• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PENCURIAN DAN PRATIMA. terjemahan delict atau strafbaarfeit, yang oleh Moeljatno menyebutkan dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG TINDAK PIDANA, PENCURIAN DAN PRATIMA. terjemahan delict atau strafbaarfeit, yang oleh Moeljatno menyebutkan dalam"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

2.1 Pengertian Tindak Pidana

Istilah tindak pidana atau perbuatan pidana yang juga berasal dari terjemahan delict atau strafbaarfeit, yang oleh Moeljatno menyebutkan dalam bukunya Mahrus Ali, lebih cenderung menggunakan istilah “ perbuatan pidana ” yang selanjutnya mendefinisikan perbuatan pidana sebagai “ perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman ( sanksi ) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut ”.1 Pada kesempatan yang lain, juga mengatakan dengan substansi yang sama bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana, barangsiapa melanggar larangan tersebut. Roeslan Saleh mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian perbuatan pidana, yaitu sebagai perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang.2 Marshall di dalam bukunya Andi Amzah, mengatakan bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat di pidana berdasarkan hukum yang berlaku.3

1 Mahrus Ali, 2011, Dasar-Dasar Hukum Pidana, Sinar Grafika, Jakarta,Hal. 97

2 Roeslan Saleh, 1981, Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana: Dua Pengertian Dasar Dalam Hukum Pidana, Aksara Baru, Jakarta, hal. 13.

(2)

Berdasarkan beberapa pengertian tersebut, bahwa perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya.

2.2 Tujuan Pemidanaan

Salah satu cara untuk mencapai tujuan dari hukum pidana itu sendiri adalah dengan menjatuhkan pidana terhadap seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana, dan pidana itu sendiri pada dasarnya adalah merupakan suatu penderitaan atau nestapa yang sengaja dijatuhkan Negara kepada mereka atau seseorang yang telah melakukan suatu tindak pidana. Oleh karena itu di dalam ilmu hukum pidana dikenal beberapa teori hukum pidana (teori penjatuhan pidana) (strafrechts theorien) yang pada umumnya di bagi dalam tiga golongan (teori) yaitu :

1. Teori absolut atau teori pembalasan, dimana tujuan dari teori ini adalah untuk memuaskan pihak yang dendam baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban. Jadi dasar utama dari pendekatan absolut ini adalah balas dendam terhadap pelaku, atau dengan kata lain, dasar pembenaran dari pidana terletak pada adanya atau terjadinya kejahatan itu sendiri.

2. Teori relatif atau teori tujuan, secara prinsip teori ini mengajarkan bahwa penjatuhan pidana dan pelaksanaannya setidaknya harus berorientasi pada upaya mencegah terpidana ( special prevention ) dari kemungkinan mengulangi kejahatan lagi di masa mendatang, serta mencegah masyarakat luas pada umumnya ( general prevention ) dari kemungkinan melakukan kejahatan baik seperti kejahatan yang telah dilakukan terpidana maupun lainnya. Dimana teori ini menekankan pada kemampuan pemidanaan sebagai suatu upaya mencegah terjadinya kejahatan ( prevention of crime ) khususnya bagi terpidana. 3. Teori gabungan, secara teoritis dimana teori gabungan berusaha untuk

menggabungkan pemikiran yang terdapat di dalam teori absolut dan teori relatif, disamping penjatuhan sanksi pidana diadakan untuk membalas perbuatan pelaku, juga dimaksudkan agar pelaku dapat diperbaiki sehingga bisa kembali ke masyarakat.4

(3)

2.3 Pengertian Pencurian

Kata pencurian sudah tidak asing lagi terdengar, namun kata pencurian kalau dilihat dari kamus hukum mengandung pengertian bahwa mengambil milik orang lain tanpa izin atau dengan cara yang tidak sah dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum.5

Sedangkan pencurian yang ditinjau menurut hukum beserta unsur – unsurnya yang dirumuskan dalam Pasal 362 KUHP, adalah “ Barangsiapa mengambil suatu benda yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain, dengan maksud untuk memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 ( lima ) tahun atau denda paling banyak Rp. 900,00 ”.

Apabila dirinci rumusan pengertian pencurian yang tercantum pada Pasal 362 KUHP diatas maka terdiri atas unsur – unsur yaitu :

a. Unsur Obyektif

1. Perbuatan mengambil. 2. Barang.

3. Sebagian atau seluruhnya milik orang lain. b. Unsur Subyektif

1. Adanya maksud. 2. Untuk memiliki.

3. Dengan melawan hukum.6

4 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penitensier Indonesia, Alfabeta, Bandung, hal. 58.

5 Dzulkifli Umar, Dan Utsman Handoyo, 2014, Kamus Hukum Dictionary Of Law Complete Edition, Mahirsindo Utama, Jakarta, hal 312.

6 S.R. Sianturi, 1983, Tindak Pidana Di KUHP Berikut Uraiannya, Gunung Mulia, Jakarta, hal. 590.

(4)

Unsur kesalahan yang berbentuk sengaja tersirat pada kata – kata “ mengambil ” yang dipertegas lagi oleh kata – kata “ dengan maksud untuk memiliki ”, kata dengan maksud befungsi ganda, yaitu di satu pihak menguatkan unsur sengaja pada delik ini dan di lain pihak berperan untuk menonjolkan peran sebagai tujuan dari pelaku. Seseorang yang bermaksud untuk melakukan sesuatu, tidak ayal lagi bahwa sesungguhnya dalam dirinya pun mempunyai kehendak untuk melakukan sesuatu itu. Mempunyai kehendak berarti ada kesengajaan.

Adapun yang dimaksud dengan barang pada delik ini pada dasarnya adalah setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomi, karena jika tidak ada nilai ekonominya sukar dapat diterima akal bahwa seseorang akan membentuk kehendak mengambil sesuatu itu sedang diketahuinya bahwa yang akan diambil itu tiada nilai ekonominya. Untuk itu dapat di ketahui pula bahwa tindakan itu adalah bersifat melawan hukum.

Jadi adapun barang yang menjadi obyek dari delik ini adalah seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain, Ini berarti bahwa sebagian adalah kepunyaan si pelaku itu sendiri, jika si pemilik mengambil kepunyaan sendiri tentunya tidak ada persoalan pencurian, yang menjadi masalah disini ialah bagian lain yang merupakan kepunyaan orang lain itu. Jadi betapa besar peranan tindakan mengambil itu, yang tanpa itu tidak mungkin terjadi pencurian. Jadi suatu perbuatan atau peristiwa, baru dapat dikualifisir sebagai pencurian apabila terdapat semua unsur – unsur tersebut diatas.7

(5)

2.4 Pengertian Pratima Atau Benda Suci

Pengertian Pratima sendiri jika ditelusur secara etimologi, berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya gambar atau rupa, bentuk, manifestasi dari perwujudan dewa, atau disebut juga dengan Murti dan Vigraha. Melalui Pratima yang menggambarkan dewa dari berbagai bentuk, gambar, maupun rupa dengan beberapa kepala, lengan, mata atau dengan fitur hewan tidak dimaksudkan untuk menjadi perwakilan dari bentuk duniawi, melainkan dimaksudkan untuk menunjuk kepada kemahakuasaan Beliau. Umumnya Pratima berfungsi sebagai wahana Tuhan yang tak terbatas dan mengambil bentuk terbatas serta memanifestasikan wujud dewa ketika dijalankan serta diyakini untuk hadir pada wujud, rupa, ataupun bentuk pada Pratima.8

Pratima yang merupakan bagian dari suatu bentuk, gambar, maupun rupa dimana menggambarkan dewa untuk menunjukkan kemahakuasaan Beliau Tuhan Yang Maha Esa, dimana Pratima itu sendiri juga dapat dikategorikan sebagai suatu barang, yang kalau ditelusuri ke dalam pengertian suatu benda secara yuridis, jadi yang dimaksud oleh delik ini yaitu Pasal 362 KUHP, yang pada dasarnya adalah menyebutkan setiap benda bergerak yang mempunyai nilai ekonomis.9 Sudah barang tentu karena jika tidak ada nilai ekonomisnya, sukar dapat diterima akal sehat seseorang akan membentuk kehendak untuk mengambil sesuatu itu sedangkan yang ia ketahui benda tersebut yang ia ambil tidak memiliki nilai ekonomis.

8 Bali Post, 2012, Budaya “mekemit” http://www.balipost.co.id. Diunduh 13 Desember 2012.

(6)

Sedangkan yang dimaksud dengan benda suci adalah benda – benda yang telah disucikan dengan suatu upacara menurut agama Hindu, yang digunakan sebagai stana ( pralingga )Shang Hyang Widhi Wasa atau dipergunakan sebagai alat – alat di dalam upacara keagamaan.10

2.5 Pengertian Delik Adat

Menurut hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal sehingga hukum adat mengenal ikhtiar – ikhtiar untuk memperbaiki hukum ( Rechsherstel ) jika hukum itu dilanggar. Jadi perbuatan yang bertentangan dengan hukum adat ini, sering disebut dengan “ delik adat ”.11 Jadi delik adat adalah suatu perbuatan sepihak dari seseorang atau kumpulan perseorangan, mengancam atau menyinggung atau mengganggu keseimbangan dan kehidupan persekutuan bersifat material dan immaterial, terhadap orang seorang atau terhadap masyarakat berupa kesatuan. Tindakan atau perbuatan yang demikian akan mengakibatkan suatu reaksi adat.12

Pengertian tindak pidana adat oleh Soepomo mengemukakan bahwa di dalam sistem hukum adat segala perbuatan yang bertentangan dengan peraturan hukum adat merupakan perbuatan illegal dan hukum adat mengenal pula ikhtiar – ikhtiar untuk memperbaiki kembali hukum jika hukum itu dilanggar.13 Sementara itu, Hilman Hadikusuma mengatakan yang dimaksud dengan delik adat adalah

10 I Made Widnyana i, op.cit. hal. 127. 11 I Made Widnyana i, op.cit. hal. 117.

12 Bushar Muhammad, 1985, Pokok-Pokok Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hal. 61.

(7)

peristiwa atau perbuatan yang mengganggu keseimbangan masyarakat dan dikarenakan adanya reaksi dari masyarakat maka keseimbangan itu harus dipulihkan kembali.14 Peristiwa atau perbuatan itu apakah berwujud atau tidak berwujud, apakah ditujukan terhadap manusia atau yang gaib, yang telah menimbulkan kegoncangan dalam masyarakat harus dipulihkan dengan hukuman denda atau upacara adat.

Bersamaan dengan itu menurut Ter Haar dalam bukunya I Made Widnyana, bahwa yang dianggap suatu pelanggaran ( delik ) adalah setiap gangguan segi satu ( eenzijdig ) terhadap keseimbangan dan setiap penubrukan segi satu pada barang – barang kehidupan materiil dan immaterial orang seorang, atau dari pada orang – orang banyak yang merupakan satu kesatuan ( segerombolan ), tindakan demikian itu menimbulkan suatu reaksi yang sifat dan besar kecilnya ditentukan oleh hukum adat ialah reaksi adat ( adat reactive ) karena reaksi mana kesetimbangan dapat dan harus dipulihkan kembali ( kebanyakan dengan cara pembayaran pelanggaran berupa barang-barang atau uang ).15

a. Jenis-Jenis Delik Adat

Seiring dengan berkembangnya jenis kejahatan di masyarakat, proses pembaharuan hukum pidana yang sekarang ini, kiranya perlu diperhatikan beberapa delik adat yang masih berlaku dan hidup dalam masyarakat baik yang tercantum dalam awig – awig desa adat maupun dalam Wetboek yang ada, di Bali

14 Hilman Hadikusuma, 1992, Pengantar Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hal. 231.

(8)

ada empat Wetboek yang dinamakan Catur Agama yaitu Wetboek Adi Agama, Wetboek Kutara Agama, wetboek Purwa Agama dan wetboek Agama.16 Oleh sebab itu di Bali masih dikenal empat jenis delik adat, yaitu :

1. Delik Adat Yang Menyangkut Kesusilaan

Delik adat yang menyangkut Kesusilaan ini terdiri dari beraneka ragam bentuknya sehingga dalam pertumbuhannya jenis delik ini masih banyak diatur dalam awig – awig desa adat seperti :

- Lokika Sanggraha sebanyak 50,9%. - Gamia Gemana sebanyak 36,9%. - Drati Krama sebanyak 50,0%. - Memitra Ngalang sebanyak 50,0%. - Delik Adat Salah Krama sebanyak 25,5%. - Kumpul Kebo sebanyak 50,0%.

- Berzina sebanyak 15,4%.

2. Delik Adat Yang Menyangkut Harta Benda

Delik adat yang menyangkut harta benda yang diatur dalam awig – awig desa adat, secara garis besarnya dapat dikelompokkan dalam tiga kelompok, yaitu :

- Delik pencurian diatur dalam 24% dari awig – awig desa adat yang ada.

- Delik adat pencurian benda suci diatur dalam 41% awig – awig desa adat.

- Delik adat merusak benda suci terdapat dalam 18% awig – awig desa adat.17

Terkait dengan pembahasan pencurian Pratima atau benda suci, maka benda suci menurut besar kecil nilai kesuciannya dapat dibagi menjadi ke dalam tiga tingkatan, yaitu :

a. Pralingga – Pralingga yang dibuat khusus untuk melambangkan Shang Hyang Widhi yang wujudnya seperti Pawayangan yang sesuai dengan manifestasinya.

b. Tapakan – Tapakan seperti misalnya Barong, Rangda dan lain sebagainya yang dibuat dengan tujuan supaya dijiwai oleh ista dewata yang mempunyai kekuatan gaib supaya jangan mengganggu di alam semesta.

16 I Made Widnyana, 1993, Kapita Selekta Hukum Pidana Adat, (selanjutnya disebut I Made Widnyana ii) PT Eresco, Bandung, hal. 13.

(9)

c. Alat – Alat Upacara yaitu semua alat yang Khusus dipakai dalam upacara keagamaan saja, misalnya kain lelancingan, umbul – umbul dan lain – lain.18

Terhadap benda – benda suci yang disebutkan dalam butir a dan b terdapat larangan yang harus ditaati dan apabila dilanggar maka kesuciannya akan hilang dan untuk mengembalikan kesucian itu harus diadakan upacara kembali yang disebut dengan upacara panyapuhang.

3. Delik Adat Yang Melanggar Kepentingan Pribadi

Jenis pelanggaran ini antara lain meliputi mengucapkan kata – kata kotor atau mencaci seseorang ( Mamisuh ), memfitnah ( Mapisuna ) orang lain, menipu atau berbohong ( memauk / mogbog ) yang menimbulkan kerugian pada orang lain tanpa bukti yang jelas ( menuduh bisa ngleak / menyakiti orang lain ), dan sebagainya.

4. Pelanggaran Adat Karena Kelalaian Atau Tidak Menjalankan Kewajiban Pelanggaran adat ini seperti misalnya lalai atau tidak melakukan kewajiban sebagai warga / karma desa adat, seperti tidak melaksanakan ayahan desa, tidak hadir dalam rapat ( paruman ) desa, tidak memenuhi kewajiban membayar iuran ( papeson ) untuk kepentingan upacara tau pembangunan, dan lain – lain.19

b. Jenis-Jenis Sanksi Adat Menurut Awig-Awig Di Bali

Hukum adat adalah hukum yang selalu berubah sesuai dengan perubahan masyarakat, begitu pula halnya dengan sanksi adatnya yang timbul, berkembang

18 Ibid, hal. 18. 19 Ibid. hal. 19.

(10)

dan lenyap sesuai dengan perubahan mayarakat. Berdasarkan kenyataan itu, maka jenis – jenis sanksi adat tersebut dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu :

1. Sanksi adat yang sama sekali telah ditinggalkan oleh masyarakat.

Hal ini terjadi karena pertama sudah tidak dianggap sesuai lagi dengan keadaan masyarakat ; kedua karena dilarang dengan tegas oleh pihak yang berwenang dengan peraturan perundangan. Contoh sanksi adat diselong, mapulang kapasih, katundung dianggap tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman.

2. Sanksi adat yang masih berlaku sepenuhnya, walaupun terhadap pelaku pelanggaran telah dijatuhi hukuman oleh pengadilan berdasarkan undang – undang yang berlaku. Sanksi adat termaksud yaitu sanksi adat yang mengadakan upacara pembersihan ( pamarisuddhan, maprayascitta ).20

Mengenai sanksi adat yang masih hidup atau masih berlaku guna menyelesaikan masalah yang berhubungan dengan hal – hal yang berkaitan dengan pencurian Pratima atau benda suci. Maka terhadap perbuatan pencurian yang terjadi di desa lazimnya kepada pencuri dikenakan denda jumlah tertentu ditambah dengan pengembalian sejumlah uang yang besarnya dua kali dari harga benda yang dicuri, di samping itu kalau yang dicuri itu benda – benda suci maka diwajibkan pula untuk mengadakan prayascitta jagat / desa.21 Oleh karena itu Hakim dapat menentukan kewajiban adat setempat yang harus dilakukan oleh terpidana untuk mengembalikan keseimbangan dalam masyarakat dan menghilangkan noda setelah timbul kegoncangan karena tindak pidana menurut hukum adat setempat.

20 Ibid, hal. 21.

21 Tjokorda Raka Dherana, 1995, Desa Adat Dan Awig-Awig Dalam Struktur Pemerintahan Bali, PT Upasada Sastra, Denpasar, hal. 139.

(11)

Adapun sanksi – sanksi adat yang masih berlaku dan terdapat di dalam awig – awig desa adalah sebagai berikut :

1. Denda.

2. Membuat upacara agama / pembersihan ( maprayascitta ). 3. Diberhentikan sebagai warga desa ( karma desa / banjar ). 4. Dirampas ( karampag ).

5. Nyanguin banjar ( menjamu banjar ) 6. Mengawinkan.22

Jadi dengan adanya jenis sanksi yang terdapat di dalam awig – awig desa, menumbuhkan keyakinan masyarakat bahwa, pelaku pencurian Pratima atau benda suci dapat diputus berdasarkan sanksi yang diharapkan oleh sebagian besar masyarakat Kabupaten Gianyar adalah berupa sanksi keagamaan antara lain membuat upacara – upacara tertentu seperti maprayascitta atau pembersihan alam, karena telah dianggap mengganggu keseimbangan kosmos dalam kehidupan masyarakat ( dianggap mengotori desa ), yang hanya dapat dikembalikan melalui pemenuhan kewajiban – kewajiban adat.

2.6 Pertanggungjawaban Pidana

Berbicara tentang pertanggungjawaban pidana, maka tidak dapat dilepaskan dengan tindak pidana. Walaupun di dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk pengertian pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya suatu perbuatan dan diancamnya perbuatan dengan suatu ancaman pidana. Sebab seseorang tidak bisa dimintai pertanggungjawaban pidana tanpa terlebih dahulu melakukan perbuatan pidana. Adalah dirasakan tidak

(12)

adil jika tiba – tiba seseorang harus bertanggung jawab atas suatu tindakan, sedang ia sendiri tidak melakukan tindakan tersebut.23

Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang obyektif yang ada pada tindak pidana dan secara subyektif kepada seseorang yang memenuhi syarat untuk dapat dijatuhi pidana karena perbuatan itu.

Dasar adanya tindak pidana adalah asas legalitas sedangkan dasar dapat dipidananya perbuatan adalah asas kesalahan. Ini berarti bahwa pembuat tindak pidana hanya akan di pidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan tindak pidana tersebut. Kapan seseorang dikatakan mempunyai kesalahan menyangkut masalah pertanggungjawaban pidana. Oleh karena itu pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. Terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang telah dilakukan oleh seseorang, yang pada hakekatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun hukum pidana untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas kesepakatan menolak suatu perbuatan tertentu.

Berdasarkan dari beberapa pengertian tersebut Sudarto juga mengatakan hal yang sama bahwa :

Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum. Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi unsur rumusan delik dalam undang – undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat penjatuhan pidana. Untuk pemidanan masih perlu adanya syarat untuk penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau bersalah. Orang tersebut harus

(13)

dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada orang tersebut.24

Jadi oleh karena itu, kesalahan merupakan suatu hal yang sangat penting untuk memidana seseorang. Tanpa itu, pertanggungjawaban pidana tidak akan pernah ada. Makanya tidak heran jika dalam hukum pidana dikenal asas “ tiada pidana tanpa kesalahan ” ( geen straf zonder schuld ). Asas kesalahan ini merupakan asas fundamental dalam hukum pidana, demikian fundamentalnya asas tersebut, sehingga meresap dan menggema dalam hampir semua ajaran penting dalam hukum pidana.

24 Sudarto, 1988, Hukum Pidana 1, Badan Penyedia Bahan-Bahan Kuliah, FH UNDIP, Semarang, hal. 85.

Referensi

Dokumen terkait

Selain dari evaluasi tersebut LDUI juga selalu mengadakan evaluasi pemahaman terhadap anggota/kader dari materi-materi yang telah disampaikan pada pengajian-

Peraturan Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud Nomor 6 Tahun 2000 tentang Pembentukan Perusahaan Daerah Pembangunan Bersatu (Lembaran.. Daerah Kabupaten

Tugas akhir ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan gelar kesarjanaan pada jurusan Sistem Informasi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam

(6) pemerintah memberikan modal untuk mengelola lahan yang telah di sediakan kepada para migran. Usaha untuk mencapai tujuan tidak selalu mulus hambatan- hambatan di

Penurunan luas panen yang cukup signifikan terjadi di daerah sentra jagung seperti Kabupaten Pesisir Selatan dan Pasaman Barat.. Penurunan luas panen terjadi karena

selanjutnya data yang telah diperoleh akan dianalisis menggunakan metode statistik yang telah tersedia, dalam hal ini peneliti menggunakan rumus Chi Square atau yang lebih

[r]

Metode analisis yang digunakan adalah analisis rasio arus kas dengan 14 rasio terpilih dari aktivitas operasi, aktivitas investasi dan aktivitas pendanaan, diantaranya adalah