• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TB TULANG. Guna untuk memenuhi tugas Sistem Muskuloskeletal. Dosen Pengampu : Sukarno, S.Kep.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TB TULANG. Guna untuk memenuhi tugas Sistem Muskuloskeletal. Dosen Pengampu : Sukarno, S.Kep."

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN DENGAN TB TULANG Guna untuk memenuhi tugas Sistem Muskuloskeletal

Dosen Pengampu : Sukarno, S.Kep., Ns

Disusun oleh :

Octavia Nur Aini Wahyudi

(010112a076)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN STIKES NGUDI WALUYO

UNGARAN 2014

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tuberculosis tulang adalah suatu proses peradangan yang kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dan fokus jauh. Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam

(2)

spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi, dan likuifaksi dengan pembentukan pus yang kemudian mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Pada tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus intervertebralis.

Tuberculosis tulang paling sering terjadi di corpus vertebrae (spondilitis TB). Namun, dapat pula terjadi di epifisis tulang – tulang panjang dan menyebar ke sendi menyebabkan tuberkulosis. Kejadian tuberkulosis vertebrae diperkirakan lebih dari setengah dari total tuberkulosis yang terjadi di tulang. Lokasi yang paling sering adalah vertebrae torakalis bagian bawah (lower thoracic) dan vertebrae lumbar bagian atas (upper lumbar). Tuberkulosis vertebrae paling sering merupakan infeksi sekunder dari infeksi traktus urinarius yang menyebar secara hematogen melalui pleksus Batson dari vena paravertebral.

Infeksi tuberkulosis merupakan jenis inflamasi granulomatous yang memiliki ciri khas berupa destruksi tulang yang progresif pada bagian anterior corpus vertebra dan diikuti oleh osteoporosis regional. Penyebaran kaseasi mencegah terjadinya pembentukan tulang baru dan pada saat yang bersamaan menyebabkan avaskular segmen tulang, sehingga menghasilkan sekuestrasi khsususnya di daerah thoracic.Secara bertahap, jaringan granulasi tuberkulosis berpenetrasi ke korteks corpus vertebrae memproduksi abses paravertebral yang merenggangkan beberapa vertebrae. Infeksi juga menyebar ke atas dan bawah vertebrae melalui ligamen longitudinal anterior dan posterior. Diskus intervertebralis yang merupakan bagian avaskular relatif resisten terhadap infeksi tuberkulosis. Pada awalnya, diskus yang berdekatan menyempit jaraknya karena dehidrasi namun akhirnya akan mengalami destruksi progresif oleh jaringan granulasi tuberkulosis.

B. Tujuan Penulisan

Makalah ini disusun bertujuan untuk :

1. Memahami konsep dasar penyakit TB Tulang

2. Memahami dan mengaplikasikan asuhan keperawatan pada pasien dengan TB Tulang

(3)

BAB II PEMBAHASAN

(4)

Tubercolosis ( TBC ) tulang adalah penyakit yang disebabkan oleh virus Mycobacterium Tuberculosa. Tuberkulosis tulang adalah suatu proses peradangan kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dari focus jauh. Virus ini menyebar lewat udara. Pintu masuk pada tubuh manusia adalah lewat saluran pernafasan / paru-paru. Perkembangan virus TBC didalam tubuh sangat lamban, tergantung pada daya tahan tubuh orang yang bersangkutan.

Tubercolosis tulang dapat menyerang hampir semua tulang tapi yang paling sering terjadi adalah TB pada tulang belakang, kaki, siku, tangan, dan bahu. Rahang bawah (mandibula)dan sendi tempomandibular adalah daerah yang paling jarang terjangkit oleh kuman TBC.

Tubercolosis tulang adalah suatu proses peradangan yang kronik dan destruktif yang disebabkan basil tuberkulosa yang menyebar secara hematogen dan fokus jauh. Basil tuberkulosis biasanya menyangkut dalam spongiosa tulang. Pada tempat infeksi timbul osteitis, kaseasi, dan likuifaksi dengan pembentukan pus yang kemudian mengalami kalsifikasi. Berbeda dengan osteomielitis piogenik, maka pembentukan tulang baru pada tuberkulosis tulang sangat sedikit atau tidak ada sama sekali. Pada tuberkulosis tulang ada kecenderungan terjadi perusakan tulang rawan sendi atau diskus intervertebralis.

B. Faktor Predisposisi

Faktor predisposisi tuberkulosis adalah : 1. Nutrisi dan sanitasi yang jelek

2. Ras; banyak ditemukan pada orang – orang Asia, Meksiko, Indian

dan Negro

3. Trauma pada tulang dapat merupakan lokus minoris

4. Umur : terutama ditemukan setelah umur satu tahu, paling sering pada umur 2 – 10 tahun

5. Penyakit sebelumnya, seperti morbili dan varisella dapat memprovokasi kuman

6. Masa pubertas dan kehamilan dapat mengaktifkan tuberkulosis

C. Patologi

(5)

Lesi primer biasanya pada paru - paru, faring atau usus dan kemudian melalui saluran limfe menyebar ke limfonodulus regional dan disebut primer kompleks.

2. Penyebaran Sekunder

Bila daya tahan tubuh penderita menurun, maka terjadi penyebaran melalui sirkulasi darah yang akan menghasilkan tuberkulosis milier dan meningitis. Keadaan ini dapat terjadi setelah beberapa bulan atau beberapa tahun kemudian dan bakteri dideposit pada jaringan ekstra -pulmoner.

3. Lesi Tersier

Tulang dan sendi merupakan tempat lesi tersier dan sebanyak 5 % dari tuberkulosis paru akan menyebar dan akan berakhir sebagai tuberkulosis sendi dan tulang. Pada saat ini kasus-kasus tuberkulosis paru masih tinggi dan kasus tuberkulosis tulang dan sendi juga diperkirakan masih tinggi.

Predileksi :

Tuberkulosis sendi dan tulang terutama mengenai daerah tulang belakang ( 50 – 70 % ) dan sisanya pada sendi - sendi besar seperti panggul, lutut, pergelangan tangan, sendi bahu dan daerah persendian kecil.

D. Jenis TB Tulang

1. OSTEOMIELITIS TUBERKULOSA

Osteomielitis tuberkulosa selalu merupakan penyebaran sekunder dari kelainan tuberkulosa di tempat lain, terutama paru - paru. Seperti pada osteomielitis hematogen akut, penyebaran infeksi juga terjadi secara hematogen dan biasanya mengenai anak - anak. Perbedaannya, osteomielitis hematogen akut umumnya terdapat pada daerah metafisis sementara osteomielitis tuberkulosa mengenai tulang belakang.

2. SPONDILITIS TUBERKULOSA ( POTT DISEASE )

Tuberkulosis tulang belakang atau dikenal juga dengan spondilitis tuberkulosa merupakan peradangan granulomatosa yang bersifat kronik destruktif oleh mikobakterium tuberkulosa. Tuberkulosis tulang belakang selalu merupakan infeksi sekunder dari fokus di tempat lain dalam tubuh. Percivall Pott ( 1793 ) yang pertama kali menulis tentang penyakit ini dan menyatakan bahwa terdapat hubungan antara penyakit ini dengan deformitas tulang belakang yang terjadi, sehingga penyakit ini disebut juga sebagai penyakit Pott.

(6)

Spondilitis ini paling sering ditemukan pada vertebra T8 – L3 (T10), dan paling jarang pada vertebra C1-2. Spondilitis tuberkulosa biasanya mengenai korpus vertebra, tetapi jarang mengenai arkus vertebra.

E. Etiologi

Penyakit spondilitis tuberculosa disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis.Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri berbentuk batang yang bersifat acid-fastnon-motile dan tidak dapat diwarnai dengan baik melalui cara yang konvensional.Teknik Ziehl-Nielson digunakan untuk memvisualisasikannya. Bakteri ini tumbuh secara lambat dalam media egg-en riched dengan periode 6-8 minggu. Spesies Mycobacterium yang lain dapat juga bertanggung jawab sebagai penyebabnya, seperti Mycobacterium africanum, Mycobacterium bovine, ataupun non-tuberculous mycobacteria yang banyak ditemukan pada penderita HIV. Produksi niasin merupakan karakteristikMycobacterium tuberculosis dan dapat membantu untuk membedakannnya dengan spesies lain.

F. Patofisiologi

Basil TB masuk ke dalam tubuh sebagian besar melalui traktus respiratorius. Pada saat terjadi infeksi primer, karena keadaan umum yang buruk maka dapat terjadi basilemia. Penyebaran terjadi secara hematogen. Basil TB dapat tersangkut di paru, hati limpa, ginjal dan tulang. Enam hingga delapan minggu kemudian, respons imunologik timbul dan fokus tadi dapat mengalami reaksi selular yang kemudian menjadi tidak aktif atau mungkin sembuh sempurna. Vertebra merupakan tempat yang sering terjangkit tuberkulosis tulang. Penyakit ini paling sering menyerang korpus vertebra. Penyakit ini pada umumnya mengenai lebih dari satu vertebra. Infeksi berawal dari bagian sentral, bagian depan, atau daerah epifisial korpus vertebra. Kemudian terjadi hiperemi dan eksudasi yang menyebabkan osteoporosis dan perlunakan korpus. Selanjutnya terjadi kerusakan pada korteks epifise, discus intervertebralis dan vertebra sekitarnya. Kerusakan pada bagian depan korpus ini akan menyebabkan terjadinya kifosis yang dikenal sebagai gibbus. Berbeda dengan infeksi lain yang cenderung menetap pada vertebra yang bersangkutan, tuberkulosis akan terus menghancurkan vertebra di dekatnya.

Kemudian eksudat (yang terdiri atas serum, leukosit, kaseosa, tulang yang fibrosis serta basil tuberkulosa) menyebar ke depan, di bawah ligamentum longitudinal anterior dan mendesak aliran darah vertebra di dekatnya. Eksudat ini dapat menembus ligamentum dan berekspansi ke berbagai arah di sepanjang garis ligament yang lemah.

(7)

Pada daerah servikal, eksudat terkumpul di belakang fasia paravertebralis dan menyebar ke lateral di belakang muskulus sternokleidomastoideus. Eksudat dapat mengalami protrusi ke depan dan menonjol ke dalam faring yang dikenal sebagai abses faringeal. Abses dapat berjalan ke mediastinum mengisi tempat trakea, esophagus, atau kavum pleura. Abses pada vertebra torakalis biasanya tetap tinggal pada daerah toraks setempat menempati daerah paravertebral, berbentuk massa yang menonjol dan fusiform. Abses pada daerah ini dapat menekan medulla spinalis sehingga timbul paraplegia. Abses pada daerah lumbal dapat menyebar masuk mengikuti muskulus psoas dan muncul di bawah ligamentum inguinal pada bagian medial paha. Eksudat juga dapat menyebar ke daerah krista iliaka dan mungkin dapat mengikuti pembuluh darah femoralis pada trigonum skarpei atau regio glutea.

Abses tuberkulosis biasanya terdapat pada daerah vertebra torakalis atas dan tengah, tetapi yang paling sering pada vertebra torakalis XII. Bila dipisahkan antara yang menderita paraplegia dan nonparaplegia maka paraplegia biasanya pada vertebra torakalis X sedang yang non paraplegia pada vertebra lumbalis. Penjelasan mengenai hal ini sebagai berikut : arteri induk yang mempengaruhi medulla spinalis segmen torakal paling sering terdapat pada vertebra torakal VIII sampai lumbal I sisi kiri. Trombosis arteri yang vital ini akan menyebabkan paraplegia. Faktor lain yang perlu diperhitungkan adalah diameter relatif antara medulla spinalis dengan kanalis vertebralisnya. Intumesensia lumbalis mulai melebar kira-kira setinggi vertebra torakalis X, sedang kanalis vertebralis di daerah tersebut relatif kecil. Pada vertebra lumbalis I, kanalis vertebralisnya jelas lebih besar oleh karena itu lebih memberikan ruang gerak bila ada kompresi dari bagian anterior. Hal ini mungkin dapat menjelaskan mengapa paraplegia lebih sering terjadi pada lesi setinggi vertebra torakal. Kerusakan medulla spinalis akibat penyakit Pott terjadi melalui kombinasi 4 faktor yaitu:

1. Penekanan oleh abses dingin

2. Iskemia akibat penekanan pada arteri spinalis

3. Terjadinya endarteritis tuberkulosa setinggi blokade spinalnya

Penyempitan kanalis spinalis akibat angulasi korpus vertebra yang rusak.

(8)

Secara klinis gejala spondilitis TB hampir sama dengan penyakit TB yang lain, yaitu badan lemah dan lesu, nafsu makan dan berat badan yang menurun, suhu tubuh meningkat terutama pada malam hari, dan sakit pada daerah punggung. Pada anak kecil biasanya diikuti dengan sering menangis dan rewel.

Pada awal gejala dapat dijumpai adanya nyeri radikuler di sekitar dada atau perut, kemudian diikuti dengan paraparesis yang lambat laun kian memberat. Kemudian muncul adanya spastisitas, klonus, hiper-refleksia dan refleks babinski bilateral. Pada stadium awal ini belum ditemukan deformitas tulang vertebra, demikian pula belum terdapat nyeri ketok pada vertebra yang bersangkutan. Nyeri spinal yang menetap, terbatasnya pergerakan spinal, dan komplikasi neurologis merupakan tanda terjadinya destruksi yang lebih lanjut. Kelainan neurologis terjadi pada sekitar 50% kasus, termasuk akibat penekanan medulla spinalis yang menyebabkan paraplegia, paraparesis, ataupun nyeri radix saraf. Tanda yang biasa ditemukan di antaranya adalah adanya kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra, dan tanda-tanda defisit neurologis seperti yang sudah disebutkan di atas.

H. Stadium TB Tulang

Perjalanan penyakit ini terbagi dalam 5 stadium yaitu : a. Stadium implantasi.

Setelah bakteri berada dalam tulang, maka bila daya tahan tubuh penderita menurun, bakteri akan berduplikasi membentuk koloni yang berlangsung selama 6-8 minggu. Keadaan ini umumnya terjadi pada daerah paradiskus dan pada anak-anak umumnya pada daerah sentral vertebra.

b. Stadium destruksi awal

Setelah stadium implantasi, selanjutnya terjadi destruksi korpus vertebra serta penyempitan yang ringan pada discus. Proses ini berlangsung selama 3-6 minggu.

c. Stadium destruksi lanjut

Pada stadium ini terjadi destruksi yang massif, kolaps vertebra dan terbentuk massa kaseosa serta pus yang berbentuk cold abses (abses dingin), yang tejadi 2-3 bulan setelah stadium destruksi awal. Selanjutnya dapat terbentuk sekuestrum serta kerusakan diskus intervertebralis. Pada saat ini terbentuk tulang baji

(9)

terutama di sebelah depan (wedging anterior) akibat kerusakan korpus vertebra, yang menyebabkan terjadinya kifosis atau gibbus.

d. Stadium gangguan neurologist

Gangguan neurologis tidak berkaitan dengan beratnya kifosis yang terjadi, tetapi terutama ditentukan oleh tekanan abses ke kanalis spinalis. Gangguan ini ditemukan 10% dari seluruh komplikasi spondilitis tuberkulosa. Vertebra torakalis mempunyai kanalis spinalis yang lebih kecil sehingga gangguan neurologis lebih mudah terjadi pada daerah ini. Bila terjadi gangguan neurologis, maka perlu dicatat derajat kerusakan paraplegia, yaitu:

1. Derajat I: kelemahan pada anggota gerak bawah terjadi setelah melakukan aktivitas atau setelah berjalan jauh. Pada tahap ini belum terjadi gangguan saraf sensoris.

2. Derajat II: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah tapi penderita masih dapat melakukan pekerjaannya.

3. Derajat III: terdapat kelemahan pada anggota gerak bawah yang membatasi gerak/aktivitas penderita serta hipoestesia/anesthesia. 4. Derajat IV: terjadi gangguan saraf sensoris dan motoris disertai

gangguan defekasi dan miksi. Tuberkulosis paraplegia atau Pott paraplegia dapat terjadi secara dini atau lambat tergantung dari keadaan penyakitnya. Pada penyakit yang masih aktif, paraplegia terjadi oleh karena tekanan ekstradural dari abses paravertebral atau akibat kerusakan langsung sumsum tulang belakang oleh adanya granulasi jaringan. Paraplegia pada penyakit yang sudah tidak aktif/sembuh terjadi oleh karena tekanan pada jembatan tulang kanalis spinalis atau oleh pembentukan jaringan fibrosis yang progresif dari jaringan granulasi tuberkulosa. Tuberkulosis paraplegia terjadi secara perlahan dan dapat terjadi destruksi tulang disertai angulasi dan gangguan vaskuler vertebra.

e. Stadium deformitas residual

Stadium ini terjadi kurang lebih 3-5 tahun setelah timbulnya stadium implantasi. Kifosis atau gibbus bersifat permanen oleh karena kerusakan vertebra yang massif di sebelah depan.

(10)

I. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain: 1. Pemeriksaan Laboratorium

1) Peningkatan laju endap darah (LED) dan mungkin disertai leukositosis, tetapi hal ini tidak dapat digunakan untuk uji tapis. Newanda (2009) melaporkan 144 anak dengan spondilitis tuberkulosis didapatkan 33% anak dengan laju endap darah yang normal.

2) Uji Mantoux positif

3) Pada pewarnaan Tahan Asam dan pemeriksaan biakan kuman mungkin ditemukan mikobakterium

4) Biopsi jaringan granulasi atau kelenjar limfe regional. 5) Pemeriksaan histopatologis dapat ditemukan tuberkel

6) Pungsi lumbal., harus dilakukan dengan hati-hati, karena jarum dapat menembus masuk abses dingin yang merambat ke daerah lumbal. Akan didapati tekanan cairan serebrospinalis rendah, test Queckenstedt menunjukkan adanya blokade sehingga menimbulkan sindrom Froin yaitu kadar protein likuor serebrospinalis amat tinggi hingga likuor dapat secara spontan membeku.

7) Peningkatan CRP (C-Reaktif Protein) pada 66 % dari 35 pasien spondilitis tuberkulosis yang berhubungan dengan pembentukan abses. 8) Pemeriksaan serologi didasarkan pada deteksi antibodi spesifik dalam

sirkulasi.

9) Pemeriksaan dengan ELISA (Enzyme-Linked Immunoadsorbent Assay) dilaporkan memiliki sensitivitas 60-80 % , tetapi pemeriksaan ini menghasilkan negatif palsu pada pasien dengan alergi.Pada populasi dengan endemis tuberkulosis,titer antibodi cenderung tinggi sehingga sulit mendeteksi kasus tuberkulosis aktif.

10) Identifikasi dengan Polymerase Chain Reaction (PCR) masih terus dikembangkan. Prosedur tersebut meliputi denaturasi DNA kuman tuberkulosis melekatkan nucleotida tertentu pada fragmen DNA, amplifikasi menggunakan DNA polymerase sampai terbentuk rantai DNA utuh yang dapat diidentifikasi dengan gel. Pada pemeriksaan mikroskopik dengan pulasan Ziehl Nielsen membutuhkan 10 basil permililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 10 basil

(11)

permililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapkan pemeriksaan bakteriologik adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya.Saat ini mulai dipergunakan system BATEC (Becton Dickinson Diagnostic Instrument System). Dengan system ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari.Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena system ini memakai zat radioaktif maka harus dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya (Newanda, 2009).

2. Pemeriksaan Radiologis

Untuk pemeriksaan radiologis akan dibahas pada bab 3. 3. Bakteriologis

Kultur kuman tuberkulosis merupakan baku emas dalam diagnosis. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana mengonfirmasi diagnosis klinis dan radiologis secara mikrobakteriologis. Masalah terletak pada bagaimana mendapatkan spesimen dengan jumlah basil yang adekuat. Pemeriksaan mikroskopis dengan pulasan Ziehl-Nielsen membutuhkan 104

basil per mililiter spesimen, sedangkan kultur membutuhkan 103 basil per

mililiter spesimen. Kesulitan lain dalam menerapakan pemeriksaan bakteriologis adalah lamanya waktu yang diperlukan. Hasil biakan diperoleh setelah 4-6 minggu dan hasil resistensi baru diperoleh 2-4 minggu sesudahnya. Saat ini mulai dipergunakan sistem BACTEC (Becton Dickinson Diagnostic Intrument System). Dengan sistem ini identifikasi dapat dilakukan dalam 7-10 hari. Kendala yang sering timbul adalah kontaminasi oleh kuman lain, masih tingginya harga alat dan juga karena sistem ini memakai zat radioaktif. Untuk itu dipikirkan bagaimana membuang sisa-sisa radioaktifnya.

Pada negara di mana terdapat prevalensi tuberkulosis yang tinggi atau tidak terdapat sarana medis yang mencukupi, penderita dengan gambaran klinis dan radiologis yang sugestif spondilitis tuberkulosis tidak perlu dilakukan biopsi untuk memastikan diagnosis dan memulai pengobatan . 4.Histopatologis

(12)

Infeksi tuberkulosis pada jaringan akan menginduksi reaksi radang granulomatosis dan nekrosis yang cukup karakteristik sehingga dapat membantu penegakan diagnosis. Ditemukannya tuberkel yang dibentuk oleh sel epiteloid, giant cell dan limfosit disertai nekrosis pengkejuan di sentral memberikan nilai diagnostik paling tinggi dibandingkan temuan histopatologis lainnnya. Gambaran histopatologis berupa tuberkel saja harus dihubungkan dengan penemuan klinis dan radiologis.

J. Penatalaksaan

Pada prinsipnya pengobatan tuberkulosis tulang belakang harus dilakukan sesegera mungkin untuk menghentikan progresivitas penyakit serta mencegah paraplegia.

Prinsip pengobatan paraplegia Pott adalah: 1. Pemberian obat antituberkulosis 2. Dekompresi medulla spinalis

3. Menghilangkan/ menyingkirkan produk infeksi 4. Stabilisasi vertebra dengan graft tulang (bone graft)

Penatalaksanaan pada pasien spondilitis TB terdiri atas: 1. Terapi konservatif berupa:

1) Tirah baring (bed rest)

2) Memberi korset yang mencegah gerakan vertebra /membatasi gerak vertebra

3) Memperbaiki keadaan umum penderita 4) Pengobatan antituberkulosa

Standar pengobatan di indonesia berdasarkan program P2TB paru adalah : a. Kategori 1

Untuk penderita baru BTA (+) dan BTA (-) / rontgen (+), diberikan dalam 2 tahap:

1. Tahap 1:

Rifampisin 450 mg + Etambutol 750 mg + INH 300 mg + Pirazinamid 1500 mg

Obat ini diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali). 2. Tahap 2:

Rifampisin 450 mg + INH 600 mg

(13)

b. Kategori 2

Untuk penderita BTA(+) yang sudah pernah minum obat selama sebulan, termasuk penderita dengan BTA (+) yang kambuh/gagal yang diberikan dalam 2 tahap yaitu :

1. Tahap I

Streptomisin 750 mg + INH 300 mg + Rifampisin 450 mg + Pirazinamid 1500mg + Etambutol 750 mg

Obat ini diberikan setiap hari. Untuk Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali). 2. Tahap 2

INH 600 mg + Rifampisin 450 mg + Etambutol 1250 mg

Obat ini diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).

Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.

2. Terapi operatif

Indikasi dilakukannya tindakan operasi adalah:

1. Bila dengan terapi konservatif tidak terjadi perbaikan paraplegia atau malah semakin berat. Biasanya tiga minggu sebelum tindakan operasi dilakukan, setiap spondilitis tuberkulosa diberikan obat tuberkulostatik. 2. Adanya abses yang besar sehingga diperlukan drainase abses secara

terbuka dan sekaligus debrideman serta bone graft.

3. Pada pemeriksaan radiologis baik dengan foto polos, mielografi ataupun pemeriksaan CT dan MRI ditemukan adanya penekanan langsung pada medulla spinalis.

Walaupun pengobatan kemoterapi merupakan pengobatan utama bagi penderita tuberkulosis tulang belakang, namun tindakan operatif masih memegang peranan penting dalam beberapa hal, yaitu bila terdapat cold abses (abses dingin), lesi tuberkulosa, paraplegia dan kifosis.

a. Abses Dingin (Cold Abses)

Cold abses yang kecil tidak memerlukan tindakan operatif oleh karena dapat terjadi resorbsi spontan dengan pemberian tuberkulostatik. Pada

(14)

abses yang besar dilakukan drainase bedah. Ada tiga cara menghilangkan lesi tuberkulosa, yaitu:

1. Debrideman fokal 2. Kosto-transveresektomi

3. Debrideman fokal radikal yang disertai bone graft di bagian depan. Paraplegia

b. Paraplegia

Penanganan yang dapat dilakukan pada paraplegia, yaitu: 1. Pengobatan dengan kemoterapi semata-mata 2. Laminektomi

3. Kosto-transveresektomi 4. Operasi radikal

5. Osteotomi pada tulang baji secara tertutup dari belakang c. Kifosis

Operasi pada pasien kifosis dilakukan dengan 2 cara: 1. Operasi kifosis

Operasi kifosis dilakukan bila terjadi deformitas yang hebat,. Kifosis mempunyai tendensi untuk bertambah berat terutama pada anak-anak. Tindakan operatif dapat berupa fusi posterior atau melalui operasi radikal.

2. Operasi PSSW

Operasi PSSW adalah operasi fraktur tulang belakang dan pengobatan tbc tulang belakang yang disebut total treatment.

Metode ini mengobati tbc tulang belakang berdasarkan masalah dan bukan hanya sebagai infeksi tbc yang dapat dilakukan oleh semua dokter. Tujuannya, penyembuhan TBC tulang belakang dengan tulang belakang yang stabil, tidak ada rasa nyeri, tanpa deformitas yang menyolok dan dengan kembalinya fungsi tulang belakang, penderita dapat kembali ke dalam masyarakat, kembali pada pekerjaan dan keluarganya.

(15)

Komplikasi yang paling serius dari spondilitis TB adalah Pott’s paraplegia. Pada stadium awal spondilitis TB, munculnya Pott’s paraplegia disebabkan oleh tekanan ekstradural pus maupun sequester atau invasi jaringan granulasi pada medula spinalis dan jika Pott’s paraplegia muncul pada stadium lanjut spondilitis TB maka itu disebabkan oleh terbentuknya fibrosis dari jaringan granulasi atau perlekatan tulang ( ankilosing ) di atas kanalis spinalis.

Komplikasi lain yang mungkin terjadi adalah ruptur dari abses paravertebra torakal ke dalam pleura sehingga menyebabkan empiema tuberkulosis, sedangkan pada vertebra lumbal maka nanah akan turun ke otot iliopsoas membentuk psoas abses yang merupakan cold abcess.

(16)

BAB II

ASUHAN KEPERAWATAN A. Pengkajian

1. Keluhan utama

Keluhan utama pada klien spondiitis TB terdapat nyeri punggung bagian bawah.

2. Riwayat Kesehatan Sekarang

Pada awal dapat dijumpai nyeri redikuler yang mengelilingi dada dan perut. nyeri dirasakan meningkat pada malam hari dan bertambah berat terutama pada saat pergerakan tulang belakang.

1) Data Subjektif yang mungkin adalah : badan terasa lemah dan lesu, nafsu makan berkurang serta sakit pada punggung, pada anak-anak sering disertai dengan menangis pada malam hari, berat badan menurun, nyeri spinal yang menetap, nyeri radikuler yang mengelilingi dada atau perut.

2) Data Ojektif yang mungkin adalah : suhu sedikit meningkat (subfebril) terutama pada malam hari, paraplegia, paraparesis, kifosis (gibbus), bengkak pada daerah paravertebra.

3. Riwayat Kesehatan Dahulu

Menurut R. Sjamsu Hidajat, 1997 : 20 tentang terjadinya spondilitis tuberkulosa biasanya pada klien di dahului dengan adanya riwayat pernah menderita penyakit tuberculosis paru.

4. Riwayat Penyakit Keluarga

Salah satu penyebab timbulnya spondilitis tuberkulosa adalah klien pernah atau masih kontak dengan penderita lain yang menderita penyakit TB atau lingkungan keluarga ada yang menderita penyakit tersebut

5. Psikososial

Klien akan merasa cemas, sehingga terlihat sedih dengan kurangnya pengetahuan mengenai penyakit TB, pengobatan dan perawatannya sehingga membuat emosinya tidak stabil dan mempengaruhi sosialisasi penderita.

(17)

6. Pemeriksaan fisik

1. Inspeksi : terlihat lemah, pucat dan pada tulang belakang terlihat bentuk kiposis

2. Palpasi : Sesuai yang terlihat pada inspeksi keadaan tulang belakang terdapat adanya gibus pada area tulang yang mengalami infeksi

3. Perkusi : Pada tulang belakang yang mengalami infeksi terdapat nyeri ketok

4. Auskultasi : Pada pemeriksaan auskultasi keadaan paru tidak ditemukan kelainaj

5. Review of System (ROS) a. B1 (Breating). b. B2 (Blood). c. B3 (Brain). d. B4 (bladder). e. B5 (Bowel). f. B6 (Bone). 7. Pengkajian diagnostic 1. Laboratorium

Laju Endap darah meningkat 2. Pemeriksaan Diagnostik lain

1. Radiologi : terlihat gambaran distruksi vertebra terutama bagian anterior, sangat jarang menyerang area posterior, terdapat penyempitan diskus, gambaran abses para vertebral

2. Tes Tuberkulin : Reaksi Tuberkulin biasanya positif B. Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri berhubungan dengan kompresi radiks saraf servikal, spasme otot servikal 2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan

nyeri

3. Gangguang citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh

4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan

5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit, pengobatan dan perawatan

C. Intervensi

(18)

Tujuan : Rasa nyaman terpenuhi dan nyeri berkurang 3 x 24 jam Kriteria Hasil :

1. Klien melaporkan penurunan nyeri 2. skala nyeri 0 - 1

3. dapat mengidentifikasi aktivitas yang meningkatkan atau menurunkan nyeri

4. klien menunjukan perilaku yang lebih rileks Intervensi :

1) Kaji lokasi, intensitas dan tupe nyeri sebagi observasi penyebaran nyeri rasional : nyeri merupakan pengalaman subjek yang hanya dapat di gambarkan oleh klien sendiri

2) Jelaskan dan bantu klien dengan tindakan pereda nyeri nonfarmakologis dan non invasive

Rasional : Pendekatan dengan menggunakan relaksasi dan nonfarmakologis lainnya telah menunjukan keefektifan dalam mengurangi nyeri.

3) Istirahatkan leher, atur posisi fisiologis dan pasang ban leher rasional : posisi fisiologis akan mengurangi kompresi saraf leher

4) Lakukan masase pada otot leher

rasional : masase ringan dapat meningkatkan aliran darah dan membantu suplai darah dan oksigen ke area nyeri leher

5) Ajarkan teknik relaksasi pernafasan dalam ketika nyeri muncul

rasional : meningkatkan asupan oksigen sehingga menurunkan nyeri sekunder akibat iskemia

6) Ajarkan teknik distraksi pada saat nyeri

rasional : distraksi dapat menurunkan stimulus nyeri

7) Berikan analgesic sesuai terapi dokter dan kaji keefektivitasannya

rasional : analgesic mampu mnegurasngi rasa nyeri; bagaimana reaksi terhadap nyeri yang diderita klien

2. Gangguan mobilitas fisik berhubungan dengan kerusakan musculoskeletal dan nyeri

Tujuan : klien dapat melakukan mobilisasi secara optimal dan mampu teradaptasi dalam waktu 7 x 24 jam

Kriteria Hasil :

1. klien dapat ikut serta dalam program latihan

2. klien terlihat mampu melakukan mobilisasi secara bertahap 3. mempertahankan koordinasi dan mobilitas sesuai tingkat optimal Intervensi

1) Kaji kemampuan mobilitas dan observasi terhadap peningkatan kerusakan Rasional : mengetahui tingkat kemampuan klien dalam melakukan aktivitas

(19)

2) Bantu klien melakukan ROM, dan perawatan diri sesuai toleransi

Rasional : latihan ROM yang optimal mampu menurunkan atrofi otot, memperbaiki sirkulasi perifer dan mencegah kontraktur

3) Pantau keluhan nyeri dan adanya tanda-tanda deficit neurologis

rasional : peran perawat dalam pemantauan dapat mencegah terjadinya hal yang lebih parah seperti henti jantung – paru akibat kompresi batang otak dan korda

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian OAT

Rasional : OAT akan mengobati penyebab dasar spondilitis TB 3. Gangguan citra tubuh berhubungan dengan gangguan struktur tubuh

Tujuan : Klien dapat mengekpresikan perasaanya dan dapat menggunakan koping adaptif

Kriteria Hasil :

1. Klien dapat mengungkapkan perasaannya dan dapat menggunakan keterampilan koping yang poeotif dalam mengatasi perubahan citra Intervensi :

1) Berikan kesempatan pada klien untuk mengungkapkan perasaan.

Rasional : meningkatkan harga diri klien dan membina hubungan saling percaya dengan mengungkapkan perasaan dapat membantu penerimaan diri

2) Bersama-sama klien mencari alternatif koping yang positif

Rasional : dukungan perawat pada klien dapat meningkatkan rasa percaya diri klien

3) Kembangkan komunikasi dan bina hubungan antara klien kluarga dan teman serta berikan aktifitas rekreasi dan permainan guna mengatasi perubahan body image

Rasional : memberikan semangat bagi klien agar dapat memandang dirinya secara positif dan tidak merasa rendah diri

4. Ketidak seimbangan nutrisi : nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan asupan nutrisi tidak adekuat sekunder akibat nyeri tenggorokan dan gangguan menelan

Tujuan : dalam waktu 7 x 24 jam keseimbangan nutrisi dapat terpenuhi Kriteria Hasil :

1. klien terlihat mampu melakukan pemenuhan nutrisi per oral secara bertahap

2. proporsi berat badan dan tinggi badan ideal Intervensi :

(20)

1) Pantau persentase asupan makanan yang dikonsumsi setiap makan, timbang berat badan tiap hari

Rasional : mengidentifikasi kemajuan atau penyimpangan dari tujuan yang diharapkan

2) Berikan perawatan mulutu tiap 6 jam. pertahankan kesegaran ruangan Rasional : perasaan tidak nyaman pada mulut dan bau yang tidak nyaman dari lingkungan dapat mempengaruhi selera makan

3) Beri makanan lunak dalam kondisi hangat, sedikit tapi sering

Rasional : peran perawat dalam memberi dukungan sangat diperlukan pada klien yang membutuhkan energy dan protein untuk proses pengembalian fungsi yang optimal

4) Dorong klien untuk ikut serta dalam pemenuhan nutrisi tinggi kalori dan tinggi protein

Rasional : peran perawat dalam member dukungan sangat diperlukan pada klien yang pada fase inflamasi sangat banyak membutuhkan energy dan protein untuk proses pengembalian fungsi yang optimal

5) Kolaborasi dengan ahli diet untuk pemenuhan nutrisi yang ideal

Rasional : dalam kondisi akut, ahli diet dapat mencari jenis makanan yang dapat membantu klien dalam memenuhi kebutuhan akan energy dan perbaikan 5. Risiko Infeksi berhubungan dengan port de entrée luka pasca-bedah

Tujuan : tidak terjadi tanda-tanda infeksi Kriteria Hasil :

1. terbebas dari tanda atau gejala infeksi 2. menunjukan hygiene yang adekuat

3. menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi Intervensi :

1) Pantau tanda/ gejala infeksi

Rasional : mengidentifikasi dini infeksi

2) Kaji faktor yang meningkatkan serangan infeksi

Rasional : Menggambarkan faktor yang menunjang penularan infeksi 3) Berikan terapi antibiotik, bila diperlukan

Rasional : Mencegah Infeksi

6. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kurangnya informasi mengenai penyakit, pengobatan dan perawatan

Tujuan : Klien dan Keluarga dapat memahami cara perawatan di rumah Kriteria Hasil :

(21)

1. Klien dapat memperagakan pemasangan dan perawatan brace atau korset

2. mengekspresikan pengertian tentang jadwal pengobatan

3. klien mengungkapkan pengertian tentang proses penyakit, rencana pengobatan dan gejala kemajuan penyakit

Intervensi :

1) Diskusikan tentang pengobatan

Rasional : meminimalisasi kesalahan klien dan keluarga dalam penggunaan obat

2) Tekankan pentingnya lingkungan yang aman untuk mencegah fraktur Rasional : Meningkatkan kewaspadaan klien maupun keluarga terhadap faktor – faktor resiko yang dapat memperparah kondisi klien 3) Tingkatkan kunjungan tindak lanjut dengan dokter

Rasional : mendeteksi kondisi perkembangan klien secara dini

D. Evaluasi

1. Pasien menyatakan nyeri berkurang dan atau hilang

2. Pasien menunjukan kondisi yang rileks dan dapat beristirahat 3. Pasien berpartisipasi dalam program pengobatan

4. Pasien mendiskusikan perannya dalam mencegah kekambuhan

5. Pasien mampu mengerti penjelasan yang diberikan tentang proses penyakit dan pengobatannya

6. Pasien mampu mengidentifikasi potensial situasi stress dan mengambil langka untuk menghindarinya

7. Pasien dapat menggunakan obat yang diresepkan dengan baik 8. Pasien dapat melakukan pola hidup sehat dengan baik

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin, A. 2008. Buku Saku Gangguan Muskuloskeletal: Aplikasi pada Praktik Klinik Keperawatan. Jakarta: EGC.

(22)

Samsuhidajat, Wim de Jong. 2003. Sistem Muskuloskeletal. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC

Referensi

Dokumen terkait

Bagaimana pengaruh Capital Adequacy Ratio (CAR) terhadap

Verbal humor of the first type is in general translatable; for the translation is an act of rendering meaning?. Conversely, verbal humor of the second type is typically

Berdasarkan pendapat para ahli, disimpulkan bahwa Prinsip pembelajaran adalah landasan berpikir, landasan berpijak, dan sumber motivasi agar proses belajar dan mengajar dapat

Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian dari Helmi Ramlan (2014) bahwa terdapat kontribusi kinerja manajerial kepala sekolah dan kinerja komite sekolah terhadap

Salah satu materi yang melibatkan soal cerita sebagai asesmennya adalah materi perbandingan berbalik nilai.Menurut Lamon (2006), perbandingan berbalik nilai merupakan

serta yang paling dicintai oleh baginda bahkan beliau juga seorang manusia luarbiasa yang memiliki ilmu bagaikan lautan, kefasihan lidahnya yang tiada bandingan sebagai seorang

3.5 Blok Receiver Audio[7] Sinyal cahaya yang dipancarkan oleh LED diterima oleh Photodiode driver, driver kemudian masuk ke bagian rangkaian penguat, setelah dikuatkan dikuatkan

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi berjudul PEMAKNAAN SIMBOL