• Tidak ada hasil yang ditemukan

UNIVERSITAS INDONESIA PERUBAHAN MAKNA KATA DALAM HIKAYAT BAYAN BUDIMAN MAKALAH NONSEMINAR QORI SYAHRIANA AKBARI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "UNIVERSITAS INDONESIA PERUBAHAN MAKNA KATA DALAM HIKAYAT BAYAN BUDIMAN MAKALAH NONSEMINAR QORI SYAHRIANA AKBARI FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS INDONESIA

PERUBAHAN MAKNA KATA DALAM HIKAYAT BAYAN BUDIMAN

MAKALAH NONSEMINAR

diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana

QORI SYAHRIANA AKBARI

1006764593

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA

PROGRAM STUDI INDONESIA

DEPOK

JANUARI 2014

(2)
(3)
(4)

Perubahan Makna Kata dalam Hikayat Bayan Budiman

Qori Syahriana Akbari, Dien Rovita

Program Studi Indonesia, Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia Email:qorisyahriana@gmail.com

Abstrak

Salah satu ciri bahasa Melayu Klasik adalah penggunaan kosakata yang memiliki makna berbeda dengan makna pada masa sekarang. Tulisan ini menganalisis perubahan makna kata pada naskah Hikayat Bayan Budiman. Kata bahasa Melayu Klasik yang terdapat dalam kalimat pada naskah akan dibandingkan dengan kata bahasa Indonesia dalam konteks kalimat. Perubahan makna kata tersebut dibuktikan dengan menelusuri komponen makna pada tiap-tiap konteks. Setelah dilakukan analisis komponen makna, kata tersebut digolongkan ke dalam jenis perubahan makna. Dalam naskah Hikayat Bayan Budiman, paling banyak ditemukan kata yang mengalami perubahan makna secara menyempit. Hal ini menunjukkan adanya perkembangan zaman sehingga dibutuhkan kosakata yang lebih spesifik untuk menjelaskan suatu hal.

Kata Kunci: Bahasa Melayu Klasik, Jenis Perubahan Makna, Komponen Makna, Kosakata.

The Meaning Changing of the Words in Hikayat Bayan Budiman Abstract

One of the characteristics of Classical Malay Language is the use of words that have a different meanings to the words used nowadays. This paper analyzes the change of meaning in Hikayat Bayan Budiman manuscript. The Classical Malay Language word in the sentence of that manuscript will be compared with bahasa Indonesia word in the sentence of the present context. The change of meaning is proved by analyzing the meaning compound of that word in each context. Then, it is classified in to the kinds of meaning changing. In Hikayat

Bayan Budiman manuscript, there are found the words that change in to the narrower meaning. It shows that

there is a changing of the times so that needed the more specific words to explain the things.

Key Words: Classical Malay Langua,; the Kind of Change of Meaning, Meaning Compound, Words.

Pendahuluan

Bahasa Melayu Klasik atau disebut juga dengan bahasa Melayu Tengahan merupakan tahap kedua dalam periodisasi bahasa Melayu, yakni setelah bahasa Melayu Kuno. Bahasa Melayu Klasik diperkirakan mulai muncul pada abad ke-14 sampai dengan abad ke-18 bersamaan dengan berdirinya Kerajaan Samudra Pasai di Aceh. Dengan begitu, bahasa Melayu Klasik mendapat pengaruh kebudayaan Islam, di antaranya berupa kosakata, struktur, dan huruf yang digunakan (Kridalaksana, 1991).

(5)

Setiap bahasa memiliki ciri khas masing-masing. Begitu pula dengan bahasa Melayu Klasik. Kalimat dalam bahasa Melayu Klasik cenderung merupakan kalimat yang panjang dan berbelit-belit. Dari stukturnya, bahasa Melayu Klasik banyak menggunakan struktur klausa pasif. Hampir pada setiap klausa terdapat kata penghubung maka, dan, dan bahwa (Omar, 1991).

Selain itu, yang juga menarik dari bahasa Melayu Klasik adalah kosakatanya. Dilihat dari perspektif masa sekarang, banyak kata dalam bahasa Melayu Klasik yang sudah tidak digunakan lagi atau yang kemudian dikenal dengan kata arkhais. Ada pula kata yang maknanya sudah tidak sama lagi.

Setiap kata atau leksem mempunyai makna leksikal, yakni makna yang secara inheren terdapat di dalam kata atau leksem itu. Menurut Vehaar (dalam Chaer, 2007), secara sinkronis dan dalam waktu yang relatif singkat, makna sebuah kata cenderung tidak akan berubah. Perubahan makna kata terjadi secara diakronis dan dalam waktu yang relatif lama. Perubahaan ini terjadi sebagai akibat penggunaannya, bisa bersifat total, menyempit, atau meluas.

Chaer (2007) menjelaskan contoh perubahan makna kata, misalnya pada sebuah kata yang mulanya bermakna ‘X’ sekarang berubah menjadi ‘Y’, antara makna sekarang dan sebelumnya bisa berkaitan, bisa juga tidak sama sekali. Contohnya adalah kata pena, dulu bermakna ‘bulu angsa’, tetapi sekarang bermakna ‘sejenis alat tulis bertinta’. Jika ditelusuri sejarahnya, dulu orang menulis menggunakan tangkai bulu angsa yang dicelupkan ke dalam tinta. Contoh lain adalah kata sarjana, dulu kata ini bermakna ‘orang pandai, tetapi sekarang menjadi lebih sempit cakupannya menjadi ‘orang yang lulus dari perguruan tinggi’.

Di dalam bukunya yang lain, Chaer (2009) juga menjelaskan penyebab terjadinya perubahan makna. Di antaranya adalah perkembangan ilmu dan teknologi, sosial budaya, perbedaan bidang pemakaian, adanya asosi, pertukaran tanggapan indera, dan perbedaan tanggapan. Semuanya itu menunjukkan bahwa perubahan zaman akan mengakibatkan perubahan makna kata.

Dalam tulisan ini, saya akan membahas perubahan makna pada Hikayat Bayan Budiman. Hikayat ini diterbitkan oleh Winstedt pada tahun 1920 di Singapura berdasarkan dua naskah di perpustakaan Raffles. Balai Pustaka baru menerbitkannya pada 1934. Hikayat Bayan

(6)

Budiman adalah sebuah cerita klasik yang berbentuk cerita berbingkai, yaitu ada cerita di dalam cerita. Tokoh cerita membuat cerita-cerita baru yang tidak ada hubungannya dengan cerita utama. Cerita si tokoh tersebut disebut bingkai cerita, sedangkan cerita baru yang lahir dari benak si tokoh disebut dengan cerita tambahan atau sisipan. Hikayat Bayan Budiman termasuk pada cerita berbingkai yang bertujuan memberikan ajaran moral dan hiburan.

Hikayat Bayan Budiman dikenal juga dengan nama Hikayat Khoja Maimun, Hikayat Khoja Mubarak, dan Hikayat Taifah. Terdapat 6 buah naskah tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, 5 buah di Leiden, dan 1 buah di London. Pada umumnya isi naskah tersebut tidak lengkap. Yang tersimpan di Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah Br. 357, Br. 102, Br. 115, Br 545, VDW 173, dan VDW 174. Naskah yang terakhir adalah salinan dari versi Persia karangan Kadi Hasan. Naskah yang digunakan pada tulisan ini adalah naskah bernomor VDW 173. Di dalamnya terdapat 7 cerita sisipan. Naskah ini dianggap paling baik dan paling lengkap dibandingkan dengan lima naskah lainnya (Hani’ah, 1993). Landasan Teori

Dalam bagian ini, akan dijelaskan teori tentang perubahan makna dan komponen makna. Kedua teori ini merupakan alat untuk menganalisis perubahan makna pada kata yang ditemukan dalam naskah.

1. Komponen Makna

Komponen makna atau yang disebut juga dengan komponen semantik menurut adalah unsur pembentuk makna pada setiap leksem. Analisis ini mengandaikan setiap unsur leksikal memiliki ciri yang membedakan dengan unsur lain. Dengan kata lain, analisis komponen makna adalah analisis leksem berdasarkan komponen pembedanya. Cruse, dalam Meaning in Language (2000), tidak menggunakan istilah komponen makna, tetapi dekomposisi leksikal. Pada dasarnya, analisis komponen makna dan dekomposisi leksikal adalah hal yang sama, yaitu untuk melihat kekontrasan antara leksem yang satu dengan leksem yang lain di dalam medan leksikal.

Komponen makna adalah ciri yang tersebar dalam semua leksem yang menjadi dasar makna bersama, terutama dalam perangkat leksikal. Sehubungan dengan hal itu, penentuan ciri makna bersama dalam sebuah leksem tidak hanya dilihat berdasarkan unsur makna yang terdapat pada sebuah leksem karena kadang-kadang unsur-unsur dalam makna tersebut

(7)

kurang lengkap. Oleh karena itu, intuisi dan pengalaman pun diperlukan untuk menentukan komponen makna suatu kata. Jadi. mungkin saja penamaan ciri ini tidak akan sama antara yang satu dan yang lainnya.

Cruse memaparkan makna sebuah kata dalam bentuk definisi kata tersebut yang terintegrasi dalam komponen maknanya. Berikut ini adalah contoh komponen makna yang dijelaskan oleh Cruse.

anak laki-laki = [MANUSIA] [LAKI-LAKI] [MUDA]

anak perempuan = [MANUSIA] [PEREMPUAN] [MUDA]

2. Perubahan Makna

Makna yang sudah berubah secara diakronis dapat dikelompokkan ke dalam beberapa jenis perubahan. Gorys Keraf (2001) dalam bukunya yang berjudul Diksi dan Gaya Bahasa menjelaskan berbagai jenis perubahan makna. Berikut ini adalah jenis perubahan makna menurut Keraf.

1) Meluas

Perubahan makna kata secara meluas terjadi ketika kata yang pada mulanya mengandung makna yang khusus, tetapi kemudian berubah menjadi lebih luas sehingga melingkupi sebuah kelas makna yang lebih umum. Contoh kata yang mengalami perluasan makna adalah putra dan putri. Dulu, dua kata ini digunakan untuk menyebut anak-anak raja, tetapi sekarang digunakan untuk laki-laki dan perempuan dari semua kalangan.

2) Menyempit

Penyempitan makna kata terjadi ketika makna sebuah kata yang awalnya memiliki cakupan makna yang luas kemudian berubah menjadi lebih khusus. Keraf (2001) menyebutkan contoh kata yang mengalami penyempitan makna di antaranya adalah kata pala dan pendeta. Kata pala awalnya berarti ‘buah’ secara keseluruhan, tetapi sekarang hanya ditujukan untuk menyebut satu buah saja. Kata pendeta tadinya bermakna ‘orang yang berilmu’, tetapi sekarang hanya digunakan untuk ‘guru agama Kristen’.

(8)

3) Ameliorasi

Perubahan makna ameliorasi terjadi ketika makna yang baru dirasa lebih halus, tinggi, atau santun dibandingkan dengan makna sebelumnya. Kata wanita lebih tinggi dibandingkan dengan kata perempuan. Kata pria lebih dirasa tinggi dibandingkan dengan kata laki-laki. 4) Peyorasi

Peyorasi adalah kebalikan dari ameliorasi, yaitu perubahan makna yang terjadi ketika makna yang baru dirasa lebih rendah atau kasar dibandingkan dengan makna sebelumnya. Contohnya adalah kata bini. Dulu, kata ini dianggap memiliki makna yang tinggi, tetapi sekarang kata bini dirasakan sebagai kata yang kasar. Begitu pula dengan kata kaki tangan. Dulu (sekarang masih digunakan di Malaysia), kata ini memiliki arti yang baik, yaitu ‘pembantu’. Namun, sekarang arti kata ini sudah bergeser menjadi makna yang tidak baik.

5) Metafora

Metafora adalah perubahan makna karena persamaan sifat di antara dua objek. Metafora disebut juga sebagai makna kiasan (figurative meaning). Perubahan makna ini merupakan pengalihan semantik berdasarkan kemiripan persepsi makna. Kata putri malam yang berarti ‘bulan’ dan pulau yang berarti ‘empu laut’ merupakan kata-kata yang dibentuk berdasarkan metafora.

6) Metonimi

Metonimi terjadi karena hubungan yang erat antara kata-kata yang terlibat dalam suatu lingkaran makna yang sama dan dapat diklasifikasikan menurut tempat atau waktu, hubungan isi dan kulit, serta hubungan sebab akibat. Kata kota tadinya bermakna ‘susunan batu yang dibuat mengelilingi pemukiman’. Sekarang, tempat pemukiman itu tetap disebut kota walaupun susunan batunya sudah tidak ada.

Analisis Perubahan Makna Kata

Dalam Hikayat Bayan Budiman ditemukan delapan kata yang dianggap sudah mengalami perubahan makna, yaitu berahi, betapa, tanam, terbit, memalu, beradu, masuk, dan mati. Penyeleksian dilakukan dengan membaca naskah secara keseluruhan. Kata-kata yang dipilih adalah kata yang penggunaannya sudah tidak sama lagi dengan penggunaan dalam bahasa Indonesia. Kata tanam, misalnya, pada naskah ditulis dalam kalimat “Jika istriku ditanam, tanamlah hamba bersama-sama sekali”. Kata tanam pada kalimat tersebut penggunaannya

(9)

tidak lagi sama dengan yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Dengan begitu, diasumsikan bahwa kata tanam sudah mengalami perubahan makna.

Adapun sumber rujukan yang digunakan untuk mengetahui makna kata pada naskah adalah Kamus Dewan (1970). Untuk membandingkan maknanya dengan masa sekarang, saya menggunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007). Untuk memperjelas perbedaan atau persamaan makna kata dalam bahasa Melayu Klasik dan bahasa Indonesia, saya membandingkan kata pada kalimat di dalam naskah dengan konteks kalimat pada masa sekarang. Kata yang mengalami perubahan makna akan dianalisis berdasarkan komponen maknanya pada tiap-tiap kalimat agar terlihat perubahan atau pergeseran maknanya. Setalah itu, kata tersebut akan digolongkan ke dalam jenis perubahannya. Berikut ini adalah analisis kata yang mengalami perubahan makna dalam Hikayat Bayan Budiman.

1. berahi

(1) …ia malu karena orang yang diberahikannya itu takut didengar oleh ayahanda baginda itu. (hlm.16)

Dilihat dari konteks kalimatnya, kata berahi pada kalimat di atas bermakna ‘suka’ atau ‘sayang’. Dalam Kamus Dewan pun disebutkan bahwa kata berahi memiliki makna ‘kaseh (chinta) yang amat sangat; sangat suka; gemar’. Namun, dalam bahasa Indonesia, makna yang terkandung dalam kata ini sudah berubah.

Dalam KBBI, makna kata berahi tidak jauh berbeda dengan yang ada di dalam Kamus Dewan, yaitu ‘perasaan cinta antara dua orang yang berlawanan jenis; asyik; sangat suka’. Namun, di dalam KBBI terdapat tambahan makna yang tidak terdapat dalam Kamus Dewan, yaitu makna yang ditujukan untuk bidang peternakan: ‘gejala yang timbul secara berkala pada ternak betina sebagai perwujudan berahi untuk dikawinkan’. Kata berahi dalam bahasa Indonesia saat ini berkaitan dengan seksualitas atau dapat pula diartikan sebagai ‘hasrat seksual’. Berikut ini adalah contoh kalimatnya.

(2) Kata-katanya menimbulkan nafsu berahi.

Perubahan makna yang terjadi pada kata berahi dapat dilihat dari komponen makna yang dimiliki kata tersebut pada tiap konteksnya. Kata berahi pada kalimat (1) memiliki komponen makna: [PERASAAN] [CINTA] [INGIN MEMILIKI]. Pada konteks kalimat kedua, kata berahi memiliki komponen makna: [PERASAAN] [HASRAT] [SEKSUAL]. Kata berahi pada kalimat (2) mengandung

(10)

komponen makna yang berubah, yaitu perasaan cinta menjadi perasaan hasrat seksual. Penambahan makna pada kata ini membuat kata berahi pada masa sekarang dianggap lebih rendah atau negatif jika dibandingkan dengan dulu. Makna dalam KBBI yang menyatakan bahwa berahi yang berkaitan dengan seksualitas ditujukan untuk ternak semakin memperkuat adanya perubahan makna yang lebih rendah pada kata berahi. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata berahi mengalami perubahan makna peyorasi karena makna yang baru dianggap negatif atau lebih rendah.

2. betapa

(1) “Hai Bayan Budiman lagi bijaksana, betapakah hikayat Bibi sabariah itu, katakanlah supaya aku dengar.” (hlm.26)

Kata betapa pada kalimat di atas memiliki makna ‘bagamaina’. Makna ini pun bisa dilihat dari konteks bahwa Bayan Budiman ditanya tentang bagaimana cerita Hikayat Bibi Sabariah dan ia diminta untuk menceritakannya. Dalam Kamus Dewan, kata betapa bermakna ‘bagaimana; alangkah; saperti’.

Kata betapa dalam KBBI bermakna ‘kata seru penanda rasa heran, kagum, sedih, dsb; alangkah; sungguh.” Selain itu, disebutkan juga bahwa kata betapa bermakna ‘kata untuk menanyakan pendapat, cara, perbuatan, dsb; bagaimana.” Makna ini diberi tanda sebagai makna arkais atau makna kata pada masa lalu yang sudah tidak digunakan pada masa sekarang. Di bawah ini adalah kalimat dengan kata betapa yang digunakan dalam bahasa Indonesia.

(2) Betapa hancurnya hati dan jiwaku.

Kata betapa pada kalimat di atas bermakna ‘alangkah’. Kata ini digunakan sebagai bentuk penekanan suatu keadaan, dalam kalimat di atas berupa keadaan hancurnya hati dan jiwaku. Dari contoh di atas, dapat dilihat bahwa kata betapa dalam bahasa Melayu Klasik dan bahasa Indonesia maknanya sudah tidak sama lagi. Dilihat dari konteksnya, kata betapa pada kalimat (1) memiliki komponen makna: [PERTANYAAN] [CARA], sedangkan pada kalimat (2) komponen maknanya: [PERNYATAAN] [KEADAAN]. Kedua kalimat ini mengandung kata betapa dengan

komponen makna yang benar-benar berbeda. Jenis seperti ini tidak disebutkan dalam kategori jenis perubahan makna menurut Keraf. Namun, jika membandingkan makna yang ada di dalam kamus, lalu dikaitkan dengan konteks zamannya, kata betapa mengalami perubahan makna secara menyempit. Hal ini karena pada masa lalu kata betapa memiliki makna

(11)

‘bagaimana, alangkah, saperti’. Namun, pada masa sekarang makna yang tersisa pada kata betapa hanya ‘alangkah’, sedangkan makna dua makna lainnya sudah tidak digunakan lagi pada kata ini.

3. tanam

(1) “Jika istriku ditanam, tanamlah hamba bersama-sama sekali.” (hlm.41)

Pada kutipan kalimat di atas, kata tanam memiliki makna ‘kubur’. Ditanam berarti dikubur. Dalam Kamus Dewan, kata tanam bermakna ‘perihal tanam menanam; menguburkan mayat’. Berikut ini adalah kalimat pada masa sekarang yang menggunakan kata tanam/ditanam. Dalam KBBI, kata tanam  menanam bermakna ‘menaruh (bibit, benih, setek, dsb) di dalam tanah supaya tumbuh,’ sedangkan kata ditanam bermakna ‘ditaruh di dalam tanah; dimasukkan ke dalam tanah; dipendam’. Dapat dikatakan bahwa taman, menanam, ditanam adalah pekerjaan yang berhubungan dengan tumbuhan. Berikut ini adalah contoh kalimat dengan kata tanam dalam bahasa Indonesia.

(2) Disebut apakah hutan yang ditanami berbagai jenis tumbuhan?

Berdasarkan dua contoh kalimat di atas, kata tanam mengalami perubahan makna. Pada kalimat (1) bermakna ‘mengubur’, sedangkan pada kalimat (2) bermakna ‘menaruh bibit’. Dilihat dari komponen maknanya, kata tanam pada kalimat (1) berkomponen makna: [PEKERJAAN] [MEMASUKKAN] [KE DALAM TANAH] [JENAZAH]. Pada kalimat (2) kata tanam memiliki komponen makna: [PEKERJAAN] [MEMASUKKAN] [KE DALAM TANAH] [BIBIT/BENIH]. Yang berubah pada dua komponen makna tersebut adalah objek yang dimasukkan ke dalam tanah. Perubahan makna yang terjadi pada kata tanam ini termasuk pada perubahan makna peyorasi. Kata tanam yang mulanya digunakan untuk manusia sekarang digunakan untuk tanaman. Selain itu, dalam konteks bahasa Indonesia, jika ada yang menggunakan kata ditanam/menanam untuk menyatakan ‘dikubur/mengubur jenazah’ akan dirasa tidak sopan atau kasar.

4. terbit

(12)

Kata terbit pada konteks kalimat di atas bermakna ‘keluar dari’. Kata terbit di sini ditujukan untuk sebuah kegiatan yang dilakukan oleh seseorang. Menurut Kamus Dewan, kata terbit bermakna ‘keluar dari permukaan; tersiar berita; timbul’.

Dalam KBBI, makna terbit adalah ‘timbul, naik keluar (tentang bulan, matahari); bangkit; keluar untuk diedarkan (tentang surat kabar, buku dsb)’. Kata terbit pada konteks kalimat bahasa Indonesia biasa digunakan untuk menyatakan perguliran matahari, yaitu ketika matahari muncul di ufuk timur. Berikut ini adalah contoh kalimatnya.

(2) Matahari terbit tidak sama dengan fajar.

Berdasarkan dua contoh kalimat di atas, kata terbit mengalami perubahan makna yang disebabkan oleh perbedaan penggunaannya pada konteks kalimat. Secara leksikal, kata ini tidak ada pergeseran karena baik di dalam Kamus Dewan maupun KBBI kata terbit memiliki makna yang sama. Namun, jika dilihat dari komponen maknanya, kata terbit pada kalimat (1) dan (2) mengandung komponen makna yang berbeda. Pada kalimat (1), kata terbit memiliki komponen makna berupa [PERBUATAN] [KELUAR] [MANUSIA]. Pada kalimat (2), komponen maknanya adalah [KEADAAN] [KELUAR] [BENDA MATI]. Perubahan makna yang terjadi pada kata terbit di dua konteks kalimat tersebut tidak dilihat dari nilai rasa dan lingkup makna dulu dan sekarang, tetapi dari sudut persepsi kemiripan fungsional antara dua objek. Perubahan ini termasuk ke dalam metafora. Menurut Keraf, perubahan makna seperti ini bukanlah perubahan yang membeku. Kata terbit yang secara leksikal bermakna ‘keluar’ digunakan untuk benda mati, yaitu matahari. Kata tersebut menjadi bentuk metafora karena pada kalimat (1) terbit digunakan untuk menyatakan pekerjaan yang dilakukan oleh manusia, yaitu ‘keluar dari hutan’.

5. memalu

(1) …maka Baginda pun menyuruh memalu bunyi-bunyian… (hlm.62)

Makna kata memalu pada kalimat di atas adalah ‘memukul’. Baginda menyuruh seseorang untuk memukul alat-alat yang mengeluarkan bunyi-bunyian. Dalam Kamus Dewan, kata memalu bermakna ‘memukul’. Di dalam kamus itu juga disertai dengan contoh kalimat, yaitu “memalu gendang raya besar”.

Berbeda dengan makna yang terdapat dalam Kamus Dewan, dalam KBBI makna memalu adalah ‘memukul dengan palu’. Berikut ini adalah contoh kalimatnya.

(13)

(2) Tukang bangunan sedang memalu paku pada pintu itu.

Kata memalu mengalami perubahan makna. Pada kalimat (1) kata ini hanya bermakna ‘memukul’, sedangkan pada kalimat (2) maknanya menjadi ‘memukul dengan palu’. Dilihat dari komponen maknanya, kata memalu pada kalimat (1) mengandung makna [PEKERJAAN]

[MEMUKUL] [PADA BENDA BERBUNYI]. Pada kalimat (2), komponen maknanya adalah

[PEKERJAAN] [MEMUKUL] [PADA PAKU] [DENGAN PALU]. Dari perbedaan komponen makna ini, dapat dikatakan bahwa kata memalu pada konteks bahasa Indonesia memiliki makna yang lebih spesifik dan objek yang berbeda. Dalam bahasa Melayu Klasik, kata memalu ditujukan untuk kegiatan memukul benda yang dapat mengeluarkan bunyi. Namun, dalam bahasa Indonesia kata ini ditujukan kegiatan memukul paku dengan menggunakan palu. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kata memalu mengalami perubahan makna secara menyempit.

6. beradu

(1) …pada suatu malam aku beradu, aku bermimpi melihat seorang perempuan… (hlm.78) Kata beradu pada kalimat di atas memiliki makna ‘tidur’. Hal ini diperkuat oleh klausa berikutnya yang menyatakan bahwa aku bermimpi. Pada Kamus Dewan, kata beradu memiliki makna polisemi, yaitu ‘berlanggar, bertemu, memperlawankan’ dan ‘tidur’.

Di dalam KBBI disebutkan bahwa kata beradu bermakna ‘berlanggaran, bertumbukkan, berkelahi’. Berikut ini adalah contoh kalimat dalam bahasa Indonesia dengan menggunakan kata beradu.

(2) Mereka siap beradu tinju.

Jika dibandingkan antara kalimat (1) dan (2), kata beradu mengalami perubahan makna. Dilihat dari pemaknaan di dalam kamus, makna beradu dalam bahasa Melayu Klasik memiliki makna polisemi, yaitu bisa berarti ‘memperlawankan’ bisa juga ‘tidur’. Dalam bahasa Indonesia, kata beradu hanya bermakna tunggal, yaitu berkaitan dengan perkelahian. Dari aspek komponen maknanya, kata beradu pada kalimat (1) memiliki komponen makna berupa [KEGIATAN] [SATU ORANG ATAU LEBIH] [TIDAK SADAR] [NETRAL]. Pada kalimat (2), komponen maknanya adalah [KEGIATAN] [DUA ORANG ATAU LEBIH] [SADAR] [NEGATIF]. Dari perbandingan makna ini, dapat disimpulkan bahwa kata beradu mengalami perubahan makna yang bersifat peyoratif karena makna yang baru berubah menjadi negatif. Di sisi lain, jika

(14)

dilihat dari makna leksikalnya, kata beradu mengalami penyempitan makna juga. Hal ini karena pada zaman dulu kata beradu memiliki makna polisemi, sedangkan saat ini makna polisemi itu tidak dipakai lagi sehingga kata beradu hanya memiliki satu makna saja.

7. masuk

(1) ..lalulah ia berjalan menuju matahari masuk… (hlm.85)

Kata masuk pada kalimat di atas bermakna ‘terbenam’. Hal ini karena kata tersebut berkolokasi dengan kata matahari. Dalam Kamus Dewan, kata masuk memiliki makna ‘pergi ke dalam; terbenam; hadir’. Kata ini bersifat hiponimi.

Dalam KBBI, kata masuk juga memiliki beberapa hiponim, yaitu ‘datang; tergolong; menjadi; diterima’. Berikut ini adalah contoh kalimat dengan kata masuk dalam bahasa Indonesia. (2) Hari Senin anak-anak mulai masuk sekolah.

Jika dibandingakan antara kalimat (1) dan (2), kata masuk mengalami perubahan makna. Dalam Kamus Dewan dan KBBI, kata ini sama-sama bersifat hiponimi, maknanya lebih dari satu, tetapi masih saling berkaitan. Namun, pada konteks bahasa Indonesia, kata masuk tidak diartikan lagi sebagai ‘terbenam’ untuk menunjukkan keadaan matahari. Selain itu, dilihat dari aspek komponen maknanya pun kata masuk pada kalimat (1) dan (2) terdapat perbedaan. Pada kalimat (1) komponen maknanya adalah [KEADAAN] [MENGHILANG] [DI LANGIT] [MATAHARI]. Pada kalimat (2), komponen maknanya adalah [KEGIATAN] [DATANG] [DI SEKOLAH] [SISWA]. Dari perbandingan makna leksikal ini, dapat disimpulkan bahwa kata masuk mengalami perubahan makna secara menyempit.

8. mati

(1) …ia pun lalulah berjalan menuju jalan matahari mati dengan seorang-orang dirinya… (hlm.85)

Kata mati pada konteks kalimat di atas bermakna ‘terbenam’. Kata mati di sini ditujukan untuk sebuah keadaan peredaran matahari. Menurut Kamus Dewan, kata mati bermakna ‘wafat; tidak bernyawa’.

Dalam KBBI, makna mati adalah ‘hilang nyawa, tidak hidup lagi; tidak bergerak ’. Pada konteks bahasa Indonesia, kata mati biasa digunakan untuk menyatakan hilangnya nyawa pada makhluk hidup. Berikut ini adalah contoh kalimatnya.

(15)

(2) Beberapa kucing mati karena buruknya makanan dan nutrisi.

Berdasarkan dua contoh kalimat di atas, kata mati mengalami perubahan makna yang disebabkan oleh perbedaan penggunaannya pada konteks kalimat. Secara leksikal, kata ini tidak ada pergeseran karena baik di dalam Kamus Dewan maupun KBBI kata mati memiliki makna yang sama. Namun, jika dilihat dari komponen maknanya, kata mati pada kalimat (1) dan (2) mengandung komponen makna yang berbeda. Pada kalimat (1), kata mati memiliki komponen makna berupa [KEADAAN] [BENDA MATI] [HILANG DARI PERMUKAAN]. Pada kalimat (2), komponen maknanya adalah [KEADAAN] [MAKHLUK HIDUP] [HILANG NYAWA]. Yang menjadi perbedaan dari makna yang terkandung dalam kedua komponen tersebut adalah pada kalimat (1) terjadi pada benda mati, sedangkan pada kalimat (2) pada makhluk hidup; pada kalimat (1) keadaan hilangnya berupa hilang dari permukaan sehingga tidak terlihat lagi, sedangkan pada kalimat (2) yang hilang adalah nyawa sehingga mengakibatkan makhluk hidup tersebut tidak hidup lagi. Perubahan makna yang terjadi pada kata mati di dua konteks kalimat tersebut tidak dilihat makna dulu dan sekarangnya, tetapi dari sudut persepsi kemiripan makna dua objek tersebut. Perubahan ini termasuk ke dalam metafora.

Simpulan

Salah satu ciri bahasa Melayu Klasik adalah penggunaan kosakata yang maknanya sudah tidak sama lagi dengan kata yang digunakan dalam bahasa Indonesia. Hal ini karena makna kata tersebut sudah mengalami perubahan secara diakronis. Dalam Hikayat Bayan Budiman, ditemukan 8 kata yang mengalami perubahan makna. Dari 8 kata terseut, 2 kata yang mengalami perubahan makna peyorasi, yaitu berahi, tanam; 2 kata yang mengalami perubahan makna metafora, yaitu terbit dan mati; dan 3 kata yang mengalami perubahan makna secara menyempit, yaitu betapa, memalu, dan masuk, dan 1 kata yang mengalami dua proses perubahan, yakni peyorasi dan penyempitan makna, yaitu kata beradu.

Perubahan makna secara menyempit paling banyak ditemukan. Hal ini terjadi karena semakin berkembangnya zaman, manusia semakin butuh lebih banyak kosakata untuk menyatakan sesuatu sehingga kosakata pun terus diproduksi. Kosakata yang dihasilkan semakin lama semakin spesifik. Spesifikasi makna sebuah kata menandakan tingginya peradaban suatu zaman. Inilah yang terjadi pada bahasa Indonesia saat ini. Dibandingkan dengan bahasa Melayu Klasik yang berjarak sekitar lima abad, bahasa Indonesia memiliki banyak kosakata untuk menunjukkan makna yang khusus. Dengan begitu, tidak aneh jika dalam bahasa

(16)

Melayu Klasik banyak ditemukan kosakata yang mengalami perubahan makna secara menyempit terhadap bahasa Indonesia.

Daftar Referensi

Chaer, Abdul. (2009). Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta. ___________. (2007). Leksikologi & Leksikografi Indonesia . Jakarta: Rineka Cipta. Cruse, Alan. (2000). Meaning in Language. New York: Oxford University Press.

Iskandar, Teuku. (1970). Kamus Dewan. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pelajaran.

Keraf, Gorys. (2001). Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Kridalaksana, Harimurti. (1991). Masa Lampau Bahasa Indonesia: Sebuah Bunga Rampai. Yogyakarta: Kanisius.

Omar, Asnah. (199)1. Bahasa Melayu Abad ke-16. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa dan Pustaka Kementrian Pendidikan Malaysia.

Tim. (2007). Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ketiga. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional.

Sumber Data

Hani’ah. (1993). Hikayat Bayan Budiman. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan pada Gambar IV.5 hasil tahapan externalization berupa panduan pelaksanaan proses preventive maintenance excavator Kobelco SK200 yang diperoleh dari dua

study with the title The Use of Transitional Signals in Descriptive Text Written By Eighth-Grade Students of MTs Muslimat NU Palangka Raya.

Bukan semua individu yang tidak mengumandangkan adzan sebanyak 2 kali pada hari Jum‘at itu dikira sebagai Wahabi, tetapi siapa saja yang mengkafirkan umat Muslim yang

Dengan demikian dalam pandangan syari'ati, amat dibutuhkan syi'ah "baru" yang tidak dalam pengertian lama secara tradisional namun syi'isme harus dijadikan

Pengorganisasian (organizing) adalah pembagian kerja yang direncanakan untuk diselesaikan oleh anggota kesatuan pekerjaan, penetapan hubungan antar pekerjaan yang efektif di

Menurut Sholeh ketua RT 02 RW 01, masyarakat gang wayo sudah secara turun temurun melakukan poligami baik sesama warga setempat (internal poligami) ataupun

Nilai tersebut dapat diartikan apabila kedisiplinan kerja, balas jasa tidak berpengaruh terhadap variabel dependen produktivitas karyawan, maka nilai variabel

[r]