• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP KYOIKU MAMA. 2.1.Keadaan Keluarga Jepang Setelah Perang Dunia II

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP KYOIKU MAMA. 2.1.Keadaan Keluarga Jepang Setelah Perang Dunia II"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

TINJAUAN UMUM TERHADAP KONSEP KYOIKU MAMA

2.1.Keadaan Keluarga Jepang Setelah Perang Dunia II

Bentuk keluarga Jepang sebelum perang dunia dua di kenal sebagai ie yang merupakan sistem kekerabatan yang terdapat pada keluarga tradisional Jepang. Keluarga ie adalah bentuk keluarga luas yang mengikuti satu garis keturunan ayah (Situmorang 2011: 24). Unsur keluarga ie terbentuk minimal dua (2) generasi, oleh karena itu ie tidak hancur karena perceraian atau meninggalnya salah satu pihak suami atau istri dalam keluarga tersebut. Sistem ie mengambil bentuk keluarga besar yang di sebut daikazoku yang terdiri kakek-nenek, ayah-ibu dan anak-anak. Sistem keluarga ie merupakan sistem yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Jepang sejak zaman feodal di Jepang. Sistem keluarga ini berporos pada garis keturunan ayah, yang mengutamakan anak laki-laki sulung dan keanggotaan keluarga tidak terbatas pada hubungan darah karena pekerja di dalam ie pun disebut anggota keluarga ie. Pada sistem keluarga ie, ayah sebagai kepala keluarga (shuto) dan anak lelaki tertua sangat berhubungan erat karena jika suatu saat ayah meninggal yang meneruskan ie dan menjadi kepala keluarga adalah anak lelaki tertua sedangkan anak kedua (jinnan) dan anak ketiga (sannan) dapat keluar dari keluarga ie dan membentuk keluarga ie baru atau dapat pula menjadi anggota keluarga ie lain.

Kedudukan seorang wanita di dalam keluarga tradisional ie memang dianggap rendah. Karena pada waktu masa anak-anak wanita bekerja untuk ayah,

(2)

wanita berkerja untuk anak laki-laki tertuanya (Situmorang, 2011: 30). Ketika seorang wanita masih menjadi seorang istri atau menantu (yome). Ia harus dapat menempatkan dirinya sebagai yome dan tunduk kepada kacho (kepala keluarga) maupun shutome (ibu mertua). Sebagai menantu perempuan, ia diharuskan untuk menghormati dan melayani mertuanya lebih baik melebihi orangtuanya. Ia harus bangun lebih awal dan tidur paling akhir dalam keluarga. Menurut Huda dalam Sembiring (2011: 20) keberadaan atau status seorang istri baru diakui keluarga apabila ia berhasil dengan baik dalam melayani mertuanya atau setelah ia bisa memberikan keturunan untuk keluarga suaminya. Apabila ia dianggap gagal oleh

kacho maupun shutome, ia bisa saja di ceraikan oleh mertuanya tersebut tanpa

persetujuan dari suaminya sendiri. Peran yome pun dalam keluarganya sendiri kurang di lihat dan dipandang sebelah mata. Ia harus menekan keinginan-keinginan pribadinya dan membuat dirinya lebih tertuju untuk memelihara ie dan menjaga nama baik ie.

Menurut Weber yang dikutip oleh Tominaga dalam Tobing (2006: 52) dalam keluarga sistem partriakhat terdapat kepala keluarga yang memiliki kekuasaan otoriter. Dalam keluarga tradisional dengan sistem partriarkhat tersebut, seluruh anggota keluarga harus mematuhi aturan-aturan yang ditetapkan dengan ketat dan mengikat. Sistem keluarga yang partriakhat ini juga sama dengan ie yang generasinya di tentukan oleh garis keturunan dari ayah.

Setelah Perang Dunia II, ditandai dengan kalahnya bangsa Jepang pada sekutu tanggal 30 Agustus 1945. Jepang berada dibawah kekuasaan pemerintahan sekutu. Kekalahan Jepang dalam perang tersebut membawa pengaruh yang besar karena sejak saat itu sekutu melakukan perubahan-perubahan yang mendasar baik

(3)

di bidang politik, ekonomi, maupun sosial. Perang Dunia II menahan pertambahan penduduk kota karena selama perang arus penduduk yang kembali ke daerah pedesaan mencapai lebih dari 30% (persen) dari jumlah penduduk kota. Ketika perang berakhir dan keadaan perekonomian sudah mulai membaik, yaitu pada sekitar pertengahan tahun lima puluhan, jumlah penduduk kota sedikit demi sedikit mulai meningkat mencapai jumlah penduduk melebihi sebelum perang.

Dibandingkan masyarakat pedesaan, masyarakat kota lebih cepat mengalami perubahan dalam sistem keluarga sebagai akibat dari jenis pekerjaan yang sangat bervariasi dan terbatasnya lahan untuk mendirikan rumah bagi tempat tinggal mereka. Pada umumnya pasangan suami istri yang baru saja menikah di kota-kota lebih suka hidup terpisah dari orangtua mereka. Keluarga kelas atas, meskipun mempunyai ruangan di rumah lama bagi pengantin baru, mungkin lebih suka membangun rumah baru bagi mereka. Atau karena tingginya harga tanah, orangtua pada umumnya mendirikan rumah baru di tanah mereka sendiri untuk kepentingan pasangan suami-istri. Pria dan wanita dari golongan menengah dan bawah yang baru menikah biasanya tidak mempunyai dana untuk menjamin kemandirian mereka dan kerap kali mereka hidup terpisah dari orangtua mereka dalam kamar sewaan dengan bantuan dari orangtua. Perubahan-perubahan semacam itu telah memacu kecenderungan orang untuk membuat keluarga inti menjadi norma. (Fukutake, 1988: 45)

Pada umumnya bentuk keluarga yang ada adalah bentuk keluarga nuklir atau keluarga batih. Keluarga nuklir adalah bentuk keluarga yang anggotanya terdiri dari hanya satu generasi, yaitu ayah, ibu, dan anak-anak yang belum menikah. Fukutake (1988: 38) mengatakan bahwa jumlah rata-rata tiga (3) orang

(4)

dalam tiap keluarga adalah sebanding dengan jumlah yang pada umumnya dijumpai di berbagai negara di Eropa dan Amerika. Meningkatnya jumlah keluarga adalah langsung berkaitan dengan meningkatnya jumlah keluarga inti pada tahun-tahun belakangan ini. Berakhirnya ie sebenarnya sudah di rancang didalam Undang-Undang di zaman Showa. Pemerintahan Jepang menganggap sistem keluarga tradisional ie tidak dapat lagi dipakai pada era zaman baru karena masyarakat tidak lagi banyak yang hidup bertani di desa sebaliknya semakin berkembangnya industrialisasi menyebabkan anak laki-laki yang semulanya bertani di kampung, kini telah berpergian ke kota guna mencari peruntungan di kota, dengan menjadi buruh di perusahaan-perusahaan baru. Sehingga ie tidak lagi di jalankan sebagaimana mestinya.

Dinyatakan dalam undang-undang tersebut bahwa keluarga terbatas pada hanya satu generasi dan berpusat pada suami istri; dan hak memilih jodoh, hak waris, memilih tempat tinggal, perceraian, dan lain-lain ditetapkan berdasarkan azas demokrasi yang ditegakkan pada kedua belah pihak; serta menjunjung tinggi kebebasan individu.

Perbandingan antara Undang-Undang Sipil Meiji (Meiji Minpo) dan Undang-Undang Sipil Showa (Showa Minpo) adalah sebagai berikut :

UU Sipil Meiji : UU Sipil Showa :

Keluarga tradisional (sistem Kafucho) Keluarga nuklir

1. Keluarga otoriter 1. Keluarga demokrasi

2. Keluargaisme 2. Individualisme

3. Sistem ahli waris chonan 3. Sistem warisan dibagi 4. Keluarga yang berpusat pada 4. Keluarga yang berpusat

(5)

Orangtua-anak (keluarga vertikal) pada suami istri

5. Ie 5. Keluarga batih

6. Kesinambungan keluarga 6. Hanya satu generasi (Tobing, 2006: 69)

Ketika Undang-Undang Showa menetapkan adanya sistem keluarga batih, pada sekitar tahun 1947-an masyarakat di Jepang diperkenalkan dengan adanya sistem keluarga model Eropa-Amerika. Dengan adanya undang-undang tersebut, dari sudut hukum keluarga tradisional telah dibubarkan. Dari segi demikian, alasan pertama hancurnya keluarga tradisional Jepang adalah karena adanya alasan modernisasi politik. Alasan kedua hancurnya keluarga tradisional Jepang adalah karena terjadinya industrialisasi. Dari sudut pandang ekonomi, keluarga tradisional tidak cocok dengan tuntutan masyarakat industrial karena industri melahirkan beragam jenis pekerjaan.

Dengan berakhirnya sistem ie dan dimulainya sistem keluarga batih, seorang istri memiliki kedudukan yang sedikit lebih baik daripada di keluarga ie. Seorang istri memegang penuh kuasa di rumahnya sendiri. Maka ini menimbulkan kelegaan bagi seorang istri untuk mengatur rumah tangganya. Dulunya ia hanya seorang yome yang mengikuti semua aturan dari mertuanya (shutome), pekerjaan yang dilakukannya adalah perintah dari shutome, namun sekarang semua urusan rumah tangga di kerjakannya sendiri tanpa mengikuti perintah dari sang shutome. Dalam mengurus anak pun, ia sudah bisa lega karena sepenuhnya itu menjadi tanggungjawabnya sendiri. Mulai dari menyiapkan makanan anak, menyiapkan keperluan sekolah anak sampai ikut membantu pekerjaan rumah anak.

(6)

Perubahan di Jepang juga ditandai dengan pertambahan produksi dan perubahan ekonomi yang sangat pesat. Sehingga disetiap rumah tangga di Jepang tidak jarang sudah banyak ditemui televisi, mesin cuci, lemari es dan lainnya. Dan itu sangat membantu seorang ibu dalam menyelesaikan tugas rumahnya dan sekarang waktunya lebih banyak ia habiskan dengan membantu studi anaknya.

2.2.Sistem Pendidikan di Jepang

Pasal 26 dari Undang-Undang Dasar (Konstitusi) Jepang menetapkan: “semua orang berhak mendapat pendidikan sesuai dengan kemampuannya….. semua orang wajib bertindak agar semua putra-putra atau putri-putri dibawah asuhan mereka memperoleh pendidikan biasa…. Pendidikan wajib demikian bersifat cuma-cuma” (Kedutaan Besar Jepang, 1989: 121). Pada sekitar tahun 1970an hampir 99,99% anak di Jepang mengikuti pendidikan wajib tersebut dan tak terkecuali anak yang cacat mental dan fisik serta yang sakit-sakitan juga mengikuti pendidikan wajib tersebut. Alhasil, anak-anak yang hingga waktu itu dikecualikan atau diizinkan menangguhkan pendidikan sekolah, seperti anak-anak yang harus tetap tinggal di tempat tidur, mencatatkan diri ke sekolah-sekolah dan mulai mendapat pendidikan di rumah mereka dari guru-guru yang datang.

Pendidikan dari SD hingga SMA diselenggarakan sesuai dengan garis-garis petunjuk pengajaran yang ditetapkan oleh negara. Buku-buku pelajaran yang disusun oleh perusahaan-perusahaan swasta sesuai dengan garis-garis petunjuk tersebut harus memperoleh pengesahan Kementrian Pendidikan. Setiap daerah memilih buku-buku pelajaran sendiri dari buku-buku yang telah memperoleh pengesahan dari kementrian tersebut. Buku-buku pelajaran untuk SD dan SMP

(7)

dibagikan secara cuma-cuma kepada para siswa. Meskipun telah disahkan Kementrian Pendidikan, kenyataannya, biasanya hanya terdapat empat atau lima buku pelajaran yang disahkan mengenai suatu mata pelajaran tertentu dan untuk kelas tertentu. Di Jepang masa pendidikan untuk jenjang sekolah dasar (SD) berlangsung selama 6 tahun lamanya, untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP) berlangsung selama 3 tahun saja dan untuk Sekolah Menengah Atas (SMA) berlangsung selama 3 tahun serta untuk jenjang pendidikan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) berlangsung selama 5 tahun.

Adapun jadwal studi pertama kali di selesaikan pada tahun 1958 dan perbaikan dilakukan pada tahun 1968 dan 1978. Dan jadwal studi yang diterapkan untuk Sekolah Dasar meliputi: Bahasa Jepang, Ilmu sosial, berhitung, sains, musik, seni, kerajinan tangan, kesehjahteraan keluarga, serta pendidikan jasmani (Vogel, 1982: 214). Lebih dari 99% anak usia Sekolah Dasar telah terdaftar di sekolah. Hampir semua pendidikan dasar berlangsung di sekolah umum dan sekitar 1% berlangsung di sekolah swasta (karena sekolah swasta cenderung mahal). Kebanyakan sekolah negeri tidak mewajibkan seragam, akan tetapi setiap anak diharuskan memakai name tag di sebelah kiri baju. Biasanya juga ada badge di bahu kirinya, yang biasanya warnanya disesuaikan dengan tingkatan kelasnya. Misalnya warna kuning untuk kelas satu. Biasanya tas anak SD dilengkapi dengan peluit kecil yang dibagikan dari sekolah secara gratis. Peluit ini diajarkan kepada anak-anak untuk ditiup kalau bertemu dengan orang asing (tidak dikenal) yang mengganggu (http: //japanlunatic.do.am/index).

Di tingkat SD biasanya tidak mengenal ujian kenaikan kelas. Siswa yang telah menyelesaikan proses belajar di kelas satu akan otomatis naik ke kelas dua,

(8)

demikian juga seterusnya. Siswa yang telah menyelesaikan studinya di tingkat SD dapat langsung mendaftar ke SMP. Akan tetapi tentu saja guru melakukan ulangan sekali-kali untuk mengecek tingkat daya tangkap siswanya. Untuk siswa kelas 4 hingga kelas 6 diadakan test IQ untuk melihat kemampuan dasar para siswa. Data ini bukan untuk mengelompokkan siswa berdasarkan hasil test IQ-nya, tapi untuk memberikan perhatian lebih kepada siswa yang kemampuan dibawah rata-rata maupun diatas rata-rata.

Untuk Sekolah Menengah Pertama adapun jadwal yang diterapkan meliputi: Bahasa Jepang, Ilmu sosial, matematika, sains, musik, kesenian halus, kesehatan, pendidikan jasmani, kerajinan industri, kesejahteraan keluarga, dan bahasa asing. Berbagai mata pelajaran tersebut diberikan pada waktu yang berlainan setiap hari selama seminggu sehingga jarang ada jadwal pelajaran yang sama pada hari yang berbeda. Tidak seperti SD, siswa SMP memiliki guru yang berbeda untuk mata pelajaran yang berbeda. Pembelajaran di SMP cenderung mengandalkan metode ceramah. Guru juga menggunakan metode lain seperti radio atau televisi dan ada beberapa laboratorium. Semua siswa SMP harus mempelajari karya klasik seperti Genji Monogatari dan hikayat Genji yang umurnya sudah 1000 tahun. Mereka tidak hanya diajarkan tentang hikayat Genji namun juga di ajari tentang tata bahasa Jepang klasik yang digunakan pada Genji

Monogatari. Di tingkat SMP dan SMA di Jepang ada dua kali ulangan seperti mid test dan final test tapi tidak bersifat wajib ataupun nasional. Penilaian kelulusan

tingkat SMP dan SMA di Jepang tidak berdasarkan final test akan tetapi akumulasi dari nilai test sehari-hari, ekstrakulikuler, mid test dan final test. Dengan sistem seperti ini, tentu hampir 100% siswa di Jepang dapat naik kelas

(9)

atau lulus. Di beberapa perfektur di Jepang mengadakan final test serentak selama tiga hari, dengan materi ujian yang dibuat oleh sekolah berdasarkan standar dari

educational board disetiap perfektur. Selanjutnya siswa SMP yang telah lulus

dapat memilih SMA yang diminatinya, tetapi mereka harus mengikuti ujian masuk SMA yang bersifat standar educational board disetiap perfektur. Dalam memilih SMA yang akan dimasukinya, dia dapat berkonsultasi dengan guru, orang tua atau lembaga khusus di educational board yang bertugas melayani konsultasi dalam memilih sekolah. Adapun bidang studi yang diujiankan adalah: bahasa Jepang, bahasa Inggris, matematika, sosial dan sains.

Program wajib belajar di Jepang di kenal dengan nama “gimukyoiku” (compulsory education), yang dilaksanakan dengan prinsip memberikan akses penuh kepada semua anak untuk mengenyam pendidikan selama 9 tahun (SD dan SMP) dengan menggratiskan „tuition fee‟ dan mewajibkan orangtua untuk menyekolahkan anak. Di negara maju pengertian compulsory education (wajib belajar) mempunyai ciri-ciri :

a. Adanya unsur paksaan agar peserta didik bersekolah b. Diatur dengan Undang-Undang tentang wajib belajar

c. Adanya sanksi bagi orangtua yang membiarkan anaknya tidak bersekolah d. Tolak ukur keberhasilan

(http: //mylawliet.multiply.com/journal).

Untuk memudahkan akses disetiap distrik didirikan SD dan SMP walaupun di daerah kampung dan siswanya masih sedikit. Orangtua pun tidak boleh menyekolahkan anaknya ke distrik lain, jadi selama program wajib belajar, setiap anak bersekolah di distriknnya masing-masing. Tentu saja mutu sekolah

(10)

negeri di semua distrik sama, dalam arti fasilitas sekolah, bangunan sekolah, tenaga pengajar dengan persyaratan yang sama (guru harus memegang lisensi mengajar yang dikeluarkan oleh Educational board di setiap perfektur). Oleh karena itu mutu siswa SD dan SMP di Jepang yang bersekolah di sekolah negeri dapat dikatakan sama, sebab kementrian pendidikan mengkondisikan equality (persamaan) disemua sekolah.

Untuk di SMA ada tiga jenis SMA yang dapat di pilih seperti : full time,

part time, dan tertulis. Sekolah menengah yang full time berlangsung selama 3

tahun sedangkan kedua jenis lainnya menghasilkan diploma setara. Namun sebagian besar siswa memilih SMA yang full time. SMA di Jepang memiliki beberapa jenis jurusan berdasarkan pola kurikulum yaitu jurusan umum (akademis), pertanian, teknik, perdagangan, perikanan, home ekonomi dan perawatan. Hampir semua SMP, SMA dan perguruan tinggi dan universitas menentukan penerimaan siswa melalui ujian masuk, dan setiap sekolah mengadakan ujian masuk sendiri. Siswa yang ingin masuk ke sekolah bersangkutan harus mengikuti ujian masuk dan membawa surat referensi dari SMP tempat ia lulus sebelumnya.

Dan setelah lulus dari tingkat SMA, para siswa yang ingin melanjut ke perguruan tinggi harus mengikuti ujian masuk universitas yang berskala nasional. Adapun ujian masuk perguruan tinggi yang harus diikuti oleh para siswa adalah dalam dua tahap. Pertama secara nasional yaitu soal-soal yang disusun oleh kementrian Pendidikan, yang terdiri atas lima subjek, sama seperti ujian masuk di SMA, selanjutnya untuk tahap kedua siswa harus mengikuti ujian masuk yang di lakukan oleh tiap-tiap universitas. Ujian yang dilaksanakan ini sebagian besar

(11)

dianggap sebagai “neraka” oleh para siswa lulusan SMA. Mereka tidak hanya dituntut untuk belajar dengan displin, tapi harus menguasai beberapa ilmu pengetahuan. Seorang siswa yang mengikuti ujian masuk perguruan tinggi tidak hanya bersaing dengan teman-teman sekolahnya saja, tapi dengan beribu-ribu siswa yang tak dikenal dari wilayah lain yang ingin memasuki perguruan tinggi yang sama. Disinilah peran orang tua, guru dan siswa menjadi sangat erat dan saling bergantung satu sama lain. Orang tua dituntut untuk memberikan semangat dan tidak membebani pikiran anaknya dan mengatur waktu anaknya agar tidak terbuang percuma dengan kegiatan-kegiatan yang tidak berguna, dan seorang ibu harus mempersiapkan segala kebutuhan anaknya dalam mengikuti les tambahan (juku), dan guru mempunyai tanggung jawab yang tinggi untuk mendidik siswanya agar dapat masuk ke perguruan tinggi yang diinginkannya.

Skor kelulusan adalah akumulasi ujian masuk nasional dan ujian masuk Perguruan Tinggi. Adapun skor hasil ujian tidak diumumkan akan tetapi jawaban soal ujian tersebut akan diberitakan dengan via koran, televisi, atau internet sehingga para siswa dapat mengira-ngira sendiri berapa skor total yang diperoleh. Siswa yang memilih universitas dengan skor tinggi, tapi jika skornya tidak memadai, dapat mengacu ke pilihan universitas kedua. Namun jika skor yang diperoleh tidak mencukupi, siswa yang bersangkutan tidak dapat masuk universitas. Selanjutnya ia dapat mengikuti ujian masuk Universitas atau Perguruan Tinggi swasta atau menjalani masa ronin (menyiapkan diri untuk mengikuti ujian masuk ditahun berikutnya) di prepatory school (yubikou).

Di Jepang ada tiga jenis lembaga pendidikan tinggi, yaitu: universitas/institut, junior college (akademi), dan technical college. Di universitas

(12)

terdapat pendidikan sarjana (S-1) dan pasca sarjana (S-2 dan S-3). Pendidikan S-1 berlangsung selama 4 tahun kecuali untuk fakultas kedokteran dan kedokteran gigi yang berlangsung selama 6 tahun, dan pendidikan S-2 berlangsung selama dua tahun serta pendidikan S-3 atau yang sering disebut dengan Doctor’s degree berlangsung selama 3 tahun. Sedangkan untuk junior college memberikan pendidikan selama 2 atau 3 tahun. Sebagian besar siswa dari junior college ini di dominasi oleh perempuan, dengan tujuan untuk meningkatkan kemampuan wanita sebagai ibu rumah tangga. Adapun mata kuliahnya sangat terbatas dan hanya mengacu kepada kurikulum tunggal saja, seperti kurikulum untuk musik saja, melukis atau hanya untuk kurikulum bahasa inggris saja. Kebanyakan dari lulusan

junior college ini tidak melanjutkan kuliahnya ke S-1 dan sedikitnya hanya 5%

saja lulusannya yang melanjutkan kuliah ke jenjang S-1. Dan untuk technical

college masa pendidikannya berlangsung selama 5 tahun dan siswa lulusan tingkat

SMP dapat melanjut ke lembaga tersebut dan nantinya siswa lulusan technical

college ini menjadi tenaga teknisi yang handal.

2.3.Sistem Perekrutan Tenaga Kerja di Jepang

Sistem perekrutan tenaga kerja di Jepang di perusahaan-perusahaan Jepang bukanlah dengan sistem yang bersifat pribadi atau kekeluargaan. Perusahaan-perusahaan di Jepang tidak menganut sistem nepotisme dimana sanak family maupun keluarga sendiri baik itu anak tidak terlalu dipentingkan dalam merekrut tenaga kerja baru. Karena ada semacam hubungan yang mendarah daging di Jepang yang di sebut dengan hubungan senpai dan kohai. Nakane (1981: 154) menjelaskan bahwa keterikatan dan harapan-harapan seseorang seringkali tertuju

(13)

kepada kobun-nya, dan bukan kepada anak-anak dan kerabat sendiri. Memang kedudukan dan status tidaklah dimonopoli oleh satu keluarga yang khusus atau kelompok berstatus, karena posisi atau status perorangan dalam garis vertikal itu didasarkan pada hubungan pribadi yang bersifat langsung dengan orang-orang lain, dan posisi seseorang jarang diserahkan kepada orang yang tidak secara langsung ada hubungan dengannya didalam pekerjaan. Ada banyak kasus, dimana seorang ayah yang memiliki posisi yang penting menunjuk seseorang diantara bawahannya menjadi penggantinya bukan kepada anaknya sendiri karena nantinya sang anak akan menghadapi hubungan pribadi yang kurang enak dengan orang-orang yang lebih senior dari dirinya, yang tadinya secara langsung telah mengikat diri kepada ayahnya; kesetiaan mereka itu kepada sang ayah tidak dapat dengan mudah dipindahkan kepada si anak.

Pada umumnya di Jepang kemampuan pribadi dan prestasi seseoranglah yang lebih banyak diperhitungkan daripada latar belakang keluarga. Apakah seseorang dilahirkan didalam suatu keluarga terhormat atau kaya atau didalam lingkungan keluarga petani yang miskin tidaklah menjadi persoalan ketika ia dapat masuk kedalam kelompok yang terhitung berhasil (Nakane, 1981: 145). Kemampuan seseorang secara langsung dan sederhana diterjemahkan melalui kualifikasi pendidikannya. Baik lamanya pendidikan maupun mutu pendidikan itu merupakan kriteria yang relevan. Dengan adanya patokan seperti itu, orang yang kualifikasinya hanya sampai tingkat sekolah menengah tidak akan dapat bersaing dengan seorang lulusan universitas dalam memperoleh kerja atau dalam mendaki tangga promosi, apapun kemampuan dan pengalaman yang dipunyainya. Masyarakat di Jepang pada umumnya menganggap latar belakang pendidikan

(14)

sebagai salah satu ukuran terpenting atas kemampuan dan kedudukan sosial seseorang, dan tidak tinggi anggapan orang terhadap apa yang diperbuat seseorang diluar pendidikan sekolah.

Nilai akademik yang dicapai oleh seseorang juga sangat menentukan dalam pekerjaan yang akan dilamarnya. Misalnya seseorang dengan tingkat prestasi yang begitu gemilang dimasa perkuliahannya akan cepat mendapatkan pekerjaan yang dibuka oleh suatu perusahaan sebaliknya seseorang dengan nilai akademik yang tidak begitu cemerlang akan memperoleh banyak tantangan untuk mendapat pekerjaan. Bahkan beberapa perusahaan besar di Jepang melakukan perekrutan tenaga kerja melalui sebuah lembaga khusus untuk merekrut tenaga-tenaga profesional. Dan universitas akan memainkan perannya untuk menciptakan generasi-generasi yang berkualitas di Jepang. Sebuah universitas ternama di Jepang yaitu Universitas Tokyo merupakan sebuah universitas mapan yang sudah diakui kualitasnya di Jepang. Bahkan lulusan-lulusan dari Universitas Tokyo sudah diakui oleh masyarakat. Bahkan ada yang menyebutkan semacam “klik sosial” lulusan Universitas Tokyo. Kadang-kadang klik itu memiliki fungsi yang dapat dibandingkan dengan semacam kasta di India, yaitu didalam memonopoli hak-hak istimewa tertentu dengan memanfaatkan persahabatan dan hubungan-hubungan yang bahkan dapat menerobos melewati bagian-bagian departemen dan lembaga (Nakane, 1981: 159).

Tingkatan universitas dimana seseorang menamatkan pendidikannya banyak sedikitnya menentukan cakupan kegiatan orang itu, memberi kemungkinan memasuki tingkat-tingkat status tertentu, dan menentukan berapa banyak sukses yang mungkin bisa diharapkan selama hidupnya. Ada

(15)

kecenderungan makin lama makin kelihatan dalam tahun-tahun belakangan ini, pada pabrik industri atau usaha bisnis yang paling tinggi posisinya, merekrut calon-calon pegawainya dari universitas yang tingkatannya paling tinggi. Pada waktu kecenderungan itu menjadi demikian kuat, seperti sudah disebutkan diatas bahwa perusahaan-perusahaan yang posisinya paling tinggi membatasi secara ketat permohonan kerja hanya bagi lulusan-lulusan baru dari universitas-universitas yang tingkatannya paling tinggi.

2.4.Kyoiku Mama sebelum Perang Dunia II

Sebenarnya istilah kyouiku mama telah lama ada sebelum Perang Dunia II, yaitu pada waktu pemerintahan Meiji. Konsep kyouiku mama sudah tertanam sejak digalakkannya istilah ryosai kenbo pada sekitar tahun 1890-an dikalangan para wanita saat itu. Ryosai kenbo berarti istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Pada waktu itu pemerintahan Meiji menggalakkan istilah “ryosai kenbo” untuk menekan pemberontakan perempuan-perempuan Jepang yang dikenal dengan istilah moga atau wanita modern yang dipengaruhi oleh budaya barat yang menginginkan hak-hak yang sama dengan hak laki-laki dan juga moga diistilahkan dengan wanita masa kini. Dimana seorang wanita moga wajar pergi keluar dari rumah dengan rok pendek, ber-makeup, merokok dan lain sebagainya. Ini merupakan ancaman bagi negara Jepang khususnya keluarga tradisional Jepang.

Istilah ryosai kenbo berarti istri yang baik dan ibu yang bijaksana. Sebagai seorang istri yang baik, wanita Jepang harus melayani suaminya dengan setia dan patuh, menangani ekonomi rumah tangga, serta melaksanakan segala urusan

(16)

rumah tangga dengan baik. Dan sebagai ibu yang bijaksana, wanita Jepang membesarkan dan mendidik anak-anaknya dengan baik sehingga dapat menghasilkan anak-anak yang pandai, patuh dan cinta kepada tanah airnya ( http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf).

Pemerintahan Meiji menggalakkan bahwa istilah ryosai kenbo adalah definisi sosial tanggung jawab wanita dalam bangsa kekaisaran, dan keterbatasannya sebagai manusia. Seorang wanita berperan menjadi penjaga kediaman domestik, memasak, bersih, mengelola keuangan rumah tangga, dan diatas semua menyediakan lingkungan bahagia untuk suami yang bekerja keras dan memberikan pendidikan yang tepat untuk generasi berikutnya untuk kejayaan kekaisaran Jepang (http://from10thousandbc.files.wordpress.com). Disisi lain adalah istri yang baik, ibu yang bijaksana (ryosai kenbo), lambang tradisionalisme Jepang dan moral sehat yang baik. Istilah ryosai kenbo adalah tunduk dalam semua aspek hidupnya; dia adalah milik suaminya dan didakwa dengan menjaga rumah dan mendidik anak-anaknya. Dari pengertian istilah ryosai kenbo diatas dapat kita lihat bahwa istilah kyouiku mama sudah ada sebelum perang dunia II yang tercermin dalam istilah ryosai kenbo dengan tujuan yang sama yakni seorang istri difokuskan untuk mendidik anaknya menjadi manusia yang berkualitas dan berguna bagi bangsa dan negaranya. Ryosai kenbo dan kyouiku mama dituntut untuk menjadi seorang istri yang tidak hanya berperan dalam mengurus masalah rumah tangga saja tapi juga mendidik anak-anak mereka menjadi anak yang berhasil.

Pada awal sekitar tahun 1890-an telah berdiri berbagai perguruan tinggi maupun universitas di Jepang, namun ini hanya diperuntukkan kepada para lelaki.

(17)

Sedangkan para perempuan hanya diberikan sekolah sampai tingkat SMA saja dan fokus pendidikannya adalah untuk mempersiapkan diri menjadi ibu rumah tangga yang baik nantinya. Bahkan pemerintahan pun menolak jika ada perempuan yang ikut andil dalam kegiatan politik. Begitu juga dengan perusahaan-perusahaan hanya memperkerjakan wanita yang belum menikah untuk jam kerja penuh waktu. Dasar inilah yang menyebabkan ryosai kenbo menjadi paham yang sangat dijunjung tinggi oleh masyarakat Jepang. Orang tua selalu menekankan anak perempuannya untuk selalu patuh dan tunduk kepada suaminya.

Ryosai kenbo pun menjadi paham yang mendarah daging di masyarakat

Jepang sejak zaman Meiji hingga akhir perang dunia pertama. Memasuki Perang Dunia II, masyarakat Jepang mengalami krisis ekonomi yang parah dan menyebabkan terjadi sedikit pergeseran istilah ryosai kenbo. Di Jepang pada saat itu mengalami perekonomian yang buruk dan banyak para suami yang ikut serta berperang demi negara sehingga seorang ibu yang tadinya hanya mengurus rumah tangga, kini harus rela membantu suami mencari nafkah dengan bekerja menjadi buruh di perusahaan. Dengan kata lain istilah ryosai kenbo tidak terbatas hanya pada pekerjaan rumah tangga semata tetapi ia juga dituntut untuk melakukan tugasnya diluar pekerjaan rumah tangga.

2.5.Kyoiku Mama setelah Perang Dunia II

Setelah Perang Dunia II, negara Jepang mengalami banyak perubahan dalam arti kemajuan pesat negara dalam banyak bidang termasuk bidang ekonomi, sosial dan pendidikan. Masyarakat dituntut untuk lebih kompetitif dalam persaingan menjadi seseorang yang mempunyai status sosial di masyarakat

(18)

(gakurei shakai). Untuk memperoleh status sosial di masyarakat, tidak terlepas dari tingkat pendidikan tinggi yang disandang oleh seseorang serta pekerjaan yang di gelutinya. Di era baru tersebut muncullah istilah konsep kyouiku mama yang menggambarkan seorang ibu yang berusaha untuk mendorong anaknya sekolah setinggi-tingginya serta nantinya akan memperoleh pekerjaan yang baik.

Adapun beberapa pengertian kyouiku mama menurut beberapa ahli adalah sebagai berikut:

1. Kyouiku mama menurut Takie Sugiyama Lebra dalam Sembiring (2011: 15) mengatakan bahwa kyouiku mama adalah ibu yang terobsesi dengan pendidikan anaknya dan secara terus menerus mendorong anaknya untuk belajar, khususnya dalam persiapan untuk mengikuti ujian masuk sekolah.

2. Menurut Amano dalam ( http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf) kyouiku mama adalah merupakan sebuah konsep yang muncul dalam masyarakat Jepang akibat sistem pendidikan yang berdasarkan seleksi ujian masuk, perekonomian rumah tangga, serta kompetisi di berbagai aspek kehidupan kian meningkat pada tahun 1974. Sebuah konsep dimana para ibu memiliki ambisi berlebihan terhadap pendidikan anaknya sehingga rela mengorbankan seluruh pikiran, tenaga, pekerjaan, maupun uang demi memberikan anaknya pendidikan serta penghidupan yang layak yang tidak bisa mereka dapatkan dulu atau sewaktu perekonomian Jepang belum stabil.

3. Menurut pandangan seorang psikolog Jepang, Shizuo dalam White dalam (http://thesis.binus.ac.id/Asli/Bab5/2008-2-00334-JP%20Bab%205.pdf) Kyouiku

mama merupakan salah satu gambaran pop culture yang sangat populer di dalam

(19)

memaksa anak-anaknya untuk berhasil di segala bidang serta berambisi mengarahkan mereka untuk mendapatkan pendidikan yang terbaik.

Istilah kyoiku mama sebenarnya pertama kali muncul di Jepang pada tahun 1960-an. Dimana pada saat itu wanita-wanita Jepang menginspirasi media untuk menghasilkan idiom kyoiku mama, yang mana ditujukan untuk bagian rumah tangga dari keluarga sarariman. Ini mencakup sebuah tanggung jawab utama untuk mengasuh anak, terutama anak laki-laki, agar berhasil melalui tes yang penuh dengan persaingan untuk memasuki sekolah lanjutan dan kampus. Tidak ada muncul idiom serupa yang menganggap laki-laki sebagai “papa pendidikan” melainkan “mama pendidikan” (http://en.wikipedia.org/wiki/Kyoiku_mama).

Tugas besar yang diemban seorang kyouiku mama ini tidak terlepas dari ketidakhadiran seorang ayah di tengah-tengah keluarga. Ayah menjadi seorang

sarariman yang selalu bertekad untuk menghidupi keluarga menjadikan

keluarganya tidak berkekurangan apapun. Inilah yang menyebabkan seorang ayah rela tidak bersosialisasi dengan keluarga serta anak-anaknya. Ia pulang dimalam hari ketika keluarganya sudah tidur dan berangkat bekerja pada waktu pagi-pagi sekali ketika anaknya masih terlelap. Semua yang berkaitan dengan pekerjaan rumahtangga ia serahkan kepada sang istri. Sehingga hubungan ayah dan anak tidak terjalin dengan baik. Penanaman nilai-nilai displin dan bijaksana yang seharusnya diajarkan oleh ayah pun tidak lagi didapat oleh anaknya. Sehingga semuanya ditanggungkan kepada istrinya. Inilah yang menyebabkan seorang

kyoiku mama semakin bertambah dekat dengan anaknya dan sebaliknya hubungan kyoiku mama dengan suaminya semakin menjauh. Okamura (1973: 22) juga

(20)

bersikap kolot dalam menyatakan cintanya kepada suami, dan menjadikan anak laki-lakinya yang akan menggantikan kepala keluarga sebagai objek cintanya.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang ibu merupakan benteng bagi rumah tangganya. Ia berperan aktif dalam lingkungan domestik dan ayah berperan sebagai pencari nafkah semata. Peran ibu semakin erat kaitannya dengan anak dimana Takie Sugiyama Lebra dalam Sembiring (2011: 27) menjelaskan bahwa interaksi dan hubungan yang terjadi antara ibu dan anak dalam keluarga Jepang merupakan suatu contoh ungkapan perilaku ketergantungan antara anak terhadap ibunya. Ada beberapa ketergantungan yang terjalin antara ibu dan anak dalam bentuk tradisi berupa hubungan yang ideal yaitu, pertama, ibu memiliki wewenang terhadap anak, yang saat ini menjadi suatu ketergantungan secara penuh yaitu dalam pengawasan, perlindungan dan ketahanan hidup. Kedua, ibu adalah seorang penjaga dalam hal apa saja bagi anaknya, misalnya ibu bertanggung jawab mulai dari makanan, pakaian, hingga pengawasan kebutuhan ke kamar kecil. Ketiga, harapan atas keikutsertaannya yang dipenuhi oleh rasa puas dalam hubungan ibu-anak. Sehingga pada akhirnya, seluruh hidupnya akan dicurahkan untuk kesejahteraan anaknya.

Hubungan ibu dan anak pun semakin erat ketika ibu hanya berada di rumah dan tidak bekerja. Ketika anak mulai memasuki bangku sekolah, kyouiku mama selalu berada disampingnya dan membantunya dalam mengerjakan semua tugas (PR) yang diberikan oleh gurunya, bahkan ia juga yang meruncingkan pensil anaknya agar waktu belajar anaknya tidak terbuang percuma. Begitu juga dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan kyouiku mama terhadap anaknya. Seperti

(21)

anaknya. Setelah anak dan suaminya pergi ke kantor dan sekolah, ia pun segera bergegas untuk membersihkan rumah dan menyiapkan makan siang untuk anaknya. Setelah anak kembali dari sekolah, ibu telah menyiapkan makanan untuknya, kemudian ia harus segera menyiapkan diri untuk pergi ke juku, untuk menambah pelajaran dari sekolahnya.

Ketika anaknya mengikuti ujian masuk nasional yang diadakan di Tokyo,

kyouiku mama akan ikut dengan anaknya menuju tempat ujian dan menginap di

hotel terdekat untuk memastikan anaknya supaya tidak terlambat ikut ujian, membangunkan anaknya di pagi hari dan menyemangati anaknya dimenit terakhir sebelum mulai ujian dan memberi anaknya jimat kelulusan.

Referensi

Dokumen terkait

menceraikan isterinya harus mengajukan permohonan ke pengadilan guna memohon ke pengadilan agar diizinkan untuk mentalak isterinya dihadapan sidang dan apabila

Jadi kalau berpandu kepada kitab Yahudi tua bahwa lost tribe dari kalangan Manasseh (anak Nabi Yusuf a.s.) yang bakal berada di barisan hadapan tentera Imam Mahdi dan bakal

Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui pembagian pembebanan ekonomis dalam meminimumkan biaya bahan bakar pada Pembangkit Listrik Tenaga Gas Uap (PLTGU)

memudahkan kinerja perusahaan untuk mendapatkan informasi yang cepat, tepat,. relevan

1.. KESESUAIAN URAIAN MATERI DENGAN SK DAN KD KELENGKAPAN KELUASAN KEDALAMAN STANDAR KOMPETENSI KOMPETENSI DASAR HALAMAN. DALAM

a) Test Purpose: Verify that the server implements the DGIWG additional requirements for filters (Requirement 9 and Requirement 11). b) Test Method: verify that all standard,

dan atau sanggahan dalam bentuk apapun juga, sehubungan dengan tindakan-tindakan yang dilakukan Penerima Kuasa berdasarkan surat kuasa ini serta segala akibatnya

Gambar Aliran Penghasilan dan Pengeluaran dalam Perekonomian 2 sektor (circular flow) berilah penjelasan secara lengkap.. Selesaikan tabel tersebut dengan mengisi marginal