• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS INDEKS KEKERINGAN THORNTHWAITE MATHER DAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS INDEKS KEKERINGAN THORNTHWAITE MATHER DAN"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

commit to user

ANALISIS INDEKS KEKERINGAN THORNTHWAITE MATHER DAN ARAHAN JADWAL TANAM PADI UNTUK ADAPTASI BENCANA

KEKERINGAN DI KABUPATEN GROBOGAN

(Implementasi Sebagai Modul Pembelajaran Kelas X SMA pada Materi Mitigasi dan Adaptasi Bencana Alam)

Arfita Rahmawati1, Chatarina Muryani2, Sarwono

1

Mahasiswa Program Studi PKLH Minat Utama Pendidikan Geografi 2

Pembimbing Utama 3

Pembimbing Pendamping

*Keperluan Korespondensi, HP: 082257253309, email:Ararfita@gmail.com

Abstract: Arfita Rahmawati. S881408001. Analysis of Drought Index Thornthwaite Mather and Crop Growing Period Management for Drought Disaster Adaptation In Grobogan, Central Java (Implementation for Class X Senior High School Learning Module in Material Natural Disaster Mitigation and Adaptation). Supervisor I: Prof. Dr. Chatarina Muryani, M.Si, II:Dr. Sarwono, M.Pd. Graduate Program in Population and Environmental Education. Sebelas Maret University Surakarta.

The purposes of this research are to: 1) determine the level of the drought based on index classification of Thornthwaite Mather from 2005 to 2014 in Grobogan district; 2) determine the effect of the drought on rice production in Grobogan district; 3) determine the direction of period and cropping patterns to adaptation with drought in Grobogan district; 4) implement the results of this research in geography subject of Senior High School class X as a learning module.

Research steps as follows: 1) Analyzing drought index used the classification of drought index Thorthwaite Mather which require the data of: a) the height of rainfall recording station; b) the air temperature of ten years starting from 2005 to 2014; c) the location of the recording station astronomically rain; d) the land used; e) the types of soil; f) the value of rainfall every ten years; g) water holding capacity. 2) To know the influence of drought agains rice production, using the comparison between rice production every five years with rice area. 3) Determination of crop growing period and rice planting patterns using the runoff analysis of drought indices calculation Thorthwaite Mather. 4) The research implementation would be applied to the learning modules.

The results of this research showed that: 1). The drought happened in July, August, and September. The causes of drought which was happened in Grobongan district was affected by APWL (Accumulation Potential Water Loss) value. The highest level of drought following accumulation potential water loss value founded in August, therefore the drought impact could be felt in the next moth (September); 2). Drought given negative influence on rice production, it could be seen in rice production result of subdistricts that include a low level of dryness greater than that included medium and high levels of drought; 3). Crop growing period obtained from the calculation of runoff start from December to April. The cropping pattern that used rice - crops - crops; 4). The implementation of research in teaching senior high school geography at class X was done

(2)

by making geography learning modules related to natural disaster mitigation and adaptation, showed interest towards the module of 70.3985% which is stated that students were interested.

Keywords: Drought index, Thorthwaite Mather, crop growing period, crop pattern PENDAHULUAN

Kekeringan merupakan salah satu bencana yang mengancam kehidupan dan menimbulkan kerugian besar. Menurut Rencana Aksi Nasional untuk Laporan

Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC dalam Waluyo Hatmoko,

2012:2) menyatakan bahwa dunia semakin rawan terhadap kekeringan dalam 25 tahun terakhir, dan proyeksi iklim menunjukkan bahwa hal ini akan semakin parah pada masa mendatang. Sementara itu, kekeringan yang terjadi di Indonesia sudah menjadi masalah yang serius. Menurut BNBP tahun 2014, kekeringan masuk ke dalam sembilan bencana yang sering terjadi di Indonesia. Bencana kekeringan menempati urutan ke empat setelah banjir, angin kencang, dan tanah longsor dengan persentase tingkat kejadian selama tahun 2014 sebanyak 11%.

Secara umum kekeringan adalah ketersediaan air yang jauh di bawah kebutuhan air baik untuk kebutuhan hidup, pertanian, kegiatan ekonomi dan lingkungan (Badan Nasional Penanggulangan Bencana, 2012:12). Kekeringan memberikan dampak antara lain berupa: menurunnya persediaan air permukaan tanah, terganggunya pola tanam, meningkatnya area tanaman yang mengalami puso, musim hujan pertama pasca kekeringan berdasarkan pengalaman dapan meningkatkan serangan organisme penganggu tanaman utama (tikus, wereng, pengerat batang, dan belalang kembara) dan kebakaran lahan pertanian dan hutan (Woro Estiningtyas, 2012:10). Ditambahkan bahwa kekeringan yang sering melanda Indonesia pada saat musim kemarau tiba juga menimbulkan dampak yang sangat merugikan, khususnya terhadap aktivitas pertanian (Sari Kania Dewi, 2009:C111). Wahyunto (2005:7) menyatakan bahwa dari 5,14 juta ha lahan sawah yang dievaluasi 74 ribu ha diantaranya sangat rentan dan sekitar satu juta ha rentan terhadap kekeringan. Tschirley (2007:11) menyatakan penurunan hasil

pertanian dapat mencapai lebih dari 20% apabila suhu naik melebihi 4oC. Hal ini

(3)

bervariasi antar-wilayah. Oleh karena itu dibutuhkan suatu pemecahan masalah untuk mengatasi kerugian dari kekeringan terutama yang berkaitan dengan masalah pertanian yang akan berdampak kepada persediaan pangan.

Salah satu kabupaten yang mengalami bencana kekeringan yaitu Kabupaten Grobogan di Provinsi Jawa Tengah bagian timur. Hal tersebut dimuat di harian Wawasan seperti berikut:

Kabupaten Grobogan dalam kondisi darurat bencana kekeringan, menyusul semakin meningkatnya jumlah desa yang terdampak kekeringan. Dari 280 desa dan kelurahan, 175 desa diantaranya mulai kering kerontang, sehingga untuk memenuhi kebutuhan air bersih sejumlah warga terpaksa harus membuat beik (sumur kecil di tengah sungai yang kering). (Ali, 2014:1)

Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Grobogan tahun 2014, hanya terdapat dua kecamatan yang tidak mengalami kekeringan, yaitu Kecamatan Klambu dan Kecamatan Godong. Sedangkan kecamatan yang terkena kekeringan dengan luas

yang paling besar adalah kecamatan Geyer seluas 190,3 km2 dengan persentase

dari luas total daerah yang terkena kekeringan sebesar 16,85%. Selanjutnya

disusul dengan kecamatan Wirosari dengan luas 151,21 km2 dengan persentase

13,39%.

Berdasarkan hasil laporan Dinas Pertanian TPH (Tempat Pengumpulan Hasil) (2014:3) diperoleh data mengenai luas tanah keadaan akhir tahun 2010

untuk Kabupaten Grobogan seluruhnya seluas 197.586 Ha atau 1975,86 km2.

Lahan pertanian di Kabupaten Grobogan menempati luasan penggunaan lahan

terbesar kedua setelah hutan negara dengan luas 64.7902 Ha atau 647 km2 .

Penggunaan lahan yang paling kecil adalah tambak atau kolam dengan luasan 22

Ha atau 0,22 km2.

Selanjutnya menurut Bhandary and Hardy (2007:2) ketika kekeringan terjadi, sektor pertanian biasanya yang pertama akan terpengaruh. Karena itu sektor pertanian memegang peranan penting saat terjadinya kekeringan. Berdasarkan data Bappeda Kabupaten Grobogan (2010:II-3) pengelompokkan jenis irigasi sawah terdiri atas : irigasi teknis (18.351 ha), irigasi setengah teknis (1.646 ha), irigasi sederhana PU (8.005), irigasi non PU (5.848 ha), dan irigasi

(4)

tadah hujan (35.926 ha). Besarnya angka irigasi tadah hujan menyebabkan banyaknya petani yang bergantung kepada hujan yang turun di daerahnya.

Salah satu upaya untuk mengurangi dampak kekeringan yang terjadi pada saat musim kemarau adalah dengan mengatur masa penanaman tanaman pertanian. Untuk memberi arahan masa penanaman penanaman tanaman pertanian, perlu diketahui indeks kekeringan di Kabupaten Grobogan. Hal ini karena pembagian indeks kekeringan memiliki tingkatan dan karakteristik yang berbeda. Bahkan dalam deklarasi Lincoln mengenai indeks kekeringan (WMO, 2010:2), dinyatakan bahwa dengan semakin meningkatnya frekuensi dan besarnya kekeringan, para ahli telah sepakat untuk menggunakan sebuah indeks kekeringan meteorologi untuk meningkatkan efektifitas pemantauan dan pengelolaan resiko iklim di dunia. Salah satu indeks kekeringan meteorologi yang digunakan yaitu metode neraca air

Thorthwaite Mather.

Kurikulum 2013 yang menekankan pada pembelajaran dengan pendekatan kontekstual dan pendekatan saintifik membutuhkan peran siswa untuk berpikir secara komprehensif, kritis, dan selalu mengaitkan materi pembelajaran dengan kondisi riil. Diharapkan siswa dapat menerapkan pengetahuannya terutama dalam kajian mitigasi dan adaptasi bencana alam untuk memecahkan masalah yang terjadi di dalam lingkungannya. Maka dari itu kehadiran modul adaptasi dan mitigasi bencana alam yang terjadi di Kabupaten Grobogan akan sangat membantu dalam sumber belajar siswa khususnya pada materi adaptasi dan mitigasi bencana alam di SMA.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui tingkat kekeringan berdasar

indeks kekeringan Thorthwaite Mather serta penyebabnya kemudian

diaplikasikan ke dalam arahan jadwal tanam padi di Kabupaten Grobogan. Penelitian ini kemudian diiplementasikan dalam modul pembelajaran berupa modul pembelajaran mitigasi dan strategi adaptasi kekeringan yang dapat digunakan dalam pembelajaran materi mitigasi bencana di kelas X semester 2 kurikulum 2013.

(5)

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakan jenis penelitian deskriptif kualitatif. Teknik pengumpulan data dilakukan dengan observasi, dokumentasi, dan angket..

Teknik sampling yang digunakan adalah sampling jenuh. Sampling jenuh

menurut Sugiyono (2012:96) adalah teknik teknik penentuan sampel apabila

semua anggota populasi digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini terdapat

18 titik sampel yang didaptkan dari hasil overlay berdasarkan peta jenis tanah, peta kemiringan lereng, dan peta penggunaan lahan di Kabupaten Grobogan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Analisis Indeks Kekeringan Thorthwaite Mather a. Analisis Sebaran Curah Hujan

Analisis sebaran curah hujan tiap bulan dihitung selama 10 tahun dari tahun 2005-1014. Data curah hujan (CH) selama tahun 2005-2014 didapatkan dari dinas Pekerjaan Umum Pengairan Provinsi Jawa Tengah yang kemudian diklasifikasikan ke dalam klasifikasi Mohrn. Pembagian klasifikasi Mohrn sebagai berikut :

a) Bulan basah = CH > 100mm

b) Bulan kering = CH < 60 mm

c) Bulan lembab = 60 mm< CH < 100mm

Dari hasil klasifikasi tersebut diketahui bulan basah dimulai dari bulan oktober – mei dan bulan kering dimulai dari bulan Juni- September.

b. Suhu Udara Sepuluh Tahunan

Data mengenai suhu udara didapat dari Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan mulai tahun 2005-2014. Namun pencatatan suhu hanya berasal dari stasiun purwodadi oleh karena itu digunakan rumus mock. Rumus mock untuk mengetahui suhu udara berdasarkan stasiun terdekat.

∆ = 0,006 (z − z ) (Mock, 1973 dalam Calvo 1986:51)

Keterangan :

(6)

Z1 = Ketinggian stasiun pungukuran (m)

Z2 = Ketinggian stasiun analisa (m)

Hasil perhitungan dari rumus mock dibuat tabel sebagai berikut : Tabel 1 :Hasil Perhitungan Perbedaan Suhu Tiap Stasiun Pencatat Hujan

No. Stasiun Pencatat Hujan Faktor Pengali Z1 Z2 ∆T 1 Pengkol 0,006 25 25 0 2 Sanggeh 0,006 37 25 0,072 3 Godong 0,006 12 25 -0,078 4 Kepoh 0,006 50 25 0,15 5 Kramat 0,006 25 25 0 6 Wolo 0,006 25 25 0 7 Gending 0,006 25 25 0 8 Wedoro 0,006 25 25 0 9 Sedadi 0,006 38 25 0,078 10 Semen 0,006 87 25 0,372 11 Pojok 0,006 63 25 0,228 12 Simo 0,006 75 25 0,3 13 Butak 0,006 25 25 0 14 Purwodadi 0,006 25 25 0 15 Nglangon 0,006 50 25 0,15

Sumber: Hasil Perhitungan, 2015.

Berdasarkan tabel 1 diketahui bahwa nilai selisih suhu yang paling tinggi sebesar 0,372 sedangkan yang paling kecil -0,078. Data suhu udara ini akan digunakan dalam perhitungan evapotranspirasi potensial.

c. Evapotranspirasi Potensial

Penentuan nilai evapotranspirasi potensial menggunakan rumus Thorthwaite Mather dengan perhitungan sebagai berikut :

i = (T/5)1,514 = ∑ i α  = (0,675.10-6 .I3)–(0,77.10-4.I2)+0,01792. I + 0,49239 Pex= 16 (10T/I)α dimana :

Pex= evaporasi potensial belum terkoreksi

(7)

i = indeks panas

I = jumlah indeks panas dalam setahun α= indeks panas

d. Satuan Lahan Penelitian

Dalam menentukan satuan lahan daerah penelitian menggunakan hasil overlay dari peta jenis tanah, peta penggunaan lahan, dan peta kelas kemiringan lereng.

Tabel 2: Satuan Lahan Daerah Penelitian

No Klasifikasi Luas (km2)

Kelas Lereng Jenis Tanah Penggunaan Lahan 1

1

alluvial sawah irigasi 62,5291

2 sawah tadah hujan 76,1944

3

grumusol sawah irigasi 48,3955

4 sawah tadah hujan 58,972

5

litosol sawah irigasi 11,16645

6 sawah tadah hujan 13,6068

7

mediteran sawah irigasi 20,838

8 sawah tadah hujan 25,392

9 regosol sawah irigasi 16,51215

10

2

alluvial sawah irigasi 53,9674

11 sawah tadah hujan 65,7616

12

grumusol sawah irigasi 41,7666

13 sawah tadah hujan 50,8944

14

litosol sawah irigasi 10,39333

15 sawah tadah hujan 12,66472

16

mediteran sawah irigasi 17,9841

17 sawah tadah hujan 21,9144

18 regosol sawah irigasi 14,25425

Sumber : hasil analisis, 2015.

Dari tabel 2 diketahui terdapat 18 satuan lahan penelitian yang akan digunakan untuk pengambilan sampel.

e. Water Holding Capacity

Penentuan nilai Water Holding Capacity (WHC) dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :

a) Overlay peta penggunaan lahan, peta kemiringan lereng, dan peta jenis tanah

(8)

b) Mengambil sampel tanah

c) Mencatat kedalaman perakaran masing-masing sampel

d) Menghitung nilai kapasitas lapang dan titik layu permanen di laboratorium

e) Menghitung nilai water holding capacity dengan rumus WHC = (kapasitas lapang-titik layu) x kedalaman perakaran Untuk nilai WHC menggunakan satuan mm (milimeter).

f. Perhitungan Nilai P-PE

Perhitungan nilai P-PE atau nilai curah hujan selama 10 tahun dikurangi dengan evapotranspirasi koreksi dihitung tiap-tiap bulan. Hasil dari perhitungan nilai P-PE akan digunakan sebagai dasar perhitungan nilai indeks kekeringan pada bulan-bulan kering. Dari nilai P-PE diketahui hasil perhitungan yang terdapat nilai minus adalah bulan Juli, Agustus, dan September.

g. Perhitungan APWL (Accumulation Potential Water Loss)

Pertama-tama dilakukan Perhitungan nilai kelengasan menggunakan perhitungan sebagai berikut :

APWL bulan basah = 0

APWL bulan kering = P-PEn-1- P-PEn

ST = WHC – e-[APWL/WHC]

dimana :

ST = kelengasan tanah (mm) WHC = water holding capacity (mm) e = bilangan navier (e=2,718)

APWL =akumulasi hilangnya air potensial (mm/bulan)

h. Penentuan Indeks Kekeringan Thorthwaite Mather

Penentuan indeks kekeringan Thorthwaite Mather selanjutnya menghitung nilai surplus dan defisit sehingga didapatkan nilai indeks kekeringan .

a) Untuk bulan-bulan basah (P>PE) maka nilai AE = PE

(9)

S = (P-PE) -∆ dimana:

S = surplus (mm/bulan) P = curah hujan (mm/bulan)

PE=evapotranspirasi potensial (mm/bulan) ∆ = perubahan lengas tanah (mm) D = PE – AE

dimana :

D = defisit (mm/bulan)

PE=evapotranspirasi potensial (mm/bulan) AE= evapotranspirasi aktual (mm/bulan) Iα = (D/PE) x 100  

dimana :

Iα= indeks kekeringan (%) D = defisit (mm/bulan)

PE= evapotranspirasi potensial (mm/bulan)

Kemudian mengelompokkan nilai indeks kekeringan sesuai dengan klasifikasi Thorthwaite Mather.

Tabel 3: Pembagian Klasifikasi Indeks Kekeringan Thorthwaite Mather

Indeks Kekeringan (%) Tingkat Kekeringan

< 16,77 16,77-33,33 >33,33 Ringan Sedang Berat Sumber : ILACO, 1985 dalam Ahmad et al. 2014:19

Hasil perhitungan indeks kekeringan Thorthwaite Mather diketahui bahwa bulan yang mengalami defisit yaitu bulan Juli, Agustus, dan September. Setelah itu dibuatlah peta kekeringan pada bulan Juli, Agustus, dan September dengan hasil perhitungan Thorthwaite Mather, kemudian dilakukan pemetaan dengan software arview 3.3. Hasilnya sebagai berikut:

(10)

Gambar 1. Peta Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather Bulan Juli Kabupaten Grobogan Dari gambar 1 diketahui bahwa luas wilayah yang termasuk ke dalam nilai indeks kekeringan rendah pada bulan Juli di Kabupaten

Grobogan seluas 919,8955 km2dengan persentase 46,5567 %. Nilai indeks

kekeringan sedang seluas 581,5336 km2dengan persentase 29,4319%.

Sedangkan nilai indeks kekeringan tinggi seluas 474,4339 km2 dengan

persentase 24,0115%.

Gambar 2. Peta Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather Bulan Agustus Kabupaten Grobogan.

Berdasarkan gambar 2 diketahui bahwa luas wilayah yang termasuk ke dalam nilai indeks kekeringan rendah pada bulan Agustus di

(11)

Kabupaten Grobogan seluas 432,147 km2 dengan persentase 21,871%.

Nilai indeks kekeringan sedang seluas 527,994 km2dengan persentase

26,722%. Sedangkan nilai indeks kekeringan tinggi seluas 1015,72 km2

dengan persentase 51,407%.

Gambar 3. Peta Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather Bulan September Kabupaten Grobogan

Dapat dilihat dari gambar 3 bahwa luas wilayah yang termasuk ke dalam nilai indeks kekeringan rendah pada bulan September di Kabupaten

Grobogan seluas 968,979 km2 dengan persentase 49,041%. Nilai indeks

kekeringan sedang seluas 593,087 km2dengan persentase 30,017%.

Sedangkan nilai indeks kekeringan tinggi seluas 413,796 km2 dengan

persentase 20,943%.

Nilai APWL (Accumulation Potential Water Loss) dari masing-masing bulan yang mengalami kekeringan dibuat peta dengan memakai nilai acuan sebagai berikut :

Tabel 4 : Pengelompokan Nilai APWL (Accumulation Potential Water

Loss)

Rentang Nilai APWL Keterangan

1) 15 - 25 2) 5 - 15 3) 5 – (-5) 4) (-5) – (-15) 5) (-15) – (-25) Sangat rendah Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi

(12)

Berdasar pengelompokan nilai APWL (Accumulation Potential

Water Loss) selanjutnya dilakukan overlay dengan sebaran kekeringan

berdasarkan indeks kekeringan Thothwaite Mather di Kabupaten Grobogan pada bulan Juli, Agustus, dan September dari tahun 2005-2014, sehingga menunjukkan hasil bahwa nilai APWL (Accumulation Potential

Water Loss) mempengaruhi terjadinya kekeringan di Kabupaten

Grobogan. Selain itu dapat diketahui tingkat kekeringan yang termasuk kriteria tinggi dengan nilai akumulasi potensial air yang hilang juga tinggi paling besar terdapat di bulan Agustus, namun dampak akibat kekeringan ini dapat dirasakan oleh masyarakat pada bulan setelahnya (bulan September).

2. Pengaruh Kekeringan Terhadap Produktivitas Padi

Pengaruh kekeringan terhadap produktivitas padi dapat diketahui dengan tingkat kekeringan yang terjadi di suatu kecamatan (termasuk rendah, sedang, atau tinggi) dihitung luas sawahnya. Kemudian hasil panen dari tahun 2010-2014 dibagi dengan luas sawah. Hasilnya diketahui kecamatan yang termasuk tingkat kekeringan rendah memberikan produktivitas padi yang lebih besar dengan nilai diatas 2,0. Dibandingkan dengan kecamatan yang termasuk tingkat kekeringan sedang (bernilai 1,2 -2,0) maupun tinggi (dengan nilai 1,0-1,2). Hal ini menunjukan bahwa tingkat kekeringan yang terjadi di kecamatan memberikan pengaruh terhadap produktivitas padi.

3. Arahan Jadwal dan Pola Tanam Padi

Penentuan arahan jadwal tanam padi menggunakan hasil perhitungan indeks kekeringan dengan ketentuan memperhatikan nilai Ro

(runoff). Perhitungannya sebagai berikut : a. Surplus bulan sekarang

Ro = 50% dari surplus

Keterangan :

(13)

b. Menghitung Ro bulan selanjutnya

Ron= 50% (Sn + Ron-1)

Keterangan :

Ron = Ro bulan selanjutnya

Sn = surplus bulan yang akan dihitung Ron-1 = runoff bulan sebelumnya

c. Menghitung awal masa tanam dengan perhitungan nilai Ro berada di atas nilai 50% whc dan kebutuhan air tanaman padi.

Untuk nilai yang berada di atas nilai whc dimulai pada bulan november, namun Yoshida (1981:108) menyatakan bahwa tanaman padi membutuhkan nilai RO 180-300 mm/bulan sehingga awal bulan tanam dimulai Desember. Terkait dengan arahan jadwal dan pola tanam padi didapatkan dari hasil perhitungan nilai runoff dalam pembahasan sebelumnya. Berikut hasil pembahasannya :

Tabel 5: Arahan Jadwal Tanam di Kabupaten Grobogan

Masa Tanam Jenis Tanaman

1. Desember-April 2. April-Agustus 3. Agustus - Desember Padi Palawija Palawija Sumber: hasil analisis dan perhitungan 2016

Berdasar tabel 5 diketahui pola tanam yang digunakan di

Kabupaten Grobogan adalah padi-palawija-palawija. Selanjutnya

menggunakan software Cropwat untuk penyusunan jadwal tanam padi. Hasilnya diketahui tanggal penanaman padi dimulai 14 Desember – 16 Desember sehingga masa panen dapat dilakukan tanggal 16 April. Jenis padi yang paling banyak ditanam oleh petani di Kabupaten Grobogan adalah jenis ciherang. Terdapat padi dengan kualitas lebih baik dari ciherang yaitu jenis padi sertani.

Tabel 6: Perbandingan Padi Ciherang dengan Padi Sertani

Aspek Ciherang Sertani

1. Hasil produksi

2. Umur tanaman 3. Jumlah bulir

5-8,5 ton/ha pada kondisi kekurangan air

116-125 hari 200 bulir

13-14 ton/ha pada kondisi kekurangan air

95 hari dari persemaian 400-450 bulir

(14)

Berdasar tabel 6 diketahui perbandingan padi ciherang dengan padi sertani. Hasil produksi padi sertani lebih banyak 5,5 ton/ha dibanding padi ciherang. Umur tanaman padi sertani lebih pendek 30 hari dibandingkan dengan padi ciherang. Jumlah bulir padi sertani dua kali lipat lebih banyak dibandingkan padi ciherang.

4. Respon Siswa Terhadap Modul Pembelajaran

Materi yang digunakan menyesuaikan dengan keadaan atau realita yang terjadi di sekitar siswa. Siswa diharapkan dapat membantu siswa dalam memahami materi mengenai mitigasi dan adaptasi bencana di Kabupaten Grobogan dengan lebih mudah. Tahapan pembelajaran geografi dalam modul pembelajaran mengenai mitigasi dan adaptasi bencana sesuai dengan standart kompetensi dan tujuan pembelajaran. Materi pembelajaran disajikan pertama-tama berupa perkenalan yang akan membangun motivasi siswa terkait isi modul tersebut. Selanjutnya dilanjutkan dengan materi pembelajaran dasar dengan penyampaian singkat disertai dengan contoh kejadian kongkrit di sekitar siswa serta latihan soal menjadikan siswa untuk memahami materi mitigasi dan adaptasi bencana di Kabupaten Grobogan dengan mudah.

Implementasi penelitian dalam pembelajaran geografi SMA kelas X dilakukan dengan pembuatan modul pembelajaran geografi dengan penilaian dari dosen sebagai validator nilai persentase 88,89% yang berarti sangat baik. Penilaian dari guru pengampu mata pelajaran geografi SMA Negeri 1 Kradenan nilai persentase 88,89% yang berarti sangat baik. Penilaian dari respon ketertarikan siswa terhadap modul sebesar 70,3985 % hal ini menyatakan bahwa siswa terrtarik dengan modul pembelajaran mitigasi dan adaptasi bencana alam di Kabupaten Grobogan. Hal ini menyatakan bahwa siswa terrtarik dengan modul pembelajaran mitigasi dan adaptasi bencana alam di Kabupaten Grobogan. Nilai aspek paling besar menurut siswa terdapat bahwa modul ini dapat membatu pembelajaran (respon sebesar 84,275%), kemudian disusul dengan indikator terkait dalam pemberian contoh di dalam modul (78,125%),

(15)

sedangkan nilai indikator dengan respon terendah terkait dengan penggunaan gambar dan foto yang mendukung pembelajaran (62,5%).

5. Pembahasan

Dari data dari Bappeda Kabupaten Grobogan hampir sesuai dengan analisis perhitungan indeks kekeringan Thorthwaite Mather. Namun di daerah tersebut bukan berarti sama sekali tidak kekeringan. Kecamatan Godong dan Kecamatan Klambu juga mengalami kekeringan pada bulan Jili, Agustus, dan September namun dengan tingkat rendah. Di Kecamatan Geyer terdapat waduk Kedung Ombo namun masih kecamatan ttersebut masih mengalami tingkat kekeringan yang beragam dari bulan Juli-September, untuk menjawab hal ini maka dibuatlah peta dengan metode buffer. Pertama-tama memasukkan koordinat waduk kedung ombo kemudian membuat buffer dengan diameter 5-10 km. Koordinat waduk Kedung Ombo -7,3046639; 110,830425.

Gambar 4. Peta Buffer Waduk Kedung Ombo

Dari peta di atas diketahui bahwa untuk Kecamatan Geyer tidak seluruhnya tercover waduk Kedung Ombo. Untuk Kecamatan Godong dan Kecamatan Klambu mengalami tingkat kekeringan rendah karena aspek peniilaian tingkat kekeringan tidak hanya dari satu aspek saja. Terkait dengan dampak kekeringan terhadap produktivittas padi, menurut

(16)

Suhartini, 58 tahun, warga desa Asem Rundung Kecamatan Geyer, menyebutkan bahwa saat kekeringan produktivitas padi menurun karena saat terjadi kekeringan, warga tiodak menanam padi. Pada saat penanaman padi sebelum masuk ke dalam bulan-bulan kering hasil yang diharapkan sangat jauh dari biasanya. Dapat dikatakan pola tanam yang digunakan warga yaitu padi-padi-bero. Oleh karena itu penelitian ini memberikan masukan kepada warga untuk melakukan periode tanam sesuai dengan perhitungan indek kekeringan Thorthwaite Mather.

SIMPULAN

1. Klasifikasi indeks kekeringan di Kabupaten Grobogan dengan menggunakan perhitungan Thorthwaite Mather didapatkan hasil bahwa bulan kering yang menggalami kejadian kekeringan terjadi di bulan Juli, Agustus, dan September. Penyebab kekeringan di Kabupaten Grobogan dipengaruhi nilai APWL (Accumulation Potential Water Loss). Tingkat kekeringan tinggi disertai dengan nilai akumulasi potensial air yang hilang dengan nilai tinggi terdapat di bulan Agustus, sehingga dampak dari kekeringan dapat dirasakan di bulan setelahnya (bulan September).

2. Kekeringan memberikan pengaruh terhadap produktivitas padi hal ini dapat dilihat dari produktivitas di kecamatan-kecamatan yang termasuk tingkat kekeringan rendah lebih besar daripada yang termasuk tingkat kekeringan sedang maupun tinggi.

3. Jadwal tanam padi yang didapatkan dari hasil perhitungan runoff dimulai pada bulan Desember-April. Pola tanam yang digunakan yaitu padi – palawija – palawija, penanaman palawija dimulai setelah penanaman padi. 4. Implementasi penelitian dalam pembelajaran geografi SMA kelas X

dilakukan dengan pembuatan modul pembelajaran geografi dengan penilaian dari dosen sebagai validator nilai persentase 88,89% yang berarti sangat baik. Penilaian dari guru pengampu mata pelajaran geografi SMA Negeri 1 Kradenan nilai persentase 88,89% yang berarti sangat baik. Penilaian dari ketertarikan siswa terhadap modul sebesar 70,3985 % hal ini

(17)

menyatakan bahwa siswa terrtarik dengan modul pembelajaran mitigasi dan adaptasi bencana alam di Kabupaten Grobogan.

UCAPAN TERIMA KASIH

a. BPDAS Pemali Jratun Seluna b. PU Pengairan Provinsi Jawa Tengah c. Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan

DAFTAR PUSTAKA

Ali. (2014). ‘Grobogan Darurat Kekeringan’, Wawasan 23 September 2014, p.1. Ari, M. 2013. Merespon Ancaman Perubahan Iklim: Adaptasi Sebuah Pilihan

yang Mendesak dan Prioritas. DNPI: Jakarta.

Arikunto, Suharsimi. 2008.Metodologi Penelitian. Bina Aksara:Yogyakarta.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 2013. Politik Pembangunan

Pertanian Menghadapi Perubahan Iklim. IAARD Press: Jakarta.

Balai Hidrologi. 2003. Permasalahan Kekeringan dan Cara Mengatasinya. Departemen Pemukiman dan Prasarana Wilayah, Badan Penelitian dan Pengembangan Permukiman dan Prasarana Wilayah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Sumber Daya Air, Jakarta.

BPBD Kabupaten Grobogan. 2014. Summary Bantuan Air Bersih Tiap

Kecamatan di Kabupaten Grobogan. BPBD: Kabupaten Grobogan.

BPDAS Jratun Seluna. 2010. Summary Konsep Pola Jratun Seluna. BPDAS Jratun Seluna: Semarang.

Bappeda. 2014. Data Luasan dan Persentase Kekeringan Tiap Kecamatan di

Kabupaten Grobogan. Bappeda: Kabupaten Grobogan.

Bappenas. 2012. Strategi Pengarusutamaan Adaptasi ke Dalam Perencanaan

Pembangunan Nasional. Bappenas: Jakarta.

Bhandari. H. Pandey, S. and Hardy, B. 2007. Economic Costs of Drought and

Rice Farmers’ Coping Mechanisms: A Cross-Country Comparative Analysis. International Rice Research Institute : Manila.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana. 2012. Pedoman Sistem Peringatan

(18)

Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan. 2008. Grobogan Dalam Angka 2008. BPS Kabupaten Grobogan: Grobogan.

Badan Pusat Statistik Kabupaten Grobogan. 2014. Grobogan Dalam Angka 2014. BPS Kabupaten Grobogan: Grobogan.

Calvo, J.C. 1986. An Evaluation of Thorthwaite’s Water Balance Technique in

Predecting Stream Runoff in Costa Rica. J. Hyydrological Sci. 31: 51-60.

Chikopela, Juliet. 2014. “Dissertation : Livelihood Strategies of Small-Scale

Farmers In Nankanga Camp of Kafue District”, Zambia. University of

Zambia.

Dinas Pertanian. 2010. Laporan Dinas Pertanian TPH (SPVA). Dinas Pertanian Kabupaten Grobogan: Grobogan.

Direktorat Jendral Pengairan Departemen Pekerjaan Umum. 1986. Standar

Perencanaan Irigasi Kriterian Perencanaan Bagian Saluran KP-03.

Direktorat Jendral Pengairan Dep. PU : Jakarta.

Downing T, Ringius L, Hulme M, Waughray D. 1997. Adapting to Climate Change in Africa,Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change, 2 (1) 19-44. United Kingdom.

Firmansyah, Anang. 2010. Teori dan Praktik Analisis Neraca Air untuk

Menunjang Tugas Penyuluh Pertanian di Kalimantan Tengah. BPTP

Kalimantan Tengah: Palangkaraya.

Haunam, C.E., J.J. Burgos, M.S.Kalik, W.C. Palmer and J.Rodda. 1975. Drought

and Agricultural. Technical Note No. 138. WMO No. 329. p 40-41. Geneva.

Hidayat, T. dkk. 2006. Analisis Neraca Air Untuk Penetapan Periode Tanam

Tanaman Pangan di Provinsi Banten. Jurnal Indonesia Agromerat 20 (1) :

44-51, 2006. Bogor.

ILACO B.V., 1985. “Agricultural compendium For Rural Development In The

Tropics and subtropics “. Vol.27. Elsevier Science Publishing Company

TNC, Amsterdam.

Imanuela, Imelda dkk. 2012. Penggunaan Asam Sitrat dan Natrium Bikarbonat

dalam Minuman Jeruk Nipis Berkarbonasi. Food Science and Culinary

Education Journal.

Kallis, Giorgos. “Droughts”. Annual Review of Environment and Resource. Vol. 33. 1 Juli 2008: 86-110.

(19)

Mishra, K. Ashok and Singh, P. Vijay. A review of Drought Concepts. Texas A&M University. Journal of Hydrology. Vol. 391. 7 Juli 2010: 201-216. Moreland, Joe. 1993. “Drought”. U.S. Geological Survey, U.S. Department of the

Interior. Vol.93:642. http://water.usgs.gov/pubs/FS/OFR93-642/index.html

diakses tanggal 14 Juni 2015.

Nazir. 1988. Metode Penelitian. Ghalia Indonesia: Jakarta.

NOAA. 2008. Drought. National Drought Mitigation Center US: United States of America.

Nugroho, Kharisma. 2009. PASTI (Perangkat Diagnosa Kesiapsiagaan Bencana

di Indonesia). UNESCO office: Jakarta.

Oertel, M. et al. 2015. Drought: Research and Science-Policy Interfacing

“Improving Operational Drought Definitions-Taking Them to Basin Scale”.

Pontificia Universidad Catolica de Chile: Chile.

Purnama, Setyawan, dkk. 2012. Analisis Neraca Air di DAS Kupang dang

Sengkarang. Percetakan Pohon Cahaya: Yogyakarta.

Pusmahasib, 2002. Perhitungan Neraca Air dan Energi. Institut Pertanian Bogor: Bogor.

Rafi’i, Suryatna. 1995. Meteorologi dan Klimatologi. Angkasa: Bandung.

Rokhma, Mulya, Novrida. 2008. Menyelamatkan Pangan dengan Irigasi Hemat

Air. Kanisius:Yogyakarta.

Sari, Kania, Dewi. 2009. Pemantauan Kekeringan Menggunakan Data

Penginderaan Jauh dengan Model SEBAL (Surface Energy Balance Algorithm for Land). Prosiding Seminar Nasional: Peran Informasi

Geospasial untuk Pembangunan Berkelanjutan. Hal. C111-C122. Forum Ilmiah Tahunan Ikatan Surveyor Indonesia tanggal 3 Desember 2009. UNDIP: Semarang.

Shadily, Hassan. 1984. Ensiklopedi Indonesia, Ichtiar Baru-Van Hoeve dan

Elsevier . Publishing Projects: Jakarta.

Sharma, K.D. 2011. Drought Preparedness and Mitigation. National Academy of Agricultural Science: New Delhi.

Shelia, B. Reed. 1995. Pengantar Tentang Bahaya (edisi ketiga). Program Pelatihan Manajemen Bencana. UNDP.

(20)

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Administrasi-Cetakan ke 20. ALFABETA: Bandung.

Sugiyono. 2008. Metode Penelitian Kunatitatif Kualitatif dan R&D. ALFABETA:

Bandung.

Suripin Dr, Ir. M.Eng. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan. Penerbit Andi: Yogyakarta.

Thahir, M. 1974. Meningkatkan Produktivitas Tanah di Indonesia dengan

Multiple Cropping. Majalah Pertanian tahun 1974.

Tika, Moh. Pabundu. 2005. Metode Penelitian Geografi. Bumi Aksara: Jakarta. Triatmojo, Bambang. 2008. Hidrologi Terapan. Beta Offset: Yogyakarta.

Tschirley, J. 2007. Climate Change Adaptation: Planing and Practice. FAO:Rome.

Yoshida, S. 1981. Fundamentals of Rice Crop Science. IRRI. Los Banos: Laguna Philippines.

Van Lannen, A.J. Henny, et al. 2008. Technical Report No. 11: “Indicates for

Different Types of Droughts and Floods at Different Scales”. Centre for

Ecology and Hydrology: United Kingdom.

Wahyunto. 2005. Lahan Sawah Rawan Kekeringan dan Kebanjiran di Indonesia. Balai Besar Sumberdaya Lahan Pertanian: Bogor.

Waluyo Hatmoko. 2012. Indeks Kekeringan Hidrologi Untuk Alokasi Air di

Indonesia. Puslitbang Sumber Daya Air: Bandung.

Wilhite. 2010. Drought Monitoring and Early Warning: Concept, Progress, and

Future Challenges. WMO: Geneva.

World Meteorological Organization. 2010. WMO Statement On The Status of The

Global Climate in 2009. WMO: Geneva.

Woro Estiningtyas. 2012. Identifikasi dan Delineasi Wilayah Endemik Kekeringan

untuk Pengelolaan Risiko Iklom di Kabupaten Indramayu. Balai Penelitian

Gambar

Tabel 2: Satuan Lahan Daerah Penelitian
Tabel 3: Pembagian Klasifikasi Indeks Kekeringan Thorthwaite Mather
Gambar 1. Peta Indeks Kekeringan Thornthwaite Mather Bulan Juli Kabupaten Grobogan
Gambar  3.  Peta  Indeks  Kekeringan  Thornthwaite  Mather  Bulan  September  Kabupaten  Grobogan
+3

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan diagnosa awal yang telah dilakukan, penyakit yang menyerang tanaman padi di sawah penduduk Kecamatan Sungai Kakap, Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat

Meskipun NDC adalah dokumen yang lebih memfokuskan tindakan ke depan, negara dapat memilih untuk memasukkan informasi adaptasi yang sudah dilakukan, seperti upaya adaptasi dan

Dengan menggunakan konfigurasi CFD-CFD diterapkan pada generator neutron dengan sampel air dan grafit hasilnya seperti pada Gambar 17 dan Gambar 18 untuk spektrum normal

organisasi Bag. Organisasi Kualitas pelayanan umum di tingkat kecamatan 60% 70% 20) Program pemantapan penyelenggaraan pemerintahan Kecamatan Kualitas pelayanan umum di

Berdasarkan penjelasan efektivitas dan sistem informasi akuntansi tersebut dapat disimpulkan bahawa Efektivitas Sistem Informasi Akuntansi adalah kumpulan (integritas)

NPL atau Non Performing Loan, adalah besarnya jumlah kredit bermasalah pada suatu Bank dibanding dengan total keseluruhan kreditnya. Untuk mendorong Perbankan mengatasi

Berdasarkan hasil penelitian dan pengumpulan data di lapangan mengenai pemetaan dan deskripsi potensi objek wisata yang terdapat di wilayah Kabupaten Lampung Barat

Puji Syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah yang telah diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Tugas Akhir