• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. PENARIKAN UNIT CONTOH DALAM KOMUNITAS TUMBUHAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "I. PENARIKAN UNIT CONTOH DALAM KOMUNITAS TUMBUHAN"

Copied!
53
0
0

Teks penuh

(1)

I. PENARIKAN UNIT CONTOH DALAM KOMUNITAS TUMBUHAN

Dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan seperti halnya pada bidang-bidang ilmu lainnya yang bersangkut paut dengan sumberdaya alam dikenal dua jenis/tipe pengukuran untuk mendapatkan informasi/data yang diinginkan. Kedua jenis pengukuran tersebut adalah pengukuran yang bersifat merusak (destructive measures) dan pengukuran yang bersifat tidak merusak (non-destructive measures). Untuk keperluan penelitian agar hasil datanya dapat dianggap sah (valid) secara statistika, penggunaan kedua jenis pengukuran tersebut mutlak harus menggunakan satuan contoh (sampling unit), apalagi bagi seorang peneliti yang mengambil objek hutan dengan cakupan areal yang luas. Dengan sampling, seorang peneliti/surveyor dapat memperoleh informasi/data yang diinginkan lebih cepat dan lebih teliti dengan biaya dan tenaga lebih sedikit bila dibandingkan dengan inventarisasi penuh (metode sensus) pada anggota suatu populasi.

Supaya data penelitian yang akan diperoleh bersifat valid, maka sebelum melakukan penelitian dengan metode sampling kita harus menentukan terlebih dahulu tentang metode sampling yang akan digunakan, jumlah, ukuran, dan peletakan satuan-satuan unit contoh. Pemilihan metode sampling yang akan digunakan bergantung pada keadaan morfologi jenis tumbuhan dan penyebarannya, tujuan penelitian dan biaya, serta tenaga yang tersedia.

1.1. Bentuk Unit Sampling

Bentuk unit sampling dalam survey vegetasi dapat berupa kuadrat, garis, dan titik. Pengertian kuadrat adalah suatu satuan contoh yang tidak begitu luas yang dinyatakan dalam satuan kuadrat dan berbentuk bujursangkar (persegi), empat persegi panjang, lingkaran atau segitiga. Sedangkan yang dimaksud dengan jalur adalah kuadrat berbentuk empat persegi panjang, dimana panjangnya beberapa kali lebarnya. Umumnya survey vegetasi menggunakan unit sampling berbentuk kuadrat ini.

1.2. Ukuran Kuadrat

Pertimbangan utama dalam penentuan ukuran kuadrat adalah kehomogenan vegetasi dan keadaan morfologi jenis tumbuhan yang diukur. Kuadrat yang berukuran kecil adalah sering lebih efisien dibandingkan kuadrat berukuran besar. Dalam hutan homogen, ketepatan untuk intensitas sampling tertentu cenderung lebih besar, karena jumlah satuan contoh yang

(2)

bersifat bebas satu sama lain akan lebih banyak. Tetapi bila kuadrat berukuran kecil digunakan pada hutan yang heterogen, maka koefisien variasi akan tinggi. Oleh karena itu bila hutan heterogen sebaiknya kuadrat yang digunakan juga berukuran besar.

Ukuran kuadrat harus memenuhi tiga syarat, yaitu:

(a) harus dapat mencakup sebanyak mungkin jenis tumbuhan dalam komunitas yang bersangkutan,

(b) habitat dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin, dan

(c) penutupan vegetasi dalam kuadrat harus diusahakan sehomogen mungkin. Sebagai contoh, unit contoh ini sebaiknya tidak mencakup daerah terbuka yang cukup luas atau sebaiknya tidak didominasi (50% dari luas contoh) oleh satu jenis dan 50% lagi oleh jenis yang kedua.

Berhubung ilmu ekologi hutan lebih menitikberatkan pada komposisi jenis vegetasi, maka ukuran petak contoh yang akan dibuat harus bersifat mewakili keadaan vegetasi pada areal yang akan diteliti, terutama kalau kita akan membuat satu petak contoh. Untuk mengetahui hal ini, maka dalam ilmu ekologi hutan ada suatu teknik untuk menentukan luasan petak contoh terkecil yang dianggap mencakup/mewakili keadaan habitat dari suatu tipe komunitas/tegakan, yang disebut dengan metode species-area curve. Prosedur teknik pembuatan species-area curve ini adalah sebagai berikut:

(a) Pilih bentuk petak contoh berukuran minimal yang akan dibuat, kuadrat atau lingkaran, tetapi umumnya petak contoh yang digunakan adalah berbentuk kuadrat. (b) Letakkan sebuah petak contoh berukuran persegi (misal 1 x 1 m2) atau lingkaran

berukuran luas 0,56 m2, kita namakan petak contoh ini sebagai P1, pada komunitas vegetasi/tegakan hutan yang akan kita teliti. Catat jumlah jenis yang berbeda dalam petak contoh (P1) tersebut.

(c) Perluas P1 dua kali, kita namakan petak contoh yang baru ini dengan P2 (luas P2 = 2 x luas P1). Catat semua jenis dalam P2 ini.

(d) Perluas petak contoh sebanyak dua kali lipat petak contoh sebelumnya dan pencatatan kumulatif semua jenis dari petak-petak contoh terebut dihentikan bila kenaikan jumlah jenis yang diperoleh tidak berarti.

(e) Buat sistem koordinat (x,y), dimana luas petak contoh sebagai absis (sumbu-x) dan jumlah jenis sebagai ordinat (sumbu-y).

(3)

(f) Menentukan kriteria dan ukuran petak contoh minimal. Dalam hal ini ada beberapa kriteria dari para ekolog yang dapat digunakan untuk menentukan luasan petak contoh minimal tersebut, yaitu:

(f.1) Kriteria dari Cain (1938)

Cain menyarankan ukuran minimal petak contoh ditentukan pada suatu luasan dimana 10% dari luas total petak contoh menghasilkan hanya 10% jumlah spesies dari jumlah total spesies yang tercatat. Caranya adalah: pertama, tentukan titik koordinat (x,y) dimana x = 10% x luas total petak contoh, dan y = 10% x jumlah kumulatif jenis yang dicatat; kedua, buat sebuah garis yang menghubungkan titik tersebut dengan titik koordinat (0,0); ketiga, buat sebuah garis sejajar terhadap garis yang pertama tersebut yang menyinggung secara tangensial terhadap species-area curve. Kemudian titik singgung ini diproyeksikan pada sumbu x, sehingga didapatkan ukuran minimal petak contoh. Tetapi, untuk pendugaan ukuran minimal petak contoh yang bersifat konservatif sebaiknya digunakan kriteria 10% peningkatan ukuran petak contoh menyebabkan hanya peningkatan 5% jumlah jenis. Titik ini dapat dicari dengan cara membuat sebuah garis yang melalui titik koordinat (0,0) dengan sebuah titik koordinat (x,y) dimana x = 100% dari ukuran total petak contoh dan y = 50% dari jumlah total jenis tercatat. Kemudian sebuah titik singgung antara sebuah garis sejajar dengan garis tersebut dan species-area curve diproyeksikan pada sumbu-x untuk memperoleh ukuran minimal petak contoh.

(f.2) Kriteria dari Rice dan Kelting (1955)

Pada dasarnya dalam kriteria ini terdapat suatu standar dari jumlah jenis yang diharapkan dicakup oleh petak contoh misalnya, kita mengharapkan petak contoh yang akan digunakan mencakup 95% dari maksimum jumlah spesies yang tercatat dalam petak contoh terbesar yang telah digunakan untuk pembuatan species-area curve. Caranya adalah: pertama, tentukan d spesies sebanyak jumlah total spesies yang dicatat dikurangi 5% dari jumlah total spesies tersebut, misalnya kita mendapatkan nilai n spesies; kedua, buat sebuah garis sejajar sumbu-y, sehingga garis tersebut memotong species-area curve pada sebuah titik. Kemudian titik perpotongan ini diproyeksikan pada sumbu-x untuk mendapatkan ukuran minimal petak contoh.

(4)

Untuk memperjelas keterangan di atas, di bawah ini disajikan suatu contoh penentuan suatu ukuran minimal petak contoh dalam suatu survey vegetasi seperti di bawah ini.

Misalnya suatu pembuatan petak contoh secara nested sampling memberikan data seperti tertera pada Tabel 1.1.

Tabel 1.1 Data jenis tumbuhan pada setiap contoh

No. Petak contoh Ukuran (m2) Jenis d kumulatif jenis

1 1 A B C D E F G H 8 2 2 I J K L 12 3 4 M N O 15 4 8 P Q R 18 5 16 S T 20 6 32 U 21

Petak-petak contoh tersebut didesain secara nested-plot sampling seperti pada Gambar 1.1.

(5)

Gambar 1.1. Peletakan petak contoh secara nested-plot sampling dalam suatu proses pembuatan species-area curve

Untuk menentukan luasan petak contoh terkecil yang dapat mewakili keadaan komunitas tumbuhan dibuat species-area curve seperti pada Gambar 1.2.

Gambar 1.2. Ilustrasi suatu species-area curve

1.3. Jumlah Unit Sampling

Ada suatu aturan umum dalam menentukan jumlah unit sampling yaitu “semakin banyak semakin bagus”. Aturan ini bisa diterima kalau biaya dan tenaga tidak merupakan faktor pembatas dalam penelitian. Karena semua proyek dibatasi oleh sejumlah biaya tertentu, maka kita harus menentukan jumlah dan ukuran unit sampling yang cukup mewakili keadaan populasi. Dalam ilmu ekologi hutan, suatu alternatif untuk menentukan jumlah unit sampling berukuran tetap tertentu bisa diperoleh dengan memplotkan running mean atau varian (keragaman antar kuadrat) sebagai ordinat dan jumlah kuadrat sebagai absis (Gambar

(6)

1.3). Kemudia jumlah kuadrat minimal diperkirakan pada suatu titik dimana fluktuasi varian atau running mean relatif stabil.

Gambar 1.3. Penentuan jumlah kuadrat berdasarkan running mean

Alternatif lain jumlah kuadrat dapat ditentukan berdasarkan dasar perhitungan persentase, dengan asumsi bahwa ukuran optimal kuadrat sudah ditentukan, maka jumlah kuadrat optimal dapat diperoleh berdasarkan intensitas sampling yang diinginkan. Bahkan berdasarkan pengalaman para peneliti senior, jumlah kuadrat minimal yang harus diambil adalah sekitar 30 buah dengan anggapan pada jumlah ≥ 30 kuadrat nilai keragaman relatif stabil. Petunjuk lain yang cukup berguna adalah keragaman dalam kuadrat harus lebih kecil dibandingkan dengan keragaman antar kuadrat. Bagaimanapun tidak ada jumlah kuadrat yang mutlak yang dapat direkomendasikan, karena kisaran heterogen di lapangan bervariasi dan setiap survey memerlukan ketelitian yang berbeda.

1.4. Peletakan Unit Contoh

Pada dasarnya ada dua kategori desain sampling yang umum digunakan, yaitu probability sampling (penarikan contoh berpeluang) dan non-random sampling (penarikan contoh tidak acak) seperti akan dijelaskan secara global di bawah ini. Pembahasan sampling secara rinci bukanlah tujuan dari penyusunan buku ini. Oleh karena itu, bagi pembaca yang berminat memperdalam teori sampling dianjurkan membaca buku-buku teori sampling yang sudah tersedia.

(a). Probability Sampling (Penarikan Contoh Berpeluang)

(7)

Penarikan contoh acak sederhana ini merupakan metoda penarikan contoh yang fundamental, karena metode-metode sampling lainnya dikembangkan sebagai modifikasi dari metode ini dengan peningkatan ketepatan (precision) dan efisiensi biaya/tenaga. Dasar pemikiran dari metode ini adalah adanya peluang yang sama dari semua kemungkinan kombinasi dari n satuan contoh dalam suatu populasi untuk dipilih sebagai satuan contoh dalam penelitian. Selain itu, pemilihan suatu satuan contoh harus bebas dari pemilihan yang disengaja dan harus bebas dari penelitian satuan-satuan contoh lainnya. Pemilihan satuan contoh dapat dilakukan dengan cara pemulihan atau tanpa pemulihan. Apabila pemilihan satuan contoh dilakukan dengan pemulihan, maka populasi dianggap berukuran tak terbatas. Untuk populasi terbatas yang berukuran besar, perhitungan nilai rata-rata dan standar error dapat dilakukan seperti halnya untuk populasi terbatas, (N-n)/N mendekati nilai 1. Umumnya, sampling dengan satuan contoh berupa plot atau strip (transek) dilakukan dengan tanpa pemulihan. Pemilihan secara acak satuan contoh dari populasi dapat dilakukan dengan lotere atau dengan tabel angka random.

Dalam metode sampling ini, seluruh tegakan hutan diperlukan sebagai satu populasi yang tersusun oleh sejumlah N satuan contoh. Apabila satuan-satuan contoh yang akan digunakan berukuran tertentu, maka populasi yang tediri atas N satuan contoh dapat dianggap sebagai finite population (populasi terbatas), tetapi apabila satuan contoh berupa titik, maka populasi dapat dianggap sebagai infinite population (populasi tidak terbatas). Dari suatu populasi, suatu contoh yang terdiri atas n satuan contoh dipilih secara acak dengan peluang yang sama. Walaupun metode sampling ini memberikan dugaan yang tidak bias terhadap rata-rata nilai tengah populasi dan informasi untuk mendekati sampling error (kesalahan sampling), terdapat beberapa kelemahan dalam penggunaan metode ini di lapangan. Kelemahan-kelemahan tersebut adalah:

(1). Adanya persyaratan untuk menyediakan sarana (potret udara, peta, dll.) untuk pemilihan secara random dari satuan-satuan contoh;

(2). Adanya kesukaran dalam penempatan satuan-satuan contoh terpilih di lapangan dengan cakupan areal yang luas;

(3). Memerlukan waktu yang banyak dan terjadinya pemborosan waktu perjalanan antar satuan-satuan contoh yang terpilih; dan

(4). Adanya kemungkinan satuan-satuan contoh yang terpilih terkumpul pada lokasi tertentu, sehingga data yang diperoleh tidak mencerminkan nilai parameter populasi keseluruhan.

(8)

Beberpa rumus penting untuk menganalisis data hasil penelitian dengan metode sampling ini adalah:

a. X =

 n 1 i Xi b. S2 = 2 1 1 2 ) (

   n i n i Xi Xi ( ) , maka S = √S 2 c. S2 x = S 2

( ), untuk populasi terbatas

S2 x = S

2

, untuk populasi tak terbatas

sehingga

S

x = √

S

x 2 d. X^ = N. X e. C = X dimana:

n = jumlah satuan contoh yang dipilih N = jumlah satuan contoh dalam populasi

Xi = nilai besaran X (density, volume, dll.) yang diukur dalam satuan contoh ke-i

X = rata-rata nilai X persatuan contoh (sebagai dugaan dari rata-rata populasi) S = standar deviasi dari contoh

Sx = standar eror dari rata-rata (SEM)

^

X = dugaan nilai total dari X untuk populasi C = koefisien variasi

(a.2). Stratified Random Sampling (Penarikan Contoh Acak Berlapis)

Apabila kita berhadapan dengan suatu hutan yang heterogen, maka metode sampling acak sederhana tidaklah tepat digunakan, tetapi peranan metode sampling lain stratified random sampling, akan memberikan informasi yang lebih akurat. Dalam metode sampling ini areal hutan yang beragam tersebut dapat dibagi-bagi ke dalam bagian-bagian yang disebut

(9)

strata yang dapat meningkatkan ketepatan dari pendugaan nilai parameter populasi. Beberapa keuntungan dari penerapan stratified random sampling bila dibandingkan dengan simple random sampling adalah:

(1). Pendugaan nilai rata-rata dan keragaman dapat dilakukan untuk setiap strata.

(2). Untuk suatu intensitas sampling tertentu stratifikasi sering memberikan hasil dugaan yang lebih tepat terhadap parameter populasi daripada simple random sampling dengan ukuran contoh yang sama. Hal ini dapat terjadi bila keragaman satuan contoh dalam strata lebih kecil dibandingkan dengan keragaman untuk populasi secara keseluruhan.

Sebaliknya metode sampling ini juga mempunyai kelemahan, yaitu bahwa ukuran dari setiap strata harus diketahui atau paling tidak perkiraan kadar dari luasan stratum tersebut harus tersedia. Kemudian satuan-satuan contoh harus dipilih dari setiap stratum secara acak agar pendugaan nilai parameter stratum dapat diperoleh.

Penerapan metode sampling ini dalam kehutanan dapatlah dilakukan dengan cara membagi-bagi areal hutan ke dalam beberapa stratum berdasarkan keadaan topografi, tipe hutan, kelas kerapatan, volume, tinggi, umur atau bonita/site index. Apabila memungkinkan dasar dari startifikasi tersebut sebaiknya dilakukan berdasarkan parameter yang sama dengan metode sampling tersebut. Misalnya bila kita akan menduga volume kayu per unit luasan areal hutan, maka areal hutan juga sebaiknya dibagi-bagi/distratifikasi berdasarkan kelas volume. Dengan demikian potret udara adalah sarana yang penting untuk proses stratifikasi areal hutan tersebut.

Hutan dapat dibagi ke dalam stratum-stratum dengan luas yang berbeda, bentuknya tak beraturan dan kepentingan yang berbeda-beda. Oleh karena itu, stratifikasi mengizinkan intensitas sampling dan ketepatan yang bervariasi diantara stratum-stratum yang dibuat. Dalam kenyataannya mungkin seorang peneliti terpaksa melakukan stratifikasi secara bebas bila menghadapi objek hutan belantara yang luas dengan keterbatasan-keterbatasan kriteria untuk melakukan pembagian areal hutan ke dalam stratum-stratum, tidak tersedianya peta dan potret udara atau bila interpretasi foto udara memberikan sedikit parameter untuk melakukan stratifikasi. Kalau menghadapi kasus tersebut, areal hutan dapat distratifikasi ke dalam plot-plot (bujur sangkar atau empat persegi panjang) dengan ukuran yang seragam, walaupun kita menyadari bahwa kemungkinan besar stratum-stratum yang dihasilkan mengandung sub-populasi yang tidak homogen. Hal ini bersifat logik dengan anggapan bahwa homogenitas dalam blok-blok yang berukuran lebih kecil akan lebih besar daripada luas hutan secara keseluruhan.

(10)

Data yang diperoleh dengan metode sampling ini harus dianalisis dengan rumus-rumus seperti di bawah ini (dengan asumsi semua satuan contoh mempunyai ukuran/luas yang seragam), yaitu: a. Xj=

 n 1 i Xij b. X =

 n 1 i Xj Nj

=

Pj Xj c. X = ^

 M 1 j NjXj sehingga X = N ^ X d. S2 x = N 2

 M 1 j * nj Sj Nj 2 2        Nj nj Nj +,

tetapi bila populasi terdiri atas strata yang berukuran besar (populasi tidak terbatas), dimana faktor korelasi populasi terbatas memberikan nilai tak berarti, maka pendugaan keragaman rata-rata dilakukan dengan rumus:

a. S2 x =

 M 1 j P2j ( nj Sj 2 ) b. S2x = N2

S

x2 dimana:

M = jumlah strata dalam populasi

n = jumlah total satuan contoh yang dipilih dalam semua strata nj = jumlah satuan contoh yang dipilih pada strata ke-j

N = jumlah total satuan contoh dalam populasi Nj = jumlah total satuan contoh dalam stratum ke-j

Xij = nilai besaran X (volume, density, dll.) dalam satuan contoh terpilih ke-i dari stratum ke-j

Xj = rata-rata dari nilai besaran X untuk stratum ke-j =

^

X = dugaan nilai total besaran X untuk populasi S2j = varian X untuk stratum ke-j

(11)

S

2x = dugaan varian untuk nilai rata-rata populasi S 2 x = dugaan varian ^ X

(a.3). Multistage Sampling (Penarikan Contoh Bertingkat)

Dalam metode sampling ini, suatu populasi terdiri atas satuan daftar satuan-satuan contoh primer (primary stage), dimana setiap satuan contoh primer ini terdiri atas satuan-satuan contoh sekunder dengan ukuran lebih kecil (second stage) yang tersusun oleh satuan-satuan contoh yang lebih kecil lagi (third stage) dan seterusnya sampai pada suatu tahap yang sesuai dengan keinginan peneliti. Pemilihan contoh primer secara acak harus dilakukan dari kumpulan satuan contoh primer dari suatu populasi. Begitu pula pemilihan satuan contoh sekunder dari setiap satuan contoh primer yang terpilih, prosedur ini dilanjutkan sampai tahap yang diinginkan.

Penarikan contoh dua tingkat (two-stage sampling), yang umum digunakan oleh peneliti/surveyor, mencerminkan penarikan contoh sampai tahap secondary stage. Sebagai contoh, suatu areal hutan yang akan kita survey terdiri atas beberapa petak, dimana petak-petak ini dapat kita anggap sebagai satuan-satuan contoh primer. Kemudian plot-plot contoh yang dipilih dari petak-petak yang terpilih (satuan-satuan contoh primer terpilih) dapat dianggap sebagai satuan-satuan contoh sekunder yang terpilih.

Multistage sampling ini mempunyai keuntungan mengenai pengkonsentrasian pekerjaan pengukuran yang dekat dengan lokasi satuan contoh primer yang terpilih daripada penempatan satuan-satuan contoh tersebut secara tersebar di seluruh areal hutan. Hal ini akan lebih terasa manfaatnya bila adanya kesukaran dan pengeluaran biaya yang cukup besar untuk menempatkan dan mencapai satuan contoh yang terakhir, sebaliknya mudah dan murah untuk memilih dan mencapai satuan contoh primer, misal petak-petak dalam hutan, dengan peluang yang proporsional terhadap ukuran/luasnya, kemudian memilih satuan contoh sekunder secara acak.

Untuk lebih memahami metode sampling ini, berikut ini akan disajikan alasan dan rumus-rumus perhitungan dari two-satge sampling yang merupakan salah satu jenis multistage sampling yang banyak digunakan oleh para peneliti.

Dalam two-stage sampling m satuan contoh dipilih dari M satuan contoh primer dari suatu populasi sebagai tahap pertama. Kemudian dari setiap m satuan contoh terpilih,

(12)

sebanyak n satuan contoh sekunder dipilih dari suatu populasi yang tediri atas N satuan contoh primer dipilih, maka kita berarti menggunakan stratified random sampling. Terdapat tiga kasus umum yang biasa dilakukan dengan two-stage sampling, adalah:

(1). Semua satuan contoh primer dengan ukuran yang sama mengandung jumlah yang sama dari satuan contoh sekunder berukuran seragam;

(2). Satuan-satuan contoh primer berukuran tidak sama mengandung jumlah yang bervariasi dari satuan contoh sekunder berukuran seragam; dan

(3). Satuan-satuan contoh primer yang berukuran tidak sama mengandung jumlah yang bervariasi dari satuan-satuan contoh sekunder dari berbagai ukuran.

Untuk menyelesaikan kasus ke-2 dan ke-3, penulis anjurkan pembaca dapat membaca buku teori sampling karangan Cochran (1977). Jadi, hanya kasus pertama saja yang akan disajikan rumus-rumus analisis datanya seperti berikut ini:

(1) X = mn 1



  m 1 j n 1 i Xij (2) S2x =        M m 1 m B

s

2 +        M N mn 1 mn w S2

 

 

1 m nm Xij n Xij S m 1 j n 1 i 2 m 1 j n 1 i 2 2 B            ) 1 n ( m n Xij Xij S m 1 j n 1 i m 1 j 2 2 2 w n 1 i   



   

Bila jumlah satuan contoh primer sangat besar (infinite population), maka varian rata-rata menjadi: 

s

2 x mn W S m B S2 2 (3) Xj ^ =

 n 1 i Xij n N

(13)

X ^ =

 m 1 j Xij m M

S

2x=

M

N

S

2 x 2 2 dimana:

M = jumlah total satuan contoh primer dalam populasi

N = jumlah satuan contoh sekunder per satuan contoh primer dalam populasi (sama untuk semua satuan contoh primer)

m = jumlah satuan contoh primer yang terpilih

n = jumlah satuan contoh sekunder yang dipilih per satuan contoh primer yang terpilih

Xij = besaran X yang diukur (volume dll.) pada satuan contoh sekunder ke-i dalam satuan primer ke-j

Xi = nilai dugaan dari rata-rata X untuk satuan contoh primer ke-i

Xj = nilai dugaan dari rata-rata X untuk satuan contoh primer ke-j

X ^

= nilai dugaan dari total x untuk keseluruhan populasi X= nilai dugaan dari rata-rata x untuk keseluruhan populasi

S

2x = nilai dugaan dari varian rata-rata untuk keseluruhan populasi

S

2x = nilai dugaan dari varian total untuk keseluruhan populasi

S

2B= nilai dugaan varian diantara rata-rata dari satuan-satuan contoh sekunder dalam satuan-satuan contoh primer

S

2W= nilai dugaan varian dalam grup dari satuan-satuan contoh sekunder

(a.4.). Double Sampling (Penarikan Contoh Berganda)

Metode sampling ini merupakan suatu bentuk dari multiphase sampling yang terbatas pada dua fase. Dalam double sampling pendugaan variable utama diperoleh dengan memanfaatkan hubungan antara variabel utama tersebut dengan suatu variabel penunjang. Metode ini adalah sangat berguna bila informasi untuk mengetahui variabel utama memerlukan biaya yang mahal dan dari segi teknis cukup susah, sebaliknya variabel pendukung dapat diperoleh secara lebih mudah dan murah. Dengan demikian tujuan utama dari penerapan metode ini adalah untuk mengurangi jumlah pengukuran variabel utama yang memerlukan biaya cukup besar tanpa mengorbankan ketepatan dari pendugaannya. Adapun prosedur dari metode sampling ini adalah: fase pertama, sejumlah satuan contoh acak yang

(14)

cukup banyak diambil untuk memperoleh informasi mengenai variabel pendukung X yang akan memberikan ketepatan yang lebih baik terhadap pendugaan nilai rata-rata atau total dari populasi; dan fase kedua, sejumlah sub-satuan contoh pertama, dimana pada sub-satuan-satuan contoh ini pengukuran-pengukuran dilakukan untuk memperoleh informasi mengenai variabel utama Y. Harus diingat bahwa fase pertama dan kedua merupakan suatu ketergantungan yang menguntungkan, karena pengukuran-pengukuran pada fase kedua diambil dari sebagian satuan-satuan contoh yang telah dipilih dalam fase pertama. Dengan demikian kita mempunyai suatu ukuran contoh yang lebih kecil, dimana baik variabel utama (Y) maupun variabel pendukung (X) dapat diukur. Dengan menggunakan data tersebut, maka suatu regresi dapat dibuat antar kedua variabel tersebut untuk membuat dugaan dari nilai rata-rata dan total dari variabel utama. Hubungan antara variabel X dan Y bisa mengikuti beberapa bentuk, baik linier maupun non-linier. Sebagai ilustrasi di bawah ini disajikan suatu contoh hubungan linier sederhana antara kedua variabel tersebut. Dalam double sampling ini, nilai dugaan terkoreksi dapat diperoleh dari persamaan regresi sebagai berikut:

Yreg= Ys+ b (X1 - Xs) dimana:

Yreg = dugaan regresi dari rata-rata y (variabel utama) dari double sampling

Ys = dugaan rata-rata y dari fase kedua (ukuran satuan contoh kecil)

X1 = dugaan rata-rata X (variabel pendukung) dari fase pertama (satuan contoh

besar)

Xs = dugaan rata-rata X dari fase kedua (satuan contoh besar)

b = koefisien regresi linier

n = jumlah satuan contoh pada fase pertama (satuan contoh besar) m = jumlah satuan contoh pada fase kedua (satuan contoh kecil)

Koefisien regresi (b) dapat dihitung dengan rumus:

b =

 

    m 1 i s i 2 m 1 i s i s i X X ) Y Y )( X X (

(15)

=

 

              m 1 i m 1 i 2 2 m 1 i m 1 i m 1 i Xi m 1 Xi Yi Xi m 1 Yi . Xi dimana:

Xi = nilai besaran X (volume, kerapatan, dll.) pada satuan contoh ke-i pada fase kedua (satuan contoh kecil)

Yi = nilai besaran Y (volume, kerapatan, dll.) pada satuan contoh ke-i pada fase pertama (satuan contoh besar)

Sedangkan pendugaan varian dari regresi dapat dihitung dengan rumus:

y S2 reg =

                           

N n n y S n m Xs i Xs Xi x y S m x y S m j

X

1 . 1 . . . . . 2 1 2 2 2 2

dimana N = jumlah total satuan contoh pada fase pertama (satuan contoh besar). Besaran

       N n

1 adalah faktor koreksi untuk populasi terbatas tetapi kalau untuk populasi yang tak

terbatas atau n adalah realtif lebih kecil dibandingkan N, maka faktor koreksi tersebut dihilangkan. x . y S2 =

2 m Xs Xi b ys yi m 1 i m 1 i 2 2 2    

  y S2 =

 

1 m m Yi Yi 1 m Ys Yi m 1 i m 1 i 2 2 m 1 i 2      

  

Sebagai contoh penerapan metode sampling ini dalam bidang kehutanan adalah pengkombinasian antara penggunaan foto udara dan pembuatan plot contoh di lapangan untuk menduga suatu parameter (misal: volume tegakan). Sebagai tahap pertama dilakukan pendugaan volume memakai sarana foto udara dengan jumlah satuan contoh yang cukup banyak (karena lebih murah) melalui interpretasi foto dan teknik-teknik pengukuran. Dengan

(16)

demikian kita dapat memperoleh nilai dugaan volume per unit areal dari hasil interpretasi foto udara, yang kita anggap sebagai variabel pendukung X. Pada fase kedua, beberapa satuan contoh yang lebih kecil ukurannya dipilih dan dikurangi di lapangan untuk pengukuran volume secara langsung di lapangan. Dengan demikian nilai dugaan volume per unit areal dapat diperoleh melalui pembuatan plot contoh di lapangan, yang kita anggap sebagai variabel utama (Y). Tahap selanjutnya adalah membuat regresi antara besaran volume berdasarkan plot contoh di foto udara (X) dan volume berdasarkan plot contoh di lapangan (Y). Dengan demikian kita bisa mengoreksi melalui pembuatan plot-plot contoh yang banyak dan murah yang dilakukan pada fase pertama dari double sampling.

(b). Non-random Sampling (Penarikan Contoh Tidak Acak) (b.1). Selective Sampling (Penarikan Contoh Subjektif)

Pada selective sampling ini seorang peneliti memilih/meletakkan plot-plot contoh yang berdasarkan pengamatannya dapat mewakili populasi yang akan diduga parameternya. Metode sampling ini bisa memberikan nilai pendugaan yang mendekati parameter-parameter populasi, tetapi sebaiknya metode ini tidak diterapkan dalam kegiatan penelitian. Alasannya adalah bahwa nilai pendugaan parameter populasi yang dihasilkan akan bias, karena pendapat seseorang mungkin berbeda dengan pendapat orang lain, sehingga tidak bersifat objektif. Selain itu, pemilihan plot contoh dalam metode ini tidak akan menghasilkan nilai dugaan yang bersifat realitas, karena teori peluang diterapkan berdasarkan law of chance.

(b.2). Systematic Sampling (Penarikan Contoh Beraturan)

Dalam metode sampling ini, satuan-satuan contoh diletakkan pada interval jarak yang sama pada seluruh areal populasi. Metode ini banyak diterapkan di bidang kehutanan, terutama oleh para ahli ekologi hutan, karena mempunyai beberapa keuntungan, yaitu:

(1) Memberikan nilai dugaan yang dapat dipercaya terhadap rata-rata dan total parameter populasi, karena satuan-satuan contoh diletakkan menyeluruh pada populasi;

(2) Dapat dilaksanakan secara lebih cepat dan murah bila dibandingkan dengan penerapan metode sampling berpeluang, karena pengurangan waktu/biaya yang diperlukan untuk proses pemilihan acak dari satuan-satuan contoh;

(17)

(3) Perjalanan (penjelajahan) antara satuan-satuan contoh yang berurutan adalah lebih mudah, karena adanya arah rintis yang tetap. Hal ini mengakibatkan waktu penjelajahan yang selalu lebih sedikit daripada waktu yang diperlukan untuk penempatan satuan-satuan contoh secara acak;

(4) Ukuran populasi tidak perlu diketahui selama satuan-satuan contoh diletakan pada jarak yang beraturan setelah satuan contoh pertama ditentukan; dan

(5) Keuntungan lainnya adalah pemetaan areal dapat dilakukan sekaligus di lapangan selama setiap bagian lapangan dijelajahi melalui sistem pola grid.

Selama satuan-satuan contoh ditempatkan pada interval jarak yang beraturan, maka akan diperoleh suatu set plot contoh yang dapat dibuat. Nilai rata-rata dari plot-plot contoh beraturan tidak akan bias, bila proses pemilihan secara acak dilakukan dalam sampling. Satuan-satuannya proses pengacakan yang mungkin dilakukan adalah pemilihan satu dari sejumlah set dari plot-plot contoh secara beraturan. Suatu set dari plot contoh yang dipilih akan bergantung pada pemilihan plot contoh pertama dalam populasi. Plot contoh pertama dapat dipilih secara acak dari sejumlah plot-plot contoh dalam populasi atau dapat pula secara acak dipilih dari k unit satuan contoh yang pertama dalam populasi, dimana sekali plot contoh yang pertama sudah kita pilih, maka plot-plot contoh selanjutnya harus dipilih pada interval jarak k.

Dalam populasi biologi, misalnya hutan, komponen-komponen populasi jarang yang tersusun secara diskret (secara terpisah) satu sama lain, tetapi memperlihatkan suatu variasi yang beraturan dari suatu tempat ke tempat lain. Bila satuan contoh dipilih secara beraturan, maka beragam dari nilai-nilai yang diamati tidak lagi diperoleh dari sistematik tersebut, karena jarak antara satuan-satuan contoh berimpit dengan pola variasi populasi. Semakin luas areal hutan yang akan diteliti, besar variasi yang mungkin terjadi dan kita lebih mengharapkan bahwa plot-plot contoh yang beraturan akan memberikan pendugaan parameter populasi yang lebih dapat dipercaya daripada plot-plot contoh yang dipilih secara random. Bahkan untuk populasi yang dibagi-bagi ke dalam strata, plot-plot contoh beraturan kemungkinan besar akan menghasilkan nilai dugaan rata-rata populasi yang lebih baik bila strata yang dibuat besar dan bervariasi. Karena homogenitas dari strata yang dibuat cenderung meningkat, maka pendugaan parameter populasi yang diperoleh dari plot-plot contoh beraturan dan acak akan semakin serupa.

(18)

Dengan menggunakan metode sampling ini, suatu areal hutan yang akan diteliti dibagi-bagi ke dalam N buah jalur dengan ukuran yang seragam. Jalur contoh diambil pada interval setiap k buah jalur untuk mendapatkan sejumlah satuan contoh yang terdiri atas n buah jalur. Pemilihan sebanyak n buah jalur pada interval setiap k buah jalur dapat diperoleh dengan dua cara, yaitu:

(1). Pemilihan satu buah jalur contoh dari sebanyak N buah jalur yang tersedia dan jalur contoh yang terpilih ini dianggap sebagai jalur contoh pertama. Kemudian jalur-jalur contoh berikutnya diambil pada interval setiap k buah jalur dari kedua arah jalur contoh pertama yang telah dipilih. Suatu cara yang praktis untuk melakukan pemilihan jalur contoh pertama adalah melalui pemilihan suatu bilangan acak antara 1 dan N, kemudian bilangan acak yang terpilih ini dibagi dengan k, sehingga diperoleh sisa pembagiannya (antara 1 dan K). Bilangan sisa pembagian ini digunakan untuk menentukan pada jalur keberapa jalur contoh pertama harus diambil. Setelah itu jalur-jalur contoh berikutnya diambil pada setiap jarak k buah jalur contoh pertama tersebut.

(2). Satu bilangan yang bernilai antara 1 dan k dipilih secara acak sebagi jalur contoh pertama, kemudian jalur-jalur contoh berikutnya diambil pada setiap interval k buah jalur.

Kedua cara prosedur pemilihan jalur contoh pertama ini akan menghasilkan kemungkinan jumlah jalur contoh berukuran yang sama. Prosedur yang pertama akan memberikan pendugaan yang tidak bias terhadap nilai rata-rata populasi, sedangkan prosedur yang kedua mungkin memberikan sedikit bias pada hasil pendugaannya bila nilai N tidak merupakan kelipatan dari k (tidak tepat dibagi k). Oleh krena itu, bila memungkinkan sebaiknya prosedur pertama yang digunakan. Walaupun demikian, prosedur yang kedua harus digunakan bila ukuran populasi tidak diketahui seperti halnya menghadapi suatu areal hutan yang belum dibuat petanya. Dalam penerapan, penarikan contoh jalur ini, seorang peneliti harus membuat sebuah garis dasar (base line) atau membuat suatu garis jejak, kemudian jalur-jalur contoh yang lurus dengan arah azimut tertentu dibuat melalui garis dasar tersebut dan berakhir pada garis jejak yang lainnya. Prosedur ini dapat dilakukan pada tipe hutan yang berbeda, sehingga diperoleh pendugaan-pendugaan parameter hutan dari berbagai tipe.

Dianjurkan jalur-jalur contoh dibuat secara tegak lurus terhadap sungai, selokan atau saluran drainase alam lainnya agar jalur contoh tersebut dapat mencakup perubahan

(19)

komposisi vegetasi mulai dari sungai sampai pedalaman. Panjang jalur tergantung pada keadaaJn lebar hutan, sedangkan lebar jalur biasanya berkisar antara 10-20 meter. Lebar jalur dan jarak antara jalur menentukan intensitas atau persentase areal contoh dari total areal hutan. Dengan demikian intensitas penarikan contoh jalur beraturan adalah:

P = (W/D) x 100% dimana: P = intensitas sampling

W = lebar jalur D = jarak antara jalur

Pada pelaksanaannya di lapangan sering surveyor menggunakan rumus tersebut untuk menentukan jarak antar jalur setelah diputuskan terlebih dahulu lebar jalur dan intensitas sampling yang diinginkan. Untuk suatu intensitas sampling tertentu, jalur yang tidak begitu lebar dengan jarak antar jalur yang lebih dekat akan memberikan distribusi yang lebih seragam dan lebih dapat mencakup keadaan tegakan hutan daripada beberapa jalur yang lebih besar dengan jarak antar jalur yang lebih jauh, walaupun biaya yang diperlukan akan lebih banyak.

Apabila semua jalur berukuran sama, pendugaan nilai rata-rata populasi dan standar errornya bisa dihitung seperti halnya berlaku untuk penarikan contoh acak sederhana dengan asumsi bahwa jalur contoh merupakan satuan-satuan contoh acak. Tetapi, apabila jalur-jalur contoh tidak berukuran sama seperti akan terjadi pada jalur-jalur-jalur-jalur contoh dalam suatu hutan dengan bentuk yang tidak beraturan, maka pendugaan dari luas suatu contoh Xi, nilai rata-rata dan nilai total parameter populasinya dapat dihitung dengan metode pendugaan perbandingan berikut: (a) r = n Xi n / Vi n 1 i n 1 i

  =

  n 1 i n 1 i Xi Vi (b) ^ V= X.r

(c) Bila luas areal diketahui tanpa sampling error, maka varian dari pendugaan total besaran V adalah: r S X v S2  2 2

(20)

Tetapi bila total areal hutan diduga seluas X dan mempunyai sampling error, maka varian menjadi: r S2 = n S N n N 2        ; 2x 2 2 r 2 2 S r S X Sv    2 S               

   X . V ViXi 2 X Xi V Vi 1 n r n 1 i 2 n 1 i 2 2 n 1 i 2 2 dimana:

Vi = kuantitas yang diukur (misal volume) pada satuan contoh ke-i Xi = luas satuan contoh ke-i

V = rata-rata dari kuantitas V pada satuan-satuan contoh yang dipilih X = rata-rata luas satuan contoh yang dipilih

r = nilai dugaan dari rata-rata kuantita V per luasan areal

Vˆ = nilai dugaan dari total kuantita V dari populasi X = luas total areal populasi (misal: hutan)

N = jumlah satuan contoh populasi n = jumlah satuan contoh terpilih S2v = varian dari total kuantita V S2r= varian dari perbandingan r

S2x = varian dari total areal yang diduga

(b.4). Systematic Plot Sampling (Penarikan Contoh Plot Beraturan)

Metode sampling ini hampir serupa dengan metode sampling jalur beraturan, dimana dalam suatu populasi akan dipilih sejumlah plot contoh yang berjarak beraturan satu sama lainnya. Pemilihan plot contoh pada interval setiap k buah plot dapat dilakukan analog seperti dilakukan pada metode sampling jalur beraturan. Perbedaan hanyalah terletak pada areal pemilihan plot dimana dalam metode sampling ini plot contoh dipilih dengan dua arah/dimensi (kolom dan baris). Secara ringkasnya pemilihan plot contoh dilakukan dengan:

a. Tahap pertama pemilihan suatu bilangan secara acak yang berkisar antara 1 sampai bilangan sebanyak kolom. Tahap kedua, prosedur yang sama dilakukan untuk baris.

(21)

Kedua bilangan terpilih tersebut menunjukkan koordinat dari titik contoh awal untuk sample grid; dan

b. Bisa dimulai dari salah satu sudut batas hutan, pemilihan plot contoh secara acak dilakukan pada k x k grid pertama. Plot-plot contoh berikutnya kemudian diambil secara konsisten pada setiap interval k buah plot pada kedua arah (baris dan kolom).

Kalau kita berhadapan dengan areal hutan dengan bentuk yang tak terbatas, tahap pertama yang harus dikerjakan dalam metode sampling ini adalah membuat batas khayalan yang dapat mencakup seluruh areal populasi. Kemudian plot pertama dipilih pada salah satu sudut areal hutan. Bila jumlah baris dan kolom tidak tepat dibagi dengan sampling interval, maka ukuran plot contoh akan bervariasi tergantung pada lokasi plot contoh terpilih pertama dan bentuk daripada batas areal yang dibuat.

Bila satuan contoh dipisahkan oleh suatu susuanan grid persegi (square grid), maka perhitungan nilai-nilai pendugaan rata-rata, total populasi dan standar erornya dilakukan seperti pada metode sampling acak sederhana. Tetapi, untuk alasan praktis di lapangan pembuatan square grid tidak dilakukan, sehingga yang dibuat hanyalah garis-garis saja dengan jarak tertentu antar garis. Apabila modifikasi ini dilakukan dengan plot berukuran tetap, maka penarikan contoh ini disebut line-plot sampling (penarikan contoh garis berpetak). Sejumlah distribusi line-plot dalam populasi dapat dipilih, dimana pemilihan line-plot tersebut tergantung pada ukuran plot, jarak plot dalam garis, dan jarak antar garis. Desain dari line-plot dapat didekati dengan rumus berikut ini:

a AP n  Dp . Dl a P 2 D a P dimana:

A = total areal hutan

P = proporsi areal hutan yang dipilih menjadi contoh (proporsi areal total contoh) a = areal plot dalam satuan unit persegi dari Dl dan Dp

n = jumlah plot contoh

Dl = jarak antar garis dalam unit tertentu

(22)

D = jarak antar garis dan antar plot contoh untuk square-grid (Dl=Dp)

Contoh, untuk 10% proporsi areal contoh (intensitas sampling) dengan menggunakan 0,1 ha plot contoh dan jarak garis 50 m, maka jarak antar plot dalam garis (Dp) adalah:

m 200 1 . 0 m 50 m 000 . 1 P . Dl a Dp 2    

Sedangkan perhitungan jarak antar garis dan antar plot contoh dalam garis untuk square grid (D) bila intensitas sampling 10% dan ukuran plot 0,1 ha adalah:

m 10 1 . 0 m 000 . 1 P a D 2   

II. PARAMETER KUANTITATIF DALAM DESKRIPSI VEGETASI

Untuk kepentingan deskripsi vegetasi ada tiga macam parameter kuantitatif vegetasi yang sangat penting yang umumnya diukur dari suatu tipe komunitas tumbuhan yaitu:

2.1. Kerapatan (Density)

Kerapatan adalah jumlah individu suatu jenis tumbuhan dalam suatu luasan teretentu, misalnya 100 individu/ha.

Dalam mengukur kerapatan biasanya muncul suatu masalah sehubungan dengan efek tepi (side effect) dan life form (bentuk tumbuhan). Untuk mengukur kerapatan pohon atau bentuk vegetasi lainnya yang mempunyai batang yang mudah dibedakan antara satu dengan lainnya umumnya tidak menimbulkan kesukaran yang berarti. Tetapi, bagi tumbuhan yang menjalar dengan tunas pada buku-bukunya dan berrhizoma (berakar rimpang) akan timbul suatu kesukaran dalam perhitungan individunya. Untuk mengatasi hal ini, maka kita harus membuat suatu kriteria tersendiri tentang pengertian individu dari tipe tumbuhan tersebut.

Masalah lain yang harus diatasi adalah efek tepi dari kuadrat sehubungan dengan keberadaan sebagian suatu jenis tumbuhan yang berbeda di tepi kuadrat, sehingga kita harus memutuskan apakah jenis tumbuhan tersebut dianggap berada dalam kuadrat atau di luar kuadrat. Untuk mengatasi hal ini biasanya digunakan perjanjian bahwa bila ≥ 50% dari bagian tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat, maka dianggap tumbuhan tersebut berada dalam kuadrat dan tentunya harus dihitung pengukuran kerapatannya.

(23)

2.2. Frekuensi

Frekuensi suatu jenis tumbuhan adalah jumlah petak contoh dimana ditemukannya jenis tersebut dari sejumlah petak contoh yang dibuat. Biasanya frekuensi dinyatakan dalam besaran persentase. Misalnya jenis Avicennia marina (api-api) ditemukan dalam 50 petak contoh dari 100 petak contoh yang dibuat, sehingga frekuensi jenis api-api tersebut adalah 50/100 x 100% = 50%. Jadi dalam penentuan frekuensi ini tidak ada counting,tetapi hanya suatu perisalahan mengenai keberadaan suatu jenis saja.

2.3. Cover (Kelindungan)

Kelindungan adalah proporsi permukaan tanah yang ditutupi oleh proyeksi tajuk tumbuhan. Oleh karena itu, kelindungan selalu dinyatakan dalam satuan persen. Misalnya, jenis Rhizophora apiculata (bakau) mempunyai proyeksi tajuk seluas 10 m2 dalam suatu petak contoh seluas 100 m2, maka kelindungan jenis bakau tersebut adalah 10/100 x 100% = 10%. Jumlah total kelindungan semua jenis tumbuhan dalam suatu komunitas tumbuhan mungkin lebih dari 100%, karena sering proyeksi tajuk dari satu tumbuhan dengan tumbuhan lainnya bertumpang tindih (overlapping). Sebagai pengganti dari luasan areal tajuk, kelindungan bisa juga mengimplikasikan proyeksi basal areal pada suatu luasan permukaan tanah. Untuk mengukur/menduga luasan tajuk dari vegetasi lapisan pohon, biasanya dilakukan dengan menggunakan proyeksi tajuk dari pohon tersebut terhadap permukaan tanah dan luasannya diukur dengan planimeter atau sistem dotgrid dengan kertas grafik. Cara lain adalah dihitung dengan rumus:

2 2 1 4 D D CC        

Basal area ini merupakan suatu luasan areal dekat permukaan tanah yang dikuasai oleh tumbuhan. Untuk pohon, basal area diduga dengan mengukur diameter batang. Dalam hal ini, pengukuran diameter umumnya dilakukan pada ketinggian 1.30 m dari permukaan tanah (diameter setinggi dada atau diameter at breast height, DBH). Dalam pengukuran diameter

(24)

pohon setinggi dada terdapat beberapa ketentuan yang umumnya ditaati oleh para peneliti, yaitu:

a. Bila pohon berada di lereng, diameter diukur pada ketinggian 4,5 kaki dari permukaan tanah atau 1,3 m di atas permukaan tanah lereng sebelah atas pohon; b. Bila pohon membentuk cabang tepat pada ketinggian 1,3 m dari tanah, maka

diameter diukur sedikit (di atas percabangan tersebut dan pohon tersebut dianggap sebagai satu individu sepertinya halnya kalu percabangan terjadi di atas ketinggian 1,3 m di atas tanah). Tetapi bila percabangan terjadi di bawah 1,3 dari atas tanah, maka masing-masing batang diukur diameternya setinggi dada serta batang-batang tersebut dianggap sebagai individu masing-masing;

c. Bila pohon berakar papan atau berbentuk tidak normal tepat pada atau melebihi setinggi dada, maka pengukuran diameter dilakukan di atas batas batang dari bentuk tidak normal; dan

d. Sesuai dengan informasi yang diinginkan, diameter pohon yang diukur bisa merupakan diameter di luar kulit pohon atau diameter dekat kulit pohon.

Dengan asumsi bahwa penampang melintang batang suatu pohon berbentuk lingkaran, basal area dari pohon tersebut dihitung dengan rumus:

2 R . BA = .D2 4 1 dimana: BA : basal area

R : jari-jari lingkaran dari penampang lintang batang D : diameter batang pohon

Konsep basal area juga kadang-kadang diterapkan terhadap tumbuhan penutup tanah seperti rumput, herba, dan semak. Dalam hal ini basal area diukur dari luasan areal pucuk dari tumbuhan tersebut dalam suatu luasan petak contoh tertentu yang dibuat.

Selain kerapatan, frekuensi dan kelindungan (termasuk pengukuran diameter), parameter kuantitatif lainnya yang biasa diukur adalah: tinggi pohon dan biomassa. Dalam hal ini pengukuran tinggi pohon dalam penelitian ekologi hutan biasanya dilakukan terhadap tinggi total dan tinggi bebas cabang. Tinggi total pohon adalah suatu jarak linier antara permukaan tanah dengan titik tajuk (suatu titik tempat cabang pertama berada). Pengukuran

(25)

tinggi pohon di lapangan dapat dilakukan dengan Hypsometer, Abney Level, Haga Altimeter, Blume-Leigg Altimeter, dan Suunto Clinometer. Sedangkan biomassa dapat diukur dalam bentuk volume kayu seperti halnya dalam kegiatan inventarisasi hutan atau bisa juga melalui pemanenan individu vegetasi, besarnya dinyatakan dalam berat basah, berat kering atau gram kalori (ash free dry weight) per satuan luas areal tertentu. Beberapa kriteria struktural berbentuk pertumbuhan juga dapat diukur yaitu ukuran daun, tebal kulit, dan lain-lain. Begitu pula halnya dengan parameter produktivitas seperti produksi serasah, produksi biji, riap tahunan diameter batang, dan lain-lain, dan parameter yang menggunakan tumbuhan secara fungsional seperti ketahanan daun, reproduksi vegetasi, dan toleransi naungan. Parameter vegetasi lain yang juga cukup penting diketahui adalah parameter fisiologi seperti kecepatan transpirasi, kecepatan asimilasi bersih, keseimbangan air dalam tumbuh-tumbuhan, dan lain-lain. Selain itu ada satu parameter vegetasi yang sangat penting dalam kaitannya dengan kelindungan dan produktivitas yaitu leaf area indeks (indeks luasan daun). Indeks luasan daun ini merupakan perbandingan antara total luasan daun dari suatu jenis pohon atau suatu tegakan dalam satuan luas tertentu, dengan luasan permukaan tanah tertentu, misalnya LAI (Leaf area index) dari jenis bakau dalam zona Bruguiera adalah 0,2 ha/ha atau misalnya LAI dari tegakan hutan mangrove di Karawang adalah 3,9 ha/ha. Dalam hal ini hanya salah satu permukaan daun yang diukur untuk mendapatkan LAI.

Dalam penelitian ekologi hutan, biasanya para peneliti ingin mengetahui jenis vegetasi dominan yang memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu komunitas hutan. Secara kuantitatif, jenis vegetasi yang dominan dalam suatu komunitas ini dapat diketahui dengan mengukur dominasi dari vegetasi tersebut. Ukuran dominasi ini dapat dinyatakan dengan beberapa parameter, yaitu:

a. Biomassa dan volume dimana jenis tumbuhan yang dominan akan mempunyai biomassa dan volume lebih besar dibandingkan dengan jenis-jenis lainnya;

b. Kelindungan (cover) dan luas basal area;

c. Indeks Nilai Penting (INP). Biasanya indeks ini dihitung dengan menjumlahkan nilai Frekuensi Relatif (FR), Kerapatan Relatif (KR), dan Dominansi Relatif (DR). Tetapi, untuk vegetasi yang besaran, parameter dominansinya tidak diukur (misal, dalam kasus pengukuran tingkat semai), maka INP bisa diperoleh dengan menjumlahkan KR dan FR saja; dan

d. SDR (Summed Dominance Ratio) atau perbandingan nilai penting. Besaran ini diperoleh dengan cara membagi indeks nilai penting dengan jumlah macam parameter yang digunakan.

(26)

Dengan ilmu ekologi kuantitatif, pengukuran/pendugaan parameter-parameter vegetasi tersebut di atas biasa dilakukan oleh para peneliti. Tetapi, untuk tujuan deskripsi vegetasi biasanya hanya nilai kerapatan. Sedangkan dalam bidang inventarisasi hutan, ada satu parameter vegetasi lagi yang lazim diduga yaitu volume pohon berdiri per satuan unit luas tertentu.

III. TEKNIK ANALISIS VEGETASI

Penulis menyarankan sebelum memahami isi bab ini, pembaca memahami penjelasan pada bab-bab sebelumnya.

3.1. Metode dengan Petak

3.1.1. Teknik Sampling Kuadrat (Quadrat Sampling Technique)

Teknik sampling kuadrat ini merupakan suatu teknik survey vegetasi yang sering digunakan dalam semua tipe komunitas tumbuhan. Petak contoh yang dibuat dalam teknik sampling ini bisa berupa petak tunggal atau beberapa petak. Petak tunggal mungkin akan memberikan informasi yang baik bila komunitas vegetasi yang diteliti bersifat homogen. Adapun petak-petak contoh yang dibuat dapat diletakkan secara random atau beraturan sesuai dengan prinsip-prinsip teknik sampling yang telah dikemukakan di Bab terdahulu.

Bentuk petak contoh yang dibuat tergantung pada bentuk morfologis vegetasi dan efisiensi sampling pola penyebarannya. Misalnya, untuk vegetasi rendah, petak contoh berbentuk lingkaran lebih menguntungkan karena pembuatan petaknya dapat dilakukan secara mudah dengan mengaitkan seutas tali pada titik pusat petak. Selain itu, petak contoh berbentuk lingkaran akan memberikan kesalahan sampling yang lebih kecil daripada bentuk petak lainnya, karena perbandingan panjang tepi dengan luasnya lebih kecil. Tetapi dari segi pola distribusi vegetasi, petak berbentuk lingkaran ini kurang efisien dibanding bentuk segiempat. Sehubungan dengan efisiensi sampling banyak studi yang dilakukan menunjukkan bahwa petak bentuk segiempat memberikan data komposisi vegetasi yang lebih akurat dibanding petak berbentuk bujur sangkar yang berukuran sama, terutama bila sumbu panjang dari petak tersebut sejajar dengan arah perobahan keadaan lingkungan/habitat.

Untuk memudahkan perisalahan vegetasi dan pengukuran parameternya, petak contoh biasanya dibagi-bagi ke dalam kuadrat-kuadrat berukuran lebih kecil. Ukuran kuadrat-kuadrat

(27)

tersebut disesuaikan dengan bentuk morfologis jenis dan lapisan distribusi vegetasi secara vertikal (stratifikasi). Dalam hal ini Oosting (1956) menyarankan penggunaan kuadrat berukuran 10 x 10 m untuk lapisan pohon, 4 x 4 m untuk lapisan vegetasi berkayu tingkat bawah (undergrowth) sampai tinggi 3 m, dan 1 x 1 m untuk vegetasi bawah/lapisan herba. Tetapi, umumnya para peneliti di bidang ekologi hutan membedakan pohon ke dalam beberapa tingkat pertumbuhan, yaitu: semai (permudaan tingkat kecambah sampai setinggi <1,5 m), pancang (permudaan dengan >1,5 m sampai pohon muda yang berdiameter <10 cm), tiang (pohon muda berdiameter 10 s/d 20 cm), dan pohon dewasa (diameter > 20 cm). Untuk memudahkan pelaksanaannya ukuran kuadrat disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan tersebut, yaitu umumnya 20 x 20 m (pohon dewasa), 10 x 10 m (tiang), 5 x 5 m (pancang), dan 1 x 1 m atau 2 x 2 m (semai dan tumbuhan bawah).

Dalam metode kuadrat ini, parameter-parameter vegetasi dapat dihitung dengan rumus-rumus berikut ini:

a. erapatan ( ) uas petak contoh umlah individu

b.

erapatan elatif ( ) total seluruh spesies suatu spesies x 100

c. rekuensi ( ) ub petak ditemukan suatu spesies seluruh sub petak contoh

d. rekuensi elatif ( ) seluruh spesies suatu spesies x 100

e. omin asi ( ) uas bidang dasar suatu spesies uas petak contoh f. omina si elatif ( ) seluruh spesies suatu spesies x 100

Untuk memudahkan proses analisis data, sebaiknya dibuat tally sheet yang memuat kerapatan, cover, diameter atau basal area dari setiap jenis dalam setiap kuadrat dalam petak contoh (Tabel 3.1) dan tally sheet yang memuat data parameter vegetasi yang diukur keseluruhan (Tabel 3.2).

Azimuth : Nama cruiser :

Lokasi : Tgl. pencatatan:

Ukuran petak contoh :

Bentuk pertumbuhan : vegetasi bawah/semai/pancang/tiang/pohon Ukuran kuadrat :

(28)

Tabel 3.1. Data lapangan parameter vegetasi dengan metode sampling kuadrat

No. Kuadrat Jenis Diameter Kerapatan1) Cover2)

1. 2. dst.

1) Untuk semai data kerapatan setiap jenis langsung dicatat, karena biasanya diameter individu semai tidak diukur.

2) Untuk vegetasi tingkat bawah seperti rumput, herba, dan semak belukar, data kelindungan (coverage) langsung diduga (diukur) pada waktu survei lapangan.

Tabel 3.2. Rekapitulasi analisis vegetasi dengan teknik sampling kuadrat

No. Jenis Kerapatan (ind/ha) KR (%) F FR (%) D (m2/ha) DR (%) INP 1. ... n

(a). Petak Tunggal

Di dalam metode ini dibuat satu petak sampling dengan ukuran tertentu yang mewakili suatu tegakan hutan. Ukuran petak ini dapat ditentukan dengan kurva spesies-area. Untuk lebih jelasnya suatu contoh petak tunggal dapat dilihat pada Gambar 3.1.

(29)

Agar data vegetasi hasil survei lebih bersifat informatif, sebaiknya bila waktu dan dana survey memungkinkan, setiap lokasi pohon beserta tajuknya (termasuk pancang, semai, dan tiang) begitu pula pohon yang masih berdiri atau pohon yang roboh dalam petak contoh, dipetakan. Hal ini akan sangat berguna untuk mengetahui pola distribusi setiap jenis vegetasi, proporsi gap, menduga luasan tajuk dari diameter, dan lain-lain.

(b). Petak Ganda

Di dalam metode ini pengambilan contoh vegetasi dilakukan dengan menggunakan banyak petak contoh yang letaknya tersebar merata. Peletakan petak contoh sebaiknya secara sistematis. Untuk menentukan banyaknya petak contoh dapat digunakan kurva spesies-area. Sebagai ilustrasi pada Gambar 3.2 disajikan cara peletakan petak contoh pada metode petak ganda.

Gambar 3.2. Desain petak ganda di lapangan

Cara menghitung besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal.

3.1.2. Metode Jalur

Metode ini paling efektif untuk mempelajari perubahan keadaan vegetasi menurut kondisi tanah, topografi, dan elevasi. Jalur-jalur contoh ini harus dibuat memotong garis-garis topografi, misal tegak lurus garis pantai, memotong sungai, dan menaik atau menurun lereng gunung.

Untuk lebih jelasnya, contoh petak sampling berbentuk jalur ini dapat dilihat pada Gambar 3.3.

(30)

Gambar 3.3. Desain jalur contoh di lapangan

Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal.

3.1.3. Metode Garis Berpetak

Metode ini dapat dianggap sebagai modifikasi metode petak ganda atau metode jalur, yakni dengan cara melompati satu atau lebih petak-petak dalam jalur, sehingga sepanjang garis rintis terdapat petak-petak pada jarak tertentu yang sama. Gambar 3.4 memperlihatkan pelaksanaan metode garis berpetak di lapangan.

Gambar 3.4. Desain metode garis berpetak

Perhitungan besarnya nilai kuantitatif parameter vegetasi sama dengan metode petak tunggal.

3.1.4. Metode Kombinasi antara Metode Jalur dengan Metode Garis Berpetak

Dalam metode ini, risalah pohon dilakukan dengan metode jalur dan permudaan dengan metode garis berpetak. Untuk lebih jelasnya, desain metode ini dapat dilihat pada Gambar 3.5.

(31)

Gambar 3.5. Desain kombinasi metode jalur dengan metode garis berpetak

3.2. Teknik Sampling tanpa Petak Contoh

Untuk mengatasi kesulitan praktisi dalam pembuatan kuadrat (petak contoh) di lapangan, maka para ahli di bidang manajemen hutan memperkenalkan suatu metode sampling yang disebut teknik sampling tanpa petak contoh (plotless sampling technique). Metode ini pada dasarnya memanfaatkan pengukuran jarak antar individu tumbuhan atau jarak dari pohon yang dipilih secara acak terhadap individu-individu tumbuhan yang terdekat dengan asumsi individu tumbuhan menyebar secara acak. Dengan demikian, disamping metode ini akan menghemat waktu karena tidak memerlukan pembuatan petak contoh di lapangan, kesalahan sampling dalam proses pembuatan petak contoh dan penentuan apakah individu tumbuhan berada di dalam atau di luar kuadrat dapat dikurangi. Paling sedikit terdapat empat macam metode tanpa petak contoh yang berdasarkan satuan contoh berupa titik yang penempatannya di lapangan bisa secara acak atau sistematik.

3.2.1. Metode Berpasangan Acak (Random Pair Method) Prosedur pelaksanaan teknik ini adalah sebagai berikut:

a. Meletakkan titik-titik contoh secara acak atau beraturan (pada jarak tertentu sepanjang garis rintisan);

b. Pemilihan satu individu (tumbuhan) pohon yang terdekat dengan titik contoh. Kemudian tarik suatu garis khayalan yang melalui titik contoh dan individu pohon yang terpilih dan satu garis khayalan lagi yang tegak lurus terhadap garis khayalan pertama tadi. Tahap selanjutnya pilih satu individu tumbuhan yang terdekat dengan individu tumbuhan pertama, tetapi letaknya berada berada di sektor lain

(32)

(di luar sektor 1800 tempat pohon pertama berada yang dibatasi oleh garis khayalan pertama). Untuk lebih jelasnya lihat Gambar 3.6.

Gambar 3.6. Ilustrasi metode berpasangan acak dalam analisis vegetasi

c. Pengukuran jarak antar pohon (individu tumbuhan) pertama dan kedua. Selain itu, parameter-parameter vegetasi yang diinginkan dapat diukur pada kedua individu tumbuhan tersebut di atas. Untuk memudahkan analisis data lapangan, sebaiknya dibuat tally sheet seperti pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3. Form isian data lapangan pada random point technique No. Titik

Contoh Jenis

Diameter Tinggi Jarak ind. 1

& ind. 2 Ket. ind. 1 ind. 2 ind. 1 ind. 2

1. 2. ... N

d. Dilakukan analisis data lapangan dengan rumus-rumus berikut:

erapatan ( ) suatu spesies erapatan suatu spesies x erapatan seluruh spesies 100

erapatan relatif suatu spesies ( ) individu suatu spesies

individu seluruh spesiesx 100

erapatan seluruh spesies uas areal

(33)

omina si suatu spesies erapatan x ata-rata nilai domina si dari spesies

omina si relatif omina omina si suatu spesiessi seluruh spesiesx100

rekuensi suatu jenis ( ) titik ditemukannya suatu spesies total dominasi seluruh spesies

rekuensi relatif( ) ilai frekuensi suatu spesies

total frekuensi seluruh spesies x 100

e. Pembuatan rekapitulasi hasil analisis data yang diperoleh dengan teknik sampling ini adalah seperti tertera pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4. Rekapitulasi hasil analisis data dalam metode berpasangan acak

No. Spesies Σ individu Rata-rata dominasi K KR D DR F FR INP 1. ... n

3.2.2. Metode Titik Pusat Kuadran (Point Centered Quartered Method)

Berdasarkan hasil penelitian Cottam dan Curtis (1956), metode ini merupakan metode sampling tanpa petak contoh yang paling efisien, karena pelaksanaannya di lapangan memerlukan waktu yang lebih sedikit, mudah, dan tidak memerlukan faktor korelasi dalam menduga kerapatan individu tumbuhan. Tetapi, dalam pelaksanaannya metode ini mempunyai dua macam keterbatasan, yaitu (1) setiap kuadran harus terdapat paling sedikit satu individu tumbuhan dan (2) setiap individu (seperti halnya pada random pair method) tidak boleh terhitung lebih dari satu kali. Prosedur metode ini dalam pelaksanaan di lapang adalah:

a. Peletakan sejumlah titik contoh secara acak dalam komunitas tumbuhan. Berdasarkan pengalaman di lapang, sebaiknya dibuat suatu seri garis arah kompas

(34)

(garis rintis) dalam komunitas tumbuhan yang akan diteliti, kemudian sejumlah titik contoh dipilih secara acak atau secara teratur sepanjang garis rintis tersebut. Cottam dan Curtis (1956) menyarankan paling sedikit 20 titik contoh harus dipilih untuk meningkatkan ketelitian sampling dengan teknik ini.

b. Pembagian areal sekitar titik contoh menjadi empat kuadran yang berukuran sama (Gambar 3.6). Hal ini dapat dilakukan dengan kompas atau bila suatu seri garis rintis digunakan kuadran-kuadran tersebut dapat dibentuk dengan menggunakan garis rintis itu sendiri dan suatu garis yang tegak lurus terhadap garis rintis tersebut melalui titik contoh.

Di dalam metode ini di setiap titik pengukuran dibuat garis absis dan ordinat khayalan, sehingga di setiap titik pengukuran terdapat empat buah kuadran. Pilih satu pohon di setiap kuadran yang letaknya paling dekat dengan titik pengukuran dan ukur jarak dari masing-masing pohon tersebut ke titik pengukuran. Pengukuran dimensi pohon hanya dilakukan terhadap keempat pohon yang terpilih.

Gambar 3.7. Desain point centered quarter method di lapangan

Perhitungan besaran nilai kuantitatif parameter vegetasi adalah sebagai berikut: a. Jarak rata-rata individu pohon ke titik pengukuran

n dn ... d2 d1 d    dimana:

d = jarak individu pohon ke titik pengukuran di setiap quadran n = banyaknya pohon

d = rata-rata unit area/ind., yaitu rata-rata luasan permukaan tanah yang diokupasi oleh suatu individu tumbuhan.

(35)

b. Kerapatan total semua jenis (K) 2 ) d ( area Unit K

c. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

% 100 jenis semua individu Jumlah jenis suatu individu Jumlah KR 

d. Kerapatan suatu jenis (KA)

100 K KR

KA 

e. Dominansi suatu jenis (D)

D = KA x Dominansi rata-rata per jenis f. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

omina si seluruh jenisx 100 g. Frekuensi suatu jenis

h. Frekuensi relatif (FR) i. INP = KR + FR + DR

3.2.3. Metode Titik Sentuh (Point Intercept Method)

Metode ini cocok untuk komunitas tumbuhan bawah seperti rumput, herba, dan semak. Dalam pelaksanaannya di lapangan dapat digunakan alat pembantu seperti terlihat pada Gambar 3.8.

Dengan mengangkat dan menyentuhkan pin yang terbuat dari kawat, maka kita catat jenis apa yang tersentuh sehingga dominasi dari jenis tersebut dapat dihitung dengan rumus:

a. Dominansi suatu jenis (D)

b. Dominansi relatif suatu jenis

(36)

c. Rumus-rumus lainnya sama dengan metode petak

Hal yang sama dapat dilakukan dengan alat b dengan cara memindahkan alat tersebut pada plot contoh tiap 10 cm, sehingga didapatkan dominansi dari jenis-jenis yang tersentuh.

Gambar 3.8. Alat kisi kawat (alat a) dan kayu berlobang (alat b) yang digunakan dalam point intercept method

3.2.4. Metode Garis Sentuh (Line Intercept Method)

Cara ini digunkan untuk komunitas padang rumput dan semak/belukar. Prosedur pelaksanaan metode ini di lapangan adalah sebagai berikut:

a. Salah satu sisi areal dibuat garis dasar yang akan menjadi tempat titik tolak garis intersep b. Garis-garis intersep diletakkan secara acak atau sistematik pada areal yang akan diteliti.

Garis tersebut sebaiknya berupa:

b.1. Pita ukur dengan panjang 50 – 100 kaki (1 kaki = 30,48 cm). b.2. Tambang/tali.

Alat bantu berupa pita ukur atau tambang/tali tersebut dibagi ke dalam interval-interval jarak tertentu. Hanya tumbuh-tumbuhan yang tersentuh, di atas atau di bawah garis intersep yang diinventarisir.

Jenis data yang diinventarisir adalah:

a. Panjang garis yang tersentuh oleh setiap individu tumbuhan b. Panjang segmen garis yang berupa tanah kosong

(37)

d. Lebar maksimum tumbuhan yang disentuh garis intersep.

Sebaiknya, kalau komunitas tumbuhan terdiri atas beberapa strata, penarikan contoh dilaksanakan secara terpisah-pisah untuk setiap strata.

Besaran atau parameter vegetasi yang dihitung adalah: a. Jumlah individu setiap jenis (N)

b. Total panjang intersep setiap jenis (I)

c. Jumlah interval transek/garis ditemukannya suatu jenis (G) d. Total kebalikan dari lebar tumbuhan maksimum ( l/m) e. Kerapatan suatu jenis

( l/m) = otal panjang garis intersepUnit area f. Kerapatan relatif suatu jenis (KR)

KR = g. Dominansi suatu jenis (D)

D =

x 100% h. Dominansi relatif suatu jenis (DR)

DR =

i. Frekuensi suatu jenis (F)

F = j. Frekuensi relatif suatu jenis (FR)

FR = Frekuensi yang dipertimbangkan:

F = ( )

k. INP = KR + FR + DR

3.2.5. Metode Bitterlich

Di dalam metode ini pengukuran dilakukan dengan Tongkat Bitterlich (tongkat sepanjang 66 cm yang ujungnya dipasangi alat seng berbentuk bujur sangkar berukuran 2 x 2

(38)

cm). Dengan mengangkat setinggi mata, plat seng diarahkan ke pohon-pohon yang ada di sekelilingnya.

Pohon yang tampak berdiameter lebih besar dan sama dengan plat seng didaftar namanya dan diukur. Sedangkan pohon yang tampak berdiameter lebih kecil dari sisi plat seng tidak dimasukkan ke dalam hitungan.

Untuk setiap jenis ditentukan luas bidang dasarnya dengan rumus:

ha / m 3 , 2 x n N B 2 dimana:

N = banyaknya pohon dari jenis yang bersangkutan

n = banyaknya titik-titik pengamatan dimana jenis itu ditemukan 2,3 = faktor bidang dasar untuk alat

(39)

IV.

JENIS DATA VEGETASI

DATA KUALITATIF  Komposisi flora

 Stratifikasi dan aspectionFenology

 Vitalitas  Sosiabilitas

Life-form dan fisiognomy

 Organisasi tropik, rantai makanan

DATA KUANTITATIF  Pola distribusi  Frekuensi  Kerapatan

 Penutupan tajuk, dominansi

DATA ANALITIK ORGANISASI KOMUNITAS  Struktur  Komposisi  Organisasi tropik DATA SINTETIK

 Kehadiran dan konstansi  Kesetiaan

 Dominansi  Indeks dominansi  Indeks asosiasi

(40)

4.1.Data Kualitatif a. Komposisi Flora

Komposisi flora adalah daftar jenis tumbuhan dalam komunitas yang berguna untuk mengetahui:

- keanekaragaman jenis - tahap suksesi

- kondisi lingkungan/habitat - struktur tiap unit vegetasi

- pengelompokkan secara kuantitatif: spesies dominan, frequent (daya adaptasi luas), jenis yang jarang (indikator habitat).

b. Stratifikasi dan Aspection

Stratifikasi adalah lapisan vertikal komunitas tumbuhan. Stratifikasi terdiri atas: - pucuk

- akar

Manfaat stratifikasi:

- optimalisasi ruang tumbuh

- peningkatan pemanfaatan energi solar - optimalisasi pemanfaatan unsur hara tanah

Aspection adalah perubahan penampakan vegetasi dalam kaitannya dengan musim. c. Fenologi

Fenologi adalah kalender fase-fase pertumbuhan yang dilalui oleh suatu tumbuhan selama sejarah hidupnya atau studi tentang fase-fase pertumbuhan penting dalam sejarah hidup suatu tumbuhan, seperti: saat biji berkecambah, gugur daun, berbunga, berbuah, dan tersebarnya biji.

Tanda proses fenologi, yaitu: Masa kecambah :

Masa berbunga :

Masa berbuah :

Gambar

Tabel 1.1  Data jenis tumbuhan pada setiap contoh
Gambar 1.2.  Ilustrasi suatu species-area curve
Gambar 1.3.  Penentuan jumlah kuadrat berdasarkan running mean
Tabel 3.2.  Rekapitulasi analisis vegetasi dengan teknik sampling kuadrat  No.  Jenis  Kerapatan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Fungsi utama bahan pengisi termasuklah bagi meningkatkan ikatan antara bitumen dengan agregat, mengisi rongga atau lompang yang terdapat dalam campuran turapan,

Berdasarkan pembahasan hasil penelitian maka dapat disimpulkan bahwa 1) pertumbuhan Penjualan berpengaruh positif dan signifikan terhadap struktur modal pada

Bila stabilitas penjualan laba lebih besar, maka beban hutang tetap terjadi pada suatu perusahaan akan mempunyai risiko yang lebih kecil disbanding dengan

Kesalahan ini terjadi karena pada penulisan aksara Latin, fonem ê, è, dan é hanya dituliskan dengan lambang fonem e saja. Siswa masih belum bisa membedakan kata atau kalimat

Namun, ketika mereka menyadari telah jatuh dalam dosa, mengingat kembali kasih dan kebaikan Allah Bapa dan mau kembali kepada-Nya, maka Tuhan Allah sendiri akan membuka diri

Tujuan: Penelitian ini bertujuan mendeteksi keberadaan pepsin pada penderita refluks laringofaring yang didiagnosis berdasarkan refluks symptom index (RSI) dan reflux

Untuk itu pada studi ini akan dilihat efektivitas dari bahan pengisi kemasan seperti busa dalam mempertahankan suhu agar tetap rendah dan ikan tetap dalam