• Tidak ada hasil yang ditemukan

MAKALAH PELAYANAN INFORMASI OBAT HIV/AIDS. Anggota Kelompok:

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MAKALAH PELAYANAN INFORMASI OBAT HIV/AIDS. Anggota Kelompok:"

Copied!
16
0
0

Teks penuh

(1)

MAKALAH

PELAYANAN INFORMASI OBAT

HIV/AIDS

Anggota Kelompok:

1. RIZKA AMELIA SALEH 1720333672 2. RIZKA MAULINA 1720333673 3. SINTYA LARA MARISTA 1720333678

FAKULTAS FARMASI

PROGRAM PROFESI APOTEKER

UNIVERSITAS SETIA BUDI

SURAKARTA

(2)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konseling sangat dibutuhkan bagi pasien HIV/AIDS yang sudah terdiagnosis maupun pada kelompok beresiko tinggi agar mau melakukan tes, bersikap terbuka, dan bersedia mencari pertolongan dokter. Menurut AUSAID (2002), konseling merupakan salah satu program pengendalian AIDS/HIV, selain pengamanan SARA, komunikasi-informasi-edukasi, pelayanan, dukungan dan pengobatan.

Gunarsa S (2000) merangkum pendapat beberapa ahli yang mendefinisikan konseling diantaranya Smith (1955) mengatakan bahwa proses yang terjadi dalam hubungan pribadi antara seseorang yang mengalami kesulitan dengan seseorang profesional terlatih berpengalaman dan pengalamannya mungkin dapat digunakan untuk membantu orang lain sehingga mampu memecahkan persoalan pribadinya. Sedangkan Elinsberg (1983) mengatakan bahwa konseling menambah kekuatan pada klien untuk menghadapi, mengikuti aktivitas yang mengarah pada kemajuan dan untuk menentukan suatu keputusan konseling sehingga membantu klien agar mampu menguasai masalah yang sedan dan kelak akan dihadapi.

(Kurniawati dan Nursalam, 2007) Di Indonesia, sejak tahun 1999 telah terjadi peningkatan jumlah ODHA pada kelompok orang berperilaku risiko tinggi tertular HIV yaitu para Pekerja Seks (PS) dan pengguna NAPZA suntikan (penasun), kemudian diikuti dengan peningkatan pada kelompok lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL) dan perempuan berisiko rendah. Hasil estimasi tahun 2012, di Indonesia terdapat 591.823 orang dengan HIV positif dan tersebar di seluruh provinsi. Dari Laporan Bulanan Perawatan HIV dan AIDS di Indonesia sampai dengan November 2014 tercatat jumlah ODHA yang mendapatkan terapi ARV sebanyak 49.217 dari 34 provinsi dan 300 kabupaten/kota (Permenkes, 2014).

Pengetahuan akan status HIV juga diperlukan untuk memulai pengobatan ARV, namun sampai saat ini masih terlihat kesenjangan yang tinggi antara estimasi jumlah orang dengan HIV dan AIDS (ODHA) dengan ODHA yang pernah menjangkau layanan HIV. Masih banyak ODHA yang belum terdiagnosis atau mengetahui bahwa dirinya terinfeksi HIV. Mereka datang ke layanan kesehatan setelah timbul gejala dan menjadi simtomatik. Keterlambatan dalam mengakses layanan tersebut akan mengakibatkan kurang efektifnya pengobatan ARV yang akan diberikan.

Penemuan obat antiretroviral (ARV) pada tahun 1996 mendorong suatu revolusi dalam perawatan ODHA di negara maju. Meskipun belum mampu menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping serta

(3)

resistensi kronis terhadap obat, namun secara dramatis terapi ARV menurunkan angka kematian dan kesakitan, meningkatkan kualitas hidup ODHA, dan meningkatkan harapan masyarakat, sehingga pada saat ini HIV dan AIDS telah diterima sebagai penyakit yang dapat dikendalikan dan tidak lagi dianggap sebagai penyakit yang menakutkan.

Masalah yang dihadapi dalam penanganan kasus HIV/AIDS adalah kesulitan dalam mendapatkan obat, mahalnya harga obat (ARV) dan kurangnya informasi dan pemahaman tentang HIV/AIDS. ARV generik buatan Indonesia sudah tersedia namun belum didukung oleh kesiapan tenaga medis dan apoteker dalam mendukung keberhasilan terapi.

Dalam rangka menghadapi tantangan tersebut, diperlukan peran dari aspek pelayanan kesehatan. Peran dari profesi farmasi adalah suatu keharusan. Peran tersebut didasarkan pada filosofi Pharmaceutical Care atau yang diterjemahkan sebagai asuhan kefarmasian dan menurut International Pharmaceutical Federation merupakan tanggung jawab profesi dalam hal farmakoterapi dengan tujuan untuk dapat mencapai keluaran yang dapat meningkatkan kualitas hidup pasien. Peran apoteker dalam POKJA HIV/AIDS untuk terlibat aktif dalam pelayanan terpadu ODHA merupakan prakarsa bijaksana demi tercapainya tujuan klien. Dalam pelayanan kefamasian untuk ODHA, apoteker berperan dalam :

1. Manajemen ARV

2. Pelayanan informasi obat bagi pasien maupun tenaga kesehatan lain 3. Konseling dan Edukasi

4. Monitoring Efek Samping Obat ARV maupun infeksi oportunistik.

1.2. Tujuan

Tujuan dari makalah ini adalah :

a. Untuk mengetahui tentang penyakit HIV/AIDS

b. Bagaimana terapi yang diberikan untuk pasien HIV/AIDS

(4)

BAB II ISI

2.1. HIV/AIDS

a. Definisi HIV/AIDS

Penyakit HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus HIV ditemukan dalam cairan tubuh terutama pada darah, cairan sperma, cairan vagina, air susu ibu. Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi. Menurut Center for Disease Control and Prevention(CDC) seseorang yang terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency Viruses) memiliki antibodi positif terhadap HIV (positif HIV test), yaitu CD4 sebesar 200 (sel/mm3) atau lebih, sedangkan orang yang terinfeksi HIV dengan AIDS memiliki kurang dari 200 sel/mm 3CD4.

HIV (Human Immunodeficiency Virus) pertama kali ditemukan pada tahun 1981 yang dipelajari melalui studi cohort pada pelaku homoseksual yang mengalami penurunan imunitas. Virus HIV merupakan penyebab utama terjadinya AIDS (acquired immune deficiency syndrome). Virus HIV terdiri dari 2 species yaitu HIV-1 dan HIV-2, genus Lentivirus dan Familia Retroviridae. HIV-1 terdiri dari 3 kelompok yaitu : M (Major), O (Outlier) dan N (New). (Dipiro, 2007).

Virus ini pada mulanya dikenal dengan nama Human T limfotropik virus tipe III (HTLV- III), virus yang berkaitan dengan limfadenopati limfadenopati (LAV) dan virus yang berkaitan dengan penyakit AIDS (ARV). Saat ini dikenal dengan nama HIV (human Immunodeficiency Virus). Virus HIV menginfeksi berbagai jenis sel sIstem imun termasuk sel T CD4, makrofag, dan sel dendritik.

b. Transmisi HIV/AIDS

1. Infeksi HIV/AIDS terjadi lewat tiga (3) cara utama: seksual, parenteral, dan erinteral. hubungan seks baik anal maupun vaginal adalah modus paling umum. pada umumnya resiko meningkat dengan tingkat keparahan partner seks. individu yang berisiko tinggi pada hubungan homoseksual adalah seorang dengan penyakit menular seks ulseratif, banyak partner sex, partnert sex pengguna obat parenteral.

2. Pengguna jarum atau peralatan suntikan lainya yang terkontaminasi oleh pengguna obat terlarang adalah penyebab utamatransmisi parenteral dan ini jumlahnya seperempat dari kasus AIDS di amerika.

3. Petugas kesehatan mempunyai resiko yang kecil tertular HIV/AIDS akibat pekerjaanya, sebagian besar penularan karena luka akibat jarum suntik.

(5)

4. Infeksi perinatal atau penularan vertikal, penyebab utama ( 90%) pada infeksi HIV anak, resiko penularan ibu-anak sekitar 25% terjadi pada kasus tidak menyusui atau terapi ARV, pemberian air susu ibu (ASI) juga bisa menularkan HIV/AIDS

c. Siklus HIV

Infeksi HIV dimulai bila glikoprotein envelop HIV (env) berikatan dengan CD4 dan reseptor yang merupakan anggota keluarga reseptor khemokin (chemokine receptor) pada sel sasaran. Kompleks env diekpresikan sebagai timer yang terdiri atas 3 pasang gp120/gp41. Komplek ini memperantarai proses fusi antara envelop virion dengan membrane sel sasaran. Langkah pertama dari proses tersebut adalah pengikatan gp120 dengan molekul CD4; langkah ini menginduksi perubahan konformasi yang mempermudah pengikatan gp120 pada reseptor chemokin yan terjadi kemudian. Pengikatan ko-reseptor menginduksi perubahan konformasi pada gp41 yang menyebabkan pemaparan bagian hidrofobik (fusion peptide) yang menancap pada membrane dan meningkatkan fusi virus dengan membran.

Partikel-partikel HIV bebas yang dilepaskan dari sel terinfeksi dapat berikatan dengan sel lain yang tidak terinfeksi. Sebagai alternative lain, gp120 dan gp41 yang diekspresikan pada membrane sel yang terinfeksi sebelum virus dilepaskan dapat memperantarai fusi sel T terinfeksi dengan sel CD4 yang belum terinfeksi sehingga gen HIV kemudian dapat ditansmisikan secara langsung

(6)

kepada sel yang belum terinfeksi. Segera setelah virion HIV masuk ke dalam sel, enzim dalam komplek nucleoprotein menjadi aktif dan dimulailah siklus reproduksi. Nucleoprotein intivirus pecah, gen RNA HIV ditranskripsikan menjadi dsDNA oleh reverse transcriptase lalu DNA virus masuk ke dalam nucleus dan mengkatalisasi intergrasi DNA virus dengan gen penjamu. DNA virus HIV yang terintegrasi disebut provirus. Transkripsi gen DNA provirus terintegrasi diatur oleh LTR (Long terminal repeats), sedangkan sitokin atau rangsangan fisiologik lain pada sel T atau makrofag sepeti IL-2, TNF, IL-3, IFN-γ dan GM-SCF akan mempermudah transkripsi gen virus.

Sintesis partikel virus yang matang dimulai setelah setelah transkrip gen RNA virus yang lengkap diproduksi dan berbagai gen virus diekspresikan sebagai protein. Produksi partikel virus yang matang dihubungkan dengan lisis sel yang merupakan mekanisme dampak sitopatik HIV yang penting. Setelah transkripsi berbagai gen, protein virus disintetis dalam sitoplasma, lalu disusunlah partikel virus dengan membungkus gen provirus dalam komplek nucleoprotein termasuk protein gag dan enzim pol yang diperlukan untuk siklus integrasi berikutnya. Nucleoprotein ini kemudian dibungkus dalam envelop membran dan dilepaskan oleh sel dengan proses budding melalui membran sel.

d. Fase Klinis HIV/AIDS

Fase klinis berguna untuk menilai kondisi awal (diagnosa pertama infeksi HIV) atau tahap lanjut untuk memonitor terapi, untuk menetapkan dimulainya terapi ARV (Anti Retroviral) dan intervensi lain pada terapi HIV.

1. Kategori Fase klinis 1

Meliputi infeksi HIV tanpa gejala (asimtomatik), limfadenopati (gangguan kelenjar/pembuluh limfe) generalisata yang menetap dan infeksi akut primer dengan penyakit penyerta.

2. Kategori Fase klinis 2

Penurunan Berat badan (<10%) tanpa sebab, infeksi saluran pernafasan atas (sinusitis, tonsillitis, otitis media, pharyngitis) berulang. herpes zoster, infeksi sudut bibir, dermatitis, infeksi jamur pada kuku.

3. Kategori Fase Klinis 3

Penurunan Berat badan (<10%) tanpa sebab, diare kronik tanpa sebab sampai lebih dari 1 bulan, demam menetap (intermiten atau tetap < 1 bulan), kandidiasis oral menetap, tuberkulosis pulmonal (paru) plak putih pada mulut, infeksi bakteri berat (Misalnya: pneumonia, empyema (nanah dirongga tubuh terutama di pleura), abses pada otot skelet, infeksi sendi dan tulang), meningitis, bakteremia, gangguan inflamasi berat pada pelvik 4. Kategori Fase Klinis 4

Gejala menjadi kurus (HIV wasting syndrome), Pneumocystis pneumonia (pneumonia karena pneumonia carinii), pneumonia bakteri berulang, infeksi

(7)

herpes simplex kronik, TBC estrapulmonal, kaposi sarcoma, cytomegalovirus infection (retinitis atau organ lain), toksoplasma di susunan saraf pusat, HIV encephalopathy, extrapulmonary cryptococcosis termasuk meningitis, disseminated non-tubercolous mycobacteria infection.

e. Manifestasi Klinik

Seseorang yang terkena virus HIV pada awal permulaan umumnya tidak memberikan tanda dan gejala yang khas, penderita hanya mengalami demam selama 3 sampai 6 minggu tergantung daya tahan tubuh saat mendapat kontak virus HIV tersebut. Setelah kondisi membaik, orang yang terkena virus HIV akan tetap sehat dalam beberapa tahun dan perlahan kekebelan tubuhnya menurun/lemah hingga jatuh sakit karena serangan demam yang berulang. Satu cara untuk mendapat kepastian adalah dengan menjalani Uji Antibodi HIV terutamanya jika seseorang merasa telah melakukan aktivitas yang berisiko terkena virus HIV.

f. Diagnosis

Metode penapisan yang paling umum digunakan untuk AIDS adalah enzyme-linked immunosorbant assay (ELISA), yang mendeteksi antibodi anti HIV-1 dan sangat sensitif dan spesifik. Positif palsu bisa terjadi pada wanita multiparous (=melahirkan lebih dari satu anak); pada pasien yang baru saja menerima vaksin hepatitis B, HIV, influenza, atau rabies; setelah menjalani banyak transfusi darah; dan mereka dengan penyakit liver, gagal ginjal, atau menjalani hemodialisis kronik. Negatif palsu bisa terjadi jika pasien baru terinfeksi dan uji dilakukan sebelum produksi antibodi bisa terdeteksi. Waktu minimum untuk terbentuknya antibodi adalah 3-4 minggu sejak paparan awal.

Hasil ELISA yang positif diulangi dua kali dan jika salah satu atau kedua tes reaktif, dilakukan uji konfirmasi untuk diagnosis akhir. Western blot assay adalah uji konfirmasi yang paling umum dipakai.

Uji muatan viral menghitung viremia dengan mengukur jumlah viral RNA. Ada empat metode yang digunakan untuk menentukan jumlah RNA HIV: reverse transcriptase-coupled polymerase chain reaction (RT-PCR), branch DNA (bDNA), nucleic acid sequence-based assay (NASBA) dan transcription-mediated amplification. Tiap assay mempunyai batas kepekaan terendah masing-masing, dan hasil bisa bervariasi dari satu metode assay ke metode lainnya; karenanya, dianjurkan untuk menggunakan metode assay yang sama untuk pasien yang sama.

Muatan viral bisa digunakan sebagai faktor prognostik untuk mengawasi perkembangan penyakit dan efek perawatan. Jumlah limfosit CD4 di darah merupakan penanda perkembangan penyakit. Hitung CD4 dewasa normal berkisar dari 500-1600 sel/μl atau 40-70% dari semua limfosit.

(8)

g. Cara Pencegahan

Cara Pencegahan HIV/AIDS yang jelas adalah cara transmisi virus AIDS ini berlangsung melalui hubungan seksual, menggunakan jarum suntik bersama dan sebagian kecil transfusi darah maupun komponen darah. Oleh karena itu ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk mengurahi penularan penyakit.

1. Kontak seksual harus dihindari dengan orang yang diketahui menderita AIDS dan orang yang sering menggunakan obat bius secara intravena. 2. Mitra seksual multiple atau hubungan seksual dengan orang yang

mempunyai banyak teman kencan seksual, memberikan kemungkinan Iebih besar mcndapat AIDS.

3. Cara hubungan seksual yang dapat merusak selaput lendir rektal, dapat memperbesar kemungkinan mendapatkan AIDS. Senggama anal pasif yang pernah dilaporkan pada beberapa penelitian menunjukkan korelasi tersebut. Walaupun belum terbukti, kondom dianggap salah satu cara untuk menghindari penyakit kelamin cara ini masih merupakan anjuran.

4. Kasus AIDS pada orang yang menggunakan obat bius intravena dapat dikurangi dengan cara membrantas kebiasaan buruk tersebut dan melarang penggunaan jarum suntik bersama.

5. Semua orang yang tergolong berisiko tinggi AIDS seharusnya tidak menjadi donor.

6. Para dokter harus ketat mengenai indikasi medis transfusi darah autolog yang dianjurkan untuk dipakai. Upaya Pencegahan AIDS Jangka Pendek Upaya pencegahan AIDS jangka pendek adalah dengan KIE, memberikan informasi kepada kelompok resiko tinggi bagaimana pola penyebaran virus AIDS (HIV), sehingga dapat diketahui langkah-langkah pencegahannya.

2.2. Terapi HIV/AIDS

a. Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi (Human Immunodeficiency Virus). Sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV. Sasaran sekunder adalah peningkatan limfosit CD4 dan perbaikan kualitas hidup. Sasaran akhir adalah penurunan mortalitas dan morbiditas.

b. Pengukuran peridik, teratur tingkat RNA HIV di plasma dan hitung CD4 untuk menentukan kemajuan terapi dan untuk mengawali atau memodifikasi regimen terapi

c. Penentuan terapi harus secara individual berdasarkan CD4 dan bebas virus (viral load).

d. Penggunaan kombinasi ARV poten untuk menekan replikasi HIV sampai dibawah tingkat sensitivitas penetapan virus hiv yang membatasi kemampuan memilih varian HIV resisten terhadap ARV, yaitu faktor utama

(9)

yang membatasi kemampuan ARV menghambat replikasi virus dan menghambat perbaikan.

e. Setiap ARV digunakan dalam kombinasi harus selalu digunakan sesuai dengan regimen dosis.

f. Setiap orang yang terinfeksi HIV bahkan dengan beban virus dibawah batas yang dapat terdeteksi harus dipertimbangkan yang dapat menularkan dan harus diberi konsultasi untuk menghindari perilaku seks dan penggunaan obat yang berkaitan dengan penularan HIV dan infeksi patogen lain.

Terapi direkomendasikan pada seluruh penderita HIV dapat dilihat pada tabel berikut.

Tabel 2.2.1 Rekomendasi untuk memulai terai dengan Antiretroviral (ARV) pada remaja dan dewasa berdasarkan fase klinik dan terapi imunologi Fase Klinik WHO Tes CD4 Tidak tersedia Test CD4 tersedia 1 Tidak diterapi

Terapi bila CD4 <200 sel/mm3a

2 Tidak diterapi

3 Terapi Pertimbangkan terapi bila CD4 <350

sel/mm3acd dan terapi bila CD4 turun <200 sel/mm3e

4 Terapi Terapi tanpa memperhitungkan nilai CD4

Terapi menggunakan kombinasi ARV yang dapat menghambat replikasi virus merupakan strategi pada terapi HIV. Ada tiga macam golongan obat ARV yaitu :

a. Penghambat masuknya virus

Mekanismenya adalah Bekerja dengan cara berikatan dengan subunit GP41 selubung glikoprotein virus sehingga fusi virus ke target sel dihambat. Satu-satunya obat penghambat fusi ini adalah enfuvirtid.

b. Penghambat reverse transcriptase enzyme (Reverse Transcriptase Inhibitor) 1. Analog nukleosida/nukleotida (NRTI/NtRTI)

Mekanisme analog nukleosida adalah NRTI diubah secara intraseluler dalam 3 tahap penambahan 3 gugus fosfat) dan selanjutnya berkompetisi dengan natural nukleotida menghambat RT sehingga perubahan RNA menjadi DNA terhambat. Selain itu NRTI juga menghentikan pemanjangan DNA. Contohnya analog thymin:zidovudin (ZDV/AZT)dan stavudin (d4T), analog cytosin : lamivudin (3TC) dan zalcitabin (ddC), analog adenin : didanosine (ddI) analog guanin : abacavir(ABC)

Pada Analog nukleotida (NtRTI) mekanisme kerjanya pada penghambatan replikasi HIV sama dengan NRTI tetapi hanya memerlukan 2 tahapan proses fosforilasi. Contoh obatnya adalah analog adenosin monofosfat: tenofovir

(10)

2. Nonnukleosida (NNRTI)

Mekanismenya adalah tidak melalui tahapan fosforilasi intraseluler tetapi berikatan langsung dengan reseptor pada RT dan tidak berkompetisi dengan nukleotida natural. Aktivitas antiviral terhadap HIV-2 tidak kuat. Comtohmya adalah nevirapin (NVP) dan efavirenz (EFV)

c. Penghambat enzim protease (PI) ritonavir (RTV)

Mekanismenya adalah Protease Inhibitor berikatan secara reversible dengan enzim protease yang mengkatalisa pembentukan protein yang dibutuhkan untuk proses akhir pematangan virus. Akibatnya virus yang terbentuk tidak masuk dan tidak mampu menginfeksi sel lain. PI adalah ARV yang potensial. Contohnya saquinavir (SQV), indinavir (IDV) dan nelfinavir (NFV)

Tabel 2.2.2 Rekomendasi regimen lini pertama terapi dan perubahan terapi ke lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa

Regimen Lini pertama Regimen Lini kedua

Reverse Transcriptase Inhibitor

Protease Inhibitor

Standar AZT atau d4T + 3TC +

NVP atau EFV

ddI + ABC atau TDF + ABC atau TDF + 3TC (± AZT)

PI/r

TDF+3TC+NVPatau EFV

ddI + ABC atau ddI + 3TC (± AZT) ABC + 3TC + NVP atau

EFV

ddI + 3TC (± AZT) atau TDF + 3TC (± AZT) Alternatif AZT or d4T+ 3TC +

TDF atau ABC

EFV atau NVP ± ddI

2.3. Konseling HIV

Konseling HIV merupakan salah satu program WHO dalam usaha pencegahan penularan HIV. Konseling merupakan bagian dari prinsip “5C”dalam tes HIV yatu “consent”, “counseling”, “confidentiality”, “correct test result”, dan “connection” (koneksi ke fasilitas terapi, perawatan, dan pencegahan).

Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara seorang klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai HIV/AIDS untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV&AIDS. Klien pada konseling HIV adalah orang-orang yang akan dan telah menjalani tes HIV. Aspek consent (izin) dan confidentiality (kerahasiaan) merupakan aspek yang sangat penting dalam konseling HIV.

(11)

Karena konseling HIV merupakan bagian dari tes HIV, maka terdiri dari 2 tahap yaitu konseling awal sebelum pemeriksaan (konseling pra testing) dan konseling setelah dilakukan pemeriksaan (konseling pasca testing). Berdasarkan jenisnya, konseling HIV terdiri dari Voluntary Counseling and Testing (VCT), Provider-Initiatied Testing and counseling (PITC) dan Prevention Mother to Child Transmission (PMTCT). VCT merupakan pemeriksaan dan konseling atas dasar inisiatif individu yang berisiko, PITC adalah pemeriksaan dan konseling atas inisiatif tenaga kesehatan yang memeriksa, sedangkan PMTCT adalah konseling untuk mengurangi kemungkinan penularan ibu-anak.

Konseling dimaksudkan untuk menumbuh kembangkan pola pikir klien akan perlunya pengubahan sikap perilaku kearah gaya hidup sehat. Adherence, merupakan istilah bahasa Inggris yang mengacu pada kepatuhan berobat klien (tepat waktu, tepat dosis dan tepat cara minum obat), kesiapan pemberi layanan (apoteker, manajemen institusi kesehatan) untuk senantiasa menjaga ketersediaan & keterjangkauan obat sepanjang waktu, dan ketersediaan obat oleh pemerintah. Bagi apoteker, konseling adherence terkait pada dua hal, yang pertama adalah menumbuhkembangkan kemampuan klien untuk menggunakan obatnya sesuai petunjuk medis dan melakukan pemantauan penggunaan obat klien, dengan menjaga hubungan terapeutik dan yang kedua adalah menjaga sediaan obat agar tetap dapat diakses klien dan tak pernah putus sediaannya (pengelolaan obat).

Konseling obat menjadi tugas utama apoteker dalam menunjang keberhasilan terapi. Pelayanan informasi diberikan baik kepada pasien, keluarga pasien maupun tenaga kesehatan lain. Konseling obat dapat dilakukan dengan : a. Konseling kepada pasien sebaiknya dilakukan ditempat yang nyaman dan

kerahasiaan terjamin

b. Tempat melakukan konseling tidak terlalu jauh dari poliklinik sehingga pasien mudah mengakses

c. Konseling dapat dilakukan pada saat pasien akan memulai terapi antiretroviral yang disebut dengan konseling pra ART dan secara konseling periodik sesuai kebutuhan.

d. Konseling pra ART diberikan sebelum pasien memulai terapi dengan materi sebagai berikut : Apa manfaat dan kegunaan dari obat Antiretroviral, Bagaimana cara menggunakan obat yang benar, Kapan waktu minum obat yang benar, Apa saja kemungkinan efek samping yang timbul, Bagaimana mengenali dan mengatasi efek samping yang timbul, Apa cara yang harus ditempuh jika terjadi efek samping, Apakah ada obat-obatan lain yang diminum oleh pasien baik yang diresepkan oleh dokter maupun yang dipakai sendiri untuk menghindari interaksi obat, Bagaimana cara pasien mendapatkan obat kembali jika sudah habis.

(12)

e. Dibuat evaluasi terhadap hasil kegiatan konseling obat untuk meningkatkan keberhasilan terapi dan dilaporkan kepada POKJA HIV/AIDS di rumah sakit untuk ditindaklanjuti.

2.3.1. Tahapan Konseling

a. Konseling Untuk Klien Yang Baru Akan Memulai Minum Antiretroviral Tahapan – tahapan konseling untuk klien yang baru akan memulai minum antiretroviral adalah sebagai berikut :

1) Perkenalan : tujuan perkenalan adalah memberikan keyakinan pada klien bahwa klien berkomunikasi dengan orang yang tepat.

a) Perkenalkan nama anda, profesi anda, kedudukan anda dalam penanganan obat ARV dengan berjabat tangan dengan klien.

b) Tanyakan identitas klien, mulai dari nama, umur, berat badan, alamat,nomor telepon,status perkawinan (sudah menikah apa belum), kesuburan (sedang hamil atau ada program akan hamil ), jenis obat yang sedang minum, nama pendamping minum obat, hubungan dengan klien, alamat dan nomor telpon yang bisa dihubungi, catat dalam kartu konseling.

2) Menggali pengetahuan klien tentang HIV/AIDS: tujuannya untuk

mempermudah pemberian informasi kepada klien.

a) Apa dokter atau perawat sudah memberitahukan tentang penyakit yang diderita, cara penularannya dan cara pengobatannya? Bila belum jelaskan, bila sudah lanjutkan pertanyaan berikutnya.

b) Apa yang sudah dikatakan dokter atau perawat mengenai obat ARV ? Bila tidak tahu lanjutkan pada pertanyaan, bila tahu namun kurang jelas, sempurnakan jawaban tersebut.

3) Memberi penjelasan tentang obat, dengan tujuan agar klien benar-benar memahami akan segala sesuatunya tentang obat ARV.

a) Jelaskan tujuan pengobatan ARV, tekankan pada kalimat “ bahwa obat ARV ini bukan untuk menyembuhkan penyakit tetapi hanya menekan virus” b) Jelaskan bahwa obat ARV ini harus diminum seumur hidup.

c) Jelaskan waktu dan cara meminum obat sesuai dengan resep yang diberikan dokter, Jelaskan pula waktu dan cara minum obat lain selain obat ARV. d) Berikan teknik supaya pasien selalu minum obat dengan tepat waktu. e) Jelaskan apa yang harus dilakukan seandainya klien lupa meminum obat. f) Jelaskan apa yang terjadi seandainya klien sering lupa minum obat.

g) Jelaskan efek samping masing-masing obat dan bagaimana cara

menanggulanginya.

h) Jelaskan cara menyimpan obat yang benar.

i) Beri peringatan pada klien, bahwa obat ARV ini mahal, dan sekarang obat ini disubsidi oleh pemerintah.

(13)

4) Verifikasi akhir: tujuannya untuk mengecek pemahaman klien pada ARV, yaitu dengan menanyakan lagi apa yang telah kita jelaskan.

5) Memberi kesempatan klien untuk bertanya, dengan menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin ditanyakan? Jika ada dengarkan dan beri jawaban, jika tidak lanjutkan.

6) Beri pengetahuan tentang makanan apa saja yang sebaiknya dikonsumsi dan apa saja yang harus dihindari.

7) Akhiri pembicaraan dengan memberikan obat dan meminta klien untuk menandatangani lembar pemberian obat dan ingatkan kapan klien harus kembali mengambil obat.

b. Tahapan – tahapan konseling untuk klien yang sudah minum ARV:

Tahapan – tahapan konseling untuk klien yang sudah memulai minum antiretroviral adalah sebagai berikut :

1) Menyapa klien, dengan mempersilakan duduk dengan meminta kartu

register nasional beserta resep yang diberikan dokter.

2) Membuka file klien, dengan mencocokkan nama dan nomer register nasional.

3) Membuka pertanyaan pada klien, catat pada kartu konseling Jika rejimen obat tetap, tanyakan

a) Apa ada keluhan-keluhan yang dialami selama minum obat? b) Berapa jumlah obat yang masih tersisa?

c) Apakah selama ini obat diminum teratur dan tepat waktu, jika tidak berapa kali lupa dan barapa kali tidak tepat waktu?

d) Apakah masih minum obat lain, selain obat ARV? Jika rejimen obat berbeda dengan sebelumnya, tanyakan a) Apa yang telah terjadi selama minum obat ini?

b) Apa saudara tahu kenapa obat ini diganti?

c) Tanyakan data-data yang menunjang penggantian rejimen obat misalnya: alergi, nilai SGOT, SGPT; Hb; kondisi kesuburan (program hamil atau sedang hamil)

d) Apakah dokter sudah menjelaskan bagaimana cara minum obatnya ?

e) Apakah dokter sudah menjelaskan kemungkinan efek samping yang akan terjadi?

4) Memberi penjelasan:

a) Jika rejimen obat tetap, ingatkan kembali tentang perlunya minum obat secara teratur dan tepat waktu, ingatkan waktu dan cara minum obat lain selain ARV, ingatkan tentang makanan-makanan yang sebaiknya dikonsumsi dan dihindari, dan ingatkan juga kapan klien harus kembali kontrol

(14)

b) Jika rejimen obat ganti : Beri tahu kapan cara dan waktu minum obat yang benar, Jelaskan tentang kemungkinan efek samping yang akan terjadi dan bagaimana cara menanggulanginya, Jelaskan tentang manfaat obat lain yang diberikan dokter dan bagaimana cara meminumnya, Ingatkan kembali tentang konsumsi makanan dan minuman yang

dianjurkan dan dihindari

5) Memberi kesempatan klien untuk bertanya, dengan menanyakan apakah ada sesuatu yang ingin ditanyakan? Jika ada dengarkan dan beri jawaban, jika tidak, lanjutkan.

6) Akhiri pembicaraan dengan memberikan obat dan meminta klien untuk menandatangani lembar pemberian obat dan ingatkan kapan klien harus kembali mengambi obat.

(15)

BAB III PENUTUP

Berdasarkan hasil pemaparan dan penjelasan diatas, maka penulis dapat menyimpulkan bahwa :

1. Penyakit HIV/AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) merupakan

kumpulan gejala penyakit yang disebabkan oleh Human Immunodeficiency Virus (HIV). Virus tersebut merusak sistem kekebalan tubuh manusia dan mengakibatkan turunnya atau hilangnya daya tahan tubuh sehingga mudah terjangkit penyakit infeksi.

2. Antiretroviral (ARV) adalah obat yang menghambat replikasi (Human Immunodeficiency Virus) yang digunakan sebagai terapi pengobatan HIV/AIDS. Sasaran terapi adalah mencapai efek penekanan maksimum replikasi HIV. Sasaran sekunder adalah peningkatan limfosit CD4 dan perbaikan kualitas hidup. Sasaran akhir adalah penurunan mortalitas dan morbiditas.

3. Konseling HIV adalah komunikasi yang bersifat pribadi dan rahasia antara seorang klien dengan seorang konselor/orang yang telah dilatih mengenai HIV/AIDS untuk meningkatkan kemampuan klien menghadapi stress dan mengambil keputusan berkaitan dengan HIV&AIDS.

(16)

DAFTAR PUSTAKA

Ditjen Bina Farmasi dan Alkes . 2006. Pedoman Pelayanan Kefarmasian Untuk Orang Dengan HIV/AIDS. Depkes RI : Jakarta

Dipiro,JT., Talbert,R.L., Yee,G.C., Matzke,G.R. Wells, B.G., Posey,L. 2009.

Pharmacoterapy Handbook 7th edition, Mc Graw Hill : New York

Kurniawati,N.D., Nursalam. 2007. Asuhan Keperawatan pada Pasien Terinfeksi HIV/AIDS. Salemba Medika : Jakarta

Wells, B.G., Dipiro,J.T., Schwinghammer,T.L., Cecily V. 2015. Pharmacoterapy

Gambar

Tabel 2.2.2   Rekomendasi  regimen  lini  pertama  terapi  dan  perubahan  terapi  ke  lini kedua infeksi HIV pada orang dewasa

Referensi

Dokumen terkait

Sedangkan apabila keberadaan “informasi yang bersifat pribadi” yang dimaksud, adapula dalam putusan pengadilan para terpidana mati yang telah berkekuatan hukum

Hasil wawancara dengan beberapa masyarakat Desa Pagar Jaya yang sudah menetap lebih dari 10 tahun sebagian besar menyatakan bahwa keadaan Pantai Teluk Hantu

Jika kedua premis merupakan proposisi partikular, maka kesimpulan yang diambil adalah tidak sah karena kebenarannya tidak pasti.

Penelitian ini menunjukkan bahwa sorbitol merupakan sumber karbon tambahan yang bersifat non-represif, yaitu dapat meningkatkan pertumbuhan dan tidak menghambat ekspresi

Pondasi ini memiliki kelebihan jika dibandingkan dengan pondasi konvensional yang lain diantaranya yaitu KSSL memiliki kekuatan lebih baik dengan penggunaan

Dakwaan yang diberikan oleh penuntut umum kepada pelaku tindak pidana penangkapan ikan tanpa surat izin usaha perikanan dalam putusan perkara nomor

Hasil pengujian terhadap ke empat hipotesis dapat disimpulkan bahwa: Kecerdasan emosional dan stres kerja memiliki pengaruh secara simultan terhadap kinerja karyawan RSI Siti

Interaksi antara perbandingan yoghurt dengan ekstrak buah jambu biji merah dan perbandingan zat penstabil memberikan pengaruh yang berbeda sangat nyata