• Tidak ada hasil yang ditemukan

SEPUTAR LIBAS ATAU PAKAIAN

Pengertian, Sejarah, Fungsi Pakaian dan Syarat Berpakaian dalam Islam

A. Pengertian libas atau Pakaian

Libas merupakan kosakata berbahasa Arab yang bermakna

pakaian. Dalam Lisan al-Arab disebutkan ada beberapa macam makna

untuk libas yaitu, memakai (albasa, labisa), mencampur (khalata, labasa),

penutup (gisya‟), menenangkan (al-sakan) dan lain sebagainya.25 Dari

beberapa makna dasar ini bisa diketahui bahwasannya libas mempunyai

makan yang beragam tergantung di mana kata itu diletakan. Maka

maknanya akan mengikuti konteksnya (siyaq al-kalam).

Secara leksikal, akar kata lam-ba‟-sin mempunyai dua makna dasar

yaitu, labasa labsan yang berarti campuran, labisa lubsun yang berarti

memakai penutup dengan sesuatu. 26 Untuk mengatakan pakaian, oarang

Arab menggunakan kata libas.

Dalam Kamus Indonesia Arab yang disusun oleh Asad M.

Alkalali27 labisa – yalbasu sama dengan ista‟mala – yasta‟malu yang

artinya pakai atau memakai.

25. Muhammad bin Mukarram bin Manzur al-Misri, Lisan al-Arab...hlm. 3986. 26. Jumhuriyyah Mashr Mujamma‟, Lughah al-Arabiyyah, al-Mu‟jam al-Wasith,

(Kairo : Dar al-Syuruq, 2004), hlm. 812.

27. Asad M. Alkalali, Kamus Indonesia Arab, (Jakarta : PT Bulan Bintang), Hlm.

22

Quraish Shihab berpendapat bahwa AL-Qur‟an mengunakan tiga

istilah untuk pakaian yaitu, libas, ṡiyab dan sarabil. Kata libas pada

mulanya berarti penutup, apa pun yang ditutup. Dan libas digunakan al-

Qur‟an untuk menunjukan pakaian lahir maupun batin.

Sedangkan pakaian menurut definisi Kamus Besar Bahasa

Indonesia adalah barang apa yang dipakai (baju, celana dan sebagainya).

Kata pakaian bersinonim dengan kata busana. Namun pakaian mempunyai konotasi yang lebih umum dari pada busana. Busana seringkali dipakai

untuk baju yang tampak dari luar saja.28

B. Sejarah Libas atau Pakaian

Kata libas digunakan oleh al-Qur‟an untuk menunjukkan pakaian

lahir maupun batin, sedangkan kata ṡiyab digunakan untuk menunjukkan

pakaian lahir. Kata ini terambil dari kata ṡaub yang berarti kembali, yakni

kembalinya sesuatu pada keadaan semula atau keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide pertamanya.

Ar-Raghib Al-Isfahani merupakan seorang pakar bahasa al-Qur‟an

menyatakan bahwa pakaian dinamai ṡiyab atau ṡaub, karena ide dasar

adanya bahan-bahan pakaian adalah agar dipakai. Ide dasar juga dapat dikembalikan pada apa yang terdapat dalam benak manusia pertama

tentang dirinya. Seperti halnya al-Qur‟an surat al-A‟raf ayat 20 yang

menjelaskan tentang peristiwa ketika Adam dan Hawa berada di surga :

28. Arief Saefullah, Etika Berpakaian Perspektik al-Kitab dan al-Qur‟an, Skripsi

23

وُو اَم اَمَُلَ َيِدْبُيِل ُناَطْيَّشلا اَمَُلَ َسَوْسَوَ ف

اَمُكُّبَر اَمُكاَهَ ن اَم َلاَقَو اَمِِتِآْوَس ْنِم اَمُهْ نَع َيِر

َنيِدِلاَْلْا َنِم اَنوُكَت ْوَأ ِْيَْكَلَم اَنوُكَت ْنَأ لاِإ ِةَرَجَّشلا ِهِذَى ْنَع

“ Setan membisikan pikiran jahat kepada keduannya untuk

menampakan pada keduanya apa yang tertutup dari mereka, yaitu, dan

setan berkata “Tuhan kamu melarang kamu mendekati pohon ini, supaya

kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang-orang yang kekal (di Surga).

Selanjutnya dijelaskan dalam ayat 22 bahwa :

َب َةَرَجَّشلا اَقاَذ اَّمَلَ ف

ِةَّنَْلْا ِقَرَو ْنِم اَمِهْيَلَع ِناَفِصَْيَ اَقِفَطَو اَمُهُ تآْوَس اَمَُلَ ْتَد

...setelah mereka merasakan (buah) pohon (terlarang) itu,

tampaklah bagi keduanya aurat-auratnya dan mulailah keduanya

menutupinya dengan daun-daun surga...

Ketika keduanya memakan buah tersebut dan aurat mereka terlihat, maka mereka segera menutupinya dengan dedaunan. Ini menunjukkan bahwa menutup aurat adalah tindakan alamiah yang diperuntukkan manusia oleh Allah ketika auratnya terbuka (meskipun di depan kerabat terdekatnya). Di antara sisi kesesuaian antara agama dan fitrah manusia

adalah adanya bimbingan Allah bagi manusia untuk memakai pakaiaan.29

Terlihat jelas bahwa ide dasar yang terdapat dalam diri manusia

adalah “tertutupnya aurat”, namun karena gpdaan setan, aurat manusia

29. Muhammad Bultaji, Kedudukan Wanita : dalam Al-Qur‟an dan As-Sunnah,

24

terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutp dengan pakaian akan dikembalikan pada ide dasarnya.

Dari ayat di atas juga tampak bahwa ide “membuka aurat” adalah

ide setan dan tanda-tanda kehadiran setan adalah “keterbukaan aurat”.

Sebuah riwayat yang dikemukakan oleh al-Biqa‟i dalam bukunya Subuhat

Waraqah menyatakan bahwa ketika Nabi saw. Belum memperoleh

keyakinan tentang apa yang dialaminya di Gua Hira apakah dari malaikat atau dari setan, beliau menyatakan hal tersebut kepada istrinya Khadijah.

Khadijah berkata, “Jika engkau melihatnya lagi berita itulah aku”. Ketika di waktu lain Nabi saw. Melihat (malaikat) yang dilihatnya di Gua Hira,

Khadijah membuka pakaiannya sambil bertanya, “sekarang, apakah engkau melihatnya?” Nabi saw menjawab “Tidak..dia pergi”. Khadijah dengan penuh kayakinan berkata, “ Yakinlah yang datang bukan setan ,...(karena hanya setan yang senang melihat aurat)”.30

Sementara ilmuan berpendapat bahwa manusia baru mengenal pakaian sekitar 72.000 tahun yang lalu. Dibuktikan dengan ditemukanya pakaian Homo sepiens yang terbuat dari kulit hewan untuk menghangatkan tubuh nenek moyang. Sekitar 25.000 tahun yang lalu barulah ditemukan cara menjahit pakaian dari kulit dan mulai saat itulah

jenis pakaian mulai semakin berkembang.31

30. M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur‟an : Tafsir Maudu‟i atas Pelbagai Persoalan Umat, (Bandung : Penerbit Mizan), hlm. 155-157.

31

25

C. Fungsi Libas atau Pakaian

Pakaian adalah kebutuhan pokok manusia yang tidak bisa terlepas dari kehidupan manusia sehari-hari. Manusia membutuhkan pakaian, karena dengan berpakaian bisa menawarkan berbagai kebaikan dan manfaat bagi pemakainya. Berdasarkan uraian di atas, pakaian yang digunakan oleh seseorang haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada, agar tidak menyebabkan masalah bagi dirinya dan lingkungannya.

Diantara fungsi pakaian adalah sebagai berikut:32

1. Menutupi aurat dan Sebagai perbiasan

Pakaian yang baik adalah pakaian yang menutupi aurat seseorang. Aurat sebisa mungkin ditutupi agar tidak menimbulkan berbagai hal yang tidak diinginkan terutama dengan lawan jenis. Karena aurat merupakan

hal-hal yang tidak wajar dilihat orang lain dan rawan “kecelakaan”.

Sebagaimana yang diterangkan dalam surat al-A‟raf ayat 26 “Wahai

putra-putra Adam! Kami telah menurunkan kepada kamu pakaian yang

berfungsi menutup aurat kamu.” karena fungsinya sebagai penutup aurat,

maka dalam berbusana menurut Quraish Shihab ada yang harus diperhatikan agar pola berbusana tidak bertentangan dengan nilai-nilai etika ajaran Islam. Oleh sebab itu, ada beberapa larangan yang harus diperhatikan oleh umat islam dalam berpakaian. Larangan tersebut

diantaranya : pertama, tidak boleh tabaruj. Maksudnya, tidak boleh

26

menampakan perhiasan dalam pengertian umum yang biasanya tidak ditampakkan oleh wanita baik-baik atau memakai sesuatu yang tidak wajar

dipakai. Kedua, tidak boleh mengundang perhatian laki-laki. Ketiga, tidak

boleh memakai pakaian yang transparan atau ketat. Pakaian yang masih menampakan kulit atau pakaian ketat yang masih memperlihatkan lekuk-

lekuk badan, tergolong pakaian yang transparan.33

Selain sebagai penutup aurat ada juga sebagai perhiasan bagi

pemakainya. Tertera dalam lanjutan surat al-A‟raf ayat 26 yang berbunyi

“ dan bulu (sebagai pakaian indah untuk perhiasan).” Seseorang bisa tampil

lebih menarik jika mengenakan pakaian yang tepat. Ditambah dengan aksesoris pakaian dan ditunjang dengan perbaikan penampilan yang dapat meningkatkan daya tarik seseorang dimata orang-orang yang ada

disekitarnya.34

2. Pelindung tubuh manusia

Sebagaimana yang tertera dalam surat an-Nahl ayat 81. “ Dan Dia

(Allah) menjadikan bagi kamu pakaian yang memelihara kamu dari panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.” Ayat ini mengiyaratkan fungsi pakaian sebagai pelindung manusia dari sengatan panas dan dingin serta membentengi manusia dari hal-hal yang dapat

menganggu ketentramannya.35

33

. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 50. 34

. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 50. 35

27

3. Sebagai penunjuk identitas

Identitas adalah sesuatu yang menggambarkan eksistensinya sekaligus membedakannya dari yang lain. Eksistensi atau keberadaan seseorang ada yang bersifat materil dan ada juga yang inmateril. Tidak dapat disangkal bahwa fungsi pakaian antara lain berfungsi menunjukan identitas serta membedakan seseorang dari lainnya dalam sifat dan

profesinya.36

Seorang muslim diharapkan mengenakan pakaian ruhani dan jasmani yang mengambarkan identitasnya. Disadari sepenuhnya bahwa islam tidak datang mentukan mode pakaian tertentu. Namun demikian, agaknya tidak berlebihan jika diharapkan agar dalam berpakaian tercermin identitasnya.

Sebagaimana yang terdapat pada al-Quran surat al-Ahzab ayat 59

yang menyatakan “Hai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak

perempuanmu dan istri orang mukmin, „hendaklah mengulurkan atas diri

mereka.‟ Yang demikian itu supaya mereka lebih (mudah untuk) dikenal,

sehingga mereka tak diganggu.” Ayat ini mengisyaratkan dimana wanita-

wanita muslimah diperintah untuk mengulurkan jibab mereka keseluruh tubuh mereka supaya mereka lebih mudah dikenal identitasnya sebagai

36

. Arief Saefullah, Etika Berpakaian Perspektik al-Kitab dan al-Qur‟an, Skripsi Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta, 2010, hlm. 31

28

wanita-wanita terhormat sehingga tidak diganggu oleh siapa pun yang usli.37

4. Ketakwaan

Di samping sebagai pakaian lahir, al-Qur‟an juga menyatakan ada

yang dinamakan dengan “libas at-taqwa dzalika khair” penggalan ayat ini dapat juga dipahami sebagai fungsi keempat dari pakaian. Apalah artinya keindahan lahir, kalau tidak disertai dengan keindahan batin? Pakaian takwa menutupi hal-hal yang dapat memalukan dan memperburuk penamilan manusia jika terbuka. Keterbukaan aurat jasmani dan rohani dapat menimbulkan rasa perih dalam jiwa manusia, hanya saja rasa perih dan malu yang dirasakan , bila aurat rohani terbuka, jauh lebih besar dari

pada keterbukaan aurat jasmani, baik di dunia dan lebih-lebih di akhirat.38

Masih banyak pendapat lain tentang makna pakaian takwa misalnya, malu atau pakaian yang menampakan kerendahan diri kepada Allah yang digunakan beribadah atau penampilan yang baik dan lain-lain.

Pakaian takwa bila telah dikenakan seseorang maka”Ma‟rifat akan

menjadi modal utamanya, pengendalian diri ciri aktivitasnnya, kasih asas pergaulannya, kerinduaan pada Illahi tunggangannya, zikir pelipur hatinnya, keprihatinan adalah temannya, ilmu senjatannya, sabar busananya, kesadaran akan kelemahan di hadapan Allah, zuhud (tidak terpaku pada kemegahan duniawi) perisainya, kebenaran andalannya, taat

37

. M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah... hlm. 51-52 38

29

kecintaannya, jihad kesehariannya dan shalat adalah buah mata kesayangannya. Jika pakaian takwa sudah menghiasi jiwa seseorang, akan terpelihara identitasnnya lagi anggun penampilannya. Orang yang mengenakan pakaian takwa akan selalu bersih walau miskin, hidup

sederhana walau kaya, terbuka tangan dan hatinya.39

D. Syarat-Syarat Berpakaian dalam Islam

Penjelasan sebelumnya telah diuraikan tentang fungsi pakaian, kini akan dibahsa tentang cara berjilbab dan berbusana muslimah yang baik dan sempurna. Pentingnya membahas persoalan ini, karena hal ini akan menyangkut dengan perilaku sehari-hari baik di rumah maupun di luar rumah. Bagi kaum wanita yang hendak keluar rumah, maka wajib menutup aurat mereka. Adapun syarat-syarat berpakaian muslimah dalam

Islam yaitu sebagai berikut : 40

1. Menutup seluruh anggota tubuh kecuali wajah dan telapak tangan.

Di wajibkan menutup aurat bagi wanita muslimah, yang mana

sudah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat an-Nur dan al-Ahzab. Menutup

wajah dan dua telapak tangan tidaklah wajib bagi wanita, bahkan tidak ada larangan untuk menampakan perhiasan yang terdapat pada wajah dan dua telapak tangan yang memang sudah biasa dikenal, seperti celak dan kutek yang tidak pernah lepas dari wanita.

39. M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah : Pesan, Kesan dan Keserasian al- Qur‟an, (Jakarta : Lentera Hati, 2002), Hlm. 96

40. Ibnu Khalis, segala Jenis Kesalahan Paling Sering Dalam Berjilbab dan Berbusana Muslimah, (Jogjakarta : DIVA Press, 2011), hlm. 23-34.

30

2. Busana yang digunakan tidak berfungsi sebagai perhiasan

Nur Syam menjelaskan bahwa gaya berpakaian Islami pun telah memasuki paradoks globalisasi. Di satu sisi seseorang ingin menampilkan

gaya berpakaian islam dengan jilbab sebagai tutup kepala.41 Sebagaimana

yang terkandung dalam surat an-Nur ayat 31, menjelaskan bahwa semua wanita diperbolehkan mengunakan busana dan jilbab apa saja, asal jangan dihiasi dengan berbagai macam perhiasan atau pernak-pernik yang nantinya menyebabkan kaum laki-laki akan memandangnya, sehingga dikhawatirkan terjadi kemaksiatan atau sesuatu hal yang sekiranya akan merugikan kaum wanita.

Pengertian dari pada tabarruj adalah sebuah tingkah laku wanita

yang mampu memperlihatkan perhiasannya atau auratnya kepada orang lain yang bukan mahramnya, baik itu dari segi bentuk tubuh maupun kecantikan wajah, karena hal tersebut akan mampu membuat hawa nafsu laki-laki menaik.

3. Kainnya harus tebal

Yang dinamakan menutup aurat, tentu bahan yang digunakan harus tebal, bukan hanya sekedar menutupi namun bahannya tipis, karena hal itu sama saja dengan tidak menutupi aurat. Bahwa dengan menggunkan kain yang tipis akan mampu menyifati bentuk tubuh dan menebarkan pesona

41. Ahmad Mustami, 2015, Pendidikan Islam dalam Peradaban Industri Fashion, Hunafa : Jurnal Studi Islamika, vol. 12, no. 1, hlm. 173.

31

serta memperlihatkan warna kulitnya dan itu adalah hal yang dilarang oleh

agama.42

4. Tidak ketat hingga memperlihatkan lekuk tubuh

Banyak sahabat Nabi yang menjelaskan tentang umumya berbusana muslimah yang panjang dan berbentuk longgar, para laki-laki umumnya yang melihat akan tidak terlalu bernafsu, karena semua aurat ditutupi. Tetapi beda halnya dengan mengenakan busana muslimah namun busana yang digunakannya sangatlah feminim, hal ini pasti akan membuat para peliriknya merasa senang dan enggan untuk melepaskan

pandangannya terhadap wanita tersebut.43

5. Busana tidak menyerupai pakaian laki-laki

Dalam berbusana hendaknya seorang wanita muslimah tidak menyerupai laki-laki. Ada hadis shahih yang mengupas tentang laknat bagi kaum wanita yang mengunakan busana atau baju yang menyerupai laki- laki. Dan hal itu bukan hanya dalam berbusana saja, akan tetapi berlaku bagi segala hal yang berhubungan dengan diri serta tingkah laku. Beberapa hadis yang menerangkan tentang tidak diperbolehkannya busana wanita muslimah menyerupai pakaian laki-laki :

Dari Abu Hurairah Ra, ia berkata : “Rasulullah melaknat pria memakai pakaian wanita dan wanita memakai pakaian pria”.

42

. Ibnu Khalis, segala Jenis Kesalahan Paling Sering Dalam Berjilbab...hlm. 25 43

. Ibnu Khalis, segala Jenis Kesalahan Paling Sering Dalam Berjilbab...hlm. 26-27

32

Dari Abdillah bin Amru, ia berkata “Saya mendengar Rasulullah

bersabda : tidak termasuk golongan kami para wanita yang menyerupai

diri dengan kaum pria dan kaum pria yang menyerupai diri dengan kaum

wanita.”44

Dengan maraknya perubahan jenis kelamin pada era modern ini menjadi sebuah bukti bahwa banyak orang telah buta dan tidak ingat lagi akan larangan agama dan tuhannya. Padahal, jika lebih dekat kepada Allah sebagai hamba yang taat dan patuh, maka kita akan tahu betapa pedih siksa dan laknat pada hari kiamat. Dari hadis di atas jelas bahwa haram hukumnya merubah kelamin wanita menjadi seorang pria dan juga sebaliknya.

6. Memakai busana bukan untuk mencari popularitas

Islam juga melarang wanita memakai busana yang digunakan sebagai penunjang untuk meningkatkan popularitas mereka sendiri. Dari

Ibnu Umar, Rasulullah saw. Bersabda, “Barang siapa mengenakan pakaian (libas) syuhrah di dunia, niscaya Allah mengenakan pakaian kehinaan kepadanya pada hari Kiamat, kemudian membakarnya dengan

api neraka.”

Yang dimaksud dengan syuhrah adalah mengenakan berbagai

macam busana di keramaian hanya agar dilihat menarik oleh orang

44

. Ibnu Khalis, segala Jenis Kesalahan Paling Sering Dalam Berjilbab...hlm 28- 32

33

banyak, baik dinilai dari segi harganya atau digunakan sebagai cara untuk

menjunjung tinggi harga dirinya.45

Dari pemaparan mengenai syarat-syarat berpakaian, penulis menarik kesimpulan bahwa kita hendaknya patut bersyukur atas apa yang telah dikaruniakan oleh Allah, serta menjaga dengan sebaik mungkin, bukan malah mengabaikannya. Maka dari itu sebagai kaum wanita hendaknya menutup aurat dengan benar-benar. Karena aurat adalah hal paling penting yang harus dijaga. Dengan cara menutup seluruh anggota badan kecuali wajah dan telapak tangan dan dengan perincian yang telah dipaparkan di atas.

45

34

BAB III

IBNU KATSIR DAN HAMKA SERTA PENAFSIRANNYA

TERHADAP SURAT AL-A’RAF AYAT 26

A. Biografi Ibnu Katsir dan HAMKA 1. Ibnu Katsir

Ibnu Katsir memiliki nama lengkap Al-Hafidz Imaduddin Ismail bin Amr Ibnu Katsir Al-Qursyi Ad-Dimasqi. Ia biasa dipanggial dengan

sebutan Abul Fida‟, lahir di Desa Mijdal dalam wilayah Basrah pada tahun

700 H / 1300 M.46

Ibnu Katsir barasal dari keluarga terhormat. Ayahnya bernama

Shihab ad-Din Abu Hafsh Amar Ibnu Katsir Ibnu Dhaw Ibnu Zara‟ al-

Quraisyi, yang merupakan seorang ulama terkemuka pada masanya.

Ayahnya bermadzhab Syafi‟i dan pernah mendalami madzhab Hanafi.

Menginjak masa kanak-kanak, ayahnya sudah meninggal dunia. Kemudian Ibnu Katsir tinggal bersama kakaknya (Kamal ad-Din Abdul Wahhab) dari desanya ke Damaskus. Di kota inilah Ibnu Katsir tinggal hingga akhir

hayat.47 Pada tahun 707 H, Ibnu Katsir mulai menimba ilmu dari saudara

kandungnya Abdul Wahhab. Ketika itu beliau telah hafal al-Qur‟an dan

46. Muhammad Ali Ash-Shabuni, At-tibyaan Fii Ulumil Qur‟an, (Bandung :

PUSTAKA SETIA, 1999), hlm. 314.

47. Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib al-Kitab Bidayah wan Nihayah,

diterjemahkan oleh Abu Ihsan al-Atsari, al-Bidayah wa al-Nihayah Masa Khulafa‟ur Rasyidin, (Jakarta : DARUL HAQ, 2004), hlm. 22.

35

sangat menggandrungi pelajaran hadis, fiqih, maupun tarikh. Beliau juga menimba ilmu dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (w. 728 H).

Pergaulan dengan gurunya ini membuahkan berbagai macam faedah yang turut membentuk keilmuannya, ahklaknya dan tarbiyah, kemandirian dirinya yang begitu mendalam, menjadikan beliau seorang yang benar-benar mandiri dalam berpendat. Beliau akan selalu berjalan

sesuai dengan dalil, tidak pernah ta‟assub (fanatik) dengan madzhabnya,

apalagi madzhab orang lain. Karya-karya besarnya menjadi saksi atas sikapnya ini. Beliau selalu berjalan di atas sunnah, konsekuen

mengamalkannya, serta selalu memerangi berbagai bentuk bid‟ah dan

fanatik madzhab.48

Ibnu Katsir banyak belajar dari ulama-ulama Hijaz. Ia memperoleh ijazah dari al-Wani. Selain itu ia juga dididik oleh pakar hadis terkenal di Suriah yakni Jamal ad-Din al-Mizzi (w. 742 H/ 1342 M), yang kemudian menjadi mertuanya sendiri. Dalam waktu yang cukup lama, ia hidup di Suriah sebagai orang yang sederhana dan tidak terkenal. Popularitasnya dimulai ketika ia terlibat dalam penelitian untuk menetapkan hukuman

terhadap seorang zindiq yang didakwa menganut paham hulul (inkarnasi).

Sejak saat itu, berbagai jabatan penting didudukinya sesuai dengan bidang keahlian yang dimilikinya. Dalam bidang ilmu hadis, pada tahun 748 H/ 1348 M ia mengantikan gurunya Muhammad ibn Muhammad al-

48. Ibnu Katsir, Tartib wa Tahdzib al-Kitab Bidayah wan Nihayah,

36

Zahabi (1284-1348 M), sebagai guru di Turba Umm Salih (sebuah lembaga pendidikan) dan pada tahun 756 H/ 1355 M, setelah Hakim

Taqiuddin al-Subki wafat ia diangkat menjadi kepala Dar al-Hadis al-

Asyrafitah (sebuah lembaga pendidikan hadis). Kemudian pada tahun 768

H/ 1366 M, ia diangkat menjadi guru besar oleh Gubernur Mankali Buga di Masjid Umayah Damaskus.

Selain itu, Ibnu Katsir pun dikenal sebagai pakar terkemuka dalam bidang ilmu tafsir, hadis, sejarah dan fikih. Muhammad Husain al-Zahabi,

sebagaimana dikutip oleh faudah berkata, “Imam Ibnu Katsir adalah

seorang pakar fikih yang sangat ahli , seorang ahli hadis dan mufasir yang

sangat paripurna dan pengarang dari banyak kitab”. Demikian pula dalam

bidang fikih/hukum, ia dijadikan tempat konsultasi oleh para penguasa, seperti dalam pengesahan keputusan yang berhubungan dengan korupsi (761 H/ 1358 M), dalam mewujudkan perdamaian pasca perang saudara yakni Pemberontakan Baydamur (763 H/ 1361 M), serta dalam

menyerukan jihad (770-771 H/ 1368-1369 M).49

Muridnya yang bernama Ibnu Hijji berkata “ Ibnu Katsir adalah

orang pernah kami temui dan paling kuat hafalannya terhadap matan

hadis, paling paham dengan takhrij dan para perawinya, dapat

membedakan yang hadis shahih dengan hadis yang lemah, banyak menghafal di luar kepala berbagai kitab tafsir dan tarikh, jarang sekali lupa

49. Hamim Ilyas, Studi Kitab Tafsir, (Yogyakarta : TERES, 2004), hlm. 132-

37

dan memiliki pemahaman yang baik serta agama yang benar.” Al-Allamah al-Aini berkata, “ Beliau adalah rujukan ilmu tarikh, hadis dan tafsir”. Ibnu

Habib berkata, “ Dia masyhur dengan kekuatan hafalan dan redaksi yang

bagus dan menjadi rujukan ilmu tarikh, hadis maupun tafsir.”50

Sehingga para ahli meletakan beberapa gelar keilmuan kepada Ibnu Katsir, sebagai kesaksian atas kepiawaiannya dalam beberapa bidang

keilmuan yang ia geluti yaitu : Al-Hafizh, Al-muhaddisin, Al-Faqih, Al-

Mu‟arrikh dan Al-Mufasir. Diantar lima predikat tersebut, al-Hafidz

merupakan gelar yang paling sering disandangkan pada Ibnu Katsir. Ini terlihat pada penyebutan namanya pada karya-karyanya atau ketika menyebut pemikirannya.

Beberapa karya Ibnu Katsir : Berkat kegigihan Ibnu Katsir, akhirnya beliau menjadi ahli tafsir ternama, ahli hadis, sejarawan serta ahli fiqih besar pada abad ke-8 H. Selama hayatnya ia menghasilkan banyak karya tulis. Karyanya sebagian besar dalam bidang hadis, diantaranya : 1)

Kitab Jami‟ al-Masanid wa al-Sunan (kitab koleksi Musnad dan Sunan).

Kitab ini terdiri dari delapan jilid, yang berisi nama-nama sahabat

periwayat hadis yang terdapat dalam Musnad Ahmad bin Hanbal, Kutub

sl-Sittah dan sumber-sumber lainnya. Kitab ini disusun secara alfabetis. 2)

Dokumen terkait