• Tidak ada hasil yang ditemukan

Balai Penelitian dan Observasi Laut

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Balai Penelitian dan Observasi Laut"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Prediksi Sebaran Daerah Potensial Penangkapan Tuna Mata Besar dengan Data Satelit Oseanografi, Argo Float, Model Statistika dan GIS

Teja Arief Wibawa

Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK), Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan. Email : tejaarief@gmail.com

Abstrak

Untuk mendukung pengelolaan sumberdaya perikanan yang berkelanjutan dan bertanggungjawab, diperlukan informasi tentang sebaran habitat suatu jenis ikan sepanjang siklus hidupnya. Tuna mata besar merupakan salah satu sumberdaya ikan pelagis besar yang mempunyai nilai ekonomis tinggi di perairan Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Ketersediaan data-data satelit oseanografi dan data argo float pada wilayah tersebut memungkinkan dilakukan suatu pendekatan kondisi oseanografi secara vertikal dan horisontal untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar tersebut Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi sebaran habitat bigeye tuna di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali dari data suhu permukaan laut, kedalaman lapisan isothermal 15°C dan eddy kinetic energy.

Data harian penangkapan tuna mata besar sepanjang periode 2004-2007 diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna di Benoa. Data satelit oseanografi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data suhu permukaan laut (SPL) dari sensor MODIS Aqua, dan data-data satelit altimetri. Sedangkan data argo float digunakan untuk memprediksi kedalaman isothermal 15°C dari data-data absolute dynamic topography (ADT). Variabel eddy kinetic energy (EKE) diperoleh dari perhitungan variabel-variabel arus geostrofik. Data tangkapan tuna mata besar dioverlay pada variabel SPL, kedalaman isothermal 15°C dan EKE untuk mendapatkan nilai ketiga variabel tersebut pada setiap lokasi penangkapan tuna mata besar. Analisis data dilakukan dengan menggunakan generalized additive model (GAM).

Hasil analisis GAM menunjukkan persamaan GAM dengan kombinasi SPL, kedalaman isothermal 15°C , dan EKE secara statistik mempunyai tingkat signifikansi tertinggi dibandingkan persamaan GAM lain yang terbentuk. Persamaan GAM tersebut juga menunjukkan, seluruh parameter yang digunakan dalam persamaan tersebut adalah signifikan secara statistik (p < 0.01).

Kata Kunci : tuna mata besar, satelit oseanografi, argo float.

(2)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

1. Pendahuluan

Perairan Indonesia mempunyai keanekaragaman sumberdaya ikan pelagis yang tinggi, sehingga dalam pengelolaannya diperlukan pendekatan berbasis ekologi secara multispesies. Karena secara umum, hampir setiap jenis ikan mempunyai kebiasaan hidup yang berbeda-beda dalam setiap siklus hidupnya. Informasi tentang sebaran habitat setiap jenis ikan dalam setiap siklus hidupnya sangat diperlukan untuk melakukan langkah-langkah konservasi terhadap sumberdaya ikan tersebut. Pengetahuan tentang sebaran habitat tersebut diperlukan untuk mengurangi tekanan antropogenik terhadap habitat sumberdaya ikan tersebut (Valavanis et al., 2008; Robinson, 2010).

Selain mempunyai keanekaragaman sumberdaya ikan pelagis yang tinggi, Perairan Indonesia juga mempunyai karakteristik oseanografi yang unik dan dinamis (Susanto et al, 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto et al., 2006). Kondisi oseanografi di Perairan Indonesia terutama dipengaruhi oleh fenomena Asia-Australian Monsoon (Tomczack and Godfrey, 2001; Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Longhurst, 2007), Arus Lintas Indonesia (Sprintall et al., 2003; Wijffels et al., 2008) dan El Nino Southern Oscillation (ENSO)( Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004). Akibatnya kondisi oseanografi setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia cenderung bervariasi dalam skala ruang dan waktu. Dampaknya terhadap pengelolaan sumberdaya ikan pelagis berbasis pendekatan ekologis adalah diperlukannya informasi yang akurat tentang kondisi oseanografi optimum bagi habitat suatu jenis sumberdaya ikan pelagis pada setiap wilayah laut dalam Perairan Indonesia.

Perairan Indonesia mempunyai wilayah yang luas, sehingga diperlukan teknologi yang dapat memberikan informasi kondisi oseanografi seluruh Perairan Indonesia secara terus menerus dan near realtime. Salah satu pilihan teknologi yang dapat digunakan, adalah dengan menggunakan data-data satelit oseanografi. Generasi sensor pemantau konsentrasi klorofil-a (Ocean Color Sensors) mulai diperhitungkan dalam komunitas oseanografi, ketika mampu menghasilkan data konsentrasi klorofil-a sampai lebih dari sepuluh tahun secara terus menerus (McClain, 2009). Sedangkan generasi sensor pemantau konsentrasi suhu permukaan laut sejak diluncurkan pertama kali tahun 1978 terus dikembangkan dan sampai saat ini sudah diluncurkan generasi kelima dari

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(3)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

sensor tersebut (Robinson, 2004; Robinson, 2010). Demikian pula dengan generasi satelit altimetri yang mampu menghilangkan pengaruh awan dan mampu mendeteksi perubahan tinggi muka air laut dengan tingkat akurasi sampai dengan skala centimeter (Robinson, 2010). Observasi dengan menggunakan data satelit oseanografi di perairan Indonesia telah terbukti dapat mengidentifikasi fenomena-fenomena oseanografi yang terjadi di Perairan Indonesia (Susanto et al., 2001; Hendiarti et al., 2004; Susanto and Marra, 2005; Susanto et al., 2006; Sartimbul et al., 2010). Selain itu, data-data satelit oseanografi telah banyak digunakan sebagai salah input utama dalam melakukan prediksi sebaran habitat suatu jenis ikan pelagis, seperti tuna mata besar (Liu et al., 2003), tuna sirip kuning (Zaglalia et al., 2004), albakora (Zainuddin et al., 2008), cakalang (Lehodey et al., 2008; Mugo et al., 2010).

Tuna mata besar sebagai salah satu sumberdaya ikan pelagis besar bernilai ekonomis tinggi di perairan Indonesia, mempunyai sebaran habitat hanya pada beberapa wilayah laut dalam perairan Indonesia, diantaranya adalah Samudra Hindia sebelah selatan Jawa, dan Samudra Hindia sebelah barat Sumatra (Ukolseja, 1996; Davis and Farley 2001; Merta et al., 2004; Hendiarti et al., 2005). Tuna mata besar mempunyai lapisan renang yang berada dibawah lapisan termoklin (Brill, 1994; Merta et al., 2004). Sedangkan secara lebih detil, Hanamoto (1987) memberikan kisaran optimum 10 – 15 °C untuk penangkapan tuna mata besar. Karena satelit oseanografi hanya mampu melakukan observasi pada lapisan permukaan saja, diperlukan analisis secara vertikal kondisi oseanografi di wilayah penangkapan tuna mata besar dengan menggunakan data- data argo float. Argo Float sendiri merupakan singkatan dari Array for Real-time Geostrophic Oceanography dan merupakan suatu sistem yang bertujuan untuk memberikan informasi suhu dan salinitas air laut secara vertikal sampai dengan kedalaman 2000 m seluruh dunia secara terus menerus (Schiermier, 2007).

Pendekatan yang dilakukan dalam penelitian ini juga merupakan suatu bentuk pengembangan terhadap Peta Daerah Penangkapan Ikan (PPDPI) yang telah diproduksi oleh Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK). Belum adanya informasi tentang jenis ikan yang diinformasikan dalam PPDPI saat ini, menjadi salah satu landasan dilaksanakannya penelitian ini. Secara umum, karena tingkah laku ikan pelagis dan kisaran optimum kondisi oseanografi hampir setiap

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(4)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

jenis ikan yang berbeda-beda, maka diperlukan analisis yang lebih detil untuk mengetahui keterkaitan kelimpahan suatu jenis ikan pelagis dengan kondisi oseanografinya dalam suatu skala ruang dan waktu.

2. Tujuan dan Manfaat

Penelitian ini bertujuan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali. Model prediksi yang terbentuk dalam penelitian ini dapat digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali, sekaligus sebagai bentuk pengembangan PPDPI yang selama ini telah diproduksi oleh BROK.

3. Metode Penelitian

Penelitian ini difokuskan di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali, dengan batasan koordinat 100° - 120° BT dan 5° - 20° LS. Data harian penangkapan tuna mata besar sepanjang tahun 2004 – 2007 diperoleh dari perusahaan penangkapan tuna yang berbasis di Benoa. Data-data tersebut digunakan untuk menghitung laju penangkapan tuna mata besar pada setiap koordinat, atau yang lebih dikenal dengan Hook rate (HR) (Merta et al., 2004).

Data satelit oseanografi yang digunakan meliputi data suhu permukaan laut (SPL), absolute dynamic topography (ADT), dan east component of eddy velocity field (u) dan north component of eddy velocity field (v). Data SPL diperoleh dari produk sensor MODIS Aqua dengan resolusi spasial 4 km dan resolusi temporal 1 hari. Sedangkan data ADT, u, dan v diperoleh dari produk satelit altimetri dengan resolusi spasial 0.25° dan resolusi temporal 7 hari. Sebelum dilakukan analisis, seluruh data satelit oseanografi diolah agar mempunyai resolusi spasial dan temporal yang sama. Untuk menghitung eddy kinetic energy (EKE) dilakukan perhitungan dengan persamaan :

   

2 2

2

/

1

u

v

EKE

(1)

(Fu and Cazenave, 2001; Robinson, 2004).

Sedangkan untuk menghitung kedalaman isothermal 15°C, dilakukan dengan menggunakan metode two layer model (Takano, 2009).

Sebanyak 198 profil argo float pada periode tahun 2005 digunakan dalam penelitian ini. Sebaran profil argo float tersebut ditampilkan dalam Gambar 1. Untuk menghitung

1

dan

2

pada setiap profil argo float digunakan simple

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(5)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

equation of the state yang terdapat dalam Knauss (1997). Untuk mendapatkan nilai ADT pada setiap profil argo float, maka setiap profil argo float dioverlay dengan data-data ADT. Hasil regresi linear antara

15h15 dan ADT diperoleh R2 sebesar 0.6774 (Grafik 1.). Untuk dapat memprediksi kedalaman lapisan isothermal 15°C (h15) diperlukan nilai

15yang diperoleh dari analisis data World Ocean Atlas 2005 (WOA05) (Locarnini et al., 2006) pada wilayah penelitian. Kemudian kedalaman lapisan isothermal 15°C (h15 ) sepanjang periode 2004 -2007 diprediksi dengan menggunakan data-data ADT .

Selanjutnya data tangkapan tuna mata besar dioverlay dengan data-data h15, EKE, dan SPL untuk mendapatkan nilai ketiga variabel tersebut pada setiap koordinat penangkapan tuna mata besar. Untuk kepentingan pemodelan, seluruh data dibagi menjadi dua bagian, satu bagian merupakan training data yang digunakan untuk membentuk model GAM, sedangkan bagian lainnya merupakan validation data yang digunakan untuk memvalidasi hasil pemodelan (Himmerman and Guissan, 2000)

Gambar 1. Sebaran argo float yang digunakan dalam penelitian. Sebanyak 198 profil data argo float sepanjang tahun 2005 digunakan untuk menghitung kedalaman lapisan isothermal 15°C.

(6)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011 R2 = 0.6774 N = 198 0.00 20.00 40.00 60.00 80.00 100.00 120.00 140.00 0.00 0.20 0.40 0.60 0.80 1.00 1.20 1.40 1.60 1.80 ε15 h15 A DT ( cm )

Grafik 1. Scatterplot antara ADT dengan variabel isothermal 15°C. Sebanyak 198 data ADT dan profil argo float diregresikan secara linear dan persamaan linear tersebut menghasilkan R2 = 0.6774.

Pemodelan GAM dilakukan dengan menggunakan distribusi gaussian dan fungsi identity link. Sebagai variabel respon adalah laju pancing tuna mata besar (HR), sedangkan sebagai variabel-variabel penjelasnya adalah variabel

15

h , EKE dan SPL. Pemilihan model GAM yang akan digunakan untuk memprediksi sebaran habitat tuna mata besar didasarkan pada nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) setiap model GAM yang terbentuk, nilai deviance setiap model GAM yang terbentuk, dan tingkat signifikansi variabel-variabel penjelas yang digunakan dalam pembentukan setiap model GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009).

4. Hasil dan Pembahasan

Dinamika sebaran daerah penangkapan tuna mata besar

Daerah penangkapan tuna mata besar di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali cenderung mempunyai sebaran yang tetap setiap bulannya sepanjang tahun (Gambar 2). Namun pada bulan-bulan periode musim barat, terlihat mempunyai titik-titik penangkapan yang lebih sedikit dibandingkan dengan pada bulan-bulan periode musim timur. Kondisi tersebut, salah satunya disebabkan oleh tingginya gelombang pada wilayah Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali pada musim barat. Siklon tropis yang umumnya terbentuk pada musim barat di wilayah tersebut, berpengaruh terhadap tingginya gelombang pada musim barat, sehingga jumlah

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(7)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

trip penangkapan tuna cenderung berkurang pada musim tersebut. Pola yang sama ditemukan pada rata-rata laju pancing tuna mata besar. Pada periode musim barat, laju pancing rata-rata tuna mata besar sepanjang periode tahun 2004 -2007 sebesar 0.39, sedangkan laju pancing rata-rata tuna mata besar pada periode musim timur pada periode yang sama sebesar 0.46. Analisis Ukolseja (1996) dengan menggunakan data tangkapan tuna mata besar pada tahun 1978 – 1990, menyebutkan puncak penangkapan tuna mata besar terjadi pada bulan November. Namun hasil penelitian ini menunjukkan puncak penangkapan tuna mata besar terjadi pada bulan Juli. Diduga, dengan seiring berjalannya waktu dan terjadinya perubahan kondisi oseanografi di perairan tersebut, menyebabkan perubahan pola penangkapan tuna mata besar, yang juga berakibat pada pergeseran puncak penangkapan tuna.

Secara umum, dalam menentukan daerah operasi penangkapan tuna mata besar, nelayan longline pada wilayah tersebut masih mengandalkan pada pengalaman dan kejadian penangkapan tuna mata besar pada tahun-tahun sebelumnya, tanpa bantuan informasi dinamika sebaran kondisi parameter-parameter oseanografi pada wilayah tersebut. Sehingga daerah penangkapan tuna mata besar pada wilayah tersebut cenderung tetap sepanjang tahunnya.

Gambar 2. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar per bulan di Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali.

(8)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Dinamika parameter SPL, EKE dan kedalaman isothermal 15°C

Suhu permukaan laut (SPL) bulanan pada wilayah Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali cenderung mempunyai pola yang berbeda antara musim barat dengan musim timur (Gambar 3.). Proses upwelling pada musim timur yang diinduksi oleh transport Ekman dan dipengaruhi oleh pergerakan angin monson timur, mengangkat kolom air dibawah lapisan permukaan yang kaya nutrien dan lebih rendah suhunya dibandingkan suhu permukaan laut ke lapisan permukaan laut (Hendiarti et al., 2004). Sebagai akibatnya lapisan permukaan laut pada periode upwelling tersebut akan lebih rendah suhunya dan lebih tinggi produktivitas primernya dibandingkan periode non-upwelling (Hendiarti et al., 2004; Qu et al., 2005; Susanto et al., 2006). Periode upwelling dimulai pada bulan Juni sampai dengan September (Hendiarti et al., 2004). Seperti terlihat pada Gambar 3., SPL di perairan Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali mengalami penurunan pada bulan Juni sampai dengan bulan September.

Overlay daerah penangkapan tuna mata besar dengan data SPL (Gambar 3.), menunjukkan penggunaan data-data SPL saja, tanpa dikombinasikan dengan data-data parameter oseanografi lainnya, tidak mencukupi untuk prediksi daerah penangkapan ikan pelagis di perairan Indonesia. Seperti terlihat pada Gambar 3., perairan Indonesia cenderung mempunyai sebaran SPL yang seragam dalam satu skala waktu (Hendiarti et al., 2004). Kondisi yang berbeda dapat ditemukan pada perairan subtropis, dimana SPL mempunyai degradasi yang dapat terlihat dengan jelas dari data-data satelit oseanografi. Sehingga SPL di perairan subtropis dapat menjadi salah satu parameter utama dalam identifikasi perubahan habitat ikan pelagis (Mugo et al., 2010).

Overlay daerah penangkapan tuna mata besar dengan data EKE (Gambar 4.) menunjukkan daerah penangkapan tuna mata besar justru tidak berada pada pusat-pusat pembentukan eddy. Diduga eddy yang terbentuk di perairan Samudra Hindia Selatan Jawa-Bali berkaitan erat dengan proses upwelling yang terjadi di perairan tersebut, karena pusat-pusat pembentukan eddy juga berada pada pusat upwelling di perairan tersebut. Proses eddy dan upwelling merupakan salah satu indikasi peningkatan kesuburan perairan di laut (Mann, 2006; Robinson, 2010), sehingga menjadi tempat berkumpulnya organisme produser dan konsumen tingkat pertama. Fiedler and Bernard (1987)

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(9)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

menemukan kondisi yang sama, dimana keberadaan tuna di pesisir California cenderung tidak berada pada pusat front, tetapi ditemukan pada batas pinggir front.

Kedalaman isothermal 15°C menunjukkan adanya dinamika kedalaman lapisan isothermal 15°C pada musim barat dan musim timur (Gambar 5.) . Ketika memasuki musim timur, lapisan isothermal 15°C cenderung lebih dalam dibandingkan ketika musim barat. Kedalaman lapisan isothermal 15°C sangat berkait erat dengan tinggi rendah permukaan laut. Akibat proses upwelling, lapisan permukaan laut cenderung lebih rendah dibandingkan pada saat periode non-upwelling (Susanto et al., 2001). Kondisi tersebut berdampak pada semakin dalamnya lapisan isothermal 15°C. Kondisi sebaliknya, pada saat terjadi mengalir Gelombang Kelvin dari pusat Samudra Hindia pada periode musim peralihan, menyebabkan peningkatan lapisan permukaan laut (Susanto et al., 2001; Qu et al., 2005). Overlay daerah penangkapan ikan tuna mata besar dengan data kedalaman isothermal 15°C menunjukkan adanya pola yang konsisten antara keduanya (Gambar 5.). Sebaran kedalaman isothermal 15°C diatas 200 m relatif mempunyai sebaran yang sama dengan daerah penangkapan tuna mata besar. Takano et al., (2009) menunjukkan hasil yang sama ketika melakukan analisis kedalaman isothermal 15°C dengan penangkapan tuna mata besar di Perairan Sebelah Barat Pasifik Utara.

(10)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Gambar 3. Komposit suhu permukaan laut (SPL) bulanan periode 2004 – 2007 yang dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan. Lingkaran-lingkaran bergaris hitam merupakan daerah-daerah penangkapan tuna mata besar.

(11)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Gambar 4. Komposit eddy kinetic energy (EKE) bulanan periode 2004 – 2007 yang dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan. Lingkaran-lingkaran bergaris hitam merupakan daerah-daerah penangkapan tuna mata besar.

(12)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Gambar 5. Komposit kedalaman isothermal 15 °C bulanan periode 2004 – 2007 yang dioverlay dengan data tangkapan tuna mata besar bulanan. Lingkaran-lingkaran bergaris hitam merupakan daerah-daerah penangkapan tuna mata besar.

(13)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Pembentukan model GAM

Eksplorasi terhadap data-data variabel penjelas, menunjukkan tidak adanya kolinearitas antar variabel tersebut (Gambar 6.). Nilai koefisien korelasi correlation (r) yang ditunjukkan pada grafik pairplot tersebut menunjukkan tidak adanya korelasi antar setiap variabel penjelas. Analisis dengan menggunakan Variance Influence Factors (VIF) seperti ditampilkan pada Tabel 1., menunjukkan seluruh nilai VIF setiap variabel penjelas berada dibawah tiga. Zuur et al.(2009) memberikan batasan nilai tiga untuk indikasi adanya korelasi setiap variabel penjelas.

Tabel 1. Nilai VIF setiap variabel penjelas

Variabel VIF

Kedalaman isothermal 15°C (m) Eddy Kinetic Energy (cm2/sec2) Suhu Permukaan Laut (°C)

1.027 1.033 1.036

Gambar 6. Analisis pairplot untuk seluruh variabel penjelas. Nilai 0.12 menunjukkan nilai koefisien korelasi antara variabel SPL dan kedalaman isothermal 15°C. Sedangkan grafik histogramnya menunjukkan sebaran normal dari setiap variabel.

(14)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Tabel 2. Pembentukan model GAM

No Persamaan GAM Variabel P-values AIC Deviance

(%)

1 HR ~ s(ISO15) ISO15 0.02 -263.63 0.73

2 HR ~ s(SQRTEKE) SQRTEKE 0.02 -261.92 0.38

3 HR ~ s(SPL) SPL <0.01 -281.83 1.61

4 HR ~ s(ISO15) + s(SQRTEKE) ISO15 SQRTEKE 0.02 0.02 -269.87 1.17 5 HR ~ s(ISO15) + s(SPL) ISO15 SPL <0.01 <0.01 -293.45 2.52 6 HR ~ s(SQRTEKE) + s(SPL) SQRTEKE SPL <0.01 <0.01 -292.91 2.34 7 HR ~ s(ISO15) + s(SQRTEKE) + s(SPL) ISO15 SQRTEKE SPL <0.01 <0.01 <0.01 -306.76 3.38

Seluruh model GAM yang terbentuk, ditampilkan pada Tabel 2. Sebanyak 2221 data digunakan dalam pembentukan model GAM tersebut. Berdasarkan hasil pembentukan GAM tersebut, diperoleh nilai Akaike’s Information Criteria (AIC) terkecil pada persamaan GAM nomor tujuh, yaitu sebesar -306.76. Sedangkan nilai deviance terbesar diperoleh pada persamaan GAM yang sama, yaitu sebesar 3.38%. Semakin kecil nilai AIC dan semakin besar nilai deviance suatu persamaan GAM, menunjukkan semakin akurat suatu persamaan GAM (Zuur et al., 2007; Zuur et al., 2009). Tingkat signifikansi setiap variabel penjelas yang digunakan untuk membentuk persamaan GAM nomor tujuh, menunjukkan ketiga variabel tersebut secara statistik adalah signifikan (Verzani, 2005). Sedangkan estimasi smoothing curve untuk setiap variabel penjelas dalam persamaan GAM nomor tujuh tersebut ditampilkan dalam Gambar 7. Garis tegas pada pada kurva tersebut menunjukkan garis smoothing pada setiap variabel, sedangkan dua garis putus-putus diantara garis tegas tersebut menunjukkan selang kepercayaan sebesar 95 %. Pengaruh positif variabel kedalaman isothermal 15°C berada pada kedalaman 200 – 250 m, sedangkan untuk suhu permukaan laut berada pada kisaran 26 – 28 ° C. Persamaan GAM nomor tujuh tersebut digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar pada periode tahun 2007.

(15)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Gambar 7. Estimasi smoothing curve untuk variabel kedalaman isothermal 15°C, eddy kinetic energy dan suhu permukaan laut.

Prediksi sebaran daerah penangkapan tuna mata besar

Data-data bulanan kedalaman isothermal 15° C, EKE dan SPL tahun 2007 digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar bulanan tahun 2007. Sebagai validasinya, digunakan data sebaran daerah penangkapan tuna mata besar bulanan tahun 2007. Prediksi tersebut ditampilkan dalam Gambar 8.

Sebaran daerah potensial penangkapan tuna yang diprediksi dengan persamaan GAM tersebut, menunjukkan adanya perubahan daerah potensial penangkapan tuna mata besar setiap bulannya (Gambar 8.). Pada periode musim barat, daerah potensial penangkapan tuna cenderung berlokasi diatas lintang 15° LS. Ketika memasuki musim timur, daerah potensial penangkapan tuna mata besar cenderung berada dibawah lintang 15° LS (Gambar 8.). Berdasarkan overlay data penangkapan tuna mata besar, terlihat hanya prediksi pada bulan-bulan periode musim timur saja yang sesuai dengan lokasi penangkapan tuna mata besar sebenarnya (Gambar 8.). Prediksi bulan September terlihat memiliki tingkat akurasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan prediksi bulan-bulan lainnya, karena hampir semua titik penangkapan tuna mata besar bulan September 2007 berada pada lokasi yang diprediksikan dengan model GAM. Diduga salah satu penyebab rendahnya akurasi prediksi dengan model GAM tersebut, adalah terkait dengan sedikitnya jumlah dataset yang digunakan, terutama dataset penangkapan tuna mata besar yang digunakan (N = 2221). Selain itu, nilai deviance yang dihasilkan dalam persamaan GAM tersebut hanya 3.38% (Tabel 2.), yang berarti hanya 3.38 % dari variabel respon yang dapat dijelaskan oleh seluruh variabel penjelas. Namun demikian, prediksi tersebut dapat memberikan sedikit gambaran tentang

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(16)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

dinamika sebaran daerah potensial penangkapan tuna di Samudra Hindia Selatan Jawa- Bali.

5. Kesimpulan

Berdasarkan seluruh analisis data, dapat disimpulkan dua hal, yaitu :

 Persamaan GAM yang digunakan untuk memprediksi sebaran daerah potensial penangkapan tuna, adalah persamaan GAM yang merupakan kombinasi dari suhu permukaan laut, kedalaman isothermal 15°C dan eddy kinetic energy.

 Prediksi pada musim timur mempunyai akurasi yang lebih tinggi, dibandingkan prediksi pada musim barat.

(17)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Gambar 8. Prediksi bulanan sebaran daerah potensial penangkapan tuna mata besar. Lingkaran-lingkaran hitam merupakan titik-titik penangkapan ikan tuna mata besar bulanan periode tahun 2007.

(18)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

DAFTAR PUSTAKA

Brill, R.W. 1994. A Review of Temperature and Oxygen Tolerance Studies of Tunas Pertinent to Fisheries Oceanography, Movement Models and Stock Assesments. Fisheries Oceanography 3 (3) : 204 – 216.

Davis, T.L.O, Farley, J.H. 2001. Size Distribution of Southern Bluefin Tuna (Thunnus maccoyii) by Depth on Their Spawning Ground. Fisheries Bulletin 99 : 381 – 386

Fiedler, P.C. Bernard., H.J. 1987. Tuna Aggregation and Feeding Near Fronts Observed in Satellite Imagery. Continental Shelf Research 7(8) : 871 – 881.

Fu,L.L and Cazenave, A. 2001. Satellite Altimetry and Earth Sciences: A Handbook of Techniques and Applications. International Geophysics Series . Vol 69. Academic Press.

Hanamoto, E. 1987. Effect of Oceanographic Environment on Bigeye Tuna Distribution. Bulletin Japan Society of Fisheries Oceanography 51(3) : 203 – 216.

Hendiarti, N., Siegel, H., and Ohde, T. 2004. Investigation of Different Coastal Processes in Indonesian Waters using SeaWiFS Data. Deep Sea Research Part II: Tropical Studies in Oceanography, 51:85-97.

Hendiarti, N., Suwarso., Aldrian, E., Amri, K., Andiastuti, R., Sachoemar, SE., and Wahyono, IB. 2005. Pelagic Fish Catch Around Java. Oceanography ,18(4):112-123.

Knauss, J.A.. 1997. Introduction to Physical Oceanography, Second Edition.Waveland Press, Inc.

Liu, Cho-Teng, Ching-Hsi Nan, Chung-Ru Ho, Nan-Jung Kuo, Ming-Kuang Hsu,and Ruo-Shan Tseng. 2003. Application of satellite remote sensing on the tuna fishery of Eastern Tropical Pacific. International Association of Geodesy Symposia, 126:175-182

Locarnini, R.A., A. V. Mishonov, J.I. Antonov, T.P. Boyer, and H.E. Garcia. 2006. Temperature. Vol 1, World Ocean Atlas 2005. S. Levitus (eds.) NOAA Atlas NESDIS 61.

Longhurst, A.R. 2007. Ecological Geography of the Sea. Second Edition. Elsevier. Mann, K.H., and Lazier. J.R.N. 2006. Dynamic of Marine Ecosystems, third

edition. Blackwell Publishing

McClain, C.R. 2009. A Decade of Satellite Ocean Color Observations. Annual Review of Marine Science. 1 : 19 -24.

Merta, G.S., and Iskandar, B., and Bahar, S. 2004. Musim Penangkapan Ikan Pelagis Besar dalam Musim Penangkapan Ikan di Indonesia. BRPL – BRKP.

Mugo, R., Saitoh, S., Nihira, A., and Kuroyama, T. 2010. Habitat Characteristisc of Skipjack Tuna (Katsuwonus pelamis) in The Western North Pacific : A Remote Sensing Perspective. Fisheries Oceanography 19(5) : 382 – 396.

Balai Penelitian dan Observasi Laut

(19)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Qu, T., Du, Y. Strachan, J., Meyers, G., and Slingo, J. 2005. Sea Surface Temperature and its Variability in The Indonesian Region. Oceanography 18 : 50 – 61.

R Development Core Team. 2008. R : A Language and environment for statistical computing. R Foundation for Statistical Computing, Vienna, Austria. Available from: URL:http://www.R-project.org.

Robinson, I. 2004. Measuring Ocean from the Space, The Principles and Methods of Satellite Oceanography. Springer-Praxis.

Robinson, I. 2010. Discovering The Ocean from Space. The Unique Applications of Satellite Oceanography. Springer-Praxis.

Sartimbul, A. Nakata, H, Rohadi, E. Yusuf, B. Kadarisman, H.P. 2010. Variations in Chlorophyll-a Concentration and The Impact on Sardinella lemuru Catches in Bali Strait, Indonesia. Progress in Oceanography 87 : 168 -174.

Schiermeier, Q. 2007. Observing the ocean from the within. Nature, 450:780-781. Sprintal, J., Potemra, T.J., Hautala, S.L., Bray, N.A., and Pandoe, W.W. 2003. Temperature and salinity variability in the exit passages of the Indonesian Throughflow. Deep-Sea Research II ,50:2183-2204.

Susanto, R.D., Gordon, A.L., and Zheng, Q. 2001. Upwelling along the coast of Java and Sumatra and its relation to ENSO. Geophysical Research Letters 29 : 1599 – 1602.

Susanto, R.D., and Marra, J. 2005. Effect of the 1997/98 El Nino on Cholorophyll a Varaibility Along the Southern Coast of Java and Sumatra. Journal of Oceanograph, 18:124-127.

Susanto, R.D, Moore II, T.S, Marra, J. 2006. Ocean Color Variability in The Indonesia Seas during SeaWiFS Era. Geochemistry, Geophysics and Geosystems 7 (5). doi: 10.029/2005GC001009.

Takano, A. Yamazaki, H. Nagai, T. Honda, O. 2009. A Method to Estimate Three-Dimensiona; Thermal Structure from Satellite Altimetry Data. Journal of Atmospheric and Oceanic Technology Vol 26. doi : 10.1175/2009JTECH0669.1

Tomczak, M., and Godfrey, M.J. 2001. Regional Oceanography : An Introduction. Available on http://www.es.flinders.edu.au/mattom/regoc/pdfversion.html Ukolseja, Y. 1996. Monthly Average Distribution of Fishing Effort and Catch per

Unit Effort for Yellowfin Tuna and Bigeye Tuna in Indonesian Waters of The Indian Ocean, 1978 – 1990. Expert Consultation on Indian Ocean Tunas 6. Available on http://iotc.org.

Valavanis, V.D. Pierce, G.J. Zuur, A.F. Palialexis, A..Saveliev, A..Katara, I..Wang, J.. 2008. Modelling of Essential Fish Habitat Based on Remote Sensing, Spatial Analysis and GIS. Hydrobiologia 612 : 5 – 20.

Verzani, J. 2005. Using R for Introductory Statistics. Chapman and Hall/CRC Press.

(20)

Dipresentasikan pada Seminar Kelautan Internasional di Universitas Udayana, 9 Juni 2011

Wijffels, S.E., Meyers, G., and Godfrey, J.S. 2008. A 20-Yr Avarage of the Indonesia Troughflow: Regional Currents and Interbasin Exchange. Journal of Physical Oceanography, 38:1965-1978.

Wood, S.N. 2006. Generalized Additive Model, An Introduction with R. Chapman and Hall/CRC Press.

Zainuddin, M., Saitoh, K., and Saitoh, S. 2008 Albacore (Thunnus alalunga) fishing ground in relation to oceanographic conditions in the western North Pacific Ocean using remotely sensed satellite data. Fisheries Oceanography, 17:61-73.

Zagaglia, C.R., Lorenzzetti, J.A., and Stech, J.S. 2004. Remote sensing data and longline catches of yellowfin tuna (Thunnus albacares) in the equatorial Atlantic. Remote Sensing of Environment, 93:267-281.

Zuur, A.F., Ieno, E.N., and Smith, G.M. 2007. Analysing Ecological Data. Springer.

Zuur, A.F., Ieno, E.N., Walker, N.J., Saveliev, A.A., and Smith, G.M. 2009. Mixed Effect Models and Extension in Ecology with R. Springer.

Zuur, A.F. Ieno, E.N.Elphick, C.S. 2010. A Protocol for Data Exploration to Avoid Common Statistical Problems. Methods in Ecology and Evolution 2010(1): 3 – 14.

Gambar

Gambar 1.  Sebaran argo float  yang  digunakan  dalam  penelitian. Sebanyak  198  profil  data  argo  float  sepanjang  tahun  2005  digunakan  untuk  menghitung kedalaman lapisan isothermal 15°C
Grafik 1. Scatterplot antara ADT dengan variabel isothermal 15°C. Sebanyak 198  data  ADT  dan  profil  argo  float  diregresikan  secara  linear  dan  persamaan linear tersebut menghasilkan R 2  = 0.6774
Gambar 2. Sebaran daerah penangkapan tuna mata besar per bulan di Samudra  Hindia Selatan Jawa-Bali
Gambar 3. Komposit suhu permukaan laut (SPL)  bulanan periode 2004 – 2007 yang dioverlay dengan data tangkapan tuna mata  besar bulanan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Dalam melaksanakan pembelajaran Nasionalisme dengan penerapan metode Contextual Teaching and Learning (CTL) pada Diklat Prajabatan, kemampuan fasilitator dalam

Berdasarkan hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem kendali FLC-PI lebih baik dari pada sistem kendali PI linear dengan mampu menghasilkan tanggapan transisi

mengontrak mata kuliah Pengetahuan Lingkungan pada tahun ajaran 2000/2001 sebanyak dua kelas. Pembelajaran Pengetahuan Lingkungan yang terjadi selama ini

Variabel yang dikumpulkan meliputi karakteristik puskesmas, kondisi masyarakat di wilayah kerja puskesmas, tenaga bidan, ketersediaan dana untuk pelayanan KIA,

Pancamas Pipasakti dimana lingkungan kerja non fisik dinilai buruk yang menyebabkan kinerja karyawan tidak tercapai, sedangkan rekrutmen yang dinilai sudah

Universiti Teknologi MARA (UiTM) telah terlibat dalam konsep e-Pembelajaran seawal tahun 2000 secara bebas dan berasingan dengan inisiatif dalam mengenal pasti

Memberikan dan menunggui siswa kelas XI IPA 3 dalam mengerjakan soal Fisika dikarenakan guru yang bersangkutan sedang diklat... Didapatkan sebanyak 11 peserta didik yang

Keterbatasan penelitian ini adalah tidak dilakukan uji kandungan kafein dan kafestol dalam bubuk kopi robusta sehingga kadar zat yang mempengaruhi kadar trigliserida