• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Dalam penelitian ini akan diuraikan tentang konsep-konsep yang terkait dengan penelitian yang akan dilakukan yaitu : Konsep diri, konsep kanker kolorektal, konsep kolostomi serta konsep diri pasien kanker kolorektal dengan tindakan kolostomi.

1. Konsep Diri

1.1 Pengertian konsep diri

Konsep diri adalah semua pikiran, keyakinan dan kepercayaan yang membuat seseorang mengetahui tentang dirinya dan mempengaruhi hubungannya dengan orang lain. Konsep diri seseorang tidak terbentuk waktu lahir, tetapi dipelajari sebagai hasil dari pengalaman unik seseorang dalam dirinya sendiri, dengan orang terdekat, dan denga realitas dunia (Stuart & Sundeen, 1998).

Menurut Potter, (2005) konsep diri memberikan kita kerangka acuan yang

mempengaruhi manajemen kita terhadap situasi dan hubungan kita dengan orang lain. Ketidaksesuaian antara aspek tertentu dari kepribadian dan konsep diri dapat menjadi sumber stress atau konflik. Konsep diri dan persepsi tentang kesehatan sangat berkaitan erat satu sama lain. Klien yang mempunyai keyakinan tentang kesehatan yang baik akan dapat meningkatkan konsep diri.

1.2 Komponen Konsep Diri

1.2.1 Gambaran Diri (body image)

Gambaran diri adalah kumpulan dari sikap individu yang disadari dan tidak disadari terhadap tubuhnya. Termasuk persepsi masa lalu dan masa sekarang, serta perasaan tentang ukuran, fungsi, penampilan dan potensi yang secara berkesinambungan dimodifikasi dengan persepsi dan pengalaman yang baru (Stuart & Sundeen, 1998).

Menurut Keliat (1992 dalam handayani, 2008) Sejak lahir individu mengeksplorasi bagian tubuhnya, menerima reaksi dari tubuhnya, menerima stimulus dari orang lain, kemudian mulai memanipulasi lingkungan dan mulai sadar dirinya terpisah dari lingkungan. Gambaran diri (body image) berhubungan erat dengan kepribadian. Cara individu memandang diri mempunyai dampak yang penting pada aspek psikologisnya, pandangan yang realistis terhadap dirinya menerima dan menyukai bagian tubuh akan memberi rasa cemas dan meningkatkan harga diri.

(2)

1.2.2 Ideal Diri

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya berprilaku sesuai standar, aspirasi, tujuan atau nilai personal tertentu.

Suliswati, (2005 dalam Handayani, 2008) menagatakan bahwa ideal diri adalah persepsi individu tentang bagaimana ia seharusnya bertingkah laku berdasarkan standart pribadi. Standart dapat berhubungan dengan tipe orang yang diinginkan/disukainya atau sejumlah aspirasi, tujuan, nilai yang ingin diraih. Ideal diri akan mewujudkan cita-cita atau pengharapan diri berdasarkan norma-norma sosial dimasyarakat tempat individu tersebut melahirkan penyesuaian diri .

1.2.3 Harga Diri

Harga diri adalah penilaian individu tentang nilai personal yang diperoleh dengan menganalisa seberapa baik perilaku seseorang sesuai dengan ideal diri. Harga diri yang tinggi adalah perasaan yang berakar dalam penerimaan diri sendiri tanpa syarat, walaupun melakukan kesalahan, kekalahan dan kegagalan tetap merasa sebagai seorang yang penting dan berharga ( Stuart & Sundeen, 1998).

Menurut Alimul, (2006) harga diri dapat diperoleh melalui penghargaan dari diri sendiri maupun dari orang lain. Perkembangan harga diri juga ditentukan oleh perasan diterima, dicintai, dihormati oleh orang lain, serta keberhasilan yang pernah dicapai individu dalam hidupnya.

1.2.4 Peran

Peran adalah serangkaian pola perilaku yang diharapkan oleh lingkungan sosial berhubungan dengan fungsi individu di berbagai kelompok sosial. Peran yang ditetapkan adalah peran dimana sesorang tidak mempunyai pilihan. Peran yang diterima adalah peran yang terpilih atau dipilih individu.

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) penyesuaian individu terhadap perannya dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu:

a. Kejelasan perilaku yang sesuai dengan peran serta pengetahuan yang spesifik tentang peran yang diharapkan.

b. Konsistensi respon orang yang berarti atau dekat dengan perannya. c. Kejelasan budaya dan harapannya terhadap perilaku perannya. d. Pemisahan situasi yang dapat menciptakan ketidakselarasan.

(3)

1.2.5 Identitas Diri

Identitas diri adalah pengorganisasian prinsip dari kepribadian yang bertanggung jawab terhadap kesatuan, kesinambungan, konsistensi dan keunikan individu. Pembentukan identitas dimulai dari masa bayi dan terus berlangsung sepanjang kehidupan tapi merupakan tugas utama pada masa remaja ( Stuart & Sundeen, 1998).

Identitas diri adalah kesadaran akan diri sendiri yang bersumber dari observasi dan penilaian yang merupakan sintesa dari semua aspek konsep diri sendiri sebagai satu kesatuan yang utuh (Tarwoto & Wartonah, 2011).

Menurut Suliswati, (2005 dalam Tarwoto & Wartonah, 2011) identitas diri merupakan sintesis dari semua konsep diri sebagai suatu kesatuan yang utuh, tidak dipengaruhi oleh pencapaian tujuan, atribut/jabatan dan peran.

1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi Konsep diri

Menurut Stuart & Sundeen, (1991 dalam Handayani, 2008) ada beberapa faktor yang mempengaruhi konsep diri, yaitu:

1. Teori Perkembangan

Konsep diri belum ada waktu lahir, kemudian berkembang secara bertahap sejak lahir seperti mulai mengenal dan membedakan dirinya dan orang lain. Dalam melakukan kegiatannya memiliki batasan diri yang terpisah dari lingkungan dan berkembang melalui kegiatan eksplorasi lingkungan melalui bahasa, pengalaman atau pengenalan tubuh, nama panggilan, pengalaman budaya dan hubungan interpersonal, kemampuan pada area tertentu yang dinilai oleh diri sendiri atau masyarakat serta aktualisasi diri dengan merealisasi potensi yang nyata.

2. Significant Other (orang yang terpenting atau terdekat)

Dimana konsep diri dipelajari melalui kontak dan pengalaman dengan orang lain, belajar diri sendiri melalui cermin orang lain yaitu dengan cara pandangan diri merupakan interpretasi diri pandangan orang lain terhadap diri, anak sangat dipengaruhi orang yang dekat, remaja dipengaruhi oleh orang lain yang dekat dengan dirinya, pengaruh orang dekat atau orang penting sepanjang siklus hidup, pengaruh budaya dan sosial.

3. Self Perception (persepsi diri sendiri)

Self perception adalah persepsi individu terhadap diri sendiri dan penilaiannya, serta persepsi individu terhadap pengalamannya akan situasi tertentu. Konsep diri dapat dibentuk

(4)

melalui pandangan diri dan pengalaman yang positif. Sehingga konsep merupakan aspek yang kritikal dan dasar dari perilaku individu. Individu dengan konsep diri yang positif dapat berfungsi lebih efektif dan dapat dilihat dari kemampuan interpersonal, kemampuan intektual dan penguasaan lingkungan. Sedangkan konsep diri yang negatif dapat dilihat dari hubungan individu dan sosial yang terganggu.

Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi konsep diri menurut Tarwoto & Wartonah,

(2011) yaitu:

a) Tingkat perkembangan dan kematangan

Perkembangan anak seperti dukungan mental, perlakuan dan pertumbuhan anak akan mempengaruhi konsep dirinya.

b) Budaya

Pada usia anak-anak nilai-nilai akan diadopsi dari orang tuanya, kelompoknya dan lingkungannya. Orangtua yang bekerja seharian akan membawa anak lebih dekat dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud disini adalah lingkungan fisik dan lingkungan psikososial. Lingkungan fisik adalah segala sarana yang dapat menunjang perkembangan konsep diri, sedangkan lingkungan psikososial adalah segala lingkungan yang dapat menunjang kenyamanan dan perbaikan psikologis yang dapat mempengaruhi perkembangan konsep diri.

c) Sumber eksternal dan internal

Kekuatan dan perkembangan pada individu sangat berpengaruh terhadap konsep dirinya. Pada sumber internal misalnya, orang yang humoris koping individunya lebih efektif. Sumber eksternal misalnya dukungan dari masyarakat dan ekonomi yang kuat.

d) Pengalaman sukses dan gagal

Adanya kecenderungan bahwa riwayat sukses akan meningkatkan konsep diri demikian juga sebaliknya.

e) Stresor

Stresor dalam kehidupan misalnya perkawinan, pekerjaan baru, ujian dan ketakutan. Jika koping individu tidak adekuat maka akan menimbulkan depresi, menarik diri dan kecemasan.

f) Usia, keadaan sakit dan trauma

(5)

1.4 Kriteria Kepribadian sehat

Kriteria kepribadian yang sehat menurut Tarwoto & Wartonah, (2011) yakni: a. Citra tubuh yang positif dan akurat

Kesadaran akan diri berdasarkan atas obsevasi mandiri dan perhatian yang sesuai akan kesehatan diri. Termasuk persepsi saat ini dan masa lalu.

b. Ideal dan realitas

Individu mempunyai ideal diri yang realistis dan mempunyai tujuan hidup yang dapat dicapai.

c. Konsep diri yang positif

Konsep diri yang positif menujukkan bahwa individu akan sesuai dalam hidupnya. d. Harga diri tinggi

Seseorang yang mempunyai harga diri tinggi akan memandang dirinya sebagai seseorang yang berarti dan bermanfaat. Ia memandang dirinya sama dengan apa yang dia inginkan.

e. Kepuasan penampilan peran

Individu mempunyai kepribadian sehat akan dapat berhubungan dengan orang lain, secara intim dan mendapat kepuasan. Ia dapat mempercayai dan terbuka pada orang lain dan membina hubungan interdependen.

f. Identitas jelas

Individu merasakan keunikan dirinya dan member arah kehidupan dalam mencapai tujuan.

Menurut Stuart & Sundeen, (1998) individu dengan kepribadian sehat akan mengalami hal- hal berikut, yaitu citra tubuh yang positif dan sesuai, ideal diri yang realistik, konsep diri yang positif, harga diri yang tinggi, penampilan peran yang memuaskan dan rasa identitas yang jelas.

1.5 Karakteristik konsep diri yang rendah

Menurut (Carpenito, 1995 dalam Taylor) yang dikutip oleh Tarwoto & Wartonah, (2011) ada beberapa karakterisktik konsep diri rendah yaitu: Menghindari sentuhan atau melihat bagian tubuh tertentu; Tidak mau berkaca; Menghindari diskusi tentang topik dirinya; Menolak usaha rehabilitas; Melakukan usaha sendiri dengan tidak tepat; Mengingkari perubahan pada dirinya; Tanda dari keresahan seperti marah, keputusasaan, menangis; Tingkah laku yang merusak seperti penggunaan obat-obatan dan alcohol; Menghindari kontak; Kurang bertanggung jawab.

(6)

2. Kanker Kolorektal

2.1 Pengertian Kanker Kolorektal

Kanker kolorektal adalah suatu bentuk keganasan yang terjadi pada kolon, rectum, appendix (Soebachman, 2011). Kanker kolorektal adalah jenis kanker yang paling sering terjadi dan merupakan kanker penyebab kematian nomor 2, angka kejadian kanker kolorektal biasanya mulai umur 40 tahun, dan puncaknya pada umur 60-75 tahun.

Kanker kolorektal adalah suatu keganasan yang terjadi di usus besar dan rektum.Dari

data didapatkan 50 persen penderita kanker kolorektal meninggal dikarenakan penyakit ini. Hal ini disebabkan karena pada stadium awal seringkali tidak menunjukkan gejala, sehingga pasien baru datang setelah ada gejala yang biasanya sudah pada stadium akhir, yang menyebabkan penanganan kuratif sudah tidak dapat dilakukan lagi.

Kanker kolorektal merupakan beban kesehatan utama di seluruh dunia. Kejadian dan kematian dari kanker kolorektal mengalami penurunan lambat selama 20 tahun di Amerika Serikat. Namun, kanker kolorektal tetap penyebab ketiga kanker yang berhubungan dengan kematian pada tahun 2008 (ACS, 2009 dalam Lie, 2010).

Sekarang ini kanker kolorektal telah menjadi salah satu dari kanker yang banyak terjadi di Indonesia, data yang dikumpulkan dari 13 pusat kanker menunjukkan bahwa kanker kolorektal merupakan salah satu dari lima kanker yang paling sering terdapat pada pria maupun wanita (Soeripto, 2003)

2.2 Penyebab Kanker Koloretal

Penyebab pasti kanker ini masih belum diketahui, tetapi beberapa kondisi yang dikenal sebagai sindrom poliposis adenomatosa memiliki predisposisi lebih besar menjadi resiko kanker kolorektal (Dragovich, 2009 dalam Muttaqin, 2011).

Menurut Soebachman, (2011) hingga saat ini belum diketahui dengan pasti apa penyebab kanker kolon. Meskipun belum diketahui secara pasti, ada hal-hal yang diduga kuat merupakan faktor resiko yang menyebabkan seseorang rentan terhadap serangan kanker kolorektal. Diantaranya: (a) Usia, resiko kanker kolorektal meningkat dengan bertambahnya usia. Kebanyakan kasus terjadi pada orang yang berusia 60-70 tahun; (b) Adanya polip pada kolon, khusus polip jenis adenomasota. Jika polip ini langsung dihilangkan pada saat ditemukan, tindakan penghilangan tersebut akan bisa mengurangi resiko terjadinya kanker kolon; (c) Riwayat kanker, seseorang yang pernah mengidap kanker ovarium, kanker uterus, dan kanker payudara memiliki resiko lebih besar terkena kanker kolorektal: (d) Faktor

(7)

keturunan/genetika, seseorang yang mempunyai riwayat keluarga kanker kolon,memiliki resiko tinggi mengidap kanker; (e) Makanan, dalam hal ini makanan memegang peranan penting dalam resiko kanker kolorektal. Pada umumnya terjadi pada orang-orang yang mengkonsumsi rendah serat dan tinggi protein hewani, lemak dan karbohidrat.

Faktor lain yang beresiko tinggi untuk mengembangkan kanker kolon, meliputi hal-hal berikut : (a) Kolisitis Ulseratif atau penyakit Crohn (Glick, 2000); (b) Kanker payudara, rahim, atau ovarium sekarang atau di masa lalu (Agrawal, 2008); (c) Obesitas telah diidentifikasi sebagai faktor resiko kanker usus besar (Gittens, 2009); (d) Merokok telah jelas dikaitkan dengan resiko yang lebih tinggi untuk kanker usus besar.

2.3 Gejala Klinis Kanker Kolorektal

Manifestasi klinis meliputi perubahan-perubahan kebiasaan usus besar, perubahan bentuk tinja, lemah, pendarahan pada rektum, mual, muntah maupun tanda dan gejala-gejala penyumbatan usus besar. Nyeri menjadi gejala akhir (Keperawatan Medikal Bedah Edisi1).

Menurut Soebachman, (2011) gejala awal kanker kolorektal biasanya tidak jelas. Misalnya berat badan menurun (sebagai gejala umum keganasan) dan kelelahan yang tidak jelas sebabnya. Setelah berlangsung beberapa waktu barulah muncul gejala-gejala lain yang berhubungan dengan keberadaan tumor dalam ukuran yang signifikan di usus besar. Makin dekat lokasi tumor dengan anus biasanya gejala yang muncul akan semakin banyak. Dalam hal ini gejala kanker kolorektal dapat diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu gejala lokal, gejala umum, dan gejala penyebaran (metastasis). Berikut adalah penjelasannya :

1. Gejala Lokal

Gejala lokal ini antara lain berupa: (a) Perubahan kebiasaan buang air; (b) Perubahan frekuensi buang air. Bisa berkurang (konstipasi) atau bertambah (diare), ada sensasi seperti belum selesai buang air (masih ingin tetapi sudah tidak bisa keluar), dan ada perubahan diameter/ukuran feses. Keduanya adalah cirri khas kanker kolon; (c) Perubahan wujud fisik feses, yakni feses bercampur darah, feses bercampur lendir, feses berwarna kehitaman, biasanya berhubungan dengan terjadinya perdarahan disaluran cerna bagian atas; (d) Timbul rasa nyeri disertai mual dan muntah saat buang air besar. Hal ini terjadi akibat sumbatan saluran pembuangan kotoran oleh massa tumor; (e) Adanya benjolan pada perut yang mungkin dirasakan oleh penderita.

(8)

Gejala umum antara lain: (a) Berat badan turun tanpa sebab yang jelas; (b) Hilangnya nafsu makan; (c) Anemia; (d) Sering merasa lelah; (e) Kadang-kadang mengalami sensasi seperti melayang.

3. Gejala Metastatis

Jika kanker kolorektal menyebar ke hati, maka gejala yang timbul antara lain: (a) Kondisi tubuh penderita tampak kuning; (b) Nyeri pada perut, lebih sering pada bagian kanan atas, disekitar lokasi hati; (c) Pembesaran hati, biasanya akan tampak pada pemeriksaan fisik oleh dokter.

2.4 Tahapan Perkembangan Kanker Kolorektal

Menurut Soebachman, (2011) keganasan pertumbuhan sel kanker kolorektal bergerak secara perlahan. Waktu yang diperlukan untuk berkembang hingga menampakkan gejala-gejala yang jelas adalah sekitar 15-20 tahun. Tahap-tahap perkembangan kanker kolon adalah Stadium 0 adalah tahap ditemukannya sel-sel kanker, tetapi hanya pada lapisan terdalam kolon atau rectum. Stadium I : Merupakan tahapan ketika sel kanker telah mulai tumbuh di dinding dalam kolon dan rectum, tetapi belum tembus keluar. Pada stadium II kanker mulai menyerang jaringan sekitarnya, tetapi belum menyebar ke kelenjar getah bening. Stadium III :adalah tahap ketika kanker telah menyebar ke kelenjar getah bening di sekitarnya, tetapi belum menyebar kebagian tubuh yang lain. Sedangkan pada stadium IV Kanker telah menyebar ke bagian tubuh yang lain, misalnya hati atau paru-paru.

2.5 Pencegahan Kanker Kolorektal.

Ada banyak cara untuk mencegah munculnya kanker kolorektal. Diet yang mengandung rendah lemak hewan dan tinggi sayuran dan buah-buahan. Mengurangi konsumsi makanan yang diasap, dibakar, dan diawetkan. Lakukan deteksi dini dengan tes darah samar sejak usia 40 tahun. Untuk yang berusia di atas 50 tahun sebaiknya melakukan skrining kanker usus melalui teropong usus (kolonoskopi) sebagai bagian dari periodic check up.

Mengkonsumsi makanan berserat tinggi, rendah lemak dapat membantu mencegah kanker usus besar. Study menunjukkan bahwa melakukan olahraga dan diet kaya buah-buahan serta sayuran dapat membantu mencegah kanker usus besar (PurtierPlacenta, 2012)

(9)

2.6 Pengobatan Kanker Kolorektal

Tingkat kesembuhan kanker kolorektal stadium dini (belum menembus usus besar) dalam waktu 5 tahun adalah sebesar 90%. Tetapi jika sudah berada pada stadium lanjut maka tingkat kesembuhan dalam waktu 5 tahun sebesar 10%. Pilihan pengobatan yang bisa dilakukan untuk menangani kanker kolorektal akan sangat tergantung pada stadium, posisi, dan ukuran serta penyebarannya (Soebachman, 2011).

Ada beberapa pilihan dalam pengobatan kanker kolorektal biasanya meliputi : a. Sistemik Kemoterapi

5-fluorourasil tetap menjadi rejimen kemoterapi pilihan untuk kanker kolon baik dalam pengaturan ajuvan dan metastasis. Dalam 10 tahun terakhir, kombinasi regimen tersebut memberikan tingkat kemanjuran dan meningkatkan perkembangan masa hidup pada pasien dengan metastasis kanker kolon. Selain 5-fluorourasil, fluoropyrimidines seperti capecitabine (xeloda) dan tegafur digunakan sebagai monoterapi atau dikombinasikan dengan oxaliplatin (Eloxatin) dan irinotecan. Beberapa rejimen kombinasi standart menggunakan infus terus berkepanjangan yang mengandung fluorourasil atau capecitabine. Ketersediaan kelas baru obat-obatan dan produk biologis aktif untuk kanker kolon diharapkan dapat menambah kelangsungan hidup untuk pasien dengan penyakit metastatis dari 12 bulan pada 2 dekade yang lalu menjadi sekitar 22 bulan saat ini (Kim, 2009 dalam Muttaqin, 2011).

b. Ajuvan (Pascaoperasi) Kemoterapi

Terapi standar kanker kolorektal stadium II akhir dan stadium III diberikan kombinasi fluorourasil dan levamisole seperti dalam bentuk leucovorin. Pendekatan ini telah diuji di beberapa uji acak yang besar dan telah terbukti mengurangi individu 5 tahun resiko kanker kambuh dan kematian sekitar 30% (Arkenau, 2008 dalam Muttaqin, 2011).

Meskipun informasi tentang hasil terapi ajuvan dalam tahap II dan III kanker kolon terbatas, suatu kumpulan data dikumpulkan oleh ajuvan Colon Cancer group endpoint dengan fluorourasil berbasis terapi ajuvan baru-baru ini dianalisis. Para penulis menyimpulkan bahwa kemoterapi ajuvan penyakit signifikan memberikan manfaat kelangsungan hidup karena mengurangi tingkat kekambuhan terutama dalam 2 tahun pertama terapi ajuvan, tetapi dengan beberapa keuntungan di tahun 3-4 (Sargent, 2009 dalam Mutaqqin, 2011).

c. Agen Biologis

Bevacizumab (Avastin) adalah obat angiogenesis pertama yang akan disetujui dalam praktek klinis dan indikasi pertama adalah untuk kanker kolorektal metastatik. Obat ini

(10)

merupakan antibody monoklonal pada faktor pertumbuhan endotel vascular (VEGF) dengan menunjukkan perkembangan membaik dan kelangsungan hidup secara keseluruhan ketika bevacizumab ini ditambahkan ke kemoterapi (IFL,fluorourasil ditambah irinotecan). Sebuah analisis kobort dari pasien yang lebih tua (umur 65 tahun atau lebih) dari 2 uji klinis acak memeriksa bevacizumab ditambah manfaat fluorourasil berbasis kemoterapi pengobatan kanker kolorektal metastatic. Studi menyimpulkan bahwa penambahan bevacizumab untuk kemoterapi fluorourasil secara keseluruhan memberikan perbaikan dan kemajuan masa hidup pada pasien tanpa peningkatan resiko pengobatan pada kelompok usia yang lebih tua (Kabbinavar, 2009 dalam Muttaqin, 2011).

d. Terapi Radiasi

Sampai saat ini radiasi tetap merupakan modalitas standar untuk pasien dengan kanker rectal, peran terapi kanker kolon masih terbatas. Terapi ini tidak memiliki peran dalam pengaturan ajuvan atau dalam pengaturan metastatis. Terapi ini terbatas pada terapi paliatif, Untuk metastatis dipilih sisi lain seperti tulang metastatis. Lebih baru dan lebih selektif secara pemberian terapi radiasi seperti stereotatic radioterai (CyberKnife) (Dragovich, 2009 dalam Muttaqin, 2011).

e. Terapi bedah

Pembedahan biasanya merupakan pengobatan utama untuk kanker usus stadium awal. Biasanya bagian usus yang terkena kanker akan diangkat, kemudian disambungkan kembali dengan bagian usus yang tersisa.

Pembedahan adalah tindakan primer untuk kebanyakan kanker kolon dan rektal, pembedahan dapat bersifat kuratif atau paliatif. Apabila tumor sudah menyebar dan mencakup struktur vital sekitar, operasi tidak dapat dilakukan. Tipe pembedahan tergantung dari lokasi dan ukuran tumor.

Prosedur pembedahan pilihan adalah sebagai berikut (Doughty & Jackson, 1993 dalam Haq 2011) :

a. Reseksi segmental dengan anastomosis (pengangkatan tumor dan porsi usus pada sisi

pertumbuhan, pembuluh darah dan nodus limfatik)

b.Reseksi abominoperineal dengan kolostomi sigmoid permanen (pengangkatan tumor dan

porsi sigmoid dan semua rektum serta sfingter anal)

c. Kolostomi sementara diikuti dengan reseksi segmental dan anastomosis serta reanastomosis

lanjut dari kolostomi

d. Kolostomi permanen atau iliostomy (untuk menyembuhkan lesi obstruksi yang tidak dapat

(11)

3. Kolostomi

3.1 Pengertian Kolostomi

Kolostomi adalah suatu operasi untuk membentuk suatu hubungan buatan antara kolon dengan permukaan kulit pada dinding perut. Hubungan ini dapat bersifat sementara atau menetap selamanya (Ilmu bedah, Thiodorer Schrock, 1983 dalam Silahoi, 2012). Kolostomi adalah lubang yang dibuat melalui dinding abdomen ke dalam kolon iliaka untuk mengeluarkan feses (Evelyn, 1991, Pearce, 1993 dalam silahoi, 2012). Kolostomi merupakan pengalihan isi kolon, yang dapat permanen atau sementara. Kolostomi asenden, transversum dan sigmoid dapat dilakukan. Kolostomi adalah membuat ostomi di kolon, dibentuk bila usus tersumbat oleh tumor (Harahap, 2006 dalam Slideshare,2012

3.2 Jenis-jenis Kolostomi

Menurut Perry dan Potter, (2005) terdapat tiga jenis konstruksi kolostomi, yaitu: 1. Loop Colostomy

Loop colostomy (colostomy lengkung) biasanya dilakukan dalam keadaan darurat saat petugas kesehatan mengantisipasi penutupan kolostomi.

2. End Colostomy

End colostomy (kolostomi ujung) terdiri atas satu stoma yang dibentuk dari ujung proksimal usus, dengan bagian distal sistem pencernaan diangkat atau dijahit, dan dibiarkan pada ruang abdomen. Untuk beberapa klien kolostomi ujung dilakukan sebagai terapi pembedahan pada kanker kolorektal.

3. Double-Barrel Colostomy

Kolostomi double-barrel terdiri atas dua stoma yang berbeda, yaitu ujung proksimal untuk membentuk stoma fungsional dan ujung distal untuk membentuk stoma yang tidak fungsional.

Menurut Suriadi, (2006 dalam Slideshare, 2012) jenis kolostomi berdasarkan lokasinya, yaitu:

(a) Transversokolostomi merupakan kolostomi dikolon transversum; (b) Sigmoidostomi merupakan kolostomi di digmoid; (c) Kolostomi desenden yaitu

(12)

3.3 Indikasi Kolostomi

Tindakan pembedahan kolostomi dapat di indikasikan pada penyakit usus yang ganas seperti carcinoma pada usus,kondisi inveksi tertentu pada kolon, trauma kolon, diversi pada anus malformasi, diversi pada penyakit hirschprung dan diversi untuk kelainan lain pada rekto sigmoid dan anal.

3.4 Komplikasi Kolostomi

Insiden komplikasi untuk pasien dengan kolostomi sedikit lebih tinggi dibanding pasien ileostomi. Beberapa komplikasi umum adalah prolaps stoma, perforasi, retraksi stoma, impaksi fekal dan iritasi kulit. Kebocoran dari sisi anastomotik dapat terjadi bila sisa segmen usus mengalami sakit atau lemah. Kebocoran dari anastomotik menyebabkan distensi abdomen dan kekakuan, peningkatan suhu serta tanda syok. Perbaikan pembedahan diperlukan (Brunner dan Suddarth, 2000 dalam Slideshare, 2012).

4. Konsep Diri Pasien Kanker Kolorektal dengan Tindakan Kolostomi

Individu kanker kolorektal pada umumnya memiliki konsep diri negative, yang disebabkan kanker kolorektal merupakan kanker penyebab kematian nomor dua pada pria dan nomor tiga pada wanita (WHO, 2006). Kanker kolorektal ini menyebabkan penderitanya harus melakukan tindakan pengobatan ataupun pembedahan, salah satunya dengan tindakan kolostomi. Tindakan kolostomi atau pemasangan stoma ususdapat berdampak pada aspek-aspek kehidupan dari pasien salah satunya adalah aspek-aspek psikologis. Aspek psikologis ini mengacu pada aspek positif, spiritual, berpikir, belajar, memori dan konsentrasi, gambaran diri dan penampilan, harga diri dan efek negatif. Sebuah ostomi dapat menimbulkan perubahan citra tubuh yang serius terutama jika ostomi tersebut bersifat permanen. Pemasangan stoma usus dipandang sebagai suatu beban stress yang dapat mempengaruhi kualitas hidup dengan berbagai dimensinya. Pada awalnya subjek penderita merasa tidak nyaman, malu, nyeri, cemas, dan masalah-masalah lainnya.

Pada suatu penelitian mengemukakan bahwa stoma berpengaruh pada keterbatasan melakukan aktifitas sehari-hari dan pergaulan sosial (Gooszen,dkk, 2000 dalam Kangofunohibi, 2011). Pada subjek yang memakai ostomi memiliki kesulitan untuk mempertahankan atau memulai hubungan sosial dengan masyarakat dikarenakan oleh kehilangan harga dirinya akibat bau busuk, tumpahan atau kebocoran feses yang encer, dan ketidakmampuan mengatur defekasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Prawesti Priaambodo,dkk, (2007) menyatakan bahwa kepuasan terhadap hubungan seksual

(13)

merupakan item kualitas hidup yang skornya paling rendah pada subjek yang memiliki stoma usus. Hal ini dikarenakan kurangnya pengetahuan tentang variasi cara pemenuhan kebutuhan seksual yang menimbulkan rasa kurang percaya diri untuk berhubungan seksual. Adanya stoma usus pada dinding perut sering menimbulkan citra diri negatif dan mengurangi daya tarik pada lawan jenisnya. Pemasangan stoma pada dinding usus

juga berakibat merasa terhambat untuk berjalan, bekerja, melakukan aktifitas sehari hari dan akhirnya berimplikasi pada biaya untuk kebutuhan sehari-hari

Dengan latar belakang subjek yang memakai kolostomi menyebabkan kehilangan rasa percaya diri, harga diri rendah dan bila kemampuan adaptasinya tidak mencukupi, tidak menutupi kemungkinan subjek pemakai stoma usus bisa putus asa, depresi dan jatuh pada kondisi buruk kesehatannya. Selain itu, subjek yang memakai kolostomi pada umumnya memandang negatif terhadap diri sendiri, hal itu dapat mempengaruhi perannya dalam kehidupan sehari-harinya, subjek merasa tidak mampu melakukan apapun, merasa malu untuk bergabung dengan kelompok sosialnya, dan memiliki pandangan negatif terhadap gambaran dirinya sekarang serta merasa tidak memiliki kekuatan untuk meraih hal yang lebih baik dimasa depan adalah penyebab subjek yang memakai kolostomi menjadi memiliki konsep diri yang negatif (Kangofunohibi, 2011).

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dapat disebabkan oleh perbedaan karakteristik yang dimiliki oleh individu dengan tipe kepribadian Ekstrovert dan Introvert yang berdampak pada

WHO (1989) menetapkan bahwa individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi adalah individu yang tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh

konsep diri. Peran yang di ukur dalam kelompok sebaya sangat berpengaruh terhadap pandangan individu mengenai dirinya sendiri. Karena kawan sebaya memengaruhi pola kepribadian

Berdasarkan definisi di atas dapat disimpulkan bahwa citra tubuh merupakan perasaan, pengalaman, sikap dan evaluasi yang dimiliki seseorang mengenai tubuhnya yang meliputi

Pada anak dengan status gizi buruk dan kurang kekebalan tubuh akan berkurang sehingga rentan terhadap penyakit, namun demikian, pada anak yang sehat dan dengan gizi cukup,

Body Image negatif merupakan suatu persepsi yang salah mengenai bentuk tubuh individu, perasaan yang bertentangan dengan kondisi.. tubuh individu sebenarnya, individu merasa

Gejala positif terdiri dari fenomena yang tidak muncul pada individu sehat (Santosh, et al., 2013) antara lain yang paling penting, halusinasi (persepsi yang salah dari

Berdasarkan definisi yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan bahwa sikap terhadap makan sehat berarti evaluasi individu secara afektif, kognitif dan perilaku terhadap makan