• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III. KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB. misi-nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-nya

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB III. KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB. misi-nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-nya"

Copied!
23
0
0

Teks penuh

(1)

36

BAB III

KORUPSI DALAM PEMAHAMAN dan SIKAP GPIB

1. Pendahuluan

Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) ialah sebuah lembaga gerejawi yang memiliki area pelayanan cukup luas di Indonesia. Dengan cakupan pelayanan yang cukup luas inilah menandakan bahwa GPIB tidak hanya hadir sebagai sebuah lembaga yang melanjutkan misi-Nya hanya untuk gereja semata. Akan tetapi lebih dari itu GPIB memaknai misi-Nya sebagai wujud tanggung jawab untuk melihat setiap permasalahan yang terjadi dalam rantai kehidupan sosial di dalam jemaat maupun masyarakat. Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berdampak pada terjadinya perubahan sosial di masyarakat. Mulai dari cara berpikir, berperilaku hingga kebiasaan sehari-hari menjadikan masyarakat sangat mudah bersentuhan dengan praktek-praktek ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi. Oleh sebabnya, GPIB turut bertanggung jawab dalam membina warga jemaat dan masyarakat untuk memahami lebih dalam tentang bentuk-bentuk masalah sosial seperti halnya korupsi.

Dalam bab ini penulis akan mendeskripsikan pemahaman GPIB tentang korupsi serta sikap GPIB terhadap korupsi itu sendiri berdasarkan hasil informasi yang penulis peroleh selama penelitian yang dilakukan di sinode GPIB.

2. Profil Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB)

2.1 Sejarah Gereja Prostestan di Indonesia Bagian Barat

Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat GPIB) merupakan salah satu gereja yang sifatnya heterogen. GPIB merangkul warga jemaatnya dari berbagai latar belakang etnis dan

(2)

37 budaya dalam cakupan wilayah Indonesia Bagian Barat. Inilah yang menjadikan keunikan bagi GPIB semenjak masih ada di bawah payung GPI (Gereja Prostestan Indonesia). Untuk memahami Latar belakang historis terbentuknya GPIB maka perlu juga untuk memahami sejarah lahirnya Gereja Protestan di Indonesia (GPI) sebab, latar belakang historis GPIB sebenarnya merupakan latar belakang historis dari Gereja Protestan di Indonesia. GPI dalam masa VOC disebut sebagai ‘Gereja Gereformeed’. Namun ketika pada tahun 1835 namanya diubah menjadi

“De Protestantsche Kerk in Nederlandsch-Indie” atau De Indische Kerk.1

Sebelum tahun 1948, dalam naungan GPI telah terbentuk organisasi-organisasi Gereja yang berdiri sendiri. Masing-masing dengan sinodenya serta tata gerejanya sendiri. Organisasi-organisasi Gereja itu ialah Gereja Masehi Injili di Minahasa (GMIM), Gereja Protestan Maluku

(GPM), dan Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).2 Sehubungan dengan adanya perkembangan

baru tubuh GPI, maka pada tahun 1948 Gereja terdesak untuk berpikir tentang status jemaat-jemaat yang ada dalam tubuh GPI, tapi yang tidak termasuk dalam wilayah pelayanan ketiga

Gereja yang telah berdiri sendiri itu.3 Seperti ujung Pandang (Makasar), Sopeng; di pulau Jawa

seperti Jakarta, Tanjung Priok, Tugu, Jatinegara, Bogor, Depok, Cimahi, Bandung, Cilacap, Semarang, Surabya, Malang, Jember; di Kalimantan seperti Banjarmasin, Pontianak; di Bangka; di Sumatera seperti Palembang dan Medan, mereka tidak bersedia meleburkan diri dalam salah

satu Gereja daerah.4

Dalam Sidang Sinode Am ke-III yang dilaksanakan di Bogor tanggal 30 Mei-10 Juni 1948 tentang jemaat-jemaat GPI yang tidak termasuk dalam wilayah ketiga Gereja yang berdiri

1 G.P.H. Locher, Tata Gereja-Gereja Prostestan di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995),3-4. 2 SW. Lontoh dan H. Jonathans, STh, Bahtera Guna Dharma GPIB, (Jakarta: MS XII GPIB, 1981),179. 3 Ibid.,180.

(3)

38 sendiri, berakhir dengan satu keputusan, yaitu: segera dalam tahun 1948 juga, jemaat-jemaat tersebut diorganisir dalam satu organisasi gereja yang baru. Untuk itu Sinode Am ke-III GPI

menetapkan:5

1. Memberi hak pada Badan Pekerja Am (Algemene Moderamen) GPI untuk mensahkan dan melembagakan gereja baru itu sebagai satu gereja yang berdiri sendiri.

2. Membentuk komisi untuk menyiapkan Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja.

3. Tata Gereja yang disusun oleh komisi, akan dibicarakan oleh proto sinode secepat mungkin dalam tahun 1948.

Dengan demikian melalui proto sinode yang dilaksankan pada tanggal 25-31 Oktober 1948 di Jakarta mempunyai acara pokok: Membahas Tata Gereja dan Peraturan-peraturan Gereja yang telah disiapkan oleh komisi Tata Gereja dan Peraturan Gereja, yang dibentuk oleh sinode Am ke-III GPI di Bogor maka, lahirlah satu Gereja yang berdiri sendiri, lengkap dengan Sinodenya dan Tata Gereja serta Peraturan-peraturan Gereja yang disebut “Gereja Prostestan di

Indonesia Bagian Barat’ (GPIB) tepat tanggal 31 Oktober 1948.6

3. Visi dan Misi GPIB

3.1.Visi

Menjadi satu permulaan bagi GPIB sejak tanggal 31 Oktober 1948 sebagai sebuah Gereja yang bersedia melakukan Pekabaran Injil bagi seluruh umat tanpa terkecuali di wilayah

5 Ibid.,181. 6 Ibid.

(4)

39 Indonesia Bagian Barat. Dengan mengemban Visi “GPIB menjadi gereja yang mewujudkan

damai sejahtera bagi seluruh ciptaanNya”7

3.2 Misi

Adapun yang menjadi misi GPIB adalah sebagai berikut:8

a) Menjadi Gereja yang terus menerus diperbaharui dengan bertolak dari Firman Allah, yang terwujud dalam perilaku kehidupan warga gereja, baik dalam persekutuan, maupun dalam hidup bermasyarakat.

b) Menjadi gereja yang hadir sebagai contoh kehidupan, yang terwujud melalui inisiatif dan partisipasi dalam kesetiakawanan sosial serta kerukunan dalam masyarakat, dengan berbasis pada perilaku kehidupan keluarga yang kuat dan sejahtera.

c) Menjadi Gereja yang membangun keutuhan ciptaan yang terwujud melalui perhatian terhadap lingkungan hidup, semangat keesaan dan semangat persatuan dan kesatuan warga Gereja sebagai warga masyarakat.

4. Cara Penatalayanan Gereja

Untuk menumbuhkan dan mengembangkan persekutuan, pelayanan dan kesaksian di tengah masyarakat, GPIB menata kehidupannya dengan bersumber dari Firman Allah. Penataan itu dilakukan dengan memberdayakan warga gereja berdasarkan Imamat Am dalam ketaatan kepada Yesus Kristus yang menghendaki segala sesuatu rapih tersusun dan diikat menjadi satu

7 Visi Misi GPIB dalam www.gpib.org diunduh pada 16 januari 2015. 8 Ibid.

(5)

40 oleh pelayanan semua bagian dan perangkat, baik warga, wilayah, kepemimpinan dan tata aturan

dengan sistem Presbiterial Sinodal.9

Cara penatalayanan dengan Sistem Presbiterial Sinodal selalu menekankan:10

· Penetapan kebijakan oleh para Presbiter atas dasar permusyawaratan melalui Persidangan

Sinode GPIB, yang pelaksanaannya dijabarkan dalam Sidang Majelis Sinode (tingkat sinodal) dan Sidang Majelis Jemaat (tingkat jemaat)

· Hubungan yang dinamis antara Majelis Sinode dan Majelis Jemaat maupun di antaranya

· Pelaksanaan pelayanan dan pengelolaan sumberdaya gereja serta bersama dan

bertanggung jawab di seluruh jajaran GPIB

Bertolak dari pemahaman ini, maka penyelenggaraan pelayanan secara Presbiterial Sinodal hendaknya menjadi tanggung jawab bersama para Presbiter atas kehidupan lembaga

GPIB berdasarkan karunia dan talenta yang dipercayakan Tuhan padanya.11

5. Pemahaman GPIB Tentang Korupsi

Selaras dengan pengakuannya GPIB adalah bentuk nyata dari Gereja Kristen Yang Esa, Kudus, Am dan Rasuli. Kehadirannya di Indonesia untuk mengemban tugas mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah yaitu kasih, keadilan, kebenaran dan keutuhan ciptaan. GPIB terpanggil untuk mewujudkan kebaikan Allah dalam masyarakat Indonesia yang majemuk, dengan ikut membangun nilai-nilai kehidupan yang berkeadaban, inklusif, adil, damai dan demokratis (“civil

9 Tata Gereja GPIB Buku IIII, (Jakarta: Majelis Sinode GPIB, 2010),17. 10 Presbiterial Sinodal dalam www.gpib.org, diunduh pada 17 Januari 2015. 11 Ibid.

(6)

41

society”) dengan melaksanakan fungsi kenabian di tengah-tengah simpul kekuasaan yang ada.12

Dalam rangka itu, GPIB memperjuangkan masalah-masalah kemanusiaan, keadilan dan lingkungan hidup serta masalah-masalah yang berhubungan dengan dampak negatif dari

globalisasi dan penyalahgunaan ilmu pengetahuan dan teknologi.13 Beranjak dari pemahaman di

atas tersebut, GPIB sebagai sebuah lembaga hadir secara penuh dalam memperhatikan dan turut bertanggung jawab terhadap masalah kehidupan sosial warga jemaat maupun masyarakat.

Menyadari bahwa GPIB merupakan bagian integral dari Bangsa dan Negara Indonesia. Gereja merasa perlu untuk merumuskan Pemahaman Iman yang berisikan tujuh pokok sebagai dasar teologis Gereja melayani di Indonesia. Salah satu dari ketujuh pokok Pemahaman Iman GPIB sebagai wujud kesadaran akan ‘bagian integral’ Gereja dari Bangsa Indonesia ialah adanya rumusan tentang ‘Negara dan Bangsa’ (pokok kelima). Pokok kelima (Negara dan Bangsa) berisikan VII alinea. Kesemuanya berbicara tentang keterlibatan Gereja dalam mewujudkan kesejahteraan tidak hanya bagi Gereja sendiri tetapi juga bagi bangsa dan negara. Namun tiap-tiap alinea dalam Pokok Kelima tersebut diuraikan dengan penjelasannya masing-masing.

Keseluruhan dari penjelasan tiap-tiap alinea Pokok Kelima tersebut tidak secara spesifik membahas tentang korupsi dan bagaimana gereja bereaksi terhadap masalah korupsi. Namun ada beberapa alinea yang secara implisit menguraikan keterlibatan Gereja terhadap persoalan sosial seperti meniadakan kekacauan, kejahatan, juga ketidakadilan sosial sebab, masalah negara dan bangsa juga merupakan masalah Gereja. Hal-hal ini dibahas dalam alinea pertama dan alinea

keempat:14

12 Tata Gereja GPIB Buku III,…,17. 13 Ibid.

14 Untuk penjelasan alinea I & IV tentang ‘Negara dan Bangsa’, lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a (2010), 212-215.

(7)

42 Alinea pertama; Bahwa Allah, sebagai Sumber Kuasa, memberikan kuasa kepada pemerintah bangsa-bangsa guna mendatangkan keadilan dan kesejahteraan, memelihara ketertiban serta mencegah dan meniadakan kekacauan dan kejahatan. Dengan demikian sebagai hamba Allah, setiap pemerintah wajib mempertanggung jawabkan kuasa tersebut kepada Allah. Alinea keempat; Roh Kudus yang adalah Roh keberanian akan menolong orang percaya untuk lebih taat kepada Allah dari pada kepada manusia. Seperti yang telah disaksikan oleh para Rasul; oleh karena itu Gereja terpanggil memperdengarkan suara kenabian terhadap masalah negara, bangsa dan masyarakat.

Kedua alinea inilah yang mendasari dan menjadi titik berangkat GPIB untuk memahami dan bersikap dengan tegas dalam meniadakan korupsi yang adalah bentuk ketidakadilan sosial

dan tidak dapat dibenarkan.15 Sekali lagi, oleh karena Pemahaman Iman GPIB merupakan dasar

teologis yang dirumuskan oleh Gereja untuk melayani di Indonesia sesuai konteksnya maka, korupsi juga secara teologis dipandang sebagai sebuah tindakan ketidakadilan sosial yang tidak berkenan dihadapan Tuhan sebab, sejatinya hal tersebut tidak mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya berdasarkan Visi GPIB. Lewat argumentasi-argumentasi ini, muncul penegasan akan ketidakberpihakkan GPIB terhadap tindakan korupsi itu sendiri. GPIB tetap menunjukkan konsistensinya terhadap apa yang telah diputuskan secara bersama dalam persidangan sinode.

Tidak hanya berdasarkan Pemahaman GPIB yang secara implisit dalam alinea petama dan keempat Pokok Kelima ‘Negara dan Bangsa’ menegaskan bahwa korupsi ialah tindakan tidak benar. Kajian pemahaman tentang korupsi oleh GPIB juga didasarkan pada kebenaran Firman Allah yang tertuang dalam Hukum Musa atau Hukum Taurat salah satunya ialah hukum ke-8 “Jangan Mencuri” (Kel 20:15). Hakikatnya Pemahaman Iman GPIB didasarkan oleh Kebenaran Firman Tuhan. Perintah “Jangan Mencuri” secara eksplisit disuarakan dalam Hukum Taurat menjadi acuan bagi GPIB untuk menyatakan dengan tegas bahwa tindakan korupsi

15 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E.Ch. Wuwungan, (Mantan Ketua Sinode GPIB) pada 26 November 2014.

(8)

43

merupakan bentuk pelanggaran terhadap Firman Allah.16 Gereja menganggap bahwa siapapun

yang hendak melakukan tindakan pencurian berarti ia sedang mempraktekkan tindakan korupsi

yang sifatnya menyeleweng dari sebuah sistem regulasi yang sudah ditetapkan.17

Pemahaman universal tentang korupsi sebagai aksi pencurian dipahami sangat mendalam oleh GPIB. Bagi GPIB mencuri dan korupsi keduanya merupakan tindakan yang salah. Akan tetapi Hukum Taurat ke-8 tersebut tidak semata-mata dipahami secara harafiah “mencuri” saja namun, ada konsep yang lebih berarti dibalik pemahaman secara harafiah tersebut. Oleh GPIB tindakan korupsi dilakukan dengan gaya yang lebih licik dibandingkan dengan tindakan

mencuri.18 Dengan sederhana, korupsi dan mencuri merupakan dua tindakan yang berbeda

bentuk namun, sama-sama melakukan aksi “penyelewengan”.

Mencuri dipahami sebagai sebuah insiden yang kelihatan. Insiden kelihatan dalam situasi ini ialah orang yang dicuri (korban curian) benar-benar menyadari bahwa sesuatu yang dimiliki telah diambil dan hilang. Sedangkan, korupsi dipahami berbeda di mana si korban tidak merasa bahkan tidak sadar bahwa ia telah kehilangan sesuatu yang menjadi miliknya. Mengapa demikian? Karena tindakan yang dilakukan oleh pelaku (koruptor) terlihat baik padahal sebetulnya yang dilakukan ialah buruk. Kaihatu menandaskan bahwa inti diskusi teologi tentang korupsi yang menyatakan tindakan tersebut ialah salah dipahami oleh GPIB bukan hanya sebagai sebuah aksi pencurian tetapi lebih dari itu tidak setuju terhadap tindakan yang seolah-olah baik tetapi dalam kenyataanya tidak baik (merusak, merugikan orang lain, menyimpang dari

16 Ibid.

17 Hasil wawancara dengan Pdt. J. Marlene. Joseph (Sekertaris I Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25 November 2014.

18 Hasil wawancara dengan Pdt. S.Th. Kaihatu (Mantan Ketua Sinode GPIB Periode 2005-2010) pada 6 Desember 2014.

(9)

44

aturan ).19 Dengan bahasa yang sederhana, ada sesuatu yang hilang akibat aksi pencurian

maupun korupsi ialah benar. Namun filosofi di belakang kedua aksi ini berbeda. Kaihatu memberi contoh dengan menguraikan perbedaan antara maling dan koruptor. Ketika maling berusaha mencuri barang seseorang, dengan situasi si pemilik tidak melihat aksi tersebut maka, si pemilik barang itulah yang tidak berhati-hati sehingga barang yang dimiliki bisa dicuri. Berbeda dengan koruptor, si pemilik barang (institusi pemerintah dan swasta) sekalipun melihat, ia tidak menyadari bahwa koruptor telah merampas hak miliknya. Dengan bahasa yang sederhana, untuk mencuri maling membutuhkan situasi dimana orang lain tidak melihat tetapi korupsi, koruptor membutuhkan situasi dimana orang lain memujinya seakan-akan ia sedang berbuat baik.

Pemahaman yang lain juga diuraikan oleh Ririhena, selain Hukum Taurat ke-8, Hukum Taurat ke-10 “Jangan mengingini rumah sesamamu; jangan mengingini isterinya, atau hambanya laki-laki, atau hambanya perempuan, atau lembunya atau keledainya, atau apapun yang dipunyai sesamamu”20 juga mendasari pemahaman Gereja untuk menyatakan bahwa tindakan korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak dapat dibenarkan baik secara hukum negara maupun juga berdasarkan nilai-nilai agama. Kalimat terakhir dalam hukum ke-10 “atau apapun yang dipunyai sesamamu” dipahami oleh GPIB sebagai suatu perintah yang sifatnya melarang

umat Tuhan untuk tidak menginginkan, mengambil sesuatu yang bukan merupakan haknya.21

Menginginkan dan mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak oleh Joseph tidak berhenti pada tafsiran yang menyatakan bahwa hal tersebut hanya menyangkut persoalan uang atau barang yang berharga saja. Akan tetapi menginginkan dan mengambil kedudukan dalam satu

19 Ibid.

20 Hasil wawancara dengan Pdt. Rudy. I. Ririhena.(Ketua III Sinode GPIB Periode 2010-2015), pada 27 November 2014.

(10)

45

instansi atas dasar hubungan kekerabatan yang diistilahkan dengan nepotisme. 22 Joseph kembali

mempertegas bahwa nepotisme merupakan bentuk tindakan korupsi yang juga dimuat maknanya dalam Hukum Taurat ke-10. Katanya, ketika mendengar istilah korupsi jangan dulu kita membentuk cara berpikir bahwa korupsi ialah persoalan mencuri uang. Tidak hanya itu, tandas Joseph. Sebab tidak selamanya korupsi ialah persoalan uang tetapi, atas alasan kekeluargaan kebanyakkan orang menyalahgunakan kedudukannya untuk melakukan nepotisme yang adalah korupsi tersebut.

Lahirnya Hukum Musa atau Hukum Taurat dalam hal ini kedua Hukum (ke-8 dan ke-10) mempunyai alasan tersendiri tandas Wuwungan. Baginya ketika sebuah aturan dikeluarkan itu berarti sebelumnya ada praktek-praktek ketidakadilan yang dilakukan sehingga aturan tersebut diadakan. Hukum Taurat yang mengandung sepuluh Firman tersebut dibuat karena umat Tuhan terlebih para penguasa Bangsa Israel saat itu sedang mempraktekkan tindakan yang tidak

menyenangkan hati Tuhan.23 Praktek-praktek ketidakadilan tersebut sudah ada ketika zaman

Musa hal ini dapat dilihat dalam Keluaran 18:21 saat itu Yitro mertua Musa menasihatinya untuk mencari orang yang cakap dan takut akan Allah, orang-orang yang dapat dipercaya, dan yang benci kepada pengejaran suap untuk menjadi pemimpin. Pengejaran suap yang dikatakan Yitro, bagi Wuwungan merupakan satu gambaran bahwa bentuk-bentuk ketidakadilan sosial

seperti korupsi sudah merajalela saat itu.24 Oleh sebabnya Hukum Taurat dikumandangkan bagi

seluruh umat Tuhan. Contoh lain, dalam Keluaran 23:8 “ Suap Janganlah kau terima, sebab suap membuat mata orang-orang yang melihat dan memutarbalikkan perkara orang-orang yang benar”. Praktek ketidakadilan saat itu dianggap sebagai hal yang keji sebab hanya dengan uang

22 Hasil wawancara dengan Pdt. J.Marlene. Joseph. pada 25 November 2014. 23 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch.Wuwungan, pada 26 November 2014. 24 Ibid.

(11)

46 suap dapat membutakan mata orang, walaupun ia seorang yang bijaksana dan hati-hati, dan

mengusik keputusan, walaupun ia orang yang adil.25 Selain contoh-contoh di atas tersebut,

contoh lain yang memperlihatkan praktek korupsi dalam cerita Alkitab ialah ketika Yakub merampas hak kesulungan dari kakaknya Esau. Cerita Esau dan Yakub dalam Kejadian 27

menjadi bukti bahwa jauh sebelum korupsi dipraktekkan dalam dunia masa kini.26 Kehidupan

masa lampau sudah terkontaminasi dengan praktek-praktek tersebut. Yakub bersikap tidak adil dengan cara melakukan penipuan terhadap ayahnya Ishak hanya untuk merampas hak kesulungan kakaknya. Tindakan yakub mencerminkan praktek korupsi dalam bentuk pencurian. Ia telah merampas hak milik orang lain serta secara tidak langsung telah melahirkan

ketidakadilan dalam kehidupan keluarganya sendiri.27

Lewat argumentasi-argumentasi ini, dapat disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan tindakan korupsi. Tidak hanya soal pencurian, suap-menyuap dan sogok-menyogok uang namun, korupsi dalam bentuk apapun seperti nepotisme, korupsi waktu, sama sekali dianggap tidak benar oleh GPIB. Lahirnya pemahaman GPIB ini tidak dibuat-buat atas dasar pemahaman pribadi. Akan tetapi berangkat dari dasar teologis Hukum Taurat “Jangan mencuri & Jangan Mengingini” gereja membangun sebuah pola berpikir yang baik sebagai alasan secara teologis untuk tidak membenarkan tindakan korupsi dalam bentuk apapun.

Hukum Taurat (ke-8 dan ke-10) tersebut tidak hanya berlaku pada masa Musa saja. Akan tetapi kesepuluh Firman tersebut berlaku hingga sekarang. Sebab tindakan korupsi tidak berhenti di masa lampau justru tindakan tersebut semakin menjadi-jadi dan mendapat perhatian publik. Pitoy menguraikan bahwa secara sosiologis hingga sekarang ini di zaman post-modern manusia

25 Ibid. 26 Ibid. 27 Ibid.

(12)

47 tidak bisa terhindar dari masyarakat koruptif tetapi menghindari diri dari masyarakat korupsi bisa

dilakukan oleh setiap orang.28 Gereja pun demikian. Akan tetapi Gereja wajib memberdayakan

manusia serta membina warga jemaat dan masyarakat untuk mendatangkan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya serta kuat spiritual agar bisa menghindari diri dari masyarakat yang koruptif.

6. Faktor-Faktor Penyebab Korupsi

Berdasarkan informasi yang diperoleh, beberapa diantara mengemukakan bahwa korupsi tidak serta merta hadir dalam tatanan kehidupan sosial sebuah bangsa dan negara, bahkan juga di Gereja. Ada beberapa faktor mengapa korupsi bisa terjadi bahkan seolah terpelihara hingga saat ini. Korupsi dapat dikatakan bersifat turun-temurun dari masa lalu. Ketika dikatakan korupsi bersifat turun temurun, Joseph menguraikan bahwa hal menyangkut korupsi dapat dikatakan sebagai budaya yang diwarisi dari masa lalu oleh masyarakat hingga kini. Budaya semacam apa yang dimaksudkan oleh Joseph ialah budaya menguasai seutuhnya apa yang telah ada dalam

genggaman sang penguasa.29 Penguasalah yang menguasai, mengendalikan birokrasi dalam

sebuah pemerintahan sehingga memberikan peluang besar untuk terciptanya ketidakadilan sosial dalam bentuk korupsi. Itu berarti faktor pertama yang dimaksudkan Joseph dalam uraiannya ialah faktor budaya.

Di sisi lain bagi Joseph ialah faktor alamiah manusia. Setiap manusia terbelenggu oleh sifat kemanusiaannya yang cenderung disalahgunakan sehingga mendatangkan dosa bagi diri sendiri maupun juga bagi orang lain. Sifat kemanusian yang bergejolak dari dalam diri manusia

28 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy. (Sekertaris Sinode GPIB Periode 2010-2015) pada 25 November 2014.

(13)

48

tersebut dapat diistilahkan sebagai “behaviour”.30 Faktor behavior merupakan salah satu

penyebab mengapa korupsi bisa terjadi. Rasa ketidakpuasan dalam diri manusia yang mendorong untuk melakukan hal-hal yang tidak benar seperti halnya korupsi. Semakin tinggi pendapatan semakin besar kebutuhan manusia, dan semakin besar kebutuhan semakin tinggi pula

ketidakpuasan manusia akibat keserakahan.31 Ditambahkan oleh wuwungan, sebagaimana

dengan uraian di atas, hal yang sama juga tertuang dalam Pemahaman Iman GPIB tentang

‘Manusia’ terkhusus dijelaskan dalam alinea ke VI;32

Bahwa karena keinginannya manusia menyalah-gunakan kuasa dan tanggungjawab-nya, sehingga ia jatuh dalam dosa menyebabkan rusaknya hubungan dengan Allah, sesama dan alam.

Manusia membiarkan dirinya takluk di bawah keinginan daging sehingga memberontak dan tidak mengakui kedaulatan Allah. Inilah yang menyebabkan rusaknya hubungan manusia dengan Allah juga dengan sesama. Keserakahan manusia disebabkan karena manusia tidak dapat mengendalikan keinginan daging dan hawa nafsu, hingga kesadaran akal budi dan hati nurani

tidak berfungsi secara baik dalam mengambil keputusan.33 Sebab itu, baik akal budi maupun hati

nurani manusia telah dibelenggu oleh kuasa dosa.

Faktor lain yang juga turut mempengaruhi ialah “sistem yang bocor”. Faktor sistem yang bocor dimaksudkan oleh Ririhena ialah berjalannya sebuah sistem dalam organisasi atau instansi tertentu yang tidak baik. Misalnya saja di Gereja, sistem perbendaharaan yang dikelola oleh

30 Ibid. 31 Ibid.

32 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 191. 33 Ibid,193.

(14)

49 BPPJ dan BPPG benar-benar harus diperhatikan sehingga tidak mengakibatkan kebocoran yang

bisa merugikan Gereja.34

Didasarkan atas hasil wawancara terhadap beberapa orang tersebut di atas maka, dapat disimpulkan bahwa faktor-faktor yang disebutkan dapat mewakili GPIB untuk menyatakan bahwa ketiga faktor itulah menjadi penyebab tindakan korupsi masih dilanggengkan hingga saat ini. Dalam bentuk apapun, dan oleh karena faktor apapun GPIB memahami bahwa korupsi ialah tindakan yang tidak perlu dibenarkan secara teologis bahkan juga sosiologis bahwasanya tindakan tersebut tidaklah memanusiakan manusia. Segala kenyataan yang terjadi memantapkan GPIB untuk lebih intens dalam melakukan pembinaan bagi warga jemaat dan masyarakat dalam rangka memberikan pemahaman terkait dengan persoalan korupsi agar supaya, jemaat dan masyarakat lebih berhati-berhati terhadap gejolak korupsi yang sulit dihindari serta memperhatikan sistem yang berlaku di dalam Gereja guna menciptakan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya berdasarkan diskusi teologis yang dilakukan dalam sidang sinode setiap lima tahunnya.

7. Sikap GPIB Terhadap Persoalan Korupsi

Ketika GPIB memahami dan menyadari bahwa tindakan korupsi ialah hal yang tidak dapat dibenarkan secara teologis bahkan sosiologis maka, berangkat dari pemahaman itulah GPIB menyikapi tindakan-tindakan korupsi dengan menempuh beberapa langkah seperti membuat aturan yang tertuang dalam dokumen-dokumen GPIB tentang Pemahaman Iman, Tata

(15)

50 Gereja GPIB tentang Perbendaharaan GPIB, melakukan pembinaan bagi warga jemaat melalui

khotbah mingguan, kunjungan pastoral, seminar, pelayanan Kategorial dalam jemaat35.

Sikap-sikap ini ialah tindakan nyata GPIB, menyadari akan tanggung jawab sosialnya terhadap persoalan negara dan bangsa yang juga menjadi persoalan Gereja. Sebab, bagi GPIB persoalan korupsi tidak hanya menjadi tanggungan pemerintah Indonesia semata melainkan Gereja turut terlibat dalam menyikapi persoalan dimaksud.

Gereja sebagai Pemerintah tertinggi warga jemaat berkewajiban untuk mendatangkan kesejahteraan secara penuh bukan hanya bagi warga gereja namun bagi warga masyarakat, negara dan bangsa. Mendatangkan kesejahteraan merupakan kalimat yang dimaknai sebagai bentuk sikap dari GPIB terhadap persoalan korupsi. Bentu-bentuk sikap tersebut diwujud nyatakan oleh GPIB melalui kebijakan dalam dokumen-dokumen GPIB antara lain Pemahaman Iman GPIB, Perbendaharaan GPIB, serta pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat.

7.1 Pemahaman Iman GPIB

Sekali lagi ditegaskan bahwa, keseluruhan dari Pemahaman Iman GPIB yang memuat ketujuh pokok tersebut dengan penjelasan tiap-tiap alineanya telah sarat makna akan keterlibatan GPIB terhadap setiap persoalan sosial yang terjadi di Indonesia sesuai dengan konteksnya. Mulai dari pokok pertama tentang Keselamatan sampai pokok ketujuh tentang Firman Allah telah diuraikan secara implisit tentang bagaimana GPIB harus menempatkan diri dalam melihat, menyikapi masalah-masalah gereja juga bangsa dan negara. Dari keseluruhan isi ketujuh pokok Pemahaman Iman GPIB tersebut, pokok kedua tentang ‘Gereja’ terkhusus dalam alinea keempat

(16)

51 dianggap sebagai dasar teologis GPIB dalam menyikapi persoalan ketidakadilan sosial dalam hal

ini korupsi di Indonesia. Bunyi dari alinea keempat tersebut ialah;36

Bahwa Yesus Kristus adalah Kepala Gereja 1) dan Gereja sebagai tubuh-Nya 2) yang rapih tersusun 3) dan segala sesuatu di dalamnya harus diselenggarakan secara tertib dan teratur 4)

Point keempat dari uraian alinea di atas oleh Wuwungan merupakan dasar GPIB bersikap

terhadap setiap persoalan sosial. Gereja harus diselenggarakan secara tertib dan teratur.37

Penjelasan point keempat ini didasarkan pada Firman Tuhan dalam II Timotius 1:7 dan I Korintus 14:40. Kedua Kitab ini menyuarakan hal yang sama bahwa GPIB harus menyelenggarakan gereja-Nya dengan tertib dan teratur. Terkait dengan persolan korupsi maka, tindakan korupsi merupakan sebuah tindakan yang tidak tertib dan teratur. Sehingga, perlu bagi GPIB untuk menyikapi persoalan korupsi berdasarkan Pemahaman Iman GPIB yang diuraikan dalam point keempat, alinea keempat, pokok kedua tentang ‘Gereja’.

Pitoy menambahkan, ketika ada seseorang yang melakukan tindakan korupsi itu berarti dia tidak membantu GPIB dalam menyelenggarakan Gereja secara terib dan teratur. Secara tidak langsung pula, seseorang telah melanggar ketetapan dalam Kebenaran Firman Tuhan yang

diyakini oleh GPIB sebagai Pemahaman Iman GPIB dengan keberadaannya di Indonesia. 38

7.2 Membuat Tata Gereja tentang Perbendaharaan GPIB.

GPIB tidak memiliki sebuah aturan dalam Tata Gereja tentang korupsi secara eksplisit yang mengatur tentang korupsi. Akan tetapi peraturan no 6 tentang Perbendaharaan GPIB dibuat

36 Lih. Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (2010), 147.

37 Hasil wawancara dengan Pdt. Wuwungan pada 26 November 2014. 38 Hasil wawancara dengan Pdt. Adrian. Pitoy. pada 25 November 2014.

(17)

52 oleh GPIB sebagai wujud tindakan dalam mengatur dan mengantisipasi segala kemungkinan

bentuk ketidakadilan sosial seperti halnya korupsi yang dapat terjadi dalam Gereja.39 Peraturan

Perbendaharaan GPIB mengandung 14 pasal yang secara keseluruhan mengatur keberlangsungan sistem Perbendaharaan di GPIB.

Terkait dengan korupsi yang dipahami sebagai tindakan penyelewengan dan tindakan mengambil sesuatu yang bukan merupakan hak milik maka, GPIB menetapkan pasal no 4 dalam peraturan Perbendaharaan GPIB yang mengatur tentang Tata Laksana Pengelolaan seluruh harta

milik GPIB berupa harta bergerak dan tidak bergerak.40 Sekali lagi ditegaskan oleh Pitoy, Gereja

tidak bisa mengindari diri dari sifat koruptif masyarakat, akan tetapi, menghindari diri dari korupsi dapat dilakukan. Oleh sebabnya, Gereja membutuhkan satu aturan yang menjadi pengontrol bagi sistem kerja GPIB. Dibuatlah pasal no 4 dalam aturan no 6 Tata Gereja sebagai wujud sikap yang positif dan tegas untuk mengantisipasi segala kemungkinan yang tidak diinginkan dapat terjadi. Siapapun dan dalam kondisi apapun ketika ditemukan melakukan tindakan penyelewengan, penggelapan dan mengambil harta bergerak dan tidak bergerak milik

Gereja, ditegaskan oleh Pitoy bahwa seseorang tersebut telah melakukan tindakan korupsi.41

Menyadari panggilan Gereja sebagai sebuah institusi. Gereja membutuhkan transparansi dalam pengelolahan Perbendaharaann GPIB. Pasal no 6 yang mengatur tentang Sumber Penerimaan GPIB ditetapkan sebagai aturan yang baku dalam Tata Gereja Buku III menjadi bukti bahwa segala sesuatu yang berkaitan dengan kas GPIB diatur sedemikian rupa dalam pasal no 6 agar bisa dipertanggung jawabkan dengan baik. Kaihatu bercerita tentang kasus yang sekarang ini terjadi di GPIB yang juga telah terdengar oleh publik berkaitan dengan penggantian

39 Ibid.

40 Lih. Dalam Tata Gereja Buku III, tentang aturan no 6 ‘Perbendaharaan GPIB, (2010), 41 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.

(18)

53 tanah di wilayah belakang Gereja Imanuel oleh Dinas Perhubungan TNI Angkatan Darat. Kami tidak peduli berapa pun yang tentara berikan namun, yang menjadi perhatian kami ialah berapa jumlah yang tentara berikan tersebut bagi sinode GPIB tidak boleh dihilangkan satu sen pun

tandas Kaihatu dengan tegas.42 Bukan menjadi urusan kami berapa jumlah yang harus diberikan

oleh tentara. Tetapi, ketika jumlah uang tersebut sudah sampai ke lingkungan Gereja hal tersebut telah menjadi tanggung jawab kami sebab, sudah terhitung sebagai Sumber Penerimaan Gereja yang diatur dalam pasal no 6, peraturan Perbendaharaan GPIB. Oleh sebabnya, jika tindakan menghilangkan terjadi ketika jumlah uang tersebut telah ada dalam lingkungan Gereja bagi

Kaihatu hal tersebut dikatakan sebagai korupsi.43

Jika benar seseorang didapatkan melakukan tindakan korupsi terhadap harta milik Gereja baik yang bergerak maupun tidak bergerak akan ditindak lanjuti berdasarkan pasal no 11,

peraturan Perbendaharaan GPIB yang berisikan “sanksi”.44 Pasal no 11 dibuat oleh GPIB

dengan tujuan untuk menindaklanjuti apabila kedapatan dalam lingkungan Gereja dipraktekkannya tindakan korupsi atas harta milik Gereja bergerak dan tidak bergerak.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa persoalan korupsi turut disikapi oleh GPIB dalam dokumen-dokumen Gereja diantaranya dalam Pemahaman Iman GPIB dan Tata Gereja Buku III. Kesemuanya mencerminkan sikap kepedulian Gereja terhadap praktek ketidakadilan sosial yang sampai sekarang ini masih menjadi ancaman bagi negara dan bangsa terlebih bagi Gereja. Sikap-sikap teknis secara sistematis tersebut dibuat menjadi satu aturan yang baku oleh GPIB dengan tujuan menjalankan Gereja sebagai panggilan institusional secara tertib dan teratur sesuai dengan Kehendak Tuhan.

42 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 43 Ibid.

(19)

54

7.3 Pembinaan Warga Jemaat

Tindakan yang ditempuh oleh GPIB terhadap korupsi tidak hanya tertuang dalam dokumen-dokumen Gereja saja. Pitoy menguraikan, GPIB tegas dalam melakukan pembinaan terhadap warga jemaat melalui khotbah-khotbah mingguan bahkan juga di ibadah-ibadah

kategorial lainnya..45 Untuk maksud dan tujuan pelaksanaan tugas pekabaran Injil, Gereja,

berdasarkan tugas pengajaran mempersiapkan warganya melalui pembinaan warga Gereja.46

Pembinaan Warga Gereja ditujukan “untuk memperlengkapi orang-orang kudus bagi pekerjaan pelayanan, bagi pembangunan tubuh Kristus” (Efs. 4:12).

Selain melalui khotbah di ibadah minggu dan di ibadah-ibadah kategorial, kunjungan pastoral pun menjadi langkah aktif oleh GPIB dalam membina warga jemaat dan masyarakat. Kunjungan ini sifatnya pribadi antara pendeta (konselor) dengan konseli. Agar terciptanya suasana yang bebas, aktif dalam melakukan pastoralia. Kaihatu menandaskan, beberapa kali beliau melakukan kunjungan pastoral serta mengadakan ibadah dengan mengundang jemaatnya yang berstatus sebagai anggota DPR/DPRD bahkan pejabat dan pengusaha yang memiliki kedudukan penting dalam sebuah organisasi. Hal ini dilakukan kepada mereka, sebab bagi

Kaihatu orang-orang seperti merekalah yang rentan bersinggungan dengan korupsi.47

Tidak hanya itu GPIB juga mengadakan seminar yang berkaitan dengan isu-isu sosial sekarang ini. Hingga kini seminar tentang korupsi belum dilakukan oleh GPIB akan tetapi, seminar-seminar yang telah dilakukan sebelumnya oleh Gereja mengarahkan warga jemaat dan masyarakat untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak berkenan di hati Tuhan seperti halnya

memupuk ketidakadilan sosial dalam kehidupan bangsa dan negara.48 Kaihatu juga

45 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014. 46 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a, (Jakarta: MS GPIB, 2010), 99. 47 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th. Kaihatu pada 6 Desember 2014. 48 Hasil wawancara dengan Pdt. Adriaan. Pitoy pada 25 November 2014.

(20)

55 menambahkan, sejak masa sekolah minggu anak-anak sudah diajarkan dan dibina untuk menghindari hal-hal yang buruk seperti mencuri. Mungkin untuk pemahaman bahasa “korupsi” secara mendalam belum begitu dipahami oleh anak-anak akan tetapi esensi dari keduanya ialah

sama. Ini dibuktikan dengan materi-materi pengajaran dan pembinaan GPIB.49

GPIB menyadari tanggung jawabnya secara teologis dan sosiologis sehingga dibuatnyalah pembinaan terhadap warga jemaat dan masyarakat. Menjadi Gereja yang hidup dan dapat berjalan sesuai dengan Visi GPIB tidak hanya dilihat dari berapa banyak jumlah aturan yang dibuat untuk mengatur dan menata Gereja sebagai sebuah lembaga saja. Akan tetapi warga jemaat dan masyarakat membutuhkan pembinaan baik secara moral, spiritual sebagai pendidikan yang berharga demi menciptakan kesejahteraan bagi seluruh ciptaan-Nya.

8. GPIB dalam Pergumulan Terhadap Korupsi

Dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap korupsi tidak bisa disangkal bahwa GPIB menyimpan sebuah harapan untuk masa depan Gereja yang lebih matang. Terkhusus dalam menghadapi setiap perubahan sosial yang terjadi akibat perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi yang bisa saja beberapa puluh tahun kedepan akan dijadikan sebagai ‘tuhan’ bagi manusia. Mengingat akan hal itu, GPIB terus bergumul dengan keberadaannya di Indonesia yang diperhadapkan dengan berbagai masalah-masalah sosial yang kompleks seperti korupsi.

Dalam alinea ketujuh pokok kedua tentang “Gereja” Pemahaman Iman GPIB:50

Bahwa kendatipun Gereja terpanggil menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah 1) tetapi Gereja bukanlah Pemerintahan Allah itu sendiri.

49 Hasil wawancara dengan Pdt. S. Th.Kaihatu pada 6 Desember 2014. 50 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…, 152.

(21)

56 Oleh Ririhena, satu hal yang perlu dipahami bahwa Gereja hadir di dunia sebagai Garam dan Terang guna melanjutkan misi-Nya. Otoritas tertinggi diberikan oleh-Nya kepada Gereja sebagai sebuah lembaga yang ada di dunia bekerja dan melayani sekuat tenaga untuk menghadirkan tanda-tanda Pemerintahan Allah. Gereja memegang otorits tertinggi di dunia,

tidak berarti bahwa Gereja ialah Pemerintahan Allah itu sendiri, tegas Ririhena.51

Sekalipun Gereja tidak sama persis dengan Pemerintahan Allah akan tetapi Gereja adalah tanda dari kehadiran Pemerintahan Allah di atas bumi. Melalui dan di dalam Gereja Allah memperkenalkan kepada dunia suatu tatanan masyarakat baru berdasarkan pada nilai-nilai Kerajaan Allah, yakni: kebenaran, damai sejahtera dan sukacita (Roma.14:17). Apabila korupsi masih menjadi momok yang menakutkan bagi Gereja bagaimana warga jemaat dan masyarakat bisa merasakan damai sejahtera dan sukacita. Orang yang hidupnya masih dibelenggu dengan

praktek-praktek ketidakadilan sosial sesungguhnya tidak merasakan sukacita dan damai.52 Dan

ketika orang belum merasakan sukacita dan damai sejahtera, secara tidak langsung belum sepenuhnya tercipta Pemerintahan Allah yang ditugaskan bagi Pemerintahan Gereja. Hal ini berarti Gereja memiliki tanggung jawab sosial yang besar, pergumulan yang cukup berat dalam menciptakan damai sejahtera dan sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Gereja harus sadar penuh bahwa, untuk menghilangkan sampai ke akar korupsi merupakan hal yang rumit bagi Gereja. Namun Gereja dapat meminimalisir korupsi dengan membentuk pribadi-pribadi warga jemaat

dan masyarakat akan kesadaran praktek ketidakadilan sosial tersebut. 53

Tanda Pemerintahan Allah juga bagi Wuwungan ialah menjadi Garam dan Terang. Sebab itu merupakan misi-Nya. Terang yang sejati adalah Allah dan firman-Nya yang telah menyatakan Diri dalam Yesus Kristus. Gereja bukan Garam dan Terang. Tetapi Gereja diutus

51 Hasil wawancara dengan Pdt. Ruddy. I. Ririhena pada 27 November 2014. 52 Ibid.

(22)

57

oleh Kristus Yesus untuk menjadi garam dan terang di dalam dunia (Matius 5:13-16). 54 Hal ini

menjadi acuan kedepan bagi GPIB dalam menggumuli persoalan sosial seperti korupsi dengan lebih baik

9. Kesimpulan

GPIB menyadari bahwa mereka ialah bagian integral dari Bangsa Indonesia. Hal ini pun diungkapkan secara tersirat dalam Pemahman Iman GPIB sebagai payung Teologi untuk mengeja-wantahkan Gereja Misioner. Lewat Pemahaman Iman juga Gereja bukan hanya memuji dan melayani Tuhan atau sekedar memperjelas jati diri mereka, melainkan juga menjelaskan bagi dunia siapa mereka, apa yang mereka percayai dan akui. Maka Pemahaman Iman juga memiliki

signifikansi teologis dan eklesiologis, tetapi juga social politik.55

Persoalan sosial seperti korupsi menjadi tanggung jawab Gereja dan bukan hanya pemerintah. Sejak berdirinya GPIB memaknai visinya untuk mewujudkan damai dan sejahtera bagi seluruh ciptaan-Nya melalui dokumen-dokumen Gereja yang telah disahkan bahkan melalui pembinaan warga jemaat dan masyarakat. Semuanya dilakukan sebagai kerangka gerakan misionaris yang diemban oleh Gereja untuk menciptakan Pemerintahan Allah di atas bumi.

Berangkat dari uraian tentang pemahaman dan sikap GPIB terhadap persoalan korupsi maka disimpulkan bahwa GPIB tidak membenarkan korupsi dalam bentuk dan alasan apapun. Sebab secara teologis korupsi merupakan tindakan ketidakadilan sosial yang tidak mencerminkan Pemerintahan Allah di atas bumi serta tidak menciptakan damai sejahtera dan sukacita bagi seluruh ciptaan-Nya. Dilain pihak secara sosiologis korupsi merupakan tindakan yang merusak tatanan kehidupan sosial bangsa dan negara, merugikan secara ekonomi

54 Hasil wawancara dengan Pdt. O.E. Ch. Wuwungan pada 26 November 20114. 55 Pemahaman Iman GPIB Buku 1a,…,7.

(23)

58 Perbendaharaan sebuah instansi negeri dan swasta serta membutakan mata hati manusia yang berdampak pada rusaknya moral warga jemaat dan masyarakat. Bagi GPIB korupsi ialah tindakan yang tidak memanusiakan manusia. Sehingga siapapun yang melakukannya, akan disikapi oleh GPIB berdasarkan Pemahaman Iman GPIB, Tata Gereja GPIB dan pembinaan warga jemaat dan masyarakat melalui khotbah mingguan, pelayanan pastoral, kegiatan seminar bahkan khotbah-khotbah dalam ibadah kategorial.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui praktikum ini praktikan berusaha untuk menentukan ukuran (diameter) partikel umpan (feed) yang berbentuk padatan dan produk grinding dengan menggunakan

Katalog adalah daftar bahan-bahan yang ada di perpustkaan yang disusun menurut suatu sistem tertentu secara alfabetis atau sistematis untuk memudahkan mencari dan

pada katode semakin bertambah massanya dalam reaksi tersebut tidak terjadi arus listrik, karena elektron berpindah se(ara langsung dari logam %n ke larutan +uS< ). 0eaksi redoks

Governance dalam setiap kegiatan usaha Bank pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi. 5) Direksi dalam penyelenggaraan tugas yang bersifat strategis

Keempat risk level tersebut diakibatkan oleh beberapa faktor seperti jenis kegiatan yang dilakukan untuk memproduksi sebuah link berbeda-beda, menggunakan mesin atau alat yang

selanjutnya disebut SOP adalah petunjuk teknis standar penerapan teknologi budidaya yang spesifik komoditas dan spesifik lokasi serta teknologi untuk menghasilkan

Berdasarkan analisa atas teori tentang pengendalian intern persediaan bahan baku dan hasil tinjauan yang dilakukan di perusahaan, pelaksanaan pengendalian

Menurut A.A Anwar Prabu Mangkunegara (2006:68) bahwa ”Motivasi berprestasi dapat diartikan sebagai suatu dorongan dalam diri seseorang untuk melakukan atau