• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK dan Kewajiban Wanita dalam Islam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "HAK dan Kewajiban Wanita dalam Islam"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH AGAMA

HAK DAN KEWAJIBAN WANITA DALAM ISLAM

D

I

S

U

S

U

N

OLEH:

WAN INDY AZKA ARBELLA

Kelas XII IIS 3

SMA NEGERI 2 TEBING TINGGI

2015

(2)

Assalamu’alaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh..

Puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, Allah Subhanahu wata’ala beserta junjungan kita Rasulullah Muhammad SAW yang telah memberikan rahmat dan nikmat hidup serta kesehatan sehingga kita dapat menjalankan kewajiban dunia dan membekali diri kita di akhirat kelak. Nikmat yang diberikan-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah agama, yang berjudul “Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam”.

Saya pribadi sebagai seorang wanita muslim, ketika menyusun makalah ini sangat tertegun, dikarenakan banyak sekali kewajiban saya sebagai wanita islam yang masih saya langgar. Seakan membuat makalah ini menjadi hidayah tersendiri bagi saya, untuk mengetahui batas – batas saya sebagai seorang muslimah, dan menaati berbagai aturan dari-Nya demi menjaga kehormatan, dan kesucian diri saya pula.

Saya pribadi, berterima kasih kepada guru agama saya di SMA Negeri 2 Kota Tebing Tinggi, Ibu Rahimah yang telah memberikan tugas membuat makalah ini sehingga saya bisa menambah ilmu pengetahuan agama saya. Dan berterima kasih kepada para blogger yang sudah banyak ilmunya mengenai Hak Kewajiban Wanita dalam Islam, yang tertuang dalam blog milik mereka masing – masing.

Makalah ini tentunya masih banyak sekali kekurangannya. Saya harap, makalah saya ini bisa menambah wawasan para pembaca mengenai Hak dan Kewajiban Wanita dalam Islam, dan dapat membuka hidayah bagi kita semua, dan tentunya bermanfaat bagi kita agar dapat kita terapkan dan kita amalkan di dalam kehidupan kita sehari – hari, khususnya bagi para muslimah

Saya juga berharap agar pembaca memberi tanggapan pada karya dari makalah saya agar kedepannya, saya dapat memperbaiki kesalahan atau kekhilafan yang ada dalam makalah saya ini. Akhir kata, saya ucapkan terima kasih. Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh..

Tebing Tinggi, 7 November 2015 (20 Sura 1949 Hijriah)

Wan Indy Azka Arbella

(3)

KATA PENGANTAR --- ii

DAFTAR ISI --- iii

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang --- 1

B. Maksud dan Tujuan --- 1

BAB II HAK WANITA DALAM ISLAM --- 2

1. Hak Wanita pada Masa Kanak – kanak --- 2

2. Hak Wanita Sebagai Istri --- 3 - 8 3. Hak Wanita Sebagai Seorang Ibu --- 8 - 9 4. Hak Waris Wanita --- 9

5. Hak Wanita dalam Menuntut Ilmu --- 10

BAB III KEWAJIBAN WANITA DALAM KEDUDUKANNYA BERDASARKAN ISLAM --- 11 - 13 BAB IV Tokoh Tokoh Wanita Muslimah --- 14

 Siti Khadijah --- 14

 Siti Aisyah --- 14

 Sumayyah --- 14

 Nusaibah, Si Jago Pedang --- 14

 The Black Rider, Khaulah Binti Azur--- 15

 Nailah, Si Cantik yang Pemberani --- 16

 Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Islam Pertama--- 16

BAB V PENUTUP --- 17

Kesimpulan --- 17

DAFTAR PUSTAKA --- 18

(4)

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Agama Islam yang sangat erat dengan tradisi bayani seperti yang diungkapkan oleh Abid al-Jabiri sebagai salah satu epistemologi ilmu di dalam dunia Islam, dan al-Qur’an yang dinilai sebagai teks yang shalihun likulli zaman wa makan merupakan kamus hidup bagi kehidupan beragama seorang muslim di manapun ia berada.

Hak adalah hak-hak yang melekat pada setiap manusia, yang tanpanya manusia mustahil dapat hidup sebagai manusia. Hak hidup misalnya, adalah klaim untuk memperoleh dan melakukan segala sesuatu yang dapat membuat seseorang tetap hidup, karena tanpa hak tersebut eksistensinya sebagai manusia akan hilang. Selain itu, john loke juga mendefinisikan bahwa hak adalah hak-hak yang diberikan langsung oleh tuhan YME sebagai sesuatu yang bersifat kodrati.1

Sedangkan kewajiban berasal dari bahasa arab yaitu wajib, yang berarti sesuatu yang apabila dilaksanakan mendapat pahala dan berdosa jika ditinggalkan. Mendapat awalan ’me’ dan akhiran ’an’ kewajiban disini selanjutnya ialah sesuatu yang wajib dilakukan oleh seseorang dalam waktu, kondisi dan keadaan tertentu.

Dalam realitas sosial yang terjadi dimasyarakat zaman sekarang seperti yang kita ketahui dari media-media yang ada seperti media elektronik, cetak dan yang lainnya banyak sekali keluarga yang mengalami perceraian ataupun perzinahan. Diantara sebab-sebab yang mengakibatkan perceraian tersebut aslah satunya adalah tidak terpenuhinya hak-hak dan kewajiban antara suami dan istri serta sebagai muslimin dan muslimat.

Akan tetapi islam datang untuk mengatur hubungan antara dua orang tersebut. Dengan demiikan maka dibuatlah ketentuan bagi mereka berdua hak-hak atas lainnya, dan juga dibuatlah undang – undang yang berasaskan atas syariat Islam.

B. Maksud dan Tujuan

1. Memahami beberapa hak wanita dalam Islam. 2. Mengetahui kedudukan wanita dalam Islam.

3. Mengetahui beberapa kewajiban wanita Islam di dalam kedudukannya

4. Mengetahui dalil – dalil dan pembuktian mengenai hak dan kewajiban wanita dalan hukum Islam.

5. Mengetahui sanksi pelanggaran terhadap kewajiban wanita Islam dalam kedudukannya.

6. Lebih mengenal tokoh – tokoh wanita islam yang menjalankan kodratnya sebagai muslimah.

7. Menambah wawasan serta hidayah mengenai ilmu yang diambil dalam bahan makalah ini.

(5)

HAK WANITA DALAM ISLAM

5. Pada Masa Kanak-kanak

Di masa jahiliah tersebar di kalangan bangsa Arab khususnya, kebiasaan menguburkan anak perempuan hidup-hidup karena keengganan mereka memelihara anak perempuan. Lalu datanglah Islam mengharamkan perbuatan tersebut dan menuntun manusia untuk berbuat baik kepada anak perempuan serta menjaganya dengan baik. Ganjaran yang besar pun dijanjikan bagi yang mau melaksanakannya. Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberikan anjuran dalam sabda-Nya:

(ُهَعِباَصَأ ّمَضَو) َوُهَو اَنَأ ِةَماَيِقْلا َمْوَي َءاَج اَغُلْبَت ىّتَح ِنْيَتَيِراَج َلاَع ْنَم

“Siapa yang memelihara dua anak perempuan hingga keduanya mencapai usia baligh maka orang tersebut akan datang pada hari kiamat dalam keadaan aku dan dia1 seperti dua jari ini.” Beliau menggabungkan jari-jemarinya. (HR. Muslim no. 6638 dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu).

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkisah: “Datang ke rumahku seorang wanita peminta-minta beserta dua putrinya. Namun aku tidak memiliki apa-apa yang dapat kusedekahkan kepada mereka kecuali hanya sebutir kurma. Wanita tersebut menerima kurma pemberianku lalu dibaginya untuk kedua putrinya, sementara ia sendiri tidak memakannya. Kemudian wanita itu berdiri dan keluar dari rumahku. Tak berapa lama masuklah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kuceritakan hal tersebut kepada beliau. Usai mendengar penuturanku beliau bersabda:

ِراّنلا َنِم اًرْتِس ُهَل ّنُك ّنِهْيَلِإ َنَس ْحَأَف ٍء ْيَشِب ِتاَنَبْلا ِهِذَه ْنِم َيِلُتْبا ِنَم

“Siapa yang diuji dengan sesuatu dari anak-anak perempuannya lalu ia berbuat baik kepada mereka maka mereka akan menjadi penghalang/penutup baginya dari api neraka.” (HR. ِAl-Bukhari no. 1418 dan Muslim no. 6636).

Kata Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu dalam penjelasan atas hadits di atas: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebutnya dengan ujian (ibtila`), karena manusia biasanya tidak menyukai anak perempuan (lebih memilih anak lelaki), sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang kebiasaan orang-orang jahiliah:

يِف ُهّسُدَي ْمَأ ٍنْوُه ىَلَع ُهُكِسْمُيَأ ِهِب َرّشُب اَم ِءْوُس ْنِم ِمْوَقْلا َنِم ىَراَوَتَي .ٌمْيِظَك َوُهَو اًّدَوْسُم ُهُهْجَو ّلَظ ىَثْنُلْاِب ْمُهُدَحَأ َرّشُب اَذِإَو َن ْوُمُك ْحَي اَم َءَاس َلَأ ِباَرّتلا “Apabila salah seorang dari mereka diberi kabar gembira dengan kelahiran anak perempuan, menjadi merah padamlah wajahnya dalam keadaan ia menahan amarah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak karena buruknya berita yang disampaikan kepadanya. (Ia berpikir) apakah ia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya hidup-hidup di dalam tanah? Ketahuilah alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.”(An-Nahl: 58-59)

Hadits-hadits yang telah disebutkan di atas menunjukkan keutamaan berbuat baik kepada anak perempuan, memberikan nafkah kepada mereka dan bersabar memelihara mereka. (Al-Minhaj Syarh Shahih Muslim, 16/395).

Islam mewajibkan kepada seorang ayah untuk menjaga anak perempuannya, memberi nafkah kepadanya sampai ia menikah dan memberikan kepadanya bagian dari harta warisan.

(6)

Wanita diberi hak untuk menentukan pendamping hidupnya dan diperkenankan menolak calon suami yang diajukan orang tua atau kerabatnya bila tidak menyukainya. Beberapa hadits di bawah ini menjadi bukti:

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َتُكْسَت ْنَأ :َلاَق ؟اَهُنْذِإ َفْيَكَو ِا َلْوُسَر اَي :اْوُلاَق . َنَذْأَتْسُت ىّتَح ُرْكِبْلا ُحَكْنُت َلَو َرَمْأَتْسُت ىّتَح ُمّيَلْا ُحَكْنُت َل

“Tidak boleh seorang janda dinikahkan hingga ia diajak musyawarah (dimintai pendapatnya), dan tidak boleh seorang gadis dinikahkan hingga diminta izinnya.” Para sahabat berkata: “Wahai Rasulullah, bagaimanakah izinnya seorang gadis?” “Izinnya adalah dengan ia diam”, jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5136 dan Muslim no. 3458 dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata:

اَهُتْمَص اَهاَضِر :َلَاق .يِحَتْسَت َرْكِبْلا ّنِإ ،ِا َلْوُسَر اَي “Wahai Rasulullah, sesungguhnya seorang gadis itu malu (untuk menjawab bila dimintai izinnya dalam masalah pernikahan).” Beliau menjelaskan, “Tanda ridhanya gadis itu (untuk dinikahkan) adalah diamnya.” (HR. Al-Bukhari no. 5137)

Khansa` binti Khidam Al-Anshariyyah radhiyallahu ‘anha mengabarkan, ayahnya menikahkannya dengan seorang lelaki ketika ia menjanda. Namun ia menolak pernikahan tersebut. Ia adukan perkaranya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, hingga akhirnya beliau membatalkan pernikahannya. (HR. Al-Bukhari no. 5138). Hadits di atas diberi judul oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu dalam kitab Shahih-nya: Bab Apabila seseorang menikahkan putrinya sementara putrinya tidak suka maka pernikahan itu tertolak.

Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakr Ash-Shiddiq menceritakan, salah seorang putri Ja’far2 merasa khawatir walinya akan menikahkannya secara paksa. Maka ia mengutus orang untuk mengadukan hal tersebut kepada dua syaikh dari kalangan Anshar, ‘Abdurrahman dan Majma’, keduanya adalah putra Yazid bin Jariyah. Keduanya berkata, “Janganlah kalian khawatir, karena ketika Khansa` bintu Khidam dinikahkan ayahnya dalam keadaan ia tidak suka, NabiShallallahu ‘alaihi wa sallam menolak pernikahan tersebut.” (HR. Al-Bukhari no. 6969)

Buraidah ibnul Hushaib radhiyallahu ‘anhu mengabarkan: pernikahan tersebut atau membatalkannya). Si wanita berkata, ‘Aku membolehkan ayah untuk melakukannya. Hanya saja aku ingin para wanita tahu bahwa ayah mereka tidak memiliki urusan sedikitpun dalam memutuskan perkara seperti ini’.” (HR. Ibnu Majah no. 1874, kata Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahullahu dalam Al-Jami’ush Shahih (3/64), “Hadits ini shahih menurut syarat Al-Imam Muslim.”)

A. Mendapat mahar

Dalam pernikahan seorang lelaki harus menyerahkan mahar kepada wanita yang dinikahinya. Mahar ini hukumnya wajib dengan dalil ayat Allah Subhanahu wa Ta’ala:

ًةَل ْحِن ّنِهِتاَقُدَص َءاَسّنلا اوُتآَو “Berikanlah mahar kepada wanita-wanita yang kalian nikahi sebagai pemberian dengan penuh kerelaan.” (An-Nisa`: 4)

(7)

Dari As-Sunnah pun ada dalil yang menunjukkan wajibnya mahar, yaitu ucapan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada seorang shahabatnya yang ingin menikah sementara shahabat ini tidak memiliki harta:

ٍدْيِدَح ْنِم اًمَتاَخ ْوَلَو ْرُظْنا “Lihatlah apa yang bisa engkau jadikan mahar dalam pernikahanmu, walaupun hanya cincin dari besi.” (HR. Al-Bukhari no. 5087 dan Muslim no. 3472)2

B. Seorang suami harus bergaul dengan istrinya secara patut (ma’ruf) dan dengan akhlak mulia

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

اًرْيِثَك اًرْيَخ ِهْيِف ُا َلَع ْجَيَو اًئْيَش اوُهَرْكَت ْنَأ ىَسَعَف ّنُه ْوُمُتْهِرَك ْنِإَف ِفْوُرْعَمْلاِب ّنُهْوُرِشاَعَو “Bergaullah kalian dengan para istri secara patut. Bila kalian tidak menyukai mereka maka bersabarlah karena mungkin kalian tidak menyukai sesuatu padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” (An-Nisa`: 19)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

ْمِهِئاَسِنِل ْمُكُراَيِخ ْمُكُراَيِخَو ،اًقُلُخ ْمُهُنَس ْحَأ اًناَمْيِإ َنْيِنِم ْؤُمْلا ُلَمْكَأ “Mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya, dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istri-istrinya.” (HR. At-Tirmidzi no. 1162. Lihat Ash-Shahihah no. 284)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah An-Nisa` di atas, menyatakan: “Yakni perindahlah ucapan kalian terhadap mereka (para istri) serta perbaguslah perilaku dan penampilan kalian sesuai kemampuan. Sebagaimana engkau menyukai bila ia (istri) berbuat demikian, maka engkau (semestinya) juga berbuat yang sama. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam hal ini:

ِف ْوُرْعَمْلاِب ّنِهْيَلَع ْيِذّلا ُلْثِم ّنُهَلَو “Dan para istri memiliki hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 228)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri telah bersabda:

ْيِلْهَ ِل ْمُكُرْيَخ اَنَأَو ،ِهِلْهَ ِل ْمُكُرْيَخ ْمُكُرْيَخ “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya (istrinya). Dan aku adalah orang yang paling baik di antara kalian terhadap keluarga (istri)-ku.”

Termasuk akhlak Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau sangat baik pergaulannya dengan para istrinya. Wajahnya senantiasa berseri-seri, suka bersenda gurau dan bercumbu rayu dengan istri, bersikap lemah-lembut terhadap mereka dan melapangkan mereka dalam hal nafkah serta tertawa bersama mereka. Sampai-sampai, beliau pernah mengajak ‘Aisyah Ummul Mukminin radhiyallahu ‘anha berlomba (lari), dalam rangka menunjukkan cinta dan kasih sayang beliau terhadapnya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

Masih keterangan Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu: “(Termasuk cara Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam memperlakukan para istrinya secara baik adalah) setiap malam beliau biasa mengumpulkan para istrinya di rumah istri yang mendapat giliran malam itu. Hingga terkadang pada sebagian waktu, beliau dapat makan malam bersama mereka. Setelah itu, masing-masing istrinya kembali ke rumah mereka. Beliau pernah tidur bersama salah seorang istrinya dalam satu selimut. Beliau meletakkan ridanya dari kedua pundaknya, dan tidur dengan izar. Setelah shalat ‘Isya, biasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam masuk rumah dan berbincang-bincang sejenak dengan istrinya sebelum tidur guna menyenangkan mereka.” (Tafsir Ibnu Katsir, 2/173)

(8)

C. Mendapat nafkah dan pakaian

Hak mendapat nafkah dan pakaian ini ditunjukkan dalam Al-Qur`anul Karim dari firman-Nya:

ِف ْوُرْعَمْلاِب ّنُهُتَوْسِكَو ّنُهُق ْزِر ُهَل ِدْوُل ْوَمْلا ىَلَعَو “…dan kewajiban bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf.” (Al-Baqarah: 233)

Demikian pula firman-Nya:

اَهاَتآ اَم ّلِإ اًسْفَن ُا ُفّلَكُي َل ُا ُهاَتآ اّمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُقْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس ْوُذ ْقِفْنُيِل “Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya. .” (Ath-Thalaq: 7)

Hafizh Ibnu Katsir rahimahullahu ketika menafsirkan ayat dalam surah Al-Baqarah di atas, menyatakan, “Maksud dari ayat ini adalah wajib bagi seorang ayah untuk memberikan nafkah kepada para ibu yang melahirkan anak-anaknya serta memberi pakaian dengan ma’ruf, yaitu sesuai dengan kebiasaan yang berlangsung dan apa yang biasa diterima/dipakai oleh para wanita semisal mereka, tanpa berlebih-lebihan dan tanpa mengurangi, sesuai dengan kemampuan suami dalam keluasan dan kesempitannya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/371)

Ada pula dalilnya dari As-Sunnah, bahkan didapatkan dalam beberapa hadits. Di antaranya hadits Hakim bin Mu’awiyah bin Haidah yang telah kami bawakan di atas. Demikian pula hadits ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia mengabarkan bahwa Hindun bintu nafkah yang dapat mencukupiku dan anakku terkecuali bila aku mengambil dari hartanya tanpa sepengetahuannya6.” Bersabdalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ambillah dari harta suamimu sekadar yang dapat mencukupimu dan mencukupi anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (HR. Al-Bukhari no. 5364 dan Muslim no. 4452)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Di dalam hadits ini ada beberapa faedah di antaranya wajibnya memberikan nafkah kepada istri.” (Al-Minhaj, 11/234)

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika haji Wada’ berkhutbah di hadapan manusia. Setelah memuji dan menyanjung Allah Subhanahu wa Ta’ala, beliau memberi peringatan dan nasihat. Kemudian bersabda:

(9)

Dalam Nailul Authar (6/374) disebutkan bahwa salah satu kewajiban sekaligus tanggung jawab seorang suami adalah memberi nafkah kepada istri dan anak-anaknya sesuai kemampuannya. Kewajiban ini selain ditunjukkan dalam Al-Qur`an dan As-Sunnah, juga dengan ijma’ (kesepakatan ulama).

Seberapa banyak nafkah yang harus diberikan, dikembalikan kepada kemampuan suami, sebagaimana ditunjukkan dalam ayat:

اَهاَتآ اَم ّلِإ اًسْفَن ُا ُفّلَكُي َل ُا ُهاَتآ اّمِم ْقِفْنُيْلَف ُهُقْزِر ِهْيَلَع َرِدُق ْنَمَو ِهِتَعَس ْنِم ٍةَعَس ْوُذ ْقِفْنُيِل “Hendaklah orang yang diberi kelapangan memberikan nafkah sesuai dengan kelapangannya dan barangsiapa disempitkan rizkinya maka hendaklah ia memberi nafkah dari harta yang Allah berikan kepadanya.” (Ath-Thalaq: 7)

D. Diberi tempat untuk bernaung/tempat tinggal

Termasuk pergaulan baik seorang suami kepada istrinya yang dituntut dalam ayat:

ِف ْوُرْعَمْلاِب ّنُه ْوُرِشاَعَو “Bergaullah kalian dengan para istri secara patut.” (An-Nisa`: 19)

Adalah seorang suami menempatkan istrinya dalam sebuah tempat tinggal. Di samping itu, seorang istri memang mau tidak mau harus punya tempat tinggal hingga ia dapat menutup dirinya dari pandangan mata manusia yang tidak halal melihatnya. Juga agar ia dapat bebas bergerak serta memungkinkan baginya dan bagi suaminya untuk bergaul sebagaimana layaknya suami dengan istrinya. Tentunya tempat tinggal disiapkan sesuai kadar kemampuan suami sebagaimana pemberian nafkah.

E. Wajib berbuat adil di antara para istri

Bila seorang suami memiliki lebih dari satu istri, wajib baginya untuk berlaku adil di antara mereka, dengan memberikan nafkah yang sama, memberi pakaian, tempat tinggal, dan waktu bermalam. Keharusan berlaku adil ini ditunjukkan dalam firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

اوُل ْوُعَت ّلَأ ىَنْدَأ َكِلَذ ْمُكُناَمْيَأ ْتَكَلَم اَم ْوَأ ًةَدِحاَوَف اوُلِدْعَت ّلَأ ْمُتْفِخ ْنِإَف َعاَبُرَو َثَلُثَو ىَنْثَم ِءاَسّنلا َنِم ْمُكَل َباَط اَم اوُحِكْناَف “…maka nikahilah wanita-wanita yang kalian senangi: dua, tiga, atau empat. Namun jika kalian khawatir tidak dapat berbuat adil di antara para istri nantinya maka nikahilah seorang wanita saja atau dengan budak-budak perempuan yang kalian miliki. Yang demikian itu lebih dekat bagi kalian untuk tidak berbuat aniaya.” (An-Nisa`: 3)

Dalil dari As-Sunnah didapatkan antara lain dari hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia menyampaikan sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ٌلِئاَم ُهّقِشَو ِةَماَيِقْلا َم ْوَي َءاَج اَمُهاَدحِإ ىَلِإ َلاَمَف ِناَتَأَرْما ُهَل ْتَناَك ْنَم “Siapa yang memiliki dua istri10 lalu ia condong (melebihkan secara lahiriah) kepada salah satunya maka ia akan datang pada hari kiamat nanti dalam keadaan satu sisi tubuhnya miring/lumpuh.” (HR. Ahmad 2/347, Abu Dawud no. 2133, dll, dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullahu dalam Shahih Sunan Abi Dawud)

Hadits di atas menunjukkan keharaman sikap tidak adil dari seorang suami, di mana ia melebihkan salah satu istrinya dari yang lain. Sekaligus hadits ini merupakan dalil wajibnya suami menyamakan di antara istri-istrinya dalam perkara yang dia mampu untuk berlaku adil, seperti dalam masalah mabit (bermalam), makanan, pakaian, dan pembagian giliran. (‘Aunul Ma’bud, Kitab An-Nikah, bab Fil Qismi Bainan Nisa`)

Keharusan berbuat adil yang Allah Subhanahu wa Ta’ala wajibkan kepada suami ini tidaklah bertentangan dengan firman-Nya:

اًر ْوُفَغ َناَك َا ّنِإَف اوُقّتَتَو اوُحِلْصُت ْنِإَو ِةَقّلَعُمْلاَك اَهْوُرَذَتَف ِلْيَمْلا ّلُك اوُلْيِمَت َلَف ْمُتْصَرَح ْوَلَو ِءاَسّنلا َنْيَب اوُلِدْعَت ْنَأ اوُعْيِطَتْسَت ْنَلَو اًمْيِحَر “Dan kalian sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kalian terlalu cenderung kepada istri yang kalian cintai sehingga kalian biarkan istri yang lain terkatung-katung.” (An-Nisa`: 129)

(10)

Karena adil yang diperintahkan kepada suami adalah adil di antara para istri dalam perkara yang dimampu oleh suami. Adapun adil yang disebutkan dalam surah An-Nisa` di atas adalah berbuat adil yang kita tidak mampu melakukannya, yaitu adil dalam masalah kecenderungan hati dan cinta.

Masih kata Al-Imam Ath-Thabari rahimahullahu, “Maka janganlah kalian terlalu cenderung (melebihkan) dengan hawa nafsu kalian terhadap istri yang kalian cintai hingga membawa kalian untuk berbuat dzalim kepada istri yang lain dengan meninggalkan kewajiban kalian terhadap mereka dalam memenuhi hak pembagian giliran, nafkah, dan bergaul dengan ma’ruf. Akibatnya, istri yang tidak kalian cintai itu seperti terkatung-katung, yaitu seperti wanita yang tidak memiliki suami namun tidak juga menjanda.” (Tafsir Ath-Thabari, 4/312)

Tidak wajib pula bagi suami untuk berbuat adil dalam perkara jima’, karena jima’ ini didorong oleh syahwat dan adanya kecondongan. Sehingga tidak dapat dipaksakan seorang suami untuk menyamakannya di antara istri-istrinya, karena hatinya terkadang condong kepada salah seorang istrinya sementara kepada yang lain tidak. (Mughni Kitab ‘Isyratun Nisa`, Al-Majmu’, 16/433)

Al-Imam An-Nawawi rahimahullahu berkata, “Jima’ bukanlah termasuk syarat dalam pembagian giliran. Hanya saja disenangi bagi suami untuk menyamakan istri-istrinya dalam masalah jima’….” (Al-Majmu’, 16/433)

F. Menaruh rasa cemburu kepadanya

Seorang suami harus memiliki rasa cemburu kepada istrinya yang dengan perasaan ini ia menjaga kehormatan istrinya. Ia tidak membiarkan istrinya bercampur baur dengan lelaki, ngobrol dan bercanda dengan sembarang laki-laki. Ia tidak membiarkan istrinya ke pasar sendirian atau hanya berduaan dengan sopir pribadinya.

Suami yang memiliki rasa cemburu kepada istrinya tentunya tidak akan memperhadapkan istrinya kepada perkara yang mengikis rasa malu dan dapat mengeluarkannya dari kemuliaan.

Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu pernah berkata mengungkapkan kecemburuannya terhadap istrinya:

ٍحِف ْصُم َرْيَغ ِفْيّسلاِب ُهُتْبَرَضَل يِتَأَرْما َعَم ًلُجَر ُتْيَأَر ْوَل “Seandainya aku melihat seorang laki-laki bersama istriku niscaya aku akan memukul laki-laki itu dengan pedang bukan pada bagian sisinya (yang tumpul)11.”

Mendengar ucapan Sa’d yang sedemikian itu, tidaklah membuat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mencelanya. Bahkan beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda

يّنِم ُرَيْغَأ ُاَو ،ُهْنِم ُرَيْغَأ اَنَ َل ؟ٍدْعَس ِةَرْيِغ ْنِم َن ْوُبَجْعَتَأ “Apakah kalian merasa heran dengan cemburunya Sa’d? Sungguh aku lebih cemburu daripada Sa’d dan Allah lebih cemburu daripadaku.” (HR. Al-Bukharidalam Kitab An-Nikah, Bab Al-Ghirah dan Muslim no. 3743)

Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullahu menyebutkan, dalam hadits Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Abu Dawud, dan Al-Hakim dikisahkan bahwa tatkala turun ayat:

َن ْوُقِساَفْلا ُمُه َكِئَلوُأَو اًدَبَأ ًةَداَهَش ْمُهَل اوُلَبْقَت َلَو ًةَدْلَج َنْيِناَمَث ْمُهْوُدِل ْجاَف َءاَدَهُش ِةَعَبْرَأِب اوُتْأَي ْمَل ّمُث ِتاَنَصْحُمْلا َنْوُمْرَي َنْيِذّلاَو “Dan orang-orang yang menuduh wanita baik-baik berzina kemudian mereka tidak dapat menghadirkan empat saksi, maka hendaklah kalian mencambuk mereka sebanyak 80 cambukan dan jangan kalian terima persaksian mereka selama-lamanya.” (An-Nur: 4)

Berkatalah Sa’d bin ‘Ubadah radhiyallahu ‘anhu: “Apakah demikian ayat yang turun? Seandainya aku dapatkan seorang laki-laki berada di paha istriku, apakah aku tidak boleh mengusiknya sampai aku mendatangkan empat saksi? Demi Allah, aku tidak akan mendatangkan empat saksi sementara laki-laki itu telah puas menunaikan hajatnya.”

(11)

Orang-orang Anshar pun menjawab: “Wahai Rasulullah, janganlah engkau mencelanya karena dia seorang yang sangat pencemburu. Demi Allah, dia tidak ingin menikah dengan seorang wanita pun kecuali bila wanita itu masih gadis. Dan bila dia menceraikan seorang istrinya, tidak ada seorang laki-laki pun yang berani untuk menikahi bekas istrinya tersebut karena cemburunya yang sangat.”

Islam menetapkan kepada seorang lelaki yang ingin menikahi seorang wanita agar memberikan mahar pernikahan kepada si wanita. Dan mahar itu nantinya adalah hak si wanita, tidak boleh diambil sedikitpun kecuali dengan keridhaannya.

اًئْيِرَم اًئْيِنَه ُهْوُلُكَف اًسْفَن ُهْنِم ٍءْيَش ْنَع ْمُكَل َنْبِط ْنِإَف ًةَلْحِن ّنِهِتاَقُدَص َءاَسّنلا اوُتآَو “Berikanlah mahar kepada para wanita (yang kalian nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kalian dengan senang hati sebagian dari mahar tersebut, maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.” (An-Nisa`: 4)

Al-Imam Al-Qurthubi Subhanahu wa Ta’ala berkata, “Ayat ini menunjukkan wajibnya pemberian mahar kepada wanita yang dinikahi. Ulama menyepakati hal ini tanpa ada perbedaan pendapat, kecuali riwayat sebagian ahlul ilmi dari penduduk Irak yang menyatakan bila seorang tuan menikahkan budak laki-lakinya dengan budak wanitanya maka tidak wajib adanya mahar. Namun pendapat ini tidak dianggap.” (Al-Jami’ li Ahkamil Qur`an, 5/17)

1. Sebagai Seorang Ibu

Islam memuliakan wanita semasa kecilnya, ketika remajanya dan saat ia menjadi seorang ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala mewajibkan seorang anak untuk berbakti kepada kedua orang tuanya, ayah dan ibu. Allah Subhanahu wa Ta’ala titahkan hal ini dalam Tanzil-Nya setelah mewajibkan ibadah hanya kepada-Nya:

اَمُهَل ْلُقَو اَمُهْرَهْنَت َلَو ّفُأ اَمُهَل ْلُقَت َلَف اَمُهَلِك ْوَأ اَمُهُدَحَأ َرَبِكْلا َكَدْنِع ّنَغُلْبَي اّمِإ اًناَسْحِإ ِنْيَدِلاَوْلاِبَو ُهاّيِإ ّلِإ اوُدُبْعَت ّلَأ َكّبَر ىَضَقَو اًرْيِغَص يِناَيّبَر اَمَك اَمُهْمَح ْرا ّبَر ْلُقَو ِةَمْحّرلا َنِم ّلّذلا َحاَنَج اَمُهَل ْضِف ْخاَو .اًمْيِرَك ًلْوَق “Rabbmu telah menetapkan agar janganlah kalian beribadah kecuali hanya kepada-Nya dan hendaklah kalian berbuat baik terhadap kedua orangtua. Apabila salah seorang dari keduanya atau kedua-duanya menginjak usia lanjut dalam pemeliharaanmu, maka janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan jangan membentak keduanya namun ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang mulia. Dan rendahkanlah dirimu terhadap mereka berdua dengan penuh kasih sayang, ucapkanlah doa, “Wahai Rabbku, kasihilah mereka berdua sebagaimana mereka telah memelihara dan mendidikku sewaktu kecil.” (Al-Isra`: 23-24)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

اًرْهَش َن ْوُثَلَث ُهُلاَصِفَو ُهُلْمَحَو اًه ْرُك ُهْتَعَضَوَو اًه ْرُك ُهّمُأ ُهْتَلَمَح اًناَسْحِإ ِهْيَدِلاَوِب َناَسْنِلْا اَنْيّصَوَو “Dan Kami telah mewasiatkan manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah pula. Mengandung sampai menyapihnya adalah tigapuluh bulan…” (Al-Ahqaf: 15)

Ketika shahabat yang mulia,

Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

ِنْيَدِلاَوْلا ّرِب ّمُث :َلاَق ؟ّيَأ ّمُث :َلاَق .اَهِتْقَو ىَلَع ُةَلّصلا :َلاَق ؟ِا ىَلِإ ّبَحَأ ِلَمَعْلا ّيَأ… “Amal apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Shalat pada waktunya.” “Kemudian apa setelah itu?” tanya ‘Abdullah lagi. Kata beliau, “Kemudian birrul walidain (berbuat baik kepada kedua orang tua)….” (HR. Al-Bukhari no. 504 dan Muslim no. 248)

Kata Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu –seorang shahabat Rasul yang sangat berbakti kepada ibundanya-, “Ada seseorang bertanya kepada RasulullahShallallahu ‘alaihi wa sallam: ّمُث :َلاَق ؟ ْنَم ّمُث :َلاَق .َكّمُأ :َلاَق ؟ ْنَم ّمُث :َلاَق .َكّمُأ :َلاَق ؟ ْنَم ّمُث :َلاَق .َكّمُأ :َلاَق ؟يِتَباَحَص ِنْسُحِب ِساّنلا ّقَحَأ ْنَم ،ِا َلْوُسَر اَي

(12)

8

“Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak untuk aku berbuat baik kepadanya?” Rasulullah menjawab, “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanyanya lagi. “Ibumu,” jawab beliau. Kembali orang itu bertanya, “Kemudian siapa?” “Ibumu.” “Kemudian siapa?” tanya orang itu lagi. “Kemudian ayahmu,” jawab Rasulullah. (HR. Al-Bukhari no. 5971 dan Muslim no. 6447)

Hadits di atas menunjukkan pada kita bahwa hak ibu lebih tinggi daripada hak ayah dalam menerima perbuatan baik dari anaknya. Hal itu disebabkan seorang ibulah yang merasakan kepayahan mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibulah yang bersendiri merasakan dan menanggung ketiga perkara tersebut, kemudian nanti dalam hal mendidik baru seorang ayah ikut andil di dalamnya. Demikian dinyatakan Ibnu Baththal rahimahullahu sebagaimana dinukil oleh Al-Hafidz rahimahullahu. (Fathul Bari, 10/493). Islam mengharamkan seorang anak berbuat durhaka kepada ibunya sebagaimana ditegaskan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda beliau:

ِتاَهّمُلْا َق ْوُقُع ْمُكْيَلَع َمّرَح َا ّنِإ… “Sesungguhnya Allah mengharamkan kalian berbuat durhaka kepada para ibu…” (HR. Al-Bukhari no. 5975 dan Muslim no. 593)

Al-Hafizh rahimahullahu menerangkan, “Dikhususkan penyebutan para ibu dalam hadits ini karena perbuatan durhaka kepada mereka lebih cepat terjadi daripada perbuatan durhaka kepada ayah disebabkan kelemahan mereka sebagai wanita. Dan juga untuk memberikan peringatan bahwa berbuat baik kepada seorang ibu dengan memberikan kelembutan, kasih sayang dan semisalnya lebih didahulukan daripada kepada ayah.” (Fathul Bari, 5/86).

Sampai pun seorang ibu yang masih musyrik ataupun kafir, tetap diwajibkan seorang anak berbuat baik kepadanya. Hal ini ditunjukkan dalam hadits Asma` bintu Abi Bakr radhiyallahu ‘anha. Ia berkisah: “Ibuku yang masih musyrik datang mengunjungiku bertepatan saat terjalinnya perjanjian antara Quraisy dengan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Aku pun bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Ibuku datang berkunjung dan memintaku untuk berbuat baik kepadanya. Apakah aku boleh menyambung hubungan dengannya?” Beliau menjawab, “Ya, sambunglah hubungan dengan ibumu.” (HR. Al-Bukhari no. 5979)

2. Hak Waris Wanita dalam Islam

Diantara kemuliaan wanita dalam Islam adalah mereka memiliki hak mendapat warisan. Dan hak ini telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala. Di dalam Al-Quran, utamanya di dalam Surah kaum perempuan: Sūrah an-Nisā’. Surah ini berbicara khusus tentang hak-hak wanita berkaitan dengan hak waris (mawārīts) (Qs. An-Nisā’ [4]:11-13).

Ini justru bertolak-belakang dengan tradisi Jāhiliyah dimana masa itu harta warisan hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki yang telah dewasa. Sementara kaum wanita dan anak-anak tidak mendapatkan apa-apa. Bahkan, mereka menjadikan perempuan sebagai salah satu harta warisan yang ditinggalkan oleh si mayit untuk diwariskan kepada anaknya. Bahkan, jika perempuan itu adalah ibu tirinya, ia berhak untuk menikahinya. (Dr. Lailah Ibrahim Abū al-Majd, al-Mar’ah baina al-Yahūdiyyah wa al-Islām (Kairo: al-Dār al-Tsaqāfiyyah, 2007: 59).

(13)

9 3. Hak Wanita dalam Menuntut Ilmu

Wanita dalam Islam memiliki keistimewaan lain, yakni: hak menuntut ilmu. Ini sisi lain dari keagungan wanita dalam Islam. Dan hak menuntut ilmu bagi perempuan dalam Islam tidak membeda-bedakan apakah dia seorang wanita merdeka atau budak.

Dalam satu riwayat dari Abū Burdah disebutkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. bersabda, “Siapa saja yang memiliki satu budak perempuan lalu dia mengajarkan ilmu dan adab dengan sebaik-baiknya. Kemudian, dia merdekakan dan menikahinya maka dia mendapat dua pahala.”

Menurut Islam, ilmu memang menjadi hak mendasar yang tidak boleh dihilangkan. Karena satu masyarakat tidak akan maju karena makanan, minuman, pakaian, dan tempat tinggal saja. Karena ini semua adalah hak materi. Harus ada hak maknawi dan spiritual, yaitu ilmu pengetahuan. Dan hidup tidak mungkin berjalan dengan baik tanpa ini. Itu sebabnya hati, ruh, dan nalar harus terus “diremajakan” dengan ilmu.

Dalam sejarah Islam, pendidikan khusus para wanita telah dipraktikkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wassallam. Dimana beliau meluangkan satu haris khusus untuk mengajari kaum wanita. Disamping secara khusus beliau mendidik para ibu kaum Mukminin – istri beliau – (ummahāt al-Mu’minīn). (Lihat, Syekh Muhammad al-Ghazālī, Dr. Muhammad Sayyid Ṭanṭāwī, dan Dr. Ahmad ‘Umar Hāsyim, al-Mar’ah fī al-Islām (Kairo: Maṭbaʻah Akhbār al-Yaum, 1991: 87).

Dalam masyarakat Islam wanita mempunyai hak yang sama dalam kehidupannya didalam masyarakat, baik itu hak beribadah, menuntut ilmu, dan sebagainya. Wanita sebagaimana laki-laki adalah salah satu unsur yang memberikan kontribusi dalam membangun ummat Islam, sebagai bagian dari komunitas ummat maka ia memiliki potensi dan karakteristik yang merupakan bagian integral dari ummat itu sendiri. Wanita dan Laki-laki diberi beban tanggungjawab yang sama dalam membangun dan saling bersinergi dalam menjalankan amanah sebagai khalifatullah.

(14)

10 BAB III

KEWAJIBAN WANITA BERADSARKAN KEDUDUKANNYA DALAM ISLAM

Di antara kewajiban-kewajiban perempuan adalah :

1. Taat kepada suaminya pada selain maksiat kepada Allah. Hak laki-laki (suami) terhadapnya (perempuan) lebih besar dari hak kedua orang tuanya.

2. Mengontrol rumah dan keluarga. Seorang perempuan adalah pemimpin di rumah suaminya dan bertanggung jawab terhadap apa yang dipimpinnya.

3. Tidak boleh berpuasa sunnah kecuali dengan izin suaminya.

4. Tidak boleh mengizinkan seorangpun masuk ke rumahnya kecuali dengan izin suaminya. 5. Tidak keluar rumah kecuali atas izin suaminya.

6. Menjaga agama dan kehormatan suaminya.

Secara penjelasannya menyeluruh berdasarkan beberapa haknya dari 5 poin yang diterangkan, dapat dijabarkan sebagai berikut:

1. Menta’ati Suami, Selama Bukan Untuk Maksiat. Rasulullah saw. bersabda:

ِلْهَأ َرَثْكَأ ِ ّا َلوُسَر اَي اَنَل اَمَو ٌةَل ْزَج ّنُهْنِم ٌةَأَرْما ِتَلاَقَف ِراّنلا ِلْهَأ َرَثْكَأ ّنُكُتْيَأَر يّنِإَف َراَفْغِتْس ِلا َن ْرِثْكَأَو َنْقّدَصَت ِءاَسّنلا َرَشْعَم اَي َريِشَعْلا َن ْرُفْكَتَو َنْعّللا َن ْرِثْكُت َلاَق ِراّنلا Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kalian dan perbanyakkanlah istighfar. Karena, aku melihat kaum wanitalah yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka. Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum wanita yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka ? Rasulullah s.a.w bersabda: Kamu banyak mengutuk dan

mengingkari suami…. (Hr. Bukhari, Muslim, Ahmad, Nasa’I dan Ibnu Majah, redaksi menurut imam Muslim).

َيّدَؤُت ىّتَح اَهّبَر ّقَح ُةَأ ْرَمْلا يّدَؤُت َل ِهِدَيِب ٍدّمَحُم ُسْفَن يِذّلاَو اَهِجْوَزِل َدُجْسَت ْنَأ َةَأْرَمْلا ُت ْرَمَ َل ِ ّا ِرْيَغِل َدُجْسَي ْنَأ اًدَحَأ اًرِمآ ُتْنُك ْوَل ُهْعَنْمَت ْمَل ٍبَتَق ىَلَع َيِهَو اَهَسْفَن اَهَلَأَس ْوَلَو اَهِجْوَز ّقَح kalau saja aku diperbolehkan memerintahkan seseorang untuk bersujud kepada selain Allah, niscaya aku akan perintahkan seorang isteri bersujud kepada suaminya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad di Tangan-Nya, sungguh seorang isteri itu tidak dikatakan menunaikan hak Rabb-nya hingga ia menunaikan hak suaminya. Kalau saja suami memintanya untuk dilayani, sementara ia sedang berada di atas pelana kendaraan, maka ia tidak boleh menolaknya."(HR. Ibnu Majah, Abu Dawud, Ahmad & Ad Darimi)

2. Mendidik Anak

Ada syair Arab yang berbunyi, “Anak yatim itu bukanlah anak yang telah ditinggal orang tuanya dan meninggalkan anak-anaknya dalam keadaan hina. Sesungguhnya anak yatim itu adalah yang tidak dapat dekat dengan ibunya yang selalu menghindar darinya, atau ayah yang selalu sibuk dan tidak ada waktu bagi anaknya.”

Suatu ketika Farrukh berpamitan kepada istrinya yang sedang mengandung untuk pergi ke medan perang. Maka sang istri menjawab, "Wahai Abu Abdirrahman, kepada siapa engkau titipkan diriku dan jabang bayi yang sedang aku kandung ini?! Sebab di Madinah ini aku adalah orang asing yang tidak mempunyai keluarga dan sanak saudara."

(15)

11

Istrinya kemudian melahirkan bayinya setelah beberapa bulan dari kepergian sang suami. Ia mendidik anaknya dengan baik, tanpa kehadiran suaminya, mendorongnya untuk berguru kepada para shahabat yang masih tersisa, terutama Anas bin Malik, khadim Rasulullah SAW, berguru kepada kalangan pertama dari generasi Tabi’in, terutama Sa’id bin al-Musayyab, Mak-hul asy-Syamy dan Salamah bin Dinar. Yang akhirnya anaknya menjadi ‘ulama besar, Rabi’ah Ar Ra’yi. Farrukh sendiri pulang ke Madinah saat Rabi’ah Ar Ra’yi sudah menjadi seorang pemuda dan memimpin pengajian para ‘ulama.

3. Berperan Aktif dalam ‘Amar Ma’ruf Nahy Munkar

ِرَكْنُمْلا ِنَع َن ْوَهْنَيَو ِفوُرْعَمْلاِب َنوُرُمْأَي ٍضْعَب ُءاَيِل ْوَأ ْمُهُضْعَب ُتاَنِم ْؤُمْلاَو َنوُنِم ْؤُمْلاَو Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang makruf, mencegah dari yang mungkar… (QS. At Taubah : 71)

Nu’man bin Basyir bercerita, “Ayahku menginfakkan sebagian hartanya untukku. Ibuku –’Amrah binti Rawahah—kemudian berkata,‘Saya tidak suka engkau melakukan hal itu sehinggi menemui Rasulullah.’ Ayahku kemudian berangkat menemui Rasulullah saw. sebagai saksi atas sedekah yang diberikan kepadaku. Rasulullah saw. berkata kepadanya,

ْمِهّلُك َكِدَلَوِب اَذَه َتْلَعَفَأ ‘Apakah engkau melakukan hal ini kepada seluruh anak-anakmu?’ Ia (ayahku)

berkata, ‘Tidak.’ Rasulullah saw. berkata,

ْمُكِد َل ْوَأ يِف اوُلِدْعاَو َ ّا اوُقّتا ‘Bertakwalah kepada Allah dan berlaku adillah kepada anak-anakmu.’ Ayahku

kemudian kembali dan menarik lagi sedekah itu.” (HR. Muslim nomor 3055). Suatu ketika ‘Umar bin Khattab berkata dari sebuah mimbar:

ءاَسّنلا تاَقَدَص يِف ا ْوَلاَغَت َل Janganlah kalian berlebih – lebihan dalam urusan mahar wanita.(HR. Ibnu Hibban dan Al Hakim, mereka menshahihkannya)

(دوُعْسَم نْبِا ةَءاَرِق يِف) بَهَذ ْنِم اًراَطْنِق ّنُهاَدْحِإ ْمُتْيَتآَو لوُقَي ّا ّنِإ ، رَمُع اَي كَل َكِلَذ َسْيَل ةَأَرْمِا ْتَلاَقَف Maka berkatalah seorang wanita : ini bukan hak engkau wahai ‘umar, sesungguhnya Allah berfirman: sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyakdari jenis emas . ‘Umar menjawab:

ُهْتَمَصَخَف رَمُع ْتَمَصاَخ ةَأَرْمِا Seorang perempuan telah membantah ‘umar dan perempuan tersebut

mengalahkannya. (Fathul Bâry, Ibnu Hajar Al Asqalany, Riwayat Abdurrazzaq dari jalan Abdurrahman As Sulamy).

Semua hal diatas memberikan gambaran bahwa seorang wanita juga punya kewajiban ‘amar ma’ruf nahy munkar, baik menasehati suaminya, masyarakatnya, termasuk juga

menasehati penguasa, tentunya dengan tetap memperhatikan hukum- hukum Islam yang lain, dan tanpa meninggalkan kewajiban pokoknya sebagai ibu dan pendidik bagi anak – anaknya. ‘Allahu Ta’ala A’lam (bersambung – insya Allah)

4. Menjaga shalat 5 waktu dan melakanakannya diawal waktu.

(16)

12

5.Melaksanakan rukun-rukun islam lainnya seperti puasa, zakat , dan haji jika mampu. Tiga rukun ini merupakan amalan yang sangat penting dan banyak pahalanya disisi Allah baik bagi laki-laki maupun wanita. Terkhusus ibadah haji sangat besar keutamaannya atas kaum wanita yang bisa melaksanakannya, sebagaimana dalam hadis bahwa Aisyah radhiyallahu ‘anha bertanya kepada Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam : Wahai Rasulullah ,apakah ada jihad untuk kaum wanita ?, beliau menjawab : “Ya, mereka memiliki jihad yang tidak ada peperangan didalamnya yaitu : Ibadah haji dan umrah” (HR Ahmad, dan Ibnu Majah ).

Ini menunjukkan ibadah haji bagi seorang muslimah sama dengan keluar berjihad memerangi orang-orang kafir , dan apabila ia wafat tatkala menunaikan haji tersebut, maka ia terhitung sebagai orang yang mati syahid. Hal ini disebabkan karena dalam ibadah haji atau umrah seorang wanita yang fitrahnya lemah dituntut untuk berjuang melaksanakan amalan yang tidak begitu ringan baginya.

Selain itu seorang muslimah juga disunatkan melaksanakan amalan-amalan sunat seperti banyak bersedekah,melaksanakan umrah, dan puasa sunat senin kamis, atau puasa 3 hari dalam sebulan. Khusus masalah sedekah ini Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam telah memotivasi kaum wanita untuk melakukannya dalam hadisnya… :

رانلا لهأ رثكأ نكتيرأ ينإف نقدصت ءاسنلا رشعم اي

Artinya : “Wahai sekalian wanita, bersedekahlah, karena sesungguhnya diperlihatkan padaku (dalam mimpi) bahwa kalian adalah penduduk neraka yang terbanyak…” (HR Bukhari : 203)

6.Bagi yang telah menikah, diwajibkan baginya untuk mentaati dan memuliakan sang suami,

berkhidmat kepadanya dengan penuh keikhlasan , dan tidak berbicara kasar atau durhaka terhadapnya. Karena sebagaimana yang telah kita ketahui bahwa salah satu sebab kenapa kaum hawa akan menjadi ahli neraka yang terbanyak adalah adanya kedurhakaan terhadap sang suami, sebagaimana dalam hadis Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam bersabda :

نهادحإ ىلإ تنسحأ ول ،ناسحلا نرفكيو ،ريشعلا نرفكي ” :لاق ؟؟اب نرفكيأ :ليق »نرفكي ،ءاسنلا اهلهأ رثكأ اذإف رانلا تيرأ طق اريخ كنم تيأر ام :تلاق ،ائيش كنم تأر مث ،رهدلا

“Diperlihatkan kepadaku tentang surga, ternyata penghuninya yang paling banyak adalah kaum wanita, disebabkan mereka kufur”, Kemudian Rasulullah ditanya : Apakah karena mereka kufur terhadap Allah ?, beliau menjawab : “Mereka kufur terhadap suami mereka, mereka kufur terhadap kebaikan (suami mereka), walaupun engkau (sang suami) berbuat baik kepadanya selama hidupnya, lalu ia melihat dirimu melakukan satu kesalahan saja maka ia berkata ; saya tidak pernah melihat kebaikanmu”. (HR Bukhari Muslim).

Adapun wanita yang mentaati suaminya maka ia adalah wanita yang paling utama ,dalam suatu hadis Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam ditanya : Wahai Rasulullah, wanita apakah yang paling utama ?,Beliau menjawab : “Yaitu wanita yang membuat suaminya senang ketika memandangnya, yang mentaati suaminya ketika menyuruhnya, dan tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya dan harta suaminya kecuali atas seizinnya”. (HR Hakim).

7.Menjaga kehormatan dan kemuliaan diri.

Diantara bentuk menjaga kehormatan diri adalah ;

1. Menjauhi zina dan hal-hal yang bisa menjerumuskan kedalamnya seperti pacaran dan pergaulan bebas. Allah ta’ala berfirman ;

ٰۖٓىَنّزلٱ ْاوُبَرۡقَت َلَو Artinya : “Dan janganlah kamu mendekati zina “ (Al-Isra’ ; 32).

2. Memakai jilbab syar’i dan menutup aurat serta tidak memperlihatkannya kepada orang yang bukan mahram. Adapun syarat menutup aurat adalah ;

a.Pakaian harusnya longgar dan kainnya agak tebal serta tidak ketat dan tipis agar tidak membentuk lekuk-lekuk tubuh.

(17)

d.Warna dan wangi pakaian tidak terlalu mencolok. perjuangan luar biasa terhadap perkembangan Islam. Siti Khadijah telah memberikan dukungan luar biasa terhadap Rasulullah pada masa awal-awal kenabiannya. Tak hanya dukungan moril, sebagai wanita yang kaya raya, Siti Khadijah juga menafkahkan hartanya untuk perjuangan dakwah Islam. Ia juga dikenal sebagai wanita yang pertama kali masuk Islam. Sebagai istri, Siti Khadijah adalah contoh dari seorang istri. Bahkan seorang Siti Aisyah (istri Rasulullah) pun mengaku cemburu terhadap Siti Khadijah.

 Siti Aisyah

Aisyah dikenal sebagai seorang wanita yang sangat cerdas. Kemampuannya dalam menghafal ribuan hadis telah membuktikan dedikasi terhadap Islam dalam hal intelektualitas. Masing-masing tokoh wanita Islam memiliki karakteristik yang khas dalam berbagai bidang dalam mendukung perjuangan Islam.

Rasulullah SAW yang Mulia, berdiri di puncak bukit Uhud dan memandang musuh yang merangsek maju mengarah pada dirinya. Beliau memandang ke sebelah kanan dan tampak olehnya seorang wanita mengayun-ayunkan pedangnya dengan gagah perkasa melindungi dirinya. Beliau memandang ke kiri dan sekali lagi beliau melihat wanita tersebut melakukan hal yang sama – menghadang bahaya demi melindungi sang Pemimpin orang-orang beriman.

Kata Rasulullah SAW.kemudian, “Tidaklah aku melihat ke kanan dan ke kiri pada perrempuran Uhud kecuali aku melihat Nusaibah binti Ka’ab berperang membelaku.”

Memang Nusaibah binti Ka’ab Ansyariyah demikian cinta dan setianya kepada Rasulullah sehingga begitu melihat junjungannya itu terancam bahaya, dia maju memutar-mutarkan pedangnya dengan perkasa sehingga dikenal dengan sebutan Ummu Umarah, adalah pahlawan wanita Islam yang mempertaruhkan jiwa dan raga demi Islam termasuk ikut dalam perang Yamamah di bawah pimpinan Panglima Khalid bin Walid sampai terpotong tangannya. Ummu Umarah juga bersama Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam dalam menunaikan Baitur Ridhwan, yaitu suatu janji setia untuk sanggup mati syahid di jalan Allah.

Nusaibah adalah satu dari dua wanita yang bergabung dengan 70 orang lelaki Ansar yang berbaiat kepada Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam. Dalam baiat Aqabah yang kedua itu ia ditemani suaminya Zaid bin Ahsim dan dua orang puteranya: Hubaib dan Abdullah. Wanita yang seorang lagi adalah saudara Nusaibah sendiri. Pada saat baiat itu Rasulullah menasehati mereka, “Jangan mengalirkan darah dengan sia-sia.”

(18)

14

Ummu Umarah sendiri menuturkan pengalamannya pada Perang Uhud, sebagaimana berikut: “…saya pergi ke Uhud dan melihat apa yang dilakukan orang. Pada waktu itu saya membawa tempat air. Kemudian saya sampai kepada Rasulullah SAW. yang berada di tengah-tengah para sahabat. Ketika kaum muslimin mengalami kekalahan, saya melindungi Rasulullah SAW, kemudian ikut serta di dalam medan pertempuran. Saya berusaha melindungi Rasulullah SAW dengan pedang, saya juga menggunakan panah sehingga akhirnya saya terluka.”

Ketika ditanya tentang 12 luka ditubuhnya, Nusaibah menjawab, “Ibnu Qumaiah datang ingin menyerang Rasulullah ketika para sahabat sedang meninggalkan baginda. Lalu (Ibnu Qumaiah) berkata, ‘mana Muhammad? Aku tidak akan selamat selagi dia masih hidup.’ Lalu Mushab bin Umair dengan beberapa orang sahabat termasuk saya menghadapinya. Kemudian Ibnu Qumaiah memukulku.”

Rasulullah juga melihat luka di belakang telinga Nusaibah, lalu berseru kepada anaknya, “Ibumu, ibumu…balutlah lukanya! Ya Allah, jadikanlah mereka sahabatku di surga!” Mendengar itu, Nusaibah berkata kepada anaknya, “Aku tidak perduli lagi apa yang menimpaku di dunia ini.”

Subhanallah, sungguh setianya beliau kepada baginda Rasulullah Shallallahu alaihi Wassalam.

 The Black Rider, Khaulah Binti Azur

Ksatria Berkuda Hitam! Itulah sosok Khaulah binti Azur. Seorang muslimah yang kuat jiwa dan raga. Sosok tubuhnya tinggi langsing dan tegap. Sejak kecil Khaulah suka dan pandai bermain pedang dan tombak, dan terus berlatih sampai tiba waktunya menggunakan keterampilannya itu untuk membela Islam bersama para mujahidah lainnya.

Dalam salah satu peperangan melawan pasukan kafir Romawi di bawah kepemimpinan Panglima Khalid bin Walid, diriwayatkan, tiba-tiba saja muncul seorang penunggang kuda berbalut pakaian serba hitam yang dengan tangkas memacu kudanya ke tengah-tengah medan pertempuran. Bagai singa lapar yang siap menerkam, sosok berkuda itu mengibas-ngibaskan pedangnya dan dalam waktu singkat menumbangkan tiga orang musuh.

Panglima Khalid bin Walid serta seluruh pasukannya tercengang melihat ketangkasan sosok berbaju hitam itu. Mereka bertanya-tanya siapakah pejuang tersebut yang tertutup rapat seluruh tubuhnya dan hanya terlihat kedua matanya saja itu. Semangat jihad pasukan Muslimin pun terbakar kembali begitu mengetahui bahwaThe Black Rider, si penunggang kuda berbaju hitam itu adalah seorang wanita!

Keberanian Khaulah kembali teruji ketika dia dan beberapa mujahidah tertawan musuh dalam peperangan Sahura. Mereka dikurung dan dikawal ketat selama beberapa hari. Walaupun agak mustahil untuk melepaskan diri, namun Khaulah tidak mau menyerah dan terus menyemangati sahabat-sahabatnya. Katanya, “Kalian yang berjuang di jalan Allah, apakah kalian mau menjadi tukang pijit orang-orang Romawi? Mau menjadi budak orang-orang kafir? Di mana harga diri kalian sebagai pejuang yang ingin mendapatkan surga Allah? Dimana kehormatan kalian sebagai Muslimah? Lebih baik kita mati daripada menjadi budak orang-orang Romawi!”

Demikianlah Khaulah terus membakar semangat para Muslimah sampai mereka pun bulat tekad melawan tentara musuh yang mengawal mereka. Rela mereka mati syahid jika gagal melarikan diri. “Janganlah saudari sekali-kali gentar dan takut. Patahkan tombak mereka, hancurkan pedang mereka, perbanyak takbir serta kuatkan hati. Insya Allah pertolongan Allah sudah dekat.

(19)

15

 Nailah, Si Cantik yang Pemberani

Nailah binti al-Farafishah adalah istri Khalifah Ustman bin Affan. Dia terkenal cantik dan pandai. Bahkan suaminya sendiri memujinya begini: “Saya tidak menemui seorang wanita yang lebih sempurna akalnya dari dirinya. Saya tidak segan apabila ia mengalahkan akalku”. Subhanallah!

Mereka menikah di Madinah al-Munawwarah dan sejak itu Ustman kagum pada tutur kata dan keahlian Nailah di bidang sastra. Karena cintanya, Ustman paling senang memberikan hadiah untuk istrinya itu. Mereka punya satu orang anak perempuan, Maryan binti Ustman. Ketika terjadi fitnah yang memecah belah umat Islam pada tahun 35 Hijriyah, Nailah ikut mengangkat pedang untuk membela suaminya. Seorang musuh menerobos masuk dan menyerang dengan pedang pada saat Ustman sedang memegang mushaf atau Al Qur’an. Tetesan darahnya jatuh pada ayat 137 surah Al Baqarah yang berbunyi, “Maka Allah akan memelihara engkau dari mereka.”

Seseorang pemberontak lain masuk dengan pedang terhunus. Nailah berhasil merebut pedang itu namun si musuh kembali merampas senjata itu, dan menyebabkan jari-jari Nailah terputus Ustman syahid karena sabetan pedang pemberontak. Air mata Nailah tumpah ruah saat memangku jenazah sang suami. Ketika kemudian ada musuh yang dengan penuh kebencian menampari wajah Ustman yang sudah wafat itu, Nailah lalu berdoa, “Semoga Allah menjadikan tanganmu kering, membutakan matamu dan tidak ada ampunan atas dosa-dosamu!”

Dikisahkan dalam sejarah bahwa si penampar itu keluar dari rumah Ustman dalam keadaan tangannya menjadi kering dan matanya buta!

Sesudah Ustman wafat, Nailah berkabung selama 4 bulan 10 hari. Ia tak berdandan dan berhias dan tidak meninggalkan rumah Ustman ke rumah ayahnya.

Nailah memandang kesetiaan terhadap suaminya sepeninggalnya lebih berpengaruh dan lebih besar dari apa yang dilihatnya terhadap ayahnya, saudara perempuannya, ibunya dan juga kerabatnya. Ia selalu mendahulukan keutamaannya, mengingat kebaikannya di setiap tempat dan kesempatan. Ketika Ustman terbunuh, ia mengatakan, “Sungguh kalian telah membunuhnya padahal ia telah menghidupkan malam dengan Al Qur’an dalam rangkaian rakaat.”

 Rufaidah binti Sa’ad, Perawat Islam Pertama

Sebagai seorang muslim, kita juga mempunyai tokoh yang menjadi pelopor dunia keperawatan Islam. Ia adalah Rufaidah binti Sa’ad, yang merupakan perawat Islam pertama sejak zaman Rasulullah. Rufaidah binti Sa’ad merupakan perawat muslim pertama di zaman Rasulullah SAW.

(20)

16 BAB V PENUTUP

Hak – Hak Wanita Secara Umum

 Hak menuntut ilmu

 Hak bersosialisasi

 Medapatkan sandang, pangan dan papan dari suami

 Hakuntuk hidup dan mendapatkan nafkah

 Hak mandapat perlakuan baik

 Hak untuk mendapatkan pekerjaan

 Hak untuk mendapakan Warian

Kewajiban Wanita Secara Kedudukan: 1. Kedudukan Wanita Sebagai Anak

 Menjadi annak yang berbuat baik pada kedua orang tua

 Menjadi anak yang menjaga diri dalam pergaulannya

 Menjadi anak yang mewarisi nilai – nilai Islam.

 Menjaga aurat

2. Kedudukan Wanita Sebagai Istri

 Menjadi pasangan hidup bagi suami.

 Menjadi motivator hidup bagi suami

 Menjadi manajer dalam rumah tangga.

3. Kedudukan Wanita Sebagai Ibu:

 Mengandung anak

 Melahirkan dan menyusui

 Merawat dan membesarkan anak.

 Memberikan edukasi pada anak. Tokoh – Tokoh Wanita Islam:

 Siti Khadijah

 Siti Aisyah

 Sumayyah

 Nusaibah, Si Jago Pedang

 The Black Rider, Khaulah Binti Azur

 Nailah, Si Cantik yang Pemberani

(21)

17

DAFTAR PUSTAKA

 https://ahmadnaufa.wordpress.com/2010/03/20/hak-dan-kewajiban-suami-dan-istri-dalam-keluarga/

 Al-‘Asqalani, Ibn Hajar. Bulughul Maram. tt. Surabaya: Tk Kitab Al Hidayah. Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam. 2001.Bandung: Sinar Baru Algesindo. hlm. 422

Hidayat, Komarudin & Azyumardi Azra. Demokrasi: HAM dan Masyarakat Madani. 2006. Jakarta: ICCE UIN Syarif Hidayatullah Jakarta bekerjasama dengan The Asia Foundation.

 https://www.facebook.com/notes/muhammad-abdul-zakir-al-ghifari/hak-dan-kewajiban-suami-istri-nusyuz-dan-syiqaq/10151048163334208

 http://katabelantara.blogspot.co.id/2014/01/hak-dan-kewajiban-suami-istri-dalam.html  http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/muslimah/hak-hak-wanita-dalam-islam/  http://akhwat.web.id/muslimah-salafiyah/akhlak-adab/hak-istri-dalam-islam/

http://www.hidayatullah.com/artikel/tsaqafah/read/2015/02/28/39653/hak-hak-wanita-dalam-islam.html

 http://an-nashihah.com/?p=333

 http://muslim-menjawab.blogspot.co.id/2007/04/kebebasan-wanita-dalam-masyarakat-islam.html

 https://mtaufiknt.wordpress.com/2010/05/21/beberapa-kewajiban-wanita-dalam-islam/

 http://wahdah.or.id/10-kewajiban-seorang-muslimah/

(22)

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan analisis data, pembahasan hasil penelitian, khususnya analisis data seperti yang telah diuraikan dalam pembahasan mengenai membangun kebiasaan anak membaca melalui program

Berdasarkan teori-teori di atas dapat disimpulkan bahwa body image adalah sebuah gambaran, pikiran, ide, persepsi dan sikap seseorang terhadap bentuk tubuh yang

Pendahuluan yang telah dijabarkan, merupakan latar belakang peneliti untuk melakukan Penelitian Tindakan Kepengawasan (PTKp) ini, yang berjudul “Peningkatan Kompetensi

Terhadap variabel hasil padi gogo terlihat bahwa perlakuan N2 yaitu dosis pupuk N 90 kg/ha mampu meningkatkan jumlah malai, jumlah gabah, bobot gabah, bobot

DAFTAR LAMPI

Pada bagian ini akan dibahas cara menkontrol converter tipe buck untuk menghidupkan HPL ( High Power LED ) dengan watt sebesar 50 Watt , pertama dengan

TAP MPR yang dimaksud dalam ketentuan Pasal 7 ayat (1) huruf b Undang-udang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, bisa djabarkan melalui

inframerah thermal yang dapat mendeteksi suhu permukaan. Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pati. Adapun data yang digunakan adalah data Landsat 7 dan Landsat 8. Tujuan