• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROPOSISI MANUNGSA MUNG SADREMA NGLAKONI DALAM BUKU GENDERANG PERANG DI PADANG KURUSETRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROPOSISI MANUNGSA MUNG SADREMA NGLAKONI DALAM BUKU GENDERANG PERANG DI PADANG KURUSETRA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

1 Proposisi Manungsa ..., Devinta Anindia, FIB UI, 2013

(2)

2 Proposisi Manungsa ..., Devinta Anindia, FIB UI, 2013

(3)

3 Proposisi Manungsa ..., Devinta Anindia, FIB UI, 2013

(4)

4 Proposisi Manungsa ..., Devinta Anindia, FIB UI, 2013

(5)

5

PROPOSISI MANUNGSA MUNG SADREMA NGLAKONI

DALAM BUKU ‘GENDERANG PERANG DI PADANG KURUSETRA’

Devinta Anindia, Darmoko

Program Studi Jawa, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia, Depok 16424, Indonesia

devinta.anindia@ui.ac.id

Abstrak

Proposisi mengajarkan manusia Jawa untuk menjadi manusia yang utama, karena di dalam makna sebuah proposisi mengandung kebijaksanaan. Proposisi manungsa mung sadrema nglakoni (manusia hanya sekedar menjalani) mengajarkan sebuah kebijaksanaan pada manusia untuk selalu percaya akan takdir mereka. Tujuan penelitian ini untuk menunjukkan proposisi manungsa mung sadrema nglakoni serta dharma dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analitis dari buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kewajiban atau dharma sangat berpengaruh pada hidup manusia, sebab orang yang mengerjakan dharma sesuai dengan kodratnya akan mendapatkan ketenangan lahir maupun batin.

PROPOSITION MANUNGSA MUNG SADREMA NGLAKONI ON THE BOOK ‘GENDERANG PERANG DI PADANG KURUSETRA’

Abstract

Proposition teaches Javanese people to be the most superior human, the meaning of proposition is containing wisdom. Proposition manungsa mung sadrema nglakoni (people merely undergo) teaches about wisdom for Javanese people for always believe in their destiny. This research for explain about proposition manungsa mung sadrema nglakoni and dharma on book „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. This research using method of descriptive analytical from book „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. Conclusion of this research is duty or dharma is very influential in people‟s lives, because the people who work in accordance with the dharma will get harmony of their spiritual.

Keywords: bharatayudha; dharma; proposition

1. Pendahuluan

Budaya Jawa mengenal sebuah istilah adiluhung untuk menggambarkan budayanya. Pengertian dari budaya adiluhung adalah budaya yang mengajarkan manusia untuk selalu berbuat baik dan tentu saja mengajarkan untuk berbudi luhur. Di dalam kebudayaan tersebut, manusia Jawa pada khususnya diajarkan norma-norma, nilai-nilai serta pranata yang berlaku

(6)

6

dalam adat Jawa. Nilai-nilai tersebut sudah ada sejak zaman nenek moyang dan masih dipertahankan serta diajarkan pada anak-anak mereka. Kebudayaan yang adiluhung tersebut tentu saja dapat membuat sebuah bangsa menjadi adiluhung pula jika mereka memaknainya dengan benar serta bijaksana.

Proposisi dalam hal ini, mengajarkan budaya yang adiluhung tersebut dalam bentuk susunan dari kata-kata ataupun kalimat. Kalimat dalam proposisi selalu mengajarkan perbuatan baik untuk manusia dan diharapkan dapat menjadi pedoman hidup manusia. Proposisi dibuat dan dikenal sejak masa dahulu dan diharapkan dapat terus dilestarikan bahkan diterapkan dalam kehidupan masa kini. Karena makna yang terkandung dalam sebuah proposisi dapat membuat manusia memiliki budi yang luhur.

Kebudayaan Jawa mengajarkan ada tiga tingkatan manusia, tingkatan tersebut untuk menggambarkan keluhuran budi manusia. Tiga tingkatan tersebut yaitu: nistha „hina/ tercela‟, madya „tengah‟ dan terakhir adalah utama „utama/ luhur‟. Manusia hanya tinggal memilih ingin berada di tingkatan yang mana, walaupun tingkatan yang utama adalah tingkatan yang menuju kesempurnaan.

Serat Paramayoga menuliskan mengenai nistha, madya dan juga utama. Berikut ini merupakan sebagian isi dari Serat Paramayoga:

Pan wus sun warah ing ngarsi, kang nistha madya utama, sayekti ana sangkane, kang nistha iku tan lyan, saking murka melikan, ingkang madya purwanipun saking wignyeng pamatara. Deduga lawan prayoga, ingkang utama witira, saking santosa budine, carita kang dadi tepa, tinulad kotamanya, iku ing pangarahipun, haywa kongsi tibeng nistha.

Karana panggawe nistha, dadi kakembanging rusak, dene madya wekasanne, dadi kembanging utama, kang utama temahan, dadi kembanging aluhur, kamulyaning sangkan paran. (Karyarujita dan Sastranaryatmo, 1981: 546)

„Telah aku andarkan di depan, (bahwa) yang nistha madya utama, sungguh ada asal mulanya, nistha itu tak lain, dari sifat murka ingin memiliki, yang madya berawal dari kepandaian dalam memperhitungkan‟

„Perhitungan dan kepantasan, yang utama berawal dari kekokohan watak, cerita yang menjadi ukuran yang diteladani adalah keutamaan, itulah yang menjadi tujuannya, jangan sampai jatuh ke nistha‟

(7)

7

„Karena perbuatan nistha, menjadi (awal) berkembangnya kerusakan, sedangkan madya pada akhirnya menjadi (awal) berkembangnya utama, yang utama pada akhirnya, menjadi (awal) berkembangnya keluhuran, keluhuran sangkan paran‟1

Bahasan mengenai proposisi jika dihubungkan dengan nistha, madya dan juga utama ialah, melalui proposisi, manusia dituntun untuk bisa menjadi yang utama. Salah satu contoh proposisi yang mengajarkan mengenai keutamaan yaitu manungsa mung sadrema nglakoni „manusia hanya sekedar menjalani‟. Proposisi tersebut mengajarkan manusia untuk selalu menerima takdirnya, karena setiap manusia di dunia ini pasti sudah memiliki takdir masing-masing. Takdir tersebut bahkan sudah digariskan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa semenjak manusia berada di dalam kandungan. Takdir tersebut meliputi kapan manusia akan dilahirkan, kapan manusia akan meninggal, kapan manusia akan mendapatkan jodoh dan rezeki, dan lain sebagainya.

Manusia hanya bisa menerima dan menjalani takdir yang sudah diberikan oleh Tuhan Yang Maha Kuasa atau dalam bahasa Jawa disebut dengan manugsa mung sadrema nglakoni. Takdir manusia tentu saja berbeda dengan nasib yang dialami oleh manusia, karena nasib masih dapat diubah oleh manusia dengan cara berusaha dengan sungguh-sungguh.

Proposisi manungsa mung sadrema nglakoni tersirat dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟, terutama dalam aspek penokohan. Bagian pertama buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ karya Karsono H. Saputro tersebut menceritakan mengenai sesepuh Pandawa yang bernama Maharaja Hastimurti yang mendirikan sebuah kerajaan bernama Hastina. Kisah pun terus berlanjut hingga Pandu dan juga Drestarasta yang akan mempersunting tiga putri boyongan hasil sayembara yang diikuti oleh Pandu. Pandu memperistri Dewi Kunthi dan juga Dewi Madri, sedangkan Drestarasta memilih Dewi Gandhari untuk menjadi istrinya. Rupanya hal tersebut membuat Dewi Gandhari marah karena ia diperistri oleh Drestarasta yang buta dan menaruh kecemburuan pada Dewi Kunthi dan juga Dewi Madri. Dewi Gandhari yang telah tersulut amarah pun menaruh dendam kesumat pada Pandu dan juga kedua istrinya, akibatnya ia bersumpah jika kelak keturunannya akan memusuhi keturunan Pandu.

Akibat dari dendam Dewi Gandhari, maka keturunannya sejak kecil sudah membenci Pandawa, bahkan mereka selalu berusaha untuk mengambil hak-hak para Pandawa. Sikap dan perlakuan buruk Kurawa dapat diterima dengan lapang dada oleh para Pandawa, namun Kurawa tidak pernah mempedulikan kebaikan para Pandawa. Kurawa terus saja berusaha

1

F.X. Rahyono, „Kearifan Budaya Dalam Kata‟, hlm 36

(8)

8

merebut apa yang menjadi milik Pandawa, hingga akhirnya bharatayudha tidak terelakkan lagi. Bharatayudha dianggap sebagai jalan terakhir dari pemecahan masalah, karena jalan damai yang telah ditempuh oleh Pandawa tidak dipedulikan Kurawa. Bharatayudha dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ disebut-sebut sebagai sebuah dharma.

Dharma sangat lekat dalam cerita Mahabharata, dalam hal ini khususnya buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ yang tentu saja menceritakan mengenai kisah Mahabharata. Banyak percakapan antar tokoh di dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ yang mengajarkan manusia jika harus selalu berbuat dharma di dalam hidupnya dan jangan sampai berbuat adharma (perbuatan buruk). Dharma merupakan ajaran yang paling utama di dalam agama Hindu karena jika seorang manusia menjalankan dharma sesuai dengan yang telah ditetapkan oleh para Dewa atau Tuhan maka ia akan terbebas dari penderitaan atau moksa. Di bawah ini akan dijelaskan sedikit mengenai pentingnya dharma dalam ajaran Hindu.

Dharanad dharma ityahur, dharmena widhrtah prajah (santiparwa 109:11)

Dharma dikatakan datang dari dharma (yang berarti memangku/mengatur), dengan dharma semua makhluk diatur (dipelihara).

Lokasamgrahasamyuktam widatrawihitam pura, sukmadharmathaniyatam satam caritam uttamam (santiparwa 259:26)

Kesentosaan dan kesejahteraan umat manusia datang dari dharma, laksana dan budi pekerti yang luhur untuk kesejahteraan manusia itulah dharma dikatakan utama.

Agama Budha pun mengajarkan dharma dan dianggap sebagai aspek penting di dalam agama Budha. Dharmakaya di dalam ajaran Budha Mahayana dianggap sebagai realitas tertinggi, yang meliputi segalanya, hakikat pengetahuan dan belas kasih yang absolut.2 Dharmakaya merupakan kebenaran yang permanen, tidak berbeda dan dapat dipahami.

Dharmakaya juga dianggap sebagai sesuatu yang memanifestasikan kasih sayang dan tindakan, serta dapat menyelamatkan makhluk-makhluk hidup dengan cara mengajarkan mereka. Dharmakaya dalam kehidupan ini juga mengajarkan dan memberikan pencerahan kepada manusia terutama kepada pemeluk ajaran Budha.

Pembahasan ini akan menjelaskan mengenai proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟, penerimaan takdir Pandawa dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. Dan pembahasana terakhir mengenai

2

Beatrice Lane Suzuki, „Agama Buddha Mahayana‟, hlm 48

(9)

9

bagaimana bharatayudha dapat disebut sebagai sebuah dharma? Padahal dalam perang tersebut justru mengorbankan banyak sanak saudara.

Pembahasan akan menggunakan pendekatan deskriptif analitis dengan menggunakan metode kepustakaan. Pembahasan mengutamakan pengaruh sebuah karya sastra dan moral atau nilai yang dituliskan dalam proposisi manungsa mung sadrema nglakoni. Karya sastra yang digunakan adalah sebuah buku yang berjudul „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ karya Karsono H. Saputro. Buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ tersebut menceritakan mengenai kehidupan para Pandawa dan para Kurawa pada khususnya hingga mencapai perang bharatayudha.

1. Klasifikasi Data

Penulis melakukan pembahasan mengenai nilai-nilai yang terkandung di dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ melalui beberapa data yang dapat menunjang. Latar belakang pengklasifikasian data ini untuk menjelaskan beberapa nilai-nilai moral yang terdapat di dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟. Nilai-nilai tersebut yaitu nilai keyakinan serta nilai pencapaian.

Penulis akan menjabarkan nilai-nilai tersebut dengan beberapa landasan pemikiran yang berhubungan erat dengan kedua nilai tersebut.

1) Nilai Keyakinan

Orang Jawa meyakini bahwa setiap manusia diberikan kewajiban yang harus dipenuhi dalam kehidupannya. Setiap manusia di dunia ini sudah memiliki kewajibannya masing-masing dari semenjak mereka masih berada di dalam kandungan. Kewajiban hidup manusia tersebut dapat disebut sebagai dharma.

Hal tersebut tentu saja diyakini sebagai hal yang wajib sesuai dengan dharma yang dimiliki masing-masing individu. Bila ada seseorang yang tidak menjalankan dharma sesuai dengan kodratnya, maka ia akan mendapatkan hukuman dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Demikian itu tentu saja memiliki keterkaitan dengan manungsa mung sadrema nglakoni dan proposisi sejenis yaitu narima ing pandum.

Memenuhi kewajiban hidup sangatlah penting karena dengan demikian akan terjalin suatu keselarasan dalam hidup. Ketenangan hidup manusia dan ridho dari Yang Maha Kuasa akan diraih jika ia melaksanakan apa yang sudah menjadi kewajibannya.

Setiap manusia dilahirkan untuk menjalani apa yang sudah menjadi ketentuan dari Sang Maha Kuasa dan manusia tidak berhak untuk mengubah takdir yang telah ditetapkan. Dalam istilah Jawa disebut manungsa mung sadrema nglakoni (Rahyono, 2009: 109)

(10)

10

menjelaskan agar manusia memperoleh pengetahuan dari apa yang telah dijalankannya dan juga menerima kodratnya.

Seseorang yang memaknai proposisi tersebut secara semantis memang memiliki pengertian jika manusia hendaknya menerima dan menjalankan apa yang telah Tuhan berikan kepada makhluknya. Tetapi tentu saja proposisi manungsa mung sadrema nglakoni bukan bertujuan untuk menciptakan manusia pasif. Proposisi tersebut menunjukkan pada manusia jika manusia hanya perlu menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya tanpa mengeluh dan terus berusaha meraih yang terbaik. Manusia pada dasarnya telah dibekali oleh Tuhan berbagai kelebihan, seperti halnya dengan perasaan dan juga pikiran. Manusia dapat berpikir sehingga tidak hanya menggunakan perasaannya saja, begitupun sebaliknya. Perasaan dan pikiran tersebut berguna untuk menunjang kehidupan manusia, untuk membuat manusia mampu memenuhi kehidupannya walaupun berada dalam keterbatasan. Pikiran dan perasaan juga berfungsi untuk mengontrol kehidupan manusia.

Manusia yang bersikap pasif setelah mendengar atau mengetahui proposisi manungsa mung sadrema nglakoni berarti tidak mengetahui makna kearifan dibalik proposisi tersebut. Manusia tidak hanya dituntut untuk pasrah akan kehidupannya namun manusia harus menerima apa yang sudah diberikan kepadanya, itulah inti dari proposisi manungsa mung sadrema nglakoni.

Pandawa dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ adalah sebagian dari orang-orang yang percaya pada proposisi manungsa mung sadrema nglakoni. Mereka percaya jika manusia hanya tinggal menjalankan apa yang telah dititahkan oleh Dewa. Bahkan mereka pun mempercayai jika semua perbuatan buruk yang dilakukan oleh para Kurawa merupakan kehendak Dewa. Namun, Pandawa bukanlah makhluk yang pasif menerima itu semua. Pandawa tetaplah berjuang mencari kebenaran dan juga keadilan karena mereka tidak hanya memaknai proposisi manungsa mung sadrema nglakoni secara semantis.

2) Nilai Pencapaian

Nilai pencapaian ialah nilai yang ingin ataupun berhasil dicapai oleh seorang manusia di dalam hidupnya. Dalam melaksanakan kewajiban di dalam hidup, pencapaian yang diinginkan oleh manusia adalah keselarasan antara mikrokosmos (jagad cilik) dan makrokosmos (jagad gedhe) yang menghiasi kehidupan manusia.

Pencapaian manusia antara lain adalah mendapatkan ridho dari Yang Maha Kuasa sehingga meraih kehidupan yang tentram. Selain itu juga terbebas dari karma yang mungkin akan mereka dapatkan jika mereka tidak melaksanakan kewajibannya. Pencapaian manusia

(11)

11

Jawa juga dapat dilihat pada konsep sangkan paran, seorang hamba seharusnya dapat bersatu dengan Tuhannya. Suseno (1984: 117) menjelaskan melalui kesatuan itu manusia mencapai apa yang oleh orang Jawa disebut dengan kawruh sangkan paraning dumadi: pengetahuan (kawruh), tentang asal (sangkan), tujuan (paran) dan segala apa yang diciptakan (dumadi).

Sangkan paran hendaknya dijadikan sebagai satu-satunya tujuan manusia hidup di dunia karena sangkan paran merupakan inti dari spekulasi mistik Jawa.3 Makna sangkan paran yaitu untuk mencapai keselarasan batin sehingga manusia tahu harus bagaimana dalam bertindak yang benar. Sangkan paran mengajarkan manusia untuk memiliki keharmonisan dengan lahir dan batinnya.

Manungsa mung sadrema nglakoni yang mengajarkan manusia untuk selalu menerima yang diberikan oleh Tuhan pun pada akhirnya bertujuan menciptakan manusia yang memiliki keharmonisan dalam hidupnya. Menerima yang diberikan Tuhan dengan hati yang ikhlas tentu saja akan mencapai keselarasan di dalam batin dan juga raganya. Dengan terus menerima pemberian Tuhan, maka manusia akan mencapai kasampurnaning urip dan tentu saja dapat menjadi manusia yang utama.

2. Pembahasan

1) Manungsa mung sadrema nglakoni

Manungsa mung sadrema nglakoni, proposisi tersebut mengandung pengertian jika manusia sebagai makhluk Tuhan hanya bisa pasrah menerima dan menjalani. Manusia hendaknya memasrahkan dirinya pada kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa. Sejak awal, manusia terlahir ke dunia telah memiliki takdirnya sendiri, karena itu tidak ada satupun yang dapat mengubah takdir yang telah ditetapkan Tuhan. Manusia walaupun ditakdirkan sebagai makhluk yang paling tinggi derajatnya tetap tidak memiliki kuasa untuk mengatur alam semesta sesuai keinginannya.

Proposisi yang memiliki makna hampir serupa dengan manungsa mung sadrema nglakoni yaitu proposisi narima ing pandum „menerima apa yang telah menjadi bagian‟. Kedua proposisi tersebut jika hanya dimaknai secara semantis pastilah menyiratkan sebuah kepasifan dalam menjalani kehidupan. Tetapi dibalik makna kepasifan tersebut tersirat pula makna keaktifan dalam menjalani kehidupan. Manusia memang hanya menjalani hidupnya saja tetapi untuk itu manusia harus tetap berjuang dan hasil dari perjuangannya haruslah disyukuri.

3

Franz Magnis-Suseno SJ, „Etika Jawa‟, hlm 117

(12)

12

Manusia memang makhluk yang memiliki banyak keterbatasan, tetapi manusia telah dikarunia pikiran dan juga perasaan untuk menjalani kehidupan. Pikiran untuk melengkapi perasaan, begitu pula sebaliknya, perasaan untuk melengkapi pikiran. Melalui pikiran dan juga perasaan, manusia dapat mengatur kehidupannya. Dalam pengertian, melalui pikiran pastilah manusia dapat mengetahui apa yang harus ia capai dalam hidupnya. Melalui perasaan, manusia dapat merasakan hal-hal yang dirasanya pantas ataupun tidak pantas untuk dijalani atau diperbuat.

Manusia hendaknya bisa mengambil makna kearifan dari proposisi manungsa mung sadrema nglakoni. Makna kearifan yang terkandung di dalam proposisi tersebut yaitu sebuah kesadaran pada kodrat hidup manusia yang dikaruniai pikiran dan perasaan untuk terus berbuat (nglakoni) dalam dunia kehidupan (Rahyono, 2009: 110). Dalam Serat Wulangreh dibahas mengenai pemaknaan hidup yang berkaitan dengan proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dan narima ing pandum.

Aja na kurang panrima, ing pepesthening sarira, yen saking Hyang mahamulya, nitahken ing badanira, lawan dipunawas uga, asor unggul waras lara, tanapi begja cilaka, urip kalawan antaka

Iku saka ing Hyang Suksma, miwah ta ing umurira, kang cendhak lawan kang dawa, wus pinanci mring Hyang Suksma, druhaka yen maidoa, miwah ora anarima, ing lokhil-makfuling angga, tulisane pan wus ana

„Janganlah ada yang kurang menerima pada takdirmu, apabila itu berasal dari Yang Mahamulia, yang menciptakan dirimu. Ketahuilah pula, hina mulia sehat dan sakit, serta mujur celaka, hidup dan mati.

Itu semua berasal dari Hyang Suksma, demikian pula umurmu, yang pendek ataupun panjang sudah ditetapkan oleh Hyang Suksma, durhaka jika tidak mempercayai, serta tidak menerimanya, suratan itu sudah ada dalam lauhil mahfudz.‟

Serat Wulangreh tersebut sudah cukup menjelaskan jika manusia harus menerima takdirnya dengan hati yang ikhlas. Jika ada manusia yang mengingkari takdirnya, maka ia termasuk durhaka kepada Tuhan. Manusia yang durhaka kepada Tuhan tentu saja masuk ke dalam golongan manusia yang nistha dan tidak akan mencapai kasampurnaning urip.

Salah satu contoh penerapan proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ yaitu ketika Pandawa berusaha menerima kehendak Dewa dengan menjalani bharatayudha.

2) Bharatayudha sebagai kehendak Dewa

(13)

13

Manusia dalam hidupnya haruslah selalu berbuat baik, tidak terkecuali Pandawa. Pandawa selalu berusaha menanam kebaikan namun Kurawa justru sebaliknya, mereka selalu menanam keburukan. Manusia harus bisa mengalahkan keburukan dalam dirinya, karena yang demikian itu bertujuan untuk meraih kasampurnaning urip. Pandawa berusaha untuk menjadi manusia yang utama dan tujuan mereka adalah sangkan paran, maka dari itu mereka selalu menjalankan dharmanya. Pandawa juga meyakini kehendak para Dewa, mereka selalu menerima apa yang telah diberikan oleh Dewa. Mereka percaya jika Dewa yang mengatur segala hal yang terjadi di bumi, tidak terkecuali dengan terjadinya peperangan. Bharatayudha sedari awal memang sudah dikehendaki oleh para Dewa untuk memberantas keangkaramurkaan di dunia.

Pandawa sebagai manusia telah narima ing pandum, mereka menerima apa yang telah menjadi bagian mereka dan bersyukur pada apa yang telah menjadi bagiannya. Tetapi, proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dan juga proposisi narima ing pandum bukan hanya sebuah proposisi yang mengajarkan manusia untuk terus menerima perlakuan buruk apa saja yang dilakukan oleh orang lain. Manusia memang harus berlaku baik terhadap orang yang telah berbuat jahat tetapi tetap tidak bisa berdiam diri jika terus diperlakukan tidak adil. Pandawa menerima perlakuan buruk Kurawa namun mereka berkeyakinan jika suatu hari nanti para Kurawa akan mendapat balasan dari para Dewa. Pandawa juga tetap berjuang untuk mencari keadilan serta kebenaran, karena mereka tidak hanya memaknai proposisi manungsa mung sadrema nglakoni secara semantis.

Seperti yang telah dikatakan sebelumnya, Pandawa sangat percaya jika bharatayudha merupakan kehendak Dewa dan tidak ada satupun yang dapat menghalangi terjadinya hal tersebut. Pada saat Kresna yang menjadi duta perdamaian untuk Pandawa marah dan bertriwikrama karena merasa telah dilecehkan oleh Duryudana dan saudara-saudaranya. Durna, Bisma serta orang-orang bijak lainnya berusaha meredamkan amarah Kresna sebab jika Kresna marah maka tidak akan terjadi bharatayudha. Hal tersebut tentu saja berhubungan dengan proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dan narima ing pandum. Pandawa menerima apa yang telah dikodratkan kepada mereka begitu juga dengan Durna dan Bisma yang mempercayai bahwa bharatayudha harus terjadi, karena jika tidak terjadi maka mereka menyalahi apa yang telah ditakdirkan oleh Dewa.

3) Bharatayudha adalah dharma dalam buku ‘Genderang Perang di Padang Kurusetra’

(14)

14

Dharma berasal dari bahasa Sansekerta yaitu dhr yang memiliki arti menjunjung, memangku, mengatur, memelihara dan menuntun. Menurut bahasa Jawa Kuna, dharma memiliki pengertian aturan hidup dan tingkah laku, ditetapkan oleh aturan dewa dan diturunkan dalam hukum agama atau kebajikan dan kebaikan.4

Pandawa terlahir sebagai ksatria dan juga sebagai raja. Terlahir sebagai ksatria berarti mereka telah ditakdirkan untuk membela dan berbakti kepada negara. Pandawa lahir sebagai raja yang berarti mereka harus memimpin negara dengan sebaik-baiknya sehingga masyarakat dapat hidup makmur dan tentram. Oleh karena itu, Pandawa harus melaksanakan dharmanya untuk memperoleh ketentraman lahir dan batin dalam hidup dan juga agar mendapat balasan dari perbuatan baik mereka.

Di dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ karya Karsono H. Saputro terdapat dialog antar tokoh yang mengatakan bahwa bharatayudha adalah sebuah dharma. Berikut ini dialog antar tokoh yang penulis kutip untuk menunjukkan bahwa bharatayudha merupakan sebuah dharma terutama dharma ksatria.

Pada saat itu kakek Pandawa dan Kurawa yang bernama Maharesi Wyasa datang mengunjungi Pandawa di tempat pemukiman mereka selama mereka diasingkan. Maharesi Wyasa yang sangat menyayangi Pandawa merasa berkewajiban memberikan berkat keselamatan kepada cucu-cucunya serta kepada para brahmana dan para rsi. Setelah Maharesi wyasa memberikan berkat keselematan, ia memberi nasihat pada Pandawa mengenai bharatayudha.

“Cucu-cucuku, betapa pun pertempuran antara Pandawa dan Kurawa di kelak kemudian hari tak mungkin terhindarkan. Sebab hal itu sudah menjadi suratan Bhatara Agung. Namun perang besar yang kelak dinamakan orang bharatayudha bukan semata-mata perang antara Pandawa dan Kurawa, tetapi lebih dari itu. Dewa menyurat bahwa perang yang akan berlangsung di Padang Kurusetra itu adalah pertempuran kejahatan dan pemunah keangkaramurkaan, perang antara hitam dan putih.”5

Selain dialog yang terjadi pada tokoh Maharesi Wyasa, dialog lainnya mengenai bharatayudha juga terdapat pada kutipan berikut.

Ketika itu Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa pergi ke telaga Dwaitama, mereka berempat ingin menyelamatkan Duryudana yang kala itu menjadi tawanan bala tentara raksasa. Pada awalnya para bala tentara raksasa mengira jika Pandawa merupakan anak buah

4

P.J. Zoetmulder, „Kamus Jawa Kuna-Indonesia‟, hlm 197

5

Karsono H. Saputro, „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟, hal 166

(15)

15

Duryudana namun Pandawa menampiknya, tetapi bagi bala tentara raksasa, siapapun orang yang menemui mereka adalah anak buah Duryudana. Akhirnya terjadilah perlawanan antara Pandawa dan para bala tentara raksasa, dan Pandawa berhasil memporak-porandakan ribuan bala tentara raksasa yang mengepungnya. Pada saat mereka sedang bertempur, tiba-tiba terdengar suara terompet, serentak mereka semua menghentikan pertempuran dan datanglah Bathara Citrasena, ia merupakan seorang Dewa makhluk halus.

Bathara Citrasena mengatakan jika dirinya datang atas perintah Siwa Mahadewa untuk menghadang para Kurawa yang hendak berkemah di telaga Dwaitama. Niat Duryudana berkemah di tempat tersebut semata-mata hanya untuk mengejek Pandawa. Hyang Girinata sudah mengetahui hal tersebut dan ia takut jika para Pandawa tidak dapat lagi membendung amarah mereka maka akan terjadi perang. Jika hal tersebut terjadi, maka bharatayudha tidak akan pernah terjadi padahal perang tersebut merupakan perang untuk menumpas keangkaramurkaan dunia.6

Percakapan-percakapan tersebut tentu saja sudah cukup menjelaskan bagaimana sebuah perang besar bharatayudha merupakan sebuah dharma. Perang tersebut memang melibatkan sanak saudara, akan tetapi inti dari perang tersebut bukanlah saling menghabisi antar saudara dan bukan pula karena terlalu lama menyimpan dendam. Perang bharatayudha mengajarkan manusia untuk berani melawan segala keangkaramurkaan yang terjadi. Sebab jika keangkaramurkaan atau adharma terus dibiarkan di muka bumi, maka bumi akan rusak karena hal tersebut.

4) Dharma yang telah dilakukan oleh Pandawa

Pandawa sebagai gambaran kebajikan hidup manusia, tentu saja sudah sewajibnya selalu melakukan perbuatan baik yang disebut dengan dharma.

A. Membunuh Raja Jarasandha karena ia telah melakukan kelaliman pada warga di kerajaannya. Seorang Raja sudah sepantasnya memberikan ketentraman pada rakyatnya karena itulah pada hakikatnya dharma seorang Raja. Akan tetapi, jika seorang Raja justru berbuat adharma maka ia harus menerima pembalasan atas perbuatan buruknya.

B. Meminta kembali kerajaan Indraprastha dari cengkeraman Duryudana, karena kerajaan tersebut adalah hak para Pandawa. Pandawa sudah berusaha menerima apa yang menjadi bagiannya atau dalam proposisi Jawa disebut narima ing pandum. Tetapi mereka tidak hanya pasrah ketika bagian mereka diambil paksa,

6

Ibid, hal 193

(16)

16

mereka juga merasa tetap harus mencari keadilan untuk mereka sendiri karena itulah inti dari proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dan narima ing pandum.

C. Dharma utama seorang ksatria adalah berpegang teguh pada keyakinan serta ucapan yang telah dilontarkannya. Hal tersebut selalu dilakukan oleh Yudhistira yang selalu menepati janji serta ucapannya. Yudhistira menjadi salah satu panutan bagi anggota Pandawa lainnya, maka apapun yang diputuskan oleh Yudhistira selalu dilakukan oleh Pandawa lainnya.

D. Pandawa selalu menuruti perintah gurunya sekalipun perintah tersebut dapat membahayakan nyawa mereka.

E. Pandawa selalu berusaha berbuat baik kepada siapa saja, mereka selalu berusaha menolong setiap orang yang ditimpa kesusahan termasuk ketika Duryudana menjadi tawanan bala tentara raksasa.

3. Simpulan

Proposisi manungsa mung sadrema nglakoni bertujuan untuk membuat manusia ikhlas dan rela untuk menerima takdir. Diharapkan manusia dapat selalu mengingat proposisi tersebut, sebab proposisi tersebut juga bertujuan untuk menyelaraskan batin manusia dengan raga manusia. Keselarasan batin dan raga yang di dapat disebabkan selalu merasa cukup dengan apa yang sudah dimiliki, tidak pernah merasa kurang. Proposisi ini seperti yang telah dijelaskan diatas, tidak pernah mengajarkan manusia untuk berbuat pasif dan hanya mengandalkan campur tangan Tuhan untuk mengubah nasib seseorang. Proposisi manungsa mung sadrema nglakoni ini hendaknya dapat diterima dengan sikap yang arif dan bijaksana. Sebab jika seseorang dapat menerima proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dengan bijaksana maka akan terwujud sebuah kebudayaan yang adiluhung.

Proposisi manungsa mung sadrema nglakoni dalam buku „Genderang Perang di Padang Kurusetra‟ dapat ditemukan dengan mudah. Dalam buku tersebut, Pandawa selaku simbol dari kebajikan dan kebenaran selalu berusaha menerima apa yang sudah menjadi bagian dan kewajiban mereka. Mereka menerima dan menjalankan kewajiban-kewajiban (dharma) yang telah ditakdirkan pada mereka, kewajiban mereka sebagai seorang ksatria. Mereka pun memasrahkan diri pada Dewa atas hal-hal buruk yang menimpa mereka yang disebabkan oleh para Kurawa.

Perang besar bharatayudha pun dipercaya oleh para Pandawa sebagai sebuah takdir dan ketentuan Dewa yang tidak mungkin bisa diubah. Sebab, walaupun perang tersebut telah

(17)

17

mengorbankan banyak sanak saudara tetapi melalui perang itulah keangkaramurkaan yang merajalela dapat dimusnahkan. Perang bharatayudha yang akhirnya dimenangkan oleh Pandawa pun juga telah ditetapkan oleh para Dewa untuk mengingatkan jika pada akhirnya kebaikan yang akan memenangkan kejahatan di dunia ini. Jika dilihat dari dharma seorang ksatria maka bharatayudha juga merupakan dharma karena salah satu contoh dharma seorang ksatria yaitu memerangi kejahatan yang ada di muka bumi.

(18)

18 Daftar Referensi

Ciptoprawiro, Abdullah. (1986). Filsafat Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

DR. S. De Jong. (1976). Salah Satu Sikap Hidup Orang Jawa. Yogyakarta: Yayasan Kanisius Koentjaraningrat. (1979). Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta

Koentjaraningrat. (1984). Kebudayaan Jawa. Jakarta: Balai Pustaka

Rahyono, F.X. (2009). Kearifan Budaya Dalam Kata. Jakarta: Wedatama Widyasastra Saputro, Karsono H. (1991). Genderang Perang di Padang Kurusetra. Jakarta: Balai Pustaka Suseno, Franz Magnis. (1985). Etika Jawa. Jakarta: PT. Gramedia

Suzuki, Beatrice Lane. (1939). Mahayana Buddhism. Kyoto. Terj. Hustiati. Karaniya, 2009

Daftar Kamus

Zoetmulder, P.J. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama Tim Penyusun Balai Bahasa Yogyakarta. 2001. Kamus Basa Jawa. Yogyakarta: kanisius

Sumber Internet

Arimbawa, Ida Pedanda Gde Kt Sebali Tianyar. (2011). Dharma Agama dan Dharma Negara diakses pada 10 Juli 2013 dari http://hukumhindu.blog.com/2011/06/01/dharma-agama-dan-dharma-negara/.

Referensi

Dokumen terkait

Melalui semiotika pierce yang lebih menggunkan nalar manusia atau seseorang ketika pertama kali melihat logo ini dapat melihat bahwa bentuk typografi yang terlihat tidak

Dana tersebut dibagi menjadi dua bagian yaitu: bagian pertama dana $49 juta untuk pengembangan dan pengeboran eksplorasi sumber energi panas bumi yang diberikan

POLRES SOLOK KOTA Nihil ( sementara kesehatan di ambil ke puskesmas TERDEKAT) POLRES PESISIR SELATAN DR.ADI SYAHRIZAL..

(e) Fungsi mengeluh, melalui tindak ekspresif ini, guru menggerutu atau kecewa dengan tindakan siswa. Fungsi mengeluh ini mencakup: rasa kecewa, rasa bingung, rasa marah,

Berdasarkan observasi awal yang dilakukan peneliti di Sekolah Dasar Negeri se Kecamatan Kahayan Kuala Kabupaten Pulang Pisau ditemukan beberapa permasalahan

Area penyimpanan, persiapan, dan aplikasi harus mempunyai ventilasi yang baik , hal ini untuk mencegah pembentukan uap dengan konsentrasi tinggi yang melebihi batas limit

Secara etimologi istilah Blended Learning terdiri dari dua kata yaitu Blended dan Learning. Kata blend berarti campuran, bersama untuk meningkatkan kualitas agar bertambah

Guna meningkatkan kenyamanan dan kemudahan penggunaan ashitaba maka diformulasikan granul effervescent, dengan tujuan penelitian untuk mengetahui pengaruh variasi