• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING"

Copied!
32
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN

PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

OLEH

NAFTALIA FIRSTIANI ZEFANYA 802014208

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(2)
(3)
(4)

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Naftalia Firstiani Zefanya

Nim : 802014208

Program Studi : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi mengembangkan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada UKSW hal bebas royalty non-eksklusif ( non-exclusive royalty freeright ) atas karya ilmiah saya berjudul:

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

Dengan hak bebas royalty non-exclusive ini, UKSW berhak menyimpan mengalih media/mengalih formatkan, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat dan mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencamtumkan nama saya sebagai penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di : Salatiga Pada Tanggal : 2 Mei 2018

Yang menyatakan ,

Naftalia Firstiani Zefanya

Mengetahui, Pembimbing

(5)

PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Yang bertanda tangan dibawah ini :

Nama : Naftalia Firstiani Zefanya

Nim : 802014208

Program : Psikologi

Fakultas : Psikologi, Universitas Kristen Satya Wacana Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir, judul :

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

Yang dibimbing oleh :

Krismi Diah Ambarwati, M.Psi. Adalah benar-benar hasil karya saya.

Didalam laporan tugas akhir ini tidak terdapat keseluruhan atau sebagian tulisan atau gagasan orang lain yang saya ambil dengan cara menyalin atau meniru dalam bentuk rangkaian kalimat atau gambar serta symbol yang saya akui seolah-olah sebagai karya saya sendiri tanpa memberikan pengakuan kepada penulis atau sumber aslinya.

Salatiga, 2 Mei 2018

Yang memberi pernyataan,

(6)

LEMBAR PENGESAHAN

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

Oleh

Naftalia Firstiani Zefanya 802014208

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Persyaratan Untuk Mencapai Gelar Sarjana Psikologi

Disetujui pada tanggal : 8 Mei 2018 Oleh :

Pembimbing

Krismi Diah Ambarwati, M.Psi.

Diketahui Oleh, Disahkan oleh, Kaprogdi Dekan

Ratriana Y.E. Kusumiati, M.Si., Psi. Berta Esti Ari Prasetya, S.Psi., MA.

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA

(7)

HUBUNGAN ANTARA KECERDASAN EMOSI DENGAN

PEMAAFAN PADA SISWA KORBAN BULLYING

Naftalia Firstiani Zefanya Krismi Diah Ambarwati

Program Studi Psikologi

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

(8)

i

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban bullying. Subjek penelitian ini berjumlah 40 siswa di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga yang terdeteksi sebagai korban

bullying dengan menggunakan The Peer Relations Questionnaire (PRQ) yang disusun oleh Rigby dan Slee (1993). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kuantitatif. Metode pengumpulan data menggunakan dua skala yaitu skala Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) yang disusun oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006) dan diadaptasi oleh Anna (2015). Skala kecerdasan emosi yang dikembangkan oleh Lidia (2015) berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2001). Berdasarkan hasil penelitian diperoleh nilai koofisien korelasi kecerdasan emosi dan pemaafan sebesar 0,838; (p) = 0,000 (p<0,05). Hasil analisis menunjukkan terdapat hubungan positif yang siginifikan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban bullying yang artinya semakin tinggi kecerdasan emosi pada siswa maka semakin tinggi pemaafan pada siswa.

(9)

ii

Abstract

This study was aimed to determine the relationship between emotional intelligence and forgiveness of student’s being bullied. The subjects in this study cosisted 40 students at SMP Kristen Satya Wacana Salatiga who was detected as a victim of bullying by using The Peer Relations Questionnaire (PRQ) developed by Rigby and Slee (1993). A quantitave methods was used in this study. The methods of data collection was done by using two questionnaire; Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18) developed by McCullough, Root, and Cohen (2006) and adapted by Anna (2015). Emotional intelligence scale which is arranged by Lidia (2015) based on aspects proposed by Goleman (2001). Based on the results obtained the value of emotional intelligence and forgiveness of 0,838; (p) = 0,000 (p<0,05). The analysis showed that there is a significant positive relationship between emotional intelligence and forgiveness on student’s being bullied, It is means that the higher of the emotional intelligence, then the fogiveness on student’s being bullied.

(10)

1

PENDAHULUAN

Bullying merupakan fenomena yang sering terjadi dalam ranah pendidikan. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sejiwa (2008) menyatakan tidak ada satupun sekolah di Indonesia yang bebas dari bullying. Menurut Rigby (2007) bullying

tidak bisa ditoleransi karena hal tersebut merupakan penindasan yang kejam dan berulang oleh seseorang yang berkuasa atas orang yang tidak berdaya, tanpa pembenaran sama sekali. Rigby (2007) menjelaskan pada generasi anak-anak yang tak terhitung jumlahnya yang telah menggoda, melecehkan, menindas satu sama lain, terkadang bullying terjadi dalam suasana kegembiraan, atau sifatnya dengan sungguh-sungguh, untuk hiburan, menakutkan atau adanya ketidakpedulian orang lain.

Nansel et al., (2001) menyatakan kasus bullying di lingkungan sekolah mengalami peningkatan selama masa-masa sekolah menengah. Brinthaupt & Lipka (2003) berpendapat bahwa remaja identik dengan berbagai masalah dikarenakan perubahan dari sisi fisik, kognitif, serta sosio-emosional sehingga individu mengalami transisi, tantangan, serta potensi. Menurut Pellegrini & Long (2002) masa remaja awal juga merupakan masa yang kritis dimana remaja mulai mencari peran sosial baru serta status dalam kelompok sebaya, hal tersebut dapat memotivasi perilaku agresif, terutama pada siswa yang naik dari sekolah dasar ke sekolah menengah.

Jenis perilaku bullying dibagi menjadi beberapa bentuk. Perbedaan paling mendasar adalah antara bentuk fisik dan psikologis. Ribgy (2007) menjelaskan jenis perilaku bullying terdiri atas perilaku fisik dan non-fisik yang dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Perilaku bullying fisik secara langsung

(11)

2

dapat berupa tindakan memukul, menendang, atau melempari suatu barang kepada korban dan secara tidak langsung yaitu dengan membuat orang lain menyerang seseorang. Kemudian perilaku bullying non-fisik dibagi menjadi dua jenis yaitu secara verbal dan non-verbal. Pertama, bullying verbal secara langsung dilakukan dengan penghinaan ataupun membuat nama panggilan kepada korban dan

bullying verbal tidak langsung dilakukan dengan membujuk orang lain untuk menghina seseorang ataupun menyebarkan cerita yang salah tentang seseorang. Kedua, bullying non-verbal secara langsung biasanya dilakukan dengan melakukan gerakan yang mengancam ataupun melecehkan. Untuk bullying non-verbal secara tidak langsung dilakukan dengan berulang kali menyembunyikan barang-barang milik orang lain dan eksklusivitas yang disengaja dari suatu kelompok atau kegiatan.

Berkaitan dengan fenomena bullying peneliti melakukan wawancara dengan salah satu guru Bimbingan dan Konseling di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Beliau mengatakan bahwa bullying menjadi salah satu hal yang tidak asing di dunia pendidikan dan hal itu juga terjadi di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Bentuk bullying yang biasanya sering terjadi yaitu saling mengejek antar satu sama lain ataupun adanya pengabaian dari teman-teman sebaya kepada siswa korban bullying.

Tindakan bullying memberikan dampak kepada korban bullying secara emosional, perilaku, dan pendidikan. Bond, Carlin, Thomas, Rubin, & Patton (2001) menemukan bahwa menjadi sasaran bullying memiliki dampak negatif pada kesejahteraan sosial dan emosional, prestasi akademik dan kesuksesan di kemudian hari. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sharp dan Sania (dalam

(12)

3

Kularni dan Patki, 2016) menunjukkan bahwa bullying sangat menekan, terutama intimidasi verbal tidak langsung. 44% siswa sekolah hanya merasa kesal karena

bullying, sedangkan sekitar sepertiga siswa sekolah terus merasa panik dan gugup di sekolah, mengalami kenangan berulang tentang kejadian tersebut, dan melaporkan gangguan konsentrasi di sekolah. Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 siswa SMP Kristen Satya Wacana Salatiga yang menjadi korban

bullying, beberapa diantara mereka menjadi tidak percaya diri jika bertemu dengan teman-teman ataupun dengan kakak kelasnya. Ada juga yang menjadi lebih tertutup ataupun pendiam di kelas.

Oleh karena itu dibutuhkan cara yang efektif untuk menanggulangi dampak negatif dari bullying. Menurut Egan dan Todorov (2009) pemaafan memiliki peran penting dalam membantu mengatasi psikologis siswa mengenai bullying. Jika siswa sekolah meningkatkan pemaafan dalam menanggapi bullying, mereka mungkin memiliki kesehatan fisik dan psikologis yang baik dan dilindungi dari beberapa efek tidak memaafkan. Menurut McCullough, Rachal, Sandage, Wortington, Brown dan Hight (1998) pemaafan dapat dijadikan seperangkat motivasi untuk mengubah seseorang untuk tidak membalas dendam dan meredakan dorongan untuk memelihara kebencian terhadap pihak yang menyakiti serta meningkatkan dorongan untuk konsiliasi hubungan dengan pihak yang menyakiti.

McCullough (dalam Damayanti dan Sandjaya, 2012) menjelaskan ada tiga bagian yang menjadi aspek dari pemaafan yaitu avoidance motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations. Avoidance motivations merefleksikan kecenderungan seseorang untuk menghindari pelaku pelanggaran. Bentuk

(13)

4

menghindar ini dilakukan dengan cara yang berbeda-beda, antara lain tidak mau melakukan kontak personal maupun psikologis dengan pelaku, tidak mau berdekatan dengan pelaku, mengabaikan keberadaan pelaku, tidak mau menunjukkan keramahan terhadap pelaku dan yang lebih ekstrim yaitu memutuskan hubungan yang selama ini terjalin dengan pelaku. Revenge motivations merefleksikan kecenderungan seseorang melakukan balas dendam agar pelaku merasa sakit seperti apa yang dirasakan korban. Benevolence motivations merefleksikan motivasi berdamai yang ditandai dengan dorongan untuk berbuat baik terhadap pelaku sehingga revenge motivations dan avoidance motivations menjadi rendah.

Hasil penelitian Lazarus (dalam Egan dan Todorov, 2009) menunjukkan strategi untuk menanggulangi masalah dengan menggunakan emosi seperti pemaafan lebih unggul dibandingkan dengan tindakan langsung seperti balas dendam. Egan dan Todorov (2009) mengatakan bahwa proses pemaafan berakar dari dalam diri individu dan tidak membutuhkan orang lain sehingga korban dapat mengatur emosi dalam diriya. Untuk dapat mengatur dan mengenali emosi, maka individu tersebut membutuhkan kecerdasan emosi dalam dirinya. Worthington dan Wade (1999) mengemukakan kecerdasan emosi merupakan salah satu faktor dari pemaafan. Selain kecerdasan emosi, ada enam faktor lainnya yang juga mempengaruhi pemafaan yaitu empati, narsisme, keangkuhan, rasa bersalah dan malu, komitmen agama, dan big five personality.

Goleman (2001) mendefinisikan kecerdasan emosi sebagai kemampuan mengenali perasan diri sendiri dan perasaan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan

(14)

5

dalam hubungan dengan orang lain. Goleman (2001) menjelaskan kecakapan pribadi dan keterampilan sosial mendukung seseorang untuk memiliki kecerdasan emosi. Kecakapan pribadi menentukan bagaimana kita mengelola diri sendiri dimana kecakapan ini membutuhkan aspek kesadaran diri, pengaturan diri, dan motivasi. Kemudian aspek empati dan keterampilan sosial dibutuhkan dalam kecakapan sosial yang menentukan bagaimana kita menangani suatu hubungan.

Menurut Schutte et al., (2001) kecerdasan emosi yang lebih tinggi dapat memfasilitasi self monitoring. Lennox dan Wolfe (dalam Schutte et al., 2001) menjelaskan self monitoring adalah kemampuan untuk memahami emosi dan perilaku orang lain, memahami konteks lingkungan, dan memodifikasi presentasi diri (self presentation) sebagai tanggapan terhadap pemahaman semacam itu.

Mengingat pentingnya peran emosi dalam pemaafan, Hodgson dan Wertheim (2007) mengatakan kemampuan umum untuk mengelola emosi berperan penting dalam terciptanya pemaafan. Mayer, Salovey, dan Caruso (dalam Hogdson dan Wertheim, 2007) berpendapat kemampuan mengelola emosi seseorang merupakan komponen tertinggi dari apa yang disebut kecerdasan emosi yang melibatkan kemampuan untuk mengenali, mengasimilasi, memahami, dan mengatur emosi. Mereka yang dapat mengelola emosinya terampil dalam memperhatikan pengalaman emosional mereka yang menyebabkan kejelasan tentang emosi mana yang sedang mereka alami. Akhirnya orang tersebut mampu mengatur dan mengatasi emosi mereka, bukan merasa terbebani. Kesadaran akan emosi seseorang dianggap sebagai dasar untuk mengatur atau memperbaiki emosi seseorang yang memungkinkan pemaafanterwujud.

(15)

6

Menurut Worthington dan Wade (1999) seseorang dengan kecerdasan emosi yang tinggi memiliki berbagai strategi untuk menyelesaikan dilema antara tidak memaafkan atau memaafkan dan strategi tersebut ikut berperan ketika orang tersebut menjadi korban dari transgressor atau seorang transgressor. Transgresi adalah tindakan yang salah atau secara moral menyerang atau menimbulkan rasa sakit atau kerugian secara fisik maupun psikologis pada korban sedangkan

transgressor adalah orang yang melakukan transgresi tersebut. Orang dengan kecerdasan emosi yang tinggi dapat membedakan situasi interpersonal dan mengendalikan perilaku mereka untuk melakukan interaksi sosial yang positif. Siswa korban bullying yang bisa membedakan situasi interpersonal akan mampu berpikir dengan berbagai perspektif dan hal ini tentunya akan membantu para korban untuk menyikapi kejadian yang ia alami dan juga menilai dengan objektif sebuah peristiwa.

Worthington dan Wade (1999) menjelaskan pemaafan merupakan hasil dari peristiwa disonansi emosi. Disonansi emosi memfasilitasi munculnya pemaafan setelah individu mengalami peristiwa tidak memaafkan. Disonansi emosi terjadi ketika korban dan transgresor memperoleh kembali valensi hubungan yang positif sehingga korban mengalami emosi positif seperti simpati, empati, rasa kasihan, kerendahan hati, menyukai, humor, dan mencintai. Emosi-emosi positif ini terjadi ketika trangresor meminta maaf dengan tulus atau munculnya variabel-variabel lain yang mempengaruhi seperti komitmen agama, kecerdasan emosi, atau keinginan berkorban demi hubungan. Emosi-emosi yang bertolak belakang dengan tidak memaafkan ini menyebabkan korban merasa adanya ketidaknyamanan emosional sehingga korban akan berusaha menyeimbangkan

(16)

7

emosinya. Disonansi emosi dapat diatasi dengan kembali ke tidak memaafkan atau menuju ke pemaafan. Dengan demikian, Worthington dan Wade (1999) menyimpulkan kemampuan seseorang untuk memaafkan akan sebagian dipengaruhi oleh kemampuannya untuk memahami dan dengan sukses menyelesaikan emosi-emosi yang saling bertentangan dimana hal ini merupakan inti dari konstruksi kecerdasan emosi. Saat siswa korban bullying mampu memahami dan mengelolah emosinya, maka akan membantu siswa untuk menentukan keputusan yang akan diambil apakah ia akan memaafkan atau tidak memaafkan pelaku bullying.

Berdasarkan hasil wawancara dengan 8 siswa korban bullying di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga, ada beberapa siswa yang memiliki motivasi dan cara pandang yang luas mengenai peristiwa bullying yang dialaminya. Justru peristiwa bullying membuat mereka mengintrospeksi diri dan percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya. Selain itu ada juga beberapa siswa yang dapat menentukan suasana yang tepat untuk menyampaikan perasaan atau menegur temannya dan memilih untuk menyelesaikan masalah dengan kepala dingin. Tetapi ada beberapa siswa juga yang mengatakan ketika ia marah, siswa tersebut lebih memilih untuk diam. Sampai pada saatnya ia tidak mampu menahan emosi, siswa tersebut akan membalas rasa sakit hati yang diterimanya kepada pelaku

bullying. Dari uraian hasil wawancara tersebut dapat dilihat bahwa kecerdasan emosi memiliki keterlibatan pada pemaafan yang dimiliki siswa korban bullying

di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Ketika siswa mampu memotivasi dirinya, mampu memahami dan mengelola emosinya, siswa menunjukkan rendahnya

(17)

8

keinginan untuk membalas atau menyakiti dan termotivasi bertingkah laku dengan cara yang lebih menguntungkan bagi pelaku bullying dan begitu juga sebaliknya.

Beberapa peneliti juga telah meneliti mengenai keterhubungan antara kecerdasan emosi dan pemaafan itu sendiri. Penelitian yang dilakukan oleh Lidia (2015) menunjukkan adanya hubungan signifikan antara kecerdasan emosi dengan sikap memaafkan pada kelas X dan XI SMA Muhammadiyah 2 Palembang. Penelitian lain menunjukkan tidak adanya hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan. Penelitian yang dilakukan oleh Mugrage (2014) menunjukkan tidak ada hubungan yang positif antara kecerdasan emosi dengan pemaafan.

Seseorang yang memiliki skor kecerdasaan emosi yang tinggi tidak memiliki skor pemaafan yang tinggi secara signifikan. Lowry (2016) juga memperluas landasan penelitian tentang hubungan antara kecerdasan emosi dan pemaafan dalam beberapa cara. Namun, dalam penelitiannya Lowry tidak menemukan adanya bukti hubungan korelasional antara kemampuan kecerdasan emosi dan pemaafan interpersonal.

Rey & Extremera (2014) berpendapat meskipun sejumlah besar bukti ada mengenai pengaruh kecerdasan emosi terhadap kriteria adaptasi sosial positif yang berbeda, sangat sedikit pekerjaan empiris yang telah meneliti hubungan eksplisit antara dimensi kecerdasan emosi dan kecenderungan untuk memaafkan orang lain. Berdasarkan pemaparan di atas yang melatar belakangi peneliti ingin melihat apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban bullying? Oleh karena itu, tujuan penelitian ini adalah untuk melihat apakah terdapat hubungan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban bullying.

(18)

9

Hipotesis

Berdasarkan teori yang ada, maka hipotesis yang peneliti ajukan adalah ada hubungan positif antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban

bullying. Semakin tinggi kecerdasan emosi maka semakin tinggi pemaafan pada siswa korban bullying dan sebaliknya.

METODE PENELITIAN A. Desain Penelitian

Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan desain penelitian korelasional. Variabel bebas (X) adalah kecerdasan emosi dan variabel terikat (Y) adalah pemaafan.

B. Definisi Operasional 1. Kecerdasan Emosi

Kecerdasan emosi adalah kemampuan yang dimiliki seseorang dalam mengenali, mengelola, dan mengendalikan emosi pada diri sendiri, memahami perasaan dan membina hubungan dengan orang lain, serta memiliki pandangan yang positif dalam menilai segala sesuatu yang terjadi dalam dirinya.

2. Pemaafan

Pemaafandiartikan sebagai dorongan motivasi berdamai kepada orang lain dengan menurunnya perilaku untuk membalas dendam, menghindar ataupun mengabaikan sehingga terciptanya rekonsiliasi antara korban dan transgresor.

(19)

10

C. Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini berjumlah 92 siswa dari kelas VII dan VIII SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Teknik pengambilan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Adapun karakteristik subjek dalam penelitian ini adalah siswa yang berusia 12-15 tahun dan tergolong sebagai korban bullying. Keseluruhan populasi diberikan The Peer Relations Questionnaire (PRQ) yang disusun oleh Rigby dan Slee (1993) untuk menentukan siswa mana yang tergolong sebagai korban bullying. Dari pengukuran ini, ditemukan 40 siswa yang tergolong sebagai korban bullying. Maka dari itu, sampel dari penelitian ini berjumlah 40 siswa.

D. Instrumen Pengumpulan Data

Instrumen pengumpulan data yang digunakan oleh peneliti yaitu dengan menggunakan skala psikologi. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan dua skala psikologi yaitu :

1. Pemaafan

Skala pemaafan yang digunakan dalam pengumpulan data menggunakan skala Transgression-Related Interpersonal Motivation Inventory (TRIM-18). Skala ini disusun oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006) dengan koofisien sebesar 0.85 berdasarkan tiga aspek yang dikemukakan oleh McCullough, Root, dan Cohen (2006) yaitu avoidance motivations, revenge motivations, dan benevolence motivations. Peneliti mengadaptasi skala model likert yang telah dibakukan oleh Anna (2015)

(20)

11

berjumlah 18 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,902. Berdasarkan hasil uji analisa item oleh peneliti, skala TRIM 18 memperoleh reliabilitas 0,902 dengan jumlah 18 aitem. Koofisien korelasi bergerak dari 0,330 hingga 0,700.

2. Kecerdasan Emosi

Pengukuran kecerdasaan emosi menggunakan skala model likert yang telah disusun oleh Lidia (2015) berdasarkan aspek yang dikemukakan oleh Goleman (2001) yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi diri, empati, dan ketrampilan sosial. Skala ini terdiri dari 35 aitem dengan reliabilitas sebesar 0,879. Berdasarkan hasil uji analisa item oleh peneliti, skala kecerdasan emosi memperoleh reliabilitas 0,927 dengan jumlah 34 aitem. Koofisien korelasi bergerak dari 0,343 hingga 0,652.

HASIL DAN PEMBAHASAN A. Analisa Deskriptif

Tabel 1. Kategorisasi Pemaafan

Kategori Interval Frekuensi % Mean SD

Sangat Tinggi 61,2 ≤ x ≤ 72 6 15%

Tinggi 50,4 ≤ x < 61,2 16 40% 50,7 8,81

Sedang 39,6 ≤ x < 50,4 13 33%

Rendah 28,8 ≤ x < 39,6 5 13%

Sangat Rendah 18 ≤ x < 28,8 0 0%

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki tingkat pemaafan dalam kategori tinggi 16 siswa (40%), kategori sedang 13 siswa

(21)

12

(33%), kategori sangat tinggi 6 siswa (15%) dan kategori rendah 5 siswa (13%).

Tabel 2. Kategorisasi Kecerdasan Emosi

Kategori Interval Frekuensi % Mean SD

Sangat Tinggi 115,6 ≤ x ≤ 136 2 5% 93,73 14,59 Tinggi 95,2 ≤ x < 115,6 10 25% Sedang 74,8 ≤ x < 95,2 24 60% Rendah 54,4 ≤ x < 74,8 4 10% Sangat Rendah 34 ≤ x < 54,4 0 0%

Tabel di atas menunjukkan bahwa mayoritas siswa memiliki tingkat kecerdasan emosi dalam kategori sedang 24 siswa (60%), kategori tinggi 10 siswa (25%), kategori sangat rendah 4 siswa (10%) dan kategori sangat tinggi 2 siswa (5%).

B. Uji Asumsi

1. Uji Normalitas

Hasil dari uji normalitas menggunakan teknik analisis One Sample Kolmogorov-Smirnov Test, diperoleh taraf signifikansi pada variabel kecerdasan emosi sebesar 0,706 (p>0,05) dan taraf signifikansi pada variabel pemaafan sebesar 0,773 (p>0,05). Hasil tersebut menunjukkan bahwa variabel kecerdasan emosi dan variabel pemaafan berdistribusi normal.

(22)

13

Tabel 3. Uji Asumsi

One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test

Pemaafan Kecerdasan Emosi

N 40 40

Normal Parametersa Mean 50.70 93.72

Std. Deviation 8.815 14.594 Most Extreme Differences Absolute .105 .111 Positive .049 .111 Negative -.105 -.101 Kolmogorov-Smirnov Z .662 .703

Asymp. Sig. (2-tailed) .773 .706

a. Test distribution is Normal.

2. Uji Linieritas

Hasil uji linieritas menunjukkan bahwa kedua variabel yaitu variabel kecerdasan emosi dan variabel pemaafan memiliki Fbeda sebesar 1,123 dengan signifikansi sebesar 0,422 (p>0,05). Dengan demikian variabel kecerdasan emosi dan variabel pemaafan memiliki hubungan yang linear.

Tabel 3. Uji Linieritas

ANOVA Table Sum of Squares Df Mean Square F Sig. Pemaafan * Kecerdasan Emosi Between Groups (Combined) 2722.483 25 108.899 4.951 .002 Linearity 2129.541 1 2129.541 96.824 .000 Deviation from Linearity 592.943 24 24.706 1.123 .422 Within Groups 307.917 14 21.994 Total 3030.400 39

(23)

14

C. Uji Korelasi

Berdasarkan hasil perhitungan uji korelasi dengan teknik Product Moment – Pearson diperoleh koefisien korelasi antara kecerdasan emosi dengan pemaafan sebesar 0,838 dengan signifikansi 0,000 (p<0,05) yang berarti bahwa terdapat hubungan positif yang signifikan antarakecerdasan emosi dengan pemaafan. Hasil pengujian dapat dilihat pada tabel berikut ini :

Tabel 3. Uji Korelasi

Correlations

Pemaafan Kecerdasan_Emosi

pemaafan Pearson Correlation 1 .838**

Sig. (1-tailed) .000

N 40 40

Kecerdasan Emosi Pearson Correlation .838** 1

Sig. (1-tailed) .000

N 40 40

**. Correlation is significant at the 0.01 level (1-tailed).

D. Pembahasan

Berdasarkan hasil pengujian terhadap hipotesis penelitian diperoleh hasil terdapat hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa korban bullying di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga, dengan demikian hipotesis diterima. Hasil uji hipotesis menunjukkan koofisien korelasi (r) = 0,838 dengan sig. = 0,000 (p < 0,05).

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan sebelumnya oleh Lidia (2015) yang menemukan adanya hubungan positif yang signifikan

(24)

15

antara kecerdasan emosi dengan pemaafan pada siswa. Semakin tinggi kecerdasan emosi yang dimiliki siswa maka akan semakin tinggi pula pemaafan yang dimiliki siswa. Begitu juga sebaliknya semakin rendah kecerdasan emosi yang dimiliki siswa, maka akan semakin rendah pula pemaafan yang dimiliki siswa.

Worthington dan Wade (1999) menjelaskan bahwa kecerdasan emosi dapat mempengaruhi pemaafan dalam diri seseorang. Seseorang yang memiliki kecerdasan emosi dapat memprediksi dampak-dampak dari tidak memaafkan dan menyelesaikan masalah yang berasal dari dalam dirinya atau lingkungannya. Kecerdasaan emosi mempengaruhi kemampuan seseorang untuk memahami dan dengan sukses menyelesaikan emosi-emosi yang saling bertentangan sehingga orang tersebut mampu untuk memaafkan. Sesuai dengan hasil penelitian ini, menemukan bahwa kecerdasan emosi yang dimiliki siswa korban bullying berdampak pada tinggi rendahnya pemaafan. Adapun hasil uji koefisien determinasi dengan rumus R= r2 x 100%, diketahui bahwa kecerdasan emosi memberikan andil sebesar 70,2% terhadap pemaafan sedangkan 29,8% dipengaruhi oleh faktor lainnya seperti empati, narsisme, keangkuhan, rasa bersalah dan malu, komitmen agama, dan big five personality.

Kecerdasan emosi yang dimiliki para korban bullying akan menjadi sumber kemampuan dalam menciptakan emosi yang positif. Menurut Erez dan Isen (2002) keadaan emosi positif membantu seseorang untuk menjadi lebih peka dalam penyelesaian masalah yang lebih fleksibel dan efektif, pengambilan keputusan dan mengevaluasi suatu peristiwa. Oleh karena itu,

(25)

16

emosi positif akan membantu siswa menjadi adaptif dan interaktif ketika berhubungan dengan permasalahan yang dihadapi. Dalam hal ini, emosi positif membantu siswa korban bullying untuk menghadapi dampak negatif yang mereka hadapi seperti rasa tertekan dan stres, memotivasi diri mereka dalam pencapaian prestasi akademik di sekolah, ataupun kenangan berulang tentang peristiwa bullying yang diterimanya. Adanya emosi positif sebagai komponen daripada kecerdasan emosi akan menimbulkan pemaafan pada siswa korban bullying. Pemaafan yang bersumber pada emosi positif ini akan membantu mereka melakukan coping yang lebih baik. Pemaafan pada siswa korban bullying membantu mereka mengurangi tindakan negatif seperti membalas dendam kepada pelaku. Sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Enright (dalam Ariyanti, 2017) mengelola emosi dengan cara yang positif seperti berperilaku yang baik, berempati ataupun rasa cinta dapat membantu menekan emosi negatif seperti kebencian, kemarahan penolakkan dan keinginan untuk membalas dendam sehingga individu menjadi mampu untuk memaafkan orang lain.

Seseorang dapat memiliki kecerdasan emosi yang baik salah satunya disebabkan adanya pengelolaan emosi yang baik pada individu tersebut. Ketika seseorang mampu mengelola emosinya dengan baik, maka orang tersebut akan mampu membangun relasi yang baik dengan orang lain disekitarnya. Menurut Lopes et al., (2011) kemampuan pengelolaan emosi dianggap penting untuk kemampuan interpersonal karena emosi melayani fungsi komunikatif dan sosial sehingga seseorang dapat membangun relasi yang baik dengan orang lain. Dengan adanya pengelolaan emosi yang baik,

(26)

17

siswa korban bullying akan dapat membangun relasi yang baik dengan lingkungan sekitarnya terutama dengan teman-teman sebayanya. Hurlock (2007) yang menjelaskan bahwa emosi memiliki peranan yang sangat penting dalam kesuksesan menjalin hubungan pertemanan dengan teman sebayanya. Anak yang memiliki emosional yang negatif maka akan mendapatkan penolakan dari teman sebayanya dan begitu juga sebaliknya. Dengan adanya pengelolaan emosi yang baik, siswa korban bullying akan memiliki emosi yang positif dalam pribadi mereka seperti adanya simpati, empati, cinta atau rasa kasihan sehingga para korban bullying akan lebih adaptif dalam menghadapi lingkungannya untuk membangun relasi pertemanan yang baik dengan teman-teman di lingkungan sekolah termasuk juga dalam hal ini memiliki sikap pemaafan. Seperti yang diungkapkan oleh Rey dan Extremera (2014) ketika seseorang memiliki kecerdasan emosi yang tinggi menunjukkan interaksi yang lebih positif dan lebih sedikit terjadinya konflik dengan teman-teman maka akan meningkatkan pemaafan.

Kecerdasan emosi yang dimiliki korban bullying dalam membangun relasi yang baik dengan teman sebaya dapat mewujudkan pemaafan dikarenakan adanya peran empati. Goleman (2001) menjelaskan empati yang merupakan salah satu aspek dari kecerdasan emosi membantu seseorang untuk dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain, memahami perspektif mereka, menumbuhkan rasa saling percaya dan menyelerasakan diri dengan bermacam-macam orang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan siswa korban bullying di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga, beberapa diantaranya mengatakan bahwa ketika teman-temannya mengejek

(27)

18

ataupun mengganggu, mereka merasa bahwa teman-temannya melakukan tindakan tersebut hanya sebagai bentuk candaan sehingga mereka memilih untuk melupakan dan memaafkan temannya. Dari hasil wawancara ini dapat dikaitkan bahwa adanya pemahaman persepektif orang lain pada siswa korban bullying. Mereka meyakini bahwa bullying yang diterimanya hanya sebagai unsur candaan bukan suatu hal yang serius ditujukan untuk mereka dari teman-teman sehingga siswa korban bullying dapat memaafkan dan kembali membangun relasi yang baik dengan teman-temannya.

Dalam penelitian ini peneliti menemukan sebanyak 40% pemaafan siswa korban bullying di SMP Kristen Satya Wacana berada pada kategori tinggi. Hal tersebut menunjukkan bahwa siswa mampu untuk memenuhi aspek-apsek pemaafan yaitu menurunnya motivasi untuk membalas dendam atau mengabaikan pelaku bullying sehingga muncul keinginan untuk berdamai dengan pelaku. Egan dan Todorov (2009) menyatakan bahwa seseorang yang memiliki tingkat pemaafan yang tinggi dapat mengurangi rasa sakit akibat perilaku bullying yang diterimanya.

Untuk hasil persentase tingkat kecerdasan emosi menunjukkan sebanyak 60% siswa remaja korban bullying SMP Kristen Satya Wacana berada pada kategori sedang, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa tingkat kecerdasan emosi pada siswa remaja korban bullying SMP Kristen Satya Wacana cukup baik. Hasil persentase ini dapat dikaitkan dengan hasil penelitian yang dilakukan Lomas, Stough, Hansen dan Downey (2012) bahwa mengatur dan mengelola emosi serta penggunaan emosi dalam pengambilan keputusan dan kognisi akan mempengaruhi kecerdasan emosi siswa. Apabila skor mengatur

(28)

19

dan mengelola emosi serta penggunaan emosi dalam pengambilan keputusan dan kognisi semakin rendah, hal tersebut juga akan memberikan dampak kepada siswa lebih cenderung menjadi korban bullying.

KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa ada hubungan positif yang signifikan antara kecerdasan emosi dengan pemaafanpada siswa korban

bullying di SMP Kristen Satya Wacana Salatiga. Artinya semakin tinggi kecerdasan emosi makan semakin tinggi pemaafan pada siswa korban

bullying, sebaliknya jika kecerdasan emosi rendah maka pemaafan siswa korban bullying akan menurun.

B. Saran

Berdasarkan hasil penelitian diatas, maka peneliti dapat memberikan saran sebagai berikut :

1. Bagi Siswa

Siswa remaja SMP Kristen Satya Wacana Salatiga diharapkan meningkatkan kecerdasan emosinya dengan cara mengendalikan dan mengetahui apa yang sedang dirasakan dan pesan apa yang ingin disampaikan. Kemudian ketika mengalami suatu masalah, siswa dapat melepaskan emosi-emosi negatif yang dirasa dapat mengganggu aktivitas siswa. Siswa juga diharapkan dapat bergabung dalam kegiatan yang berkaitan dengan sosial ataupun organisasi di

(29)

20

sekolah baik kepanitian atau OSIS agar siswa dapat belajar memotivasi dirinya sendiri untuk berusaha mencapai keberhasilan di berbagai bidang. Bergabung dalam kegiatan-kegiatan di sekolah juga dapat melatih siswa untuk berkomunikasi dan bersosialisasi dengan teman-temannya. Dengan demikian ketika kecerdasan emosi meningkat diharapkan dapat terwujunya pemaafan dari setiap siswa.

Terwujudnya pemaafan menjadi strategi coping bagi siapapun, terlepas dari dia merupakan korban bullying atau tidak. Bagi siswa yang bukan korban bullying, pemaafan dapat digunakan apabila mereka menjadi korban bullying di kemudian hari atau untuk mengatasi rasa sakit yang disebabkan oleh pengalaman bullying di masa lampau.

2. Bagi Penelitian Selanjutnya

Peneliti selanjutnya diharapkan melakukan interview dengan subjek secara bertahap sebelum melakukan pengambilan data untuk memastikan bahwa subjek sesuai dengan karakteristik terkait dengan korban bullying yang sudah ditentukan sebelumnya. Hal ini penting dilakukan untuk mengurangi bias dalam penelitian.

Jika peneliti hendak meneliti variabel pemaafaan, peneliti juga dapat mengkaitkan faktor-faktor lain yang berhubungan dengan pemafaan seperti empati, narsisme, keangkuhan, rasa bersalah dan malu, komitmen agama, dan big five personality.

(30)

21

DAFTAR PUSTAKA

Anna, J.A. (2015). Hubungan antara empati dengan forgiveness pada mahasiswa Universitas “X” di kota Makassar yang pernah terlibat tawuran. Skripsi. Salatiga: Universitas Kristen Satya Wacana.

Ariyanti, S.L. (2017). Hubungan antara forgiveness dan kecerdasan emosi dengan psychological well-being pada mahasiswa. Skripsi. Surakarta: Universitas Muhammadiyah Surakarta.

Bond, L., Carlin, J. B., Thomas, L., Rubin, K., & Patton, G. (2001). Does bullying cause emotional problems? A prospective study of young teenagers.

British Medical Journal, 323,480–484.

Brinthaupt, T.M., & Lipka R.P. (2002). Understanding early adolescent self and identity. New York: State University of New York Press

Damayanti, R., & Sandjaja, S.S. (2012). Gambaran forgiveness pada remaja yang tinggal di panti asuhan. Jurnal NOETIC Psychology, 2(2), 108-125.

Egan, L.A., & Todorov, N. (2009). Forgiveness as a coping strategy to allow school students to deal with the effect of being bullied: Theoretical and empirical discussion. Journal of Social and Clinical Psychology, 28(2), 198-222.

Erez, A. & Isen, A.M. (2002). The influence of positive affect on the components of expectancy motivation. Journal of Applied Psychology, 87, 1055-1067. Hogdson, L.K., & Wertheim, E.H. (2007). Does good emotion management aid

forgiving? Multiple dimensions of empathy, emotion management and forgiveness of self and other. Journal of Social and Personal Relationships, 24(6), 931-949.

Hurlock, B. E. (2007). Psikologi perkembangan suatu pendekatan sepanjang rentang hidup. Jakarta: Erlangga.

Goleman, D. (2001). Kecerdasan emosional untuk mencapai puncak prestasi (Edisi ke 4). Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Kularni, N., & Patki, S. (2016). A study of emotional intelligence, experienced bullying and psychological well-being among secondary school students from boarding schools. The International Journal of Indian Psychology,

3(4), 12-27.

Lidia. (2015). Hubungan antara kecerdasan emosi dengan sikap memaafkan pada siswa SMA Muhammadiyah 2 Palembang. Skripsi. Palembang : Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah.

(31)

22

Lomas, J., Stough, C., Hansen, K., & Downey, L. A. (2012). Brief report: Emotional intelligence, victimisation and bullying in adolescents. Journal of Adolescence, 35, 207–211.

Lopes, P.N., Nezlek, J.B., Extremera, N., Hertel, J., Fernadez-Berrocal, P., Schutz, A., & Salovey, P. (2011). Emotional Regulation and the quality of social interaction: Does the ability to evaluate emotional situatins and identify effective responses matter?. Journal of Personality, 79, 429-467. Lowry, N. (2016). Examining the relationship between emotional intelligence and

interpersonal forgiveness among internet user. Dissertation. College of Social and Behavior. Walden University. Amerika Serikat.

McCullough, M.E., Rachal, K.C., Sandage, S.J., Wothington, E.L., Brown, S.W., & Hight, T.L. (1998). Interpersonal forgiving in close relationships: ii. Theoretical elaboration and measurement. Journal of Personality and Social Psychology, 75(6), 1586-1603.

Mugrage, M. (2014). The relationship between emotional intelligence and forgiveness. Dissertation. The Chicago School of Professional Psychology. Amerika Serikat.

Nansel, T.R., Overpeck, M., Pilla, R.S., Ruan, W.J., Morton, B.S., & Scheidt, P. (2001). Bullying behavior among US youth: Prevalence and association with psychosocial adjustment. JAMA, 285(16), 2094-2100.

Pellegrini, A.D., & Long, J.D. (2002). A longitudinal study of bullying, dominance, and victimization during the transition from primary school through scondary school. British Journal of Developmental Psychology,

20, 259-280.

Rey, L., & Extremera, N. (2014). Positive psychology charateristics and interpersonal forgiveness; Identifying the unique contribution of emotional intelligence abilities, big five traits, gratitude and optimism. Personality and Individual Differences, 68, 199-204.

Rigby, K. (2007). Bullying in Schools: and what to do about it. Australia: ACER Press.

Rigby, K. and Slee, P.T. (1993). The Peer Relations Questionnaire (PRQ) Adelaide: University of South Australia.

Schutte, N.S., Malouff, J.M., Bobik, C., Coston, T.D., Greeson, C., Jedlicka, C., Rhodes, E., & Wendorf, G. (2001). Emotional intelligence and interpersonal relations. The Journal of Social Psychology, 141(4), 523-536.

Sejiwa. (2008). Bullying: Mengatasi kekerasan di sekolah dan lingkungan sekitar anak. Jakarta: Grasindo.

(32)

23

Worthington, E.L., & Wade, N.G. (1999). The psychology of unforgiveness and forgiveness and implications for clinical practice. Journal of Social and Clinical Psychology, 18(4), 385-418.

Gambar

Tabel 1. Kategorisasi Pemaafan
Tabel 2. Kategorisasi Kecerdasan Emosi
Tabel 3. Uji Asumsi
Tabel 3. Uji Korelasi

Referensi

Dokumen terkait

Hal ini dapat dilihat dari hasil angket yang terdiri dari 2 sub variabel yakni intrinsik dan ekstrinsik dalam belajar dengan persentase untuk motivasi belajar sebesar 82,20%

Dari penelahaan tersebut dapat disimpulkan: (1) kebijakan rekapitalisasi telah membantu bank sehingga dapat beroperasi secara normal; (2) fungsi intermediasi perbankan

[r]

PENGARUH ARUS KAS BEBAS, COLLATERALIZABLE ASSETS, DAN KEBIJAKAN UTANG TERHADAP KEBIJAKAN DIVIDEN PADA PERUSAHAAN YANG TERDAFTAR DI JAKARTA ISLAMIC INDEX..

Pada penelitian sekarang variabel yang digunakan adalah kepercayaan, kemudahan, dan persepsi resiko terhadap penggunaan e-banking bank BRI di Surabaya, sedangkan

Di sisi lain, NPL dapat berpengaruh positif dan signifikan terhadap Kecukupan Modal karena terjadi peningkatan kredit bermasalah lebih kecil daripada peningkatan kredit yang

[r]

Bagian ini digunakan untuk menjelaskan evaluasi terkait pelaksanaan program kegiatan 2016/2017 dan tindak lanjut yang akan dilaksanakan. Program Kerja 2016/2017