• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Isolasi Sosial

1.1 Pengertian

Menurut Townsend (1998), isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Sedangkan menurut DEPKES RI (1998) penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap.

Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak (Carpenito, 1998). Menurut Rawlins & Heacock (1998) isolasi sosial menarik diri merupakan usaha menghindari dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.

(2)

Isolasi sosial merupakan kondisi kesendirian yang dialami oleh individu dan diterima sebagai ketentuan oleh orang lain dan sebagai suatu keadaan yang negatif atau mengancam kelainan interaksi sosial. Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampua berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain.

1.2 Faktor pendukung/pencetus terjadinya isolasi sosial

Rentang respon perilaku

Respon adaptif Respon maladaptif

Solitude Kesepian Manipulasi

Otonomi Menarik diri Impulsif

Bekerjasama Tergantung Narkisisme

Saling tergantung

Respon adaptif adalah respon yang masih dapat diterima oleh norma-norma, sosial, dan kebudayaan secara umum yang berlaku di masyarakat. Respon adaptif terdiri dari : solitud, otonomi, bekerjasama, dan saling tergantung. Respon maladaptif adalah respon yang menimbulkan gangguan dengan berbagai tingkat keparahan (Stuart dan Sundeen, 1998). Respon maladaptif terdiri dari manipulasi, impulsif, dan narkisisme. Berdasarkan gambar rentang respon sosial di atas,

(3)

menarik diri termasuk dalam transisi antara respon adaptif dengan maladaptif sehingga individu cenderung berfikir kearah negatif.

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Akan tetap, menurut Stuart dan Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal.

Faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:

1.2.1 Faktor predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

a. Faktor perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, maka akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih saying, perhatian, dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan dikemudian hari. Oleh karena itu, komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak merasa diperlakukan sebagai objek.

(4)

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi penting dalam mengembangkan gangguan tingkah laku seperti sikap bermusuhan/hostilitas, sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak, selalu mengkritik, menyalahkan, dan anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya, kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaraan anak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah, ekspresi emosi yang tinggi,

double bind, dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat

c. Faktor sosial budaya.

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

d. Faktor biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian kembar monozigot apabila salah satu diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%.

(5)

Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor presipitasi

Stresor presipitasi dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

a. Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dan dirawat di rumah sakit atau di penjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

b. Stressor biokimia berupa teori dopamin yaitu kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta traktus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) di dalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka penurunannya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.Faktor endokrin berupa jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat oleh dopamin. Hipertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenokortikal seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik. Viral hipotesis yaitu beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah struktur sel-sel otak.

(6)

c. Stresor biologik dan lingkungan sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

d. Stresor psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intensitas kecemasan ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa, perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

Strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya.

Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalah sebagai berikut:

1) Tingkah laku curiga: proyeksi

2) Dependency: reaksi formasi

(7)

4) Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial

5) Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

6) Skizofrenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi, dan

regrasi.

2. Ketidakmampuan Sosialisasi

2.1 Pengertian

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang orang disekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya.

Kuntjoro (1989) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidak mampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkahlaku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauannya sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan

(8)

tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO (1980) disebut sebagai catatan psikososial (psychosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa (1996), yaitu suatu keadaan dimana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang kadang tidak dapat diterima oleh masyarakatnya. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu yang berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu. Di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan

handicap, karena sangat luasnya pengertian istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan penggunaan defenisi-defenisi yang ditetapkan oleh WHO (1989) dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefenisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Dan yang dikatakan cacat adalah apa saja yang biasa disebut dengan anomaly defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem

(9)

fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat organ.

b. Disabilities

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap nomal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Disabilities juga timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, seks dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari cacat dan disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi, dan lingkungannnya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.2 Gambaran umum individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi

Menurut WHO (1989), bahwa angka rata-rata kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang

(10)

mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk ke dalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan.

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi biasanya dipisahkan oleh masyarakat setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan.

2.3 Ciri-ciri individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi

WHO (1989) menetapkan bahwa individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi adalah individu yang tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal seperti tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan, tidak mampu memakai pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan

(11)

tidak mempunyai penghasilan yang untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, dan kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga.

2.4 Aspek-aspek ketidakmampuan bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989), aktivitas klien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan atas tiga yaitu (a) Tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan kebutuhan hidup sehari-hari (Activity Daily Living = ADL), (b) tingkah laku sosial dan (c) tingkah laku sosial okupasional yang dapat dijabarkan sebagai berikut :

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan klien sewaktu bangun tidur. 2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah

laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.

6) Kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

(12)

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauh mana klien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat di tempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang klien untuk pergi tidur. Pada klien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana klien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial klien dalam kehidupan masyarakat yang meliputi

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama klien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku klien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu bicara, yaitu sikap klien sewaktu bicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan cara lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

(13)

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku klien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobi dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan klien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca.

3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku klien yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya. 4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat

diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana klien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan

(14)

tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku klien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan perbuatan tersebut berupa reaksi klien bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.

2.5 Faktor-faktor yang mempengaruhi timbulnya ketidakmampuan bersosialisasi pada klien skizofrenia

Birchwood (1987) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Hasil Penelitian Klerman (1971) menggambarkan bahwa timbulnya

social functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang dialami oleh penderita skizofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell (1979)

(15)

melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya maka akan semakin buruk juga social functioning.

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat menimbulkan dan memperparah ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya:

2.5.1 Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.

2.5.2 Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

2.5.3 Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

2.5.4 Keluarga dan masyarakat yang menertawakan penderita skizofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.

(16)

3. Strategi Pertemuan

3.1 Pengertian

Strategi pertemuan adalah pelaksanaan standar asuhan keperawatan terjadwal yang diterapkan pada klien dan keluarga pasien yang bertujuan untuk mengurangi masalah keperawatan jiwa yang ditangani (Fitria, 2009).

3.2 Tujuan

3.2.1 Klien mampu membina hubungan saling percaya

3.2.2 Klien mampu menyadari penyebab isolasi sosial

3.2.3 Klien mampu berinteraksi dengan orang lain

3.3 Pembagian strategi pertemuan isolasi sosial

3.3.1 Kemampuan Merawat klien Strategi Pertemuan 1 (SP1) :

1) Mengidentifikasi penyebab isolasi sosial (teman yang disukai, yang tidak disukai, dan alasannya).

2) Berdiskusi dengan klien tentang keuntungan berinteraksi dengan orang lain. 3) Berdiskusi dengan klien tentang kerugian tidak berinteraksi dengan orang lain. 4) Mengajarkan klien cara berkenalan dengan satu orang.

5) Menganjurkan klien memasukkan kegiatan latihan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian.

(17)

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

2) Memberikan kesempatan kepada klien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang.

3) Membantu klien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian

Strategi Pertemuan 3 (SP3)

1) Mengevaluasi jadwal kegiatan harian klien.

2) Memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih. 3) Menganjurkan klien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan harian 3.3.2 Kemampuan Merawat Keluarga

Strategi Pertemuan 1 (SP1)

1) Mendiskusikan masalah yang dirasakan keluarga dalam merawat klien isolasi sosial.

2) Menjelaskan pengertian, tanda, dan gejala isolasi sosial yang dialami klien beserta proses terjadinya.

3) Menjelaskan cara-cara merawat klien isolasi sosial (cara berkenalan dengan orang lain).

Strategi Pertemuan 2 (SP2)

1) Melatih keluarga mempraktekkan cara merawat klien dengan isolasi sosial. 2) Melatih keluarga melakukan cara merawat langsung kepada klien isolasi sosial. Strategi pertemuan 3 (SP3)

1) Membantu keluarga membuat jadwal aktifitas di rumah termasuk minum obat. 2) Menjelaskan follow up klien dan rujukan.

(18)

3.4 Evaluasi

3.4.1 Evaluasi kemampuan klien yaitu klien menjelaskan kebiasaan berinteraksi, klien menjelaskan penyebab tidak bergaul dengan orang lain, klien menyebutkan keuntungan bergaul dengan orang lain, klien menyebutkan kerugian tidak bergaul dengan orang lain, klien memperagakan cara berkenalan dengan orang lain, klien bergaul/berinteraksi dengan perawat, keluarga, tetangga, klien menyampaikan perasaan setelah interaksi dengan orang tua, klien mempunyai jadwal bercakap-cakap dengan orang lain, dan klien menggunakan obat dengan patuh

3.4.2 Evaluasi kemampuan keluarga yaitu keluarga menyebutkan masalah isolasi sosial dan akibatnya, keluarga menyebutkan penyebab dan proses terjadinya isolasi sosial, keluarga membantu klien berinteraksi dengan orang lain, dan keluarga melibatkan klien melakukan kegiatan di rumah tangga.

Referensi

Dokumen terkait

Sewaktu lahan di bumi terus-menerus diperindah de- ngan gedung-gedung kudus yang diabdikan bagi Tuhan, adalah doa saya semoga kita akan melakukan bagian kita dalam membawa surga

Peran pemimpin KSM dalam mengembangkan wawasan dan ketrampilan anggota kelompok dirasakan manfaat oleh anggota dalam mengembangkan

7 Data Dokumentasi keadaan siswa tiga tahun terakhir SMP Negeri 1 Kedungwaru, 16 Mei

Melalui analisis semiotika sosial peneliti menemukan bahwa realitas pindah agama yang dilakukan oleh selebriti ke Kristen merupakan sebuah kesalahan. Bahkan isu

Peningkatan hasil pengamatan keterlaksanaan pembelajaran (kegiatan mengajar guru dan belajar siswa) menunjukkan ketuntasan yang dicapai guru dan siswa dalam proses pembelajaran

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Dalam hal ini pelatih sangat berperan penting, maka dari itu peneliti berusaha untuk merubah pandangan beberapa pelatih bahwa komponen biomotor khususnya

Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mendeskripsikan (1) pilihan kata yang terdapat dalam kegiatan panjat dinding di