i
KONSEP
LIBAS
DALAM AL-
QUR’AN
( Studi Komparasi dalam Penafsiran Surat Al-
A’raf Ayat 26 Antara
Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar)
SKRIPSI
Diajukan untuk Memperoleh Gelar
Sarjana Ilmu Al-Qur’an dan Tafsir
Oleh:
LAILA ALFIYANTI
NIM: 215-13-009
JURUSAN ILMU AL-
QUR’AN DAN TAFSIR
FAKULTAS USHULUDDIN, ADAB DAN HUMANIORA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
v
MOTTO
Bukankan Allah ta’ala telah menurunkan pakaian untuk menutup aurat, perhiasan dan pakaian takwa yang paling baik?
Syukurilah segala nikmat Allah ta’ala.
Karena hidup itu indah,
vi
PERSEMBAHAN
“Segala Puji hanya milik Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmad serta Ni’mat yang tak terhingga pada penulis, shalawat beriring salam tetap tercurahkan kepada
junjugan kita Nabi Muhammad SWA yang telah menerangi zaman jahiliah menuju
zaman Islamiah dengan agama yang benar dan sempurna...”
Karya ini penulis persembahkan kepada orang-orang terkasih yang selalu ada
untukku :
1. Bapak (Muslimin) dan ibu (Rumini), untuk setiap tetes keringat mereka demi
memberikan kehidupan yang layak kepadaku. Dan setiap do‟a yang selalu
menyertai setiap langkahku.
2. Kepada Abang (M. Samsuddin) dan Adikku (M. Mafatihul Falah) yang selalu
memberikan semangat, membantu kesana kemari dan yang paling setia dalam
menemani penulisan skripsi ini.
3. Dan buat Almamater Tercinta IAIN Salatiga, Khususnya bagi jurusan Ilmu
vii
PEDOMAN TRANSLITERASI ARAB-LATIN
Berdasarkan Surat Keputusan Bersama Menteri Agama RI dan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan RI Nomor 158/1987 dan 0543 b/U/1987, tanggal 22
viii
(ketentuan ini tidak diperlakukan terhadap kata-kata Arab yang sudah terserap ke
dalam bahasa Indonesia, seperti shalat, zakat, dan sebagainya, kecuali bila
ix
2.Bila ta‟ marbutah hidup atau dengan harkat, fathah, kasrah dan
x
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur senantiasa penulis tujukan kepada Allah ta‟ala, Shalawat
dan salam teruntuk sang pujaan hati, Nabi Muhammad saw, beserta keluarga dan
parasahab serta pengikutnya. Berjuta kesempatan-Mu mengantar penulis
menggapaian. Rasa syukur tiada terkira, akhirnya skripsi yang berjudul “Konsep
libas dalam al-Qur‟an (Studi komparasi dalam penafsiran aurat al-A‟raf ayat 26
antara tafsir Ibnu Katsir dan HAMKA) ini dapat terselesaikan meski masih
banyak celah, karena berbagai kekurangan.
Skripsi ini sekalipun jauh dari kata sempurna, ini merupakan upaya
penulis untuk memahami ayat Allah ta‟ala yang sangat luar biasa. Dalam hal ini
penulis tentu tidak terlepas dari bantuan beberapa pihak yang telah memberikan
bimbingan, dukungan, motivasi, do‟a dan segalanya yang penulis perlukan secara jasmani dan rohani. Oleh karena itu dengan ikhlas setlus jiwa, penulis ungkapkan
rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Dr. Benny Ridwan, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ushuluddin,
Adab dan Humaniora (FUADAH) dan seluruh jajaran Dekanat fakultas
Ushuluddin, Adab dan Humaniora, , Bapak Dr. Gufron Ma‟ruf, M.Ag.,
Bapak Dr. Sidqon, MA., dan Bapak Drs. Mubasirun, M.Ag., yang telah
memberi dorongan dan motivasi.
2. Ibunda , Tri Wahyu Hidayati, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur‟an
dan Tafsir (IAT), yang telah memberi dorongan dan motivasi.
3. Bapak, Drs. Mubasirun, M.Ag., selaku pembimbing dalam penyusunan
skripsi ini. Yang telah berkenan meluangkan tenaga, pikiran dan waktunya
guna memberiakan, bimbingan, arahan dan saran-saran hingga selesainya
skripsi ini.
4. Tak terkecuali, kepada Dr. Adang Kuswaya, M.Ag, Prof. Budihardjo,
M.Ag, Dr. MUH Irfan Helmy, Lc. M.A., Miftachur Rif‟ah Mahmud,
M.Ag, Pak Farid Hasan, S. Th.i, M.Hum dan semua dosen yang telah
xi
belum bisa penulis sebutkan satu persatu. Dan tak lupa yang special buat
Abangku M. Samsuddin yang telah membantu kesana-kemari dan setia
menemani serta memberi semangat dalam penulisan skripsi ini.
7. Teman-teman sehimpunan-seperjuanagn di jurusan IAT, yang menjadi
patner akademis dan teman diskusi, Bapak Fauzi, MK. Ridwan, Wahyu
Kurniawan, Triyanah, Rangga, Rohman, Husain Imad yang selalu julit,
Udin, Fatah dan teman yang tidak sengaja selalu menemani di
Perpustakaan dan mengurangi rasa jenuh dengan canda tawanya
Saifunnuha, Bicha, Latif, Samsul, Muda‟i, Wahyu Nur Hidayah, Neny, Fatimah, Novita, Abrar, Fisa dan semua teman-teman yang mungkin bisa
penulis sebutkan satu persatu.
8. Teman-teman al-Ttar‟s, Serta kepada semua pihak yang barangkali belum
tersebutkan, kami ucapkan terima kasih atas segala kontribusi, baik secara
pikiran, waktu, motivasi, saran, materi, dukungan, serta doa.
Akhirnya, penulis do‟akan semoga segala bantuan yang telah diberikan kepada penulis baik materi maupun non materi mendapatkan balasan yang lebih
baik dari Allah Yang Maha Kuasa, Aminn. Semoga dengan adanya skripsi ini
xii
ABSTRAK
Sandang dan pakaian merupakan kebutuhan manusia. Kapan atau dimana pun , baik terbelakang atau maju. pasti seseorang akan membutuhkan apa yang dinamakan pakaian. Banyak sekali sekarang dijumpai bahwa manusia khususnya wanita yang memakai pakaian tetapi tidak sesuai dengan syariat Islam. Padahal Pakaian mempunyai beberapa fungsi diantaranya, penutup aurat, perhiasan, sebagai pembeda dan sebagai pakaian takwa. Maka dalam tulisan ini akan
menjawab tentang konsep libas yang termuat dalam surat al-A‟raf ayat 26.
Dari beberapa fungsi libas tersebut, penulis akan memgungkaap konsep
libas yang terdapat di dalam surat al-A‟raf ayat 26, mengunakan penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA. Dengan metode yang digunakan oleh Ibnu Katsir dan
HAMKA. Bisa ditarik kesimpulan bahwa konsep libas yang tertera dalam surat
al-A‟raf ayat 26, bahwa pakaian itu mempunyai beberapa fungsi : pertama,
pakaian sebagai penutup aurat. Kedua, pakaian sebagai perhiasan. Dan ketiga,
xiii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN... iii
HALAMAN KEASLIAN TULISAN... iv
HALAMAN MOTTO... v
HALAMAN PERSEMBAHAN... vi
HALAMAN PEDOMA TRANSLITERASI... vii
KATA PENGANTAR... x
ABSTRAK... xii
DAFTAR ISI... xiii
BAB I : PENDAHULUAN A. Latar Belakang... 1
B. Rumusan Masalah... 5
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 6
D. Kerangka Teori... 7
E. Kajian Pustaka... 8
F. Metode Penelitian... 11
G. Penegasan Istilah... 13
H. Sistematika Penulisan ... 18
xiv
B. Sejarah Pakaian... 22
C. Fungsi Libas atau Pakaian... 25
D. Syarat-Syarat Berpakaian dalam Islam... 29
BAB III : IBNU KATSIR DAN HAMKA SERTA
PENAFSIRANNYA TERHADAP SURAT AL-A’RAF
AYAT 26
A. Biografi Ibnu Katsir dan HAMKA
1. Ibnu Katsir... 34
2. HAMKA... 40
B. Sekilas Tentang Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar
1. Tafsir Al-Qur‟an Al-Azhim... 44
2. Tafsir Al-Azhar... 46
C. Penafsiran Surat Al-A‟raf Ayat 26
1. Ibnu Katsir dalam Tafsir Al-Qur‟an Al-Azhim... 47
2. HAMKA dalam Tafsir Al-Azhar... 51
BAB IV : PERSAMAAN DAN PERBEDAAN ANTARA
PENAFSIRAN IBNU KATSIR DAN HAMKA SERTA
RELEVANSI DALAM KONTEKS KEKINIAN.
A. Persamaan antara Penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA... 57
B. Perbedaan antara Penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA... 60
D. Keterkaitan atau Relevansi Kedua Mufasir dalam Surat Al-A‟raf
ayat 26...
xv
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan... 70
B. Saran... 70
DAFTAR PUSTAKA... 73
BIOGRAFI PENULIS... 76
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menciptakan segala sesuatu berpasang-pasangan.
Keberpasangan mengandung persamaan sekaligus perbedaan. Persamaan
dan perbedaan itu harus diketahui agar manusia dapat bekerja sama
menuju cita-cita kemanusian.1 Contohnya, Allah menciptakan laki-laki
dan perempuan dalam fisik yang berbeda-beda. Meskipun manusia
diciptakan dengan fisik yang indah. Tidak seharusnya keindahan itu
dibiarkan terbuka dan dapat dikonsumsi untuk siapa saja. Untuk itu
dibutuhkan sesuatu (pakaian) untuk menutupi keindahan tubuh agar tidak
menimbulkan fitnah jika dibiarkan terbuka.
Sandang atau pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok
manusia. Kapan dan di manapun, maju atau terbelakang manusia
beranggapan bahwa pakaian merupakan kebutuhan. Sekalipun kelompok
nudis yang menganjurkan menanggalkan pakaian, merasa
membutuhkannya, paling tidak ketika mereka merasakan dingin.
Akhir-akhir ini khususnya kaum wanita banyak sekali kita jumpai,
baik remaja maupun dewasa yang mengenakan pakaian dengan beragam
model, mulai dari yang ketat hingga bentuk tubuhnya kelihatan, tipis
1
2
sampai-sampai kulit tubuhnya tampak, pendek yang kemudian
bagian-bagian tubuh yang harusnya ditutupi terlihat, pakaian yang panjang namun
terdapat sobekan dari atas sampai paha, hingga faktanya wanita muslimah
yang memakai kerudung hanya untuk menutupi rambutnya saja,
sedangkan bagian leher dan lengan masih tampak. Ada juga yang
berkerudung akan tetapi memakai pakaian yang ketat sehingga lekuk
tubuhnya tampak. Padahal apabila kita cermati, bahwa kaum laki-laki
belum tentu memiliki pandangan yang jelas tentang pakaian wanita.
Dalam al-Qur‟an libas menunjukan pakaian baik lahir maupun batin.2
Pakaiandiperlukan sebagai penutup aurat, untuk menutupi batasan-batasan
yang telah ditentukan Allah kepada kaumnya. Hal ini diperlukan karena
menutup aurat merupakan kewajiban bagi umat muslim. Dalam al-Qur‟an
(Q.S. al-A‟raf (7) : ayat 26) dijelaskan, bahwa Allah telah mewahyukan
kepada Adam untuk menutup auratnya yang kemudian ditiru oleh anak
cucunya. Ayat ini memakai kalimat “Kami telah menurunkan” yang
menunjukan kegunaan pakaian untuk menutup aurat.3
Secara umum, umat Islam mengenal kata libas sebagai pakaian Qur‟an, jilid.V ( Jakarta : Lentera Hati, 2002), hlm. 58-59.
3
bahwa kata libas memiliki arti pakaian yang dikenakan, percampuran,
ketentraman, amal shalih, malu, menutupi dan lain-lain.5 Dari arti dasar ini
bisa diketahui bahwasannya kata libas mempunyai banyak arti tergantung
dimana kata tersebut dipakai.
Al-Qur‟an merupakan kitab suci umat Islam dan merupakan objek
kajian yang tidak pernah habis untuk diteliti. Dari sekian banyak ayat
al-Qur‟an yang berbicara tentang pakaian, ada juga Al-Qur‟an yang
menerangkan tentang fungsi pakaian. Berbicara tentang fungsi pakaian,
seperti yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat al-A‟raf (7) : 26
َكِلَذ ٌرْ يَخ َكِلَذ ىَوْقَّ تلا ُساَبِلَو اًشيِرَو ْمُكِتآْوَس يِراَوُ ي اًساَبِل ْمُكْيَلَع اَنْلَزْ نَأ ْدَق َمَدآ ِنَِب اَي
ْنِم
ِتاَيآ
َنوُرَّكَّذَي ْمُهَّلَعَل ِوَّللا
Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutupi auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan
pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah
sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah , mudah-mudahan mereka
selalu ingat.
Ayat ini setidaknya menjelaskan dua fungsi pakaian, yaitu penutup
aurat yakni hal-hal yang tidak wajar dilihat orang lain dan rawan, serta
sebagai hiasan bagi pemakainya. Sebagian ulama menyatakan bahwa ayat
5. Muhammad bin Mukarram bin Manzur al-Misri, Lisan al-Arab, juz IV (Bairut
4
ini berbicara fungsi ketiga pakaian, yaitu fungsi takwa, dalam arti pakaian
takwa dapat menghindarkan seseorang terjerumus ke dalam bencana dan
kesulitan, baik bencana duniawi maupun ukhrawi.6 Sebagai konsep yang
berkaitan erat dengan kehidupan sehari-hari, kata libas menjadi menarik
untuk dikaji lebih lanjut. Karena seperti yang pernah kita ketahui, konsep
pakaian dalam kata libas belum sepenuhnya terungkap. Banyak yang
berasumsi jika libas dalam al-Qur‟an meiliki arti pakaian saja. Padahal di
samping sebagai pakaian lahir, dalam surat al-A‟raf ayat 26 juga
menyatakan bahwa ada yang dinamai libas at-taqwa dzalika khair /
pakaian takwa dan itu lebih baik. Takwa adalah pakaian kesiapan.
Maksudnya kesiapan untuk bersedia dan bersegera mentaati perintah Allah
dan menjahui segala laranganNya.7
Apalah artinya keindahan lahir, kalau tidak disertai dengan
keindahan batin? Libas at-taqwa / pakaian takwa menutupi hal-hal yang
dapat memalukan dan memperburuk penampilan manusia jika terbuka.
Keterbukaan aurat jasmani dan rohani dapat menimbulkan rasa perih
dalam jiwa manusia., hanya saja rasa itu akan lebih besar bila aurat rohani
terbuka.8
Yang sering menjadi masalah bagi sementara orang adalah
memadukan antara fungsi pakaian sebagai hiasan dengan fungsi pakaian
6. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung : Penerbit Mizan, cet :
09, 1999), hlm. 159-160.
7. Salim A. Fillah, Agar Bidadari Cemburu Padamu, (Yogyakarta : PRO-U
Media, cet :13, 2010), hlm. 62.
8 . M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Tangerang : Lentera
5
sebagai penutup aurat. Di sini tidak jarang orang tergelincir sehingga
mengabaikan ketertutupan aurat demi sesuatu yang dinilainya keindahan
dan hiasan. Agama Islam menghendaki para pemeluknya agar berpakaian
sesuai dengan fungsi-fungsi tersebut atau paling sedikit fungsinya yang
terpenting adalah menutup aurat. Karena penampakan aurat dapat
menimbulkan dampak negatif bagi yang menampakan serta bagi yang
melihatnya.
Untuk membuka tabir polemik seputar pakaian, maka penulis akan
mencoba menulis skripsi dengan judul “ KONSEP LIBAS DALAM
AL-QUR’AN ( Studi Komparasi dalam Penafsiran Surat Al-A’raf ayat 26
Antara Tafsir Ibnu Katsir dan Tafsir Al-Azhar) ”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada uraian dan latar belakang di atas, maka penulis
akan merumuskan beberapa pokok permasalahan yang dikaji dalam
penelitian ini. Pokok permasalahan itu dapat dirumuskan dalam bentuk
pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut :
1. Bagaimana penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA mengenai konsep
libas dalam surat al-A‟raf ayat 26?
2. Bagaimana persamaan dan perbedaan antara tafsir Ibnu Katsir dan
tafsir al-Azhar dalam menafsirkan konsep libas dalam surat al-A‟raf
6
3. Bagaimana relevansi penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA terhadap
surat al-A‟raf ayat 26 dalam kehidupan di masyarakat?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah
dijelaskan di atas, maka penulis mempunyai tujuan dan kegunaan
penelitian, sebagai berikut :
1. Tujuan Penelitian
a. Untuk mengetahui Penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA mengenai
konsep libas dalam surat al-A‟raf ayat 26.
b. Untuk mengetahui persamaan dan perbedaan antara tafsir Ibnu
Katsir dan tafsir al-Azhar dalam menafsirkan konsep libas dalam
surat al-A‟raf ayat 26.
c. Untuk mengetahui relevansi penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA
terhadap surat al-A‟raf ayat 26 dalam kehidupan di masyarakat.
2. Kegunaan Penelitian
Adapun kegunaan penelitian ini sebagai berikut :
a. Diharapkan memberi pengetahuan mengenai konsep libas menurut
penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA.
b. Penelitian ini diharapkan bisa menjadi kontribusi dalam studi
al-Qur‟an, selain itu dapat menambah khazanah keilmuan, trutama
7
D. Kerangka Teori
Seperti yang disinggung di atas, penelitian ini berdasarkan ayat
al-Qur‟an tentang konsep libas, seperti yang telah diketahui bahwa libas
memiliki arti yang luas dan mempunyai fungsi yang banyak. Selain
menjadi penutup aurat libas mempunyai makna perhiasan. Seperti halnya
al-Qur‟an surat al-A‟raf (7) : 26 yang menjelsakan tentang fugsi pakaian
sebagai penutup aurat dan perhiasan. Selain itu ayat ini juga menerangkan
fungsi ketiga pakaian yaitu sebagai pakaian takwa.
Sebagai mana pendapat Quraish Shihab mengenai fungsi libas
sebagai penunjuk identitas dan pembeda antara seseorang dengan yang
lain. Berikut merupakan fungsi libas : pertama, Penutup Sau-at Aurat :
Kata Sau-at sama maknanya dengan aurat, yang terambil dari kata „ar
yang berarti onar, aib dan tercela. Keburukan ini tidak harus dalam arti
sesuatu yang buruk, akan tetapi bisa juga karna ada faktor lain yang
mengakibatkannya buruk. Karna tidak satupun dari bagian tubuh yang
buruk karena seemuanya baik dan bermanfaat termasuk aurat. Tetapi bila
dilihatan orang, maka “ kelihatanlah” yang menjadikannya buruk.9
Kedua,
Perhiasan : Di bagian terdahulu telah dikemukakan ayat al-Qur‟an yang
memerintahkan umat Islam agar memakai perhiyasannya lebih-lebih
ketika berkunjung ke mesjid (QS al-A‟raf (7) : 31. Perhiasan adalah
sesuatu yang dipakai untuk memperelok. Tentunya pemakaiannya sendiri
9. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an, (Bandung : Penerbit Mizan, cet :
8
harus lebih dahulu manganggap bahwa perhiasan tersebut indah, kendati
orang lain tidak menilai indah atau pada hakikatnya tidak indah.10
Allah Swt. Menyebutkan anugrah yang telah diberikannya kepada
hamba-hambanya, antara lain Dia telah menjadikan untuk mereka pakaian
dan perhiasan, pakaian untuk menutupi aurat, sedangkan perhiasan untuk
memperindah penampilan lahiriah. Pakaian termasuk kebutuhan pokok,
sedangkan perhiasan termasuk keperluan sampingan.
Selain itu dalam ayat tersebut juga dijelaskan, “Dan pakaian takwa
itulah yang lebih baik. (al-A‟raf :26). Menurut Ibnu Katsir, ulama tafsir
berbeda pendapat mengenai maknanya. Ada yang mengatakan bahwa
libasut takwa adalah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang
bertakwakelak di hari kiamat. Selain itu libasut takwa ialah iman. (dan
pakaian takwa) yakni amal saleh dan akhlak baik.
E. Kajian Pustaka
Seperti yang disinggung di atas, penelitian ini merupakan
penelitian komparasi atas sebuah konsep atau kata kunci dalam al-Qur‟an.
Karena itulah, meskipun perihal sudah banyak dibahas dalam beberapa
penelitian , belum ada satupun diantaranya yang seecara khusus membahas
konsep libas dalam surat al-A‟raf. Maka alam penelitian ini, penulis
merujuk pada karya-karya yang membahas tentang libas (pakaian) dalam
9
al-Qur‟an. Penulis mengadakan penelusuran terhadap karya-karya yang
telah membahas tema yang sama antara lain sebagai berikut :
Pertama, buku karya KH. A. Mudjib Mahalli yang berjudul
“Muslimah dan Bidadari (Serpihan Hikmah di Balik Kitab Klasik)”.
Dalam judul buku ini sekilas menyiratkan makna bahwa seluruh Muslimah
harus berpegang teguh pada ajaran agama, bejiwa mulia dan berakhlak
islami, karena hal tersebut merupakan kunci kemaslahatan dan
kebahagiaan bagi setiap individu maupun masyarakat. Salah satunya
dengan memakai busana muslimah yang memenuhi standar syari‟ah.
Diantaranya : menutup seluruh tubuh, terbuat dari kain yang tebal bukan
yang tipis dan menutupi perhiasan yang menempel pada tubuh.11
Kedua, buku karya Ibnu Khalis yang berjudul “Segala Jenis
Kesalahan Paling Sering dalam Berjilbab dan Berbusana Muslim” di
dalam buku ini menerangkan bagaimana kriteria dalam berjilbab dan
berbusana muslimah, berjilbab dan berbusana muslimah menurut syariat
Islam dan masih banyak bab-bab yang menerangkan tentang bagaimana
menjaga tubuh dengan baik dari godaan setan dan juga manusia. Dalam
hal ini dengan menjaga dan menutup aurat dengan jilbab dan busana
Muslimah.
10
Ketiga, Skripsi yang berjudul “Penafsiran M. Syahrur atas Pakaian
Perempuan dalam al-Qur‟an” karya Fazat Azizah.12 Di dalam skripsi ini
dijelaskan tentang pandangan beberapa ulama tafsir kontemporer
mengenai pakaian terutama pakaian perempuan. Skripsi ini hanya
menjelaskan tentang penafsiran Syahrur mengenai pakaian dalam
al-Qur‟an dan tidak menjelaskan tentang semantik. Keempat, Skripsi yang
berjudul “ Kajian Semantik Kata Libas dalam al-Qur‟an” karya Unun
Nasihah.13 Fakultas Ushuluddin, UIN Sunan Kalijaga. Dalam skripsi ini
dijelaskan mengenai makna libas yang terdapat dalam al-Qur‟an,
membahas variasi lafadz-lafadznya serta membahas semantik kata libas
yang terdapat dalam al-Qur‟an. Kelima, Skripsi yang berjudul “Etika
Berpakaian Perspektif Al-Kitab dan Al-Quran” karya Arief Saefullah. Di
dalam skripsi ini dijelaskan bagaimana etika berpakaian yang digambarkan
dalam al-Kitab dan Al-Qur‟an. Dan bagaimana perbedaan dan persamaan
yang terdapat dalam al-Kitab dan Al-Qur‟an ketika menjelaskan tentang
etika berpakaian.
Selanjutnya, Jurnal Tingkat Sarjana yang berjudul “Mengenakan
Pribadi” karya Megan Arlin, Program Studi Sarjana Seni Grafis, Fakultas
Seni Rupa dan Desain (FSRD) ITB. Dalam jurnal ini dijelaskan tentang
arti pakaian di luar fungsi pokok pakaian tersebut, penulis mengungkap
bahwa pakaian akan memberikan kecantikan, kebanggaan, identitas dan
12. Fazat Azizah, „‟Penafsiran M. Syahrur atas Pakaian Perempuan dalam
al-Qur‟an”, Skripsi fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2006.
13. Unun Nasihah, “ Kajian Semantik Kata Libas dalam al-Qur‟an”, Skripsi
11
juga menjadi suatu privasi. Dijelaskan juga penulis tidak memandang
bahwa pakaian sebagai kebutuhan pokok melainkan sebagai sesuatu yang
emosional.
Sebenarnya penelitian ini tidak jauh berbeda dengan
penelitian-penelitian sebelumnya. Dalam penelitian-penelitian ini penulis akan membahas
konsep libas dalam surat al-A‟raf ayat 26 studi komparasi atas tafsir Ibnu
Katsir dan al-Azhar . Adapun yang membedakan penelitian kali ini dengan
penelitian sebelumnya adalah bagaimana kedua mufasir menafsirkan
konsep libas yang tertera dalam surat al-A‟raf ayat 26. Selain itu
membahas ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat tersebut serta
memaparkan relevansi konsep libas dengan konteks masyarakat sekarang.
penelitian ini mengunakan metode komparatif dengan judul konsep libas
dalam Al-Qur‟an surat Al-A‟raf ayat 26 studi komparasi atas tafsir Ibnu
Katsir dan HAMKA.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini tergolong penelitian kualitatif, bisa juga
dikatagorikan sebagai penelitian kepustakaan.14 Yang mana objek
penelitiannya bersumber dari buku-buku kepustakaan dan akan
disandarkan pada teks-teks tertulis yang berkaitan dengan pokok bahsan
12
yang diangkat. Baik itu bersumber dari kitab, buku, jurnal, artikel maupun
karya ilmiah yang sesuai dengan objek kajian.
2. Sumber Data
Adapun seluruh sumber data dalam penelitian ini adalah data
pustaka dengan klasifikasi sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer adalah tafsir karya Ibnu Katsir yang berjudul Tafsir
Al-Qur‟an al-Azim dan tafsir karya Buya HAMKA yang berjudul Tafsir
al-Azhar, yang berhubungan dengan konsep libas yang menjadi pokok
pembahasan dalam penelitian. Sedangkan untuk data sekunder, penulis
merujuk kepada buku-buku yang memiliki korelasi dengan tema-tema
penelitian, yang terdiri dari pemikiran para mufassir mengenai tema pokok
penelitian. Selian itu penulis juga merujuk kepada artikel atau jurnal yang
berkaitan dengan tema.
3. Teknik Pengumpulan Data
Karena semua sumber data penelitian ini adalah sumber pustaka,
teknik pengumpulan data dilakukan dengan mengumpulkan berbagai data
dari sumber yang relevan, kemudian diseleksi. Sumber data tersebut
berasal dari dua tafsir inti, kamus, semua sumber data berupa buku, jurnal
dan lain-lain yang berhubungan dengan tema penulisan. Setelah data
terkumpul akan dipilih atau diseleksi data-data tersebut sesuai dengan bab
13
4. Teknik Analisis Data
Setelah terkumpul, data-data tersebut diolah dengan
deskriptif-analisis kemudian komparatif. Dalam konteks penelitian ini, teknik
tersebut diaplikasikan dengan tiga langkah. Pertama, menghimpun surat
al-A‟raf ayat 26 yang dijadikan objek studi, kemudian menoleh kepada
ayat-ayat yang berhubungan dengan ayat tersebut. Kedua, menganalisis
pendapat kedua ulama tafsir dengan memadukan dua tokoh mufasir klasik
dan kontemporer dan ketiga, membandingkan pendapat-pendapat mereka
untuk mendapatkan informasi yang berkenaan dengan identitas dan pola
berfikir dari masing-masing mufasir. Pemilihan teknik yang demikian juga
menyiratkan bahwa penelitian ini tidak sekedar memindah dan menyebut
kembali data yang didapat dari sumber-sumber data. Selain itu, penelitian
ini juga menekankan ciri komparatifnya dengan membandingkan kedua
objek penelitian ini untuk kemudian menjelaskan persamaan dan
perbedaan kedua tafsir tersebut dan relevansi pemikiran kedua mufasir
dengan konteks kekinian.
G. Penegasan Istilah
Untuk memperjelas konsep-konsep dasar dalam penelitian ini,
penulis merasa perlu untuk memjelaskan istilah-istilah yang terkait sebagai
berikut :
Konsep, adalah kata tunggal bisa dinyatakan dengan bahasa
14
dalam bahasa Prancis dan perro dalam bahasa Spanyol. Konsep dapat
didefinisikan sebagai suatu gagasan atau ide yang relative sempurna dan
bermakna. Sedangkan dari pengertian lain konsep adalah rancangan, ide
dan peristiwa yang diabstrakkan dari peristiwa kongrit, atau apapun yang
ada diluar bahasa yang digunkan oleh akal budi untuk memahami hal-hal
lain. Dengan demikian konsep merupakan suatu peta perencanaan untuk
masa depan, sehingga bisa dijadikan sebagai pedoman dalam melakukan
segala kegiatan.15
Libas, dalam bahasa aslinya terdapat pada bahasa Arab, kata libas
bisa berarti pakaian, percampuran dan menutupi.16 Dalam kamus Lisan
al-„Arab, dijelaskan bahwa kata libas memiliki arti pakaian yang dikenakan,
percampuran, ketentraman, amal shalih, malu, menutupi dan lain-lain.17
Dari arti dasar ini bisa diketahui bahwasannya kata libas mempunyai
banyak arti tergantung dimana kata tersebut dipakai.
Al-Qur‟an berasal dari bahasa Arab qara‟a yang berarti
menghimpun huruf-furuf dan kata-kata yang satu dengan yang lain dalam
suatu ucapan yang rapi. Al-Qur‟an adalah kitab suci yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad dengan perantara malaikat Jibril, sebagai
petunjuk dan pedoman bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan dunia
15. W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta : Balai
Pustaka, 1991), hlm. 456.
16. Adib Bisri dan Munawir. A. Fatah, Kamus al-Bisri Indonesia-Arab Arab-Indonesia, (Surabaya : Pustaka Progressif, 1999), hlm. 652.
17. Muhammad bin Mukarram bin Manzur al-Misri, Lisan al-Arab, juz IV (Bairut
15
dan akhirat. Al-Qur‟an diturunkan secara berangsur-angsur selama 22
tahun 2 bulan 22 hari dan setiap turunnya ayat Nabi memerintah sahabat
untuk menulis ayat. Para sahabat menulis ayat-ayat tersebut di
kepingan-kepingan tulang, pelepah kurma dan batu-batu.18
Metode Tafsir Komparatif (muqaran) adalah metode tafsir yang
menjelaskan al-Qur‟an dengan cara perbandingan atau bisa juga disebut
dengan metode komparatif (metode perbandingan). Prof. Muin Salim
menjelaskan bahwa metode muqaran digunakan dalam membahas
ayat-ayat al-Qur‟an yang memiliki kesamaan redaksi namun berbicara tentang
topik yang berbeda, atau sebaliknya topik yang sama dengan redaksi yang
berbeda. Ada juga diantar penafsir yang membandingkan antara ayat-ayat
al-Qur‟an dengan hadis Nabi. Yang secar lahiriah tampak berbeda.19
Ada juga pengertian yang lebih luas mengenai metode tafsir
perbandingan antara lain : Pengertian dari bebrbagai literatur yang ada,
dapat dirangkum apa yang dimaksud dengan metodologi komparatif :
1) Membandingkan teks ayat-ayat Al-Qur‟an yang memiliki
persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, atau
memiliki redaksi yang berbeda bagi satu kasus yang sama.
2) Membandingkan ayat Al-Qur‟an dengan hadis
18 . Hasby Ash-Shidiqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta : Bulan
Bintang, 1955), hlm. 61-65.
19. Muin Salim, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : TERAS, Cet. 1, 2005),
16
3) Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam
menafsirkan Al-Qur‟an.20
Urgensi Metode Komparatif, Berdasarkan uraian di atas, metode
komparatif amat penting posisinya, terutama dalam rangka
mengembangkan pemikiran tafsir yang rasional dan objektif, sehingga
dapat gambaran yang komprehensif berkenaan dengan latar belakang
lahirnya suatu penfsiran dan dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran
dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur‟an pada priode-priode
selanjutnya.21
Dari ciri-ciri komparatif di atas, penulis akan mencoba
membandingkan pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan al-Qur‟an.
Sebagai mana tema penelitian ini, akan membandingkan penafsiran Ibnu
Katsir dan HAMKA dalam memahami konsep libas yang tertera dalam
surat al-A‟raf ayat 26.
Surat Al-Araf, surat al-A‟raf adalah surat yang ke 7 dari 114 surat
Al-Qur‟an, surat al-A‟raf terdiri dari 206 ayat dan termasuk golongan
surat-surat Makkiyyah karena seluruh ayatnya diturunkan di Makkah,
surat ini dinamakan al-A‟raf yang berarti tempat tertinggi.
Tafsir al-Qur‟an al-Azhim sering dikenal sebagai tafsir Ibnu Katsir,
pada dasarnya, tafsir ini merupakan sebuah tafsir yang pengarangnya
20. Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur‟an, (Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 65
17
merupakan imam yang terhormat, cendekia yang bergelar al-Hafidz
Imaduddin Abil Fida‟ Ismail bin Katsir al-Qurasyi ad-Damasyiqi. Ibnu
Tafsir al-Azhar merupakan karya gemilang HAMKA.
Penulisannya di mulai sejak tahun 1958. Didalam tafsir ini ia
mengomunikasikan ide-ide barunya dalam menafsirkan al-Qur‟an. Ide-ide
pembaruannya sebagai hasil interaksinya dalam bidang agam, sosial
budaya dan politik itu telah memperkaya nuansa penafsirannya. Terdapat
karakter umum bahwa tafsir al-Qur‟an berbahasa non Arab, dalam tahapan
penafsirannya senantiasa merujuk pada tafsir berbahasa Arab.23 Tafsir
al-Azhar layak disebut tafsir al-Qur‟an. Karena pemahaman mufasir
HAMKA memenuhi kriteria penafsiran. Diantara kriteria itu ialah dari segi
penjelasan lafadz, kalimat ayat dengan sumber, alat dan satuan kajian dan
pemahaman, mufasir telah menerapkan prinsip-prinsip penafsiran yang
berlaku. Secara umum metode yang digunakan dalam tafsir al-Azhar
22. Muhammad Nasib ar-Rifa‟i, Tafsiru al-Aliyyul Qadir li Iktishari Tafsir Ibnu Katsir, (Maktabah Ma‟arif Riyadah, cet :baru, 1989 M).
18
adalah metode tahlili dengan pendekatan sastra dan bercorak adabi
ijtima‟i.24
Jadi, yang dimaksud dengan dengan konsep libas dalam al-Qur‟an
studi komparasi penafsiran surat al-A‟raf ayat 26 atas tafsir Ibnu Katsir
dan tafsir al-Azhar adalah menjelaskan bagaimana konep libas yang tertera
dalam surat al-A‟raf ayat 26 menurut kedua ulama tafsir klasik dan
kontemporer. Maksud dari pada pembahasan ini adalah konsep libas yang
dapat diambil dari pemahaman surat al-A‟raf ayat 26. Berbicara tentang
fungsi pakaian, seperti yang terdapat dalam Al-Qur‟an surat al-A‟raf (7) :
26. Dari ayat tersebut penulis menemukan fungsi pakaian lahir maupun
fungsi pakaian batin.
H. Sistematika Penulisan
Sebagai usaha untuk membahas pokok permasalahan dalam skripsi
ini, penulis memaparkan pembahasan dalam lima bab, dimana antara satu
bab dengan bab lainnya mempunyai keterkaitan yang logis.
Pembahasan diawali dengan bab satu yaitu pendahuluan yang
mencakup beberapa hal yakni latar belakang masalah, rumusan masalah,
tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teori, telaah pustaka, metode
penelitian, penegasan istilah dan diakhiri dengan sistematika pembahasan.
Bab pertama ini merupakan acuan atau gambaran umum tentang
24. Ratnah Umar, 2015. Tafsir al-Azhar Karya HAMKA (metode dan Corak
19
keseluruhan penelitian, juga berfungsi untuk menjelaskan batas-batas
penelitian, metode yang digunakan dan sistematika.
Bab kedua, pembahasan seputar libas atau pakaian secara umum.
Pada bab ini membahas tentang seputar pakaian seperti : pengertian,
sejarah pakaian, fungsi pakaian dan syarat-syarat berpakaian dalam Islam.
Uraian ini merupakan salah satu acuan untuk memetakan konsep libas.
Bab ketiga, Penafsirannya Ibnu Katsir dan HAMKA atas surat
al-A‟raf ayat 26. Bab ini dibagi menjadi beberapa subbab, subbab pertama,
menjelaskan tentang Biografis Ibnu Katsir dan Hamka. Subbab kedua,
sekilas tentang Tafsir Ibnu Katsir dan al-Azhar. Subbab ketiga, membahas
tentang penafsiran Ibnu Katsir dan HAMKA terhadap surat al-A‟raf ayat
26.
Selanjutnya, bab keempat berisi analisis data, pada bab ini dibagi
menjadi dua subbab. Yang pertama tentang persamaan dan perbedaan
penafsiran kedua mufasir dan bab kedua berisi tentangg relevansi
penafsiran kedua mufasir atas surat al-A‟raf ayat 26 dengan konteks
kekinian.
Adapun bab terakhir, bab kelima, berisi kesimpulan dan saran.
Subbab kesimpulan adalah intisari dari hasil penelitian sekaligus
merupakan jawaban dari rumusan masalah yang disebutkan dalam bab
20
beberapa rekomendasi penelitian lanjutan yang bisa dilakukan dan
21
BAB II
SEPUTAR LIBAS ATAU PAKAIAN
Pengertian, Sejarah, Fungsi Pakaian dan Syarat Berpakaian dalam Islam
A. Pengertian libas atau Pakaian
Libas merupakan kosakata berbahasa Arab yang bermakna
pakaian. Dalam Lisan al-Arab disebutkan ada beberapa macam makna
untuk libas yaitu, memakai (albasa, labisa), mencampur (khalata, labasa),
penutup (gisya‟), menenangkan (al-sakan) dan lain sebagainya.25 Dari
beberapa makna dasar ini bisa diketahui bahwasannya libas mempunyai
makan yang beragam tergantung di mana kata itu diletakan. Maka
maknanya akan mengikuti konteksnya (siyaq al-kalam).
Secara leksikal, akar kata lam-ba‟-sin mempunyai dua makna dasar
yaitu, labasa labsan yang berarti campuran, labisa lubsun yang berarti
memakai penutup dengan sesuatu. 26 Untuk mengatakan pakaian, oarang
Arab menggunakan kata libas.
Dalam Kamus Indonesia Arab yang disusun oleh Asad M.
Alkalali27 labisa – yalbasu sama dengan ista‟mala – yasta‟malu yang
artinya pakai atau memakai.
25. Muhammad bin Mukarram bin Manzur al-Misri, Lisan al-Arab...hlm. 3986. 26. Jumhuriyyah Mashr Mujamma‟, Lughah al-Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith,
(Kairo : Dar al-Syuruq, 2004), hlm. 812.
27. Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : PT Bulan Bintang), Hlm.
22
Quraish Shihab berpendapat bahwa AL-Qur‟an mengunakan tiga
istilah untuk pakaian yaitu, libas, ṡiyab dan sarabil. Kata libas pada
mulanya berarti penutup, apa pun yang ditutup. Dan libas digunakan
al-Qur‟an untuk menunjukan pakaian lahir maupun batin.
Sedangkan pakaian menurut definisi Kamus Besar Bahasa
Indonesia adalah barang apa yang dipakai (baju, celana dan sebagainya).
Kata pakaian bersinonim dengan kata busana. Namun pakaian mempunyai
konotasi yang lebih umum dari pada busana. Busana seringkali dipakai
untuk baju yang tampak dari luar saja.28
B. Sejarah Libas atau Pakaian
Kata libas digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian
lahir maupun batin, sedangkan kata ṡiyab digunakan untuk menunjukkan
pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata ṡaub yang berarti kembali, yakni
kembalinya sesuatu pada keadaan semula atau keadaan yang seharusnya
sesuai dengan ide pertamanya.
Ar-Raghib Al-Isfahani merupakan seorang pakar bahasa al-Qur‟an
menyatakan bahwa pakaian dinamai ṡiyab atau ṡaub, karena ide dasar
adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Ide dasar juga dapat
dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama
tentang dirinya. Seperti halnya al-Qur‟an surat al-A‟raf ayat 20 yang
menjelaskan tentang peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga :
28. Arief Saefullah, Etika Berpakaian Perspektik al-Kitab dan al-Qur‟an, Skripsi
23
setan berkata “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya
kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di Surga).
Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa :
َب َةَرَجَّشلا اَقاَذ اَّمَلَ ف
ِةَّنَْلْا ِقَرَو ْنِم اَمِهْيَلَع ِناَفِصَْيَ اَقِفَطَو اَمُهُ تآْوَس اَمَُلَ ْتَد
...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu,
tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya
menutupinya dengan daun-daun surga...
Ketika keduanya memakan buah tersebut dan aurat mereka terlihat,
maka mereka segera menutupinya dengan dedaunan. Ini menunjukkan
bahwa menutup aurat adalah tindakan alamiah yang diperuntukkan
manusia oleh Allah ketika auratnya terbuka (meskipun di depan kerabat
terdekatnya). Di antara sisi kesesuaian antara agama dan fitrah manusia
adalah adanya bimbingan Allah bagi manusia untuk memakai pakaiaan.29
Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia
adalah “tertutupnya aurat”, namun karena gpdaan setan, aurat manusia
29. Muhammad Bultaji, Kedudukan Wanita : dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah,
24
terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutp dengan pakaian akan
dikembalikan pada ide dasarnya.
Dari ayat di atas juga tampak bahwa ide “membuka aurat” adalah
ide setan dan tanda-tanda kehadiran setan adalah “keterbukaan aurat”.
Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh al-Biqa‟i dalam bukunya Subuhat
Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi saw. Belum memperoleh
keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira apakah dari malaikat
atau dari setan, beliau menyatakan hal tersebut kepada istrinya Khadijah.
Khadijah berkata, “Jika engkau melihatnya lagi berita itulah aku”. Ketika
di waktu lain Nabi saw. Melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira,
Khadijah membuka pakaiannya sambil bertanya, “sekarang, apakah
engkau melihatnya?” Nabi saw menjawab “Tidak..dia pergi”. Khadijah
dengan penuh kayakinan berkata, “ Yakinlah yang datang bukan
setan ,...(karena hanya setan yang senang melihat aurat)”.30
Sementara ilmuan berpendapat bahwa manusia baru mengenal
pakaian sekitar 72.000 tahun yang lalu. Dibuktikan dengan ditemukanya
pakaian Homo sepiens yang terbuat dari kulit hewan untuk
menghangatkan tubuh nenek moyang. Sekitar 25.000 tahun yang lalu
barulah ditemukan cara menjahit pakaian dari kulit dan mulai saat itulah
jenis pakaian mulai semakin berkembang.31
30. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Maudu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Penerbit Mizan), hlm. 155-157.
31
25
C. Fungsi Libas atau Pakaian
Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak bisa terlepas
dari kehidupan manusia sehari-hari. Manusia membutuhkan pakaian,
karena dengan berpakaian bisa menawarkan berbagai kebaikan dan
manfaat bagi pemakainya. Berdasarkan uraian di atas, pakaian yang
digunakan oleh seseorang haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi yang
ada, agar tidak menyebabkan masalah bagi dirinya dan lingkungannya.
Diantara fungsi pakaian adalah sebagai berikut:32
1. Menutupi aurat dan Sebagai perbiasan
Pakaian yang baik adalah pakaian yang menutupi aurat seseorang.
Aurat sebisa mungkin ditutupi agar tidak menimbulkan berbagai hal yang
tidak diinginkan terutama dengan lawan jenis. Karena aurat merupakan
hal-hal yang tidak wajar dilihat orang lain dan rawan “kecelakaan”.
Sebagaimana yang diterangkan dalam surat al-A‟raf ayat 26 “Wahai
putra-putra Adam! Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang
berfungsi menutup aurat kamu.” karena fungsinya sebagai penutup aurat,
maka dalam berbusana menurut Quraish Shihab ada yang harus
diperhatikan agar pola berbusana tidak bertentangan dengan nilai-nilai
etika ajaran Islam. Oleh sebab itu, ada beberapa larangan yang harus
diperhatikan oleh umat islam dalam berpakaian. Larangan tersebut
diantaranya : pertama, tidak boleh tabaruj. Maksudnya, tidak boleh
26
menampakan perhiasan dalam pengertian umum yang biasanya tidak
ditampakkan oleh wanita baik-baik atau memakai sesuatu yang tidak wajar
dipakai. Kedua, tidak boleh mengundang perhatian laki-laki. Ketiga, tidak
boleh memakai pakaian yang transparan atau ketat. Pakaian yang masih
menampakan kulit atau pakaian ketat yang masih memperlihatkan
lekuk-lekuk badan, tergolong pakaian yang transparan.33
Selain sebagai penutup aurat ada juga sebagai perhiasan bagi
pemakainya. Tertera dalam lanjutan surat al-A‟raf ayat 26 yang berbunyi
“ dan bulu (sebagai pakaian indah untuk perhiasan).” Seseorang bisa tampil
lebih menarik jika mengenakan pakaian yang tepat. Ditambah dengan
aksesoris pakaian dan ditunjang dengan perbaikan penampilan yang dapat
meningkatkan daya tarik seseorang dimata orang-orang yang ada
disekitarnya.34
2. Pelindung tubuh manusia
Sebagaimana yang tertera dalam surat an-Nahl ayat 81. “ Dan Dia
(Allah) menjadikan bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas
dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.” Ayat
ini mengiyaratkan fungsi pakaian sebagai pelindung manusia dari sengatan
panas dan dingin serta membentengi manusia dari hal-hal yang dapat
menganggu ketentramannya.35
33
. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 50. 34
. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 50. 35
27
3. Sebagai penunjuk identitas
Identitas adalah sesuatu yang menggambarkan eksistensinya
sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan
seseorang ada yang bersifat materil dan ada juga yang inmateril. Tidak
dapat disangkal bahwa fungsi pakaian antara lain berfungsi menunjukan
identitas serta membedakan seseorang dari lainnya dalam sifat dan
profesinya.36
Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan
jasmani yang mengambarkan identitasnya. Disadari sepenuhnya bahwa
islam tidak datang mentukan mode pakaian tertentu. Namun demikian,
agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam berpakaian tercermin
identitasnya.
Sebagaimana yang terdapat pada al-Quran surat al-Ahzab ayat 59
yang menyatakan “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak
perempuanmu dan istri orang mukmin, „hendaklah mengulurkan atas diri
mereka.‟ Yang demikian itu supaya mereka lebih (mudah untuk) dikenal,
sehingga mereka tak diganggu.” Ayat ini mengisyaratkan dimana
wanita-wanita muslimah diperintah untuk mengulurkan jibab mereka keseluruh
tubuh mereka supaya mereka lebih mudah dikenal identitasnya sebagai
36
28
wanita-wanita terhormat sehingga tidak diganggu oleh siapa pun yang
usli.37
4. Ketakwaan
Di samping sebagai pakaian lahir, al-Qur‟an juga menyatakan ada
yang dinamakan dengan “libas at-taqwa dzalika khair” penggalan ayat ini
dapat juga dipahami sebagai fungsi keempat dari pakaian. Apalah artinya
keindahan lahir, kalau tidak disertai dengan keindahan batin? Pakaian
takwa menutupi hal-hal yang dapat memalukan dan memperburuk
penamilan manusia jika terbuka. Keterbukaan aurat jasmani dan rohani
dapat menimbulkan rasa perih dalam jiwa manusia, hanya saja rasa perih
dan malu yang dirasakan , bila aurat rohani terbuka, jauh lebih besar dari
pada keterbukaan aurat jasmani, baik di dunia dan lebih-lebih di akhirat.38
Masih banyak pendapat lain tentang makna pakaian takwa
misalnya, malu atau pakaian yang menampakan kerendahan diri kepada
Allah yang digunakan beribadah atau penampilan yang baik dan lain-lain.
Pakaian takwa bila telah dikenakan seseorang maka”Ma‟rifat akan
menjadi modal utamanya, pengendalian diri ciri aktivitasnnya, kasih asas
pergaulannya, kerinduaan pada Illahi tunggangannya, zikir pelipur
hatinnya, keprihatinan adalah temannya, ilmu senjatannya, sabar
busananya, kesadaran akan kelemahan di hadapan Allah, zuhud (tidak
terpaku pada kemegahan duniawi) perisainya, kebenaran andalannya, taat
37
. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 51-52 38
29
kecintaannya, jihad kesehariannya dan shalat adalah buah mata
kesayangannya. Jika pakaian takwa sudah menghiasi jiwa seseorang, akan
terpelihara identitasnnya lagi anggun penampilannya. Orang yang
mengenakan pakaian takwa akan selalu bersih walau miskin, hidup
sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya.39
D. Syarat-Syarat Berpakaian dalam Islam
Penjelasan sebelumnya telah diuraikan tentang fungsi pakaian, kini
akan dibahsa tentang cara berjilbab dan berbusana muslimah yang baik
dan sempurna. Pentingnya membahas persoalan ini, karena hal ini akan
menyangkut dengan perilaku sehari-hari baik di rumah maupun di luar
rumah. Bagi kaum wanita yang hendak keluar rumah, maka wajib
menutup aurat mereka. Adapun syarat-syarat berpakaian muslimah dalam
Islam yaitu sebagai berikut : 40
1. Menutup seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.
Di wajibkan menutup aurat bagi wanita muslimah, yang mana
sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nur dan al-Ahzab. Menutup
wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada
larangan untuk menampakan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua
telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek
yang tidak pernah lepas dari wanita.
39. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur‟an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), Hlm. 96
30
2. Busana yang digunakan tidak berfungsi sebagai perhiasan
Nur Syam menjelaskan bahwa gaya berpakaian Islami pun telah
memasuki paradoks globalisasi. Di satu sisi seseorang ingin menampilkan
gaya berpakaian islam dengan jilbab sebagai tutup kepala.41 Sebagaimana
yang terkandung dalam surat an-Nur ayat 31, menjelaskan bahwa semua
wanita diperbolehkan mengunakan busana dan jilbab apa saja, asal jangan
dihiasi dengan berbagai macam perhiasan atau pernak-pernik yang
nantinya menyebabkan kaum laki-laki akan memandangnya, sehingga
dikhawatirkan terjadi kemaksiatan atau sesuatu hal yang sekiranya akan
merugikan kaum wanita.
Pengertian dari pada tabarruj adalah sebuah tingkah laku wanita
yang mampu memperlihatkan perhiasannya atau auratnya kepada orang
lain yang bukan mahramnya, baik itu dari segi bentuk tubuh maupun
kecantikan wajah, karena hal tersebut akan mampu membuat hawa nafsu
laki-laki menaik.
3. Kainnya harus tebal
Yang dinamakan menutup aurat, tentu bahan yang digunakan harus
tebal, bukan hanya sekedar menutupi namun bahannya tipis, karena hal itu
sama saja dengan tidak menutupi aurat. Bahwa dengan menggunkan kain
yang tipis akan mampu menyifati bentuk tubuh dan menebarkan pesona
31
serta memperlihatkan warna kulitnya dan itu adalah hal yang dilarang oleh
agama.42
4. Tidak ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuh
Banyak sahabat Nabi yang menjelaskan tentang umumya
berbusana muslimah yang panjang dan berbentuk longgar, para laki-laki
umumnya yang melihat akan tidak terlalu bernafsu, karena semua aurat
ditutupi. Tetapi beda halnya dengan mengenakan busana muslimah namun
busana yang digunakannya sangatlah feminim, hal ini pasti akan membuat
para peliriknya merasa senang dan enggan untuk melepaskan
pandangannya terhadap wanita tersebut.43
5. Busana tidak menyerupai pakaian laki-laki
Dalam berbusana hendaknya seorang wanita muslimah tidak
menyerupai laki-laki. Ada hadis shahih yang mengupas tentang laknat bagi
kaum wanita yang mengunakan busana atau baju yang menyerupai
laki-laki. Dan hal itu bukan hanya dalam berbusana saja, akan tetapi berlaku
bagi segala hal yang berhubungan dengan diri serta tingkah laku. Beberapa
hadis yang menerangkan tentang tidak diperbolehkannya busana wanita
muslimah menyerupai pakaian laki-laki :
Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata : “Rasulullah melaknat pria
memakai pakaian wanita dan wanita memakai pakaian pria”.
42
. Ibnu Khalis, segala Jenis Kesalahan Paling Sering Dalam Berjilbab...hlm. 25 43
32
Dari Abdillah bin Amru, ia berkata “Saya mendengar Rasulullah
bersabda : tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupai
diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupai diri dengan kaum
wanita.”44
Dengan maraknya perubahan jenis kelamin pada era modern ini
menjadi sebuah bukti bahwa banyak orang telah buta dan tidak ingat lagi
akan larangan agama dan tuhannya. Padahal, jika lebih dekat kepada Allah
sebagai hamba yang taat dan patuh, maka kita akan tahu betapa pedih
siksa dan laknat pada hari kiamat. Dari hadis di atas jelas bahwa haram
hukumnya merubah kelamin wanita menjadi seorang pria dan juga
sebaliknya.
6. Memakai busana bukan untuk mencari popularitas
Islam juga melarang wanita memakai busana yang digunakan
sebagai penunjang untuk meningkatkan popularitas mereka sendiri. Dari
Ibnu Umar, Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa mengenakan
pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian
kehinaan kepadanya pada hari Kiamat, kemudian membakarnya dengan
api neraka.”
Yang dimaksud dengan syuhrah adalah mengenakan berbagai
macam busana di keramaian hanya agar dilihat menarik oleh orang
44
33
banyak, baik dinilai dari segi harganya atau digunakan sebagai cara untuk
menjunjung tinggi harga dirinya.45
Dari pemaparan mengenai syarat-syarat berpakaian, penulis
menarik kesimpulan bahwa kita hendaknya patut bersyukur atas apa yang
telah dikaruniakan oleh Allah, serta menjaga dengan sebaik mungkin,
bukan malah mengabaikannya. Maka dari itu sebagai kaum wanita
hendaknya menutup aurat dengan benar-benar. Karena aurat adalah hal
paling penting yang harus dijaga. Dengan cara menutup seluruh anggota
badan kecuali wajah dan telapak tangan dan dengan perincian yang telah
dipaparkan di atas.
45
34
BAB III
IBNU KATSIR DAN HAMKA SERTA PENAFSIRANNYA
TERHADAP SURAT AL-
A’RAF AYAT 26
A. Biografi Ibnu Katsir dan HAMKA
1. Ibnu Katsir
Ibnu Katsir memiliki nama lengkap Al-Hafidz Imaduddin Ismail
bin Amr Ibnu Katsir Al-Qursyi Ad-Dimasqi. Ia biasa dipanggial dengan
sebutan Abul Fida‟, lahir di Desa Mijdal dalam wilayah Basrah pada tahun
700 H / 1300 M.46
Ibnu Katsir barasal dari keluarga terhormat. Ayahnya bernama
Shihab ad-Din Abu Hafsh Amar Ibnu Katsir Ibnu Dhaw Ibnu Zara‟ al
-Quraisyi, yang merupakan seorang ulama terkemuka pada masanya.
Ayahnya bermadzhab Syafi‟i dan pernah mendalami madzhab Hanafi.
Menginjak masa kanak-kanak, ayahnya sudah meninggal dunia. Kemudian
Ibnu Katsir tinggal bersama kakaknya (Kamal ad-Din Abdul Wahhab) dari
desanya ke Damaskus. Di kota inilah Ibnu Katsir tinggal hingga akhir
hayat.47 Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir mulai menimba ilmu dari saudara
kandungnya Abdul Wahhab. Ketika itu beliau telah hafal al-Qur‟an dan
46. Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan Fii Ulumil Qur‟an, (Bandung :
PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 314.
47. Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib al-Kitab Bidayah wan Nihayah,
35
sangat menggandrungi pelajaran hadis, fiqih, maupun tarikh. Beliau juga
menimba ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H).
Pergaulan dengan gurunya ini membuahkan berbagai macam
faedah yang turut membentuk keilmuannya, ahklaknya dan tarbiyah,
kemandirian dirinya yang begitu mendalam, menjadikan beliau seorang
yang benar-benar mandiri dalam berpendat. Beliau akan selalu berjalan
sesuai dengan dalil, tidak pernah ta‟assub (fanatik) dengan madzhabnya,
apalagi madzhab orang lain. Karya-karya besarnya menjadi saksi atas
sikapnya ini. Beliau selalu berjalan di atas sunnah, konsekuen
mengamalkannya, serta selalu memerangi berbagai bentuk bid‟ah dan
fanatik madzhab.48
Ibnu Katsir banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh
ijazah dari al-Wani. Selain itu ia juga dididik oleh pakar hadis terkenal di
Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi (w. 742 H/ 1342 M), yang kemudian
menjadi mertuanya sendiri. Dalam waktu yang cukup lama, ia hidup di
Suriah sebagai orang yang sederhana dan tidak terkenal. Popularitasnya
dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukuman
terhadap seorang zindiq yang didakwa menganut paham hulul (inkarnasi).
Sejak saat itu, berbagai jabatan penting didudukinya sesuai dengan
bidang keahlian yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadis, pada tahun
748 H/ 1348 M ia mengantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad
48. Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib al-Kitab Bidayah wan Nihayah,
36
Zahabi (1284-1348 M), sebagai guru di Turba Umm Salih (sebuah
lembaga pendidikan) dan pada tahun 756 H/ 1355 M, setelah Hakim
Taqiuddin al-Subki wafat ia diangkat menjadi kepala Dar Hadis
al-Asyrafitah (sebuah lembaga pendidikan hadis). Kemudian pada tahun 768
H/ 1366 M, ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga
di Masjid Umayah Damaskus.
Selain itu, Ibnu Katsir pun dikenal sebagai pakar terkemuka dalam
bidang ilmu tafsir, hadis, sejarah dan fikih. Muhammad Husain al-Zahabi,
sebagaimana dikutip oleh faudah berkata, “Imam Ibnu Katsir adalah
seorang pakar fikih yang sangat ahli , seorang ahli hadis dan mufasir yang
sangat paripurna dan pengarang dari banyak kitab”. Demikian pula dalam
bidang fikih/hukum, ia dijadikan tempat konsultasi oleh para penguasa,
seperti dalam pengesahan keputusan yang berhubungan dengan korupsi
(761 H/ 1358 M), dalam mewujudkan perdamaian pasca perang saudara
yakni Pemberontakan Baydamur (763 H/ 1361 M), serta dalam
menyerukan jihad (770-771 H/ 1368-1369 M).49
Muridnya yang bernama Ibnu Hijji berkata “ Ibnu Katsir adalah
orang pernah kami temui dan paling kuat hafalannya terhadap matan
hadis, paling paham dengan takhrij dan para perawinya, dapat
membedakan yang hadis shahih dengan hadis yang lemah, banyak
menghafal di luar kepala berbagai kitab tafsir dan tarikh, jarang sekali lupa
49. Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta : TERES, 2004), hlm. 132-
37
dan memiliki pemahaman yang baik serta agama yang benar.” Al-Allamah
al-Aini berkata, “ Beliau adalah rujukan ilmu tarikh, hadis dan tafsir”. Ibnu
Habib berkata, “ Dia masyhur dengan kekuatan hafalan dan redaksi yang
bagus dan menjadi rujukan ilmu tarikh, hadis maupun tafsir.”50
Sehingga para ahli meletakan beberapa gelar keilmuan kepada Ibnu
Katsir, sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang
keilmuan yang ia geluti yaitu : Hafizh, muhaddisin, Faqih,
Al-Mu‟arrikh dan Al-Mufasir. Diantar lima predikat tersebut, al-Hafidz
merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibnu Katsir. Ini
terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika
menyebut pemikirannya.
Beberapa karya Ibnu Katsir : Berkat kegigihan Ibnu Katsir,
akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadis, sejarawan serta ahli
fiqih besar pada abad ke-8 H. Selama hayatnya ia menghasilkan banyak
karya tulis. Karyanya sebagian besar dalam bidang hadis, diantaranya : 1)
Kitab Jami‟ al-Masanid wa al-Sunan (kitab koleksi Musnad dan Sunan).
Kitab ini terdiri dari delapan jilid, yang berisi nama-nama sahabat
periwayat hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Kutub
sl-Sittah dan sumber-sumber lainnya. Kitab ini disusun secara alfabetis. 2)
Al-Kutub al-Sittah, (enam kitab koleksi Hadis). 3) At-Takmilah fi Ma[rifat
al-Siqat wa ad-Du‟afa wa al-Mujahal (pelengkap untuk mengetahui para
50. Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib al-Kitab Bidayah wan Nihayah,
38
Periwayat yang terpercaya, lemah dan kurang dikenal). Kitab ini terdiri
dari lima jilid. 4) Al-Mukhtasar (Ringkasan), dari Muqaddimah li „Ulum
al-Hadis karya Ibnu Salah (w. 642 H/ 1246 M). Ada informasi yang
mengatakan bahwa ia pun mensyarahi hadis-hadis dalam Shahih
al-Bukhari, tetapi tidak selesai. Konon kabarnya kemudian dilanjutkan oleh
Ibnu Hajar al-„Asqalani (w. 852 H/ 1449 M) dengan Fath al-Barinya, dan
5) Abdillah al-Tanbih li „Ulum al-Hadis, Abdillah al-Tanbih li „Ulum al
-Hadis, yaitu buku ilmu hadis yang lebih dikenal dengan nama al-Ba‟is al
-Hasis.
pertama, sejarah kuno mulai dari penciptaan sampai masa kenabian
Muhammad Saw. Kedua, sejarah Islam mulai dari priode Nabi Swa di
Mekkah sampai pertengahan abad ke-8 H. Kitab ini sering dijadikan
rujukan utama dalam penulisan sejarah Islam, terutama sejarah dinasti
Mamluk di Mesir. 3) Al-Fusul fi Sirah al-Rasul (Uraian mengenai sejarah
Rasul) 4) Tabaqat al-Syafi‟iyah (Pengelompokan Ulama Mazhab Syafi‟i).
5) Manaqib al-Imam al-Syafi‟i (Biografi Imam Syafi‟i).51
39
Adapun karya Ibnu Katsir dalam bidang tafsir yang terkenal yaitu :
1) Tafsir al-Qur‟an al-„Azhim, kitab ini pertama kali terbit di Kairo pada
tahun 1342 H/ 1923 M, yang terdiri dari empar jilid. Tafsir ini disusun
berdasarkan sistematika tertib susunan ayat-ayat dan surat-surat dalam
mushaf al-Qur‟an, yang lazim disebut sebagai sistematika tartib mushafi.52
2) Fada‟il al-Qur‟an (Keutamaan al-Qur‟an), berisi ringkasan sejarah al
-Qur‟an.
Sementara dalam ilmu fiqih, tak ada yang meragukan keahliannya.
Bahkan, oleh para penguasa, ia kerap dimintakan pendapat menyangkut
persoalan-persoalan tata pemerintahan dan kemasyarakatan yang terjadi
kala itu. Misalnya saja saat pengesahan keputusan tentang pemebrantasan
korupsi tahun 1358 serta upaya perdamaian setelah perang saudara atau
peristiwa Pemberontakan Baydamur dan dalam menyerukan jihad. Selain
itu, beliau menulis buku terkait bidang fikih didasarkan pada al-Qur‟an
dan Hadis. Yang diberi nama Al-Ijtihad fi Talab al-Jihad (Ijtihad dalam
mencari Jihad).
Akhirnya, dalam usia 74 tahun tepatnya pada bulan Sya‟ban 774
H/ Februari 1373 M, mufasir kondang ini wafat di Damaskus. Jenazahnya
dimakamkan di samping makam Ibnu Taimiyah, di Sufiyah Damaskus.
40
2. Buya HAMKA
Nama lengkap Haji Abdul Malik Karim Amrullah yang lebih
dikenal dengan sebutan HAMKA, ia lahirkan di Ranah Minangkabau, desa
Kampung Molek, Sungai Batang, di tepian sungai Maninjau, Sumatra
Barat. Pada tanggal 16 Februari 1908 bertepatan dengan 13 Muharam
1326 Hijriyah. Ayahnya bernama Syekh Abdul Karim Amrullah dan
ibunya bernama Siti Safiyah. Orang tuanya seorang ulama yang terkenal di
Minangkabau dan umumnya di Sumatra. 53
HAMKA sewaktu kecil dipanggil Abdul Malik. Memulai
pendidikan membaca al-Qur‟an di rumah orang tuanya sendiri. Pada tahun
1914 bertepatan dengan usianya mecapai tujuh tahun, ayahnya
memasukannya ke sekolahan desa. Ketika usia 10 tahun, ayahnya
mendirikan Thawalib School di Padang Panjang.54 Di situ HAMKA
mempelajari agama dan mendalami bahasa Arab. Selain mendalami ilmu
agama HAMKA dikenal sebagai seorang pengelana. Bahkan ayahnya
memberi gelar Si Bujang Jauh. Pada usia 16 ia merantau ke Jawa untuk
menimba ilmu tentang gerakan Islam moderen kepada HOS
Tjokroaminoto, Ki Bagus Hadikusumo dan KH Fahkrudin. Ia juga
mengikuti berbagai diskusi dan trening pergerakan Islam di Abdi Dharmo
Pakualaman, Yogyakarta.
53. Nasir Tamar, HAMKA di Mata Hati Umat, (Jakarta : Sinar Harapan, 1389),
hlm. 51.
54. Malkan, 2009, TAFSIR AL-AZHAR : Suatu Tinjauan Biografis dan