5 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Landasan Teori 1. Menarche
a. Definisi
Pubertas adalah periode pertama di mana seseorang memiliki kemampuan untuk bereproduksi dan ditandai dengan pematangan organ-organ genital, perkembangan karakter seksual sekunder, pertumbuhan tubuh yang pesat, perubahan afeksi, dan terjadinya menarche pada wanita (Yen et al., 2014). Menarche adalah periode menstruasi pertama dari seorang wanita pada masa pubertas (Dvornyk dan Haq, 2012). Menstruasi adalah proses peluruhan dinding endometrium jika ovulasi tidak diikuti oleh fertilisasi (Lacroix et al., 2020).
Setiap wanita mengalami kejadian menarche pada usia yang berbeda-beda pada akhir dari pubertas (Karapanou dan Papadimitriou, 2010). Menurut Yen et al. (2014), seorang wanita akan mengalami menarche sekitar 2-3 tahun setelah onset terjadinya perkembangan buah dada. Rata-rata wanita seluruh etnis di dunia akan mengalami menarche di antara usia 12-13 tahun (Yen et al., 2014). Menurut Batubara et al. (2010), remaja wanita di Indonesia mengalami kejadian menarche pada usia 12- 14 tahun, dengan rata-rata usia menarche 12,96 tahun. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) (2012), dalam Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) 2012 didapatkan bahwa rata-rata usia menarche remaja wanita di Indonesia adalah 13,64 tahun, dengan usia termuda 9 tahun. Pada penelitian yang dilakukan oleh Moelyo et al. (2019), didapatkan rata-rata usia menarche pada 835 siswi di Surakarta adalah 12 tahun.
6 b. Fisiologi menarche
Menarche adalah kejadian menstruasi yang melibatkan interaksi kompleks antara hipotalamus, pituitari, dan hormon ovarium (Lacroix et al., 2020). Siklus menstruasi dibagi menjadi dua fase, yaitu fase folikuler dan fase luteal, di mana kejadian ovulasi terjadi di antara kedua fase. Fase folikel dimulai pada saat terjadi pendarahan menstruasi dan berakhir sebelum lonjakan luteinizing hormone (LH). Fase luteal dimulai ketika terjadi lonjakan LH dan berakhir pada onset terjadinya menstruasi.
Siklus ini biasanya berlangsung selama 28 hari (Rosner et al., 2020). Menurut Kuzmar et al., (2015), siklus menstruasi terjadi setiap bulan selama masa reproduktif seorang wanita (dari masa pubertas hingga menopause) yang berlangsung sekitar 25-32 hari, sedangkan di luar itu dianggap tidak normal.
Siklus ovarium melibatkan interaksi yang kompleks antara berbagai unit endokrin, yaitu hipotalamus, hipofisis anterior, folikel, dan korpus luteum. Dirangsang oleh kisspeptin, hipotalamus akan menghasilkan GnRH yang akan merangsang hipofisis anterior untuk menghasilkan follicle-stimulating hormone (FSH) dan LH. Pada fase folikuler, folikel ovarium akan mengalami pertumbuhan dan menghasilkan estrogen di bawah pengaruh FSH, LH, dan hormon estrogen itu sendiri. Kadar estrogen yang meningkat akan memberikan negative feedback terhadap sekresi FSH. Ketika kadar estrogen mencapai puncaknya, akan menimbulkan terjadinya lonjakan LH. Lonjakan LH akan menyebabkan terjadinya ovulasi dari folikel yang tumbuh paling dominan. Memasuki fase luteal, folikel yang sudah pecah akibat ovulasi akan berubah menjadi korpus luteum yang kemudian akan menyekresi progesteron dan estrogen.
Kedua hormon tersebut akan menimbulkan efek inhibitorik pada sekresi FSH dan LH. Estrogen akan menyebabkan terjadinya
7
proliferasi dinding endometrium dan progesteron akan menyebabkan terjadinya perubahan sekretorik dan vaskular pada dinding endometrium untuk mempersiapkan tempat terjadinya implantasi. Jika tidak terjadi proses fertilisasi dalam waktu dua minggu, korpus luteum akan mengalami degenerasi dan terjadi penurunan hormon progesteron dan estrogen. Hal ini menyebabkan terjadinya peluruhan dinding endometrium atau menstruasi dan efek inhibitorik pada FSH dan LH akan lenyap.
Kejadian ini diikuti dengan fase folikuler kembali sebagai penanda dimulainya siklus ovarium yang baru (Sherwood, 2014).
Durasi dan volume pendarahan dalam setiap siklus menstruasi pun dapat berbeda-beda. Hal ini dipengaruhi oleh umur wanita tersebut, berat badan, diet, aktivitas fisik, tingkat stres, dan genetik (Kuzmar et al., 2015).
Gambar 2.1. Fisiologi menstruasi (Sherwood, 2014)
8 c. Usia menarche dini
Menarche adalah kejadian menstruasi pertama kali di mana terjadi perdarahan dari uterus seorang wanita (Puspitasari et al., 2016). Di Indonesia, menarche biasa terjadi pada usia 12-14 tahun (Batubara et al., 2010). Jika menarche terjadi lebih cepat dari usia biasanya, maka menarche tersebut dapat disebut sebagai menarche dini. Menurut Nnoaham et al. (2012), menarche dini biasa didefinisikan sebagai kejadian menarche yang terjadi sebelum usia 12 tahun (<12 tahun). Menurut Gaudineau et al.
(2010), menarche dini didefinisikan sebagai kejadian menstruasi pertama kali sebelum usia 11 tahun. Hal ini bisa terjadi oleh karena faktor-faktor yang memengaruhinya. Penurunan usia menarche dapat berdampak pada kesehatan seseorang di masa depan (Dvornyk dan Haq, 2012).
d. Faktor-faktor yang memengaruhi usia menarche 1) Aktivitas fisik
Pubertas dini pada seorang perempuan diasosiasikan dengan aktivitas fisik (Lee et al., 2016). Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dan Ungsianik (2013), menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara usia menarche dengan aktivitas fisik. Perempuan yang melakukan aktivitas fisik yang lebih rendah akan lebih mungkin mengalami menarche lebih dini, sedangkan perempuan yang melakukan aktivitas fisik yang lebih tinggi cenderung memiliki usia menarche yang terlambat (Yermachenko dan Dvornyk, 2014). Menurut Ajita dan Jiwanjot (2014), atlet perempuan memiliki usia menarche yang terlambat.
2) Genetik
Usia menarche seseorang dapat dipengaruhi oleh faktor genetik (Dvornyk dan Haq, 2012). Faktor genetik
9
akan diwariskan oleh orang tua kepada anaknya, termasuk juga faktor bawaan yang normal, patologis, obstetri, ras, dan lain-lain. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Jahanfar et al. (2013), heritabilitas atau daya waris genetik usia menarche adalah 66%. Semakin tinggi heritabilitas, semakin mengindikasikan bahwa variasi yang terjadi pada individu berhubungan dengan faktor genetik yang diturunkan. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari et al.
(2015), yang meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan kejadian menarche siswi di SMPN 31 Semarang, mendapatkan hubungan yang signifikan antara usia menarche ibu dengan anaknya. Anak yang memilik i ibu dengan menarche dini, cenderung akan mengalami menarche dini juga. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Lusiana (2012), melaporkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara usia menarche anak dengan usia menarche ibu.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Deardorff et al. (2014), perempuan ras kulit hitam dan hispanic mengalami menarche yang lebih dini dibandingkan dengan ras kulit putih. Peneliti mengungkapkan hal tersebut juga dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan (Jahanfar et al., 2013).
3) Body Mass Index (BMI)
Parameter tubuh seperti Body Mass Index (BMI), memiliki korelasi yang kuat dengan usia menarche seseorang. Asupan nutrisi yang berlebihan akan membuat BMI dan massa lemak dalam tubuh menjadi lebih tinggi dari normal. BMI pre-pubertas dan massa lemak yang berlebih dapat mempercepat onset masa pubertas (Soliman et al., 2014). Pada anak yang menerima asupan nutrisi
10
berlebih juga dihubungkan dengan kejadian menarche dini.
Hal ini sejalan dengan Ayele dan Berhan (2013), yang menyampaikan bahwa usia menarche dini diasosiasikan dengan asupan kalori yang tinggi, diet protein yang tinggi, dan aktivitas fisik yang rendah. Asupan berlebih tersebut dapat menimbulkan berat badan yang berlebih. Anak perempuan yang memiliki berat badan di atas normal cenderung mengalami menarche lebih dini (Sherwood, 2014).
4) Sosial Ekonomi
Menarche dini juga diasosiasikan dengan faktor status sosial ekonomi (Deardorff et al., 2014). Pada abad ke-20, usia menarche mengalami penurunan sebesar tiga bulan tiap dekade. Hal ini dapat terjadi karena pertumbuhan sosial ekonomi yang drastis, terutama di daerah yang mengalami industrialisasi (Karapanou dan Papadimitriou, 2010).
Menurut Deardorff et al. (2014), terdapat hubungan yang berarti antara usia menarche dengan status sosial ekonomi, termasuk di dalamnya yaitu status ibu yang belum menikah dan pendapatan keluarga yang rendah. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lusiana (2012), yang mengungkapkan bahwa terdapat hubungan yang berarti antara usia menarche dengan faktor sosial ekonomi. Seorang anak yang lahir di dalam keluarga dengan status sosial ekonomi yang tinggi, tentu akan lebih tercukupi kebutuhan gizinya dibandingkan dengan anak yang lahir di dalam keluarga dengan status sosial ekonomi yang rendah. Kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan gizi biasa dihubungkan dengan penghasilan
11
yang didapatkan di dalam keluarga. Penghasilan yang tinggi tentu dapat mencukupi kebutuhan gizi keluarganya.
e. Implikasi pada kesehatan
Usia menarche memiliki implikasi penting terhadap kesehatan seseorang di masa depan (Dvornyk dan Haq, 2012).
Usia menarche dini dihubungkan dengan kejadian resistensi insulin, peningkatan indeks massa tubuh, tekanan darah yang lebih tinggi, intoleransi glukosa, dan komponen total sindrom metabolik dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya peningkatan risiko masalah kardiovaskuler (Mueller et al., 2012).
Berbagai penelitian juga mengatakan bahwa menarche dini menjadi salah satu faktor risiko terjadinya kanker payudara. Hal ini dijelaskan karena kejadian menarche biasa dibarengi dengan obesitas, sehingga level insulin, testosteron, dan insulin-like growth factor-1 (IGF-1) dalam sirkulasi akan menjadi lebih tinggi. Hal ini akan mendorong terjadinya proliferasi dari jaringan mammary dan kemungkinan terjadinya keganasan akan lebih meningkat (Karapanou dan Papadimitriou, 2010).
Menarche dini juga diasosiasikan dengan kejadian hubungan seksual yang lebih dini dan faktor risiko terjadinya depresi. Melalui penelitian yang dilakukan pada 142 anak perempuan di Quebec, didapatkan bahwa perempuan yang mengalami menarche dini menunjukkan gejala depresi dibandingkan dengan anak perempuan yang mengalami menarche tepat waktu (Trépanier, 2013).
Perbedaan usia menarche juga dilaporkan memengaruhi kepadatan tulang. Wanita yang mengalami menarche dini akan memiliki kepadatan tulang yang lebih tinggi pada masa tuanya.
Hal ini kemungkinan disebabkan akibat paparan estrogen yang lebih lama, di mana hormon tersebut memiliki efek protektif pada kepadatan tulang, sedangkan usia menarche lanjut diasosiasikan
12
dengan kejadian osteoporosis dan risiko terjadinya fraktur tulang (Karapanou dan Papadimitriou, 2010). Menarche lanjut juga dapat menyebabkan dampak psikososial sehingga memengaruhi emosional, sosial, dan akademik (Tang et al., 2020).
Tabel 2.1. Implikasi kesehatan pada menarche dini dan lanjut (Karapanou dan Papadimitriou, 2010; Tang et al., 2020)
Menarche dini Menarche lanjut Obesitas tipe abdominal Osteoporosis Resistensi insulin Fraktur tulang Intoleransi glukosa Psikososial Kardiovaskuler
Penyakit jantung koroner Peningkatan densitas mineral tulang
Peningkatan mortalitas kanker
Gangguan psikologis
2. Aktivitas Fisik a. Definisi
Menurut World Health Organization (WHO) (2020), aktivitas fisik didefinisikan sebagai pergerakan anggota tubuh oleh otot rangka yang membutuhkan pengeluaran energi.
Aktivitas fisik merujuk pada setiap gerakan pada waktu istirahat, saat bertransportasi, atau bagian dari pekerjaan seseorang. Hal- hal yang biasa dilakukan seseorang untuk menjadi aktif adalah berjalan, bersepeda, olahraga, rekreasi, dan bermain. Aktivitas fisik yang dilakukan secara teratur dapat meningkatkan kualitas hidup, kesehatan mental, menjaga berat badan yang sehat, dan menghindari berbagai penyakit tidak menular, seperti penyakit jantung, stroke, diabetes, kanker, dan sebagainya.
Menurut WHO (2020), untuk mencapai kesehatan yang optimal, aktivitas fisik yang direkomendasikan bagi seorang anak dan remaja yang berusia 5-17 tahun adalah:
1) Melakukan aktivitas fisik intensitas sedang hingga tinggi selama 60 menit perhari.
13
2) Melakukan aktivitas aerobik intensitas tinggi dan aktivitas yang memperkuat tulang dan otot setidaknya 3 hari dalam satu minggu.
3) Membatasi waktu yang dihabiskan untuk tidak bergerak (sedentary behaviour), seperti berada di depan layar TV, komputer, dan lain-lain.
b. Dampak pada kesehatan
Aktivitas fisik yang teratur seperti berjalan, bersepeda, olahraga, dan rekreasi yang aktif dapat memberikan manfaat yang signifikan bagi kesehatan tubuh. Sebaliknya, ketidakaktifan secara fisik dapat menjadi faktor risiko utama terjadinya penyakit tidak menular. Seseorang yang tidak aktif secara fisik memilik i risiko 20-30% lebih tinggi mengalami kematian dibanding kan dengan seseorang yang aktif secara fisik (WHO, 2020).
Manfaat aktivitas fisik yang teratur pada anak dan remaja adalah (WHO, 2020):
1) Meningkatkan fungsi otot, kardiovaskuler dan respirasi.
2) Meningkatkan kesehatan tulang.
3) Meningkatkan fungsi kognitif.
4) Menurunkan risiko kejadian hipertensi, Penyakit Jantung Koroner (PJK), stroke, diabetes, kanker, dan depresi.
5) Menurunkan risiko jatuh dan fraktur tulang.
6) Memelihara berat badan yang sehat dengan menurunkan jaringan lemak.
Seiring berkembangnya zaman, masyarakat di dunia semakin tidak aktif secara fisik. Hal ini dapat terjadi karena meningkatnya penggunaan kendaraan, penggunaan alat elektronik untuk bekerja, sekolah, hiburan, dan lain-lain. Remaja
14
perempuan juga cenderung lebih tidak aktif dibandingkan dengan remaja laki-laki (WHO, 2020).
Risiko kesehatan pada anak dan remaja yang dapat terjadi jika tidak aktif secara fisik (WHO, 2020):
1) Meningkatkan jaringan lemak sehingga dapat meningkatkan berat badan.
2) Menurunkan kesehatan kardiovaskular dan metabolik, kebugaran, dan perilaku sosial.
3) Menurunkan durasi tidur.
c. Klasifikasi aktivitas fisik
Menurut Benítez-Porres et al. (2016), dengan mengikuti standar kriteria rekomendasi aktivitas fisik internasional, aktivitas fisik pada remaja dapat diklasifikasikan menjadi aktif dan tidak aktif dengan menggunakan Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C). Seorang remaja dikatakan sebagai anak yang aktif (60 menit aktivitas sedang hingga tinggi) jika memiliki rata- rata nilai (cut-off point) PAQ-C sebesar 2,73.
d. Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C)
Physical Activity Questionnaire for Children (PAQ-C) adalah kuesioner untuk menilai pola aktivitas fisik pada seorang anak. Dalam PAQ-C, responden akan diajukan 8-9 pertanyaan mengenai frekuensi mereka melakukan aktivitas fisik. Melalui PAQ-C akan didapatkan informasi berupa berbagai jenis aktivitas fisik dan olahraga, kegiatan selama makan siang, kegiatan setelah sekolah, pada malam hari, dan pada akhir pekan selama 7 hari kemarin. Kuesioner akan dinilai dengan menggunakan skala 1 (aktivitas fisik rendah) hingga 5 (aktivitas fisik tinggi). Hasil akhir PAQ-C berupa rata-rata dari total penilaian tersebut (Benítez-Porres et al., 2016).
Pada penelitian yang dilakukan oleh (Dapan et al., 2017), didapatkan bahwa PAQ-C valid dan reliabel. PAQ-C diuji
15
validitasnya dengan kriterium Tes Kebugaran Jasmani Indonesia dan mendapatkan nilai korelasi sebesar 0,475, di mana makna korelasinya cukup erat. Instrumen tersebut juga terbukti reliabel dengan skor Cronbach Alpha antara 0,682-0,745.
3. Hubungan antara aktivitas fisik dengan usia menarche pada anak Pengaruh aktivitas fisik pada usia menarche seseorang dapat dijelaskan melalui beberapa mekanisme, salah satunya adalah stres fisik. Aktivitas fisik dengan intensitas sedang hingga tinggi dapat mengaktifkan hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) aksis, sehingga kadar kortisol dalam sirkulasi akan meningkat (Hill et al., 2008; Duclos dan Tabarin, 2016). HPA aksis dapat berinteraksi dengan sistem reproduksi. Kortisol yang disekresikan oleh HPA aksis dapat menekan sekresi gonadotropin dari kelenjar pituitari, sedangkan corticotropin- releasing hormone (CRH) dapat menekan sekresi GnRH dari hipotalamus (Roupas dan Georgopoulos, 2011). Menurut Oakley et al., (2009), hormon kortisol dapat memengaruhi hipotalamus dengan menurunkan denyutan frekuensi GnRH, menyebabkan pituitari tidak responsif terhadap GnRH, dan menunda lonjakan LH. Hal ini dapat menyebabkan fungsi sistem reproduksi terganggu.
Selain karena stres fisik, availabilitas energi pada seseorang juga dianggap sebagai mekanisme yang mendasari terjadinya gangguan menstruasi akibat aktivitas fisik. Availabilitas energi didefinis ikan sebagai energi yang masuk dari makanan dikurangi dengan energi yang keluar saat beraktivitas. Keadaan defisit energi dapat menyebabkan tubuh kekurangan bahan untuk proses metabolisme tubuh. Hal ini dapat menyebabkan perubahan pada fungsi otak dan dapat mengganggu produksi GnRH, walaupun dengan mekanisme yang belum diketahui.
Penelitian yang dilakukan pada monyet mengungkapkan bahwa amenorrhea yang terjadi karena latihan fisik dapat dipulihkan dengan pemberian suplemen diet dan kalori (Roupas dan Georgopoulos, 2011).
16
Aktivitas fisik juga dapat memengaruhi berat badan dan komposisi tubuh seseorang. Menurut Cordova et al., (2013), pada anak yang aktif akan memiliki berat badan, Body Mass Index (BMI), lingkar pinggang, pengukuran skinfold-thickness, dan persentase lemak tubuh yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak aktif. Begitu juga dengan atlet yang melakukan aktivitas fisik yang berat sehingga menyebabkan terjadinya perubahan komposisi tubuh dan rendahnya berat badan. Hal ini dapat menjelaskan penyebab terjadinya disfungsi sistem reproduktif pada atlet. Kejadian ini dihubungkan dengan jaringan adiposa dalam tubuh yang berperan sebagai kelenjar endokrin (Roupas dan Georgopoulos, 2011). Jaringan adiposa menghasilkan leptin yang memiliki peran penting dalam fungsi reproduksi. Leptin merupakan salah satu dari adipokin yang dihasilkan oleh sel-sel lemak di dalam jaringan adiposa putih. Leptin dapat menstimulasi hypothalamic–pituitary–gonadal (HPG) aksis dengan mempercepat sekresi GnRH. Leptin juga memiliki efek langsung pada hipofisis anterior, di mana hasil studi kultur jaringan hipofisis menunjukkan bahwa leptin juga menstimulasi sekresi LH dan FSH. Hormon-hormon yang diinduksi oleh leptin tersebut memiliki peran penting dalam inisiasi dan pemeliharaan fungsi reproduksi (Pérez-Pérez et al., 2015).
Pada atlet yang melakukan latihan fisik berat dilaporkan memiliki kadar leptin yang rendah, sehingga fungsi sistem reproduksi dapat terganggu (Roupas dan Georgopoulos, 2011).
Beberapa penelitian sebelumnya telah mengungkapkan bahwa terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan usia menarche.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ayele dan Berhan (2013), aktivitas fisik memiliki hubungan dengan usia menarche. Hasil penelitian yang dilakukan pada 660 remaja di Ethiopia, menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rata-rata usia menarche seiring dengan meningkatnya aktivitas fisik. Remaja yang tidak aktif memiliki rata- rata usia menarche 13,1 tahun, sedangkan remaja yang aktif memilik i
17
rata-rata usia menarche 14,6 tahun. Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Maidartati (2013), yang menunjukkan bahwa aktivitas fisik merupakan faktor yang memengaruhi usia menarche seseorang. Hasil penelitian didapatkan bahwa pada anak yang aktif memiliki usia menarche yang lebih terlambat. Penelitian yang dilakukan oleh Wulandari dan Ungsianik (2013), juga mengungkapkan bahwa antara usia menarche dengan aktivitas fisik memiliki hubungan yang bermakna (p= 0,015).
B. Kerangka Pemikiran
Gambar 2.2. Kerangka pemikiran
18 C. Hipotesis
Terdapat hubungan antara aktivitas fisik dengan usia menarche pada anak SMPK 1 Surakarta.