• Tidak ada hasil yang ditemukan

SUNTINGAN TEKS DAN NILAI KEPAHLAWANAN DALAM ANGLINGWULAN MBÊDHAH KELANI (Suatu Tinjauan Filologis)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "SUNTINGAN TEKS DAN NILAI KEPAHLAWANAN DALAM ANGLINGWULAN MBÊDHAH KELANI (Suatu Tinjauan Filologis)"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

8

SUNTINGAN TEKS DAN NILAI KEPAHLAWANAN

DALAM ANGLINGWULAN MBÊDHAH KELANI

(Suatu Tinjauan Filologis)

Maretha Diry Awalia Abstrak

Penelitian ini berusaha menemukan suntingan teks Anglingwulan Mbêdhah Kelani yang bersih dari kesalahan dan mengungkapkan nilai kepahlawanan yang terdapat di dalamnya. Tujuan penelitian ini untuk menyajikan suntingan teks Anglingwulan Mbêdhah Kelani yang otentik, yang bersih dari kesalahan serta mengungkapkan nilai kepahlawanan yang terkandung di dalamnya. Penelitian ini berbentuk deskriptif kualitatif dengan menggunakan analisis interaktif. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa suntingan teks Anglingwulan Mbêdhah Kelani yang dilengkapi dengan aparat kritik adalah teks Anglingwulan Mbêdhah Kelani dengan nomor katalog PB C.137 koleksi Museum Sanabudaya Yogyakarta yang bersih dari kesalahan dan telah melalui cara kerja filologi sehingga suntingan teks Anglingwulan Mbêdhah Kelani dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Nilai kepahlawanan yang ditemukan dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani yaitu rela berkorban, melakukan perjuangan, konsekuen, dan menjadi teladan.

Kata kunci: Anglingwulan Mbêdhah Kelani, filologi, nilai kepahlawanan. 1. Pendahuluan

Karya sastra masa lampau merupakan sebuah warisan yang tak ternilai harganya. Warisan ini dapat dilihat dari peninggalan bersejarah yang berupa: bangunan (candi, istana hingga tempat ibadah), alat-alat yang digunakan sehari-hari (alat pertanian, pertukangan hingga persenjataan) serta warisan dalam bentuk tulisan tangan pada lontar, bambu, kulit, kayu hingga kertas. Warisan yang berupa tulisan tangan dalam bentuk buku disebut naskah. Naskah kuna adalah karya sastra peninggalan kebudayaan nenek moyang yang ditulis dengan tangan/handskrip/manuskrip. Di dalam naskah banyak tersimpan khasanah kebudayaan yang mencerminkan kehidupan masa lalu berupa buah pikiran, dan perasaan (Siti Baroroh Baried, 1994:55). Berdasarkan inventarisasi dari beberapa katalog (Girardet-Sutanto:1983; Nancy K. Florida: 1996; T.E. Behrend: 1990; Fakultas Sastra Universitas Indonesia:1998; Lindstay, Jennifer: 1994; dsb) ditemukan naskah yang berjudul Anglingwulan Mbêdhah Kelani, yang kemudian disingkat dengan AMK.

(2)

9

AMK tersimpan di Museum Sanabudaya Yogyakarta dengan nomor

katalog lokal PB C.137. AMK merupakan naskah tunggal yang berbentuk tembang

macapat, yang terdiri dari 5 pupuh yaitu Gambuh sebanyak 31 bait, Pocung

sebanyak 30 bait, Sinom sebanyak 41 bait, Durma sebanyak 33 bait dan Kinanthi sebanyak 39 bait. Anglingwulan Mbêdhah Kelani memiliki ukuran naskah 21 cm x17 cm dan ukuran teks 17,5 cm dan13 cm.

Penelitian terhadap AMK dilakukan karena 2 (dua) alasan, yaitu (1) dari segi filologis dalam AMK terdapat banyak variant, oleh karena itu perlu adanya kajian filologis guna mendapatkan suntingan teks yang bersih dari kesalahan. Terdapat empat variant yang ditemukan, yaitu lakuna, adisi, hipercorect, dan ditografi (2) dari segi isi mengungkapkan nilai kepahlawanan dalam AMK, ini sangat penting untuk diungkapkan supaya sikap-sikap pahlawan yang dimiliki oleh seorang pahlawan dapat menjadi pegangan bagi generasi muda sekarang ini

Batasan masalah dalam penelitian ini lebih ditekankan pada dua kajian utama, yaitu kajian filologis dan kajian isi. Kajian filologis dimaksudkan untuk menyelesaikan permasalahan filologis yang terdapat dalam AMK agar mendapatkan suntingan teks AMK yang bersih dari kesalahan berdasarkan cara kerja filologis. Kajian isi dimaksudkan untuk mengungkapkan nilai kepahlawanan yang terkandung dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani. Masalah yang dibahas dalam penelitian ini, yaitu suntingan teks AMK yang bersih dari kesalahan dan nilai kepahlawanan yang terdapat pada teks AMK. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian adalah menyajikan suntingan teks AMK yang bersih dari kesalahan atau yang mendekati asli sesuai dengan cara kerja filologi dan mengungkapkan nilai kepahlawanan yang terkandung dalam teks AMK.

Filologi secara etimologis, berasal dari bahasa Yunani philologia yang merupakan gabungan antara kata philos yang bermakna “senang” dan logos yang bermakna “pembicaraan” atau “ilmu”. Jadi Filologi bermakna “senang berbicara”, yang bermakna “senang belajar”, “senang pada ilmu”, “gemar kepada tulisan-tulisan”, dan kemudian “senang kepada tulisan-tulisan yang bernilai tinggi” seperti karya-karya sastra (Siti Baroroh Baried, 1994). Filologi merupakan ilmu yang objek penelitiannya berupa naskah lama (Edwar Djamaris, 2006). Penanganan AMK menggunakan langkah kerja penelitian filologi menurut

(3)

10

Manassa yang dimodifikasikan dengan langkah kerja penelitian filologi menurut Edwar Djamaris (2006:9-10). AMK adalah naskah tunggal sehingga tidak memerlukan adanya penentuan naskah dasar maupun perbandingan naskah. Langkah kerja penelitian filologi Anglingwulan Mbêdhah Kelani adalah sebagai berikut: (1) penentuan sasaran penelitian, (2) inventarisasi naskah, (3) observasi pendahuluan dan deskripsi naskah, (4) transliterasi naskah, (5) kritik teks, (6) suntingan teks dan aparat kritik, dan (7) terjemahan.

Anglingwulan Mbêdhah Kelani mengandung nilai kepahlawanan. Sikap

kepahlawanan dapat diwujudkan dengan beberapa sikap, yaitu: (1) rela berkorban, (2) melakukan perjuangan, (3) konsekuen (4) menjadi teladan (Sagimun, 1983). Dalam cerita pewayangan juga terdapat tokoh yang disebut-sebut sebagai seorang pahlawan, yaitu Arjuna. Dalam epos Mahabarata, Arjuna dipandang sebagai kesatria sejati. Arjuna dapat menyibolkan kegigihan dalam meraih cita-cita, hal ini dapat diketahui ketika dia berguru kepada Drona dan Arjuna berlatih dengan keras dalam memanah (Sri Guritno, 2002). Sikap lain yang dimiliki Arjuna adalah rela berkorban, Arjuna lebih mengutamakan kepentingan negerinya dari pada kepentingannya sendiri walaupun harus mengorbankan dirinya sendiri, disamping itu Arjuna juga selalu berpegang teguh pada janji. Hal ini dapat dilihat ketika Arjuna harus menangkap pencuri lalu hendak mengambil senjata di kamar, sedangkan waktu itu di kamar terlihat ada Yudhistira dengan Dewi Drupadi. Yudhistira dan Arjuna pernah membuat perjanjian, barangsiapa melihat Dewi Drupadi bersama salah seorang diantara mereka di kamar harus dihukum selama 10 tahun hidup di dalam hutan. Arjuna dihadapkan pada dua pilihan, yaitu melaksanakan tugasnya sebagai kesatria yang harus mengamankan negerinya atau mementingkan diri sendiri dengan tidak melanggar perjanjian dengan Yudhistira. Akhirnya demi sebuah tugas menangkap seorang pencuri, Arjuna tanpa ragu tetap masuk kamar untuk mengambil senjata (Sri Guritno, 2002: 161). Arjuna tahu resiko yang akan diterimanya tetapi Arjuna rela menjalankan demi sebuah tugas. Arjuna tetap memegang teguh pada janjinya untuk menjalani hukuman selama 10 tahun di dalam hutan meskipun Yudhistira sudah memaafkannya. Arjuna juga dinilai sebagai tokoh yang mempunyai keberanian, semangat dan pengabdian yang tinggi. Hal ini terlihat pada kisah Arjuna Mintaraga. Arjuna melaksanakan

(4)

11

perintah Yudhistira untuk memohon kepada dewa agar diberi anugerah senjata kedewataan dengan jalan bertapa di kaki gunung Himawat. Begitu juga pada cerita Arjuna Wiwaha yang mengisahkan Arjuna melaksanakan perintah Hyang Surapati untuk membunuh raksasa Niwatakawaca yang sangat sakti, yang ingin memperistri bidadari Dewi Supraba (Sri Guritno, 2002: 162). Itulah sikap-sikap kepahlawanan yang dimiliki oleh Arjuna.

2. Metode Penelitian

Bentuk penelitian Anglingwulan Mbêdhah Kelani ini adalah penelitian

deskriptif kualitatif. Sumber data dalam penelitian ini adalah Museum

Sanabudaya Yogyakarta dan data penelitian ini berupa naskah dan teks

Anglingwulan Mbêdhah Kelani serta nilai kepahlawanan yang terkandung di

dalamnya.

Teknik pengumpulan data penelitian ini dimulai dengan inventarisasi naskah. Kemudian dilanjutkan dengan teknik observasi, yaitu mengecek langsung lokasi penyimpanan AMK. Data diambil dari microfilm yang kemudian dicopy ke CD, kemudian ditransfer ke program Microsoft Office Picture Manager pada komputer agar bisa diperoleh data sesuai dengan wujud gambaran asli dan bisa diolah untuk kepentingan filologi, yaitu transkripsi dan transliterasi. Langkah selanjutnya adalah content analysis atau yang biasa disebut kajian isi, hal ini bertujuan untung mengungkapkan isi yang terkandung di dalam naskah, khususnya ajaran kepahlawanan.

Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis deskriptif. Analisis deskriptif yaitu mendeskripsikan naskah secara fisik dan melakukan analisis sesuai cara kerja penelitian filologi yang meliputi kritik teks, suntingan dan aparat kritik serta terjemahan. Penelitian ini menggunakan metode penyuntingan naskah tunggal dengan edisi standart. Edisi standart yaitu menyunting naskah melakukan pembetulan kesalahan-kesalahan kecil dan ketidakkonsistenan, sementara ejaan yang digunakan disesuaikan dengan ketentuan yang berlaku (Baroroh Baried, 1994). Metode standart digunakan bilamana isi naskah dipandang sebagai cerita biasa, bukan cerita suci atau penting dari sisi agama atau bahasa, sehingga tidak diperlakukan secara istimewa (Edwar

(5)

12

Djamaris, 2006). Hal-hal yang dilakukan dalam edisi standar, antara lain: mengidentifikasi bagian teks yang terdapat kesalahan, memberi usulan pembetulan sebagai jalan keluar. Dalam penelitian ini, sajian data meliputi sajian filologis dan isi. Kajian filologis mencakup deskripsi naskah, transliterasi, kritik teks, suntingan teks dan aparat kritik, dan terjemahan. Kajian isi mengungkapkan nilai kepahlawanan yang terdapat dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani.

3. Hasil Penelitian dan Pembahasan 3.1. Deskripsi Naskah

Deskripsi naskah adalah uraian ringkas tentang naskah secara jelas dan terperinci. Dengan mendeskripsikan naskah itulah yang nantinya dapat dipergunakan sebagai bahan pertimbangan memilih naskah yang baik untuk diteliti lebih lanjut. Dalam mendeskripsikan naskah meliputi: judul naskah, nomor naskah, tempat penyimpanan naskah, keadaan naskah, asal naskah, ukuran naskah, tebal naskah, jumlah halaman per halaman, huruf, aksara, tulisan, cara penulisan, bahan naskah, bahasa naskah, bentuk teks, umur naskah, pengarang atau penyalin, asal-usul, naskah, fungsi sosial naskah dan ikhtisar teks/cerita (Emuch Hermansoemantri 1986).

Judul Anglingwulan Mbêdhah Kelani tertulis pada halaman ketiga naskah. Naskah tersebut hanya terdapat di Museum Sanabudaya Yogyakarta dengan nomor katalog lokal PB C.137. Merupakan naskah tunggal jadi keberadaannya tidak terdapat di tempat lain.

Keadaan naskah AMK bisa dibilang cukup bagus. Tidak ada lembaran teks yang hilang ataupun rusak. Jilidan naskah cukup rapi. Ukuran naskah 21 cm x 17 cm, sedangkan ukuran teks 17,5 cm x 13 cm. Jumlah halaman yang ditulisi 51 halaman, yaitu dari halaman 7-57. Jumlah halaman kosong 5 halaman yang terdapat di bagian depan, yaitu halaman 1-2 dan 4-6. Pada halaman 3 terdapat tulisan judul naskah. Jumlah seluruh halaman adalah 57 halaman. Ukuran huruf sedang (tidak terlalu besar atau terlalu kecil), jarak antar huruf dan jarak antar baris teratur. Tulisan bagus sehingga mudah dibaca.

Naskah ditulis bolak-balik (recto verso) yaitu lembaran naskah yang ditulisi pada kedua halaman, muka dan belakang (Emuch Hermansoemantri,

(6)

13

1986:57). Penempatan tulisan pada lembaran naskah, teks ditulis ke arah lebar naskah yang artinya teks ditulis sejajar dengan lebar naskah. Pengaturan ruang tulisan, larik-lariknya ditulis secara berdampingan lurus ke samping lalu diteruskan ke bawah dengan diberi tanda batas yang memisahkan bait satu ke bait berikutnya. Penekanan tinta tidak terlalu jelas sehingga tulisan tidak tembus ke halaman sebaliknya. Penomoran halaman, menggunakan angka Arab. Ditulis pada bagian tengah atas naskah. Anglingwulan Mbêdhah

Kelani berbentuk tembang macapat.

3.2. Kritik Teks, Suntingan Teks dan Aparat Kritik

Anglingwulan Mbêdhah Kelani adalah naskah yang ditulis dengan aksara

Jawa carik, sehingga transliterasi merupakan langkah penting yang harus dilakukan dalam rangka penyuntingan teks. Setelah melakukan transliterasi, yang selanjutnya dilakukan adalah kritik teks. Kritik teks adalah memberikan evaluasi terhadap teks, meneliti dan menempatkan teks pada tempat yang tepat. Tujuan kritik teks adalah untuk menghasilkan teks yang sedekat-dekatnya dengan teks asli (Siti Baroroh Baried 1994:61).

Penyuntingan teks dilakukan dengan sebaik-baiknya dengan memperhatikan pedoman ejaan yang berlaku, penggunaan huruf kapital, tanda-tanda baca, penyusunan alinea, dan bagian-bagian cerita (Djamaris, 2006:9). Dalam penelitian ini, pedoman yang digunakan sebagai acuan dalam suntingan teks adalah Kamus Bausastra Djawa (Poerwadarminta). Aparat kritik merupakan suatu pertanggungjawaban dalam penelitian naskah yang menyertai suntingan teks dan merupakan kelengkapan kritik teks. Segala kelainan bacaan yang ditampilkan merupakan kata-kata atau bacaan salah yang terdapat dalam naskah dalam aparat kritik (Djamaris, 2006:8).

Berikut ini adalah beberapa contoh varian yang ditemukan dalam naskah AMK yang disertai keterangan grafik, kritik teks, suntingan teks, dan aparat kritik:

(7)

14

Grafik 1. Halaman 28 pupuh Sinom bait 17 baris 5, terdapat kekurangan satu suku kata seharusnya 7i tertulis de kang para putri seharusnya dene

kang para putri yang artinya sedangkan para putri.

b. Adisi

Grafik 2. Halaman 27 pupuh Sinom bait 15 baris 9, terdapat kelebihan satu suku kata seharusnya 12a tertulis kula amit badhe anuwani ngayuda seharusnya kula amit badhe anuwani yudha yang artinya saya mohon ijin memimpin perang.

c. Hipercorect

Grafik 3. Halaman 32 pupuh Sinom tertulis injing, seharusnya enjing yang artinya pagi.

d. Ditografi

Grafik 4. Halaman 15 pupuh Gambuh bait 1 baris 2, terdapat pengulangan pada kata payo

Berikut ini adalah contoh suntingan teks disertai dengan aparat kritik naskah AMK yaitu pupuh Gambuh bait 1-5, pupuh Pocung bait 1-5, pupuh Sinom bait 1-5, pupuh Durma bait 1-5, pupuh Kinanthi bait 1-5.

ANGLINGWULAN MBÊDHAH KELANI Pupuh I Gambuh

1. [7] Agambuh kang cinatur/ mangkana Rahadyan Anglingsantun/ sigra nonjok sêrat mring natèng Kelani/ satriya kalih ingutus/ sami ipene sang anom//

2. Sudibya wastanipun/ lawan Baupratignya rinipun/ kalih samya putrane Sri Sêlagupit/ sampun lajêng lampahipun/ Kelaningjang nuju miyos//

3. siniwèng tarub agung/ pasanggrahan pamedan ing ngriku/ pêpak sagung punggawa satriya mantri/ tuwin ingkang para ratu/ sami ngabyantara katong//

(8)

15

4. kyana patih ing ngayun/ kang aparêk ing ngarsa sang ulun/ samya gusti sasolahira ing jurit/ nalika ramening pupuh/ ingkang [8] mêngsah agung kasor//

5. kasaru praptanipun/ satriya kalih ingkang ingutus/ mundhi surat wus tumamèng ngarsa aji/ ingawe kinèn umaju/ kalih sarêng awot sinom//

Pupuh II Pocung

1. Praptanipun ing payudan nguwuh-uwuh/ payo [15] mêtonana 1 / biyadane wong Kelani/ kêmbarana iki badhaya ing sabrang//

2. sudibya nung prawira putri pinunjul/ wau duk miyarsa/ pra wanodya ing Kelani/ sami amit putri sanga wus kalilan//

3. kang umagut Kumalawati Sang Ayu/ putri ing Sumêdhang/ lan putri Kamboja nagri/ kaduk wantêr Kusumayu Widaningrat//

4. tiganipun putri prawira pinunjul/ rêtnèng Sandipura/ Kusuma Srêngganawati/ miwah Dèwi Rarasati ing Koripan//

5. sandi pulung dyah anggana sêkar magut/ nêm putri Talkondha/ Kusuma Pinujawati/ sapta Dèwi Rêtna di Sokapirêna//

Pupuh III Sinom

1. Sang adèwi langkung kagyat/ langkung dukanya tan sipi/ denya pugut kang srinata/ nulya malês anjêmparing/ lêpas kang warastra di/ Dèwi Darmani kacundhuk/ kêna madyaning jaja/ aniba gumuling siti/ panon mumêt sang rêtna langkung kantaka//

2. tan dangu wus ginotongan/ putri tatar pura prapti/ sarigak anyangking panah/ Rêtna Dèwi Langênsari/ praptèng papan mangukih/ wus anunggil rowangipun/ putri ujung amanah/ Sang Rêtna Cêmpa-[22]kawati/ kang pinusthi putri ing Siyêm nagara//

3. kêna kêncète kang kiwa/ Rêtna Dèwi Surti Kanthi/ pamilare gêbyar-gêbyar/ pan kadi lintang sêsiring/ putri prayitnèng wèsthi/ lumumpat ngapinjal patut/ sigra nolih angayat/ jêmparing sarwi lingnya ris/ putri ala si mènthèl ora prasaja//

4. alah ênya tadhahêna/ sunggatane wong Kelani/ ingkang wastra wus lumêpas 2/ Sang Rêtna Cêpakawati/ kacundhuk ing jêmparing/ wêntis têngên tiba kantu/ pan sampun ginotongan/ Dyah Parang Balibang prapti/ nyangking panah kusuma yu Cipta Rasa//

5. praptèng rana mênthang langkap/ lumêpas ing-[23]kang jêmparing/ putri Siyêm kang dènarah/ prayitna sang raja putri/ gandhewanya kinitir/ mubêng anèng astanipun/ muwer kadi likasan/ kinarya nangkis jêmparing/ kapalêsat warastrane putri mêngsah//

Pupuh IV Durma

1 #kelebihan dua suku kata, seharusnya 6a: payo-payo mêtonana 2 #kekurangan satu suku kata, seharusnya 8a: kang wastra wus lumêpas

(9)

16

1. Sangêt rame yudanira pra wanodya 3 / sangkin bramantya kalih/ sarêng mênthang langkap/ lêpas sami lumêpas/ kang panah [38] tarung cumêngkling/ gathuk pucuknya/ sarêng plêsate kalih//

2. tibèng wuri panah tikêl tanpa sesa/ kang yuda antuk4 tandhing/ padha putri wira/ manggala para garwa/ samya êmar kang ningali/ mulat ing sara/ dibya sarêng manduking//

3. tanpa guna agung malêsat kalihnya/ kang yuda rukêt malih/ Sang Dèwi Purnama/ atandhing denya yuda/ lan Dèwi Kumarawati/ Dyah Prabasina/ prang lan putri Kelani//

4. sami cikatira sarigake padha/ rikat masis tarampil/ dangu tan kasoran/ saking sami solahnya/ nanging putri Selagupit/ ing tangkêbira/ sakêdhik ragi kontit5//

5. krêp kasampe ing gandewa jangganira/ [39] Sang Dèwi Prabasini/ merang sru bramantya/ mangsah wus ambêk pêjah/ lan Dèwi Purnama Sidhi/ sarêng kabangan/ langkung ramene jurit//

Pupuh V Kinanthi

1. Sang Hyang Narada gumuyu/ sarwi ngandika èh kaki/ aywa sira gung sungkawa/ amêngsah lan wong Kelani/ tumuli sira maguta/ yèn sirarsa unggul jurit//

2. amaliha yoganing-[48]sun/ kadya garwanira kaki/ iya nini Prabasina/ majua ingsun dandani/ dyan angling datan lênggana/ sakêdhap wus dadi putri//

3. Kêmbar lawan garwanipun 6 / kusumayu Prabasini/ sang putri Selagupita/ datan siwaha sakêdhik/ lir kadya jambe sinigar/ kuwasane jawata di// 4. Hyang Narada adhêdhawuh/ èh èh sutaningsun kaki/ age maguta ing yuda/

sumbarana Sri Kelani/ putranira aja pisah/ gawanen mangsah ing jurit// 5. poma-poma yoganingsun/ ywa nganggo sanjata kaki/ kajaba mung

putranira/ Tejakumala sayêkti/ iku minongka sanjata/ warastra tan ana kadi//

Keterangan: * : edisi teks berdasarkan pertimbangan linguistik

# : edisi teks berdasarkan pertimbangan konvensi tembang

3.3. Kajian Isi

Berdasarkan pembacaan dan terjemahan yang dilakukan pada naskah

Anglingwulan Mbêdhah Kelani, secara garis besar membahas sikap-sikap

kepahlawanan yaitu: rela berkorban, melakukan perjuangan, konsekuen, dan menjadi teladan. Sikap-sikap kepahlawanan yang nampak ditunjukkan oleh

3 #kelebihan satu suku kata, seharusnya 12a: sangêt rame yudanira para wanodya 4 *atuk

5 *kuntit

(10)

17

adanya beberapa tokoh wanita yang maju dalam berperang. Selengkapnya sikap kepahlawanan dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani secara terperinci dibahas sebagai berikut.

3.3.1 Rela Berkorban

Sikap rela berkorban ditunjukkan oleh dua tokoh dalam teks

Anglingwulan Mbêdhah Kelani. Berikut ini kedua tokoh tersebut:

a. Anglingwulan

Anglingwulan merupakan salah satu tokoh utama dalam naskah

Anglingwulan Mbêdhah Kelani. Anglingwulan mempunyai andil yang

cukup besar dalam perlawanan terhadap kerajaan Kelani. Pada awal cerita perjuangan Anglingwulan masih belum terlihat, tetapi mendekati akhir cerita perjuangan Anglingwulan mulai terlihat. Anglingwulan rela berkorban melakukan apapun demi meraih kemenangan. Kerelaan Anglingwulan ditunjukkan dengan ia mau mengubah dirinya menjadi seorang perempuan yang mirip dengan istrinya untuk mengelabuhi raja Mulangjaya pemimpin kerajaan Kelani dan untuk memperoleh kemenangan. Pengorbanan lain yang dilakukan Anglingwulan ialah ia mau membawa putranya ikut maju dalam berperang, walaupun tindakan itu akan membahayakan nyawa putranya. Hal ini tersirat dalam pupuh

Kinanthi bait 1-4 yang berbunyi:

1. sang Hyang Narada gumuyu/ sarwi ngandika èh kaki/ aywa sira gung sungkawa/ amêngsah lan wong Kelani/ tumuli sira maguta/ yèn sirarsa unggul jurit//

2. amaliha yoganingsun/ kadya garwanira kaki/ iya nini Prabasina/ majua ingsun dandani/ dyan angling datan lênggana/ sakêdhap wus dadi putri// 3. kêmbar lawan garwanipun/ kusumayu Prabasini/ sang putri Selagupita/

datan siwaha sakêdhik/ lir kadya jambe sinigar/ kuwasane jawata di// 4. Hyang Narada adhêdhawuh/ èh èh sutaningsun kaki/ age maguta ing

yuda/ sumbarana Sri Kelani/ putranira aja pisah/ gawanen mangsah ing jurit//

(11)

18

1. Sang Hyang Narada tertawa, sambil berkata, jangan kamu bersedih hati, melawan orang Kelani, lalu kamu keluar. kalau kamu ingin menang perang.

2. berubahlah wujudmu, seperti istrimu, iya Nini Prabasini, majulah saya dandani, Dyan Angling mau, sebentar sudah jadi perempuan.

3. sama dengan istrinya, Kusumayu Prabasini, sang putri Selagupit, tidak berbeda sedikitpun, seperti pinang dibelah, kuasanya sang dewa.

4. Hyang Narada memerintah, hai anakku, segera majulah dalam perang, tantanglah Raja Kelani, anakmu jangan berpisah, bawalah maju perang.

Dari kutipan di atas dapat dilihat pengorbanan Anglingwulan dalam memperoleh kemenangan untuk kerajaannya.

3.3.2 Melakukan Perjuangan

Setiap pahlawan pasti melakukan perjuangan supaya memperoleh kemenangan. Kemenangan yang dicapai memerlukan usaha yang keras dan kesatuan dari setiap pejuang. Hal ini tersirat pada beberapa bait tembang dalam teks. Pupuh Gambuh bait 29-31 berbunyi:

28. lajêng ingatag magut/ putri sanga dharat ing prang pupuh/ Dèwi Rantansari lan Dyah Ambarangin/ Ambarsirat sami magut/ miwah Dèwi Manik Ijo//

29. Sang Dèwi Pandam Kurung/ kanem Rêtna Kadhaton sang ayu/ pitu Dèwi Sundari sang kadi ratih/ wolu Rêtna Tunjung Biru/ sami mangsah ing palugon//

30. sanga putri ing ujung/ Dèwi Campakawati Sang Ayu/ srigak-srigak prajurit ing Selagupit/ mawa jêmparing sadarum/ amocung praptèng palugon//

Terjemahan

29. lalu maju berperang, sembilan putri turun dalam perang besar-besaran, Dewi Rantansari dan Dyah Ambarangin, Ambar sirat juga maju,serta Dewi Manik Ijo.

30. Sang Dewi Pandam Kurung, keenam Ratu kerajaan Sang Ayu, tujuh Dewi Sundari seperti ratu, delapan Retna Tunjung Biru, sama-sama maju dalam peperangan.

31. Putri kesembilan yang terakhir, Dewi Cempakawati Sang Ayu, dengan cepat prajurit di Selagupit, semua menggunakan panah, sudah tiba di peperangan.

Pada bait-bait di atas menceritakan para prajurit perempuan dari kerajaan yang dipimpin Anglingwulan yang dengan berani mendatangi musuh. Ada

(12)

19

sembilan perempuan yang maju dalam peperangan memperoleh kemenangan. Sembilan perempuan ini seperti seorang pahlawan yang dengan cekatan maju berperang tanpa mempunyai rasa takut.

Perjuangan yang lain juga dilakukan oleh prajurit perempuan dari kerajaan Kelani yang dengan berani menghadapi musuh. Hal ini tersirat dalam

pupuh Pocung bait 3-6 yang berbunyi:

4 kang umagut Kumalawati Sang Ayu/ putri ing Sumêdhang/ lan putri Kamboja nagri/ kaduk wantêr Kusumayu Widaningrat//

5 tiganipun putri prawira pinunjul/ rêtnèng Sandipura/ Kusuma Srêngganawati/ miwah Dèwi Rarasati ing Koripan//

6 sandi pulung dyah anggana sêkar magut/ nêm putri Talkondha/ Kusuma Pinujawati/ sapta Dèwi Rêtna di Sokapirêna//

7 wolunipun Gandrawati Sang Dyah Ayu/ putri kaduk raras/ ing soka rumêmbe nagri/ putri Gêdhah Mondrawati sanganira//

Terjemahan

4. yang maju berperang Kumalawati Sang Ayu, putri dari Sumedang, dan putri negara Kamboja lebih berani Kusumayu Widaningrat.

5. ketiganya perwira putri yang lebih, ratu di Sandipura, Kusuma Srengganawati, serta Dewi Rarasati di Koripan.

6. Sandi Pulung Dyah Angganasekar maju berperang, keenam putri Talkondha, Kusuma Pinujawati, tujuh Dewi Retna di Sokapirêna.

7. delapan Gondrawati Sang Dyah Ayu, putri Kaduk Raras, di negara Soka, putri Gêdah Mandrawati yang kesembilan.

Pada pupuh II yaitu pupuh Pocung, menceritakan kisah peperangan yang terjadi antara prajurit perempuan dari kerajaan yang dipimpin Anglingwulan dan kerajaan Kelani. Kedua pasukan ini melakukan perjuangan sampai titik darah penghabisan. Mereka tidak memikirkan apapun, hanya yang menjadi tujuannya adalah memperoleh kemenangan. Hal ini tersirat dalam bait 7-11 yang berbunyi seperti berikut ini:

5. sampun ngrasuk jêmparing gagamanipun/ praptèng pabaratan/ panggih lawan sami putri/ parêng têmpuk gapyak mubêng kikitêran//

6. sarêng têmpuh abênthak gandhewanipun/ uwal sarêng uwal/ mingêr undurira sami/ maju gapyuk apêluk ukêl gandhewa//

7. solahipun kadi wus atunggil guru/ sami pangarahnya/ ing yuda denya mrih titih/ kongsi dangu mundur midêr dêr-idêran//

8. sarêng ngunus warastra ingayat sampun/ sarêng usulira/ têmpuh pucuking jêmparing/ pan jumêplês warastra sarêng plêsatnya//

9. tibèng pungkur kang jêmparing sami putung/ eram kang tumingal/ mring tangkêping para putri/ lir sikatan cukat sami sasambêran//

(13)

20 Terjemahan

8 sudah memakai panah senjatanya, sampai di peperangan, bertemu putri sama putri, bertemu berputar mengelilingi.

9 sama-sama maju dengan panahnya, salin terpisah, berbalik mundur, maju bertemu memeluk panah.

10 tingkah lakunya seperti sudah satu guru, sama perintahnya, supaya menang dalam peperangan, sampai lama mundur teratur,

11 sama-sama menarik panah, bersamaan keduanya, bertemu ujung panah, panah sama-sama melesat.

12 pada akhirnya panah sama-sama putus, terlihat mengagumkan, dari tangkapan para putri, seperti burung dengan cepat saling berkejaran.

Sikap itulah yang dilakukan para pahlawan Indonesia ketika melawan penjajah Belanda maupun Jepang. Mereka tidak memikirkan kepentingan diri-sendiri tetapi hanya kepentingan bersama untuk memperoleh kemerdekaan.

3.3.3 Konsekuen

Sikap lain yang dimiliki oleh seorang pahlawan adalah konsekuen, artinya seorang pahlawan harus mempunyai sikap yang sama dari awal hingga akhir peperangan. Seorang pahlawan akan selalu berpegang teguh pada apa yang dicita-citakan dari awal. Sikap ini yang ditunjukkan oleh tokoh dalam

Anglingwulan Mbêdhah Kelani baik dari kubu Anglingwulan maupun drai

kubu kerajaan Kelani.

Pada pupuh III dan pupuh IV yaitu pupuh Sinom dan pupuh Durma, menceritakan perjalanan peperangan yang semakin memanas. Peperangan berjalan cukup lama tetapi belum terlihat siapa yang akan memenangkan peperangan. Dalam peperangan itu terlihat sebuah sikap konsekuen yang dilakukan oleh Dewi Prabasini. Sebuah sikap yang menunjukkan bahwa Dewi Prabasini memegang teguh keinginannya untuk memperoleh kemenangan. Hal ini tersirat dalam pupuh Durma bait ke 1-5 yang berbunyi:

1. sangêt rame yudanira pra wanodya/ sangkin bramantya kalih/ sarêng mênthang langkap/ lêpas sami lumêpas/ kang panah tarung cumêngkling/ gathuk pucuknya/ sarêng plêsate kalih//

2. tibèng wuri panah tikêl tanpa sesa/ kang yuda antuk tandhing/ padha putri wira/ manggala para garwa/ samya êmar kang ningali/ mulat ing sara/ dibya sarêng manduking//

(14)

21

3. tanpa guna agung malêsat kalihnya/ kang yuda rukêt malih/ Sang Dèwi Purnama/ atandhing denya yuda/ lan Dèwi Kumarawati/ Dyah Prabasina/ prang lan putri Kelani//

4. sami cikatira sarigake padha/ rikat masis tarampil/ dangu tan kasoran/ saking sami solahnya/ nanging putri Selagupit/ ing tangkêbira/ sakêdhik ragi kontit//

5. krêp kasampe ing gandewa jangganira/Sang Dèwi Prabasini/ merang sru bramantya/ mangsah wus ambêk pêjah/ lan Dèwi Purnama Sidhi/ sarêng kabangan/ langkung ramene jurit//

Terjemahan

1. ramai sekali peperangan para prajurit, keduanya semakin nafsu, bersamaan membentangkan panah, keduanya saling melepas, panah-panah bertarung gemerincing, bertemu ujungnya, keduanya sama-sama melesat.

2. panah jatuh di belakang tanpa sisa, yang bertanding perang, sama prajurit putri, memimpin para istri, semua yang melihat khawatir, melihat dalam hati, sama-sama lebih perbuatannya.

3. keduanya melesat tanpa guna, yang perang tanding lagi, Sang Dewi Purnama, melawannya perang, dan Dewi Kumarawati, dyah Prabasina, perang dengan putri Kelani.

4. sama-sama cepat sama-sama siaga, cepat pintar terampil, lama tidak terdengar, karena sama tingkah lakunya, tetapi putri Selagupit, ditangkapnya, sedikit kalah.

5. sering terkena panah, Sang Dewi Prabasini, berperang dengan nafsu besar, musuh sudah mau mati, dan Dewi Purnama Sidhi, sama-sama marah, terlalu ramainya perang.

3.3.4 Menjadi Teladan

Seorang pahlawan harus mampu menjadi teladan bagi banyak orang. Dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani terdapat sikap seorang pahlawan yang bisa menjadi teladan untuk menjalani kehidupan sehari-hari. Pada bait-bait terakhir pupuh Durma menceritakan salah satu sikap Anglingwulan sebagai seorang pemimpin yang bisa diteladani. Anglingwulan selalu berserah pada Tuhan dalam menjalani hidup. Ketika peperangan yang terjadi antara prajurit Anglingwulan dengan prajurit kerajaan Kelani tidak membuahkan hasil, yang dilakukan Anglingwulan adalah datang kepada Tuhan untuk memohon petunjuk. Sikap inilah yang bisa menjadi teladan bagi manusia ketika mengahadapi persoalan hidup, memang seharusnya kita berlari pada Tuhan bukan ke hal lain. Hal ini tersirat dalam pupuh Durma bait 28-33 yang berbunyi:

(15)

22

28. sigra têdhak Dyan Angling mring pamêlêngan/ nungku puja sêmadi/ minta ing jawata/ unggula kang ngayuda/ asru panangis sirèki/ konjêm pratala/ gêtêr ing suranadi//

29. manggut-manggut pucuking arga mahendra/ asru gonjing kang bumi/ tondha katarima/ sira Sang Hyang Narada/ cumlorot sing ngawiyati/ asru ngandika/ wudhara sira kaki//

30. dadèkake kagyat Hyang Jagad Pratingkah/ kawah lir dèngênèni/ awlasa ing swarga/ gègère widadara/ widadari samya giris/ jugring salaka/ akadya dènintêri//

31. mangkana Dyan Anglingwulan sru manêmbah/ wus wudhar kang samadi/ alon aturira/ dhuh pukulun kang mulya/ sêsêmbahan ulun yêkti/ aksamanira/ dhatêng patik sang yogi//

32. Hyang Narada angandika latah-latah/ titah ulun sirèki/ paran karsanira/ matura kang trawaca/ sayêkti ulun tulungi/ apa karsanta/ matur Dyan Anglingsasi//

33. hyang pukulun kadiparan yuda amba/ prajurit kakung putri/ samya akasoran/ sakêdhik tan malêsa/ mungsuhnya sangêt asêkti/ jalu wanita/ kanthi unggul kang jurit//

Terjemahan

28. Dyan Angling segera memberikan perintah, berdoa menyembah, meminta kepada dewa, agar dapat memenangkan peperangan, keras tangisannya, kepala bersujud sampai tanah, bergetar bumi.

29. mengangguk-angguk di puncak gunung, bumi bergoncang keras, tanda diterima, Sang Hyang Narada, memancar di angkasa, keras berkata, lepaskan kamu.

30. menjadikan kaget tingkah laku Hyang Jagad, air seperti diberi api, lama di surga, punggung bidadari, semua bidadari takut, runtuh seketika, seperti dikelilingi.

31. begitu Raden Anglingwulan menyembah dengan sungguh-sungguh, sudah selesai yang bersemedi, perkataannya perlahan, duh Raja yang mulia, sembahku dengan sungguh-sungguh, ampuni dia, kepada abdi sang pandita.

32. Hyang Narada berkata berulang-ulang, perintahmu ini, apa keinginannya, beritahu kepada semua,sebetulnya saya menolong, apa kemauannya, berkata Dyan Anglingsasi.

33. Sang raja seperti perang besar, prajurit laki-laki perempuan, semuanya kalah, sedikitpun tidak membalas, musuhnya sangat sakti, laki-laki perempuan, menang di dalam peperangan.

4. Simpulan dan Saran

Naskah Anglingwulan Mbêdhah Kelani merupakan naskah tunggal. Dalam Anglingwulan Mbêdhah Kelani ditemukan beberapa variant, yaitu lakuna sebanyak 10 buah, adisi sebanyak 10 buah, Hipercorect sebanyak 9 buah dan ditografi 1 buah. Penelitian yang dilakukan diantaranya deskripsi naskah, kritik

(16)

23

teks, suntingan teks dan aparat kritik. Suntingan teks Anglingwulan Mbêdhah

Kelani pada penelitian ini adalah suntingan teks yang bersih dari kesalahan

berdasarkan cara kerja filologis dengan metode penyuntingan naskah tunggal edisi standart. Naskah Anglingwulan Mbêdhah Kelani koleksi Museum Sanabudaya Yogyakarta dengan nomor katalog lokal PB C.137 yang telah diedisikan dalam kajian ini yang dipandang baik. Anglingwulan Mbêdhah Kelani memuat nilai kepahlawanan yang tercermin dari sikap-sikap yang harus dimiliki oleh seorang pahlawan. Sikap-sikap tersebut adalah rela berkorban, melakukan perjuangan, konsekuen, dan menjadi teladan. Kepahlawanan tidak bisa dipisahkan dengan kepemimpinan. Seorang pahlawan sudah pasti seorang pemimpin dan seorang pahlawan pasti meniliki moral yang baik.

Penelitian terhadap Anglingwulan Mbêdhah Kelani ini hanya menitik beratkan pada dua kajian utama yaitu pada kajian filologis dan kajian isi, sehingga peneliti lain bisa memanfaatkan untuk penelitian berdasarkan disiplin ilmu yang lain. Peneliti mengharapkan agar pembaca dapat memahami pesan yang disampaikan dalam teks sehimgga nilai yang terkandung di dalam Anglingwulan

Mbêdhah Kelani dapat dimanfaatkan dengan baik.

5. Daftar Pustaka

Anonim. Anglingwulan Mbêdhah Kelani. Yogyakarta: Sanabudaya.

Behrend, T.E, et.al. 1990. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid I

Museum Sanabudaya Yogyakarta. Jakarta: Djambatan.

Edwar Djamaris. 2006. Metode Penelitian Filologi. Jakarta: CV Manasco.

Emuch Hermansoemantri. 1986. Identifikasi Naskah. Bandung. Fakultas Sastra Universitas Padjajaran.

Florida, Nancy K. 1994. Javanese Language Manuscripts of Surakarta Central

Java A Preliminary Descriptive Catalogus Level I and II.

Girardet, Nicolous dan Soetanto. 1983. Descriptive Catalogus of the Javanese

Manuscripts and Printed Book in the Main Libraries of Surakarta and Yogyakarta. Wiesbaden: Frans Steiner Verleg GMBN.

Lindstay, Jennifer. 1994. Katalog Induk Naskah-Naskah Nusantara Jilid 4

(17)

24

Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J. B. Wolters, Maatschappij, Groningen.

Sagimun. 1983. “ Prosedur Pengusulan dan Penetapan serta Kriteria Pahlawan Nasional” dalam Pemikiran Biografi, Kepahlawanan dan Kesejarahan. Jakarta: Depdikbud.

Siti Baroroh Baried, dkk. 1994. Pengantar Teori Filologi. Jakarta. Depdikbud. Sri Guritno, Purnomo dan Soimun. 2002. Karakter Tokoh Pewayangan

Mahabarata (Seri V). Jakarta: Direktorat Tradisi dan Kepercayaan Deputi

Bidang Pelestarian dan Pengembangan Budaya Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata.

Gambar

Grafik 1. Halaman  28  pupuh Sinom   bait 17  baris  5,  terdapat  kekurangan  satu  suku  kata  seharusnya  7i  tertulis  de  kang  para  putri  seharusnya  dene  kang para putri yang artinya sedangkan para putri

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian ini yaitu aplikasi dapat menampilkan visualisasi proses pengolahan data berupa teks dan suara pada komputer dalam bentuk

Struktur organisasi merupakan hal yang sangat penting dalam sebuah perusahaan, karena struktur organisasi akan memberikan gambaran dan penjelasan tentang batasan tugas,

Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel internal audit dan variabel pengendalian internal memberikan pengaruh sebesar 10,7% terhadap Pencegahan Kecurangan pada Inspektorat

Penelitian Saari dan Judge (2004) melakukan penelitian tentang hubungan kepuasan kerja dengan kinerja di IBM Corporation. Penelitian ini didasari oleh bukti empiris

pendidikan mempunyai masa depan yang dengan bekal yang cukup.. bil oleh penyelenggaran/management sekolah yang diperkirakan dapat memberikan beban berat bagi siswa

Formulir penjualan kembali Unit Penyertaan SAM SUKUK SYARIAH SEJAHTERA yang telah dipenuhi sesuai dengan syarat dan ketentuan yang tercantum dalam Kontrak, prospektus dan

Namun kenyataan yang terjadi adalah mekanisme bottom up yang seharusnya mendasari pelaksanaan Musrenbangdes telah tergantikan dengan dominasi dari para elit