13 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Fear of Missing Out 1. Pengertian Fear of Missing Out
Definisi FoMO menurut Herman (2011) adalah:
“FOMO is experienced as a clearly fearful attitude toward the possibility of failing to exhaust available opportunities and missing the expected joy associated with succeeding in doing so” (Herman, 2011)
Melalui penjelasan diatas, dapat dimengerti bahwa FoMO merupakan keadaan mengenai fearful (takut) terhadap kemungkinan gagal memanfaatkan kesempatan dan melewatkan harapan yang mungkin terwujud apabila melakukannya. Menurut Herman (2011), FoMO didasarkan pada fear (takut) mengenai suatu hal yang dilewatkan ketika tidak memiliki waktu maupun uang yang cukup atau memiliki penghalang lainnya.
Fenomena FoMO bermula dari kesadaran seseorang yang semakin meningkat akan pilihan-pilihan menarik yang tidak ada habisnya bagi seseorang (konsumen) untuk memilih (Herman, 2011). Kemudian, terdapat kemampuan konsumen untuk menghabiskan sebanyak mungkin pilihan-pilihan yang diinginkannya. Apabila kemampuan konsumen untuk menghabiskan peluang lebih rendah dari standar yang menjadi patokannya, maka konsumen akan menggunakan imajinasinya untuk membangun persepsi tentang apa yang tidak bisa didapatkannya (Herman, 2011).
Menurut Herman (2011) standar yang menjadi patokan seseorang akan semakin meningkat disebabkan kesadaran akan pilihan yang semakin menarik, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi seperti smartphone dan media sosial yang menyediakan pilihan-pilihan tak terbatas. Dengan kata lain, perkembangan teknologi seperti smartphone dan media sosial memicu semakin meningkatnya FoMO yang dialami oleh seseorang.
Menurut Wortham (2011) FoMO sebenarnya bukan hal yang baru, alih-alih fenomena ini sudah terjadi sepanjang sejarah yang dipicu oleh pembaharuan di halaman surat kabar, foto pesta, dan surat liburan tahunan yang menggambarkan
commit to user commit to user
kemeriahan yang dialami oleh orang-orang. Pada masa ini, informasi-informasi tersebut didapatkan sepanjang hari melalui perangkat teknologi yang digunakan.
Melalui perangkatnya, seseorang juga mendapatkan pembaharuan maupun pengingat sepanjang waktu.
Menurut Wortham (2011), FoMO merupakan:
“FOMO or fear of missing out refers to the blend of anxiety, inadequacy and irritation that can flare up while skimming social media like Facebook, Twitter, Foursquare and Instagram. Billions of Twitter messages, status updates and photographs provide thrilling glimpses of the daily lives and activities of friends,
“frenemies”, co-workers and peers.” (Wortham, 2011)
Mengacu pada definisi yang diungkapkan Wortham (2011) diatas, FoMO merupakan campuran dari anxiety (kecemasan), inadequacy (ketidakmampuan), dan irritation (jengkel) yang muncul ketika melihat milliaran twitter messages, status updates dan fotografi mengenai kehidupan dan aktivitas teman, rekan kerja, frenemies (teman sekaligus lawan) dan teman sebaya. Kehidupan dan aktivitas biasanya ditujukan dalam bentuk berita atau informasi, foto, dan bentuk-bentuk lain yang memperlihatkan kegembiraan individu lain melalui media sosial seperti Facebook, Twitter, Foursquare, dan Instagram. Ketika melihat unggahan mengenai kehidupan dan aktivitas sehari-hari seperti bersepeda, konser, pesta makan malam, atau menikmati malam di kota, seseorang akan merasa lebih terhubung. Selain itu, individu akan dipenuhi perasaan fear (takut) mengenai apakah plihan yang dibuat benar atau salah mengenai cara menghabiskan waktunya.
Miranda (2011) mendefinisikan FoMO sebagai:
“Fear Of Missing Out (FOMO) is the uneasy and sometimes all- consuming feeling that you’re missing out—that your peers are doing, in the know about or in possession of more or something better than you” (Miranda, 2011)
Mengacu pada definisi yang dikemukakan di atas, FoMO merupakan perasaan uneasy (tidak nyaman) dan terkadang merasa tertinggal mengenai aktivitas yang teman sebaya ketahui, lakukan, atau individu lain memiliki sesuatu lebih banyak atau lebih baik daripada dirinya. Menurut Miranda (2011) FoMO merupakan social angst (kegelisahan sosial) yang selalu ada. Akan tetapi pada masa ini FoMO semakin meningkat dipicu oleh pembaruan digital yang
commit to user commit to user
real-time di media sosialdan smartphone, hal ini dikarenakan seseorang akan mengetahui hal-hal yang sebelumnya tidak diketahui. FoMO dapat memicu rasa vicarious participant (ikut berpartisipasi) atau termotivasi dalam perilaku di dunia nyata. Selain itu, dapat menimbulkan anxiety (kecemasan) dan perasaan inadequacy (ketidakcakapan) (Miranda, 2011).
Menurut Przybylski et al. (2013) FoMo didefinisikan sebagai:
“FoMO defined as a pervasive apprehension that others might be having rewarding experiences from which one is absent, FoMO is characterized by the desire to stay continually connected with what others are doing” (Przybylski et al., 2013).
Pengertian di atas merujuk pada pervasive apprehension (ketakukan mengenai sesuatu yang akan terjadi) apabila orang lain memiliki pengalaman yang lebih berharga dari ketidakhadiran dirinya. Keadaan ini biasanya ditandai dengan adanya keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang individu lain lakukan.
Przybylski et al. (2013) melihat melalui kacamata self determination theory yang merujuk pada tiga kebutuhan dasar manusia untuk memahami FoMO. Melalui kacamata tersebut, FoMO dapat dimengerti sebagai meningkatnya batas regulasi diri yang efektif dari menurunnya kepuasan akan kebutuhan dasar psikologis secara situasional atau terus-menerus. Hasil penelitian Przybylski et al. (2013) menunjukkan bahwa tiga kebutuhan dasar psikologi terbukti menjadi prediktor FoMO, hal ini terbukti dari data yang menunjukkan bahwa individu dengan kepuasan yang rendah akan competence, autonomy, dan relatedness dilaporkan mempunyai tingkat FoMO yang tinggi.
Mengacu pada penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa FoMO merupakan adanya perasaan pervasive apprehension (ketakukan mengenai sesuatu yang akan terjadi) (Przybylski et al., 2013), fearful (takut) (Herman, 2011), uneasy (tidak nyaman) dan terkadang merasa tertinggal (Miranda, 2011), atau campuran dari anxiety (kecemasan), inadequacy (ketidakmampuan), dan irritation (jengkel) (Wortham, 2011) yang disebabkan oleh seseorang ketika tertinggal mengenai peristiwa tertentu melalui media sosial dengan berbagai bentuk.
Orang yang menyebabkan FoMO yaitu, orang lain (Przybylski et al., 2013), teman sebaya (Miranda, 2011),
commit to user commit to user
atau frenemies (teman sekaligus lawan), rekankerja, dan teman sebaya (Wortham, 2011). Kemudian, peristiwa yang menyebabkan FoMO yaitu kemungkinan gagal memanfaatkan kesempatan dan melewatkan harapan yang mungkin terwujud apabila melakukannya (Herman, 2011), rewarding experience (pengalaman berharga) yang dialami orang lain dari ketidakhadiran dirinya (Przybylski et al., 2013), kehidupan dan aktivitas sehari-hari (Wortham, 2011), atau ketika teman sebaya mengetahui, melakukan, atau memiliki suatu hal yang lebih baik atau lebih banyak dari dirinya (Miranda, 2011). Munculnya FoMO dipicu melalui media sosial Facebook dan Twitter (Miranda, 2011), Facebook, Twitter, Foursquare, dan Instagram (Wortham, 2011) dengan berbagai bentuk konten. Adapun bentuk konten yang memicu yaitu, twitter messenger, status update, berita, dan fotografi (Wortham, 2011).
2. Faktor yang Mempengaruhi Munculnya Fear of Missing Out
Menurut Herman (2011) FoMO merupakan hasil dari proses kognitif dan emosional dalam menilai kemampuan individu untuk mendapatkan pilihan-pilihan yang diinginkannya. Terdapat tiga faktor yang mempengaruhi munculnya FoMO menurut Herman (2011):
a. Kesadaran akan pilihan-pilihan yang menarik.
Meningkatnya perkembangan teknologi perangkat mobile dan munculnya media sosial secara significant membuat tersedia banyak pilihan di internet.
Banyaknya pilihan yang tersedia membuat munculnya imajinasi individu mengenai pilihan-pilihan tersebut dan membuat individu kecanduan terhadap pilihannya sendiri. Terdapat tiga motivasi utama bagi konsumen dalam mencari pilihan yang bervariasi, yaitu jauh dari rasa puas, sesuatu yang baru/ penemuan/ stimulasi, dan kegembiraan dalam memilih
b. Perubahan pengertian dasar mengenai penting, kontrol, dan kemampuan.
Laju perubahan yang cepat selama abad ke-20 membuat perubahan pada budaya, masyarakat dan dunia. Individu menjadi sumber “standar”
mengenai selera individu, preferensi individu, dan pilihan individu atau dengan kata lain masyarakat semakin individualis. Selain itu, semakin tingginya kekaguman terhadap kaum muda dan kekaguman pada suatu hal yang baru. Hal tersebut berakibat pada meningkatnya pengaruh anak-anak
commit to user commit to user
dan remaja terhadap gaya hidup dan keputusan konsumsi dalam keluarga dan membuat keputusan seorang anak berkembang sejak usia muda.
c. Sebuah pelajaran akan pengalaman individu lain.
Internet menjadi ‘wadah’ mengekspos cerita tentang kehidupan dan prestasi individu lain di seluruh dunia. Perbandingan sosial menjadi lebih luas dan lebih intens. Kisah sukses menciptakan perasaan bahwa segala sesuatu mungkin dan dalam jangkauan.
Melalui penjelasan diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi munculnya FoMO menurut Herman (2011) yaitu, kesadaran akan pilihan-pilihan yang menarik, perubahan pengertian dasar mengenai penting, kontrol, dan kemampuan, serta sebuah pelajaran akan pengalaman individu lain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Miranda (2011) mengemukakan bahwa terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap munculnya FoMO:
a. Keterbukaan informasi
Smartphone, media sosial, dan perangkat berbasis lokasi memberikan peluang bagi individu untuk membagikan aktivitas yang sedang dilakukan.
Laman web membantu terbaruinya informasi terkini, percakapan, meme (lelucon) dan gambar. Kemudian, perkembangan smartphone membuat individu dapat mendapatkan informasi dimanapun dan kapanpun. Kondisi tersebut mengakibatkan perubahan budaya di masyarakat yang bersifat tertutup menjadi bersifat terbuka.
b. Digital native
Individu yang mengalami FoMO banyak dialami pada rentan usia 13-33 tahun. Rentan usia tersebut merupakan kategori kelompok digital native, yaitu kelompok yang mampu menggunakan dan mampu mengintegrasikan internet dalam kehidupannya.
c. Social one-upmanship
Secara sadar atau tidak sadar, individu terlibat social one-upmanship, yaitu keadaan dimana individu melakukan suatu hal (memamerkan) untuk membuktikan bahwa individu tersebut lebih baik dibandingkan individu
commit to user
commit to user
lain. Keadaan tersebut mengakibatkan terjadinya perasaan missing out pada individu lain.
d. Fitur hashtag
Fitur hashtag merupakan layanan dari jaringan internet yang memungkinkan pengguna internet untuk memberitahukan kegiatan atau peristiwa yang sedang terjadi dengan cakupan seluruh dunia. Adanya fitur tersebut mengakibatkan individu cenderung mengalami FoMO karena merasa tertinggal jika tidak mengikuti kegiatan atau peristiwa yang sedang terjadi.
e. Kondisi deprivasi relatif
Deprivasi relatif merupakan keadaan yang merujuk pada perasaan tidak puas individu ketika membandingkan dengan individu lain. Ketika individu mendapatkan berbagai informasi dari media sosial mengakibatkan individu tersebut membandingkan kondisi akan dirinya sendiri dengan kondisi individu lain, sehingga mengakibatkan perasaan tidak puas terhadap dirinya sendiri dan memunculkan perasaan missing out.
Melalui penjelasan Miranda (2011), terdapat enam faktor yang berpengaruh terhadap munculnya FoMO yaitu, keterbukaan informasi, kelompok digital native, social one-upmanship, fitur hashtag, serta kondisi deprivasi relatif.
3. Karakteristik Individu yang Mengalami Fear of Missing Out
Kemudahan mengakses informasi melalui smartphone dengan kecepatan informasi yang dapat menyediakan informasi secara real-time, dengan fitur-fitur seperti hashtag yang memudahkan pengguna untuk bisa terhubung dimanapun, kapanpun dengan siapapun semakin memicu munculnya FoMO (Miranda, 2011).
Individu yang mengalami FoMO tidak hanya terdorong untuk terlibat dalam suatu perbincangan atau terlibat dalam suatu aktivitas yang sedang terjadi (Przybylski et al., 2013), akan tetapi terdorong untuk memamerkan suatu hal dengan cara mengunggah foto, video, atau berkomentar pada unggahan orang lain mengenai aktivitas sedang dia lakukan, barang yang dibeli, atau dengan siapa aktivitas tersebut dilakukan (Miranda, 2011), hal tersebut berakibat munculnya FoMO pada individu lain (Hetz, Dawson, & Cullen, 2015). Menurut Abel
commit to user commit to user
et al.(2016), individu memilih untuk membeli sebuah produk yang lebih mahal atau lebih baik dibandingkan temannya dikarenakan mereka tidak ingin temannya memiliki sesuatu yang lebih berharga dibanding dirinya. Selain itu, individu berulangkali terdorong untuk memeriksa smartphone untuk menghilangkan perasaan tertinggal (Miranda, 2011), walaupun pada saat mengenendarai kendaraan atau sedang berada di dalam kelas (Przybylski et al., 2013).
Melalui penjelasan diatas, dapat disimpulkan bahwa karakteristik individu yang mengalami FoMO yaitu, individu terdorong untuk terlibat dalam suatu suatu aktivitas yang sedang terjadi dan memamerkan suatu hal, memilih untuk membeli sebuah produk yang lebih mahal atau lebih baik dibandingkan temannya, dan berulangkali terdorong untuk memeriksa smartphone untuk menghilangkan perasaan tertinggal.
Perspektif Self Determination Theory
Self Determination Theory atau SDT merupakan pendekatan dalam ilmu psikologi yang menganalisa mengenai dorongan yang terdapat dalam diri individu dan pentingnya suatu dorongan yang terdapat dalam diri individu untuk mengembangkan diri dan mengatur perilaku individu (Deci & Ryan, 2012). Self Determination Theory atau SDT menurut Deci dan Ryan (2008) membedakan dorongan yang ada dalam diri individu menjadi dua. Pertama, controlled motivation, yaitu dorongan atau motivasi yang melibatkan tingkah laku individu yang dilakukan karena terdapat paksaan atau tekanan dari individu lain agar memberikan hasil tertentu. Kedua, autonomous motivation melibatkan tingkah laku individu yang dilakukan atas dasar pilihannya dan penuh kemauan untuk mendapatkan hasil tertentu. Lebih lanjut lagi, teori ini meninjau mengenai kondisi- kondisi yang dapat mendukung atau menurunkan kekuatan motivasi individu (Deci
& Ryan, 2012).
1. Sejarah Basic Need Theory
Self Determination Theory bukan merupakan teori pertama dalam psikologi empiris yang menjelaskan mengenai konsep needs (Pittman & Zeigler, 2007).
Faktanya, banyak tokoh yang menjelaskan konsep needs, seperti Allport, Goldstein, Hull, Maslow, Fromm, Murray, McClelland, dan lain sebagainya (Baumeister &
commit to user commit to user
Leary, 1995). Beberapa telah berfokus pada kebutuhan yang didasarkan pada proses fisiologis yang mendasari dorongan atau motivasi, sementara yang lain telah berfokus pada kebutuhan yang dikonseptualisasikan dalam hal proses psikologis (Baumeister & Leary, 1995). SDT berada dalam kategori kedua, dimana teori ini mengonseptualisasikan kebutuhan pada tingkat psikologis. Namun, pendekatan SDT berbeda dari kebanyakan pendekatan lain, hal ini dikarenakan SDT mengandaikan kebutuhan dasar psikologis seperti kebutuhan fisiologis yang secara universal penting untuk fungsi manusia yang optimal, terlepas dari waktu perkembangan atau budaya lingkungan (Ryan & Deci, 2017). Dengan kata lain, SDT menggunakan istilah kebutuhan dengan cara yang spesifik (karena mungkin ada beberapa kebutuhan universal) dan fungsional (Ryan & Deci, 2017).
2. Pengertian Teori Kebutuhan Dasar
Menurut Deci dan Ryan (2000) kebutuhan dalam kerangka teori self determination dapat didefinisikan sebagai:
“Innate psychological nutriments that are for ongoing personal growth, integrity, and well-being” (Deci & Ryan, 2000)
Melalui penjelasan di atas, kebutuhan dapat dijelaskan sebagai nutrisi psikologis dalam diri individu yang penting untuk perkembangan psikologis, integritas, dan kesejahteraan yang berkelanjutan. Mengacu pada definisi Deci dan Ryan (2000), terdapat dua hal penting dari konsep kebutuhan. Pertama, kebutuhan psikologis sama halnya dengan kebutuhan biologis, kebutuhan ini dianggap bawaan dalam diri individu, sehingga kebutuhan ini merupakan bagian dari sifat alami individu yang melekat dan menjadi penting disepanjang kehidupan individu.
Kedua, kepuasan terhadap kebutuhan dasar ini dianggap penting bagi kesejahteraan dan keberfungsian individu yang optimal sebagaimana pentingnya cahaya matahari, air, dan mineral bagi tanaman untuk berkembang (Ryan, 1995).
3. Tiga Kebutuhan Dasar Psikologis
Menurut Deci dan Ryan (2000), ada tiga kebutuhan dasar psikologis individu:
Autonomy
Kebutuhan autonomy dikonseptualisasikan sebagai pengalaman merasakan adanya kemauan, pilihan, dan dukungan berkaitan dengan
commit to user
commit to user
memulai, memelihara, hingga mengakhiri keterlibatan individu. Kebutuhan autonomy menurut Deci dan Ryan (2000), merupakan kebutuhan individu merasakan bahwa perilakunya berasal dari diri sendiri dan bukan dikontrol atau dipengaruhi oleh dorongan dari luar individu tersebut. Sejalan dengan hal tersebut, autonomy mempunyai makna bahwa individu merupakan inisiator dan sumber dari perilakunya sendiri (Guay, Ratelle, & Chanal, 2008).
Kepuasan akan kebutuhan autonomy mengacu pada merasakan bahwa perilakunya berasal dari dirinya sendiri dan individu memiliki determiniasi diri apabila individu mengalami kebebasan untuk melakukan sesuatu aktifitas tertentu (Nishimura & Suzuki, 2016). Dapat disimpulkan bahwa autonomy adalah kebutuhan individu untuk bebas mengintegrasikan tindakan yang dijalankan dengan diri pribadi tanpa terikat atau mendapat kontrol dari individu lain.
Competence
Kebutuhan akan competence didefinisikan sebagai keinginan yang ada dalam diri individu untuk merasakan efektif dalam interaksi dengan lingkungan, mencerminkan kebutuhan untuk melatih kemampuan, dan mencari tantangan yang optimal (Reeve, 1994; Deci & Ryan, 2000).
Menurut Guay, Ratelle, dan Chanal (2008), kebutuhan competence berkaitan dengan keyakinan pada individu untuk melakukan tugas tertentu secara efektif dan efisien.
Sejalan dengan pengertian diatas, menurut Deci dan Ryan (2000), indikator kepuasan kebutuhan akan competence adalah ketika individu merasakan bahwa individu memiliki cukup ketrampilan untuk melaksanakan tugas dan dapat mencapai tujuan dengan kemampuan terbaiknya. Kemudian, kebutuhan ini juga mengarahkan individu agar berupaya mempertahankan sekaligus meningkatkan kapasitas dan ketrampilan diri secara berkelanjutan dengan melakukan berbagai kegiatan (Deci & Ryan, 2000). Menurut Nishimura dan Suzuki (2016) kepuasan kebutuhan akan competence
commit to user commit to user
mengacu perasaan efektif individu dalaminteraksi berkelanjutan dengan lingkungan, kemampuan untuk mengekspresikan kapasitas, dan mencapai hasil yang positif. Dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan competence adalah kebutuhan individu untuk melakukan tugas tertentu secara efektif dan efisien sehingga dapat mengekspresikan kapasitasnya dan mencapai tujuan dengan kemampuan terbaiknya.
Relatedness
Deci dan Ryan (2000) mendefinisikan kebutuhan akan relatedness merupakan kebutuhan untuk merasakan terhubung dengan individu lain.
Kemudian, menurut Baumeister dan Leary (1995), kebutuhan akan relatedness didefinisikan sebagai kecenderungan yang ada pada individu untuk merasa terhubung dengan individu lain, yaitu untuk diterima menjadi bagian dari kelompok, dipedulikan, dan diperhatikan.
Kepuasan akan relatedness mengacu pada pengalaman individu merasakan keintiman dan hubungan yang tulus dengan individu lain.
Sebaliknya, ketidakpuasan relatedness terkait dengan penolakan dan kesendirian (Nishimura & Suzuki, 2016). Dapat ditarik kesimpulan bahwa kebutuhan relatedness adalah kebutuhan individu untuk merasakan perasaan terhubung, tergabung, dan kebersamaan dengan individu lain.
Menurut Ryan dan Deci (2017), ketika salah satu dari tiga kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi atau diabaikan, secara umum atau dalam kategori tertentu, individu akan mengalami penurunan psikologis pada sifat tertentu, seperti menurunnya vitalitas, kehilangan kemauan, atau penurunan kesejahteraan. Oleh karena itu, dukungan untuk kebutuhan umum dapat memprediksi vitalitas dan kesejahteraan, akan tetapi kita juga dapat mempertimbangkan dukungan untuk kebutuhan secara spesifik seperti di ruang kelas, tempat kerja, atau tim atletik (Ryan & Deci, 2017).
Hal ini dikarenakan terpenuhi atau tidak terpenuhinya kebutuhan mempengaruhi konteks spesifik mengenai fungsi dan pengalaman individu (Ryan & Deci, 2017).
commit to user
commit to user
4. Fear of Missing Out dalam Prespektif Three Basic Need Theory
Pada prespektif kebutuhan psikologis, teori self determination theory (SDT) (Deci & Ryan, 2012) menjelaskan mengenai teori human motivation secara makro, teori tersebut memberikan pemahaman mengenai FoMO. Regulasi diri yang efektif dan kesehatan psikologis didasarkan pada kepuasan three basic need theory (tiga kebutuhan psikologis dasar), yaitu competence, autonomy, dan relatedness. Melalui prespektif tersebut, fenomena FoMO dapat dilihat sebagai meningkatnya batas regulasi diri yang efektif dari menurunnya kepuasan akan kebutuhan dasar psikologis secara situasional atau terus menerus (Przybylski et al., 2013).
Terjadinya keterikatan media sosial dapat dipengaruhi oleh adanya FoMO (Przybylski et al., 2013). Hubungan tersebut dapat secara langsung, dimana individu yang memiliki pemuasan kebutuhan dasar yang kurang akan dipuaskan melalui penggunaan media sosial karena hal tersebut dipersepsikan sebagai cara untuk dapat berhubungan dengan orang lain, alat untuk mengembangkan kompetensi sosial dan kesempatan untuk memperdalam ikatan sosial. Hubungan tersebut juga bersifat tidak langsung, dimana adanya penurunan kebutuhan dasar membuat individu menjadi sensitive terhadap FoMO, sehingga pemuasan kebutuhan memiliki hubungan dengan penggunaan media sosial, namun ada hubungannya pula dengan FoMO. Dengan kata lain, FoMO berperan sebagai mediator hubungan antara turunnya kebutuhan psikologis dan keterikatan pada media sosial.
Prespektif tersebut didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Triani dan Ramdhani (2018), bahwa need to belong memprediksi FoMO secara positif. Hal tersebut mendukung hasil penelitian yang dilakukan Beyens et al. (2016) yang mengungkapkan bahwa kebutuhan berelasi mempunyai korelasi positif dengan FoMO. Lebih lanjut, hasil penelitian tersebut juga menguatkan temuan yang dilakukan Przybylski et al. (2013), bahwa relatedness merupakan salah satu dari tiga kebutuhan dasar psikologis individu yang berkorelasi positif dengan FoMO serta mendukung. Hasil penelitian Przybylski et al. (2013) juga menunjukkan bahwa individu dengan kepuasan yang rendah akan competence, autonomy, dan relatedness dilaporkan mempunyai tingkat FoMO yang tinggi.
commit to user commit to user
Fear of Missing Out pada Pengguna Smartphone
Smartphone merupakan salah satu teknologi komunikasi yang paling banyak didistribusikan secara global. Pendistribusiannya selama kuartal pertama tahun 2017 mencapai 347,4 juta smartphone (Anggraeni, 2017). Di Indonesia, pengguna mencapai 63,1 juta dan diperkirakan akan meningkat menjadi 74,9 juta pengguna pada periode 2017, 83,5 juta pengguna pada periode 2018 hingga 92 juta pengguna pada periode 2019 (Databooks, 2016). Turkle (2011) dalam bukunya menyatakan bahwa komunikasi yang dimediasi teknologi membawa pengaruh positif dan juga negatif. Salah satu dampaknya menurut Turkle (2011), yaitu individu akan mengalami “tethered self” atau terpaku pada teknologi komunikasi yang selalu aktif dapat mengalihkan kita dari pengalaman sosial yang penting yang terjadi di sini dan saat ini. Kemudian, perkembangan smartphone memberikan peluang bagi individu untuk membagikan aktivitas yang sedang dilakukan, membantu terbaruinya informasi terkini, percakapan, meme (lelucon), dan gambar sehingga membuat individu mendapatkan informasi dimanapun dan kapanpun. (Miranda, 2011). Hal tersebut akan mengakibatkan individu mengedepankan posisi keinginan kuat untuk tetap terhubung secara terus menerus berpotensi berbahaya karena mendorong orang untuk memeriksa smartphone bahkan ketika mereka sedang mengoperasikan kendaraan bermotor (Turkle, 2011).
Melalui smartphone, informasi dapat tersedia secara real-time dan memudahkan pengguna untuk bisa terhubung dimanapun, kapanpun dengan siapapun, hal ini semakin memicu munculnya FoMO (Herman, 2011; Miranda, 2011; Vaughn & Mack, 2012; Hato, 2013). Menurut Herman (2011) standar yang menjadi patokan seseorang akan semakin meningkat, hal tersebut disebabkan kesadaran akan pilihan yang tidak terbatas, hal ini dipengaruhi oleh perkembangan teknologi seperti smartphone yang menyediakan yang sebelumnya tidak diketahui.
Selain itu, FoMO menjadi mediator antara simtom-simtom psikopatologis seperti kecemasan dan depresi dengan social network intensity dan konsekuensi negatif penggunaan smartphone (Oberst et al., 2017). FoMO juga menjadi mediator hubungan antara ketakutan akan penilaian, baik positif maupun negatif dengan meningkatnya masalah penggunaan
commit to user commit to user
smartphone pada mahasiswa (Wolniewicz etal., 2018). Temuan diatas mengindikasikan bahwa FoMO memiliki peran baik secara langsung, mapun sebagai mediator dalam masalah-masalah penggunaan smartphone. Peran tersebut semakin penting dengan melihat tingginya pengguna smartphone, khususnya di Indonesia. Mengacu pada penjelasan diatas, adapun kerangka berfikir dalam penelitian ini sebagai berikut:
Bagan 1. Kerangka Berfikir
Konten
Orang
Media Sosial
Peristiwa Basic Needs Theory
Competence Relatedness
Fear of Missing Out
Autonomy
Konten Media
Sosial Melihat
Mengunggah
Menggunakan Smartphone
commit to user
commit to user
Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan pada latar belakang, rumusan masalah dan telaah kepustakaan yang telah diuraikan sebelumnya, maka pertanyaan penelitian yang muncul untuk menjawab rumusan masalah dari nomor 1 mengenai “bagaimana deskripsi fear of missing out menurut mahasiswa pengguna smartphone di UNS?”, yaitu:
1. Siapa saja yang menyebabkan fear of missing out?
2. Media sosial apa saja yang memicu munculnya fear of missing out?
3. Bentuk konten apa saja yang memicu munculnya fear of missing out?
4. Peristiwa apa saja yang menyebabkan fear of missing out?
Sedangkan untuk pertanyaan penelitian yang muncul untuk menjawab rumusan masalah nomor 2 mengenai dinamika “bagaimana dinamika fear of missing out pada mahasiswa pengguna smartphone di UNS? sebagai berikut:
1. Perasaan apa saja yang muncul ketika mengalami fear of missing out?
2. Perasaan seperti apa yang dialami ketika fear of missing out?
3. Tindakan apa saja yang dilakukan ketika mengalami fear of missing out?