• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 DAN 18 UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 DAN 18 UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Problematika penerapan pasal dalam Putusan Nomor 54/ Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Nomor 11/Tipikor/2013/ PT.BDG, jo. Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 menyebabkan timbulnya rasa ketidakadilan. Dalam ketiga putusan tersebut terdapat persoalan yang menarik untuk dikaji, terutama majelis kasasi yang mengubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan dan pengembalian kerugian negara. Analisis ini mengkaji tentang penerapan Pasal 2 dan 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Analisis ini mengulas tentang mengapa hakim tingkat kasasi menjatuhkan putusan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999, dan apakah penerapan Pasal 18 sudah tepat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif dengan mengkaji dan meneliti peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Hasil analisis menyimpulkan bahwa dalam pertimbangannya, judex juris pada perkara tingkat kasasi telah keliru dalam membuktikan unsur melawan hukum sebagaimana tertera pada Pasal 2 ayat (1), sebab

pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi juga telah keliru dalam penerapan Pasal 18 terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara.

Kata kunci: judex juris, unsur melawan hukum, korupsi. ABSTRACT

The problematic in the application of articles in the Decision Number 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, jo. Number 11/Tipikor/2013/PT.BDG, jo. Number 1283 K/ Pid.Sus/2013 has made an opening sense of injustice. There are issues interesting to discuss the three decisions, especially those related to the panel of judges in the Court of Final Appeal who made changes to the articles, ie, from Article 3 jo. Article 18 to Article 2 jo. Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, which has implication in the period of criminal prosecution and indemnification of state. This analysis considers the application of Article 2 and Article 18 of Law Number 31 of 1999 on Corruption Eradication, as amended by Law Number 20 of 2001 on Corruption Eradication. The problems are why the judge of final appeal court in making a decision to apply

PROBLEMATIKA PENERAPAN PASAL 2 DAN 18

UNDANG-UNDANG PEMBERANTASAN

TINDAK PIDANA KORUPSI

Kajian Putusan Nomor 1283 K/PID.SUS/2013

PROBLEMATICS IN THE APPLICATION OF ARTICLE 2 AND 18

OF THE LAW ON CORRUPTION ERADICATION

Maman Budiman

Fakultas Hukum Universitas Pasundan Jl. Lengkong Besar Nomor 68, Bandung 40261

E-mail: budi_yasir@yahoo.com / maman.budiman@unpas.ac.id

An Analysis of Court Decision Number 1283 K/Pid.Sus/2013

(2)

I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kekuasaan kehakiman di Indonesia diatur dalam Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945, mengatur mengenai kekuasaan kehakiman yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan. Kemandirian peradilan adalah bebas dari segala bentuk intervensi. Hal tersebut agar kekuasaan kehakiman dapat menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan UUD NRI 1945 (Sutatiek, 2013: 1).

Kekuasaan kehakiman yang di dalamnya ada keputusan pengadilan mengandung norma individual yang dibuat berdasarkan undang-undang atau kebiasaan. Cara yang sama halnya dengan norma umum tersebut dibuat berdasarkan konstitusi. Pembuatan norma hukum individual oleh organ pelaksana hukum, khususnya pengadilan, harus selalu ditentukan oleh satu atau lebih norma umum yang ada terlebih dahulu, normalnya pengadilan terkait oleh norma umum yang menentukan prosedur sebagaimana pula isi dari keputusannya (Asshiddiqie & Safa’at, 2012: 116.)

Dalam lingkungan kekuasaan kehakiman, pengadilan sebagai benteng terakhir pencari keadilan harus dijaga independensinya, agar

masyarakat menaruh kepercayaan tinggi terhadap peradilan di Indonesia, termasuk hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi di pengadilan tindak pidana korupsi. Hakim yang mengadili perkara tindak pidana korupsi harus profesional, bersih, jujur, dan berani ketika mengadili perkara tindak pidana korupsi. Hal tersebut dibutuhkan karena terdakwa tindak pidana korupsi tidak jarang orang yang berpengaruh, baik itu pejabat birokrat, pejabat partai politik, pengusaha ataupun pejabat penegak hukum.

Hakim yang memutus perkara tindak pidana korupsi baik itu tingkat pertama, banding maupun tingkat kasasi harus mencerminkan keadilan yang berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, agar tercipta keadilan, baik bagi negara yang diwakili oleh jaksa penuntut umum maupun bagi terdakwa dan keluarganya. Sebagai contoh ada putusan yang dibuat oleh hakim, yang menerapkan pasal yang berbeda terhadap terdakwa tipikor sehingga menimbulkan ketidakadilan khususnya bagi terdakwa dan keluarganya. Meskipun hakim boleh berbeda pandangan dalam memutus suatu perkara, akan tetapi tetap harus berlandaskan kepada pertimbangan-pertimbangan hukum yang rasional dengan melihat fakta-fakta yang telah terungkap dalam proses persidangan terutama persidangan tingkat pertama.

Putusan yang menimpa terpidana HS telah disidangkan dan diputus bersalah oleh hakim Article 2 of Law Number 31 of 1999, and whether the

application of Article 18 is appropriate. The method used is normative legal research to review and examine the legislation, the decision of courts of first instance, the appellate and cassation. The analysis finds that at the level of cassation, judex juris in its consideration had erred in proving the elements of tort as indicated on

Article 2 Paragraph (1). This is due to the inclusion of elements of torts on the aforementioned article requires proof of elements of torts in procedural and substantive law. Judex juris in the case of cassation also had erred in the application of Article 18 of primarily regarding the amount of indemnities of state losses.

(3)

tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi. Adapun gambaran duduk perkaranya adalah bahwa terdakwa HS dituduh telah melakukan tindak pidana korupsi dengan cara telah meminjamkan bendera perusahaan PT HD kepada saudara AR. AR menandatangani dokumen seakan-akan dokumen tersebut ditandatangani oleh HS selaku direktur PT HD. Dokumen-dokumen yang dibuat sedemikian rupa oleh AR di antaranya surat penawaran dari PT HD Nomor 012/HD/IX/2010 tertanggal 23 September 2010 senilai Rp.1.347.500.000,- (satu milyar tiga ratus empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah).

Bahwa atas dasar usulan penetapan pemenang penyedia barang dan jasa dari panitia pengadaan, kemudian AS selaku pejabat pembuat komitmen menetapkan penyedia barang/jasa yaitu PT HD sebagai pemenang dan PT CMI sebagai pemenang cadangan. Selanjutnya saudara AR menandatangani sendiri surat perjanjian pengadaan barang (kontrak) dengan Nomor in.14/sppb-Emis/21/2010 tanggal 18 Oktober 2010 tentang pekerjaan pengadaan alat-alat komunikasi dan teknologi informasi, pengadaan software aplikasi EMIS, dan sarana pendukung lainnya, seakan-akan ditandatangani oleh HS selaku direktur PT HD dengan nilai kontrak Rp.1.347.500.000,- (satu milyar tiga ratus empat puluh tujuh juta lima ratus ribu rupiah) yang mana pekerjaannya selama 60 (enam puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal 18 Oktober 2010 sampai dengan 18 Desember 2010.

Berdasarkan proses persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, HS dinyatakan bersalah oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara a quo karena telah melanggar Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun

1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Bandung, Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg dengan penjatuhan putusan selama satu tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana penjara selama dua bulan.

Pada tingkat banding dijatuhi putusan selama dua tahun dan denda sebesar Rp.50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dengan ketentuan jika denda tidak dibayar diganti dengan pidana kurungan selama dua bulan, sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 11/TIPIKOR/2013/PT.BDG, sedangkan di tingkat kasasi dijatuhi putusan selama lima tahun dan denda sebesar Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dengan ketentuan apabila denda tersebut tidak dibayar, maka diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan serta diharuskan membayar uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013.

Ketiga putusan itu terdapat perbedaan yang menarik untuk dikaji terutama majelis kasasi yang merubah pasal, dari Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menjadi Pasal 2 jo. Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, hal ini tentunya berimplikasi terhadap lamanya pemidanaan. Karena kalau dalam Pasal 3 menyebutkan adanya ancaman orang yang melakukan perbuatan korupsi dihukum minimal satu tahun, sedangkan dalam Pasal 2 menyebutkan adanya ancaman yang melakukan

(4)

perbuatan korupsi dihukum minimal empat tahun. Selain lamanya pemindanaan yang menarik lagi dalam ketiga putusan tersebut adalah mengenai pengembalian kerugian negara yang harus dilakukan oleh terdakwa HS, di mana jumlah kerugiaannya tidak sama antara putusan tingkat pertama, tingkat banding maupun tingkat kasasi.

Dengan melihat latar belakang dan duduk perkara tersebut di atas, tulisan ini akan mengkaji mengenai penerapan Pasal 2 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, kajian terhadap Putusan Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013 tertanggal 30 Juli 2013.

B. Rumusan Masalah

Dari uraian tersebut di atas, tulisan ini akan melakukan kajian analitis atas Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013, dengan rumusan masalah sebagai berikut:

1. Mengapa hakim tingkat kasasi dalam Perkara Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 menjatuhkan putusan menggunakan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?

2. Apakah penerapan Pasal 18 Undang-Undang Tipikor dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 sudah tepat?

C. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan penulisan ini adalah untuk mengkaji disparitas atau perbedaan hakim ketika memutus perkara tindak pidana korupsi yang menggunakan Pasal 2 dan Pasal 18 Undang-Undang

Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dalam Putusan Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, Putusan Nomor 11/Tipikor/2013/PT.Bdg, dan Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013.

Penulisan ini berguna untuk pengembangan ilmu pengetahuan khususnya ilmu hukum, terutama hukum acara pidana serta filsafat hukum, memberikan masukan bagi para praktisi, akademisi, para penegak hukum dalam memahami disparitas penerapan Pasal 2 dan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah dirubah dan ditambah oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

D. Studi Pustaka

Ciri-ciri negara hukum adalah: (a) hukum dijadikan dasar bagi pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajiban; (b) hak-hak asasi manusia (warganya) dijamin oleh hukum; (c) ada pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan negara; (d) peradilan yang merdeka dan pengawasan badan-badan peradilan (rechterlijke controle) oleh pihak yang berwenang (Soemantri, 1984: 24.)

Peradilan yang merdeka harus dilakukan oleh hakim ketika menjatuhkan putusan perkara pidana. Putusan yang baik yaitu adanya pertimbangan hukum yang mempertimbangkan fakta-fakta di persidangan. Pada dasarnya kamus bahasa Indonesia dan kamus hukum memberikan batasan pengertian tentang putusan adalah hal yang didasarkan pada pengadilan. Atau dengan kata lain putusan dapat berarti pernyataan hakim di sidang pengadilan yang bersifat pertimbangan menurut kenyataan. Pendapat berikutnya dari Rubini dan Chaidir Ali yang menyatakan putusan hakim merupakan suatu akta penutup dari suatu

(5)

perkara. Putusan hakim ini biasa disebut vonis yakni kesimpulan-kesimpuan terakhir mengenai hukum dan akibat-akibatnya (Wantu, 2011: 108).

Putusan hakim harus didasarkan pada kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan, agar dapat dirasakan oleh semua yang terlibat dalam suatu proses persidangan. Menurut Mertokusumo, putusan hakim adalah suatu keputusan yang oleh hakim sebagai pejabat negara yang diberi wewenang untuk itu, diucapkan di persidangan dan bertujuan untuk mengakhiri atau meyelesaikan suatu perkara antara para pihak.

Dalam perkara pidana putusan hakim harus benar-benar berkeadilan yang dapat dirasakan oleh terdakwa dan keluarganya maupun bagi penuntut umum yang mewakili korban. Putusan pemidanaan merupakan salah satu bentuk putusan pengadilan negeri. Bentuk putusan lain misalnya putusan bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP) dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP). Putusan pemidanaan terjadi jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP).

Hukum pidana memberikan sanksi atau pidana dengan tujuan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan. Ada tiga teori dan tujuan pemidanaan, yaitu: (1) Tujuan pembalasan (teori absolut), tujuan pemidanaan yaitu untuk membalas perbuatan pidana yang dilakukan oleh pelaku kejahatan; (2) Teori tujuan (teori relatif): a) untuk mencegah terjadinya kejahatan; b) untuk memberikan rasa takut, sehingga orang tidak melakukan kejahatan; c) memperbaiki orang yang melakukan kejahatan; d) memberikan perlindungan kepada masyarakat terhadap kejahatan (Muljatno, 2000: 56).

Hakim dalam melaksanakan tugasnya harus bebas dan tidak boleh terpengaruh atau berpihak kepada siapapun. Jaminan kebebasan ini juga diatur dalam berbagai peraturan, yaitu dalam Pasal 24 UUD NRI 1945, yang berbunyi: “Kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.” Hal itu ditegaskan kembali dalam pengertian kekuasaan kehakiman yang disebutkan dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, yang bunyinya: “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.” Berdasarkan hal tersebut hakim dalam memeriksa seseorang yang diduga melanggar peraturan hukum pada proses persidangan mempunyai kebebasan terutama dalam menjatuhkan putusan.

Undang-undang memberikan syarat-syarat yang berat untuk dapatnya hakim menjatuhkan pidana bagi seseorang. Syarat-syarat tersebut yaitu:

a. Karena pembuktian yang sah menurut undang-undang.

b. Untuk dikatakan terbukti dengan sah sekurang-kurangnya harus ada dua alat bukti yang sah menurut Pasal 183 KUHAP. c. Adanya keyakinan hakim.

d. Orang yang melakukan tindak pidana dapat dianggap bertanggung jawab.

e. Adanya kesalahan melakukan tindak pidana yang didakwakan atas diri pelaku tindak pidana tersebut.

(6)

Hakim menjatuhkan pidana harus dalam rangka menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, dan kepastian hukum bagi seseorang. Jadi bukan hanya balas dendam, rutinitas pekerjaan ataupun bersifat formalitas. Apabila kita kembali pada tujuan hukum acara pidana, secara sederhana adalah untuk menemukan kebenaran materiil. Bahkan sebenarnya tujuannya lebih luas, yaitu tujuan hukum acara pidana adalah mencari dan menemukan kebenaran materiil itu hanya merupakan tujuan antara, sebab ada tujuan akhir yaitu yang menjadi tujuan seluruh tertib hukum Indonesia, dalam hal itu mencapai suatu masyarakat yang tertib, tenteram, damai, adil, dan sejahtera (Rifai, 2010: 102).

Fungsi utama dari seorang hakim adalah memberikan putusan terhadap perkara yang diajukan kepadanya, di mana dalam perkara pidana, hal itu tidak lepas dari sistem pembuktian negatif (negative wetterlijke), yang pada prinsipnya menentukan bahwa suatu hak atau peristiwa atau kesalahan dianggap telah terbukti, di samping adanya alat-alat bukti menurut undang-undang juga ditentukan keyakinan hakim yang dilandasi dengan integritas moral yang baik. Jadi, putusan hakim bukanlah semata-mata didasarkan pada ketentuan yuridis saja, melainkan juga didasarkan pada hati nurani.

Memeriksa dan memutus suatu perkara bukanlah suatu pekerjaan yang mudah, lembaga peradilan mulai dipersoalkan oleh masyarakat, oleh karena itu putusan hakim tidak lagi semata-mata hanya menjadi bahan perbincangan secara hukum dan ilmu hukum atau menjadi bahan kajian ilmu hukum saja, tetapi akan lebih jauh menjadi konsumsi publik untuk dibicarakan dan diperdebatkan, terlebih jika ada putusan hakim yang dirasakan kurang memuaskan masyarakat. Ungkapan yang sering didengar atas putusan

tersebut seperti: “Kurang mencerminkan rasa keadilan masyarakat, terlalu legalistik formal ataupun tidak menunjang program pemerintah.”

Dalam hukum pidana ada dua jenis putusan hakim yang dikenal selama ini, yaitu pertama putusan sela, dan yang kedua, putusan akhir (Rifai, 2010: 121.). Putusan sela adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim terhadap keberatan (eksepsi) atas surat dakwaan dari jaksa penuntut umum yang diajukan oleh terdakwa melalui penasihat hukumnya. Sedangkan putusan akhir adalah putusan yang dikeluarkan oleh hakim setelah memeriksa pokok perkara, yaitu berupa alat-alat bukti yang diajukan kedua belah pihak, dari pihak jaksa penuntut umum maupun pihak terdakwa.

Ada beberapa putusan akhir di antaranya adalah: putusan bebas (vrijspraak), putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum (onslaag van alle recht vervolging), dan putusan pemidanaan. Putusan bebas (vrijspraak) adalah putusan yang dijatuhkan oleh hakim yang berupa pembebasan terdakwa dari suatu tindak pidana yang dituduhkan terhadapnya, apabila dalam dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam persidangan tidak ditemukannya adanya bukti-bukti cukup yang menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana dimaksud, maka kepada terdakwa diputus bebas (Pasal 191 ayat (1) KUHAP).

Putusan pelepasan terdakwa dari segala tuntutan hukum dijatuhkan oleh hakim apabila dalam persidangan ternyata terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, tetapi diketahui bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan

(7)

perbuatan pidana, dan oleh karena itu terhadap terdakwa akan dinyatakan lepas dari segala tuntutan hukum (Pasal 191 ayat (2) KUHAP).

Putusan pemidanaan adalah putusan yang dibuat oleh hakim dalam hal terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam dakwaan penuntut umum, maka terhadap terdakwa harus dijatuhi pidana yang setimpal dengan tindak pidana yang dilakukannya (Pasal 193 ayat (1) KUHAP). Tulisan ini akan mengkaji putusan yang telah dibuat oleh hakim agung pada tingkat kasasi yang menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa HS sebagaimana dalam Perkara Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013. II. METODE

Metode penelitian yang digunakan dalam tulisan ini adalah penelitian hukum normatif yaitu penelitian atas putusan hakim yang dipilih secara purposif. Dengan menginventarisasi, mengkaji, dan meneliti data sekunder berupa peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, pengertian-pengertian hokum. Metode penelitian ini digunakan dikarenakan adanya disparitas putusan pemidanaan yang dilihat dari Putusan Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/PN.Bdg, Putusan Nomor 11/Tipikor/2013/PT.Bdg, dan Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013.

Penelitian ini mengkaji bahan-bahan hukum secara sistematis untuk membahas permasalahan yang diperoleh dari studi kepustakaan, dengan menganalisis suatu permasalahan hukum dalam putusan pengadilan tingkat pertama, tingkat banding, dan tingkat kasasi. Alasan yang dipilih dikarenakan adanya disparitas atau perbedaan penerapan hukum dalam suatu perkara khususnya perkara tindak pidana

korupsi. Pengayaan data yang dilakukan dengan menggunakan pendekatan yuridis-dogmatis yaitu dengan pendekatan konseptual, pendekatan peraturan perundang-undangan, pendekatan perbandingan, dan pendekatan filosofis serta mengkaji pertimbangan hukum dalam ketiga putusan. Beberapa pendekatan ini digunakan secara bersama-sama dalam rangka membahas setiap permasalahan.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kajian Putusan Kasasi Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013 mengenai penerapan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001

Hakim agung dalam perkara tingkat kasasi telah menjatuhkan putusan pemidanaan kepada terdakwa HS dengan menerapkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Menurut penulis, majelis hakim agung tingkat kasasi tersebut telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013: 66-68).

Judex juris pada intinya telah mempertimbangkan unsur “secara melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2 ayat (1). Pertimbangan tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata, karena ketentuan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 a quo yang merumuskan: “setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang

(8)

lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama dua puluh tahun dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,- (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).”

Perbuatan melawan hukum dalam tindak pidana korupsi juga mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana (Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi).

Pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam penjelasannya. Namun, Mahkamah Konstitusi dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006 mengenai Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap UUD NRI 1945, telah menyatakan pada pokoknya bahwa: “Penjelasan Pasal 2 ayat (1) frasa yang berbunyi ‘yang dimaksud dengan secara melawan hukum dalam pasal ini mencakup perbuatan melawan hukum dalam arti formil maupun dalam arti materiil, yakni meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka perbuatan tersebut dapat dipidana’ bertentangan

dengan UUD NRI 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.”

Fakta hukum yang telah terbukti mengenai unsur “perbuatan melawan hokum,” menurut penulis, judex facti telah mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang benar karena mengambil dari keterangan saksi-saksi, ahli, bukti surat maupun keterangan terdakwa yang terungkap di persidangan, bahwa perbuatan materiil terpidana yang teridentifikasi adalah telah meminjamkan bendera perusahaan PT HD kepada saksi AR. Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, sekalipun apa yang dilakukan terpidana merupakan yang tidak bisa dibenarkan dan merupakan perbuatan yang tidak semestinya dilakukan oleh terpidana dalam kapasitasnya sebagai direktur PT HD, akan tetapi penulis tidak melihat dalam perbuatan terpidana ini adanya hal-hal yang dapat dikategorikan sebagai cara-cara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Undang-Undang Tipikor.

Dalam hal ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa, menurut penulis tidak dapat dikategorikan telah melawan hukum karena melanggar Kepres bukan berarti melawan hukum seperti yang dimaksud oleh Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 003/ PUU-IV/2006, apalagi dalam Kepres tidak ada muatan ketentuan pidana sebagaimana produk legislasi. Kalau dicermati dengan cermat atas amar putusan judex juris tersebut, telah nampak bahwa judex juris tidak menerapkan dan/atau lalai tidak mencantumkan syarat yang disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1) huruf h.

(9)

Isi dari Pasal 197 ayat (1) dan (2) KUHAP adalah surat putusan pemidanaan memuat pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, j, k, dan l pasal ini, mengakibatkan putusan batal demi hukum (Waluyo, 2004: 20). Juga menyatakan bahwa, apabila terjadi kekhilafan dan atau kekeliruan dalam penulisan maka kekhilafan dan atau kekeliruan penulisan atau pengetikan tidak menyebabkan batalnya putusan demi hukum kecuali huruf a, e, f, dan h Pasal 197 ayat (2) KUHAP, ini harus/wajib ada dalam suatu putusan. Tidak dimuatnya amar putusan yang menyatakan pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan, maka mengakibatkan putusan batal demi hukum (Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

Pertimbangannya judex juris telah mempertimbangkan dan membuktikan kesalahan terpidana dengan Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18, tetapi dalam amar putusannya judex juris yaitu: Menyatakan terdakwa HS terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “BEBERAPA PERBUATAN KORUPSI YANG DILAKUKAN BERSAMA-SAMA.” Dalam artian judex juris dalam amar putusannya tidak mencantumkan dan/atau menyatakan kesalahan diri terdakwa sebagaimana kualifikasi pasal yang telah dilanggar terpidana. Dengan tidak dicantumnya pasal yang telah dilanggar dan telah terbukti dilakukan oleh terpidana dalam suatu amar putusan, menyebabkan kegamangan bagi diri terpidana tentang kesalahan yang mana yang telah terbukti, serta pasal berapa yang diterapkan

dalam kesalahannya tersebut. Mengingat dalam perkara a quo, terpidana dihadapkan di persidangan Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bandung, dengan dakwaan subsider oleh jaksa penuntut pmum sebagai berikut:

1. Primer: Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undnag-Undnag Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

2. Subsider: Pasal 3 jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

3. Lebih Subsider: Pasal 9 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) kesatu KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

Putusan judex facti (Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung Nomor 54/Pid.Sus/ TPK/2012/PN.Bdg dan Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/TIPIKOR/2013/PT.Bdg), di mana masing-masing pengadilan tersebut telah dengan rinci dan jelas memuat persyaratan

(10)

pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 ayat (1), khususnya Pasal 197 huruf h, yaitu: 1. Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

Bandung Nomor 54/Pid.Sus/TPK/2012/ PN.Bdg, memuat putusan: Menyatakan terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA” sebagaimana dakwaan subsidair.

2. Pengadilan Tinggi Bandung Nomor 12/ TIPIKOR/2013/PT.Bdg, (vide: halaman 54), memuat putusan: Menyatakan terdakwa HS tersebut di atas telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “KORUPSI SECARA BERSAMA” sebagaimana dakwaan subsidair.

Dengan melihat alasan-alasan sebagaimana di atas, menurut penulis Putusan Nomor 1283 K/ Pid.Sus/2013, yang diputus pada tanggal 30 Juli 2013 telah melanggar persyaratan/ketentuan dalam memuat persyaratan pemidanaan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 197 huruf h, sehingga putusan tersebut batal demi hukum (vide Pasal 197 ayat (2) KUHAP).

B. Kajian atas Putusan Kasasi Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 Mengenai Penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

Hakim tingkat kasasi telah keliru pula dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan

Tindak Pidana Korupsi. Sebagaimana poin 3 amar Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013, yang menyatakan: “Menghukum terdakwa membayar uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah), dengan ketentuan jika terdakwa tidak membayar uang pengganti paling lama dalam waktu satu bulan sesudah keputusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum yang tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut, dan dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti maka diganti dengan pidana penjara selama dua tahun.”

Penghukuman uang pengganti sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) kepada terdakwa adalah suatu kekeliruan judex juris, karena dalam perkara in casu, kerugian negara yang dipertimbangkan oleh judex juris adalah sebesar Rp.815.850.000,- (delapan ratus lima belas juta delapan ratus lima puluh ribu rupiah) sesuai dengan laporan hasil audit investigasi BPKP Perwakilan Provinsi Jawa Barat Nomor LHAI-I0889/PW10/05/2011 tanggal 31 Desember 2011 (Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013: 64). Adapun di lain pihak majelis kasasi/judex juris dalam Putusan Nomor 1287 K/Pid.Sus/2013 telah menjatuhkan pidana tambahan kepada AS (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.132.700.000,- (seratus tiga puluh dua juta tujuh ratus ribu rupiah), dan kepada AR (terpidana dalam berkas perkara terpisah) untuk membayar uang pengganti sebesar Rp.448.475.000,- (empat ratus empat puluh delapan juta empat ratus tujuh puluh lima ribu rupiah).

(11)

Selain penghukuman uang pengganti yang telah dijatuhkan kepada para terpidana (HS, AS, dan AR), judex juris dalam pertimbangannya, sebagaimana Putusan Nomor 1283 K/Pid. Sus/2013, telah mengakui adanya uang maupun barang yang telah dititipkan terpidana HS dan AS kepada jaksa penuntut umum, dengan rincian sebagai berikut:

a. Titipan uang untuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp.25.000.000,- dari terdakwa AS kepada penuntut umum;

b. Setoran uang sebesar Rp.17.500.000,- dari saudara N ke rekening atas nama Kejaksaan Tinggi Jawa Barat - Asisten Tindak Pidana Khusus Nomor Rekening 00000754-01-00002-30-6 di BRI Unit Cihapit Bandung sebagaimana slip penyetoran tanggal 27 Desember 2012 dengan keterangan titipan pengembalian kerugian negara a.n. terdakwa AS;

c. Ada pengembalian kerugian negara berupa barang dari terdakwa AS dengan nilai total

Rp.96.750.000,-d. Titipan uang untuk pengembalian kerugian negara sebesar Rp.75.000.000,- dari terdakwa HS kepada penuntut umum sebagaimana berita acara penitipan barang bukti tanggal 29 Juni 2012.

Jumlah penitipan uang dari HS ke penuntut umum adalah sebesar Rp.75.000.000,- sedangkan penitipan uang dari terpidana AS kepada penuntut umum dan penyerahan barang lAIN Syekh Nurjati Cirebon adalah Rp.139.250.000,- (Rp.25.000.000,- ditambah Rp.17.500.000,- ditambah Rp.96.750.000,- ) sehingga jumlah penitipan uang dan barang tersebut adalah

Rp.214.250.000,-Dari perhitungan tersebut di atas maka total uang yang akan diterima oleh negara adalah Rp.992.375.000,- yaitu dari rincian sebagai berikut:

a. Uang Pengganti dari AS sebesar Rp.132.700.000,-

b. Uang Pengganti dari HS sebesar Rp.196.950.000,-

c. Uang Pengganti dari AR sebesar Rp.448.475.000,-

d. Jumlah penitipan uang dan barang sebesar Rp.214.250.000,-

e. Jumlah keseluruhan (a+b+c+d) adalah

Rp.992.375.000,-Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menyatakan:

a. Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan. b. Pembayaran uang pengganti yang

jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Berdasarkan pengertian kerugian negara yang didefinisikan dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, Pasal 1 ayat (22) dapat dikemukakan unsur-unsur dari kerugian negara yaitu bahwa kerugian negara merupakan berkurangnya keuangan negara berupa uang berharga, barang

(12)

milik negara dari jumlahnya dan/atau nilai yang seharusnya (Yuntho et.al, 2014: 24-25). Kekurangan dalam keuangan negara tersebut harus nyata dan pasti jumlahnya atau dengan perkataan lain kerugian tersebut benar-benar telah terjadi dengan jumlah kerugian yang secara pasti dapat ditentukan besarnya. Kerugian tersebut akibat perbuatan melawan hukum, baik sengaja maupun lalai, unsur melawan hukum harus dapat dibuktikan secara cermat dan tepat.

Putusan judex juris dalam perkara ini sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti karena menyiratkan total jumlah kerugian negara yang berbeda yaitu sebesar Rp.992.375.000,- Maka apabila melihat unsur kerugian yang pasti, dihubungkan dengan Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan kata lain alih-alih kerugian negara, putusan judex juris in casu justru akan menghasilkan pendapatan negara senilai Rp.177.375.000,-

Dengan memperhatikan pertimbangan di atas, maka apabila negara diuntungkan dengan adanya kelebihan pembayaran uang pengganti tersebut sehingga menurut penulis unsur dapat merugikan keuangan dan perekonomian negara sebagaimana yang telah dibuktikan dalam Pasal 2 undang-undang a quo menjadi hilang dan tidak terpenuhi.

IV. KESIMPULAN

Dari uraian dalam pembahasan maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Judex juris dalam Putusan Nomor 1283 K/Pid.Sus/2013 telah keliru dalam membuktikan unsur “melawan hukum” sebagaimana yang tertera dalam Pasal 2

ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sehingga pertimbangan judex juris tersebut menurut penulis mengandung kekhilafan atau suatu kekeliruan yang nyata. Dikarenakan pencantuman unsur melawan hukum pada pasal tersebut mengharuskan pembuktian unsur melawan hukum formil dan melawan hukum materiil sebagaimana dalam Putusan Nomor 003/PUU-IV/2006, tanggal 24 Juli 2006. Perbuatan terpidana tidak dapat dikategorikan sebagai cara-cara perbuatan melawan hukum sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 karena dalam hal ini tidak ada undang-undang atau peraturan hukum formal (mengandung sanksi pidana) yang dilanggar oleh terpidana, dan sekalipun perbuatan terpidana telah melanggar Kepres Nomor 80 Tahun 2003 sebagaimana telah dirubah oleh Perpres 4 Tahun 2015 tentang Pengadaan Barang dan Jasa.

2. Judex juris dalam perkara tingkat kasasi telah keliru dalam penerapan Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terutama mengenai besaran uang pengganti dari kerugian negara dikarenakan judex juris tidak cermat menghitung besaran kerugian negara sebesar Rp.196.950.000,- (seratus sembilan puluh enam juta sembilan ratus lima puluh ribu rupiah) yang sama sekali tidak memperhatikan unsur jumlah kerugian negara yang pasti.

(13)

DAFTAR ACUAN

Asshiddiqie, J., & Safa’at, A. (2012). Teori Hans Kelsen tentang hukum. Jakarta: Konpres. Muljatno. (2000). Asas-asas hukum pidana. Cet.

Ketujuh. Jakarta: Rineka Cipta.

Rifai, A. (2010). Penemuan hukum oleh hakim “Dalam perspektif hukum progresif.” Jakarta: Sinar Grafika.

Soemantri, S. (1984). Perbandingan hukum tata negara. Bandung: Alumni.

Sutatiek, S. (2013). Menyoal akuntabilitas moral hakim pidana dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Yogyakarta: Aswaja Pressindo.

Waluyo, B. (2004). Pidana dan pemidanaan. Jakarta: Sinar Grafika.

Wantu, F. (2011). Idée des recht kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan (Implementasi dalam proses peradilan perdata). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Yuntho, E. et.al. (2014). Penerapan unsur merugikan keuangan negara dalam delik tindak pidana korupsi. Semarang: ICW-YLBHI Press.

Referensi

Dokumen terkait

Puji syukur Alhamdulillah penulis panjatkan atas Kehadirat Allah SWT, yang telah melimpahkan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi

moral pada generasi muda merupakan salah satu fungsi peradaban yang paling utama, (3) Peran sekolah sebagai pendidik karakter menjadi semakin penting ketika

Pada saat pemerintahan Kolonial Belanda, Kawasan Pulo Brayan Bengkel Medan merupakan pusat balai yasa serta stasiun bagi kereta api penumpang, akan tetapi seiring

Hasil simulasi kecepatan angin dengan menggunakan kipas angin dengan tiga macam kecepatan angin 2,4 m/s; 3,4 m/s; dan 5,4 m/s menunjukkan efisiensi sistem turbin yang sama

Begitu pula dengan hasil penelitian (Putra & Muid, 2012), (Damayanti & Rochmi, 2014) bahwa reputasi berpengaruh signifikan terhadap konservatisme dengan nilai

Terhadap jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak pada Badan Penelitian dan Pengembangan Energi dan Sumber Daya Mineral sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1)

Metode survey adalah penelitian yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi data yang dipelajari adalah data dari sampel yang diambil dari populasi tersebut,

Setelah lolos pengujian validitas dan reliabilitas dengan model CFA, maka tahap selanjutnya adalah menganalisis kecocokan data dengan model secara keseluruhan atau dalam