• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konflik 2.1.1. Pengertian

Menurut Soerjono Soekanto, konflik sosial adalah suatu proses social dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan jalan menentang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan Menurut teori konflik, masyarakat senantiasa berada dalam proses perubahan yang di tandai oleh pertentangan yang terus menerus diantara unsure-unsurnya. Teori konflik melihat bahwa setiap elemen memberikan sumbangan terhdapa disintegrasi sosial. Teori konflik melihat bahwa keteraturan yang terdapat dalam masyarakat itu hanyalah disebabkan karena adanya tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari atas golongan yang berkuasa.

Konflik sudah menjadi bagian dari kehidupan manusia. Ketika orang memperebutkan sebuah area, mereka tidak hanya memperebutkan sebidang tanah saja, namun juga sumber daya alam seperti air dan hutan yang terkandung di dalamnya. Upreti (2006) menjelaskan bahwa pada umunya orang berkompetisi untuk memperebutkan sumber daya alam karena empat alasan utama. Pertama, karena sumber daya alam merupakan “interconnected space” yang memungkinkan perilaku seseorang mampu mempengaruhi perilaku orang lain. Sumber daya alam juga memiliki aspek “social space” yang menghasilkan hubungan-hubungan tertentu diantara para pelaku. Selain itu sumber daya alam bisa menjadi langka atau hilang sama sekali terkait dengan perubahan lingkungan, permintaan pasar dan distribusi yang tidak merata. Yang terakhir, sumber

(2)

daya alam pada derajat tertentu juga menjadi sebagai simbol bagi orang atau kelompok tertentu.

Konflik merupakan kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat kreatif. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan, berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya bisa diselesaikan tanpa kekerasaan, dan sering menghasilkan situasi yang lebih baik bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat (Fisher, 2001:4).

Dalam setiap kelompok social selalu ada benih-benih pertentangan antara individudan individu, kelompok dan kelompok, individu atau kelompok dengan pemerintah. Pertentangan ini biasanya berbentuk non fisik. Tetapi dapat berkembang menjadi benturan fisik, kekerasaan dan tidak berbentuk kekerasaan. Konflik berasal dari kata kerja Latin, yaitu configure yang berarti saling memukul. Secara sosiologis, konflik diartikan sebagai suatu proses sosial antara dua orang atau lebih (bisa juga kelompok) dimana salah satu pihak berusaha menyingkirkan pihak lain dengan menghancurkan atau membuatnya tidak berdaya.

Dalam teori hubungan masyarakat, Fisher menyebutkan bahwa konflik disebabkan oleh polarisasi yang terus terjadi, serta tidak adanya saling percaya dalam masyarakat yang melahirkan permusuhan diantara kelompok yang berbeda dalam suatu masyarakat. selain itu, penyebab konflik dalam masyarakat juga dapat disebabkan oleh kebutuhan-kebutuhan dasar manusia. Dalam teori kebutuhan manusia, Fisher mengatakan bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh kebutuhan dasar manusia (fisik), mental dan social yang tidak terpenuhi atau dihargai.

(3)

Hoult (1969) sebagaiman di kutip Wiradi (2000) menyebut konflik sebagai situasi proes interaksi antara dua (atau lebih ) orang atau kelompok yang masing-masing memperjuangkan kepentingannya atas obyek yang sama, yaitu tanah dan benda-benda lain yang berkaitan dengan tanah, seperti air dan perairan, tanaman, tambang , dan juga udara yang berada di atas tanah yang bersangkutan. Konflik yang terjadi dapat berupa konflik vertical, yaitu antar pemerintah , masyarakat dan swasta, antar pemerintah pusat, pemerintah kota dan desa, serta konflik horizontal yaitu konflik antar masyarakat.

Menurut teori konflik, unsur-unsur yang terdapat di dalam masyarakat cenderung bersifat dinamis atau sering kali mengalami perubahan. Setiap elemen-elemen yang terdapat pada masyarakat dianggap mempunyai potensi terhadap disintegrasi sosial. Menurut teori ini keteraturan yang terdapat dalam masyarakat hanyalah karena ada tekanan atau pemaksaan kekuasaan dari golongan yang berkuasa. Adanya perbedaan peran dan status di dalam masyarakat menyebabkan adanya golongan penguasa dan yang dikuasi. Distribusi kekuasaan dan wewenang yang tidak merata menjadi faktor terjadinya konflik sosial secara sistematis (Ritzer, 2002:26).

Dahrendrof membedakan golongan yang terlibat konflik atas tiga tipe kelompok, yaitu kelompok semu (Quasi Group) atau sejumlah pemegang posisi dengan kepentingan yang sama atau merupakan kumpulan dari para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan kepentingan yang terbentuk karena munculnya kelompok kepentingan . kelompok yang kedua adalah kelompok kepentingan. Kelompok kepentingan terbentuk dari kelompok semu yang lebih luas, mempunyai struktur, organisasi program, tujuan, serta anggota yang jelas. Kelompok kepentingan ini lah yang menjadi sumber nyata timbulnya konflik (Dahrendrof, 1959: 180).

(4)

Dari berbagai jenis kelompok kepentingan inilah muncul kelompok konflik atau kelompok yang terlibat dalam konflik kelompok aktual. Konflik yang terjadi menyebabkan perubahan –perubahan dalam masyarakat. segera setelah kelompok konflik muncul, kelompok tersebut akan melakukan tindakan yang menyebabkan perubahan-perubahan dalam struktur sosial. Bila konflik itu hebat, perubahan-perubahan yang terjadi adalah perubahan yang radikal, bila konflik itu disertai dengan tindakan kekerasan, akan terjadi perubahan struktur secara tiba-tiba (Ritzer, 2002:156). Secara akademis, konflik tidak harus berarti kekerasan. Konflik juga bisa berupa kompetisi untuk perebutan sumber daya alam yang yang ketersediaanya terbatas (Pratikono, dkk,2004:29). Konflik muncul ketika individu saling berhadapan dan bertentangan denganm kepentingan, tujuandan nilai yang di pegang oleh masing-masing individu. Demikian juga halnya pada masyarakat Karo, mula konflik terjadi karena adanya perebutan tanah di antara dua pihak yang masih merupakan satu bagian keluarga besar. Mereka berkompetisi memperebutkan tanah warisan dan masing-masing mereka mempertahankan tanah tersebut.

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan kedalam dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik laten, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya. Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konflik antar etnis, suku, golongan, agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatar belakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial.

Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk,; pertama, konflik laten sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat ke permukaan sehingga dapat ditangani secara efektif.

(5)

Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Dan yang ketiga adalah, konflik di permukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi (Fisher,2001:6).

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab suatu konfik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologis, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengatakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realistik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia ,seperti aspek sosial, ekonomi, dan kekuasaan. Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi (Soekanto, 2002:98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan, pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses sosial dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman dan/ atau kekerasan.

Konflik yang terjadi dalam internal dalam masyarakat Karo, menjadi konflik yang harus melibatkan pihak lain, yaitu pihak “anak beru”, dimana pihak inilah

(6)

yang akan bertugas mencampuri segala hal yang mungkin akan terjadi dalam urusan penyelesaian konflik itu. Pihak anak beru adalah pihak yang paling berperan penting dalam segala urusan dalam kehidupan adat masyarakat Karo. Pertentangan yang terjadi dapat menyebabkan perpecahan dalam internal keluarga sendiri. Hal ini dapat terjadi apabila penyelesaian konflik yang dilakukan tidak memuaskan kedua belah pihak, sehingga peran anak beru sangat domonan dalam hal ini.

2.1.2. Jenis-Jenis Konflik

Soerjono Soekanto membagi konflik social menjadi lima bentuk khusus, yaitu sebagai berikut:

1. Konflik atau pertentangan pribadi, yaitu konflik yang terjadi antara dua individu atau lebih karena perbedaan pandangan dan sebagainya.

2. Konfli atau pertentangan rasial, yaitu konflik yang timbul akibat perbedaan-perbedaan ras.

3. Konflik atau pertentangan antara kelas-kelas sosial, yaitu konflik yang disebabkan adanya perbedaan kepentingan antar kelas sosial.

4. Konflik atau pertentangan politik, yaitu konflik yang terjadi akibat adanya kepentingan atau tujuan politis seseorang atau kelompok.

5. Konflik atau pertentangan yang bersifat internasional, yaitu konflik yaqng terjadi karena perbedaan kepentingan yang kemudian berpengaruh pada kedaulatan Negara.

(7)

2.1.3. Faktor Penyebab Konfik

Menurut Saiman Pakpahan, penyebab konflik dapat diklasifikasikan menjadi dua hal. Pertama, ada penyebab identitas yang dapat dilihat berdasarkan perbedaan ideologi, ras, etnik (kultur). Kedua, perbedaan yang dapat dilihat berdasarkan distribusi sumber daya ekonomi, politik, social, dan hokum beserta derivasinya. Secara penjelasan baik bersifat teori dan informasi hasil kajian menunjukkan bahwa faktor penyebab konflik adalah karena perbedaan identitas dan distribusi sumber daya. Kemudian, dalam hubungan dengan potensi, sumber konflik tersebut merupakan temuan utama menunjukkan bahwa antara isu perbedaan identitas dan sumber daya saling berinteraksi dan saling mempengaruhi. Umumnya, tidak disadari bahwa konflik yang disebabkan perbedaan sumber daya, khususnya ekonomi, politik atau hukum dibelokkan menjadi konflik yang bertendensi ideologi dan etnik.

Untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam masyarakat, tentu kita harus mengetahui apa yang menjadi penyebab konflik itu dapat terjadi. Dalam pandangan sosiologi, masyarakat itu selalu dalam perubahan dan setiap elemen dalam masyarakat selalu memberikan sumbangan bagi terjadinya konflik. Collins mengetakan bahwa konflik berakar pada masalah individual karena akar teoritisnya lebih pada fenomenologis. Menurut Collins, konflik sebagai fokus berdasarkan landasan yang realiktik dan konflik adalah proses sentral dalam kehidupan sosial.

Salah satu penyebab terjadinya konflik adalah karena ketidakseimbangan antara hubungan-hubungan manusia seperti aspek social, ekonomi dan kekuasaan. Contohnya kurang meratanya kemakmuran dan akses yang tidak seimbang terhadp sumber daya yang kemudian akan menimbulkan masalah-masalah dalam masyarakat

(8)

(Mengelola konflik, hal 4). Konflik dapat juga terjadi karena adanya mobilisasi social yang memupuk keinginan yang sama. Menurut perspektif sosiologi ( Soekanto, 2002: 98), konflik di dalam masyarakat terjadi karena pribadi maupun kelompok menyadari adanya perbedaan-perbedaan badaniah, emosi, unsure-unsur kebudayaan pola perilaku dengan pihak lain. Konflik atau pertentangan adalah suatu proses dimana individu atau kelompok berusaha untuk memenuhi tujuannya dengan menantang pihak lawan yang disertai dengan ancaman atau kekerasan.

Adapun yang menjadi faktor penyebab konflik, antara lain yaitu:

1. Adanya perbedan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan, karena setiap manusia unik, dan mempunyai perbedaan pendirian, perasaan satu sama lain. Perbedaan pendirian dan perasaan ini akan menjadi satu faktor penyebab konflik social, sebab dalam menjalani hubungan social seorang individu tidak selalu sejalan dengan individu atau kelompoknya.

2. Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi-pribadi yang berbeda-beda, individu sedikit banyak akan terpengaruh oleh pola pemikiran dan pendirian kelompoknya, dan itu akan menghasilkan suatu perbedaan individu yang dapat memicu konflik. 3. Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok, individu

memiliki latar perasaan, pendirian dan latar belakang budaya yang berbeda. Ketika dalam waktu yang bersamaan masing-masing individu atau kelompok memilki kepentingan yang berbeda. Kadang, orang dapat melakukan kegiatan yang sama, tetapi tujuannya berbeda. Sebagai

(9)

contoh, misalnya perbedaan kepentingan dalam hal pemanfaatan hutan. Para tokoh masyarakat menganggap hutan sebagai kekayaan budaya yang mnejadi bagian dari kebudayaan mereka sehingga harus dijaga dan tidak boleh ditebang. Para petani menebang pohon-pohon karena dianggap sebagai penghalang bagi mereka untuk membuat kebun atau ladang. Bagi para pengusaha kayu, pohon-pohon ditebang dan kemudian kayu nya di ekspor guna mendapatkan uang dan membuka pekerjaan. Sedangkan bagi pencinta lingkungan, hutan adalah bagian dari lingkungan sehingga harus dijaga dan dilestarikan. Disini jelas terlihat ada perbedaan kepentingan antara satu kelompok dengan kelompok lainnya sehingga akan mendatangkan konflik social di masyarakat. Konflik akibat perbedaan kepentingan ini dapat pula menyengkut bidang politik, ekonomi, social, dan budaya. Begitu pula dapat terjadi antar kelompok atau antar kelompok dengan individu, misalnya konflik antar kelompok buruh dengan pengusaha yang terjadi karena perbedaan kepentingan diantara keduanya. Para buruh menginginkan upah yang memadai, sedangkan pengusaha menginginkan pendapatan yang besar untuk dinikmati sendiri serta memperbesar bidang serta volume usaha mereka.

4. Faktor terjadinya konflik juga dapat disebabkan karena perubahan-perubahan nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat. Perubahan adalah sesuatu yang lazim dan wajar terjadi, tetapi jika perubahan itu berlangsung cepat atau bahkan mendadak, perubahan

(10)

tersebut dapat memicu terjadinya konflik sosial. Misalnya, pada masyarakat pedesan yang mengalami industrialisai yang mendadak akan memunculkan konflik social sebab nilai-nilai lama pada masyarakat tradisional yang biasanya bercorak pertanian secara cepat berubah menjadi nilai-nilai masyarakat industri. Nilai-nilai yang berubah itu seperti nilai kegotong royongan berganti menjadi nilai kontrak kerja dengan upah yang disesuaikan menurut jenis pekerjaannya. Hubungan kekerabatan bergeser menjadi hubungan struktural yang disusun dalam organisasi formal perusahaan. Nilai-nilai kebersamaan berubah menjadi individualis dan nilai-nilai tentang pamanfaatan waktu yang cenderung tidak ketat berubah menjadi pembagian waktu yang tegas seperti jadwal kerja dan istirahat dalam dunia industri. Perubahan-perubahan ini jika terjadi secara cepat dan mendadak, akan membuat kegoncangan proses-proses sosial dalam masyarakat, bahkan akan terjadi upaya penolakan terhadap semua bentuk perubahan karena dianggap mengacaukan tatanan kehidupan masyarakat yang sudah ada.

2.2. Tahapan Konflik

Fisher, dkk menyebutkan ada beberapa alat bantu unntuk menganalisis situasi konflik, salah satunya adalah penahapan konflik. Konflik berubah setiap saat, melalui tahap aktivitas, intensitas, ketegangan dan kekerasan yang berbeda (Fisher,2001:19-20). Tahap-tahap ini adalah:

(11)

1. Pra-Konflik: merupakan periode dimana terdapat suatu ketidaksesuain sasaran diantara dua pihak atau lebih, sehingga timbul konflik. Konflik tersembunyi dari pandangan umum, meskipun salah satu pihak atau lebih mungkin mengetahui potensi terjadi konfrontasi. Mungkin terdapat ketegangan hubungan diantara beberapa pihak dan/ atau keinginan untuk menghindari kontak satu sama lain.

2. Konfrontasi: pada saat ini konflik menjadi semakin terbuka. Jika hanya satu pihak yang merasa ada masalah, mungkin para pendukungnya mulai melakukan demonstrasi atau perilaku konfrontatif lainnya.

3. Krisis: ini merupakan puncak konflik, ketika ketegangan dan/ kekerasan terjadi paling hebat. Dalam konflik skala besar, ini merupakan periode perang, ketika orang-orang dari kedua pihak terbunuh. Komunikasi normal diantara dua pihak kemungkinan putus, pernyataan-pernyataan umum cenderung menuduh dan menentang pihak lainnya.

4. Akibat: kedua pihak mungkin setuju bernegosiasi dengan atau tanpa perantara. Suatu pihak yang mempunyai otoritas atau pihak ketiga yang lebih berkuasa mungkin akan memaksa kedua pihak untuk menghentikan pertikaian.

5. Pasca-Konflik: akhirnya situasi diselesaikan dengan cara mengakhiri berbagai konfrontasi kekerasan, ketegangan berkurang dan hubungan mengarah lebih normal diantara kedua pihak. Namun jika isu-isu dan masalah-masalah yang timbul karena sasran mereka saling bertentangan

(12)

tidak diatasi dengan baik, tahap ini sering kembali lagi menjadi situasi pra-konflik.

2.3. Tipe dan Akar Permasalahan Konflik Sosial

Secara teoritis, konflik yang terjadi dalam masyarakat dapat dibedakan menjadi dua bentuk, yaitu konflik sosial vertikal dan konflik sosial horizontal. Konflik sosial vertikal adalah konflik yang terjadi antara masyarakat dan Negara dan dapat dikatakan konflik latent, sebab benih-benih konflik sudah ada dan telah terpendam pada masa sebelumnya.

Seperti di Indonesia, konflik social vertikal ini dapat dicermati dari beberapa upaya daerah yang melepaskan diri dari belenggu pemerintahan pusat. Konflik ini semakin tidak akan terkendali karena pendekatan penyelesaian masalah diwarnai dengan pendekatan militer. Peranan aparat militer masih mendominasi daripada diplomasi politik dan kultural.

Ada beberapa hal yang menjadi akar permasalahan terjadinya intensitas konflik vertikal, khususnya di Indonesia antara lain:

1. Luapan kekecewaan dan ketidakpuasan terhdap perilaku pemerintah dan aparatur pemerintah yang secara sistematis mengeksploitasi sumber daya alam daerah-daerah demi kepentingan orang-orang yang berkuasa.

2. Pemerintah pusat dengan berdalih pembangunan seringkali semena-mena merampas dan menduduki hak-hak penduduk lokal di suatu daerah.

(13)

3. Menurunya kepercayaan masyarakat daerah pada pemerintah karena pemerintah tidak lagi memihak dan melayani kepentingan-kepentingan tuntutan masyarakat tetapi secara terencana memperdaya masyarakat.

4. Terbukannya ruas sosial (social space). Hal ini merangsang terjadinya konflik vertikal dan tanpa disadari mendorong masyarakat untuk bereuphoria sebagai bentuk balas dendam atau sekedar melepas rasa ketidakpuasan pada pejabat pemerintah.

5. Tidak tertutup kemungkinan konflik vertikal ini terjadi karena ditunggangi oleh sekelompok elit yang rakus dan haus kekuasaan.

Konflik sosial horizontal, disebabkan karena konfik antar etnis, suku, golongan , agama, atau antar kelompok masyarakat yang dilatarbelakangi oleh kecemburuan sosial yang memang sudah terbentuk dan eksis sejak masa kolonial. Adapun hal-hal yang melatarbelakangi terjadinya konflik horizontal adalah:

1. Saling mengklaim dan menguasai sumber daya alam yang mulai terbatas akibat tekanan penduduk dan kerusakan lingkungan.

2. Kecemburuan sosial yang bersumber dari ketimpangan-ketimpangan ekonomi anatra kaum pendatang dan penduduk lokal. Keberhasilan ekonomi para pendatang sebagai usaha kerja keras dan tidak mengenal

(14)

lelah yang kemudian dapat mengausai pasar dan peluang ekonomi sering dilihat sebagai penjajahan ekonomi.

3. Dorongan emosional kesukuan karena ikatan-ikatan norma tradisional. Konflik ini dapat juga muncul disebabkan karena kefanatikan ajaran ideologi tertentu .

4. Mudah dibakar dan dihasut oleh para dalang kerusuhan, elit politik dan orang-orang yang haus kekuasaan.hal ini didorong oleh kualitas sumber daya manusia yang rendah, juga diikuti oleh rendahnya kesadaran sosial.

2.4. Pola Konflik

Pola konflik dibagi kedalam tiga bentuk; pertama, konflik latent sifatnya tersembunyi dan perlu diangkat kepermukaan sehingga dapat ditangani secara efektif. Kedua, konflik terbuka adalah konflik yang berakar dalam dan sangat nyata, dan memerlukan berbagai tindakan untuk mengatasi akar penyebab dan berbagai macam efeknya. Ketiga, konflik dipermukaan memiliki akar yang dangkal atau tidak berakar dan muncul hanya karena kesalahpahaman mengenai sesuatu yang dapat diatasi dengan menggunakan komunikasi ( Fisher, 2001:6).

2.5. Dampak Konflik Sosial

Konflik sosial memiliki dampak yang bersifat positif dan negatif. Adapun dampak positif dari konflik social adalah sebagai berikut:

(15)

2. Adanya konflik menimbulkan penyesuaian kembali norma-norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat.

3. Konflik dapat meningkatkan solidaritas diantara angota kelompok.

4. Konflik dapat mengurangi rasa ketergantungan terhadap individu atau kelompok. 5. Konflik dapat memunculkan kompromi baru.

Adapun dampak negatif yang ditimbulkan oleh konflik sosial adalah sebagai berikut:

1. Konflik dapat menimbulkan keretakan hubungan antara individu dan kelompok. 2. Konflik menyebabkan rusaknya berbagai harta benda dan jatuhnya korban jiwa. 3. Konflik menyebabkan adanya perubahan kepribadian.

Referensi

Dokumen terkait

Teguh Budi Harsono, Prinsip Dan Strategi Pengajaran Bahasa , Surabaya: Lutfansyah Mediatama, 2004, p. Building English Skill , Evanston: Mc Dougales Little Company.. choice

sesuatu dari tiada adalah tidak mungkin terjadi. Menurut Ibnu Rusyd, yang mungkin ialah menciptakan “ada” yang berubah menjadi „ ada ‟ dalam bentuk lain.

Salah satu bentuk nyata dari pengkomunikasian hasil riset oleh Fakultas Pertanian dan Bisnis adalah melalui kegiatan Seminar Nasional, namun kami memakai istilah Konser Karya Ilmiah

Ada juga gereja yang beralasan menerima perempuan menjadi pemimpin karena semua orang, laki-laki dan perempuan sama di hadapan Tuhan dan ayat yang dipakai untuk

Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi yang mengakibatkan biaya pemeliharaan dan pengelolaan tempat rekreasi dan olah raga mengalami kenaikan, maka dipandang perlu untuk

Kasus ini bermula dari proses penyusunan anggaran yang sejak awal sudah bermasalah karena pengadaan UPS tersebut tidak berdasarkan dari kebutuhan sekolah dan juga tidak

Penelitian ini dibahas secara metode kuantitatif, dengan melihat adakah hubungan antara durasi dan frekuensi terpaan film porno dengan sikap remaja laki-laki

Stringer (2002) berpendapat bahwa, ada indikator yang digunakan untuk menilai iklim organisasi tersebut yaitu, struktur adalah perasaan karyawan secara baik dan mempunyai