• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak"

Copied!
22
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

1. Isolasi Sosial 1.1 Definisi

Isolasi sosial adalah keadaan dimana seseorang individu mengalami penurunan atau bahkan sama sekali tidak mampu berinteraksi dengan orang lain disekitarnya. Pasien mungkin merasa ditolak, tidak diterima, kesepian, dan tidak mampu membina hubungan yang berarti dengan orang lain (Purba, dkk. 2008).

Berikut beberapa pengertian isolasi sosial yang dikutip dari Pasaribu (2008). Menurut Townsend, isolasi sosial merupakan keadaan kesepian yang dialami oleh seseorang karena orang lain dianggap menyatakan sikap negatif dan mengancam bagi dirinya. Kelainan interaksi sosial adalah suatu keadaan dimana seorang individu berpartisipasi dalam suatu kuantitas yang tidak cukup atau berlebih atau kualitas interaksi sosial tidak efektif. Menurut Depkes RI penarikan diri atau withdrawal merupakan suatu tindakan melepaskan diri, baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung yang dapat bersifat sementara atau menetap. Menurut Carpenito, Isolasi sosial merupakan keadaan di mana individu atau kelompok mengalami atau merasakan kebutuhan atau keinginan untuk meningkatkan keterlibatan dengan orang lain tetapi tidak mampu untuk membuat kontak. Menurut Rawlins & Heacock, isolasi sosial atau menarik diri merupakan usaha menghindar dari interaksi dan berhubungan dengan orang lain, individu merasa kehilangan hubungan akrab, tidak mempunyai kesempatan dalam berfikir, berperasaan, berprestasi, atau selalu dalam kegagalan.

(2)

Menurut Dalami, dkk. (2009), isolasi sosial adalah gangguan dalam berhubungan yang merupakan mekanisme individu terhadap sesuatu yang mengancam dirinya dengan cara menghindari interaksi dengan orang lain dan lingkungan.

1.2 Etiologi

Berbagai faktor dapat menimbulkan respon yang maladaptif. Menurut Stuart & Sundeen (1998), belum ada suatu kesimpulan yang spesifik tentang penyebab gangguan yang mempengaruhi hubungan interpersonal. Faktor yang mungkin mempengaruhi antara lain yaitu:

1.2.1 Faktor Predisposisi

Beberapa faktor yang dapat menyebabkan isolasi sosial adalah:

1.2.1.1Faktor Perkembangan

Setiap tahap tumbuh kembang memiliki tugas yang harus dilalui individu dengan sukses, karena apabila tugas perkembangan ini tidak dapat dipenuhi, akan menghambat masa perkembangan selanjutnya. Keluarga adalah tempat pertama yang memberikan pengalaman bagi individu dalam menjalin hubungan dengan orang lain. Kurangnya stimulasi, kasih sayang, perhatian dan kehangatan dari ibu/pengasuh pada bayi bayi akan memberikan rasa tidak aman yang dapat menghambat terbentuknya rasa percaya diri. Rasa ketidakpercayaan tersebut dapat mengembangkan tingkah laku curiga pada orang lain maupun lingkungan di kemudian hari. Komunikasi yang hangat sangat penting dalam masa ini, agar anak tidak mersaa diperlakukan sebagai objek.

Menurut Purba, dkk. (2008) tahap-tahap perkembangan individu dalam berhubungan terdiri dari:

(3)

a. Masa Bayi

Bayi sepenuhnya tergantung pada orang lain untuk memenuhi kebutuhan biologis maupun psikologisnya. Konsistensi hubungan antara ibu dan anak, akan menghasilkan rasa aman dan rasa percaya yang mendasar. Hal ini sangat penting karena akan mempengaruhi hubungannya dengan lingkungan di kemudian hari. Bayi yang mengalami hambatan dalam mengembangkan rasa percaya pada masa ini akan mengalami kesulitan untuk berhubungan dengan orang lain pada masa berikutnya.

b. Masa Kanak-Kanak

Anak mulai mengembangkan dirinya sebagai individu yang mandiri, mulai mengenal lingkungannya lebih luas, anak mulai membina hubungan dengan teman-temannya. Konflik terjadi apabila tingkah lakunya dibatasi atau terlalu dikontrol, hal ini dapat membuat anak frustasi. Kasih sayang yang tulus, aturan yang konsisten dan adanya komunikasi terbuka dalam keluarga dapat menstimulus anak tumbuh menjadi individu yang interdependen, Orang tua harus dapat memberikan pengarahan terhadap tingkah laku yang diadopsi dari dirinya, maupun sistem nilai yang harus diterapkan pada anak, karena pada saat ini anak mulai masuk sekolah dimana ia harus belajar cara berhubungan, berkompetensi dan berkompromi dengan orang lain.

c. Masa Praremaja dan Remaja

Pada praremaja individu mengembangkan hubungan yang intim dengan teman sejenis, yang mana hubungan ini akan mempengaruhi individu untuk mengenal dan mempelajari perbedaan nilai-nilai yang ada di masyarakat. Selanjutnya hubungan intim dengan teman sejenis akan berkembang menjadi

(4)

hubungan intim dengan lawan jenis. Pada masa ini hubungan individu dengan kelompok maupun teman lebih berarti daripada hubungannya dengan orang tua. Konflik akan terjadi apabila remaja tidak dapat mempertahankan keseimbangan hubungan tersebut, yang seringkali menimbulkan perasaan tertekan maupun tergantung pada remaja.

d. Masa Dewasa Muda

Individu meningkatkan kemandiriannya serta mempertahankan hubungan interdependen antara teman sebaya maupun orang tua. Kematangan ditandai dengan kemampuan mengekspresikan perasaan pada orang lain dan menerima perasaan orang lain serta peka terhadap kebutuhan orang lain. Individu siap untuk membentuk suatu kehidupan baru dengan menikah dan mempunyai pekerjaan. Karakteristik hubungan interpersonal pada dewasa muda adalah saling memberi dan menerima (mutuality).

e. Masa Dewasa Tengah

Individu mulai terpisah dengan anak-anaknya, ketergantungan anak-anak terhadap dirinya menurun. Kesempatan ini dapat digunakan individu untuk mengembangkan aktivitas baru yang dapat meningkatkan pertumbuhan diri. Kebahagiaan akan dapat diperoleh dengan tetap mempertahankan hubungan yang interdependen antara orang tua dengan anak.

f. Masa Dewasa Akhir

Individu akan mengalami berbagai kehilangan baik kehilangan keadaan fisik, kehilangan orang tua, pasangan hidup, teman, maupun pekerjaan atau peran. Dengan adanya kehilangan tersebut ketergantungan pada orang lain

(5)

akan meningkat, namun kemandirian yang masih dimiliki harus dapat dipertahankan.

1.2.1.2 Faktor Komunikasi Dalam Keluarga

Masalah komunikasi dalam keluarga dapat menjadi kontribusi untuk mengembangkan gangguan tingkah laku.

a. Sikap bermusuhan/hostilitas

b. Sikap mengancam, merendahkan dan menjelek-jelekkan anak

c. Selalu mengkritik, menyalahkan, anak tidak diberi kesempatan untuk mengungkapkan pendapatnya.

d. Kurang kehangatan, kurang memperhatikan ketertarikan pada pembicaananak, hubungan yang kaku antara anggota keluarga, kurang tegur sapa, komunikasi kurang terbuka, terutama dalam pemecahan masalah tidak diselesaikan secara terbuka dengan musyawarah.

e. Ekspresi emosi yang tinggi

f. Double bind (dua pesan yang bertentangan disampaikan saat bersamaan yang membuat bingung dan kecemasannya meningkat)

1.2.1.3Faktor Sosial Budaya

Isolasi sosial atau mengasingkan diri dari lingkungan merupakan faktor pendukung terjadinya gangguan berhubungan. Dapat juga disebabkan oleh karena norma-norma yang salah yang dianut oleh satu keluarga.seperti anggota tidak produktif diasingkan dari lingkungan sosial.

1.2.1.4 Faktor Biologis

Genetik merupakan salah satu faktor pendukung gangguan jiwa. Insiden tertinggi skizofrenia ditemukan pada keluarga yang anggota keluarga yang

(6)

menderita skizofrenia. Berdasarkan hasil penelitian pada kembar monozigot apabila salah diantaranya menderita skizofrenia adalah 58%, sedangkan bagi kembar dizigot persentasenya 8%.

Kelainan pada struktur otak seperti atropi, pembesaran ventrikel, penurunan berat dan volume otak serta perubahan struktur limbik, diduga dapat menyebabkan skizofrenia.

1.2.2 Faktor Presipitasi

Stresor presipitasi terjadinya isolasi sosial dapat ditimbulkan oleh faktor internal maupun eksternal, meliputi:

1.2.2.1 Stresor Sosial Budaya

Stresor sosial budaya dapat memicu kesulitan dalam berhubungan, terjadinya penurunan stabilitas keluarga seperti perceraian, berpisah dengan orang yang dicintai, kehilangan pasangan pada usia tua, kesepian karena ditinggal jauh, dirawat dirumah sakit atau dipenjara. Semua ini dapat menimbulkan isolasi sosial.

1.2.2.2 Stresor Biokimia

a. Teori dopamine: Kelebihan dopamin pada mesokortikal dan mesolimbik serta tractus saraf dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

b. Menurunnya MAO (Mono Amino Oksidasi) didalam darah akan meningkatkan dopamin dalam otak. Karena salah satu kegiatan MAO adalah sebagai enzim yang menurunkan dopamin, maka menurunnya MAO juga dapat merupakan indikasi terjadinya skizofrenia.

c. Faktor endokrin: Jumlah FSH dan LH yang rendah ditemukan pada pasien skizofrenia. Demikian pula prolaktin mengalami penurunan karena dihambat

(7)

oleh dopamin. Hypertiroidisme, adanya peningkatan maupun penurunan hormon adrenocortical seringkali dikaitkan dengan tingkah laku psikotik.

d. Viral hipotesis: Beberapa jenis virus dapat menyebabkan gejala-gejala psikotik diantaranya adalah virus HIV yang dapat merubah stuktur sel-sel otak.

1.2.2.3 Stresor Biologik dan Lingkungan Sosial

Beberapa peneliti membuktikan bahwa kasus skizofrenia sering terjadi akibat interaksi antara individu, lingkungan maupun biologis.

1.2.2.4 Stresor Psikologis

Kecemasan yang tinggi akan menyebabkan menurunnya kemampuan individu untuk berhubungan dengan orang lain. Intesitas kecemasan yang ekstrim dan memanjang disertai terbatasnya kemampuan individu untuk mengatasi masalah akan menimbulkan berbagai masalah gangguan berhubungan pada tipe psikotik.

Menurut teori psikoanalisa; perilaku skizofrenia disebabkan karena ego tidak dapat menahan tekanan yang berasal dari id maupun realitas yang berasal dari luar. Ego pada klien psikotik mempunyai kemampuan terbatas untuk mengatasi stress. Hal ini berkaitan dengan adanya masalah serius antara hubungan ibu dan anak pada fase simbiotik sehingga perkembangan psikologis individu terhambat.

Menurut Purba, dkk. (2008) strategi koping digunakan pasien sebagai usaha mengatasi kecemasan yang merupakan suatu kesepian nyata yang mengancam dirinya. Strategi koping yang sering digunakan pada masing-masing tingkah laku adalahsebagai berikut:

(8)

a. Tingkah laku curiga: proyeksi b. Dependency: reaksi formasi

c. Menarik diri: regrasi, depresi, dan isolasi d. Curiga, waham, halusinasi: proyeksi, denial e. Manipulatif: regrasi, represi, isolasi

f. Skizoprenia: displacement, projeksi, intrijeksi, kondensasi, isolasi, represi dan regrasi.

1.3 Tanda dan Gejala

Menurut Purba, dkk. (2008) tanda dan gejala isolasi sosial yang dapat ditemukan dengan wawancara, adalah:

a. Pasien menceritakan perasaan kesepian atau ditolak oleh orang lain b. Pasien merasa tidak aman berada dengan orang lain

c. Pasien mengatakan tidak ada hubungan yang berarti dengan orang lain d. Pasien merasa bosan dan lambat menghabiskan waktu

e. Pasien tidak mampu berkonsentrasi dan membuat keputusan f. Pasien merasa tidak berguna

g. Pasien tidak yakin dapat melangsungkan hidup

2. Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut World Health Organization (WHO, 1989) ketidakmampuan bersosialisasi (social disability) adalah ketidakmampuan individu dalam melakukan hubungan sosial secara sehat dengan orang-orang di sekitarnya. Karena ketidakmampuan mereka untuk bersosialisasi, beberapa individu memiliki masalah untuk menjalani hidup bersama dengan individu normal. Mereka sulit

(9)

untuk melakukan semua aktivitas seperti yang dilakukan oleh individu normal yang ada di sekitarnya (Purba, 2009)

Menurut Kuntjoro (1998 dikutip dari Purba, 2009) menjelaskan bahwa kemunduran sosial atau ketidakmampuan bersosialisasi adalah ketidakmampuan individu untuk bersikap dan bertingkah laku yang dapat diterima oleh lingkungan sosialnya. Individu yang dalam kehidupannya menuruti kemauan sendiri tanpa mengidentifikasikan norma sosial dan mengganggu lingkungan dianggap tidak terampil secara sosial atau disebut mengalami ketidakmampuan bersosialisasi atau kemunduran sosial. Individu hidup dalam dunianya sendiri (autistik) yang tidak dapat dimengerti dan tidak dapat diterima oleh orang lain. Hal ini berarti pula individu tidak mengindahkan tuntutan lingkungan sosialnya atau tidak mampu menyesuaikan diri yang selanjutnya oleh WHO disebut sebagai cacat psikososial (psychosocial disability).

Pengertian yang lebih rinci mengenai ketidakmampuan bersosialisasi diungkapkan oleh Direktorat Kesehatan Jiwa, yaitu suatu keadaan di mana individu bertingkah laku yang tidak lazim, kacau atau secara sosial tidak dapat diterima atau tidak pantas muncul. Tingkah laku yang tidak lazim adalah tingkah laku yang diperlihatkan oleh pasien yang sifatnya tidak biasa, aneh dan kadang-kadang tidak dapat diterima oleh masyarakat. Namun perlu diperhatikan pula bahwa gaya hidup individu berbeda dari gaya hidup orang lain, terutama jika ia berasal dari suku atau masyarakat kebudayaan tertentu (Purba, 2009).

Menurut Purba (2009) di Indonesia istilah cacat mempunyai arti dari ketiga keadaan berikut: impairment, disabilities dan handicap, karena sangat luasnya pengertian istilah-istilah tersebut, maka Forum Asean merekomendasikan

(10)

penggunaan definisi-definisi yang ditetapkan oleh WHO tahun 1989 dengan maksud untuk memudahkan kepentingan komunikasi. Istilah-istilah tersebut didefinisikan sebagai berikut:

a. Impairment

Impairment adalah hilangnya atau adanya kelainan (abnormalitas) dari pada struktur atau fungsi yang bersifat psikologik, fisiologik atau anatomik. Cacat dapat bersifat sementara (temporer) ataupun menetap (permanen). Termasuk di sini apa saja yang biasa disebut dengan anomali defect yang terjadi pada anggota gerak, organ, jaringan atau struktur tubuh, termasuk sistem fungsi mental. Kondisi cacat merupakan eksteriorasi keadaan patologik yang prinsipnya mencerminkan gangguan kesehatan yang terjadi pada tingkat organ.

b. Disabilities (disability)

Disability merupakan keterbatasan atau kurangnya kemampuan (akibat dari adanya cacat) untuk melakukan kegiatan dalam batas-batas dan cara yang dianggap normal bagi manusia. Kondisi ini dapat bersifat sementara, menetap dan membaik atau memburuk. Dapat timbul sebagai akibat langsung adanya cacat atau secara tak langsung sebagai reaksi individu, khususnya secara psikologik pada cacat fisik dan sensorik.

c. Handicap

Handicap adalah kemunduran pada seseorang akibat adanya cacat atau disabilitas yang membatasi atau mencegahnya untuk dapat berperan normal bagi individu (sesuai umur, sex dan faktor sosial budaya). Kondisi ini ditandai dengan adanya ketidaksesuaian antara prestasi seseorang atau statusnya dengan

(11)

harapannya atau kelompoknya. Handicap merupakan sosialisasi dari pada cacat atau disabilitas dan mencerminkan konsekuensi bagi individu dalam budaya, sosial, ekonomi dan lingkungannya yang berpangkal pada adanya cacat dan disabilitas.

2.1 Gambaran Umum Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi digambarkan oleh WHO pada tahun 1989, bahwa angka rata-rata kematian diantara individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi lebih banyak dibanding individu yang normal. Seringkali kekurangan perhatian dalam sosialisasi tentang faktor lingkungan dapat menyebabkan dan menggandakan ketidakmampuan bersosialisasi. Individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi tidak memiliki kunci masuk kedalam kelompok masyarakat dan kesempatan untuk bersama-sama dengan masyarakat lain, seperti lembaga kesehatan, sekolah dan institusi pendidikan, program pelatihan keahlian, program pelatihan kerja dan pekerjaan (Purba, 2009).

Di beberapa negara, wanita dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dapat ditolak suami dan diasingkan oleh anak-anaknya, bahkan individu dewasa yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi hanya mempunyai pendidikan yang rendah dibandingkan individu dewasa yang normal. Pemisahan secara sosial terhadap individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi semakin memperburuk keadaannya. Di kebanyakan lingkungan masyarakat individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dipisahkan dari individu yang normal karena kepercayaan yang dianut oleh masyarakat

(12)

setempat. Sikap negatif dan perilaku yang mendiskriminasikan individu yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi dianggap sebagai suatu keharusan (Purba, 2009).

2.2 Ciri Individu yang Mengalami Ketidakmampuan Bersosialisasi

WHO tahun 1989 menetapkan bahwa individu mengalami ketidakmampuan bersosialisasi jika ia tidak dapat melakukan aktivitas yang biasanya dapat dilakukan oleh individu normal berupa: tidak dapat makan dan minum sendiri, tidak bisa menjaga kebersihan diri, tidak mampu memakai pakaian sendiri, tidak mengerti instruksi yang mudah/simpel, tidak mampu atau merasa sulit dalam mengekspresikan kebutuhan, pikiran dan perasaannya, tidak mengerti gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi, tidak mampu menggunakan gerakan-gerakan dan tanda-tanda untuk komunikasi yang dimengerti oleh individu lain, tidak dapat berkomunikasi dengan berbicara dan menggunakan bahasa dengan individu lain di sekelilingnya, tidak ikut bergabung dalam aktivitas keluarga, tidak turut melakukan aktivitas dalam masyarakat, tidak mempunyai pekerjaan dan tidak mempunyai penghasilan yang memadai untuk membiayai kebutuhan hidup sehari-hari, kesulitan dalam melakukan aktivitas sehari-hari dalam rumah tangga (Purba, 2009).

2.3 Aspek-Aspek Ketidakmampuan Bersosialisasi

Menurut Kuntjoro (1989 dikutip dari Purba, 2009), aktivitas pasien yang mengalami ketidakmampuan bersosialisasi secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga yaitu:

(13)

a. Activity Daily Living (ADL)

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan pemenuhan kebutuhan sehari-hari yang meliputi:

1) Bangun tidur, yaitu semua tingkah laku/perbuatan pasien sewaktu bangun tidur.

2) Buang air besar (BAB) dan buang air kecil (BAK), yaitu semua bentuk tingkah laku/perbuatan yang berhubungan dengan BAB dan BAK.

3) Waktu mandi, yaitu tingkah laku sewaktu akan mandi, dalam kegiatan mandi dan sesudah mandi.

4) Ganti pakaian, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan keperluan berganti pakaian.

5) Makan dan minum, yaitu tingkah laku yang dilakukan pada waktu, sedang dan setelah makan dan minum.

6) Menjaga kebersihan diri, yaitu perbuatan yang berhubungan dengan kebutuhan kebersihan diri, baik yang berhubungan dengan kebersihan pakaian, badan, rambut, kuku dan lain-lain.

7) Menjaga keselamatan diri, yaitu sejauhmana pasien mengerti dan dapat menjaga keselamatan dirinya sendiri, seperti, tidak menggunakan/menaruh benda tajam sembarangan, tidak merokok sambil tiduran, memanjat ditempat yang berbahaya tanpa tujuan yang positif.

8) Pergi tidur, yaitu perbuatan yang mengiringi seorang pasien untuk pergi tidur. Pada pasien gangguan jiwa tingkah laku pergi tidur ini perlu diperhatikan karena sering merupakan gejala primer yang muncul pada

(14)

gangguan jiwa. Dalam hal ini yang dinilai bukan gejala insomnia (gangguan tidur) tetapi bagaimana pasien mau mengawali tidurnya.

b. Tingkah laku sosial

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kebutuhan sosial pasien dalam kehidupan bermasyarakat yang meliputi:

1) Kontak sosial terhadap teman, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan sesama pasien, misalnya menegur kawannya, berbicara dengan kawannya dan sebagainya.

2) Kontak sosial terhadap petugas, yaitu tingkah laku pasien untuk melakukan hubungan sosial dengan petugas seperti tegur sapa, menjawab pertanyaan waktu ditanya, bertanya jika ada kesulitan dan sebagainya.

3) Kontak mata waktu berbicara, yaitu sikap pasien sewaktu berbicara dengan orang lain seperti memperhatikan dan saling menatap sebagai tanda adanya kesungguhan dalam berkomunikasi.

4) Bergaul, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan kemampuan bergaul dengan orang lain secara kelompok (lebih dari dua orang).

5) Mematuhi tata tertib, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan ketertiban yang harus dipatuhi dalam perawatan rumah sakit.

6) Sopan santun, yaitu tingkah laku yang berhubungan dengan tata krama atau sopan santun terhadap kawannya dan petugas maupun orang lain.

7) Menjaga kebersihan lingkungan, yaitu tingkah laku pasien yang bersifat mengendalikan diri untuk tidak mengotori lingkungannya, seperti tidak meludah sembarangan, tidak membuang puntung rokok sembarangan dan sebagainya.

(15)

c. Tingkah laku okupasional

Adalah tingkah laku yang berhubungan dengan kegiatan seseorang untuk melakukan pekerjaan, hobby dan rekreasi sebagai salah satu kebutuhan kehidupannya yang meliputi:

1) Tertarik pada kegiatan/pekerjaan, yaitu timbulnya rasa tertarik untuk berbuat sesuatu, baik berupa pekerjaan, hobi dan rekreasi, seperti menyapu, membantu orang lain, bermain, menonton dan sebagainya.

2) Bersedia melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu bentuk kegiatan yang dilakukan pasien untuk bekerja, berekreasi, melaksanakan hobi atau melakukan kegiatan positif lainnya, seperti sembahyang dan membaca. 3) Aktif/rajin melakukan kegiatan atau pekerjaan, yaitu tingkah laku pasien

yang bersedia melakukan kegiatan dengan menunjukkan keaktifan/kerajinannya.

4) Produktif dalam melakukan kegiatan, yaitu adanya hasil perbuatan yang dapat diamati/observasi, baik kualitas maupun kuantitasnya.

5) Terampil dalam melakukan kegiatan/pekerjaan, yaitu sejauhmana pasien memiliki kemampuan, kecakapan dan keterampilan dalam melakukan tindakannya (wajar, tidak kaku, enak dilihat orang sehingga tidak menimbulkan rasa khawatir bagi petugas/orang lain).

6) Menghargai hasil pekerjaan dan milik pribadi, yaitu tingkah laku pasien untuk menghargai (punya tenggang rasa) terhadap hasil pekerjaannya sendiri dan hasil pekerjaan orang lain.

7) Bersedia menerima perintah, larangan dan kritik, yaitu sikap dan perbuatan pasien terhadap perintah, larangan maupun kritik dari orang lain. Sikap dan

(16)

perbuatan tersebut berupa reaksi pasien bila diperintah/disuruh, dilarang/dikritik, reaksi tersebut dapat lambat, cepat, menolak, tak mengindahkan dan sebagainya.

2.4 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Timbulnya Ketidakmampuan Bersosialisasi pada Pasien Skizofrenia

Birchwood (1987, dikutip dari Purba, 2009) membuktikan bahwa munculnya gejala-gejala kekambuhan dan ketidakmampuan adaptasi sosial pada penderita skizofrenia adalah berhubungan dengan cara dan efektivitas keluarga dalam mengatasi permasalahan, hilangnya kohesi dalam keluarga, cara mengambil keputusan yang tidak konsisten dan beban keluarga yang dirasa berlebihan. Liberman (1989) menambahkan bahwa yang mengakibatkan makin buruknya ketidakmampuan bersosialisasi diantara penderita skizofrenia adalah jumlah dan bentuk stressor dalam kehidupan, ketidakmampuan menyelesaikan masalah dan dukungan sosial yang kurang.

Penelitian Klerman pada tahun 1971 menggambarkan bahwa timbulnya

social functioning impairment diakibatkan oleh tingkah laku simptomatik yang dialami oleh penderita skozofrenia tersebut. Weissman dan Bothwell pada tahun 1976 melanjutkan penelitian tersebut dan menambahkan bahwa semakin buruk simptomatik psikiatriknya akan semakin buruk juga social functioning (Purba, 2009).

Direktorat Kesehatan Jiwa (1997, dikutip dari Purba, 2009) menyatakan bahwa kadang-kadang pasien skizofrenia tidak dapat diterima dengan baik oleh lingkungan keluarga dan masyarakat yang dapat menimbulkan dan memperparah

(17)

ketidakmampuan bersosialisasi yang diderita oleh penderita skizofrenia. Hal ini disebabkan oleh bermacam faktor, diantaranya adalah:

a. Sebagian masyarakat percaya kecacatan akibat hukuman Tuhan, pengaruh makhluk halus dan akibat berhubungan dengan penderita skizofrenia, karenanya keluarga dan masyarakat menempatkan penderita di rumah. Kondisi ini akan mengakibatkan penderita mempunyai perasaan bahwa kedudukannya dalam keluarga kurang penting dibandingkan lainnya.

b. Akibat gangguan yang dideritanya beberapa penderita skizofrenia terlihat berbeda dalam penampilan, cara berbicara dan tingkah lakunya, sehingga keluarga dan masyarakat sering mempunyai pendapat bahwa penderita skizofrenia berbeda dengan mereka.

c. Anak-anak atau orang dewasa terkadang tidak memperhatikan apa yang dikatakan penderita atau menertawakan kesulitan penderita. Mereka memandang penderita kurang penting dibandingkan masyarakat lain.

d. Keluarga dan masyarakat yang menetawarkan penderita skozofrenia karena mereka tidak mengerti penderita skizofrenia dan tidak mengetahui mengenai kecacatan dan penyebabnya.

3. Terapi

3.1 Terapi Psikofarmaka 3.1.1 Clorpromazine

Mengatasi sindrom psikis yaitu berdaya berat dalam kemampuan menilai realitas, kesadaran diri terganggu, daya ingat norma sosial dan tilik diri terganggu, berdaya berat dalam fungsi-fungsi mental: faham, halusinasi. Gangguan perasaan

(18)

dan perilaku yang aneh atau tidak terkendali, berdaya berat dalam fungsi kehidupan sehari-hari, tidak mampu bekerja, berhubungan sosial dan melakukan kegiatan rutin. Mempunyai efek samping gangguan otonomi (hypotensi) antikolinergik/parasimpatik, mulut kering, kesulitan dalam miksi, hidung tersumbat, mata kabur, tekanan intra okuler meninggi, gangguan irama jantung. Gangguan ekstra pyramidal (distonia akut, akathsia sindrom parkinson). Gangguan endoktrin (amenorhe). Metabolic (Soundiee). Hematologik, agranulosis. Biasanya untuk pemakaian jangka panjang. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).

3.1.2 Haloperidol (HLP)

Berdaya berat dalam kemampuan menilai realita dalam fungsi mental serta dalam fungsi kehidupan sehari-hari. Memiliki efek samping seperti gangguan miksi dan parasimpatik, defeksi, hidung tersumbat mata kabur , tekanan infra meninggi, gangguan irama jantung. Kontraindikasi terhadap penyakit hati, penyakit darah, epilepsy, kelainan jantung (Andrey, 2010).

3.1.3 Trihexyphenidil ( THP )

Segala jenis penyakit Parkinson, termasuk pasca ensepalitis dan idiopatik, sindrom Parkinson akibat obat misalnya reserpina dan fenotiazine. Memiliki efek samping diantaranya mulut kering, penglihatan kabur, pusing, mual, muntah, bingung, agitasi, konstipasi, takikardia, dilatasi, ginjal, retensi urine. Kontraindikasi terhadap hypersensitive Trihexyphenidil (THP), glaukoma sudut sempit, psikosis berat psikoneurosis (Andrey, 2010).

(19)

3.2 Terapi Individu

Terapi individu pada pasien dengan masalah isolasi sosial dapat diberikan strategi pertemuan (SP) yang terdiri dari tiga SP dengan masing-masing strategi pertemuan yang berbeda-beda. Pada SP satu, perawat mengidentifikasi penyebab isolasi social, berdiskusi dengan pasien mengenai keuntungan dan kerugian apabila berinteraksi dan tidak berinteraksi dengan orang lain, mengajarkan cara berkenalan, dan memasukkan kegiatan latihan berbiincang-bincang dengan orang lain ke dalam kegiatan harian. Pada SP dua, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan pada pasien mempraktekkan cara berkenalan dengan satu orang, dan membantu pasien memasukkan kegiatan berbincang-bincang dengan orang lain sebagai salah satu kegiatan harian. Pada SP tiga, perawat mengevaluasi jadwal kegiatan harian pasien, memberi kesempatan untuk berkenalan dengan dua orang atau lebih dan menganjurkan pasien memasukkan ke dalam jadwal kegiatan hariannya (Purba, dkk. 2008)

3.3 Terapi Kelompok 3.3.1 Definisi

Kelompok adalah kumpulan individu yang memiliki hubungan satu dengan yang lain, saling bergantung dan mempunyai norma yang sama (Stuart & Laraia, 2001 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi kelompok adalah terapi psikologi yang dilakukan secara kelompok untuk memberikan stimulasi bagi pasien dengan gangguan interpersonal (Yosep, 2008 dikutip dari Keliat, 2005). Terapi aktivitas kelompok adalah terapi yang ditujukan kepada kelompok klien dalam melakukan

(20)

kegiatan untuk menyelesaikan masalah dan mengubah perilaku maladaptif/destruktif menjadi adaptif/ konstruksi (Keliat, 2005).

3.3.2 Tujuan dan Fungsi Kelompok

Tujuan kelompok adalah membantu anggotanya berhubungan dengan orang lain serta mengubah perilaku yang destruktif dan maladaptif. Kelompok berfungsi sebagai tempat berbagi pengalaman dan saling membantu satu sama lain, untuk menemukan cara menyelesaikan masalah (Keliat, 2005).

3.3.3 Besar Kelompok

Jumlah anggota kelompok yang nyaman adalah kelompok kecil yang anggotanya berkisar antara 5-12 orang. Jumlah anggota kelompok kecil menurut Stuart & Laraia adalah 7-10 orang, menurut Lancester adalah 10-12 orang, sedangkan menurut Rawlins, Williams, dan menurut Beck adalah 5-10 orang. Jika anggota kelompok terlalu besar akibatnya tidak semua anggota mendapat kesempatan mengungkapkan perasaan, pendapat, dan pengalamannya. Jika terlalu kecil, tidak cukup variasi informasi dan interaksi yang terjadi (Keliat, 2005).

3.3.4 Lamanya Sesi

Menurut Stuart & Laraia waktu optimal untuk satu sesi adalah 20-40 menit bagi fungsi kelompok yang rendah dan 60-120 menit bagi fungsi kelompok yang tinggi. Biasanya dimulai dengan pemanasan berupa orientasi, kemudian tahap kerja dan finishing berupa terminasi. Banyaknya sesi bergantung pada tujuan kelompok, dapat satu kali / dua kali per minggu, atau dapat direncanakan sesuai dengan kebutuhan (Keliat, 2005).

(21)

3.3.5 Jenis-Jenis Terapi Aktivitas Kelompok (TAK)

Terapi aktivitas kelompok dibagi empat jenis, yaitu terapi aktivitas kelompok stimulasi kognitif/persepsi, terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris, terapi aktivitas kelompok orientasi realitas, dan terapi aktivitas kelompok sosialisasi (Keliat, 2005).

3.3.6 Terapi Aktivitas Kelompok Sosialisasi (TAKS)

Terapi aktivitas kelompok (TAK) sosialisasi ( TAKS ) adalah upaya memfasilitasi kemampuan sosialisasi sejumlah klien dengan masalah hubungan sosial (Keliat, 2005).

3.3.7 Tujuan TAKS

Menurut Keliat (2005), tujuan umum TAK sosialisasi yaitu klien dapat meningkatkan hubungan sosial dalam kelompok secara bertahap. Sementara, tujuan khususnya adalah:

a. Klien mampu memperkenalkan diri

b. Klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok

c. Klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok

d. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan topik percakapan

e. Klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi pada orang lain

f. Klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok

g. Klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan TAKS yang telah dilakukan

(22)

3.3.8 Aktivitas dan Indikasi

Aktivitas TAKS dilakukan sebanyak tujuh sesi yang melatih kemampuan sosialisasi klien (terlampir). Klien yang mempunyai indikasi TAKS adalah klien dengan gangguan hubungan sosial berikut:

a. Klien menarik diri yang telah mulai melakukan interaksi interpersonal.

b. Klien kerusakan komunikasi verbal yang telah berespons sesuai dengan stimulus.

3.3.9 Sesi-Sesi Dalam Pelaksanaan TAKS

Sesi pertama bertujuan agar klien mampu memperkenalkan diri dengan menyebutkan nama lengkap, nama panggilan, asal, dan hobi. Sesi kedua bertujuan agar klien mampu berkenalan dengan anggota kelompok. Sesi ketiga bertujuan agar klien mampu bercakap-cakap dengan anggota kelompok. Sesi keempat bertujuan agar klien mampu menyampaikan topik pembicaraan tertentu dengan anggota kelompok. Sesi kelima bertujuan agar klien mampu menyampaikan dan membicarakan masalah pribadi dengan orang lain. Sesi keenam bertujuan agar klien mampu bekerja sama dalam permainan sosialisasi kelompok. Sesi ketujuh bertujuan agar klien mampu menyampaikan pendapat tentang manfaat kegiatan kelompok yang telah dilakukan.

Referensi

Dokumen terkait

Gambar 1(a) dan 1(b) merupakan persamaan regresi linear kadar air PRCR yang disimpan pada suhu 25 ºC, 35 ºC dan 45 ºC selama 8 minggu yang dikemas menggunakan kemasan

Kebijakan puritanisme oleh sultan Aurangzeb dan pengislaman orang-orang Hindu secara paksa demi menjadikan tanah India sebagai negara Islam, dengan menyerang berbagai praktek

Kontruksi alat pencacah dan pemarut sagu yang telah dibuat mengacu pada desain gambar rancangan yang terdiri dari beberapa komponen meliputi rangka utama,

Kesimpulan dalam penelitian ini adalah ada hubungan yang signifikan antara perilaku merokok dengan prevalensi asma di Propinsi Jawa Timur tahun 2018.. Kata kunci : perilaku,

Dalam hal ini pelatih sangat berperan penting, maka dari itu peneliti berusaha untuk merubah pandangan beberapa pelatih bahwa komponen biomotor khususnya

Proses pengendapan bentonit secara kimiawi dapat terjadi sebagai endapan sedimen dalam suasana basa (alkali), dan terbentuk pada cekungan sedimen yang bersifat basa, dimana

Reaktivitas : Tidak ada data tes khusus yang berhubungan dengan reaktivitas tersedia untuk produk ini atau bahan

Jl. Prof Soedarto, Tembalang, Semarang. Pada kawasan tersebut terjadi genangan setinggi sekitar 40–60 cm dengan lama genangan 4-8 jam yang diakibatkan air dari saluran