• Tidak ada hasil yang ditemukan

Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Syaikhul Islam dan Ilmu Kalam"

Copied!
29
0
0

Teks penuh

(1) 

(2) 

(3)   

(4)                

(5)  Ditulis Oleh: Nidlol Masyhud, Lc.  ! " Salah satu diskursus paling krusial dalam kajian-kajian keislaman adalah pembahasan tentang konsep-konsep Aqidah dan Ilmu Kalam. Wacana yang biasanya lebih terfokus ke permasalahan ͞teologis͟ ini, merupakan lahan kajian paling vital dalam rentang sejarah keilmuan di dunia Islam. Tidak lain, karena memang konsepkonsep di tataran ini merupakan basis fundamental bagi aneka sistem epistemologi dan konsep metolodogi serta muatan-muatan materi yang terdapat dalam segala cabang keilmuan Islam selanjutnya. Oleh karenanya, kajian di titik paling dasar bagi keilmuan Islam ini sejatinya adalah kajian di wilayah yang ͞paling menentukan͟ terkait dengan dasar-dasar agama, keimanan, wawasan ketuhanan, serta konsepsi kenabian. Seperti sudah jamak diketahui, kajian-kajian Aqidah dalam sejarah Umat Islam tidak hanya berkutat pada pendalaman-pendalaman atas ajaran-ajaran Quran dan Sunnah seputar Aqidah, akan tetapi juga selalu terkait dengan polemik antar sekte. Kemunculan Khawarij di masa Khalifah Ali bin Abi Thalib ra., telah mencuatkan diskursus polemis tentang apa yang kemudian dikenal sebagai ͞mas'alatu'l asmâ' wa'l ahkâm͟. Tumbuhnya aliran Syi'ah di era yang sama, juga telah menggulirkan permasalahan laten mengenai ͞khilâfah wa'l imâmah͟ yang sampai zaman ini masih terus berlanjut. Munculnya aliran Qadariyyah di masa-masa akhir era Shahabat ra., juga telah mengangkat permasalahan ͞takdir͟ menjadi diskursus polemis yang menyebabkan lahirnya Sekte Jabariyyah di ekstrim yang bertentangan. Sebagaimana eksistensi aliran Syi'ah pemuja Ahlul Bait yang kemudian berkembang menjadi Rafidlah juga telah mencuatkan aliran lain di titik sebaliknya, yaitu Nashibah. Begitu juga dengan Khawarij, eksistensi sekte ini telah memicu munculnya aliran Murji'ah di ekstrim yang berseberangan, serta aliran Mu'tazilah di titik yang lebih dekat dengan Khawarij dengan melalui konsep barunya, ͞al-manzilah bayna'l manzilatayn͟. Di tangan Muktazilah ini jugalah, segugusan konsep yang kemudian dikenal sebagai ͞Ilmu Kalam͟ mulai memasuki wilayah Aqidah Islam. Ilmu yang postulatnya diserap dari doktrin-doktrin Filsafat dan dogma-dogma kosmologis Yunani ini kemudian mencuatkan paham-paham baru yang berseberangan dengan konsepsi-konsepsi teologis dalam Al-Quran. Hal ini melahirkan pertentangan sengit antara penganut Muktazilah dengan para Ulama. Dan konflik aqidah di tubuh Umat pun semakin menjadi tajam. Polemik aqidah tersebut mencapai puncaknya ketika di masa akhir era Tabi'in (pasca kekhalifahan Umar bin Abdul Aziz rh.), muncul Ja'd bin Dirham yang menyuarakan penafian sifat-sifat Allah Swt. Kemudian aliran ini digelorakan lagi dengan kuat oleh Jahm bin Shafwan di daerah Timur (Khurasan) dengan sekaligus menafikan segala macam asmâ' atau sebutan untuk Allah Swt. Karena Jahm merupakan konseptor utamanya, aliran ini kemudian dikenal dengan sebutan ͞Jahmiyyah͟. Konsep-konsepnya mempunyai pertalian yang kuat dengan beberapa doktrin filsafat dan paganisme klasik yang menyatakan bahwa Tuhan atau Prima Kausa adalah entitas mutlak yang sama sekali tidak memiliki properti afirmatif apapun. Paham ini berakar pada teologi klasik yang menjadi anutan kelompok Shabi'ah penyembah dewa-dewa kosmik sejak zaman Nabi Ibrahim as. Paham Jahmiyyah kemudian memberikan pengaruh pada konsepsi teologis Muktazilah sehingga mereka menganut penafian shifât dengan tetap menetapkan asmâ'. Di ekstrim yang berseberangan, lahir aliran cP ag e.

(6) Musyabbihah yang menyamakan sifat-sifat Allah Swt. dengan sifat-sifat makhluk. Sebagian kalangan dari aliran ini, mencoba untuk memberikan pendekatan yang lebih ringan dengan menyatakan bahwa Tuhan itu jism tapi berbeda dengan jism-jism lainnya yang makhluk. Mereka mendefinisikan jism sebagai ͞al-qâ'im bi nafsihi͟ (entitas yang independen). Aliran ini kemudian dikenal sebagai Sekte Mujassimah yang dipelopori oleh seorang penganut paham Syi'ah, Hisyam ibnul Hakam. Di masa pemerintah Al-Ma'mun, Jahmiyyah dan Muktazilah menemukan peluang untuk berkuasa dan berkembang pesat. Dan karena salah satu rukun paham Muktazilah adalah ͞al-amr bi'l ma͚rûf wa'n nahyu ͚ani'l munkar͟ yang berarti ͞pemaksaan paham dengan kekerasan͟, maka gerakan penyebaran paham ini menyebabkan konflik tajam yang dikenal dalam Sejarah sebagai ͞mihnatu khalqi'l qur'ân͟. Saat berada di pesisir Tharsus, Al-Ma'mun mengirimkan instruksi ke wakilnya di Baghdad untuk mengundang-undangkan kewajiban menganut paham ͞khalqu'l qur'ân͟ (͞keterciptaan Al-Quran͟). Karena tidak ada satu ulama pun yang setuju, Al-Ma'mun kembali mengirimkan instruksi susulan dengan ancaman eksekusi fisik bagi siapapun yang menentang undang-undang ini. Mayoritas tokoh Baghdad kemudian menuruti kewajiban ini atau purapura mengikuti. Hanya tinggal tujuh orang yang tetap menolak. Kemudian setelah ketujuh tokoh ini ditangkap, semuanya menyerah kecuali dua ulama yang tetap konsisten untuk menentang pernyataan bahwa Al-Quran itu makhluk, yaitu Ibnu Nuh dan Imam Ahmad bin Hanbal rh. Karena Al-Ma'mun sudah meninggal sebelum bertemu dengan Imam Ahmad, kekhalifahan akhirnya dipegang oleh Al-Mu'tashim dan selanjutnya diteruskan oleh Al-Watsiq. Dalam masa ketiga khalifah ini, perdebatan dan pertentangan mengenai khalqu'l qur'ân terusmenerus menajam dan memanas. Berbagai kemenangan argumentatif para Ulama atas Ibnu Abi Du'ad dan para penganut Jahmiyyah serta Muktazilah lainnya ternyata tidak menghentikan pemaksaan paham khalqu'l qur'ân, bahkan penyiksaan fisik terhadap Imam Ahmad juga terus ditingkatkan untuk memaksanya berubah pendapat. Tapi Ahmad tetap konsisten dengan pendiriannya hingga akhirnya sepeninggal Al-Watsiq tampuk kekhalifahan berada di tangan Al-Mutawakkil Billah. Sejak masa Al-Mutawakkil ini, otoritas politis Jahmiyyah serta Muktazilah pun tumbang dan hegemoni ideologisnya sebagai sekte pun menyurut secara tajam. Dengan kembali terangkatnya para UlamaͶterutama Ahlul HaditsͶsebagai panutan publik, kondisi sosiologis Umat Islam pun kembali stabil. Aneka sekte serta aliran pemikiran yang tidak mendasarkan konsepsi ideologisnya pada tradisi Umat Islam semenjak masa Rasulullah saw. (tradisi Salaf), termarjinalkan oleh Umat sebagai ͞Ahlu'l Ahwâ'͟ atau ͞Ahlu'l Bid'ah͟ (Ahlul Bid'ah Wal Furqah), yang merupakan lawan dari ͞Ahlu's Sunnah͟ atau ͞Al-Jamâ'ah͟ (Ahlus Sunnah Wal Jama'ah). Hanya saja, di kalangan Ahlus Sunnah sendiri juga muncul perkembangan baru yang cukup signifikan. Beberapa pegiat Dialektika seperti Husain Al-Karabisi membuat konsep baru mengenai Al-Quran, dengan menyatakan ͞alfâdhunâ bi'l qur'âni makhlûq͟. Paham ini kemudian ditandingi oleh paham baru lainnya yang berseberangan, dengan pernyataan bahwa ͞alfâdzunâ bi'l qur'âni ghairu makhlûq͟. Kedua paham ini kemudian dikenal sebagai Al-Lafdhiyyah. Yang pertama adalah ͞Al-Lafdhiyyah An-Nâfiyah͟, sedang yang kedua adalah ͞Al-Lafdhiyyah Al-Mutsbitah͟. Dua-duanya ditentang oleh para Ulama. Tapi anehnya, beberapa ulama besarͶsemisal Imam Ahmad dan Imam BukhariͶjustru menjadi sasaran dari penisbahan salah satu paham ini. Permasalahan dan pertentangan tentang Al-Quran ini semakin meningkat ketika salah seorang pegiat Dialektika lainnya, Ibnu Kullab, membuat sebuah konsep lagi tentang ͞qidamu'l kalâm͟. Konsepsi ini semula P ag e.

(7) digunakan oleh Ibnu Kullab untuk membantah Muktazilah, akan tetapi paham baru yang dilahirkannya justru berujung pada pernyataan bahwa Al-Quran yang ada di mushaf itu bukanlah kalam Allam yang sebenarnya, akan tetapi hanya merupakan ͞hikâyah ͚an kalâmillâh͟. Paham ini berakar pada basis teologi yang diserap dari Muktazilah, bahwa Allah Swt. tidak melakukan perbuatan apapun. Bagi teologi ini, yang ada pada Tuhan hanyalah sifat-sifat azali yang sama sekali tidak terkait dengan ͞irâdah͟ (kehendak Tuhan). Sementara, ͞perbuatan͟ adalah sesuatu yang terlaksana atas ͞kehendak͟. Sehingga, bagi teologi ini, ͞kalam Tuhan͟ adalah sebuah sifat azali yang tidak terjadi atas kehendak Tuhan, akan tetapi sudah ada bersama dzat Tuhan dan tidak mungkin Tuhan berbicara secara langsung. Paham ini membuat Ibnu Kullab meniscayakan pernyataan bahwa Al-Quran dan semua kitab suci maupun ucapan-ucapan Allah lainnya yang diwahyukan atau diperdengarkan ke makhluknya itu hanyalah ͞pengungkapan atas ͚͞kalam azali͟ dan tidak pernah dikatakan langsung oleh Allah Swt. Jadi, bagi paham yang kemudian dikenal sebagai Kullabiyyah ini, Kalam Allah yang sebenarnya itu hanyalah ͞makna͟ dan bukan ͞huruf͟ ataupun ͞suara͟. Sebagai reaksi frontal atas Kullâbiyyah, muncullah aliran Sâlimiyyah yang membuat pernyataan baru lainnya sebagai hasil hibridasi antara paham Muktazilah dan Kullâbiyyah. Sâlimiyyah menyatakan bahwa Kalam Tuhan itu merupakan huruf dan suara, akan tetapi ia azali. Jadi, bagi Sâlimiyyah, Al-Quran adalah huruf dan suara yang azali dan merupakan sifat tak terpisahkan dari Allah Swt. Dalam menetapkan bahwa Al-Quran itu huruf dan suara, Sâlimiyyah menggunakan argumentasi-argumentasi Muktazilah, dan dalam menetapkan bahwa AlQur'an itu azali, mereka menggunakan argumentasi-argumentasi Kullâbiyyah. Peristiwa historis besar selanjutnya, terjadi dengan tampilnya Abul Hasan Al-Asy'ari pada awal abad keempat hijriyah. Murid Al-Jubba'i yang semula merupakan salah satu analis andalan Muktazilah ini, menyatakan diri telah bertaubat dari Muktazilah dan ͞dakhala fi-͚l Islâm͟. Ia kemudian menulis berbagai bantahan terhadap ajaran-ajaran Muktazilah dengan menggunakan paradigma yang hampir serupa dengan paham Kullâbiyyah. Dalam perjalanan selanjutnya, Abul Hasan mulai semakin mendekati konsep-konsep Ahlus Sunnah meskipun tidak sampai keluar total dari basis-basis ideologi Ilmu Kalam pengaruh Muktazilah atau Kullâbiyyah. Dalam buku-buku pamungkasnya seperti Al-Ibânah dan Al-Maqâlât, Abul Hasan menyatakan afiliasi diri kepada Imam Ahmad rh. dan menyatakan sebagai penganut paham yang sesuai dengan ͞Ahlus Sunnah Wal Hadîts͟. Dengan kehadiran Abul Hasan dan karya-karyanya ini, muncullah sebuah aliran baru yang bernama ͞Asy'ariyyah͟. Kemunculan Asy'ariyyah ini seiring dengan munculnya aliran lain di wilayah Timur yang berpaham agak serupa, yaitu ͞Mâturidiyyah͟, pengikut Abu Manshur Al-Maturidy. Tokoh Asy'ariyyah selanjutnya yang paling populer, adalah Abu Bakr Al-Bâqillâny. Di masa Al-Bâqillâny ini, Asy'ariyyah memiliki hubungan yang cukup harmonis dengan kalangan Muhadditsin dan Hanâbilah. Akan tetapi, tokoh-tokoh Asy'ariyyah selanjutnya ternyata kemudian menggunakan paradigma yang berbeda, khususnya Asy'ariyyah yang tinggal di daerah Khurasan seperti Ibnu Fûrak. Dan selanjutnya di tangan AlJuwayniy, paham Asy'ariyyah ini menjadi semakin mendekati konsep-konsep Muktazilah. Keharmonisan antara aliran ini dengan para Hanâbilah memudar tajam di masa Abul Qâsim Al-Qusyayry yang merupakan murid utama Ibnu Fûrak. Kejadian yang dikenal sebagai ͞fitnatu'l Qusyayry͟ ini terjadi pada masa pemerintahan Sultan Mahmud bin Sabaktatin. Sejak saat itu, aliran Asy'ariyyah menjadi terpisah secara kontras dengan Ahlus Sunnah Wal Hadits yang semula dituju oleh Abul Hasan sebagai titik afiliasinya. Para penganut tetap Asy'ariyyah bersikukuh menyatakan bahwa alirannya sesuai dengan Ahlus Sunnah dengan. ÒP ag e.

(8) bukti kitab ͞Al-Ibânah͟, akan tetapi kalangan Hanâbilah dan beberapa Fuqâhâ' Syâfi'iyyah menyatakan mereka sebagai ͞Ahlul Kalâm͟ yang telah menyempal dari paham Salaf dan Ahlus Sunnah. Di sisi konsep epistemologis, kegiatan studi Ilmu Kalam di kalangan Asy'ariyyah ternyata semakin menguat dan mengental semenjak masa Al-Juwayny. Ilmu Kalam yang semula dilarang oleh para Aimmah ini pun akhirnya menjadi basis metodologi bagi para penganut Asy'ariyyah. Selanjutnya, banyak bermunculan para Mutakallimin andalan yang merupakan tokoh-tokoh sekaligus referensi utama di kalangan Asy'ariyyah, seperti Abu Hâmid Al-Ghazzâly, Abu Bakr Ibnul ͚Araby, Asy-Syahrastâny, Abu ͚Abdillah Ar-Râzy, dan Abul Hasan AlÂmidiy. Di antara tokoh-tokoh ini, Ar-Râzi merupakan tokoh paling penting yang sekaligus adalah konseptor utama atas sistem metodologi dan doktrin-doktrin Asy'ariyyah di kalangan Mutaakhkhirin. Dan karena di masa-masa itu rata-rata kondisi politik cukup mendukung hegemoni Asy'ariyyah, karya-karya para tokoh Ilmu Kalam ini kemudian menjadi panutan utama bagi segelombang besar masyarakat, termasuk beberapa pegiat Syarah Hadits, Fiqh Madzhab, dan Tafsir Al-Quran. Meskipun dalam sejarahnya, para Mutakallimin ini banyak sekali yang mengalami proses regresi meninggalkan Ilmu Kalam dan mengikuti apa yang dianggapnya sebagai keyakinan Salaf. Sementara itu, di kalangan Hanâbilah terjadi fenomena yang berbeda. Pengaruh para Mutakallimin Hanâbilah seperti Abu Ya'lâ dan Ibnu ͚Aqîl masih sangat tidak sebanding dengan para Muhadditsin dan Fuqâhâ'. Apalagi, Ibnu 'Aqil dan Abu Ya͚lâ juga mengalami perubahan besar dalam konsepsi teologisnya dan Abu Ya͚la pun berubah menjadi lebih dekat ke Ahlul Hadits dan akhirnya berseberangan semakin kontras dengan konsep-konsep Ta'wil ala Ilmu Kalam. Semua fenomena ini, membuat wilayah diskursus teologi dalam Aqidah Islam menjadi semakin buram dan membutuhkan penyegaran baru yang mencerahkan. Keruntuhan Khilafah Abbasiyyah di Baghdad akibat serangan Tartar juga menimbulkan krisis politik dan sosiologis yang cukup signifikan di kalangan Umat Islam. Kajian-kajian keislaman akhirnya lebih terkesan stagnan dengan berbagai perubahan ini. Kajian-kajian Fiqh lebih berorientasi ke lingkar-lingkar Madzhab, dan wilayah Ushul Fiqh seolah menjadi anak turunan dari Ilmu Kalam dan Bahasan Nahwu. Kajiankajian Suluk pun lebih terpetakan pada takekat-tarekat Tashawwuf yang yang dibarengi juga dengan muncuatnya paham Wahdatul Wujud di beberapa kalangan. Studi Hadits pun menjadi seolah terpisah dengan bahasan Aqidah dan Ushul Fiqh, dan kegiatan penafsiran Al-Quran pun seolah menjadi lahan pengaplikasian aneka konsep-konsep luar dari berbagai disiplin ilmu lain seperti I'rab, Fiqih, Tarikh, Tashawuf, dan bahkan Ilmu Kalam dan Filsafat. Di tengah-tengah situasi yang serba kompleks itulah, Ahmad bin Abdil Halim dilahirkan. Tokoh yang kemudian dikenal sebagai Syaikhul Islam Abul Abbas Ibnu Taimiyyah ini lahir di kota Harran dan kemudian di masa kecilnya, hijrah bersama keluarga ke kota Damaskus, salah satu kota Islam yang paling dinamis dalam dunia keilmuan di masa itu. Di tempat tinggalnya yang baru ini, Ibnu Taimiyyah mulai melejitkan aktivitas ilmiahnya dengan belajar pada sekitar dua ratus syaikh dalam berbagai disiplin keilmuan, dengan bermodalkan pada talenta yang prima, kecerdasan yang brilian, serta komitmen ibadah yang tinggi dan semangat yang terus membara. Segala faktor ini mengantarkannya pada pencapaian prestasi-prestasi cemerlang dalam tempo yang sangat singkat. Materi-materi Tafsir, Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Lughah, Tarikh, dan bahkan Matematika, Mantiq, Kalam, serta Filsafat telah mumpuni ia kuasai menjelang usia baligh. Sehingga di umur yang masih sangat belia itu, Ibnu Taimiyyah sudah mampu terjun dalam dunia nadhar dan istidlâl untuk mengkoreksi berbagai kekeliruan konsep, argumen, dan materi yang terdapat di ideologi-ideologi sekte hasil pengaruh Ilmu Kalam dan Filsafat; juga untuk mendemonstrasikan secara pasti, bahwa konsep-konsep teologis yang paling rasional VP ag e.

(9) adalah yang dinyatakan oleh Al-Quran, As-Sunnah, dan para Aimmah. Proses ini terus berlanjut dan menyempurna sampai ketika ia menjadi mufti serta mulai menulis buku pada usia 17 tahun, memegang masyîkhah Madrasah Sakariyyah pada usia ke-21, dan melakukan berbagai ekspedisi ilmiah di daerah-daerah Syam dan Mesir, terutama di Damaskus, Gazza, Alexandria, dan Kairo. Juga ketika berperan sebagai tokoh dan mujahid penting dalam beberapa perjuangan di medan perang menghadapi tentara Tartar. Ibnu Taimiyyah pun akhirnya tersohor sebagai mujaddid sekaligus mujahid terbesar abad itu. Revivalisasinya di kajian-kajian Aqidah termasuk poin paling dominan dalam gerakan reformasi besar-besaran yang dikerahkan oleh tokoh ensiklopedik ini. Sejarawan besar Mesir, Taqiyyuddin Al-Maqrizy menggambarkan peranan Ibnu Taimiyyah pasca dominasi politis Asy'ariyyah tersebut dalam maqnum opus-nya, Al-Mawâ'idh wa'l I͚tibâr bi dzirki'l Khuthath wa'l Âtsâr (II/308-309) : ͞Itulah faktor yang menyebabkan madzhab Asy'ariyyah menjadi populer dan tersebar di wilayah-wilayah Islam, di mana sekarang rata-rata madzhab-madzhab telah dilupakan dan tidak lagi dikenal, sehingga tidak ada lagi madzhab lain yang menyelisihinya (Asy'ariyyah) selain madzhab HanâbilahͶpengikut Imam Ahmad bin Hanbal ra. Mereka tetap berpegang pada pedoman Salaf yang tidak menyetujui takwil terhadap nash-nash shifat. Sampai kemudian setelah tahun tujuhratusan hijriyah, tersohorlah di Damaskus dan sekitarnya Taqiyyuddin Abul Abbas Ahmad ibnu Abdil Halim Ibnu Taimiyyah Al-Harrany. Iapun bergerak untuk memenangkan madzhab Salaf, melawan kuat madzhab Asy'ariyyah, dan melakukan pengingkaran tegas terhadap mereka serta kaum Rafidhah dan kalangan Shufiyyah.͟ Al-Hafidh Ibnu Hajar Al-͚Asqalânîy juga menyatakan dalam taqrîdh-nya atas buku Ar-Raddu'l Wâfir karya Qadhi Ibnu Nâshiruddin : ͞Popularitas ke-imam-an Syekh Taqiyyuddin lebih terang daripada matahari. Julukannya sebagai ͚Syaikhul Islam' pada zaman itu terus awet sampai sekarang dari lisan-lisan yang suci, dan akan terus lestari di masa mendatang sebagaimana sebelumnya. Tidak akan ada yang mengingkari hal tersebut kecuali orang yang tidak mengetahui kadarnya, atau orang yang memang sengaja menjauhi kejujuran. Maka alangkah keliru orang yang melakukan hal tersebut dan memperbanyak pencelaannya! Hanya Allah Ta'ala sematalah tempat kita bermohon agar melindungi kita dari kejelekan-kejelekan jiwa kita dan sampah-sampah lidah kita͟. #" $ %&' ! ( Seperti didedahkan oleh para sejarawan, ada banyak potensi dan karakteristik unggul yang dianugerahkan dalam diri Ibnu Taimiyyah yang menjadi modal utama bagi pembentukan khazanah intelektual dan lejitan pergerakannya yang demikian dahsyat itu dalam perjalanan hidupnya. Secara umum, karakteristik utama Ibnu Taimiyyah ini bisa diungkapkan dalam beberapa poin berikut : kecerdasan yang prima, daya hafal yang optimal, lingkupan studi yang maksimal, ibadah yang kuat dan mendalam, kecekatan yang tangkas, akhlaq dan kesederhanaan yang menawan, ketangguhan dan ketabahan yang menakjubkan, keberanian dan kepahlawanan yang sangat menggemparkan, serta kedermawanan dan kelapangan dada yang luar biasa. Ini semua ditambah dengan fisik yang dan vitalitas yang prima serta lingkungan keluarga yang terdidik dan terhormat. Ayahnya, Abul Mahâsin Abdul Halim yang menjadi Qadhi Hanâbilah dan kakeknya, Abul Barakât Majduddîn Abdussalâm termasuk faqih terbesar di Dunia Islam pada masa itu. Ibnu Taimiyyah selesai menghafalkan Al-Quran pada usia pembelajaran tulis-menulis dan berhitung ketika masih nyantri di Kuttâb, lalu berlanjut dengan mempelajari Hadits, Fiqih, Lughah, Aqidah, Ushul Fiqih, Tarikh, ýP ag e.

(10) Tafsir, serta Matematika, Mantiq, Kalam, Astronomi, Kristologi, Filsafat, dan Milal wa Nihal pada usia yang masih sangat belia. Kecerdasannya yang prima membuat ia bisa menguasai Al-Kitâb karya Imam Nahwu Sibawaih hanya dalam beberapa hari. Juga menghafal dengan sempurna berbagai buku Hadits yang besarbesar termasuk Musnad Imam Ahmad sebagai hasil simâ' dan murâja'ah beberapa kali. Buku besar fiqih ͞AlMuhallâ͟ karya Ibnu Hazm, juga merupakan salah satu materi hafalannya. Sebelum memasuki usia baligh, Ibnu Taimiyyah sudah sering menghadiri berbagai madrasah, sanggar kajian, dan forum-forum diskusi. Uniknya, di tempat-tempat ini ia justru lebih sering menjadi nara sumber dan debator handal yang mengalahkan pakar-pakar senior. Lalu sejak usia tujuh belas tahun (tahun 677H), ia mulai menulis buku dan dinobatkan sebagai mufti oleh Ahmad bin Ni'mah Al-Maqdisy. Kemudian, sejak usia dua puluh satu tahun (tahun 681H), Ibnu Taimiyyah mulai mengajar dan menggantikan ayahnya mengelola masyikhah di Darul Hadits As-Sakariyyah. Selanjutnya, di usia tiga puluh tahun (tahun 691H) ia telah menjadi pakar Tafsir yang paling terkemuka di masa itu yang menjadi rujukan berbagai kalangan. Dan selepas pulang haji pada tahun 692H, Ibnu Taimiyyah mulai tersohor sebagai ͞Mujtahid Mutlak͟ dan ͞Syaikhul Islam͟. Di masa-sama selanjutnya, Ibnu Taimiyyah mulai melakukan ekspedisi ke berbagai daerah untuk keperluan dakwah dan penggalangan jihad. Ia berangkat ke Mesir pertama kali pada awal abad kedelapan hijriyah tahun 700H, lalu kembali ke Damaskus dan berangkat lagi ke Mesir lalu tinggal di sana sejak tahun 705H. Di perjalanan kedua ini, Ibnu Taimiyyah mulai banyak dihadapkan dengan berbagai kalangan yang menentangnya; baik dari para pejabat, para qadli, mutakallimin, fuqoha', mutashawwifah, maupun dengan kalangan penganut Isma'iliyyah, para pendeta Nasrani, dan para panglima Tartar. Tercatat dalam Sejarah, Syaikhul Islam pernah tujuh kali dimasukkan dalam penjara, baik di Damaskus, di Alexandria, maupun di Kairo. Juga tercatat jelas berbagai prestasi gemilang yang telah disumbangkannya pada Umat Islam secara internal maupun eksternal, seperti peneloran berbagai karya-karya besar yang menakjubkan di berbagai bidang pengetahuan, pengunggulan konsep-konsep aqidah Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam berbagai forum diskusi dan pengadilan termasuk yang terjadi di tengah perjalanannya ke Mesir di kota Gazza, juga berbagai aksi kepahlawanan di medan jihad yang telah digelorakannya antara lain dalam Perang Syaqhab, Perang Kasruwan, dan ceramahnya di hadapan Raja Tartar Qazan yang sangat legendaris. Di samping itu, kehadiran Ibnu Taimiyyah di berbagai penjara juga telah membuat tempat-tempat tersebut menjadi ramai oleh para pelajar dan para sarjana yang meminta fatwa. Kehadirannya di penjara-penjara itu juga membuahkan serangkaian ͞ishlâh sijnîy͟ yang membuat para residivis kriminal bertaubat dan enggan untuk keluar dari penjara meskipun telah habis masa tahanan. Dalam perjalanan yang penuh dengan berbagai tantangan itu, Ibnu Taimiyyah justru melahirkan karya-karya besar yang sangat kompleks, padat kualitas, dan rata-rata belum ada tandingannya. Sebut saja misalnya Dar'u't Ta͚ârudl Bayna'l ͚Aqli wa'n Naqli, Minhâju's Sunnati'n Nabawiyyah, Naqdlu't Ta'sîs, Ar-Risâlâh AshShafadiyyah, Ar-Raddu ͚Alâ'l Manthiqiyyîn, Al-Fatâwâ Al-Mishriyyah, At-Tis͚îniyyah, As-Sab͚îniyyah, Kitâbu'l Îmân Al-Kabîr, Al-Fatâwâ Al-Hamawiyyah, Al-Istiqâmah, Ar-Risâlah At-Tadmuriyyah, Iqtidlâ'u'sh Shirâtha'l Mustaqîm, Ash-Shârimu'l Maslûl, Kitâbu'n Nubuwwât, dan Al-Jawâbush-Shahîh li Man Baddala Dîna'l Masîh. Dalam salah satu perhitungannya, Imam Jarah wa Ta'dil Syamsuddin Ad-Dzahaby menemukan seribu judul karya Ibnu Taimiyyah dalam volume sekitar lima ratus jilid, kemudian setelah itu ditemukan lagi berbagai karya lainnya yang tersebar di berbagai daerah. Mengomentari fenomena menakjubkan ini, Ibnu Abdil Hadi menyatakan : ͞Saya tidak pernah mengenal seorang tokoh umat pun, baik yang klasik maupun yang modern, P ag e.

(11) yang berhasil menyusun seperti susunan Ibnu Taimiyyah ataupun menulis seperti tulisan-tulisannya. Tidak juga ada yang mendekati kualitasnya. Padahal, mayoritas karya-karyanya itu ia diktekan langsung dari hafalannya. Dan banyak di antara karya-karya itu yang ia tulis ketika di dalam penjara, di saat tidak tersedia buku-buku untuk referensi͟ (Al-͚Uqûdu'd Durriyyah: 26). Uniknya lagi, mayoritas buku-buku berkualitas ini tidaklah ditulis Ibnu Taimiyyah semenjak awal, tapi ditulisnya secara spontan sebagai jawaban atas pertanyaan fatwa, sambutan atas permintaan yang mendesak, komentar atas karya lain yang menyebar, atau penjelasan untuk permasalahan yang sedang aktual. Padahal waktu harian Ibnu Taimiyyah juga banyak terforsir untuk kegiatan-kegiatan lain seperti ibadah, mengajar, diskusi, dan berjihad. Ini semua ditopang oleh daya hafal, telenta kecerdasan, dan ketangkasan menulis yang luar biasa. Seperti diungkapkan Ibnul Qayyim, dalam satu hari Ibnu Taimiyyah bisa menghasilkan karya tulis yang membutuhkan waktu satu minggu untuk bisa disalin ulang oleh para pentaskrip. Tidak heran, jika kemudian dalam usianya yang singkat itu pena dan lidah tokoh ini telah menghasilkan ratusan ribu halaman buku. Kepakaran Ibnu Taimiyyah memang sangat kompleks dan mendalam. Frekuensi Ibadah dan daya gerakan yang dikerahkannya juga membuat berbagai kalangan menjadi tercengang. Adz-Dzahaby mengatakan : ͞Wawasannya dalam TAFSIR adalah yang paling prima; hafalannya terhadap HADITS beserta RIJAL dan shahihdla'ifnya tidak ada yang bisa menandingi; transmisinya terhadap FIQIH dan madzhab para Shahabat dan Tabi'inͶapalagi Madzahib Arba'ahͶjuga tidak ada duanya. Adapun mengenai wawasan tentang MILAL WA NIHAL, USHULUDDIN dan ILMU KALAM, maka aku tidak pernah mengetahui orang yang sepadan dengannya. Dia mengenal segugus wawasan bagus tentang kata-kata (gharib) Lughah. Kemampuan BAHASA ARAB-nya juga sangat kuat. Dan wawasannya mengenai SEJARAH maupun SIRAH sungguh sangat menakjubkan. Adapun KEBERANIAN, JIHAD, dan pergerakannya, maka tidaklah mungkin untuk dilukiskan dan digambarkan. Dia juga merupakan salah satu DERMAWAN murah hati yang legendaris dan menjadi idola. Dalam dirinya, terkandung jiwa ZUHUD dan qana'ah yang (membuatnya) sederhana dalam hal makanan dan pakaian͟. Di tempat lain, Imam Adz-Dzahabi menyatakan : ͞Ajaib dalam kecerdasan dan kegesitan fikirannya; pionir dalam pengetahuan akan Al-Kitab, As-Sunnah, dan Ikhtilaf; lautan dalam ilmu-ilmu naqli; di masanya, dia adalah anak tunggal zaman dalam hal keilmuan, kezuhudan, keberanian, kedermawanan, amar ma'ruf, nahi munkar, dan kemelimpahan karya ͙ Maka jika disebutkan TAFSIR, dialah pembawa benderanya; jika disejajarkan para FUQAHA, dialah mujtahid mutlak mereka; jika para HUFFADH HADITS itu hadir, maka dialah yang layak bicara dan yang lain terdiam ͙ jika disebut nama-nama MUTAKALLIMIN, maka dialah yang menonjol dan menjadi referensi mereka; dan jika Ibnu Sina memimpin barisan FALASIFAH, dialah yang menghempaskan dan mengalahkan mereka. Dia juga memiliki wawasan yang mendalam mengenai NAHWU, SHARAF, dan LUGHAH. Dia lebih agung dari apa yang bisa dilukiskan oleh lisanku atau yang coba digambarkan oleh penaku!͟ (Al-Jâmi': 254-255). Juga salah satu ungkapan populer Imam Adz-Dzahaby : ͞kullu hadîtsin lâ ya'rifuhu ͚bnu Taimiyyati, fa laysa bi hadîts!͟. Juga yang ini : ͞Kalaulah aku bersumpah di antara Hajar Aswad dan Maqam Ibrahim, maka aku akan bersumpah bahwa aku tidak pernah melihat orang seperti dia! Oh, sungguh tidak! Bahkan diapun tidak pernah melihat orang yang ilmunya seperti dirinya͟. Karakteristik prima dan rangkaian perjalanan hidup Ibnu P ag e.

(12) Taimiyyah yang penuh berkah ini membuat namanya menjadi sangat populer dan dielukan. Pelaksanaan shalat janazah untuknya selepas wafat menjadi saksi atas kebesaran posisi tokoh ini di kalangan Umat dan Ulama. Shalat jenazah di Damaskus yang dihadiri oleh sekitar enam puluh ribu laki-laki dan lima ribu perempuan ini dinyatakan para Sejarawan sebagai shalat jenazah terbesar di Dunia Islam pasca Imam Ahmad bin Hanbal di Baghdad. Padahal Ibnu Taimiyyah meninggal dalam kondisi sepi di penjara di dalam Benteng Damaskus, sedangkan Imam Ahmad meninggal di tengah masyarakat luas ketika sudah lama terbebas dari kekangan pemerintah. Jumlah penduduk Damaskus yang ada itupun hanya sekian persen dari jumlah penduduk di kota Baghdad. Peristiwa besar ini mengingatkan ucapan hikmah Imam Ahmad, ͞Baynanâ wa bayna Ahli'l Bida' Yawmu'l Janâzah!͟. '! . )    $ &"#$#*#!. Ada beberapa prinsip dan metode tegas yang dipakai Ibnu Taimiyyah sebagai basis paradigmanya dalam melakukan kajian keilmuan dan juga dalam fiqih dakwah serta gerakan praksisnya. Prinsip dan metode yang telah membentuk struktur pemikiran dan bangunan mental dalam diri Ibnu Taimiyyah ini bisa ditelusuri dengan mudah dalam karya-karya tulisnya serta dalam berbagai catatan peristiwa perjalanan hidupnya. Di sini akan sedikit kita ulas empat poin saja dari prinsip-prinsip dan metodologi tersebut: 1. Keluasan Observasi dan Ketelitian Analisa Potensi yang sekaligus menjadi prinsip utama Ibnu Taimiyyah dalam melakukan kajiannya ini merupakan basis metodologi yang sangat menonjol. Cakupan ilmu, wawasan, serta referensi Ibnu Taimiyyah meliputi berbagai kajian yang pernah ada sebelum zamannya: Filsafat/Kalam/Aqidah, Fiqih/Ushul Fiqih, Tashawwuf/Suluk/Akhlaq, Ulumul Quran/Tafsir, Hadits/Atsar/Musthalah/Rijal, Lughah/Nahwu/Balaghah, Tarikh/Sirah/Tarajum, Siyasah/Idarah, maupun juga Matematika, Mantiq, Astronomi, Geografi, Kimia, Kedokteran, dan lain sebagainya. Di tiap ilmu ini, Ibnu Taimiyyah tidak hanya mencukupkan diri pada wawasan yang singkat dan global, tapi menyelaminya sampai ke akar-akar konsep dan menelisiki berbagai perbedaan pandangan yang ada beserta argumentasi dan tokoh penganut serta latar belakang psikologis, metodologis, dan sosiologis masing-masing pendapat. Ketika Ibnu Taimiyyah berbicara mengenai sebuah disiplin ilmu, ia mengalahkan para pakar yang membidangi spesialisasi ilmu tersebut. Bahkan saking mendalamnya, ketika fokus berbicara spesifik mengenai sebuah ilmu tertentu, seolah-olah kepakarannya hanya terbatas di bidang ilmu itu saja. Az-Zamlikany menyatakan: ͞Jika beliau ditanya mengenai sebuah disiplin ilmu, orang yang melihat dan mendengarnya akan mengira bahwa beliau hanya pakar di bidang itu saja, dan akan memastikan bahwa tidak ada orang lain yang di bidang itu kepakarannya seperti beliau. Ketika para Fuqaha dari berbagai kelompok berkumpul bersama beliau, mereka semuanya mendapatkan wawasan baru mengenai madzhab mereka masing-masing yang belum mereka ketahui sebelumnya. Beliau dikenal tidak pernah kalah ketika berdebat dengan siapapun. Dan beliau tidak pernah berbicara mengenai satupun disiplin ilmu, baik ilmu syari'ah maupun yang lainnya, melainkan beliau pasti mengungguli para pegiat dan peminat bidang ilmu itu. Beliau juga memiliki prestasi yang gemilang dalam kualitas penulisan karya, bagusnya pengungkapan, penyusunan, pembagian, dan penjelasan.͟ Demikian juga halnya jika Ibnu Taimiyyah berbicara secara luas untuk sebuah permasalahan tertentu. Berbagai referensi serta sudut pandang dari aneka aspek dan disiplin keilmuan itu akan menghimpun menjadi satu ×P ag e.

(13) untuk saling menimbang dan menguatkan. Ketika berbicara mengenai masalah asmâ' wa shifât misalnya, Ibnu Taimiyyah mengkajinya dari sisi tawtsîqu'n nushûsh, fiqhu'n nushûsh, muthâla͚atu'l âtsâr, kemudian observasi terhadap aqwâl para Aimmah, opini-opini Falasifah, konsep-konsep Mutakallimin, pandangan-pandangan Shufiyyah, dan berbagai macam pendapat dari pelbagai kalangan beserta argumentasi dan dasar-dasar pemikirannya. Aneka pemikiran ini kemudian dikomparasikan oleh Ibnu Taimiyyah dan dianalisa satu persatu secara kritis menggunakan penalaran yang obyektif serta pengkajian yang holistik mencakup sekian banyak aspek dan sudut pandang. Kemudian Ibnu Taimiyyah juga menelisik ke dalam efek-efek praktis yang ditimbulkan oleh perbedaan pemikiran ini dalam dunia aplikatif, setelah sebelumnya juga menelusuri akar permasalahan dan latar belakang sosio-psikologis yang mendasari tumbuhnya aneka konsep dan paradigma yang melahirkan berbagai opini dan pemikiran tersebut. Pemersiapan sebuah kajian dengan materi yang kaya, referensi yang luas, serta observasi yang menyeluruh dan teliti ini, tentu merupakan sebuah prinsip penting dalam memulai kajian yang berkualitas. Dan inilah yang diterapkan oleh Ibnu Taimiyyah dalam kajian-kajiannya, terutama dalam kajian aqidah yang menyangkut pemahaman terhadap Al-Quran. Ia mengungkapkan, ͞Untuk memahami dengan tepat sebuah ayat, kadangkadang saya perlu menelaah terlebih dahulu lebih dari seratus referensi tafsir baik yang bersanad maupun tidak (baru kemudian saya memastikan pemahaman mana yang paling benar)͟. Begitu juga dalam kajiankajian teologis yang menjadi persilangan pendapat berbagai macam kalangan. Ibnu Taimiyyah memperluas skup observasinya bukan hanya ke kalangan Mufassirin, Muhadditsin, Fuqoha, Mutakallimin, Shufiyyah, dan Falasifah di Dunia Islam; akan tetapi juga sampai memanjang ke belakang hingga mengjangkau Filsafat Yunani pra-Aristoteles dan melebar ke samping hingga meliputi Filsafat Turki, Persia, dan India. Juga mengkomparasikannya dengan aneka doktrin dan berbagai agama lain seperti Yahudi, Nasrani, Budha, dan Zoroaster. Dari semua pandangan milal wa nihal ini, doktrin-doktrin dari berbagai sekte dan kelompok yang terdapat di Dunia Islam merupakan fokus utama dari kajian-kajian Ibnu Taimiyyah. Keluasan referensi dan ketelitian observasi itu, bisa kita lihat misalnya dalam buku Dar'u't Ta͚ârudl. Dalam buku yang termasuk paling istimewa di Dunia Teologi sepanjang perjalanan sejarah ini, Ibnu Taimiyyah menelusuri dan melakukan analisa untuk referensi-referensi Teologi dalam kuantitas yang sangat dahsyat. Ia melakukan komparasi dan analisa terhadap berbagai pandangan aneka kalangan, mulai dari para Aimmah dan Muhadditsin seperti Abu Hanifah, Malik, Asy-Syafi'i, Imam Ahmad, Ibnul Mubarak, Abdul Aziz Al-Kinany, Abu Nu'aim Al-Ashbahany, Al-Bukhary, Abu Utsman Ash-Shabuny, Ibnu Khuzaimah, Utsman Ad-Darimy, AlKhaththaby, dan Ibnu Abdil Barr; para Fuqoha dari berbagai madzhab terutama Syafi'iyyah dan Hanabilah; para Masyayikh Shufiyyah seperti Abu Sulaiman Ad-Darany, Al-Junayd, Sahl At-Tustury, Abu Utsman AnNaisabury, dan Abdul Qadir Al-Jailany; para Mutakallimin dari kalangan Jahmiyyah klasik, Muktazilah, Kullabiyyah, Karramiyyah, Asy'ariyyah, Hisyamiyyah, Syi'ah, Hanabilah, dll. terutama Ibnu Kullab, Abu ͚Ali AlJubba'iy, Al-Asy'ary, Abdul Jabbar Al-Hamadzany, Al-Baqillany, Abul Husein Al-Bashry, Ibnu ͚Aqil, Ibnu Tawmart, Ibnu Furak, Ibnul Haisham, Ibnu Hazm, Ibnuz Zaghuny, Al-Juwainy, Al-Ghazzaly, Asy-Syahrastany, ArRozy, Al-Amidy, Al-Armawy, Al-Abhury; para Falasifah baik yang berada di Dunia Islam seperti Al-Farabi Ibnu Sina, Ikhwan Ash-Shafa, Abul Barakat, Ath-Thusy, dan Ibnu Rusyd, maupun Aristoteles dan para Falasifah yang hidup sebelum dan setelahnya; juga dari kalangan Falasifah Tashawwuf seperti Sahruwardy, Ibnu Sab'in, Ibnu ͚Araby, dan At-Tilmisany; serta dari kalangan Bathiniyyah dan Qaramithah. Uniknya, keluasan materi dan ketelitian analisa ini ternyata muncul dalam sebuah buku yang semula hanya dimaksudkan untuk menjawab îP ag e.

(14) kritis sebuah kaedah: ͞taqdîmu'l ma͚qûlât ͚alâ's sam͚iyyât͟ yang banyak dijadikan sebagai qanûn kully oleh ArRazy dll. Dalam melakukan observasi dan analisa di buku ini dan di buku-bukunya yang lain, Ibnu Taimiyyah melakukan penukilan pernyataan-pernyataan itu secara tekstual dan cermat dari referensi-referensi aslinya dengan penuh amânah ͚ilmiyyahͶsebagaimana diakui sendiri oleh para peneliti Ilmu Kalam semisal Ali Sami An-Nasysyar, Ahmad Ash-Shubhy, dan Jalal Muhammad Musa. Dengan materi yang sangat kaya ini, analisa-analisa Ibnu Taimiyyah ditopang oleh penggunaan nalar kritis, opini argumentatif, dan pandangan sosio-historis yang obyektif. Pertentangan sengit yang sempat terjadi antara opini Ibnu Sina, Abul Barakat, Ath-Thusy, dan Ar-Razy dikaji secara mendetail dengan jawaban dalam berbagai wujûh (poin argumentasi) mulai dari yang global sampai dan detail. Begitu juga dengan kritik Al-Ghazzaly dalam Tahâfutu'l Falâsifah dan kritik balik Ibnu Rusyd dalam Tahâfutu't Tahâfut, serta permasalahan ͞argumentasi keberadaan Pencipta͟ yang banyak dibahas terutama oleh Ar-Razy dalam berbagai bukunya dan Al-Amidy dalam karya besarnya, Abkâr'l Afkâr. Analisa mendetail terhadap poinpoin argumentasi Ibnu Taimiyyah ini memang merupakan karakteristik yang sangat menonjol dalam karyakaryanya. Sebut saja misalnya buku Tis'îniyyah, di buku tersebut Ibnu Taimiyyah meruntuhkan doktrin ͞kalâm nafsîy qadîm͟ menggunakan sembilan puluh wujûh argumentasi di mana tiap satu persatu dari wujûh ini mengandung pemerian-pemerian dalil dan logika yang bisa dikembangkan lebih jauh. Fenomena ini juga bisa dengan mudah kita temukan dalam buku-buku besarnya semisal Minhâju's Sunnah, Al-Jawâbu'sh Shahîh, Naqdlu't Ta'sîs, Ash-Shafadiyyah, An-Nubuwwât, dan Ar-Raddu ͚Ala'l Manthiqiyyîn. Singkat kata, ada dua prinsip utama yang dipakai Ibnu Taimiyyah dalam metodologi kajian komparatifnya, yaitu (1) keluasan observasi, dan (2) ketelitian analisa. Yang pertama akan menghimpun sebanyak mungkin aneka sudut pandang yang pernah ada dan segala kemungkinan yang bisa dijadikan solusi untuk sebuah permasalahan, dan yang kedua akan memberikan titik terang untuk menentukan pilihan pendapat yang paling benar dengan argumentasi-argumentasi yang kuat dan saling kompak. Ibnu Taimiyyah menyatakan : ͞Cara paling baik untuk menceritakan perbedaan adalah dengan menghimpun aneka pendapat yang ada dalam permasalahan tersebut, kemudian menunjukkan mana yang benar dan mana yang salah dari aneka pendapat itu. Juga menyebutkan efek dan akibat dari perbedaan yang ada itu agar pertentangan tidak berlarut-larut dan tidak terjadi debat kusir ͙ Adapun orang yang menceritakan perbedaan pendapat tapi tidak menghimpun aneka pendapat yang ada secara menyeluruh, maka dia kurang, sebab bisa jadi pandangan yang benar justru ada pada pendapat yang tidak ia sebutkan. Begitu juga dengan orang yang menceritakan perbedaan begitu saja tanpa menunjukkan mana pendapat yang benar. Ini juga kurang. Maka jika ia kemudian sengaja membenarkan pendapat yang salah, ia berarti telah sengaja melakukan kedustaan. Dan jika ia tidak sengaja, berarti ia telah keliru.͟ (Muqaddimah fî Ushûli't Tafsîr). 2. Integralitas Konsep dan Konsistensi Pemikiran Para pembesar Mutakallimin biasanya memiliki ambiguitas paradigma dalam memandang satu dan lain permasalahan. Basis pandangan serta hasil kajiannya biasanya saling berbeda antara ketika membahas Ilmu Kalam dengan ketika berbicara mengenai Fiqih atau Tashawwuf. Bahkan juga antara satu buku Teologi dengan buku Teologi lainnya. Atau antara satu fase masa hidup dengan fase masa berikutnya. Dan inilah yang menyebabkan para pemuka Ilmu Kalam seperti Al-Karabisy, Al-Asy'ary, Al-Juwainy, Al-Ghazaly, AsySyahrastani, Ar-Razi, dan Al-Amidy mengalami inkonsistensi pemikiran dan kemudian melakukan regresi c+  P a g e.

(15) pendapat atau menyerah begitu saja di akhir hayatnya. Berbeda dengan Ibnu Taimiyyah, paradigma yang dipakai olehnya ketika mengkaji permasalahan-permasalahan teologis juga adalah paradigma yang sama yang digunakannya dalam mengkaji Tafsir, Fiqih, Hadits, Suluk, dan Siyasah. Ada sebuah integralitas konsep besarbesaran yang mendasari pemikiran Ibnu Taimiyyah. Dan kekompakan epistemologis serta metodologis inilah yang kemudian melahirkan konsistensi sikap dan pandangan dalam diri Ibnu Taimiyyah semenjak muda sampai meninggal. Konsistensi ini dirangkaikan oleh pandangan holistik akan keselarasan antara wahyu, rasio, sains, intuisi, dan realita yang merupakan poros-poros pengetahuan dalam sistem epistemologinya, di mana tidak ada pertentangan faktual antara yang naqly dengan yang ͚aqly, antara yang sam͚y dengan yang hissy, dan antara yang syar'îy dengan yang dzawqy serta antara ͞Teks͟ dengan ͞Maslahat͟. Integralitas konsep ini menyebabkan kajian-kajian Ibnu Taimiyyah selalu kaya oleh sudut pandang dari berbagai macam sisi yang saling menguatkan. Analisa-analisanya di bidang Filsafat misalnya, juga terwarnai oleh kajian Tafsir, Fiqhul Hadits, Ushul Fiqih, Sejarah, dan A͚mâlu'l Qulûb. Kajian-kajian Fiqihnya juga terwarnai oleh ulasan-ulasan Epistemologi, Aqidah, Ilmu Jiwa, dan Politik. Begitu juga dengan paparan-parapannya dalam menafsiri ayatayat Al-Quran atau mensyarah teks-teks Hadits dan ucapan-ucapan Salaf. Nafas Ibnu Taimiyyah dalam kegiatan semacam ini sangatlah panjang dan pandangannya melebar ke berbagai segmen serta sudut pandang yang satu sama lain saling menjelaskan. Basis Epistemologi Ibnu Taimiyyah dibangun dengan konsep bahwa ilmu pengetahuan manusia itu diperoleh melalui tiga sumber utama yang banyak dijelaskan oleh Al-Quran, yaitu as-sam͚u, al-basharu, dan al-fuâdu. Ketiga hal ini merepresentasikan tiga akar epistema, yaitu Informasi (al-khabar), Indera (al-hiss), dan Rasio (al͚aql). Sumber yang reliabel dari kegiatan keilmuan yang berbasis tiga akar ini wujudnya adalah informasi yang valid (naql mushaddaq) atau kajian yang akurat (bahts muhaqqaq). Selain kedua hal ini, yang ada adalah karangan palsu (hadzayân musarwaq). Dan dari semua materi sumber keilmuan yang ada di dunia, meteri yang diberikan oleh Kalâmu'llâh, Sunnatu'r Rasûl, dan Ijmâ͚u'l Ummah adalah yang paling bisa dipertanggungjawabkan. Sebab informasi yang paling valid adalah informasi yang diberikan oleh ketiga sumber ini, dan kajian yang paling akurat adalah juga kajian yang disajikan oleh ketiga sumber ini. Sedangkan di luar tiga sumber ini, semuanya masih mengandung kemungkinan salah informasi, invaliditas pengamatan, atau keluputan penalaran. Jadi Quran, Sunnah, dan Ijma' merupakan basis pengetahuan yang merupakan pondasi utama dalam Sistem Epistemologi. Segala opini, pandangan, dugaan, kehendak, asumsi, intuisi, postulat, aksioma, madzhab, perasaan, dan apapun corong keilmuan yang berasal dari selain ketiga sumber ini harus diuji dengan kaedah-kaedah dan meteri-materi yang terdapat di dalamnya: ͞Agama umat Islam dibangun di atas komitmen terhadap Kitab Allah, Sunnah Nabi, dan Konsensus Umat. Tiga pondasi ini adalah pondasi yang valid. Kemudian semua permasalahan yang dipertikaikan oleh sesama anggota umat, dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya. Tidak ada siapapun yang berhak menetapkan seseorang tertentu untuk menjadi panutan mutlak Umat Islam dan menjadi poros penilaian selain Rasulullah saw. Dan tidak ada siapapun yang berhak menetapkan sebuah ucapan/kredo untuk menjadi poros peniliaian selain Ucapan Allah, Ucapan Rasul-Nya, dan Ijma' Umat. Bahkan tindakan yang demikian itu adalah tindakan para pembuat bid'ah, yang menetapkan seseorang/afiliasi tertentu maupun ucapan/konsep tertentu (selain Quran, Sunnah, dan Ijma') sebagai poros pegangan tempat ia membangun afiliasi atau penolakan (terhadap anggota Umat Islam yang lainnya).͟ (Al-Fatâwâ: XX/164). cc  P a g e.

(16) Dalam banyak kesempatan, Ibnu Taimiyyah juga mendemonstrasikan secara argumentatif, bahwa meterimateri keilmuan yang disajikan oleh Quran dan Sunnah adalah materi-materi yang sangat rasional dan sama sekali tidak menyimpan kontradiksi. Apalagi materi-materi yang dilengkapi dengan argumentasinya sebagaimana banyak terdapat dalam ayat-ayat yang berbicara tentang dalil-dalil Tauhid, Kerasulan Nabi, dan Adanya Hari Kebangkitan. Di sisi yang lain, Ibnu Taimiyyah juga menggunakan nalar kritis dan analisa rasionalnya untuk menguji dan membuktikan bahwa doktrin-doktrin Filsafat dan Ilmu KalamͶyang bertentangan atau berakibat pada penentangan materi-materi teologis yang disajikan oleh Quran dan SunnahͶadalah doktrin-doktrin yang secara konseptual tidak valid serta mengandung banyak kontradiksi, dan secara aktual tidak banyak memberi manfaat serta bahkan menimbulkan efek negatif yang berkepanjangan. Dengan basis epistemologi inilah, Ibnu Taimiyyah membangun struktur metodologi dan keilmuannya dalam segala bidang dan disiplin ilmu. Sehingga kitapun bisa menyaksikan integralitas kepribadian dan konsistensi pemikiran yang terbebas dari fanatisme buta maupun subyektifitas timpang dalam kajian-kajiannya, terutama kajian-kajian yang berkisar pada permasalahan Aqidah dan Teologi: ͞Adapun Aqidah, maka hal ini tidak diambil dari opiniku. Tidak juga dari orang yang lebih besar dariku. Akan tetapi diambil dari Allah dan RasulNya, serta dari ijma' para Salaf. Maka apa saja yang dinyatakan oleh Al-Quran, wajib kita meyakininya. Begitu juga dengan apa yang sudah tsâbit dalam hadits-hadits shahih seperti dalam Shahîhu'l Bukhârîy dan Shahîhu Muslim.͟ (munâdharah Al-Wâsithiyyah); ͞Dan aku sampai detik inipun tidak pernah mengajak seseorang dalam perkara Ushuluddin untuk mengikuti madzhab hanbaly ataupun madzhab selain hanbaly. Dan akupun tidak pernah memperjuangkan hal itu. Tidak juga aku nyatakan dalam ucapan-ucapanku. Yang aku sebutkan adalah aqidah yang sesuai dengan kesepakatan Ulama Salaf dan Aimmah Umat.͟ (Al-Fatâwâ: III/229); ͞Madzhab Ahlus Sunnah wal Jama͚ah adalah madzhab klasik yang sudah populer sebelum Allah menciptakan Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam As-Syafi'i, dan Imam Ahmad. Sebab madzhab ini adalah madzhab para Shahabat r.a. yang mereka ambil dari Nabi mereka Saw.͟ (Minhâju's Sunnah: II/601). Modal besar berupa integralitas konsep dan konsistensi pemikiran ini kemudian melahirkan rasa tsiqah yang tinggi dan menancap dalam di jiwa Ibnu Taimiyyah, sebagaimana yang ditunjukkannya ketika menantang para pembesar waktu itu dalam munâdharah Al-Wâsithiyyah: ͞Aku beri kalian tenggat waktu tiga tahun! Jika ada yang bisa mendatangkan satu kata pun dari para ulama di tiga kurun pertama yang bertentangan dengan apa yang aku sebutkan (di buku Al-Wâsithiyyah ini), maka aku akan meralat hal tersebut, dan aku harus mendatangkan nukilan-nukilan dari seluruh kalangan baik Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi'iyyah, Hanbaliyyah, Asy'ariyyah, maupun Ahlul Hadits, Shufiyyah, dan lain sebagainya yang menyebutkan ucapan-ucapan para ulama tiga kurun pertama yang sesuai dengan apa yang telah aku nyatakan!͟. Dan sampai wafat maupun sampai zaman kini, ternyata tidak ada yang berhasil memenuhi tantangan Ibnu Taimiyyah tersebut. 3.Proporsionalitas Penilaian dan Kemoderatan Sikap Kedua poin prinsipil di atas, diimbangi pula oleh Ibnu Taimiyyah dengan proporsionalitas dalam memberikan penilaian dan kemoderatan dalam bersikap. Dua hal ini berbasi pada ajaran ͞al-͚ilmu wa'l ͚adlu͟. Ilmu yang kuat akan melahirkan penilaian yang inshâf dan obyektif, sedangkan keadilan yang kuat akan menjauhkan diri c  P a g e.

(17) dari ifrâth dan tafrîth. Dua prinsip ini sering sekali ditekankan oleh Ibnu Taimiyyah dalam karya-karyanya dan dalam peristiwa-peristiwa aktual di perjalanan hidupnya : ͞Berbicara mengenai (penilaian terhadap) orang lain, haruslah atas dasar ilmu dan keadilan, bukan atas dasar ketidaktahuan dan kedzaliman sebagaimana perilaku para Ahlul Bid'ah.͟ (Minhâju's Sunnah: IV/337); ͞Dan karena pengikut para nabi itu adalah penganut Ilmu dan Keadilan, maka ucapan (penilaian) para penganut Islam dan Sunnah terhadap para penganut Kufur dan Bid'ah itu adalah atas dasar pengetahuan dan keseimbangan, bukan atas dasar dugaan dan ambisi diri͟ (Al-Jawâb Ash-Shahîh: I/107); ͞Maka kita harus mengimani semua yang datang dari Allah dan menetapkan kebenaran. Kita tidak mengikuti ambisi dan tidak juga berbicara tanpa dasar ilmu. Kita harus mengikuti jalan Pengetahuan dan Keadilan. Dan itulah jalan ittiba' Kitab dan Sunnah. Adapun orang yang menerima sebagian kebenaran dan mengingkari sebagian yang lain, maka perbuatannya tersebut merupakan penyebab perpecahan dan pertentangan͟ (Majmû' Fatâwa: IV/450). Proporsionalitas penilaian ini membuat Ibnu Taimiyyah selalu menghindari perilaku generalisasi yang serampangan. Penilaiannya terhadap sesama pegiat satu disiplin ilmu tertentu atau sesama penganut sebuah aliran tertentu, berbeda-beda sesuai dengan perbedaan latar belakang metodologis dan sosio-historis masingmasing orang. Ibnu Taimiyyah akan mempertajam penyikapan terhadap para pemimpin Bid'ah yang jelas-jelas secara sadar menentang ajaran-ajaran Islam, dan akan melunak serta mempertimbangkan berbagai macam apologi untuk tokoh-tokoh yang sekedar ͞terpengaruh͟ atau mengikuti konsep-konsep dan pernyataanpernyataan bid'ah secara tidak sadar. Penyikapannya terhadap orang-orang yang belum mengerti juga sangat kontras dengan penyikapannya terhadap orang-orang yang sudah mengerti. Demikian juga antara yang diamdiam saja dengan yang sudah melakukan propaganda, dan antara penilaian secara umum dengan penilaian secara spesifik : ͞Tidak semua orang yang menyelisihi Aqidah ini kemudian pasti akan ͚celaka'. Sebab penyelisih itu bisa saja merupakan seorang mujtahid yang akan diampuni kesalahannya oleh Allah. Atau ilmu yang sampai kepadanya belum mencapai tingkatan hujjah. Atau dia juga memiliki banyak kebaikan lain yang dengannya Allah menutupu kesalahannya ͙ Substansi dari pernyataan ini adalah bahwa barangsiapa yang meyakini Aqidah tersebut, maka dia akan selamat dalam hal Aqidah. Adapun orang yang menyelisihinya, ia bisa jadi selamat dan bisa jadi juga tidak selamat.͟; ͞Karena itu, para tokoh Ilmu dan Sunnah tidaklah serta merta mengkafirkan orang-orang yang menyelisihi mereka, meskipun orang-orang tersebut telah mengkafirkan mereka. Sebab pengkafiran adalah sebuah vonis syar'i, maka seseorang tidak boleh membalas perbuatan tersebut dengan yang serupa. Sebagaimana orang yang berusta atas nama Anda dan berzina dengan keluarga Anda juga tidak boleh Anda balas dengan balik berdusta atas nama dia dan berzina dengan keluarganya, sebab dusta dan zina itu terlarang karena hak Allah. Begitu juga dengan pengkafiran, perbuatan ini juga terlarang karena hak Allah. Maka kita tidak boleh mengkafirkan siapapun kecuali orang-orang yang memang telah dikafirkan oleh Allah dan Rasul-Nya. ͟ (ArRaddu ͚Ala'l Bakry: II/492); ͞Semua orang yang pernah berkumpul denganku tahu persis bagaimana sikapku, bahwa aku termasuk orang yang paling getol melarang tindakan pengkafiran, pemfasikan, maupun pengecapan maksiat terhadap seseorang secara spesifik, kecuali jika memang telah diketahui dengan jelas bahwa telah ditegakkan atasnya sebuah hujjah risâliyyah (persidangan atau argumentasi tegas yang spesifik) di mana orang yang menentangnya memang sudah bisa dinyatakan sebagai kafir, fasik, ataupun pelaku maksiat. Dan telah aku cÒ  P a g e.

(18) tegaskan bahwa Allah Swt. akan mengampuni kekeliruan (tidak sengaja) yang terjadi di umat ini, baik kekeliruan dalam permasalahan informatif (keyakinan) maupun kekeliruan dalam permasalahan praksis (perbuatan) ͙ Dan telah aku jelaskan kepada mereka bahwa riwayat-riwayat dari Salaf yang menyatakan bahwa ͚barang siapa yang mengatakan demikian atau demikian berarti telah kafir' itu adalah pernyataan yang benar. Akan tetapi harus dibedakan antara menghukumi kafir secara global (terhadap sebuah perkataan) dengan mengarahkan vonis kafir pada seseorang secara spesifik.͟ (Fatâwâ: III/230) Prinsip ini juga membuat Ibnu Taimiyyah selalu mengakui dan menerima kebenaran dari manapun datangnya, serta menolak kekeliruan dari manapun hal itu berasal. Kemudian juga mengakui jasa-jasa para penganut bid'ah tersebut dalam usahanya memperjuangkan Islam menghadapi musuh dari luar: ͞Semestinya, setiap hal baik yang dilakukan kalangan manapun harus dipuji sebagaimana keadaan itu memang dipuji oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Quran dan Sunnah. Dan setiap hal buruk yang dilakukan oleh kalangan manapun juga harus dicela sebagaimana keadaan itu telah dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Quran dan Sunnah.͟ (Al-Istiqâmah: I/221); ͞Banyak juga kalangan mubtadi'ah baik Rafidhah, Jahmiyyah, maupun yang lainnya yang pergi ke negeri-negeri kaum kafir dan kemudian di tangan mereka, banyak orang kafir yang masuk Islam. Orang-orang muallaf ini pun mendapatkan manfaat dari jasa mereka dan kemudian menjadi orang muslim yang menganut bid'ah. Dan hal ini tentu lebih baik daripada mereka tetap menjadi kafir͟ (Daqâiqu't Tafsîr: II/143); ͞Allah Ta'ala telah memerintahkan kita untuk tidak mengatakan selain kebenaran dan tidak mengatakan sesuatu melainkan atas dasar ilmu. Dan Dia telah memerintahkan kita untuk berlaku adil serta seimbang. Maka jika ada orang Yahudi atau Nasrani, apalagi orang Rafidhi, yang mengatakan sesuatu kepada kita di mana sesuatu itu mengandung kebenaran, kita tidaklah boleh untuk meninggalkannya atau menolaknya secara keseluruhan. Akan tetapi kita harus menerima kebenaran yang ada di dalam perkataannya dan menolak kekeliruan yang ada di dalamnya.͟ (Minhâju's Sunnah: II/342); Pandangan yang proporsional ini juga diterapkannya dalam memandang Asy'ariyyah sebagai sebuah sekte yang berisi orang-orang terkemuka yang tentunya jauh lebih baik daripada Mu'tazilah dan Syi'ah, apalagi Jahmiyyah dan Falasifah; ͞Maka mereka merupakan kalangan sekte Kalam yang paling dekat dengan Ahlus Sunnah wal Jama'ah dan Ahlul Hadits. Bahkan, mereka terhitung sebagai bagian dari Ahlus Sunnah jika dibandingkan dengan Mu'tazsilah, Rafidhah, dll. Bahkan merekalah tokoh-tokoh Ahlus Sunnah wal Jama'ah di daerah-daerah yang para tokoh bid'ahnya adalah Mu'tazilah, Rafidhah, dan sejenisnya͟ (Naqdlu't Ta'sîs: II/87); ͞Kullabiyyah dan Asy'ariyyah lebih baik daripada mereka (Jahmiyyah, Najjariyyah, dan Dlarariyyah) dalam permasalahan Shifat. Sebab mereka menetapkan shifat-shifat ͚aqliyyah, dan para pemuka mereka juga secara umum menetapkan shifat-shifat khabariyyah͟ (Ar-Risâlâh At-Tadmuriyyah); ͞Asy'ariyyah itu lebih baik daripada Muktazilah dan Rafidhah di mata orang-orang yang paham apa yang ia katakan dan takut kepada Allah dalam apa yang ia ucapkan͟ (Minhâju's Sunnah: I/313); ͞Kemudian tidak satupun dari mereka (para pemuka Asya'irah), melainkan semuanya pernah punya jasa terpuji untuk Islam dan kebaikan-kebaikan yang bagus. Mereka juga punya jasa dalam membantah banyak pelaku Ilhad dan Bid'ah, serta dalam membela banyak Ulama Sunnah dan Aimmah Agama sebagaimana jamak diketahui oleh siapapun. cV  P a g e.

(19) yang mengenal mereka dan menilai mereka secara proporsional dan atas dasar pengetahuan. ͟ (Dar'u't Ta͚ârudl: I/283); Dan proporsionalitas serta kecermatan penilaian inipun juga diterapkan Ibnu Taimiyyah untuk kalangan Muktazilah, Syi'ah, dan Falasifah itu sendiri: ͞Dan tidak diragukan lagi bahwa Muktazilah itu lebih baik dibandingkan Rafidhah dan Khawarij ͙ Mereka (Muktazilah) itu suka menetapi kejujuran sebagaimana Khawarij dan tidak suka melakukan kedustaan sebagaimana yang dilakukan oleh Rafidhah; di samping mereka juga tidak membolehkan tuntutan merdeka dan memisah dari negara Islam sebagaimana yang dilakukan oleh Khawarij. Dan mereka mempunyai jasa dalam menulis buku-buku Tafsir Al-Quran serta dalam membela Rasulullah Saw. Mereka juga memiliki banyak kebaikan yang membuat mereka lebih utama dibandingkan Khawarij dan Rafidhah͟ (Daqâ'idu't Tafsîr: II/144); ͞Dan di dalam kalangan Rafidhah ada pula yang rajin beribadah, menjaga wara', dan menempuh kezuhudan. Akan tetapi dalam hal itu mereka tidak sampai seperti sesama kalangan Ahlul Ahwâ' (ekstrim) lainnya. Sebab kalangan Muktazilah lebih cerdas dari mereka dan lebih dalam ilmunya serta lebih kuat keberagamaannya. Kedustaan dan kejahatan di kalangan Muktazilah juga lebih ringan daripada yang terdapat di kalangan Rafidhah. Kalangan Syi'ah Zaidiyyah juga lebih baik dari kalangan Rafidhah ini serta lebih dekat kepada kejujuran, ilmu, dan keadilan. Dan di antara sesama Ahlul Ahwa' yang ekstrim itu, tidak ada yang lebih kuat kadar kejujuran dan keberagamaannya dari kalangan Khawarij.͟ (Minhâju's Sunnah: V/157); ͞Ibnu Sina tumbuh hidup di antara kalangan Mutakallim yang menafikan shifat (Muktazilah), sedangkan Ibnu Rusyd tumbuh di antara kalangan Kullabiyyah, dan Abul Barakat tumbuh di Baghdad di antara kalangan Ulama' Sunnah. Sehingga kadar jauh-dekatnya masing-masing orang ini dari kebenaran adalah sesuai dengan kadar jauh-dekatnya masing-masing orang ini dari tradisi yang (diwariskan oleh) Rasulullah (yang mereka ketahui melalui orang-orang di sekitarnya)͟ (Dar'ut Ta͚ârudl: VI/248); ͞Ibnu Sina, Ibnu Rusyd, dan Abul Barakat dan para Falasifah yang seperti mereka itu lebih dekat kepada tradisi yang shahîh dan rasio yang valid dibandingkan para Falasifah mulhid yang secara dusta telah menafikan Ilmu Allah͟ (Dar'u't Ta͚ârudl: X/82); Begitu juga halnya dalam memandang para ulama populer yang biasa diasosiasikan ke dalam barisan Ahlus Sunnah wal Hadits tapi ternyata juga masih menganut beberapa konsep-konsep teluran Ilmu Kalam. Ibnu Taimiyyah (Dar'u't Ta͚ârudl: 3/303) memilah penilaian terhadap kalangan ini secara spesifik dan tidak melakukan generalisasi. Sebab ada (1) kalangan yang tidak begitu menyelami kajian-kajian rasional dan lebih banyak taklidͶkarena husnu'dh-dhonͶkepada para konseptor Mutakallimin; baik (a) yang dominan taklidnya seperti Ibnu Hibban, Abu Sa'd As-Samman Al-Mu͚tazily, Abu Dzar Al-Harawy, Abu Bakr Al-Bayhaqy, Al-Qadly ͚Iyadl, Ibnul Jauzy, dan Ali Al-Maqdisy; (b) yang kemudian melakukan kajian langsung semisal Ibnu Hazm, Abul Walid Al-Baji, dan Abu Bakr Ibnul ͚Araby; maupun (c) yang berangkat dari konsep-konsep dasar Ilmu Kalam dan berusaha memadukannya dengan teks-teks Quran dan Sunnah tanpa bisa membedakan antara riwayat yang shahih dengan yang dla͚îf semisal Ibnu Furak, Abu Ya'la, dan Ibnu ͚Aqil. Dan ada juga (2) yang punya pengalaman besar dan merupakan konseptor utama dalam Ilmu Kalam seperti Abul Hasan Al-Asy'ary beserta murid-muridnya semisal Abu Bakr Al-Baqillany dan Abu Ishaq Al-Isfirayiny.Demikian juga halnya dalam memandang aneka buku. Ibnu Tamiyyah, misalnya, mengatakan secara klasifikatif (Sarhu'l ͚Aqîdah Alcý  P a g e.

(20) Asfahâniyyah: I/184) bahwa terdapat perjenjangan kualitas isi dalam buku-buku sesuai coraknya: (1) Bukubuku Tashawwuf dan Fiqih yang mencampur antara riwayat-riwayat shahîh dan dla͚îf serta opini-opini shahîh dan dla͚îf; (2) buku-buku Kalam yang kuantitas kekeliruan isi-isi ajarannya lebih besar; serta (3) buku-buku Filsafat yang lebih didominasi oleh pandangan-pandangan bâthil dan bahkan ajaran-ajaran kekufuran. Dan dalam penyikapannya secara aktual ketika berhadapan dengan para tokoh Kalam dan para pengiikut sektesekte Kalam, Ibnu Taimiyyah membedakan antara posisi berdebat dan berbantahan yang tentunya membutuhkan ketegasan dan perincian, dengan ketika dalam posisi berdakwah dan mengajarkan kebenaran sebagaimana bisa kita telaah secara langsung dalam surat-surat personalnya ke beberapa tokoh waktu itu. 4.Kematangan Karakter dan Spirit Perbaikan Di saat mendadak dikeroyok oleh sekian banyak orang di bawah pimpinan Ibnu Makhluf, Ibnu Taimiyyah justru tetap tenang tak bergeming. Dan dengan tegas bertanya balik kepada Ibnu Makhluf, ͞Bagaimana mungkin Anda akan menjadi hakim untuk saya sedangkan Anda sedang bertikai dengan saya?!͟. Ketika Ibnu Makhluf mendadak marah dan kebingungan menjawab, Ibnu Taimiyyah justru memberinya kesempatan: ͞Baiklah. Saya rela Anda menjadi hakim untuk persidangan ini!͟. Begitu juga ketika kembali ke Mesir dari Syam hasil persidangan Syawal 707H, ketiga hakim yang berwenang menghukumi Ibnu Taimiyyah waktu ituͶBadruddin Ibnu Jama'ah, Syamsuddin At-Tunisi, dan Nuruddin Az-ZawawiͶkebingungan karena harus menuruti kehendak pemerintah untuk memenjarakan Ibnu Taimiyyah sementara tidak ada bukti apapun untuk tuntutan yang diajukan. Maka spontan Syaikul Islam memilihkan sebuah keputusan untuk mereka : ͞Saya akan pilih saja untuk dipenjara demi kemaslahatan semua orang!͟. Kematangan mental ini sering sekali nampak dalam situasi-situasi yang sangat menegangkan. Seperti ketika dengan tegas selepas Shalat Istikharah beliau menantang para penyihir Batha'ihiyyah untuk sama-sama masuk ke kobaran api demi membuktikan siapa yang benar dan sesuai dengan sunnah. Tapi akhirnya, kelompok tersebut hanya bisa mundur dan beralasan bahwa ͞karâmah͟ mereka hanya bisa ditunjukkan di hadapan bangsa Tartar dan bukan di hadapan tokoh Islam. Kemantapan karakter dalam diri Ibnu Taimiyyah juga sangat nampak dalam situasi pertempuran yang sangat menegangkan. Semangatnya untuk membangkitkan gelora jihad kepada para penguasa Syam dan Mesir kala itu diiringi dengan datang langsung untuk ͞menceramahi͟ Qazan, seorang panglima Tartar yang terkenal sangat ganas. Dan Qazan pun hanya diam terheran-heran. Firasatnya yang tajam juga membuahkan ke-tsiqah-an kuat bahwa dalam perang Syaqhab, kemenangan akan diraih oleh Umat Islam. Ibnu Taimiyyahpun bersumpah untuk kemenangan itu dan mengatakan ͞innakum fî hâdzihi'l kurrati manshûrûn!͟. Ketika disuruh untuk mengatakan ͞insyâallah͟, Ibnu Taimiyyah menyahut, ͞insyâallâhu tahqîqan lâ ta͚lîqan!͟. Sejarahpun mencatat, bahwa dalam perang ini, bangsa Tartar terhempas habis-habisan dan selepas itu tidak pernah lagi mengjangkau Syam maupun Mesir. Stabilitas jiwa seperti ini ternyata terbangun dari sebuah keyakinan kuat akan hakekat kemapanan: ͞Apakah gerangan yang ingin dilakukan oleh orang-orang yang memusuhiku?! Sementara taman syurgaku ada di dalam dadaku. Di mana saja aku berada ia selalu bersamaku, dan tak pernah meninggalkanku. Jika aku dibunuh, maka pembunuhan itu adalah kesyahidan bagiku. Jika aku dipenjara, maka penjara itu adalah ketenangan untukku. Jika pun aku diusir, maka pengusiran itu akan menjadi perjalanan tamasya bagi diriku.͟. c  P a g e.

(21) Dengan kematangan jiwanya inilah, Ibnu Taimiyyah menyadari penuh bahwa usaha yang ia kerahkan haruslah difokuskan pada usaha-usaha yang memang sangat dibutuhkan dan berpotensi untuk menghasilkan perbaikan yang berarti. Semua buku-buku Ibnu Taimiyyah tidak ditulisnya tanpa alasan, akan tetapi karena memang merupakan sebuah tuntutan kondisi yang sangat diperlukan: ͞Dan adapun mengenai buku-buku, aku tidak pernah memulai menulisnya kepada siapapun secara langsung untuk mengajaknya mengikuti sesuatupun mengenai hal itu. Akan tetapi buku-buku itu aku tulis sebagai jawaban untuk orang yang bertanya kepadaku, baik dari warga Mesir maupun luar Mesir ͙ Maka kemudian aku menjawab mereka dengan Al-Quran, As-Sunnah, dan aqidah Salaful Ummah.͟ (munâdharah AlWâsithiyyah). Mayoritas buku-buku, risalah-risalah, dan fatwa-fatwa yang dicantumkan dalam Majmû͚ Fatâwâ-nya adalah jawaban-jawaban untuk berbagai pertanyaan dan permintaan dari aneka daerah. Begitu juga dengan bukubuku besarnya seperti Al-Jawâbu'sh Shahîh, Dar'u't Ta͚ârudl, Minhâju's Sunnah, Naqdlu't Ta'sîs, AsShafadiyyah, Ar-Raddu ͚Ala'l Manthiqiyyîn, dan At-Tis͚îniyyah yang kesemuanya merupakan kritik untuk sebuah buku lain yang mengandung kekeliruan atau penjelasan untuk sebuah permasalahan penting yang belum diulas orang secara mendetail dan akurat. Aspek prioritas ini pulalah yang menyebabkan Ibnu Taimiyyah menolak untuk menulis buku Tafsir rinci yang menyeluruh ataupun untuk mengkodifikasikan ijtihad-ijtihad Fiqih-nya secara terangkai dalam sebuah karya sebagaimana diminta oleh Ibnu Risyayyaq. Karena Ibnu Taimiyyah melihat bahwa karya-karya Tafsir dan Fiqih yang menyeluruh telah cukup banyak, maka Ibnu Taimiyyah memfokuskan penekanan pada ayat-ayat yang pemahamannya masih cukup kontroversial di antara berbagai kalangan dan pada permasalahan-permasalahan Fiqih yang masih sangat debatable antar madzhab-madzhab yang ada semisal permasalahan talak tiga, talak yamin, qadlâ' shalat, berbekam ketika puasa, ziyarah kubur, manasik haji, dan tawafnya wanita haidh. Nalar prioritas dan spirit perbaikan ini juga membuat Ibnu Taimiyyah bekerja keras untuk menyatukan perbedaan dan pertentangan yang terjadi di masanya antara sesama Umat Islam dalam bingkai Al-Quran dan As-Sunnah: ͞Orang-orang tahu bahwa sebelumnya ada kesenjangan serta ketidakharmonisan antara Hanbaliyyah dengan Asy'ariyyah. Dan aku termasuk orang yang paling getol memperjuangkan terwujudnya persatuan dan keharmonisan hati antar sesama muslim, seraya mengikuti ajaran yang diperintahkan kepada kita berupa keteguhan memegang agama Allah. Akupun berusaha menghilangkan kesenjangan yang ada di antara perasaan mereka, dan aku jelaskan kepada mereka bahwa Al-Asy'ari adalah termasuk pembesar Ilmu Kalam yang berafiliasi ke Imam Ahmad serta yang berusaha untuk membela dan memperjuangkannya ͙ Para imam klasik Hanbaliyyah seperti Abu Bakr Abdul Aziz dan Abul Hasan At-Tamimi juga menyebutkan ucapan Al-Asy'ari dalam buku-buku mereka. Bahkan posisi Al-Asy'ari bagi mereka waktu itu adalah seperti posisi Ibnu ͚Aqil di kalangan Muta'akhkhirin Hanbaliyyah. Hanya saja Ibnu ͚Aqil punya kelebihan spesialisasi di bidang Fiqih dan Ushul Fiqih, sedangkan Al-Asy'ari punya kelebihan kedekatan konsepsi aqidah dengan Imam Ahmad dibanding Ibnu Aqil. Sebab semakin dekat seseorang dengan Salaf, semakin kuat pula wawasan ͚aqly dan naqly-nya ͙ Dan begitu aku tunjukkan pernyataan aqidah Al-Asy'ary kepada orang-orang Hanbaliyyah, mereka pun berkata : ͚Ini lebih bagus daripada yang dinyatakan oleh Ibnu Qudamah!'. Orang-orang pun akhirnya bahagia dengan terwujudnya kembali nilai keharmonisan antara kedua kalangan ini.͟ (Al-Fatâwa: III/227 dst.) Ibnu Taimiyyah juga dikenal sebagai cendekiawan yang memiliki basis spiritual yang sangat kuat, baik dalam melakukan Ibadah maupun dalam memandang sesuatu peristiwa. Ia terbiasa duduk berjam-jam untuk berdzikir selepas Shalat Shubuh sampai pertengahan siang. Ibnu Qoyyim pernah bertanya mengenai hal ini, dan ia pun menjawab ringan : ͞Inilah sarapanku. Jika tidak aku konsumsi sarapan ini, maka kekuatanku akan meruntuh!͟. Maka tidak heran, jika kemudian basis ibadah dan spiritual yang kuat ini melahirkan fikiran cemerlang yang selalu melihat sisi-sisi positif dari setiap kejadian dan peristiwa yang dihadapinya. Ketika c  P a g e.

(22) diputusi hukuman penjara, Ibnu Taimiyyah justru membaca ayat (Al-Hadîd:13) yang artinya ͞dan mereka kemudian ditutupi oleh pagar yang berpintu, di mana di dalamnya terhadap rahmat dan dari arah luarnya adalah siksaan͟. Dan ketika dibebaskan oleh Sultan dengan sangat mulia serta diajak berunding untuk menghabisi mantan musuh-musuhnya, Ibnu Taimiyyah justru menentang rencana tersebut dan mengatakan: ͞Kalau Anda menghabisi mereka, maka Anda tidak akan punya lagi orang-orang yang sehebat mereka!͟. Ia bahkan menyatakan: ͞Kalaulah seseorang itu layak berterima kasih kepada orang yang telah berbuat jahat kepadanya, maka aku pasti akan berterima kasih kepada semua orang yang menyebabkan peristiwa (pemenjarahannya) ini terjadi!͟. Fikiran Ibnu Taimiyyah menelisik ke sisi positif dari hukuman penjara, yaitu tersedianya waktu yang sangat luang untuk berkonsentrasi ibadah, tadabbur Al-Quran, dan menulis buku-buku; tiga hal yang memang merupakan taman syurga bagi para mukmin sejati. Fikiran dan sikap positif ini telah memberinya sebuah hasil brilian berupa perolehan ilmu mengenai makna-makna mendalam dari ayat-ayat Al-Quran yang ͞kâna aktsaru'l ͚ulamâ' yatamannawnahâ͟, juga memberikannya hasil karya-karya hebat penuh manfaat dalam kadar kuantitas dan kualitas yang sangat prima. Bahkan ketika semua buku, kertas, tinta, dan alat-alat tulis yang tersedia di kamar penjaranya di Damaskus dikeluarkan dengan paksa oleh pemerintah, Ibnu Taimiyyah justru menjadikan momen-momen terakhir dari usianya tersebut untuk konsentrasi beribadah dan mengkhatamkan Al-Quran sampai lebih dari 80 kali. Dan selepas datangnya ajal sampai era sekarang, nilai spiritual yang telah dibangun dan diteladankannya terus terpampang cerah dalam bentang panjang sejarah Umat Islam. '! . ) ,, - $( Banyak karya-karya Ibnu Taimiyyah yang memfokuskan kajian pada permasalahan-permasalahan Aqidah. Kebanyakan buku-buku itu berangkat dari sebuah permasalahan besar yang spesifik, lalu diperkaya dengan pemaparan historis sekian banyak pendapat berbagai kalangan beserta argumentasi masing-masing, kemudian diperdalam dengan analisa mendetail dan komparasi yang tajam atas berbagai argumentasi tersebut, lalu ditunjukkan pendapat yang paling kuat dengan mendemonstrasikan hujjah-hujjah universal maupun spesifiknya disertai dengan jawaban atas berbagai istisykâlât dan i͚tirâdlât. Di sela-sela kajian itu, Ibnu Taimiyyah juga sering memeprkayanya dengan berbagai istithrâdât ke berbagai aspek, atau memberi ihâlât (referensi) ke karya-karya yang lain yang sebelumnya sudah populer. Berikut beberapa buku utama Ibnu Taimiyyah yang berkisar pada tema-tema Aqidah : 1. Kitâbu'l Îmân. Buku ini ada dua macam, Al-Îmân Al-Kabîr dan Al-Îmân Al-Awsath. Keduanya membahas tentang hakekat iman dan kaitannya dengan amal. Buku ini merupakan kajian untuk masalah al-asmâ' wa'l ahkâm yang sangat erat dengan kritik dan koreksi terhadap konsep-konsep ala Murji'ah dan Khawârij. 2. Naqdlu'l Manthiq dan Nashîhatu Ahli'l Îmân fi'r Raddi ͚Alâ Manthiqhi'l Yûnân (atau yang lebih dikenal dengan sebutan Ar-Raddu ͚Alâ'l Manthiqhiyyûn). Buku spektakuler ini merupakan analisa mendetail sekaligus kritik konstruktif terhadap berbagai konsep-konsep dan doktrin-doktrin Logika dalam Ilmu Manthiq, yang dalam zaman modern bisa disaksikan sebagian manifestasinya para reformasi logika aristotelian yang terjadi di Barat sejak masa Francis Bacon. 3. Ar-Risâlah Ash-Shafadiyyah. Buku besar ini menjawab konsepsi ala Falasifah, Qaramithah, dan Bathiniyyah yang menyatakan bahwa kenabian dan mukjizat para Nabi adalah berangkat dari ͞potensi-potensi psikologis prima͟ dan bukan berasal dari wahyu sebagaimana diyakini Umat Islam. Tema utama lainnya dari buku ini adalah bantahan terhadap doktrin Filsafat mengenai qidamu'l ͚âlam dan teori emanasi.. c×  P a g e.

(23) 4. Kitâbu'n An-Nubuwwât. Tema utama buku ini hampir serupa dengan Ash-Shafadiyyah. Akan tetapi, materi kajiannya lebih terfokus pada kajian atas konsepsi Mutakallimin tentang permasalahan ͞mukjizat͟ dan argumentasi kenabian yang banyak menjadi polemik panjang antara berbagai sekte Ilmu Kalam. Buku ini juga mengulas beberapa kajian mengenai argumentasi kosmologis keberadaan Pencipta ala Mutakallimin. 5. Dar'u Ta͚ârudli'l ͚Aqli wa'n Naqli (atau Bayân Muwâfaqati Sharîhi'l ͚Aqli li Shahîhi'n Naqli, atau juga dikenal dengan ͞Al-͚Aqlu wa'n Naqlu͟). Inilah buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang berbicara tentang berbagai permasalahan Aqidah terkait dengan Filsafat, Ilmu Kalam, dan Tashawwuf. Dalam nûniyyah-nya, Ibnul Qayyim Al-Jauziyah menyebut buku ini sebagai ͞tidak ada duanya di dunia͟. Ratusan referensi Kalam dan Filsafat dari berbagai aliran dikutip oleh Ibnu Taimiyyah dan dianalisa detail secara rasional seraya melakukan komparasi dengan ayat-ayat Al-Quran, hadits-hadits Rasulullah, dan berbagai atsar Salaf maupun buku-buku dari para Aimmah, Fuqaha', dan Muhadditsin. Buku ini menegaskan keselarasan antara naql shahîh (tradisi yang valid) dengan 'aql sharîh (rasio yang akurat) dan merontokkan postulat fiktif taqdîmu'l ͚aqli ͛alâ'sy syam͚î seraya menegaskan konsep metodologis ͞taqdîmu'sh shahîhi ͛alâ's saqîm wa tarjîhu'sh sharîhi ͚alâ'sy subuhât͟. 6. Minhâju's Sunnah An-Nabawiyyah fi Naqdli Kalâmi'sy Syî͚ah wa'l Qadariyyah. Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengulas tentang doktrin-doktrin Syi'ah dan Rafidlah. Buku yang merupakan jawaban dan koreksi terhadap buku berjudul Minhâjul Karâmah tulisan Ibnul Muthahhar Al-Hilly ini juga mengandung banyak sekali konsep-kosep Epistemologi, Metodologi, Adabu'l Bahtsi wa'l Munâdharah, Fiqih Dakwah, dan berbagai pedoman pergerakan serat kajian sosio historis terhadap berbagai fenomena sosial, politik, militer, dan budaya yang menyelimuti Umat Islam berbagai zaman. Sebagian porsi buku ini juga diisi oleh kajian serupa yang disoroti oleh Dar'u't Ta͚ârudl. 7. Bayânu Talbîsi'l Jahmiyyah fî Ta'sîsi Bida͚ihimu'l Kalâmiyyah (yang lebih dikenal sebagai Naqdlu't Ta'sîs atau Naqdlu Asâsi't Taqdîs). Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengkritisi kaedah-kaedah dan doktrin-doktrin Ilmu Kalam secara terperinci. Buku ini mengulas konsep-konsep Ilmu Kalam kalimat perkalimat secara analitis dari buku Asâsu't Taqdîs yang ditulis oleh Ar-Razi. Meskipun buku ini belum sepenuhnya selesai ditulis, berbagai kajian yang dipaparkannya sudah sangat mendalam dan meluas mencakup kajian terhadap berbagai buku-buku Kalam lainnya di tema yang sama. 8. At-Tis͚îniyyah. Ini buku terbesar Ibnu Taimiyyah yang mengulas permasalahan ͞Kalam Allah͟. Buku yang ditulis Ibnu Taimiyyah di hari-hari terakhirnya ini berisi sembilan puluhan argumentasi untuk membantah doktrin ͞Kalâm Nafsî͟ ala Kullâbiyyah dan Asy͚ariyyah. Meskipun manuskripnya tidak ditemukan secara lengkap, versi cetakan tiga jilid buku ini telah memuat berbagai hujjah tajam dan revivalisasi kajian yang menunjukkan secara obyektif bahwa kredo Salaf ͞Al-Qur'ânu Kalâmullah Ghairu Makhlûq͟ tanpa menyatakannya qadim dan tanpa menafikan huruf-hurufnya adalah konsepsi yang paling rasional dan paling sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah. 9. Al-Istiqâmah. Buku ini terutama berbicara tentang Sunnah dan Bid'ah dalam masalah-masalah ͚amaliyyah. Jadi isi buku ini lebih ditujukan kepada kalangan Shufiyyah, terutama kalangan penganut ͞Tashawwuf Falsafy͟. Buku ini terutama juga memberikan banyak komentar, kritik, dan koreksi terdalah Risâlah Qusyairiyyah, salah satu buku paling populer dalam dunia Tashawwuf Mutaakhkhirin. 10. Iqtidlâ'u'sh-Shirâtha'l Mustaqîm fî Mukhalafati Ahli'l Jahîm. Buku ini mengkaji mengenai aturan-aturan agama yang berkaitan dengan mukhâlafatu'l yahûd wa'n nashârâ wa'l musyrikîn dalam hal-hal yang terkait dengan adat-istiadat, perayaan-perayaan keagamaan, mode dan budaya, serta berbagai perbandingan ajaran. cî  P a g e.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi tidak mungkin dibendung. Tentunya banyak membawa pengaruh positif terhadap kehidupan manusia, tetapi dampak negatif

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa karya ilmiah yang berjudul: “Analisis Pengaruh Kualitas Layanan dan Penerimaan Nasabah Pengguna Layanan Perbankan Berbasis

Efek yang ditimbulkan dari strategi komunikasi Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi IAIN Imam Bonjol Padang adalah efek kognitif yaitu siswa menjadi tahu dengan Fakultas Dakwah dan

I’tishom, keduanya bagian dari shohih al-Bukhori. Kitab Ta’wiel Musykil al-Qur`an dan kitab Ta’wiel Mukhtalaf al-Hadits keduanya karya Ibnu Qutaibah. Dan kitab lainnya

Berdasarkan uraian di atas, dapat dikatakan bahwa hakekat religiusitas (Islam) yang selalu dilekatkan pada masyarakat kita, disadari atau tidak, sesungguhnya hanyalah atribut

Dalam bidang Ilmu Sains, Teknologi dan Sosial, kontribusi ilmuan muslim tidak kalah penting dari ilmuan Barat, mereka terdiri dari Ibnu Khaldun (ahli sejarah, ekonomi

Jika pemanasan Global ini terjadi maka efek yang ditimbulkan bukan hanya di alami oleh manusia saja tetapi juga semua makhluk hidup di sekitarnya, seperti meningkatnya suhu di

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al- Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah