• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHUUAN. Timor Leste tersebut dikemukakan bahwa Menteri Luar Negeri. rahasia dari Dinas Intelejen Rahasia Australia (Australian Secret

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHUUAN. Timor Leste tersebut dikemukakan bahwa Menteri Luar Negeri. rahasia dari Dinas Intelejen Rahasia Australia (Australian Secret"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

1

1.1. Latar Belakang

Fairfax Media News menurunkan Laporan jurnalisnya, yaitu Tom Allard pada 12 April 2013 2:40 PM yang menulis bahwa Timor Leste telah mengajukan protes kepada Pemerintah Australia. Dalam Protes yang disampaikan pihak Pemerintah Timor Leste tersebut dikemukakan bahwa Menteri Luar Negeri Australia Alexander Downer telah mengirimkan satu tim agen rahasia dari Dinas Intelejen Rahasia Australia (Australian Secret Intelligence Service/ASIS agent) ke Ibu Kota Timor Leste, Dili.

Dinas Rahasia itu ditugaskan untuk menaruh peralatan-peralatan khusus di dinding tembok-tembok Ruang Pertemuan Kementerian dan juga Kantor Perdana Menteri Timor Leste pada tahun 2004 agar Pemerintah Australia secara tidak diketahui pihak Timor Leste (secara rahasia) dapat mendengar semua pembicaraan penting yang dilakukan Pemerintah Timor Leste sehubungan dengan Perjanjian Eksplorasi Minyak dan Gas Bumi di Celah Timor. Seperti diketahui, Perjanjian Eksplorasi Minyak dan Gas

(2)

Bumi di Celah Timor itu dikenal dengan: the Treaty on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS).

Tindakan yang dilakukan Pemerintah Australia di dalam wilayah kedaulatan Timor-Leste itu, oleh pihak Timor-Leste dinilai sebagai tindakan yang tidak sah. Ditulis dalam pemberitaan itu, dikatakan tidak sah karena tidak hanya tindakan tersebut merupakan suatu pelanggaran terhadap hukum internasional tetapi juga tindakan itu telah melanggar kedaulatan dari suatu negara berdaulat. Lebih jauh, dalam Laporan jurnasis tersebut di atas, bahkan dikatakan bahwa tindakan pihak Australia di Timor-Leste tersebut juga merupakan pula suatu konspirasi yang tergolong sebagai tindak pidana. Dikutip dari Media di atas, seorang Pengacara yang mewakili Timor-Leste mengemukakan bahwa: “The alleged incursion was a breach of international law and Timorese sovereignty,.... It was not properly authorised and amounted to a criminal conspiracy”.1

Diberitakan pula bahwa tindakan yang dilakukan pihak Australia di Timor-Leste sebagaimana dikemukakan di atas

1Pernyataan Collaery, Pengacara dari Timor Leste yang dikutip Fairfax

(3)

merupakan suatu tindakan mata-mata (espionage). Akibat dari tindakan tersebut, Pemerintah Timor-Leste kemudian menyatakan bahwa the Treaty on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea (CMATS) adalah tidak sah. Pihak Timor Leste mula-mula menjadikan persoalan dugaan tindak pidana penyadapan yang dilakukan pihak Pemerintah Australia untuk memata-matai Industri Minyak dan Gas mereka itu dapat dijadikan pemicu untuk membawa persoalan penetapan batas laut antara Timor Leste dan Australia ke Arbitrase Internasional di The Hague. Belakangan, selain menjadikan issue tindak pidana yang dilakukan pihak Australia tersebut untuk mengakselerasi dimulainya pembicaraan mengenai batas laut; kasus dugaan tindak pidana itu dibawa ke depan Pengadilan Internasional, dalam hal ini yaitu the International Court of Justice.2

Selama ini sudah menjadi pemahaman umum bahwa masalah dugaan tindak pidana yang digambarkan di atas tersebut tidak dapat diselesaikan secara hukum pidana nasional, baik dengan menggunakan hukum pidana yang berlaku di Timor-Leste

2 Gambaran yang lengkap mengenai jalannya Peradilan di Mahkamah

Internasional tersebut (Mahkamah) dan sustansinya dikemukakan dalam Bab III Tesis ini, infra, hlm., 87 s/d 200.

(4)

maupun hukum pidana yang berlaku di Australia. Namun, sekalipun tidak dapat diselesaikan dengan jurisdiksi domestik; baik itu Timor-Leste maupun Australia hal itu tidak berarti bahwa tidak ada jurisdiksi dalam suatu negara berdaulat; atau tidak terdapat sarana pengaturan dan atau mekanisme penyelesaian terhadap perbuatan jahat maupun pelanggaran yang berdimensi kepidanaan yang dilakukan oleh unsur asing dan terjadi di dalam suatu negara berdaulat tersebut. Dengan perkataan lain hukum pidana konvensional yang tadinya hanya berpusat pada rumusan KUHP dan ketentuan peraturan perundang-undangan lain3 serta hukum yang tersedia dalam suatu jurisdiksi negara berdaulat tidak dapat dikatakan telah mengalami frustrasi.

Dalam persoalan yang dikemukakan di atas, ternyata masih ada jalan untuk menyelesaikan permasalahan tersebut, yaitu dengan menggunakan perspektif hukum pidana internasional.4

3 Mengenai hal ini, dalam Bab II Tesis ini dikemukakan suatu

gambaran hasil penelitian yang cukup lengkap mengenai keberadaan perangkat hukum di Timor-Leste yang sebetulnya tersedia dan dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan di atas. Begitu pula dalam Bab III, dalam uraian mengenai pandangan para ahli yang disampaikan di Mahkamah, terlihat di sana bahwa sebetulnya ada kehendak dari pihak Australia agar Timor-Leste menggunakan haknya untuk mencari penyelesaian di dalam jurisdiksi Australia.

4Gambaran singkat tentang perspektif Hukum Pidana Internasional

(5)

Pemerintah Timor Leste tidak hanya mem-blow-up issue dugaan tindak pidana penyadapan dalam rangkaian kegiatan espionage oleh pihak Pemerintah Australia itu di Media, namun juga membawa issue atau perkara itu ke forum persidangan Arbitrase Internasional di Belanda (the Hague). Bahkan, lebih jauh dari sekedar membawa issue itu ke Arbitrase Internasional, pihak Pemerintah Timor Leste juga menyeret Pemerintah Australia ke hadapan Pengadilan Internasional (Mahkamah), dalam hal ini yaitu di International Court of Justice (ICJ).5

Begitu pula dengan dugaan perbuatan pidana penyadapan yang dilakukan pihak Pemerintah Australia dan terjadi di Timor Leste, dalam kaitan dengan Perjanjian Internasional (Treaty) antara the Government of Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea. Fakta yang terjadi, yaitu adanya keterbatasan jurisdiksi hukum nasional, baik itu hukum substantif maupun hukum formal6 atau hukum acaranya di dalam jurisdiksi

5 Lihat catatan kaki nomor 2, supra, hlm., 3.

6Dalam Sistem Hukum Timor Leste sendiri dikenal pengaturan dalam

hukum acara pidana Timor Leste tentang “penyadapan”. Bab IV, Pasal 185 Decree-Law No. 13 Tahun 2005 tentang Hukum Acara Pidana (the Criminal Procedure Code), dapat dijumpai rumusan ketentuan hukum, yaitu:

(6)

Timor Lestemaupun di Australia yang dapat dijadikan rujukan dalam mencari penyelesaian secara kepidanaan.

Dalam menyelesaikan dugaan tindak pidana penyadapan sebagaimana dikemukakan di atas, yang justru dijadikan rujukan pihak Timor Leste dalam mencari penyelesaian secara yuridis, yaitu rumusan ketentuan dalam Perjanjian Internasional atau apa yang disebut di atas dengan Treaty between the Government of Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea yang berlaku berikut sarana penyelesaian melalui Arbitrase Internasional yang telah diterima dalam Perjanjian Internasional yang ada. Hanya saja, dirasakan bahwa pihak Arbitrase dimaksud tidak berwenang menyelesaikan masalah ini.

communications may be Ordered or authorised by a court decision only where this action is necessary for the disclosure of the truth in connection with criminal offences: (a) punishable by a prison sentence exceeding three years; (b) abusive language, threat, duress, intrusion into one’s private life, disruption of peace and tranquillity, when committed on the telephone, if there is any reason to believe that this action will prove to be of great importance to the disclosure of the truth or to the obtaining of proof. 2. The tapping or recording of telephone conversations or communications between the defendant and the defender, except if there are strong indications that the latter may be involved in the criminal offence, is not permitted. 4. Failure to comply with the provisions of this article renders invalid the tapping or recording obtained as a means of evidence.

(7)

Issue sebagaimama dikemukakan di atas, secara lebih konkret bermula dari adanya suatu Perjanjian yang dibuat antara Pemerintah Timor Leste dengan Pemerintah Australia di atas untuk melakukan eksplorasi energi (Gas dan Minyak Bumi)7 di Celah Timor. Ketika Perjanjian sebagaimana dikemukakan di atas tersebut sedang berada di tahap negosiasi, terjadi suatu insiden yang di dalamnya diduga merupakan suatu tindak pidana.

Tindak pidana yang diduga terjadi tersebut, yaitu tindak pidana penyadapan dengan menggunakan media elektronik atau sarana teknologi informasi dan telekomunikasi yang dilakukan oleh salah satu pihak yang akan mengikatkan diri dalam Perjanjian Internasional sebagaimana dikemukakan di atas, dalam hal ini pihak tersebut yaitu Pemerintah Australia. Adapun dugaan tindak pidana yang dilakukan pihak Pemerintah Australia sebagai satu pihak yang akan mengikatkan diri dalam Treaty between the Government of Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea, yaitu tindak pidana penyadapan.

(8)

Menjadi permasalahan adalah, terhadap dugaan tindak pidana penyadapan sebagaimana dikemukakan di atas, tidak ditemukan kemauan untuk menemukan pengaturannya baik itu pengaturan secara umum dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana di Timor Leste, maupun ketentuan di luar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Timor Leste yang berkenaan dengan pengaturan terhadap tindak pidana yang khusus8. Selain itu, sekalipun insiden dugaan tindak pidana penyadapan itu terjadi di Timor Leste, namun perbuatan itu pada kenyataannya dilakukan oleh pihak yang mewakili Pemerintah Australia. Dalam hukum pidana yang umum dipahami, termasuk berdasarkan asas

teritorial yang dikenal juga dalam hukum pidana positif di Timor

Leste, dalam hal ini hukum acara pidana Timor Leste, maka hukum pidana yang berlaku dalam penyelesaian perkara dugaan tindak pidana tersebut di atas, yaitu hukum pidana Timor Leste.

Dirumuskan dalam Pasal 5 Decree-Law No. 13 Tahun 2005 tentang: Hukum Acara Pidana (the Criminal Procedure

8Tidak ada misalnya, Undang-Undang yang mengatur tentang tindak

pidana penyadapan atau illegal access misalnya dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan telekomunikasi yang berlaku di Timor Leste ketika insiden yang diduga merupakan tindak pidana dengan menggunakan sarana teknologi informasi dan telekomunikasi itu terjadi; bahkan hingga Proposal Penelitian ini disusun Undang-Undang tersebut belum ada.

(9)

Code), khusus yang mengandung pengaturan mengenai “territorial application of the law, bahwa: 1. the criminal procedure law applies throughout the territory of Timor-Leste. 2. the criminal procedure law also applies in a foreign territory, under the terms defined in international law treaties, conventions, and rules”.

Tetapi yang menarik dan oleh sebab itu relevan dikemukakan di sini sebagai suatu latar belakang yuridis permasalahan penelitian ini, yaitu bahwa penyelesaian atas insiden yang diduga merupakan tindak pidana itu justru diselesaikan menggunakan jurisdiksi International Court of Justice (ICJ). Untuk itu suatu penelitian perlu dilakukan dalam rangka menggambarkan dan memahami lebih jauh bagaimana penyelesaian perkara pidana, dalam hal ini perkara pidana penyadapan yang dilakukan di wilayah berdaulat Timor Leste oleh unsur asing. Secara teoritis peelitian ini juga diharapkan dapat melukiskan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional.

Hal lain yang menarik, sekalipun penyelesaian terhadap permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas telah dicoba

(10)

diselesaikan dengan menggunakan jurisdiksi International Court of Justice (ICJ) atau Mahkamah Internasional, namun hasil dalam hal ini, sesuai dengan dasar hukum yang sudah diatur dalam Perjanjian Internasional sebagaimana dikemukakan di atas, yaitu Internasional Treaty antara the Government of Australia and the Government of the Democratic Republic of Timor-Leste on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea, dalam hal ini, yaitu penyelesaian melalui Arbitrase Internasional yang berlangsung di Den Haag. Hasil dari penyelesaian terhadap insiden yang sejak semula sudah diduga merupakan suatu tindak pidana tersebut, juga diikutkan dalam Arbitrase Internasional yang diajukan pihak Pemerintah Timor Leste. Sembari menunggu Putusan Arbitrase Internasional dimaksud, terbukti, sekalipun tidak melalui suatu Persidangan yang tuntas, di Mahkamah Internasional telah diterima kesan bahwa Pemerintah Australia yang sudah mengikatkan diri dalam Perjanjian Internasional dengan Timor-Leste seperti telah dikemukakan di atas sebagai pihak di satu sisi, terkesan terbukti melakukan apa yang disebut sebagai penyadapan. Hal yang menyebabkan topik ini diangkat dalam penelitian Tesis ini adalah, merupakan suatu hal yang menarik untuk dikaji

(11)

dalam suatu penelitian ilmiah, kenyataan bahwa suatu Perjanjian Internasional, justru dapat menjadi rujukan untuk mencari penyelesaian atas suatu perkara dugaan tindak pidana yang terjadi di Timor Leste. Namun belakangan, rujukan itu tidak digunakan tetapi menggunakan Mahkamah Internasional (Mahkamah) sebagai model penyelesaian non-penal9 yang demikian itu merupakan fenomena yuridis dalam bidang hukum pidana yang relevan untuk dipelajari. Oleh sebab itu, Proposal penelitian Tesis ini diberi judul: JURISDIKSI INTERNATIONAL COURT OF JUSTICE DALAM PERKARA PENYADAPAN DI TIMOR LESTE YANG MELIBATKAN UNSUR ASING.

1.2. Rumusan Masalah

Memperhatikan latar belakang masalah sebagaimana dikemukakan di atas tersebut, maka berikut di bawah ini penulis dapat merumuskan rumusan permasalahan penelitian ini sebagai berikut, yaitu:

9 Dikemukakan dalam Bab III bahwa akhir dari Penyelesaian yang

berlangsung di ICJ atau Mahkamah nternasional dimaksud adalah perdamaian antara kedua belah pihak.

(12)

1. Bagaimana pengaturan hukum pidana di Timor Leste dalam menyelesaikan perkara dugaan tindak pidana penyadapan yang dilakukan unsur asing di dalam jurisdiksi Timor Leste? 2. Bagaimana penyelesaian perkara dugaan tindak pidana penyadapan dalam perspektif hukum pidana internasional dan penggunaan jurisdiksi International Court of Justice dalam menyelesaikan perkara tersebut?

1.3. Tujuan Penelitian

Menjawab rumusan permasalahan sebagaimana dikemukakan di atas, penelitian ini bertujuan:

1. Menggambarkan dan menemukan situasi pengaturan hukum pidana di Timor Leste dalam menyelesaikan perkara dugaan tindak pidana penyadapan yang dilakukan unsur asing di dalam jurisdiksi Timor Leste?

2. Menggambaran dan menganalisis penyelesaian perkara penyadapan menurut hukum pidana internasional dan penggunaan the International Court of Justice dalam menyelesaikan perkara dugaan tindak pidana penyadapan yang dilakukan unsur asing di dalam Jurisdiksi Timor Leste?

1.4. Manfaat Penelitian

Umumnya manfaat yang seharusnya dapat dicapai dengan diadakannya suatu penelitian ilmiah dalam bidang hukum, khususnya dalam bidang hukum pidana seperti ini, yaitu:

(13)

1. Secara praktis, dapat memberikan gambaran dan masukan kepada pihak-pihak yang berwenang, khususnya pihak Pemerintah Timor Leste dan juga para penegak hukum di Timor Leste mengenai keberadaan hukum pidana di Timor Leste dalam menyelesaikan suatu perkara yang terjadi karena adanya dugaan tindak pidana penyadapan yang dilakukan unsur asing di Timor Leste;

2. Secara teoritis, diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan kontribusi berupa suatu pemikiran dalam hukum pidana, bahwa sarana penyelesaian dengan menggunakan Arbitrase Internasional dapat dipergunakan sebagai alternatif penyelesaian sengekta yang efektif, bahkan dapat membantu hukum pidana konvensional untuk menyelesaikan perkara dugaan tindak pidana yang dilakukan unsur asing di dalam suatu negara berdaulat.

1.5. Kerangka Teori

Perspektif yang dapat dikemukakan di sini sebagai suatu kerangka berpikir atau kerangka teori dalam memahami persoalan digunakannya jurisdiksi the International Court of Justice (ICJ) untuk mengadili perkara dugaan tindak pidana yang dilakukan pihak Australia di dalam wilayah Timor Leste dan tidak menggunakan jurisdiksi Timor Leste sendiri adalah sebagai berikut.

(14)

Sudah menjadi suatu perspektif atau kerangka berpikir yang umum, bahwa pada sidang ketiga tahun 1948, Majelis Umum PBB telah menerima resolusi yang berisi pernyataan sebagai berikut: “In the course of development of the international community, there will be an increasing need of an international judicial organ for the trial of certain crimes under international law”. (Artinya: Dalam rentang perkembangan masyarakat internasional, akan merupakan suatu kebutuhan yang terus meningkat supaya ada suatu organ kehakiman internasional untuk mengadili berbagai tindak pidana menurut hukum internasional).

Meskipun dalam resolusi sebagaimana dikemukakan di atas tidak disebutkan secara eksplisit pengakuan terhadap hukum

pidana interasional, namun tersirat di dalamnya relevansi dan arti

penting dari suatu peradilan pidana internasional, instrumen penting untuk mewujudkan hukum pidana internasional itu dalam kehidupan nyata. Menyusul resolusi itu, ada permintaan perhatian kepada suatu Panitia, yang disebut sebagai Panitia Hukum Internasional mengenai kemungkinan pembentukan Sidang Majelis Pidana di dalam Pengadilan Internasional atau apa yang

(15)

sudah dikemukakan di dalam Latar Belakang Penelitian ini, yaitu International Court of Justice.

International Court of Justice dengan demikian dapat dikatakan sudah dapat diterima sebagai badan yang sangat penting peranannya dalam pembaharuan hukum internasional. Lembaga ini mengemban fungsi, yaitu:

1) Fungsi semula, yakni menjelaskan hukum yang berlaku, mendefinisikan serta menegakkannya;

2) memodifikasi, sesuai dengan kondisi-kondisi hubungan internasional ketentuan-ketentuan yang sekalipun masih berlaku tetapi sudah ketinggalan jaman;

3) menciptakan dan merumuskan aturan-aturan baru, baik bagi persoalan lama yang tidak ada pengaturan hukumnya maupun bagi permasalahan-permasalahan baru.10

Dalam suatu karya yang klasik, Schwarzenberger menulis, The Problem of an International Criminal Law11” dikemukakan

bahwa:

“Sesungguhnya tidaklah ada alasan yang tersembunyi atau diam-diam mengapa hukum internasional

10Hata, Hukum Internasional: Sejarah dan Perkembagnan Hingga

Pasca Perang Dingin, Cetakan Ketiga, Setara Press, Bandung, 2015, hlm., 3.

11Georg Schwarzenberger, The Problem of an International Criminal

(16)

seharusnya atau tidak seharusnya mengakui keberadaan kejahatan-kejahatan internasional. Apabila berdasarkan hukum kebiasaan internasional atau perjanjian internasional, negara dipandang membatasi kemerdekaannya dengan mengakui eksistensi tindakan-tindakan negara itu sendiri atau perorangan yang oleh negara lain dianggap sebagai kejahatan internasional, maka tindakan ini dianggap sejalan dengan kedaulatan negara tersebut dan ini hanya dapat dilakukan dalam batas-batas yang telah ditetapkan oleh hukum internasional. Dengan demikian, kharakter kelompok dan subyek hukum internasional tidak secara tegas menentang adanya hukum pidana internasional”.

Selain apa yang dikemukakan di atas, penting pula dikemukakan dalam Bab I sub-bagian ini suatu perspektif tentang hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional. Perspektif ini diharapkan digunakan sebagai pisau analisis di Bab III untuk membedah persoalan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional, dalam hal ini hukum pidana nasional dengan hukum pidana internasional dalam kaitannya dengan persoalan yang diselesaikan di Mahkamah Internasional antara Timor Leste dan Australia.

Literatur yang berisi penjelasan teoritis mengenai hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional pada umumnya mengandung deskripsi tentang teori dalam hukum internasional mengenai perkembangan dua pandangan tentang

(17)

hukum internasional. Pandangan yang pertama disebut dengan pandangan voluntarisme. Pandangan yang pertama ini mendasarkan pada berlakunya hukum internasional karena ada tidaknya kemaua negara (gemeinwille),12 bersifat subyektivis. Sedangkan pandangan kedua adalah pandangan obyektivis yang menganggap ada dan berlakunya hukum internasional, termasuk hukum pidana internasional yang menjadi fokus perhatian dari Tesis ini, lepas dari kemauan negara.13

Sudah dapat dipastikan bahwa pandangan yang berbeda sebagaimana dikemukakan di atas membawa akibat yang berbeda pula. Dari sudut pandang atau perspektif yang pertama mengakibatkan adanya pola hubungan hukum internasional dan hukum nasional sebagai dua satuan peragkat aau sistem hukum yang hidup berdampingan dan terpisah satu dengan yang lainnya. Sedangkan dalam perspektif yang kedua, menganggap eksistensi kedua perangkat hukum itu sebagai dua bagian dari satu kesatuan sistemik dari hukum. Untuk mudahnya, pandangan yang pertama

12 Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Bina

Cipta, Bandung, 1989, hlm., 40.

(18)

disebut dengan pandangan dualisme; sedangkan perspektif yang kedua disebut dengan perspektif monisme.

Banyak kritik yang dilancarkan kepada pandanagan dualisme. Antara lain dikemukakan bahwa pandangan adanya atau eksistensi hukum yang semata-mata mendasarkan kepada kemauan subyek hukum, dalam hal ini negara adalah pandangan yang tidak realistis. Hukum itu ada, dalam kenyataanya tanpa kemauan siapa pun. Selain itu, kritik lainnya yang penting untuk diangkat dan dikemukakan di sini, yaitu bahwa pemisahan yang ekstrim antara dua perangkat hukum sebagaimana dianut dalam pandangan dualisme kurang realistis. Dalam kenyataannya, asas dalam hukum nasional tidak dapat dipisahkan dengan asas-asas yang berlaku dalam hukum internasional.

Sementara itu, dalam paham monisme, yang cukup realistis menganjurkan satu sistem hukum yang universal, di dalamnya ada hukum nasional dan hukum internasional. Hanya saja, pandangan monisme telah melahirkan beberapa paham. Paham yang pertama, yaitu paham monisme dengan primat hukum nasional. Paham ini menerangkan hubungan antara hukum nasional dan hukum internasional karena keutamaan dari satu perangkat. Dalam

(19)

monisme dengan primat hukum nasional, hukum nasionallah yang didahulukan.

Hanya saja, kelemahan dari paham monisme dengan primat hukum nasional itu, yaitu bahwa tidak ada suatu organisasi di atas negara-negara yang dapat mngatur kehidupan negara-negara di dunia. Dasar hukum berlakunya hukum internasional bergantung kepada kemauan negara, seperti yang dianut dalam aliran dualisme di atas. Hukum nasional itu tinggi kedudukannya dibanding dengan hukum internasional karena keberlakuan hukum internasional itu tergantung kepada consent yang diberikan sepihak oleh suatu negara berdaulat atau perjanjian atau kontrak.

Selanjutnya dalam paham monisme yang kedua, yaitu paham monisme dengan primat hukum internasional. Menurut paham yang kedua dalam paham monisme ini, hukum nasional itu derivatif sifatnya; hukum nasional bersumber dari hukum internasional. Ada hierarki yang terbalik jika dibandingkan dengan monisme dengan primat hukum nasional. Kekuaaan mengikat dari hukum internasional adalah delegatif sifatnya. Paham ini, yaitu monisme dengan primat hukum internasional belakangan ini kurang begitu disenangi di Inggris misalnya yang

(20)

memperjuangkan kebijakan the British Exit (Brexit). Bagi Inggris, kekuatan kemauan negara itu terletak pada Demokrasi, yaitu kemauan rakyat atau kedaulatan rakyat.

1.6. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh peneliti untuk menjawab rumusan masalah ini yaitu dengan penelitian hukum normatif, menemukan kaidah dan asas hukum yang mengatur mengenai penyelesaian dugaan perkara pidana di International Court of Justice (ICJ),14 atau yang di atas telah digunakan istilah Mahkamah Internasional atau Mahkamah saja.

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kasus (case approach). Dimaksudkan dengan case approach adalah menemukan kaidah dan asas-asas hukum yang mengatur mengenai penyelesaian perkara pidana di International Court of Justice.

Bahan hukum yang diamati adalah bahan-bahan hukum primer, dalam hal ini, terutama Perjanjian Internasional (Treaty) antara the Government of Australia and the Government of the

14 Husein Umar, Metode Penelitian untuk Skripsi dan Tesis Bisnis,

RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 41. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana, Jakarta, 2005, hlm., 133.

(21)

Democratic Republic of Timor-Leste on Certain Maritime Arrangements in the Timor Sea. Begitu pula, menjadi satuan amatan adalah: Verbatim Record dari International Court of Justice, The Hague, Year 2014, Public sitting, held on Monday 20 January 2014, at 10 a.m., at the Peace Palace, President Tomka presiding, in the case concerning Questions relating to the Seizure and Detention of Certain Documents and Data (Timor-Leste vs. Australia). Diamati pula berbagai bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan hukum yang membahas mengenai jurisdiksi the International Court of Justice megnadili perkara-perkara menurut hukum pidana internasional.

Analisis menggunakan analisis deskriptif normatif. Bahan-bahan yang dikumpulkan dikategorisasikan dan kemudian disistematisasi sebagai suatu sistem non-penal dalam menyelesaikan perkara dugaan adanya tindak pidana melalui arbitrase internasional.

Referensi

Dokumen terkait

Prosedur pembuatan menimbang bahan-bahan alternative yang digunakan sebagai bahan penyalut dilarutkan dalam air Minyak ikan sebanyak 25 % dari berat bahan penyalut

Dapat dilihat dari fisik rumah yang masih berdiri kokoh dengan lantai yang sudah di semen, penerangan rumah sudah dari listrik, adanya pasilitas tempat buang air besar pada setiap

Lampiran 4.Data Pengamatan Parameter Rataan N total tanah pada perlakuan TKKS dan jumlah lubang biopori.. Perlakuan Blok Total

[r]

Nama yang diusulkan menjadi kandidat ketua PWM Jatim, kata dia, harus pernah menjadi pengurus PWM, pengurus daerah, pengurus organisasi otonom atau pengurus majelis minimal

Sebuah elektron memiliki massa diam m o bergerak dengan kecepatan 0,6c, maka energi kinetiknya adalah ..... Radioisotop yang berfungsi khusus dalam bidang antropologi

Adapun hasil yang diperoleh yaitu (1) pada aspek kognitif Ho ditolak dan Ha diterima, sehingga metode pembelajaran pair check memberikan pengaruh terhadap hasil

Dari hasil dari wawancara kepada user untuk Gambar 4.2 user menyatakan bahwa tampilan aplikasi terlalu kecil, materi yang seharusnya masuk ke menu materi sudah mulai