit.

Tidak ada perbedaan efektifitas secara klinis terhadap peberian ATS dan HTIG, HTIG dapat mempertahankan kadar di dalam serum lebih lama.10 Pemberian ATS yang memerlukan tes sensitivitas terlebih dahulu mengingat adanya kemungkinan reaksi serum heterologus. Gomez et al7, memberikan dosis ATS yang lebih tinggi untuk tetanus neonatorum dengan dosis 10.000 – 20.000 IU secara intravena, sedangkan dosis HTIG 1.000 IU secara intramuskular, dosis dibagi menjadi dua dan disuntikkan pada bagian otot yang berbeda. Saat ini, administrasi HTIG secara intratekal masih kontroversi dan tidak direkomendasikan secara rutin.7 Leman MM mengemukakan dalam literatur reviewnya, pemberian HTIG memberikan angka kematian yang sama atau lebih rendah dibandingkan dengan ATS. Selain itu HTIG memiliki efek samping hipersensitif sistemik dan efek samping

(14)

reaksi lokal yang lebih ringan dibandingkan dengan ATS. Adapun efek samping dari ATS adalah serum sickness dengan insidens sebesar 10% dan reaksi anafilaksus yang fatal pada 0,001% (1 per 100.000).13

2. Netralisasi toksin yang tidak terikat

Selain membuang sumber tetanospasmin yang berada dalam tubuh, prinsip tatalaksana selanjutnya adalah menetralisasi toksin-toksin di dalam tubuh sehingga dapat mengurangi efek gejala tetanus tersebut. Toksin tetanus berikatan secara ireversibel pada jaringan, sehingga hanya toksin yang tidak berikatan yang dapat di netralisir. Cara menetralisasi tersebut adalah dengan diberikan imunisasi secara pasif, yaituHuman Tetanus Immuno Globulin (HTIG) dengan dosis 3.000-6.000 IU.Pemberiannya adalah secara intravena/intramuskular agar dapat mencapai konsentrasi antibodi protektif yaitu > 0,01 IU.9

3. Perawatan suportif

Penatalaksanaan lebih lanjut terdiri dari terapi suportif sampai efek toksin yang telah terikat pada tubuh habis, oleh karena toksin tetanus berikatan secara ireversibel pada neuron. Adapun terapi yang dilakukan adalah:

(15)

a. Ruangan isolasi ─penempatan pada ruangan ini bertujuan untuk menghindari rangsang luar seperti suara, cahaya ruangan redup dan tindakan terhadap penderita oleh karena stimulus tersebut dapat menginduksi kekakuan otot dan kejang rangsang pada pasien tetanus. Perawatan seperti ini dahulu merupakan komponen yang penting sebelum tersedianya terapi farmakologis untuk mencegah spasme, oleh karenanya sekarang sudah mulai ditinggalkan karena dengan terapi farmakologis yang adekuat, spasme otot dapat dicegah dengan baik. Namun pada daerah tertentu dengan keterbatasan ketersediaan obat-obatan, upaya ini masih tetap dilakukan.

b. Mencukupi kebutuhan cairan dan nutrisi1 ─segera pasang jalur intravena dan beri cairan rumatan. Tetanus terbukti secara klinis dan biokimia menyebabkan aktivitas simpatis berlebihan dan katabolisme protein sehingga pemeliharaan nutrisi sangat diperlukan. Nutrisi buruk dan penurunan berat badan terjadi cepat karena disfagia, gangguan fungsi gastrointestinal dan peningkatan metabolisme, menurunkan daya tahan tubuh sehingga dapat memperburuk prognosis akhir4. Nutrisi parenteral total mengandung glukosa hipertonis dan insulin dalam jumlah cukup untuk menekan katabolisme protein dan memenuhi kebutuhan energi yang sangat tinggi. Formula asam amino sangat membantu membatasi katabolisme protein. Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena sekaligus pemberian obat-obatan, dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas sebaiknya dipertimbangkan pemberian nutrisi secara parenteral. Setelah kejang dan spasme mereda dapat dipasang sonde lambung untuk pemberian makanan dan obat-obatan secara enteral dengan perhatian khusus padakemungkinan terjadinya aspirasi. Pemberian sukralfat dapat digunakan untuk mencegah perdarahan pada gastroesophageal akibat stress ulcer.

(16)

d. Menjaga saluran nafas tetap bebas─ Penanganan terhadap jalan napas merupakan suatu prioritas oleh karena spasme otot, spasme laring, aspirasi, atau dosis besar sedatif dapat mengganggu respirasi. Pada kasus tetanus yang berat kadang diperlukan trakeostomi, dapat dipertimbangkan trakeostomi yang lebih awal bila terdapat kemungkinan pasien untuk menggunakan ventilator mekanik. Trakeostomi ditujukan untuk menjaga jalan nafas terutama jika ada opistotonus dan keterlibatan otot-otot punggung, dada, atau distres pernapasan.Selain itu dapat dilakukan suction pada trakea dan pulmonary toilet untuk mengurangi sekret yang ada.1

e. Oksigen ─ memberikan tambahan O2 dengan sungkup (masker) f. Mengurangi spasme dan mengatasi kejang ─kekauan otot

generalisata merupakan keadaan yang mengancam jiwa karena dapat menyebabkan gagal nafas, kemudian terjadi aspirasi serta timbul kelelahan umum pada penderitanya. Diazepam merupakan obat yang sering digunakan oleh karena efektif dalam mengatasi spasme dan hipertonisitas tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau dosis yang direkomendasikan untuk usia <2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari diberikan secara oral dalam dosis 2-3 mg setiap 3 jam. Kejang harus segera dihentikan dengan pemberian diazepam 5 mg per rectal untuk BB <10 kg dan 10 mg per rektal untuk BB ≥10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3 mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan dengan dosis rumatan sesuai dengan keadaan klinis pasien. Alternatif lain, untuk bayi diberikan dosis inisial 0,1 – 0,2 mg/KgBB/kali untuk menghilangkan spasme akut, diikutin infus kontinu 15 – 40 mg/kgBB/hari. Setelah 5 – 7 hari dosis diazepam diturunkan bertahap 5 – 10 mg/hari dan dapat diberikan melalui pipa orogastrik.

(17)

Tanda klinis membaik pada tetanus apabila tidak dijumpai lagi kejang spontan, badan kaku, kesadaran membaik (tidak koma), dan tidak dijumpai gangguan pernafasan. Bila dosis diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami spasme laring, pertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan mekanik. Apabila terapi antikonvulsan dosis rumatan memberikan respons klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3 – 5 hari. Selanjutnya pengurangan dosis dilakukan bertahap, berkisar antara 20% dari dosis setiap dua hari.

g. Jika karies dentis atau OMSK dicurigai sebagai port d’entree, maka diperlukan konsultasi dengan dokter gigi/THT

PENCEGAHAN, PENGENDALIAN TETANUS DAN ELIMINASI

Konferensi Internasional Tetanus ke-8 pada tahun 1987 menyadari bahwa tetanus membunuh sekitar 800.000 bayi tiap tahun di negara berkembang. Rekomendasi untuk pengendalian dan eliminasi tetanus neonatorum pada pertemuan tersebut meliputi melakukan imunisasi pada seluruh wanita usia subur dengan 5 dosis tetanus toksoid, melaksanakan persalinan bersih dan perawatan tali pusat melalui pelatihan dan pengawasan penolong persalinan, serta menyelidiki kasus tetanus untuk menentukan tindakan pencegahan yang dapat diambil2,10.

Adapun pencegahan yang perlu dilakukan adalah:

1. Perawatan luka

Pasien dengan tetanus yang diduga mempunyai port de entree masuknya bakteri C. Tetani harus mendapatkan perawatan luka. Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus. Perawatan luka ini dilakukan guna membersihkan dan mencegah timbulnya jaringan anaerob, memperbaiki vaskularisasi di sekitar luka sehingga antibiotik yang diberikan dapat bekerja maksimal.3 Selain itu bakteri C. tetani tidak dapat berkembang

(18)

biak pada lingkungan aerob.Luka dapat menjadi luka yang rentan mengalami tetanus atau luka yang tidak rentan tetanus dengan kriteria sebagai berikut:

Luka rentan tetanus Luka yang tidak rentan tetanus

> 6 – 8 jam < 6 jam

Kedalaman > 1 cm Superfisial < 1 cm

Terkontaminasi Bersih

Bentuk stelat, avulsi, atau hancur (ireguler)

Bentuknya linear, tepi tajam Denervasi, iskemik Neurovaskular intak Terinfeksi (purulen, jaringan nekrotik) Tidak infeksi Semua luka harus dibersihkan dan jika perlu dilakukan debridemen. Selain itu, diperlukan data riwayat imunisasi tetanus pasien. Perawatan dari tali pusat atau punctum umbilikal secara bersih serta pemberian antibiotik secara sistemik direkomendasikan pada kasus tetanus neonatorum.3 Punctum umbilikus yang tersisa tidak di potong, walaupun debridemen luka maupun membersihkan benda asing dari luka yang telah terinfeksi dengan bakteri C. Tetani menjadi salah satu komponen yang penting dalam tatalaksana ini.3

2. Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka

Profilaksis dengan pemberian Anti Tetanus Serum (ATS) hanya efektid pada luka baru (kurang dari enam jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif. CDC merekomendasikan pedoman dalam pemberian profilaksis ATS maupun TT yaitu sebagai berikut:

(19)

3. Imunisasi aktif

Imunisasi aktif tetanus yang diberikan tersedia dalam berbagai kemasan yaitu preparat tunggal (toksoid tetanus/TT) maupun kombinasi dengan toksoid difteri dan/atau pertussis(DT, dT, DTwP, DTaP atau dTap) serta kombinasi lainnya seperti dengan HiB dan Hepatitis B.1,14 Tidak terbentuknya kekebalan pada penderita setelah sembuh dikarenakan toksin yang masuk kedalam tubuh tidak sanggup untuk merangsang pembentukkan antitoksin, oleh karena tetanospasmin sangat poten dan toksisitasnya sangat cepat walaupun dalam konsentrasi minimal─maka dalam hal ini tidak adekuatnya konsentrasi tetanospasmin untuk merangsang pembentukan kekebalan sehingga tetap diperlukan imunisasi secara aktif.10 Pemilihan jenis imunisasi tergantung dari golongan umur dan jenis kelamin, yaitu:

 Vaksin DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak tiga kali, DPT IV pada usia 18 bulan dan DPT V pada usia 5 tahu, saat usia 12 tahun diberikan dT

 Toksoid tetanus ini diberikan pada setiap wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun dan ibu hamil.

 DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi ulangan diberikan sesuai jadwal untuk menimbulkan dan mempertahankan imunitas, oleh karena tetanus tidak menimbulkan kekebalan yang berlangsung lama.

(20)

KOMPLIKASI

Komplikasi yang dapat terjadi adalah:14

 Komplikasi akibat adanya serangan kejang yang berat dan kontraksi yang berkepanjangan. Kejang dapat menyebabkan laserasi dari mulut dan lidah, hematoma intramuskular, rhabdomiolisis dengan mioglobinuria dan gagal ginjal, fraktur pada tulang panjang dan spinal

 Spasme otot faring yang menyebabkan terkumpulnya air liur (saliva) di dalam rongga mulut dan hal ini memungkinkan terjadinya aspirasi sehingga dapat terjadi pneumonia aspirasi. Selain itu akibat terkumpulnya sekret di dalam paru menyebabkan obstruksi dan timbul atelektasis paru.  Spasme dari laring (laringospasme) dan/atau spasme dari otot bantu

pernafasan, dapat menyebabkan gangguan dalam bernafas/asfiksia.

 Infeksi nosokomial─infeksi ini umum terjadi akibat hospitalisasi lama. Infeksi sekunder yang dapat terjadi contohnya adalah sepsis yang berasal dari pemasangan kateter, ulkus dekubitus maupun hospital-acquired pneumonia.

 Fraktura kompresi

 Trombosis vena, ulserasi lambung

Penggunaan obat muscle-relaxant yang berlebihan, walaupun merupakan bagian dari penatalaksanaan tetanus dapat menyebabkan apnea iatrogenik.  Hiperaktivitas dari sistem saraf otonom─dapat menimbulkan aritmia

jantung, termasuk asistole, serta tekanan darah dan suhu yang tidak stabil Kematian pada tetanus dapat disebabkan selain spasme otot seacra luas, juga karena gangguan metabolisme di seluruh bagian tubuh─hiperaktivitas simpatis, dan aritmia jantung. Perawatan pasien di ICU dilaporkan survival rates 90% sedangkan pada pasien yang dirawat di luar ICU survival rates hanya sebesar 20%.7

PROGNOSIS

Prognosis dari tetanus ditentukan oleh masa inkubasi, period of onset, jenis luka dan keadaan status imunitas pasien.Makin pendek masa inkubasi

(21)

Tabel Bleck Score atau Dakar Score

prognosis juga tergantung dari berat penyakit dan fasilitas pengobatan yang tersedia. Mortalitas penyakit tetanus masih tinggi; mortalitas tetanus neonatorum adalah sekitar10–60%,9 sedangkan di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM Jakarta didapatkan angka 80% untuk tetanus neonatorum dan 30% untuk tetanus anak.Pasien dengan masa inkubasi yang pendek (<7 hari) mempunyai risiko lebih tinggi untuk mengalami tetanus yang lebih berat. Penderita dapat sembuh total ataupun mempunyai gejala sisa akibat kerusakan pada sistem neurologis, kelainan neurologis tersebut dapat berupa defisit intelektual minor sampai cerebral palsy.9

Terdapat skoring untuk menilai prognosis dari tetanus,8 yaitu dengan menggunakan Dakar score (Bleck score) dan Phillip score. Kedua sistem skoring ini memasukkan kriteria periode inkubasi dan periode onset, begitu pula manifestasi neurologis dan kardiak. Phillip score juga memasukkan status imunisasi pasien. Sistem skoring tersebut akan dijabarkan dibawah ini:

(22)

Tabel Phillip Score

Keterangan: Phillip Score ini menunjukkan derajat keparahan seperti yang diuraikan sebagai berikut:

Faktor Skor Masa Inkubasi  < 48 jam  2 – 5 hari  5 – 10 hari  10 – 14 hari  > 14 hari 5 4 3 2 1 Lokasi Infeksi

 Organ dalam dan umbilikus  Kepala, leher dan badan  Perifer proksimal  Perifer distal  Tidak diketahui 5 4 3 2 1 Status Proteksi  Tidak ada

 Mungkin ada atau imunisasi pada ibu bagi pasien-pasien neonatus  Terlindung > 10 tahun  Terlindungi < 10 tahun  Proteksi lengkap 5 4 3 2 1 Faktor-faktor komplikasi

 Cedera atau penyakit yang mengancam jiwa

 Cedera berat atau penyakit yang tidak segera

mengancam nyawa

 Cedera atau penyakit yang tidak mengancam jiwa  Cedera atau penyakit minor  ASA grade I

5 4

3 2

(23)

1

BAB III

KESIMPULAN

(24)

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.

Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme yangterdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan toksin lebih lanjut,toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat dieliminasi. Penanganan tetanus pada neonatus dan anak haruslah cepan dan tepat. Penanganan yang lambat akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas pada pasien dengan Tetanus. Pencegahan dalam terinfeksinya Tetanus memegang andil dalam eliminasi Tetanus yaitu dengan manajemen luka yang baik dan bersih serta imunisasi secara aktif sehingga dapat menurunkan angka mortalitas yang masih tinggi terutama di negara-negara berkembang.

(25)

DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010; hal.322-9.

2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.

3. Todar K.Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited

2017 January 23]. Available from:

http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.

4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2017 January 23]. Available from: http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.

5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2017 January 23]. Available from: http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.

6. Arnon SS. Tetanus (Clostridium tetani). Dalam: Kliegman RM, Stanton BF, St. Geme III JW, Schor NF, Behrman RE, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-19. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p991–4.

7. Gomes AP, Freitas BA, Rodriguez DC, Silveira GL, Tavares W, Batista RS. Clostridium tetani infections in newborn infants: a tetanus neonatorum review. Rev Bras ter Intensiva, 2011; 2394);p481-91

8. Laksmi NKS. Penatalaksanan Tetanus. CDK-222: (41)11. 2014

9. Sexton MD. Tetanus. In: Barlett JG, Thorner A, editors. Citation Sept 2016, Update Jun 2011

http://cursoenarm.net/UPTODATE/contents/mobipreview.htm?28/5/28752 10. Rodrigo C, Fernando D, Rajapakse S. Pharmacological managment of

tetanus: an Evidnce-based review. Crit Care 2014; 18;217

11. Campbell JI, Minh Yen LT, Loan HT, et al. Microbiologic Characterization and Antimicrobial Susceptibility of Clostridium tetani Isolated from wounds of Patient with Clinically diagnosed Tetanus. Am J Trop Md Hyg. 80(5) 2009; p827-31

12. WHO. Current Recommendations for Treatment of Tetanus during Humanitarian Emergencies. 2010.

(26)

13. Leman MM, Tumbelaka AR. Penggunaan Anti Tetanus Serum dan Human Tetanus Immunoglobulin pada Tetanus Anak – Laporan Kasus. Sari Pediatri (12) 4. Dec 2010

14. SATGAS Imunisasi IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan PenerbitIDAI. 2010; p87-9

Gambar

Gambar 1. Bakteri Clostridium Tetani
Tabel Bleck Score atau Dakar Score
Tabel Phillip Score

Referensi

Dokumen terkait

Hal yang menjadi pertimbangan sendiri bagi pemerintah China mengingat keutuhan wilayah ialah bagian kedaulatan negara yang tidak dapat dielekan oleh negara manapun,

30 Saya lebih menyukai ketika menungkan kemampuan serta hal yang saya bisa dengan meniru dan mengambil contoh karya orang lain yang saya sukai dengan begitu

Skripsi berjudul “Determinan Penghentian Penggunaan IUD di Indonesia (Analisis Data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2007)” telah diuji dan disahkan oleh

“Masalah utama yang sering menghambat mahasiswa selesai tepat waktu adalah kurangnya menggunakan waktu dengan baik, sering melakukan aktifitas yang tidak ada tujuan

Program Investasi Jangka Menengah Bidang Cipta Karya atau disingkatsebagai RPI2JM Cipta Karya adalah dokumen rencana dan program pembangunaninfrastruktur bidang Cipta Karya

Hasil uji performansi mesin diperoleh hasil terbaik pada daya 168 watt dan waktu 30 detik dengan hasil pencampuran tidak berbuih dan masih terlihat ada potongan tomat dan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahwa pada umumnya, secara garis besar ketiga billboard iklan Marlboro kretek filter, Gudang Garam Surya 16 kretek filter dan Djarum Super

Deteksi serangan di lakukan dengan memanfanfaatkan aplikasi snort pada Intrusion Detection System (IDS) yang dipasang pada router digunakan untuk memonitoring dan