• Tidak ada hasil yang ditemukan

HIDROGEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH UNTUK PERTANIAN DI DATARAN WAEAPU, PULAU BURU, MALUKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HIDROGEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH UNTUK PERTANIAN DI DATARAN WAEAPU, PULAU BURU, MALUKU"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

13

HIDROGEOLOGI DAN POTENSI AIR TANAH UNTUK PERTANIAN

DI DATARAN WAEAPU, PULAU BURU, MALUKU

Taat Setiawan

Pusat Sumber Daya Air Tanah dan Geologi Lingkungan, Badan Geologi, Jl. Diponegoro 57 Bandung, e-mail : taat_setia@yahoo.com

Sari

Dataran Waeapu terletak di bagian timur Pulau Buru merupakan daerah pertanian utama yang mendukung sektor pangan di wilayah Buru, Provinsi Maluku. Untuk mendukung sektor pertanian, air tanah masih diperlukan karena seluruh area pertanian di topang oleh irigasi air permukaan. Penelitian ini dilaksanakan untuk menentukan kondisi hidrogeologi dan potensi air tanah dengan melakukan pengamatan langsung dan pengukuran titik hidrogeologi, pemercontohan dan analisis hidrokimia, dan analisis data pengeboran air tanah. Hasil memperlihatkan bahwa daerah penelitian merupakan area luahan air tanah, baik tertekan maupun semitertekan. Akuifer tidak tertekan yang terdiri atas lempung pasiran, pasir, dan kerikil berada pada kedalaman 30 – 40 m. Muka air tanah tertekan pada elevasi 0 – 36 masl dengan pola aliran relatif paralel dengan kontur topografi. Akuifer semitertekan dan tertekan terletak pada kedalaman lebih dari 30 m dengan ketebalan sekitar 20 – 80 m. Akuifer terutama terdiri atas pasir lempungan, pasir, sampai pasir kerikilan yang di apit oleh lempung dan setempat oleh lempung pasiran. Air tanah tidak tertekan memiliki fasies Na- HCO3

dan Ca-HCO3, sedangkan akuifer tertekan memiliki fasies Na- HCO3. Kuantitas akuifer semitertekan dan

tertekan yang mempunyai koefisien transmisitas sekitar 135-540 m2/hari menunjukkan potensi buruk sampai sedang sebagai sumber air irigasi, sementara kualitasnya menunjukkan risiko salinitas rendah hingga tinggi dan risiko sodium rendah. Untuk tanaman padi, kualitas air tanah dapat digunakan.

Katakunci : kondisi hidrogeologi, potensi air tanah untuk irigasi, Pulau Buru.

Abstract

Waeapu plains located in the eastern part of Buru Island, is the main agricultural area supporting the food sector in the District of Buru, Maluku Province. To support the agriculture sector, groundwater is still needed because not all agricultural areas is covered by surface water irrigation. This research was carried out to determine the hydrogeological condition and groundwater potential by conducting direct observation and measurement of hydrogeological point interest, hydrochemical sampling and analysis, and groundwater drilling data analysis. The result show that the studied area is a groundwater discharge area, either unconfined, semiconfined, and confined aquifer. Unconfined aquifer composed of sandy clay, sand, and gravel lies at the depth of 3 – 40 mbgs. Watertableis lies at the elevation of 0 to 36 masl with the flow pattern relatively parallel to the topographic contours. Semiconfined and confined aquifers located at a depth of more than 30 m with the thickness of about 20 to 80 m. Aquifer is mainly composed of silty sand, sand, until pebbly sand flanked by clay and locally by sandy clay. Hydrogeochemical characteristics of unconfined aquifer indicated facies of Na - HCO3 and Ca - HCO3, whereas confined aquifer indicated facies of Na - HCO3. The

quantity of semiconfined and confined aquifers has coefficient of transmissivity about 135 – 540 m2/day indicated poor to moderate potential for the source of irrigation water, while the quality has a low to high salinity hazard and low sodium hazard. For paddy plants, groundwater quality can still be utilized.

Keywords: hydrogeological condition, groundwater irrigation potential, Buru Island.

PENDAHULUAN

Daerah penelitian terletak di Pulau Buru bagian timur dengan koordinat 126o48’ – 127o10’ Bujur Timur dan 3o13’ – 3o34’ Lintang Selatan, dikelilingi oleh kompleks Pegunungan Wahlua dan pada bagian timur laut berbatasan langsung dengan Laut Banda (Gambar 1). Secara administratif, daerah ini termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Buru, Provinsi Maluku, dengan ibu kota kabupaten berada di Namlea.

Kabupaten Buru merupakan kabupaten yang relatif baru terbentuk di wilayah Provinsi Maluku dengan wilayah utama mencakup seluruh Pulau Buru beserta beberapa pulau kecil di sekelilingnya. Pembangunan di wilayah ini terus mengalami peningkatan, terutama sektor pertanian, perkebunan, dan pengembangan sumber daya kelautan. Dalam menunjang perkembangan di bidang pertanian, daerah dataran

(2)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku (Taat Setiawan)

Waeapu dan sekitarnya merupakan daerah penghasil padi dan tanaman pertanian lainnya yang utama (Gambar 2). Daerah ini merupakan lokasi yang strategis karena memiliki jalan beraspal yang menghubungkannya dengan daerah Namlea sebagai pusat perekonomian dan pemerintahan.

Dalam menunjang sektor pertanian, peranan irigasi air tanah sangatlah penting dalam menjaga kelangsungan budidaya tanaman pangan, terutama padi, akibat air permukaan yang terbatas. Sebagai alternatif, pemanfaatan air tanah dilakukan dengan pembuatan beberapa sumur bor untuk menyuplai pengairan melalui penyadapan akuifer tertekan. Untuk mengetahui sejauh mana potensi air tanah, baik secara kuantitas maupun kualitas dilakukan penelitian tentang kondisi hidrogeologi dan potensi air tanah.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pengukuran secara langsung terhadap obyek – obyek hidrogeologi, seperti sumur gali, sumur bor, dan mata air, dan dengan menganalisis data sekunder, seperti karakteristik akuifer, data pemboran air tanah, dan lain sebagainya. Pengukuran secara langsung tersebut meliputi kedudukan muka air tanah, besarnya debit sumur bor, beberapa sifat fisika dan kimia air tanah, kondisi litologi, serta pengambilan percontoh air untuk analisis kimia air tanah di laboratorium.

GEOLOGI

Menurut Tjokosapoetro, drr. (1993), secara geologi daerah penelitian tersusun atas batuan

berumur Kuarter berupa Endapan Undak dan Aluvium yang terdiri atas bongkah, kerikil, pasir, lanau, dan lempung. Batuan dasar dari daerah penelitian adalah Kompleks Wahlua yang berumur Karbon Akhir sampai Perm Awal. Kompleks Wahlua tersebut tersusun atas sekis, filit, arkosa malih, kuarsit, dan pualam yang tersingkap pada daerah Pegunungan Wahlua yang mengelilingi daerah penelitian sekaligus sebagai daerah resapan air tanah (Gambar 3).

HIDROGEOLOGI

Keterdapatan Akuifer

Daerah Waeapu dan sekitarnya secara hidrologis merupakan bagian dari sistem Daerah Aliran Sungai Waeapu (DAS Waeapu) dengan luas sekitar 2.276 km2. Daerah ini memiliki hulu pada kompleks Pegunungan Wahlua dengan kisaran elevasi 250 – 1250 mdpl. Secara hidrogeologis, daerah Waeapu dan sekitarnya merupakan daerah lepasan air tanah (recharge area), baik tertekan, semi tertekan, maupun tidak tertekan. Air tanah tidak tertekan terletak pada level elevasi 0 – 36 mdpl dengan kedalaman muka air tanah rata-rata kurang dari 5 mbmt. Aliran air tanah tidak tertekan memiliki pola yang relatif sejajar dengan kontur topografi. Mulai bergerak dari daerah kaki perbukitan kemudian terakumulasi pada bagian tengah dataran, yaitu daerah Sungai Waeapu, lalu mengalir dengan arah relatif sama dengan air permukaan, yaitu ke arah timur laut (Gambar 4). Menurut Setiadi dan Setiawan (2007) menyebutkan bahwa air tanah tidak tertekan di sekitar Way Bini (bagian utara Dataran Waeapu) terdapat dalam akuifer dengan kedalaman antara 3 sampai 50 mbmt.

Gambar 1 : Lokasi penelitian, Wilayah Waeapu, Kabupaten Buru, Provinsi Maluku Waeapu

(3)

15 Gambar 2 : Hamparan tanaman padi di daerah Waeapu, Kabupaten Buru.

(4)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku (Taat Setiawan)

Gambar 4 : Peta pola aliran air tanah tidak tertekan daerah penelitian Air tanah tertekan dan semitertekan pada

daerah penelitian teramati pada beberapa sumur bor untuk irigasi air tanah yang terdapat pada daerah Waekasar dan sekitarnya. Muka air tanah tertekan yang teramati pada beberapa sumur bor memiliki kedalaman relatif beragam, berkisar antara 3,5 mbmt sampai positif di atas muka tanah setempat (free flowing) atau yang dikenal dengan istilah muka air tanah artesis (Gambar 5). Hasil korelasi pada lima sumur bor untuk irigasi yang sudah tidak berfungsi lagi pada daerah Waekasar – Waekerta menunjukkan karakter akuifer tertekan dan semitertekan berada pada kedalaman lebih dari 70 mbmt dengan ketebalan dapat mencapai sekitar 40 m (Gambar 6). Litologi dari akuifer tersebut berupa pasir lempungan, pasir, hingga pasir kerikilan yang diapit oleh lapisan kedap air (akuiklud) berupa lempung dan setempat berupa lapisan akuitar (semikedap air) berupa lempung pasiran. Pada kedalaman lebih besar dari 120 mbmt pada umumnya batuan bersifat kedap air berupa lempung dan setempat semikedap air

berupa lempung pasiran. Gambar 5 : Muka air tanah artesis pada sumur bor di daerah Waekasar

(5)

17 Gambar 6 : Korelasi sumur bor pada daerah Waekasar – Waekerta dan sekitarnya

Data pengeboran air tanah di daerah Sanleko dan sekitarnya menunjukkan bahwa akuifer tertekan terdapat pada kedalaman 40 hingga 100 mbmt dengan ketebalan 20 hingga 25 m. Kelompok akuifer tersebut tergolong sebagai Akuifer Produktif dan hasil uji pemompaan yang dilakukan oleh Nippon Koei Co. Ltd. (1999) pada dua sumur bor menunjukkan nilai keterusan akuifer (Transmissivity = T) 170 dan 200 m2/hari, dengan kapasitas jenis 0,44 dan 1,39 l/detik/m.

Hidrogeokimia

Menurut Schwartz dan Zang (2003), mineral penyusun batuan akan terlarut dalam air membentuk ion – ion terlarut. Ion – ion tersebut dapat berupa kation (bermuatan positif) maupun anion (bermuatan negatif). Menurut Davis dan De Wiest (1967), kandungan kation yang umum terdapat pada hampir semua air di alam adalah natrium (Na+), kalium (K+), kalsium (Ca2+), dan magnesium (Mg2+), sedangkan kandungan anion antara lain klorida (Cl-), sulfat (SO42-), dan

bikarbonat (HCO3-). Konsentrasi ion terlarut

tersebut akan meningkat seiring dengan semakin panjangnya jarak tempuh yang dilalui aliran air tanah.

Hasil analisis hidrokimia ion utama untuk lima percontoh air tanah tidak tertekan menunjukkan bahwa ion Na+ merupakan kation

yang dominan dengan kisaran 14 hingga 39 mg/l, sedangkan ion HCO3

-

merupakan anion yang dominan dengan kisaran 44,2 hingga 172 mg/l. Karakter yang sama juga terdapat pada percontoh air tanah tertekan yang mengandung kation Na+ 18 – 120mg/l dan anion HCO3

-

64,4 – 280,6 mg/l (Tabel 1).

Hasil interpretasi menggunakan diagram Piper (Walton, 1970) menunjukkan percontoh air tanah tidak tertekan memiliki fasies Na – HCO3

atau sodium bikarbonat (tiga percontoh) dan Ca – HCO3 atau kalsium bikarbonat (dua percontoh),

sedangkan tiga percontoh air tanah tertekan memiliki fasies Na – HCO3 (Gambar 7). Hal

tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar percontoh air memiliki fasies Na – HCO3, atau

dengan kata lain air tanah di daerah penelitian didominasi oleh kandungan ion Na+ dan HCO3

-. Kelimpahan ion Na+ pada semua percontoh air tanah tertekan dan tiga dari lima contoh air tanah tidak tertekan kemungkinan berkaitan dengan proses pertukaran kation (cation exchange) antara Na+ dengan Ca2+ atau Mg2+. Kecenderungan adsorpsi di antara kation utama pada sistem air alami menurut Sposito (1989) dalam Kehew (2001) adalah sebagai berikut :

(teradsorpsi kuat) Ca2+ > Mg2+ > K+ > Na+ (teradsorpsi lemah)

(6)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku (Taat Setiawan)

Tabel 1. Kandungan Ion Utama Terlarut Lima Percontoh Air Tanah Tidak Tertekan dan Tiga percontoh Air Tanah Tertekan.

Parameter Satuan Kode Contoh

SG-51 SG-52 SG-57 SG-62 SG-63 SB-03 SB-48 SB-49 DHL µS/Cm 130.00 230.00 97.00 199.00 427.00 145 528 995 pH - 6.72 7.26 6.21 7.28 6.72 8.14 7.58 7.42 Kesadahan mg/l 28.60 51.90 30.30 45.70 67.10 25.00 126.00 203.50 Ca2+ mg/l 8.90 17.80 11.10 17.40 21.90 8.50 43.80 29.70 Mg2+ mg/l 1.50 1.80 0.60 0.50 3.00 0.90 4.00 31.00 K+ mg/l 1.30 3.30 1.10 2.40 33.00 1.00 1.80 9.00 Na+ mg/l 15.00 20.00 14.00 16.00 39.00 18.0 64.0 120.0 HCO3 -mg/l 44.20 87.40 66.20 64.40 172.00 64.4 238.2 280.6 Cl- mg/l 13.60 8.90 5.00 26.40 32.60 8.5 38.0 124.2 SO42- mg/l 7.00 8.20 4.50 4.10 9.40 1.4 7.3 56.9

Fasies Air

Na-HCO3 Ca-HCO3 Na-HCO3 Ca-HCO3 Na-HCO3 Na-HCO3 Na-HCO3 Na-HCO3 Diagram Piper

Contoh Air Tanah Daerah Waeapu Dan sekitarnya

C A T I O N S %meq/l A N I O N S

Na+K HCO +CO3 3 Cl

Mg SO4

Ca

Calcium (Ca) Chloride (Cl)

Su lfa te (S O4 ) + Ch lori de (C l) Ca lc iu m (C a ) + M ag ne si u m (M g ) Ca rbo nate (C O3 ) + Bic arb on ate (H CO 3) S od ium (N a) + P o ta ss ium (K ) S u lfa te (S O 4 ) Ma gn esiu m ( Mg ) 80 60 40 20 20 40 60 80 80 60 40 20 20 40 60 80 20 40 60 80 80 60 40 20 20 40 60 80 20 40 60 80 80 60 40 20 80 60 40 20

Total Dissolved Solids (Parts Per Million)

0 .0 1 ,0 0 0 .0 2 ,0 0 0 .0 3 ,0 0 0 .0 4 ,0 0 0 .0 5 ,0 0 0 .0 SG51 SG52 SG57 SG62 SG63 SB03 SB48 SB49

(7)

19 Deret di atas memiliki arti ion Ca2+

sangat mudah teradsorpsi dibanding dengan ion Na+. Ion Na+ di alam secara umum terdapat pada permukaan material lempungan, sehingga air yang kaya akan Ca2+ ketika melewati lapisan lempungan memiliki kecenderungan untuk teradsorpsi ke permukaan material lempung tersebut. Ion Na+ akan dilepaskan dan terlarut dalam air, sehingga konsentrasi ion Na+ dalam air meningkat. Ketebalan lapisan lempung di daerah penelitian relatif sangat tebal mengingat dataran alluvium waeapu merupakan material rombakan dari lapukan batuan metamorf Kompleks Wahlua seperti filit dan sekis.

Air hujan dan air tanah pada daerah resapan (recharge area) secara umum memiliki fasies Ca – HCO3 (Kehew, 2001) dalam perjalanannya

menuju zona yang lebih dalam, dan akan mengalami proses pertukaran kation. Pada daerah lepasan (discharge area) air tanah tertekan tersebut akan bergerak menuju permukaan bercampur dengan air tanah tidak tertekan. Hal tersebut akan menyebabkan air tanah tidak tertekan memiliki fasies yang sama dengan air tanah tertekan berupa Na-HCO3, meskipun

konsentrasi ion Na+ pada air tanah tidak tertekan lebih rendah daripada air tanah tertekan.

POTENSI AIR TANAH UNTUK IRIGASI Kuantitas Air Tanah

Karakteristik kuantitas air tanah daerah penelitian di dapat dari uji pemompaan di daerah Sanleko, yaitu pada sumur bor TWWB-01 dan TWWB-02. Daerah tersebut merupakan daerah dataran Waeapu bagian utara yang berbatasan dengan kaki perbukitan (Gambar 4). Hasil uji pemompaan sumur bor TWWB – 01 menunjukkan nilai keterusan atau transmisivitas (T) sebesar 170 m2/hari dengan debit jenis 1,39 l/dt/m, sedangkan pada sumur TWWB – 02 menunjukkan nilai koefisien keterusan 200 m2/hari dengan debit jenis 0,44 l/dt/m.

Data sumur bor menunjukkan bahwa total ketebalan akuifer yang disadap pada TWWB – 01 adalah sekitar 30 m, sehingga besarnya konduktivitas hidrolika (K) sebesar 200m2/hari / 30m = 6,67 m/hari. Sementara pada sumur TWWB – 02 menyadap akuifer setebal 25 m, sehingga besarnya nilai K adalah 170 m2/hari / 25 m = 6,8 m/hari. Konduktivitas hidrolika pada kedua lokasi tersebut memiliki karakter yang sama, sehinggga dirata – rata harga K pada daerah penelitian adalah sebesar 6,74 m/hari yang menunjukkan litologi pasir sedang (Todd, 1980).

Berdasarkan atas karakter dan sebaran akuifer yang sama atau hampir sama, maka

karakteristik akuifer tersebut dapat digunakan untuk mendeduksi daerah penelitian lainnya. Daerah Waekerta – Waekasar dan sekitarnya dengan posisi lebih ke arah tengah menunjukkan ketebalan akuifer semitertekan hingga tertekan berkisar antara 20 hingga 80 m, sehingga apabila seluruh ketebalan lapisan akuifer ini disadap maka akan menghasilkan koefisien keterusan sebesar 135 – 540 m2/hari. Hal tersebut menunjukkan sangat beragamnya tingkat potensi atau kuantitas air tanah tertekan di daerah penelitian. Rentang harga koefisien keterusan yang berdasarkan atas standar yang dikeluarkan oleh US. Dept. of The Interior, 1977 (Tabel 2) menunjukkan potensi buruk hingga sedang karena berada pada rentang nilai transisivitas 50 – 1000 m2/hari.

Kualitas Air Tanah

Penggunaan air tanah untuk keperluan pertanian (irigasi) selain memerlukan kuantitas yang baik juga memerlukan kualitas air yang baik pula berkaitan dengan sensitivitas tanah dan tanaman jika terkena air. Untuk mengetahui tingkat kelayakan kualitas air untuk keperluan irigasi di daerah penelitian digunakan metode pendekatan berdasarkan hubungan antara nilai Sodium Adsorption Ratio (SAR) yang bertindak sebagai sodium (alkali) hazard (resiko sodium) dengan daya hantar listrik (DHL) yang bertindak sebagai salinity hazard (risiko salinitas).

Digunakannya metode pendekatan seperti tersebut di atas karena kandungan sodium dan salinitas air sangat berpengaruh, baik terhadap sifat fisik tanah maupun terhadap tanaman. Menurut Ayres dan Westcot (1976), penggunaan air dengan harga SAR yang tinggi akan memudahkan rusaknya struktur fisik tanah. Sodium yang terserap akan merusak partikel tanah, karena tanah menjadi keras dan kompak ketika kering dan meningkatkan kekedapan tanah terhadap infiltrasi air. Air dengan salinitas tinggi dapat bertindak sebagai racun pada tanaman karena tingginya salinitas akan menyebabkan akar tanaman sulit menyerap air.

Harga SAR didapatkan dengan rumus sebagai berikut : 2 ) (Ca Mg Na SAR  

Konsentrasi ion Na, Ca, dan Mg pada persamaan di atas adalah dalam satuan epm (meq/l). Nilai SAR dan DHL masing – masing percontoh air kemudian diplot pada Diagram Wilcox, yang dikelompokkan sebagai berikut ;

(8)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku (Taat Setiawan)

Tabel 2 : Potensi air bawah tanah berdasarkan niai transmisivitas dan penggunaannya (US. Dept. Of The Interior, 1977).

Transmisivitas (m2/hari) Klasifikasi Penggunaan Untuk Irigasi

< 50 Sangat Buruk

50 – 300 Buruk

300 – 1000 Sedang

1000 – 10.000 Baik

> 10.000 Sangat Baik

 Kelas C1 – S1 : Klasifikasi sangat baik  Kelas C2 – S1 dan C2 – S2 : Klasifikasi baik  Kelas C3 – S1 dan C3 – S2 : Klasifikasi

diperbolehkan

 Kelas C4 – S1, dan C4 – S2 : Klasifikasi meragukan

 Kelas C4 – S3, C3 – S4, dan C4 – S4 : Klasifikasi tidak layak

Analisis besarnya nilai SAR dan harga DHL pada contoh air tanah baik pada akuifer tidak tertekan maupun tertekan pada Diagram Wilcox di daerah penelitian dapat dilihat pada Gambar 8 dan hasilnya dapat dilihat pada Tabel 3.

Gambar 8 : Diagram Wilcox (Ayres dan Westcot, 1976) contoh air tanah daerah penelitian SG-51 SG-52 SG-62 SG-63 SB-03 SB-48 SB-49

(9)

21 Tabel 3 : Klasifikasi Kualitas Air Tanah Berdasarkan Penggunannya untuk Pertanian di Daerah Penelitian.

No. Kode Contoh Klasifikasi Keterangan

1 SG-51 C1 – S1 Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik) 2 SG-52 C1 – S1 Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik) 3 SG-57 C1 – S1 Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik) 4 SG-62 C1 – S1 Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik) 5 SG-63 C2 – S1 Risiko salinitas menengah dan resiko sodium yang rendah

(baik)

6 SB-03 C1 – S1 Risiko salinitas dan resiko sodium yang rendah (sangat baik) 7 SB-48 C2 – S1 Risiko salinitas menengah dan resiko sodium yang rendah

(baik)

8 SB-49 C3 – S1 Risiko salinitas tinggi dan resiko sodium rendah (diperbolehkan)

Klasifikasi air untuk irigasi seperti di atas menunjukkan bahwa air tanah dangkal pada umumnya memiliki kualitas air tanah yang sangat baik dengan risiko salinitas dan sodium yang rendah. Karakter kualitas air untuk air tanah tertekan menunjukkan sifat yang bervariasi, yaitu dari diperbolehkan (risiko salinitas tinggi dan risiko sodium rendah) hingga sangat baik.

Jaringan irigasi air tanah pada daerah penelitian secara umum menyadap pada akuifer tertekan dan semitertekan. Hal tersebut dimaksudkan agar tidak mengganggu sistem akuifer tidak tertekan yang dimanfaatkan oleh penduduk untuk kebutuhan domestik melalui pembuatan sumur gali atau sumur pantek. Dalam kaitannya dengan kualitas air tanah tertekan, faktor kendala yang dihadapi adalah masalah risiko salinitas yang akan menyebabkan turunnya produktivitas panen untuk tanaman tertentu. Menurut Ayers & Wetscot (1976) tanaman buncis, wortel, selada, bawang, dan lobak akan menurun produktiviasnya jika DHL air lebih dari 900 µSm/Cm, sedangkan tanaman padi lebih bersifat toleran sampai dengan 2000 µSm/Cm. Berdasarkan hal tersebut terlihat bahwa untuk padi sebagai tanaman utama, kualitas air tanah masih memenuhi syarat untuk keperluan irigasi.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan

Secara hidrogeologis daerah penelitian merupakan daerah luahan air tanah, baik air tanah tidak tertekan, semitertekan, maupun tertekan. Akuifer tidak tertekan tersusun atas pasir lempungan, pasir, hingga kerikil berada pada kedalaman 3 – 40 mbmt dengan muka air tanah

terletak pada elevasi 0 hingga 36 mdpl. Akuifer semitertekan dan tertekan berada pada kedalaman lebih dari 30 mbmt dengan ketebalan sekitar 20 hingga 80 m. Akuifer tersebut terutama tersusun atas pasir lempungan, pasir, hingga pasir kerikilan yang diapit oleh lempung dan setempat oleh lempung pasiran. Hidrogeokimia air tanah tidak tertekan memiliki fasies Na – HCO3 dan Ca –

HCO3, sedangkan air tanah tertekan memiliki

fasies Na – HCO3 yang menunjukkan adanya

proses pertukaran kation selama proses perjalanan dari daerah resapan hingga daerah luahan.

Akuifer tertekan dan semi tertekan memiliki konduktivitas hidrolika sekitar 6,74 m/hari yang menunjukkan litologi pasir sedang dengan nilai koefisien keterusan sebesar 135 – 540 m2/hari. Hal tersebut menunjukkan kuantitas air tanah untuk irigasi di daerah penelitian memiliki kategori buruk hingga sedang. Dilihat dari segi kualitas, air tanah untuk irigasi menunjukkan risiko salinitas rendah hingga tinggi dan risiko sodium rendah. Untuk tanaman padi, kualitas air tanah tersebut masih dapat dimanfaatkan karena belum mengganggu produktivitasnya, namun beberapa tanaman sayuran yang sensitif akan mulai terganggu produktivitasnya.

Saran

Pemanfaatan air tanah untuk irigasi memerlukan debit pemompaan yang relatif besar. Sebagai gambaran, untuk mengairi sawah dengan luas 8 – 25 ha memerlukan sistim debit pemompaan air tanah sekitar 10 – 25 l/dt. Meskipun kuantitas dan kualitas air tanah di daerah penelitian masih memungkinkan untuk keperluan irigasi atau pertanian, namun perlu dipikirkan alternatif penggantinya, yaitu dengan memanfatkan air permukaan.

(10)

Hidrogeologi dan Potensi Air Tanah untuk Pertanian di Dataran Waeapu, Pulau Buru, Maluku (Taat Setiawan)

Hal tersebut berguna untuk menghindari terjadinya kerusakan air tanah di daerah penelitian mengingat perbaikan kerusakan air tanah memerlukan biaya yang sangat mahal. Alternatif air permukaan sangat memungkinkan mengingat Sungai Waeapu merupakan sungai permanen dengan debit aliran relatif besar.

Ucapan Terimakasih : penulis sampaikan kepada

Ir. Hendri Setiadi, Post Grad. Dipl dan rekan – rekan tim Pemetaan Hidrogeologi Skala 1 : 250.000 Lembar 2512 – Namlea, Maluku atas kerjasamanya dalam pelaksanaan survei lapangan. Terimakasih juga disampaikan kepada panitia PIT IAGI ke – 39 yang telah memberi kesempatan untuk mempresentasikan makalah ini.

ACUAN

Ayres, R.S. and Westcot, D.W., 1976. Water Quality for Agriculture Irrigation and Drainage, Paper No.29. Food and Agriculture Organization of the United Nations, Rome.

Davis, S. N., dan De Wiest, R. J. M., 1967. Hydrogeology, 1st ed., John Wiley and Sons, New York, 463 h.

Kehew, A. E., 2001, Applied Chemical Hydrogeology, Prentice Hall, New Jersey, 368 h.

Nippon Koei co. ltd, 1999. Justification Study of Buru Island, Groundwater Irrigation Sub-project, Small Scale Irrigation Management Project Phase III, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air, Departemen Pekerjaan Umum, tidak dipublikasikan.

Schwartz, F. W., dan Zhang, H., 2003. Fundamentals of Groundwater, John Wiley & Sons, New York, 583 h.

Setiadi, H., dan Setiawan, T., 2007. Pemetaan Hidrogeologi Skala 1 : 250.000 Lembar 2512 Namlea, Maluku, Pusat Lingkungan Geologi, Badan Geologi, Departemen ESDM, Bandung.

Tjokosapoetro, S., Budhistira, T., dan Rusmana, E., 1993. Geologi Lembar Buru, Maluku, skala 1 : 250.000, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Departemen Pertambangan & Energi, Bandung. Todd, D.K., 1980. Groundwater Hydrology,

Second Edition, University of California, Berkeley, John Wiley & Sons, New York, 535 h.

U.S. Departement of Interior, 1977. Groundwater Manual, First Edition, United States Government Printing Office, Washington.

Walton, W. C., 1970. Groundwater Resource Evaluation, 1st edition, Mc Graw Hill, Kogakusha, Tokyo

Gambar

Gambar 4 : Peta pola aliran air tanah tidak tertekan daerah penelitian  Air  tanah  tertekan  dan  semitertekan  pada
Tabel 1. Kandungan Ion Utama Terlarut Lima Percontoh Air Tanah Tidak Tertekan dan Tiga percontoh Air  Tanah Tertekan
Tabel 2 : Potensi air bawah tanah berdasarkan niai transmisivitas dan penggunaannya  (US

Referensi

Dokumen terkait

Adapun daerah yang memanfaatkan air sumur pantek untuk mengambil air tanah sebagai irigasi persawahan yang sudah kering yaitu Desa Tempurejo, Sukorejo, Jenak,

Hasil demplot pembuatan sumur paralel dengan pompa 3 inc menghasilkan debit paling besar. Hal ini disebabkan karena spesifik yield akuifer pada daerah

Kedalaman masing – masing adalah 59,09 m,55,83 m, dan 57,71 m, dengan ketebalan sebesar ini ketiga desa tersebut memiliki sumber potensi akuifer yang besar kedua setelah

Berdasarkan hasil korelasi data pengeboran dan data pendugaan geolistrik (Hendri &amp; Sukrisna, 2000), menunjukkan di daerah Watutulis–Wonoayu–Popoh–Buduran– Sedati, air

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran umum daerah kajian, mengetahui karakteristik akuifer diantaranya adalah posisi, ketebalan, jenis, hasil spesifik dan

◦ Penelitian lain menunjukkan bahwa hasil panen dengan irigasi air tanah lebih tinggi sepertiga sampai setengah dibandingkan dengan dari daerah irigasi dengan sumber permukaan ◦ Satu

a b Gambar 5.Model korelasi a perubahan muka air tanah dan b penurunan muka air tanah drawdown pada jarak radius pengaruh 25 m pada daerah sekitar sumur A-1 PotensiSettlementAkibat