ANALISIS VOLUMETRI (TITRASI REDOKS)
I. Pendahuluan
A. Tujuan Praktikum
Tujuan praktikum pada percobaan ini adalah untuk menentukan kadar tembaga dalam tembaga (II) Sulfat.
B. Prinsip Percobaan
Prinsip percobaan pada praktikum kali ini yaitu menentukan kadar Fe dan Cu dengan menggunakan ananlisis volumetri yaitu titrasi redoks berdasarkan perubahan warna terjadi titik ekuivalen saat penitraan terjadi.
II. Kajian Teori
Pencemaran logam berat terhadap lingkungan air merupakan suatu proses yang erta hubungannya dengan penggunaan logam berat tersebut oleh manusia. Logam berat tembaga (Cu) merupakan salah satu logam berat yang mencemari lingkungan pengairan. Logam berat Cu dapat menyebabkan pengaruh negative atau bersifat toksit terhadap organisme air dan manusia pada batas konsetrasi tertentu. Mengingat kecilnya batas konsetrasi yang diperbolehkan dan pengaruh dari toksisitas logam berat Cu, maka diperlukan metode analisis yang memiliki ketelitian dan ketepatan tinggi (Solecha : 2002).
Dalam membentuk kurva titrasi dengan titrasi reaksi redoks, biasanya diplot grafik E sel (terhadap SCE) debgan volume dari titran. Seperti diketahui sebagian besar indicator redoks memang sensitive tetapi indicator ini sendiri merupakan oksidator atau reduktor sehingga perubahan potensial system dijadikan juga perlu dipertimbangkan selama titrasi. Oleh karena itu, pada titrasi potensiometri dimana E sel (dibandingkan terhadap elektroda pembanding) dibaca selama titrasi, titik ekuivalen ditentukan dari kurva titrannya. Perubahan potensial akibat penambahan volume titran dapat dihitung dengan menggunakan persamaan Nerns asalkan potensial elektroda standar diketahui (Khopkar : 2008). Titrasi oksidasi-reduksi berperan penting dalam kimia analitik. Titrasi ini dapat dilaksanakan dengan piranti menunjukkan dalam sebuah persamaan 7.6. Ion Cenic ditambahkan dari buret ditambahkan dari buret kesuatu piala besar yang berisi ion yang mengandung besi. Kedalam piala besar ini ditempatkan suatu jembatan garam dalam suatu kawat platina sehingga dapat dioperasikan sebagai reaksi setengah sel terhadap elektroda hydrogen patokan. Voltase dari hydrogen setengah sel adalah nol menurut defenisi voltmeter member potensi setengah sel dari suatu larutan (Haris : 1999).
Titrasi peresipitemetri , yaitu titrasi dimana terbentuk endapan. Semakin kecil larutan endapan, semakin sempurna reaksinya. Titasi presipitimetri yang menyangkut larutan perak biasa disebut argentometri. Titrasi langsung ialah titrasi dimana analat secara langsung digunakan sebagai titran dalam titrasi tidak langsung analat direaksika, dengan peraksi yang jumlahnya berlebih yang
ditambhkan harus diketahui dengan tepat. Karena kelebihan ditentukan oleh titrasi itu, maka jumlah yang dihasilkan analat-analat ialah selisihnya. Dengan demikian juga analat dapat dihitung (Harjadi : 1987).
Kesalahan titrasi pada reaksi redoks pada prinsipnya diperhitungkan seperti kesalahan titarsi netralisasi. Pengendapan dan pembentukan kompleks yang telah dibicarakan. Perhitungan didasarkan pada penetapan jumlah zat yang masih tak tertitrasi pada titik akhir yang ditinjukkan oleh indicator, atau dengan penetapan jumlah zat / larutan baku yang harus ditambahkan pada titik ekivalen (Ecksclages : 1984).
Fe(II) terlarut dapat bergabung dengan zat organic dan membetuk senyawa kompleks yang sulit untuk dihilangkan untuk aerasi biasa. Salah satu teknologi alternative untuk menghilangkan besi tersebut adalah dengan advancet Oxidation Processes (AOPs) yang dapat menghasilkan radikal hidroksil (OH-). OH radikal yang terbentuk mempunyai potensial oksidasi yang tinggi sehingga diharapkan mampu mengoksidasi senyawa besi kompleks zat organic. Penelilitian ini bertujuan untuk memgetahui efisiensi penurunan besi menggunakan H2O2 – UV (Rohmatun : 2007).
Titrasi oksidasi reduksi berperan penting dalam kimia analitik. Karena kebanyakan indicator redoks bereaksi terhadap perubahan. Perubahan didalam elektroda potensial, sumbu tegak dikurva dititrasi oksida / reduksi secara umum satu potensial elektroda sebagai ganti p-fungsi yang logaritma digunakan untuk timbulnya formasi kompleks dan kurva titrasi. Ada suatu hubungan logaritma
antara konsentrasi potensial elektroda analit atau titran ketika hasil yang mengalami titran ketika hasil yang mengalami titrasi redoks membengkok dalam jenis-jenis titrasi yang lain (Holler : 1991).
III. Metode Praktikum A. Alat dan Bahan
Alat
Alat yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
Pipet volume 25 mL 1 buah Erlenmeyer 250 mL 1 buah Gelas ukur 50 mL 1 buah Buret 25 mL 1 buah Batang pengaduk 1 batang Botol timbang 1 buah Gelas ukur 10 mL 1 buah Statif dan klem 1 set Filler 1 buah
Bahan
Bahan yang digunakan pada percobaan ini adalah sebagai berikut :
KI
Indikator kanji Na2S2O3
CuSO4
B. Prosedur Kerja
1. Kadar Fe dalam FeSO4.7H2O
- Dimasukkan dalam Erlenmeyer
- Dilarutkan dengan 25 mL aquadest dingin yang telah didihkan
- itambhakan 25 mL H2SO4 4N - Dititrasi dengan KMnO4 0,1 N - Diamati perubahan warna FeSO4.7H2O
2. Standarisasi Na2S2O3 0,1 N
- Dilarutkan dalam 25 mL air yang telah dipanaskan
- Dimasukkan ke dalam Erlenmeyer asah
- Ditambahkan H2SO4 10 mL
- Ditutup lalu dikocok hingga reaksi sempurna
- Dititrasi dengan Na2S2O3 hingga kuning muda - Ditetesi kanji
- Dititrasi lagi dengan Na2S2O3 hingga biru hilang
0,15 g KIO3 2 g KI
3. Penentuan kadar Cu(II) dalam CuSO4
- Dimasukkan dalam labu ukur 100 mL
- Dilarutkan dengan aquadest
- Dipipet 25 mL
- Dimasukkan dalam Erlenmeyer asah
- Ditambahkan 10 mL H2SO4 1 N dan 2 g KI - Ditutup lalu dikocok ± 10 menit
- Didiamkan, hingga reaksi sempurna
- Dititrasi dengan Na2S2O3 0,1 N hingga kuning
muda
- Ditambahkan kanji, lalu dititra 2 g CuSO4
Larutan CuSO4
IV. Hasil dan Pembahasan A. Data Hasil Pengamatan
1. Penentuan kadar Fe(II) dalam FeSO4.7H2O
Diketahui : [ KmnO4 ] = 0,1 N V1 KMnO4 = 5,8 mL V2 KMnO4 = 5,7 mL BM FeSO4.7H2O = 278 g/mol BE Fe = 56 g/mol Ditanyakan : % Fe = …….. ? Penyeselesaian : V KMnO4 = = = 5,75 mL % Fe = x 100 % = x 100 % = x 100 % = 0,046 x 100 % = 4,6 %
2. Penentuan ion Cu(II) dalam CuSO4 Standarisasi larutan Na2S2O3 Diketahui : V Na2S2O3 = 42 mL Mg KIO3 = 150 mg BM KIO3 = 214 g/mol Ditanyakan : N Na2S2O3 = ………. ?
Penyelesaian : BE KIO3 = BM KIO3
= m ek Na2S2O3 = m ek KIO3 V X N = 42 N = 42 N = 42 N = 4,2056075 N = = 0,1001335 N
% Cu dalam CuSO4.5H2O V Na2S2O3 = = = 19,7 mL BE Cu = 64 % Cu = x 100 % = x 100 % = x 100 % = x 100% = 0,24993322 x 100 % = 24,993322 % = 25 % B. Reaksi Lengkap
2CuSO4 + 4KI 2Cu2I2 + 2K2SO4
2CuSO4 + KI Cu2I2 + I2
I2 + Na2S2O3 Na2S4O6 + 2NaI
H2SO3 + I2 + H2O H2SO4 + 2HI
2FeCl2 + 2KI 2 FeCl2 + 2KCl + I2
C. Pembahasan
Titrasi redoks merupakan salah satu analisis volumetric, dimana antara titran dan analit terjadi reaksi oksidasi dan reduksi. Reaksi redoks dapat digunakan dalam analisis volumetric bila memenuhi syarat. Titrasi redoks adalah titrasi suatu larutan standar oksidator dengan suatu redoktor atau sebaliknya, dasarnya adalah reaksi oksidasi-reduksi antara analat dan titran. Dalam titrasi redoks terbagi dua yaitu titrasi iodimetri dan titrasi iodometri. Titrasi iodometri adalah adalah titrasi iod secara tidak langsung dengan adanya penambahan oksidator. Reaksi oksidasi reduksi atau reaksi redoks adalah reaksi yang melibatkan penangkapan dan pelepasan electron. Dalam setiap titrasi redoks, jumlah electron yang dilepaskan oleh reduktor harus sama dengan jumlah electron yang ditangkap oleh oksidator. Ada 2 cara untuk menyetarakan persamaan reaksi redoks yaitu metode bilangan oksidasi dan metode setengah reaksi (metode ion electron).
Pada percobaan ion iodide digunakan sebagai pereaksi reduksi (Iodimetri). Terdapat banyak oksidator yang dapat bereaksi dengan sempurna dengan iodide. Misalnya pada besi (III) dan ion tembaga (II) berlebih yang ditambahkan dengan oksidator yang ditentukan kemudian iod-iod dilepaskan dengan cara menitrasi larutan itu dengan menggunakan larutan standar tiosulfat. Larutan standar tiosulfat digunakan sebagai larutan standar karena memiliki kemurnian tinggi dan tidak bersifat
higroskopis dan konsetrasinya telah diketahui dengan tepat dan cepat berubah saat berada saat bercampur dengan senyawa tertentu. Untuk mengetahui adanya ion dalam larutan maka diadakan penambahan 1 % sebelum titrasi dilangsunkan. Larutan amilum ini akan menjadi indicator untuk mengetahui apakah titik akhir titrasi telah tercapai atau belum. Titik akhir titrasi dapat diamati setelah terjadi perubahan warna. Setelah tercapai titik akhir titrasi, maka titrasi dihentikan.
Pada titrasi oksidimetri, proses yang terjadi merupakan reaksi oksidasi reduksi dimana dalam prosesnya, zat oksidator sebagai larutan baku dan zat-zat yang akan ditentukan kadarnya sebagai reduktor. Pada titrasi ini akan ditentukan kadar Fe (II) dalam senyawa Fe(SO4).7H2O.
senyawa ini dilarutkan dengan 25 mL dan ditambah H2SO4. Penambahan
H2SO4 ini dimaksudkan agar larutanbersifat asam. Larutan dapat bersifat
asam karena adanya ion H+ yang dilepaskan dari senyawa H2SO4 saat
bereaksi dengan Fe(SO4).7H2O. Larutan kemudian dititrasi dengan larutan
kalium permanganate (KMnO4), dimana KMnO4 merupakan oksidator kuat
dan dapat mengalami bermacam-macam reaksi, karena Mn dapat berada dalam keadaan biloks +2, +3, +4, +6, dan +7. Reaksi redoks yang terjadi antara analit dan titran dalam penentuan kadar besi (II), berlangsung dalam keadaan asam, dimana sebelum dilakukannya titrasi dengan KMnO4 0,1 N
analit atau larutan garam terlebih dahulu diasamkan dengan penambahan H2SO4 4 M. Hal ini dimaksudkan untuk mempercepat proses terjadinya
yang berlangsung pada saat dilakukan titrasi dengan KMnO4, dimana
dalam suasana asam reaksi lebih cepat berlangsung dibanding dalam suasan basa, selain itu juga dengan pemanasan, reaksi akan berlangsung lebih cepat dari keadaan biasanya (ciri reaksi dengan asam adalah reaksi yang disertai dengan pelepasan kalor (eksoterm), proses ini akan mempercepat terjadinya reaksi oksidasi-reduksi yang terjadi antara analit (garam besi) dengan titrannya (KMnO4). Dalam titrasinya larutan tidak lagi
diberi indikator, karena kalium permanganat itu sendiri yang merupakan indikator. Kalium permanganat merupakan oksidator kuat dan dapat mengalami reaksi yang berbeda-beda, tergantung dari pH larutannya. Kekuatannya sebagai oksidator juga berbeda-beda sesuai dengan reaksi yang terjadi pada pH yang berbeda itu. Reaksi yang bermacam ragam ini disebabkan oleh keragaman valensi mangan, dari 1 sampai dengan 7 yang semuanya stabil kecuali valensi 1 dan 5.
Pada saat titrasi, larutan KMnO4 yang diperlukan untuk mencapai
titik akhir titrasi yaitu saat larutan berubah warna merah muda, yaitu 3 mL. Pada saat ini Fe mengalami perubahan biloks menjadi +3. Dari sini kadar Fe sudah dapat diketahui dan hasil perhitungan yang didapat adalah 4,6%. Berdasarkan teori, kadar Fe dalam Fe(SO4)7H2O adalah 16,67%. Ini
berarti penyimpanagnnya sangatlah besar, hal ini disebabkan oleh beberapa kemungkinan, salah satunya adalah bisa jadi larutan kalium permanganat sudah tidak standarisasi lagi dan sudah terkontaminasi oleh zat lain,
ataupun pemberian volume larutan yang akan diuji yang tidak tepat, sehingga mempengaruhi perubahan bilangan oksidasinya.
Pada titrasi ion iodometri, digunakan ion iodida sebagai reduktor. Sebanyak 2 gram CuSO4 dilarutkan dalam air menjadi 100 mL. Larutan ini
diambil 25 mL dan ditambahkan dengan 10 H2SO4 dan 2 gram padatan
KIO3. larutan kemudian dikocok selama 10 menit sampai larutan
sempurna. Dalam reaksi ini iodium dilepaskan dan mengikat ion 2+ Cu , Larutan tersebut dititrasi dengan natrium tiosulfat (N2S2O3) sampai arna
menjadi kuning muda. Perubahan warna di sini menandakan ion iodida yang terlepas sudah terikat oleh natrium, I +2Na S O2 2 3 3Na S O +2NaI2 4 6 .
Pada pertengahan titrasi, larutan ditetesi dengan indikator amilum 1%. Pemberian indikator ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi ion Cu2+
, sehingga pada saat titrasi dilanjutkan warna biru tepat hilang dan larutan mulai berwarna kuning kehijauan, dan hijau di sini merupakan warna khas kompleks dari ion Cu2+.
Secara tidak langsung, dari proses di atas dapat ditentukan kadar ion Cu(II) dan hasilnya adalah 25%. Berdasarkan teori, kadar ion Cu(II) dalam CuSO4 adalah 39,81%, dan ini berarti penyimpangan yang didapat
sangatlah besar. Hal ini dapat terjadi karena pada waktu pengocokkan larutan CuSO4 + KIO3 + H2SO4 tadi dikocok bukan ditempat yang gelap,
sementara ion Cu(II) mudah teroksidasi oleh cahaya. Pada saat mereaksikan CuSO4 dan KIO3 dalam sebuah wadah bening (gelas
erlenmeyer) kita dituntut untuk mereaksikannya dengan cara dikocok pada ruang yang gelap, hal ini dimaksudkan agar ion Cu2+ dalam larutan tidak teroksidasi (ion Cu mudah teroksidasi oleh cahaya) sedikit saja larutan terkena cahaya maka sebagian ion Cu yang terdapat dalam larutan akan hilang (teroksidasi oleh cahaya) pada bagian yang terkena cahaya Sehingga ion Cu sudah teroksidasi terlebih dahulu sebelum dititrasi. Kesalahan lain dapat disebabkan tidak dilakukan standarisasi pada larutan bakunya (titran) Na2S2O3 0,1 N sesaat sebelum dilakukan titrasi (galat instrument), seperti
halnya dengan KMnO4 juga kesalahan alat-alat yang digunakan tidak
dikalibrasi terlebih dahulu (misalnya buret yang komponen-komponen penyusun alatnya telah rusak) atau disebut juga galat alat, serta kesalahan praktikan dalam melakukan prosedur pengerjaan praktikum misalnya dalam pembacaan skala pada buret yang kurang tepat atau pengamatan terhadap kapan terjadinya titik titrasi.
IV. Simpulan
Dari praktikum yang telah dilakukan, maka dapat disimpulkan dua hal, yakni :
1. Penentuan kadar Fe(II) dalam Fe(SO4)2(NH4)26H2O dapat ditentukan
dengan cara titarsi redoks, dimana digunakan kalium permanganat sebagai oksidatornya, dan kadar Fe(II) yang didapat dari hasil percobaan ini yaitu 4,6%.
2. Penentuan kadar Cu(II) dalam CuSO4 dapat ditentukan dengan titrasi
iodometri, dimana ion iodida sebagai reduktor dan natrium tiosulfat sebagai titran, dari reaksi ini secara tidak langsung dapat ditentukan kadar ion Cu(II) yaitu 25%.
DAFTAR PUSTAKA
Eckslages, 1984. Kesalahan Pengukuran dan Hasil dalam Analisis Kimia. Ghalia Indo, Jakarta
Harris, Daniel. 1999. Quantitative Chemical Analysis 5th. Wh Freman and Company. New York
Harjadi. 1987. Ilmu Kimia Analitik Dasar. Universitas Indonesia. Jakarta.
Holler. 1991. Fundamental of Analytical Chemistry 7th. International Edition. New York
Rohmatun. 2007. Studi Penurunan Kandungan Fe Organik dalam Air Tanah dalam Oksidasi H2O2 – Uv. Proc. ITB Sains and Tec. 39. 58-59.
Solecha. 2002. Penentuan Ion Cu (II) dalam Sampel Air secara Spektrofotometri Berbasis Reagen Kering TAR/PVC. Jurnal Ilmu Dasar.. 3. 81-96.