• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analysis on Price Spread between Paddy and Rice, Market and Commodity Integration

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Analysis on Price Spread between Paddy and Rice, Market and Commodity Integration"

Copied!
169
0
0

Teks penuh

(1)

ANALISIS SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS, SERTA

INTEGRASI PASAR DAN KOMODITAS

DINA LIANITA SARI

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis yang berjudul Analisis Spread Harga Gabah dan Beras, serta Integrasi Pasar dan Komoditas adalah karya saya dengan arahan dari Komisi Pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Bogor, Juli 2010

(3)
(4)

DINA LIANITA SARI. Analysis on Price Spread between Paddy and Rice, Market and Commodity Integration. Under direction of HARIANTO and HERMANTO SIREGAR.

The stable and affordable rice price is one of the components that well contributed to the food security in Indonesia. One of the rice problems is related to its price spread, farmer as a rice producer want to get high rice price, and the other hand consumer want to get low rice price. Government intervention, especially Bulog, is needed how to help maintain a good price for consumer and producer. But, many parties had been expected that this role was decreased. It had been showed by the price spread that increased since 1998. The objectives of this paper are to analyze the price movement of paddy and rice in the farmer, wholesaler, and consumer level, as well as the type of price spread between paddy and rice in various islands and big cities in Indonesia; analyze the factors that influence the price spread between paddy and rice; and identify the rice market integration, both spatial and vertical analysis. The quantitative approaches, especially the vector error correction model, were used to answer those objectives. From the result, it can be concluded that paddy price in the farmer level is more volatile than rice price in the consumer and wholesaler level. Moreover, the rice price in the various islands and big cities in Indonesia when Bulog’s function as LPND is more volatile than the status as Perum. But, the other way, the national paddy price is more stable when Bulog’s status as Perum. It shows that rice policy stands up for the consumers and sellers than the producers or farmers. Price spread between paddy and rice was increasing from time to time, but the price fluctuation in the Perum period is better than LPND period. There is long run relationship between total of rice purchase, total of paddy purchase, Government Purchasing Price (HPP) for rice, Government Purchasing Price (HPP) for paddy, premium oil price, international price, exchange rate and price spread of paddy and rice. Result of market integration analysis shows that retail price in 12 big rice markets, as well as wholesale price in 4 big ports in Indonesia was not fully integrated. Besides that, vertical market integration of rice in Indonesia was founded, but with asymmetric price. Response of price change in the consumer level was transmitted to the farmer level imperfectly.

Keywords: rice, price spread, market integration, vector error correction model.

(5)

                       

(6)

Pasar dan Komoditas. Dibimbing oleh HARIANTO dan HERMANTO SIREGAR.

Di antara banyaknya masalah perberasan di Indonesia, salah satunya adalah masalah yang terkait dengan harga beras dan gabah. Ada trade-off di antara keduanya. Petani selaku konsumen menginginkan harga gabah yang tinggi, namun konsumen menginginkan tingkat harga beras serendah mungkin. Di sinilah peran Pemerintah, khususnya Bulog dalam stabilisasi harga gabah dan beras diperlukan, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat petani sebagai produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen.

Namun, peran pemerintah ini diduga semakin melemah. Sejak tahun 1998, spread harga gabah dan beras semakin melebar. Tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pergerakan kedua harga tersebut memiliki rentang yang semakin tinggi. Spread yang tinggi dapat menunjukkan ada inefisiensi dalam hal perdagangan dan pemasaran beras. Oleh karena itu, kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras tersebut sangat penting untuk dilakukan.

Dengan melakukan analisa kualitatif maupun kuantitatif atas berbagai informasi dari berbagai dokumen dan literatur, penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pergerakan harga beras, baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar, serta harga gabah di tingkat petani; menganalisis pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial); menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras; dan mengidentifikasi adanya integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di tingkat provinsi di Indonesia.

(7)

spread antara harga gabah dan beras di Indonesia, dapat disimpulkan bahwa pola spread nominal secara nasional maupun antar wilayah terus meningkat dari waktu ke waktu, namun fluktuasinya lebih baik ketika Bulog berfungsi sebagai Perum (2003-2008) daripada saat berfungsi sebagai LPND (1999-2002).

Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara jumlah pembelian beras (LJPB), jumlah pembelian gabah (LJPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), harga pembelian pemerintah untuk gabah (LHPPG), harga BBM (LBBM), harga beras internasional (LHI), dan nilai tukar (LER) dengan spread harga gabah dan beras (LHGB). Harga BBM, harga beras internasional, harga pembelian pemerintah untuk gabah, jumlah pembelian beras, dan stok beras yang dilakukan Bulog memiliki pengaruh yang semakin besar dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Sementara itu, distribusi beras yang dilakukan Bulog, indeks nilai tukar, harga pembelian pemerintah untuk beras, dan jumlah pembelian gabah yang dilakukan Bulog memberikan pengaruh yang semakin mengecil dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras.

Hasil integrasi pasar spasial menunjukkan bahwa pasar beras di 12 kota besar di Indonesia tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Surabaya, Bandung, Lampung, Medan, Makasar, Semarang, Palembang, Mataram, Denpasar, dan Pontianak dengan pasar beras di Jakarta. Sementara pasar beras di Padang tidak memiliki keseimbangan jangka panjang dengan pasar beras di Jakarta. Ini berarti harga beras di Jakarta tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Padang. Selain itu, hasil integrasi pasar beras spasial di tingkat grosir untuk 4 kota pelabuhan besar di Indonesia juga tidak terintegrasi secara penuh. Persamaan kointegrasi menunjukkan bahwa ada hubungan jangka panjang antara harga beras grosir di Medan dan Makasar dengan pasar beras grosir di Jakarta, namun tidak ada hubungan jangka panjang antara pasar beras di Makasar dengan pasar beras di Surabaya. Ini berarti harga beras di Makasar tidak menjadi harga referensi bagi harga beras di Surabaya.

Hal tersebut juga diperkuat dari hasil analisis VECM, bahwa dalam jangka pendek dan jangka panjang, pasar beras eceran di 12 kota besar dan pasar beras grosir di 4 kota pelabuhan besar di Indonesia memiliki tingkat integrasi yang sangat lemah, yang ditunjukkan dari nilai koefisien model yang lebih kecil dari satu. Artinya, apabila terjadi perubahan di suatu wilayah akan mempengaruhi pergerakan harga beras di wilayah lainnya dengan perubahan yang sangat kecil (dilihat dari nilai koefisiennya yang lebih kecil dari satu).

Di Indonesia, integrasi pasar vertikal juga terjadi, dimana terjadi transmisi harga gabah ke petani ke harga beras konsumen, dan sebaliknya dari harga beras konsumen ke harga gabah petani, namun respons perubahan harga beras konsumen lebih cepat jika terjadi perubahan harga gabah di tingkat petani. Oleh karenanya, pemerintah seharusnya lebih mengendalikan harga gabah di tingkat petani—bukan lebih mengendalikan harga di tingkat konsumen seperti yang saat ini dilakukan—karena itu akan direspon secara cepat oleh harga beras konsumen.

Kata kunci: beras, spread harga, integrasi pasar, vector error correction model.  

(8)

                                     

© Hak Cipta milik IPB, tahun 2010 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang  

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB. 

(9)

                       

(10)

DINA LIANITA SARI

Tesis

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Magister Sains pada

Program Studi Ilmu Ekonomi

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2010

(11)

                       

(12)

NIM : H151070061

Disetujui

Komisi Pembimbing

Dr. Ir. Harianto, M.S. Ketua

Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. Anggota

Diketahui

Ketua Program Studi Ilmu Ekonomi

Dr. Ir. Nunung Nuryartono, M.Si.

Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.

(13)

   

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

(14)

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tesis yang berjudul “ANALISIS SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS, SERTA INTEGRASI PASAR DAN KOMODITAS” ini disusun sebagai salah satu syarat kelulusan dalam Program Pascasarjana Ilmu Ekonomi, Institut Pertanian Bogor

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada para pihak berikut ini:

1. Dr. Ir. Harianto, M.S. selaku pembimbing I atas bimbingan serta arahan selama proses penyelesaian tesis ini.

2. Prof. Dr. Ir. Hermanto Siregar, M.Ec. selaku pembimbing II atas bimbingan dan arahan yang diberikan.

3. Dr. Joyo Winoto atas dukungan dan bantuan yang diberikan.

4. Dr. D.S. Priyarsono dan Dr. Noer Azam Achsani, atas dukungan dan dorongan yang diberikan.

5. Pimpinan dan segenap scholar di Brighten Institute atas dorongan dan dukungan yang diberikan.

6. Rekan-rekan junior scholar, research assistant, serta seluruh jajaran di Brighten Institute atas dorongan dan dukungan yang diberikan.

7. Badan Urusan Logistik (BULOG) atas semua bantuan data dan diskusi menarik selama proses penelitian.

8. Dosen-dosen serta seluruh staf di Sekretariat Pascasarjana Ilmu Ekonomi atas semua ilmu, bantuan, dan dukungan yang diberikan.

9. Rekan-rekan di kelas Reguler dan kelas Khusus Ilmu Ekonomi atas dorongan dan dukungan yang diberikan.

10.Keluarga, sahabat, dan teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu atas semua doa, dukungan, dan kasih sayang.

Akhir kata, penulis berharap agar penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan kontribusi kepada pembaca, negara dan semua bagian masyarakat yang terkait. Terima kasih.

Bogor, Juli 2010

(15)

                       

(16)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Kota Bogor, Jawa Barat pada tanggal 25 November 1984, sebagai anak pertama dari tiga bersaudara. Ayah bernama Fahmi Djago Salim dan ibu bernama Ermina Zaenah.

Pada tahun 2006, penulis memperoleh gelar sarjana bidang matematika dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun yang sama, penulis bergabung dengan Brighten Institute, Bogor dibawah Departemen Ekonomi dan Lingkungan sebagai asisten peneliti.

(17)

                         

(18)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... xvii

DAFTAR TABEL ... xix

DAFTAR GAMBAR ... xxi

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiii

GLOSARI ... xxiv

I. PENDAHULUAN ...1

1.1. Latar Belakang ...1

1.2. Perumusan Masalah ...3

1.3. Tujuan Penelitian ...6

1.4. Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian ...7

II. TINJAUAN PUSTAKA ...9

2.1. Pergerakan Harga dan Intervensi Pemerintah ...9

2.2. Pembentukan dan Transmisi Harga ...11

2.2.1. Transmisi Harga ...11

2.2.2. Efektivitas Pemasaran ...13

2.3. Integrasi Pasar ...18

2.4. Kebijakan Nasional Perberasan ...22

2.4.1. Kebijakan Harga ...22

2.4.2. Kebijakan Perdagangan ...25

2.5. Tinjauan Penelitian Empiris ...31

III. METODE PENELITIAN ...35

3.1. Kerangka Operasional Penelitian ...35

3.2. Jenis dan Sumber Data ...37

3.3. Prosedur Analisis ...37

3.3.1. Pergerakan Harga Gabah dan Beras...37

3.3.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Harga Beras ...38

3.3.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Harga Beras ...38

3.3.4. Integrasi Pasar ...43

IV. PERGERAKAN HARGA DAN POLA SPREAD HARGA GABAH DAN BERAS ANTAR WAKTU DAN ANTAR WILAYAH ...53

4.1. Pergerakan Harga Gabah dan Beras di Indonesia ...53

4.1.1. Tingkat Produsen ...53

4.1.2. Tingkat Pedagang Besar/Grosir ...56

4.1.3. Tingkat Konsumen/Eceran ...59

4.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Beras di Indonesia ...63

4.2.1. Antar Waktu (Time Series) ...63

4.2.2. Antar Wilayah (Spatial) ...65

(19)

V. INTEGRASI PASAR ... 81

5.1. Integrasi Pasar Horizontal ... 81

5.1.1. Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Pengecer/Konsumen ... 81

5.1.2. Integrasi Pasar Beras di Tingkat Pedagang Besar/ Grosir ... 94

5.2. Integrasi Pasar Vertikal ... 103

VI. KESIMPULAN DAN SARAN ... 113

6.1. Kesimpulan ... 113

6.2. Saran ... 115

(20)

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian

pemerintah (HPP) ...24

Tabel 2 Koefisien variasi (CV) harga gabah kering panen (GKP) tingkat penggilingan di Indonesia, 1998-2008 ...55

Tabel 3 Koefisien variasi (CV) harga beras grosir di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 ...59

Tabel 4 Koefisien variasi (CV) harga beras eceran di beberapa pulau besar di Indonesia, 1998-2008 ...63

Tabel 5 Koefisien variasi (CV) spread harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di Indonesia, 1998-2008 ...65

Tabel 6 Uji unit root ADF untuk masing-masing variabel (dalam natural log) ...69

Tabel 7 Penentuan lag optimal untuk variabel ...70

Tabel 8 Uji kointegrasi dan jumlah vektor kointegrasi (r) untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...71

Tabel 9 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...72

Tabel 10 Hasil uji model VECM untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...73

Tabel 11 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia ...78

Tabel 12 Uji unitroot ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras eceran (harga dalam natural log) ...84

Tabel 13 Penentuan lag optimal untuk pasar beras eceran ...84

Tabel 14 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras eceran ...85

Tabel 15 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras eceran ...86

Tabel 16 Hasil uji model VECM untuk pasar beras eceran ...89

Tabel 17 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar spasial beras medium grosir (harga dalam natural log) ...94

Tabel 18 Penentuan lag optimal untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia ...95

Tabel 19 Hasil uji kointegrasi untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia ...96

Tabel 20 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk pasar beras grosir antar kota pelabuhan besar di Indonesia ...96

(21)

Tabel 22 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) untuk model VECM pasar beras grosir di kota Jakarta, Surabaya, Medan, dan

Makasar ... 102 Tabel 23 Uji unit root ADF untuk sistem persamaan integrasi pasar vertikal

beras nasional (harga dalam natural log) ... 104 Tabel 24 Penentuan lag optimal untuk model pasar vertikal beras nasional ... 105 Tabel 25 Hasil uji kointegrasi untuk model pasar vertikal beras nasional ... 105 Tabel 26 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk model pasar vertikal

beras nasional ... 106 Tabel 27 Hasil uji model VECM untuk model pasar vertikal beras nasional .... 106 Tabel 28 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) model

(22)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 1 Tingkat harga beras eceran dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani periode Januari 1993-Mei 2008. ...5 Gambar 2 Kerangka pikir penelitian. ...37 Gambar 3 Pergerakan harga gabah kering panen tingkat penggilingan di

Indonesia, Januari 1998-Desember 2008...54 Gambar 4 Pergerakan harga rata-rata gabah kering panen tingkat penggilingan

di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Sulawesi Selatan, 1998 2008. ...56 Gambar 5 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar

di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ...57 Gambar 6 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat pedagang besar

di beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998-

Desember 2008. ...58 Gambar 7 Pergerakan harga beras kualitas medium tingkat eceran di

Indonesia, Januari 1998-Desember 2008...61 Gambar 8 Pergerakan harga beras kualitas medium di tingkat eceran, di

beberapa pulau besar di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ....62 Gambar 9 Pola spread antara harga gabah kering panen dan harga beras

eceran di Indonesia, Januari 1998-Desember 2008. ...64 Gambar 10 Pola spread harga nominal gabah dan beras eceran di beberapa

provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008. ..67 Gambar 11 Pola spread harga riil gabah dan beras eceran di beberapa

provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008. ..68 Gambar 12 Hasil impulse response function (IRF) dari model VECM untuk

mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia. ...77 Gambar 13 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar

beras eceran akibat shock harga beras di Jakarta. ...92 Gambar 14 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar

beras eceran akibat shock harga beras di Surabaya. ...93 Gambar 15 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar

beras grosir antar kota-kota pelabuhan besar di Indonesia

(Jakarta, Surabaya, Medan, dan Makasar). ...100 Gambar 16 Hasil impulse response function (IRF) untuk model VECM pasar

(23)
(24)

DAFTAR LAMPIRAN

 Halaman

Lampiran 1 Hasil estimasi VECM faktor-faktor yang mempengaruhi harga gabah dan beras di Indonesia ...125 Lampiran 2 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras eceran antar 12

kota besar di Indonesia ...129 Lampiran 3 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) pada

model pasar beras eceran ...132 Lampiran 4 Hasil estimasi VECM pada model pasar beras grosir antar

pelabuhan besar di Indonesia ...138 Lampiran 5 Hasil estimasi VECM pada model pasar vertikal beras nasional ....140

 

(25)

                     

(26)

GLOSARI

ADF : Augmented Dickey-Fuller

AIC : Akaike Information Criterion

BPS : Badan Pusat Statistik

Bulog : Badan Urusan Logistik

CV : Coefficient of Variation

DB : Distribusi beras yang dilakukan Bulog

ER : Exchange Rate (Nilai Tukar)

FAO : Food and Agriculture Organization FEVD : Forecast Error Variance Decomposition

FPE : Final Prediction Error

GDP : Gross Domestic Product

GKG : Gabah Kering Giling

GKP : Gabah Kering Panen

GKPNAS :  Harga gabah kering panen rata-rata nasional

di tingkat petani

HBBM : Harga Bahan Bakar Minyak

HBE : Harga Beras Eceran

(27)

HBESRBY :  Harga beras eceran di Surabaya

HBG : Harga Beras Gabah

HBGJKT :  Harga beras grosir di Jakarta HBGMDN :  Harga beras grosir di Medan HBGMKS :  Harga beras grosir di Makasar HBGNAS :  Harga beras grosir nasional HBGSRBY :  Harga beras grosir di Surabaya

HDG : Harga Dasar Gabah

HGB : Spread antara harga gabah dan beras

HI : Harga Internasional

HPP : Harga Pembelian Pemerintah

HPPB : Harga Pembelian Pemerintah untuk beras HPPG : Harga Pembelian Pemerintah untuk gabah

HQ : Hannan-Quinn Criterion

IMF : International Monetar Fund

Inpres : Instruksi Presiden

Integrasi komoditas : Hubungan pada pasar yang berbeda secara vertikal untuk komoditas yang sama (dalam suatu area geografis)

Integrasi pasar : Hubungan pada pasar yang berbeda secara geografis untuk suatu komoditas yang sama

IRF : Impulse Response Function

JPB : Jumlah Pembelian Beras

JPG : Jumlah Pembelian Gabah

Kointegrasi : Hubungan antara variabel-variabel yang stasioner pada derajat yang sama, dapat juga menunjukkan hubungan jangka panjang antar variabel

LOI : Letter of Intent

LPND : Lembaga Pemerintah Non Departemen

LR : Likelihood Ratio

(28)

PATANAS : Panel Tani Nasional

Perum : Perusahaan Umum

SB : Stok beras Bulog

SC : Schwarz Information Criterion

Spread harga gabah dan beras

: Perbedaan antara harga gabah dan harga beras (Rp/kg)

VAR : Vector Auto Regression

VECM : Vector Error Correction Model

VMF : Voedings Middelen Fonds

(29)

                       

(30)

I.

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Bagi negara manapun, ketahanan pangan merupakan hal yang sangat penting. Di Indonesia, hal tersebut juga sudah dinyatakan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1996 tentang pangan, bahwa pemerintah bersama masyarakat bertanggung jawab untuk mewujudkan ketahanan pangan. Ketahanan pangan yang dimaksud meliputi ketersediaan pangan yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, bergizi, beragam, merata, dan terjangkau oleh daya beli masyarakat.

Harga yang stabil dan terjangkau merupakan salah satu komponen penting yang diperlukan dalam menjaga distribusi dan pasokan pangan yang merata ke seluruh wilayah, sehingga rumah tangga mampu mengakses pangan. Harga komoditi pangan yang terlalu berfluktuasi dapat merugikan petani sebagai produsen, pengolah, pedagang hingga konsumen, dan berpotensi menimbulkan keresahan sosial. Oleh sebab itu, hampir semua negara melakukan intervensi kebijakan untuk menjaga stabilitas harga pangan pokok.

Secara formal, pemerintah Indonesia mulai ikut menangani pangan pada zaman penjajahan Belanda, ketika didirikannya Voedings Middelen Fonds (VMF) yang bertugas membeli, menjual, dan menyediakan bahan makanan. Lembaga pangan ini terus berkembang bentuk dan fungsinya menjadi lembaga yang saat ini dikenal dengan Bulog (Badan Urusan Logistik). Pada saat pembentukannya pertama kali pada tahun 1967, tugas Bulog adalah membantu pemerintah untuk menstabilkan harga pangan pokok.

(31)

pemerintah diperkecil, yang bermuara pada berubahnya status hukum Bulog menjadi Perusahaan Umum (Perum).

Pada Agustus 2007, Bulog memperoleh kewenangan yang lebih besar lagi dalam menstabilkan harga beras. Kewenangan itu meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar Harga Pembelian Pemerintah (HPP) demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton (Surat Menteri Koordinator (Menko) Bidang Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok).

Peran Bulog yang saat ini hanya difokuskan kepada komoditas beras tentunya sangat beralasan. Pertama, beras adalah makanan pokok yang paling penting bagi hampir 215 juta penduduk Indonesia, memberikan 60 persen kontribusi asupan kalori per orang per hari (FAO 2006). Kedua, padi adalah produk kunci bagi ekonomi perdesaan dan sumber penghidupan bagi petani kecil dan tanpa lahan. Padi dihasilkan oleh sekitar 13.6 juta petani, yang 65 persen di antaranya adalah petani kecil dan miskin dengan pemilikan tanah kurang dari 0.5 hektar. Berdasarkan penelitian PATANAS (2005), penghasilan petani padi berkisar antara Rp 3065-Rp 8466 per hari atau kurang dari US$ 1.29 per hari. Akibatnya, mayoritas petani padi termasuk dalam kategori sangat miskin dan terus menerus terancam tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar mereka, termasuk tidak mampu memenuhi kebutuhan pangan sendiri dalam jumlah cukup. Ketiga, produksi padi masih menjadi mesin pendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Sektor ini memberikan kontribusi Rp 57 trilyun atau US$ 6.2 milyar terhadap GDP dan menyerap sekitar 21 juta tenaga kerja.

(32)

perberasan sudah diatur dalam Instruksi Presiden (Inpres) No. 2 Tahun 2005, yang tujuan utamanya adalah meningkatkan pendapatan petani, meningkatkan ketahanan pangan dan mengembangkan ekonomi pedesaan.

Di antara banyaknya masalah perberasan di Indonesia, salah satunya adalah masalah yang terkait dengan harga beras dan gabah. Ada trade-off di antara keduanya. Petani selaku konsumen menginginkan harga gabah yang tinggi, namun konsumen menginginkan tingkat harga beras serendah mungkin. Di sinilah peran Pemerintah, khususnya Bulog dalam stabilisasi harga gabah dan beras diperlukan, yaitu mempertahankan harga yang baik di tingkat petani sebagai produsen namun pada saat yang sama juga tidak terlalu memberatkan konsumen.

Namun, peran pemerintah ini diduga semakin melemah. Sejak tahun 1998, spread harga gabah dan beras semakin melebar. Data dari BPS menunjukkan bahwa sebelum tahun 1998, spread harga gabah dan harga beras hanya berkisar Rp 400 per kg (Gambar 1). Namun pada pertengahan tahun 2008, perbedaan harga gabah dan harga beras sudah melebihi Rp 2500 per kg. Tentunya ada faktor-faktor yang menyebabkan mengapa pergerakan kedua harga tersebut memiliki spread yang semakin tinggi. Spread yang tinggi dapat menunjukkan ada inefisiensi dalam hal perdagangan dan pemasaran beras. Oleh karena itu, kajian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras tersebut sangat penting untuk dilakukan.

1.2. Perumusan Masalah

(33)

Gambar 1 menunjukkan bahwa harga gabah dan beras nasional periode Januari 1993-Desember 1997 cenderung stabil, yaitu pada rata-rata Rp 900.7 per kg untuk beras dan Rp 443.4 per kg untuk gabah. Namun pada periode berikutnya, harga beras eceran terus meningkat secara signifikan, dari Rp 1391.1 per kg pada Januari 1998 menjadi Rp 2007 per kg pada Juni 1998 (atau meningkat sebesar 44.3 persen), kemudian menjadi Rp 5267 pada Mei 2008 (atau meningkat sebesar 162.4 persen).

Hal yang sama juga terjadi pada harga Gabah Kering Giling (GKG) di tingkat petani. Gabah kering giling didefinisikan sebagai gabah yang mengandung kandungan air maksimum 14 persen, kotoran/hampa maksimum 3 persen, butir hijau/kapur maksimum 5 persen, butir kuning/rusak maksimum 3 persen, dan butir merah maksimum 3 persen. Harga GKG meningkat sebesar 33.2 persen, dari Rp 662.4 per kg pada Januari 1998 menjadi 882.2 per kg pada Juni 1998, kemudian meningkat sebesar 208 persen menjadi Rp 2545 per kg pada Mei 2008. Walaupun terjadi peningkatan yang cukup besar pada periode Juni 1998-Mei 2008, menarik untuk diperhatikan bahwa harga GKG di tingkat petani relatif lebih fluktuatif pada periode Januari 2003-Mei 2008 dibandingkan pada periode Juni 1998-Desember 2002. Hal tersebut juga menyebabkan spread antara harga gabah dan beras pada periode Januari 2003-Mei 2008 lebih fluktuatif dibandingkan dengan periode sebelumnya. Peran pemerintah, khususnya Bulog, dalam melakukan stabilisasi harga pada periode tersebut perlu dipertanyakan, apakah status Bulog sebagai Perum menyebabkan pasar semakin tidak terintegrasi sehingga pemerintah sulit mengontrol harga gabah dan beras.

(34)

Gambar 1 Harga beras eceran dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani periode Januari 1993-Mei 2008.

Kedua, keterkaitan harga beras di tingkat konsumen dan di tingkat produsen yang bersifat asimetri (Simatupang 2001). Peningkatan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan tidak sempurna dan lambat ke harga gabah di tingkat petani. Sedangkan, penurunan harga beras di tingkat konsumen ditransmisikan sempurna dan cepat ke harga gabah di tingkat petani. Sebaliknya peningkatan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan sempurna dan cepat ke harga beras di tingkat konsumen, sedangkan penurunan harga gabah di tingkat petani ditransmisikan dengan tidak sempurna dan lambat ke harga beras di tingkat konsumen. Artinya, fluktuasi harga beras atau gabah cenderung merugikan petani dan konsumen. Kalau pun ada manfaatnya, yang menikmati marjin harga gabah dan beras tersebut adalah pedagang dan pihak penggilingan padi.

Ketiga, kenaikan harga beras internasional juga mendorong terjadinya kenaikan harga beras domestik, sehingga turut memperbesar spread antara harga gabah dan beras domestik. Kenaikan harga beras awalnya dipicu oleh beberapa negara produsen, seperti Thailand, India, Bangladesh, dan Mesir yang melakukan pembatasan ekspor untuk menjamin pengadaan beras domestik dan menjaga harga dalam negeri.

Pasar gabah dan beras kita semakin jauh dari sempurna dan cenderung merugikan petani yang sebagian besar berperan sebagai net consumer. Inilah yang menjadi alasan kuat perlunya intervensi pasar oleh pemerintah. Namun,

0 1000 2000 3000 4000 5000 6000 7000 Jan-93 Se p-93 Me i-94 Jan-95 Se p-95 Me i-96 Jan-97 Se p-97 Me i-98 Jan-99 Se p-99 Me i-00 Jan-01 Se p-01 Me i-02 Jan-03 Se p-03 Me i-04 Jan-05 Se p-05 Me i-06 Jan-07 Se p-07 Me i-08

Harga Beras Eceran Kualitas Sedang (Rp/kg) Harga GKG Tk. Petani (Rp/kg)

[image:34.612.137.496.80.268.2]
(35)

bagaimana peran pemerintah melalui Instruksi Presiden (Inpres) mengenai HPP dan lembaga Perum Bulog dalam menciptakan kestabilan harga.

Karena spread harga gabah dan beras ini dapat dipicu dari dua sisi, yaitu dari sisi harga gabah dan dari sisi harga beras. Oleh karena itu, sebelum mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga tersebut, analisis akan didahului dengan melihat pergerakan harga gabah, harga beras grosir dan eceran, baik di tingkat nasional maupun provinsi, selanjutnya akan dilihat pula bagaimana pola spread harga gabah dan beras tersebut antar pulau dan antar provinsi di Indonesia.

Selanjutnya, kemampuan pemerintah untuk menentukan kebijakan harga gabah dan beras yang tepat juga akan sangat ditentukan oleh tingkat kepahaman para pengambil kebijakan tersebut terhadap struktur, tingkah laku, dan efektivitas pasar gabah dan beras. Salah satu cara untuk memahami struktur, tingkah laku, dan efektivitas pasar tersebut adalah dengan memahami kekuatan relatif suatu pasar serta mekanisme transmisi harga dari satu pasar ke pasar lainnya melalui kajian integrasi pasar.

Berdasarkan uraian di atas, maka permasalahan-permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana pergerakan harga beras, baik di tingkat eceran maupun di tingkat pedagang besar, serta harga gabah di tingkat petani?

2. Bagaimana pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial)?

3. Apa saja faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras?

4. Bagaimana bentuk integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

(36)

2. Menganalisis pola spread antara harga gabah dan harga beras, baik antar waktu (time series) maupun antar wilayah (spatial).

3. Menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan harga beras.

4. Menganalisis integrasi pasar antar wilayah, baik antar pasar beras, maupun antara pasar gabah dan pasar beras di Indonesia.

1.4. Manfaat dan Ruang Lingkup Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi bagi pemegang kebijakan yang terkait dengan stabilisasi harga gabah dan beras Indonesia dalam penyusunan kebijakan dan implikasinya yang berguna untuk menciptakan ketahanan pangan, baik secara nasional maupun regional.

Harga beras yang akan dianalisis dalam penelitian ini adalah harga beras kualitas sedang, sementara harga gabah yang digunakan adalah harga Gabah Kering Panen (GKP) di tingkat petani dan di tingkat penggilingan.

Secara time series, pergerakan harga akan dianalisis pada periode Januari 1998-Desember 2008. Secara spasial, pergerakan harga akan dianalisis pada tingkat nasional dan kota-kota besar di Indonesia. Untuk mengidentifikasi integrasi pasar antar wilayah (spasial) dilakukan analisis antar kota besar di Indonesia untuk pasar beras. Sementara, untuk mengidentifikasi integrasi pasar vertikal akan dilakukan analisis antara harga gabah di tingkat petani, harga beras grosir/di tingkat pedagang besar, dan harga beras eceran/di tingkat konsumen.

(37)

                       

(38)

II.

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pergerakan Harga dan Intervensi Pemerintah

Perubahan penawaran pangan dengan nilai elastisitas penawaran dan permintaan yang inelastis akan menyebabkan besarnya fluktuasi harga (Nicholson, 2001). Fluktuasi harga komoditas pada dasarnya terjadi akibat ketidakseimbangan antara kuantitas penawaran dan kuantitas permintaan yang dibutuhkan konsumen.

Jika terjadi kelebihan penawaran maka harga komoditas akan turun, sebaliknya harga komoditas akan naik jika terjadi kekurangan penawaran. Dalam proses pembentukan harga tersebut perilaku petani dan pedagang memiliki peranan penting karena mereka dapat mengatur volume penjualannya yang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen.

Fluktuasi harga beras seringkali lebih merugikan petani daripada pedagang karena petani umumnya tidak dapat mengatur waktu penjualannya untuk mendapatkan harga jual yang lebih menguntungkan. Terjadinya ketidakstabilan harga gabah dan beras juga dapat dilihat dari dua sisi yang berbeda, yaitu (i) ketidakstabilan antar musim, yaitu musim panen dan musim paceklik; dan (ii) ketidakstabilan antar tahun, karena pengaruh iklim seperti kekeringan atau kebanjiran dan fluktuasi harga beras di pasar internasional yang keduanya relatif sulit diramalkan.

Menurut Ellis (1993), ketidakstabilan harga antar musim terkait erat dengan pola panen, yaitu panen raya yang berlangsung pada bulan Februari–Mei (60-65 persen dari total produksi nasional), panen musim gadu pertama yang berlangsung antara Juni–September (25–30 persen) dan sisanya panen antara bulan Oktober–Januari (5-15 persen). Bila harga gabah dan beras dilepas sepenuhnya kepada mekanisme pasar, maka harga gabah dan beras akan jatuh pada musim panen raya dan meningkat tajam pada musim paceklik (Oktober– Januari).

(39)

itu juga akan berakibat luas pada kondisi ekonomi makro khususnya peningkatan inflasi.

Globalisasi juga menyebabkan harga komoditas pertanian di pasar domestik semakin terbuka terhadap gejolak pasar (Simatupang dan Syafa’at, 2002). Dengan perkataan lain, dinamika harga produk domestik dipengaruhi oleh keadaan pada tiga jenis pasar secara simultan, yaitu (1) pasar komoditas internasional, (2) pasar komoditas domestik, dan (3) pasar valuta asing. Artinya intervensi pemerintah untuk kebijakan stabilisasi harga di pasar domestik semakin mengecil.

Menurut Irawan et. al., (2002), pada umumnya harga beras merupakan acuan bagi harga komoditas pangan lainnya dan tingkat upah pertanian, sehingga perubahan harga pangan lain dan upah tenaga kerja cenderung sejalan dengan perubahan harga gabah. Dengan demikian seberapa jauh fluktuasi harga beras mempengaruhi stabilitas ekonomi makro perlu menjadi perhatian, terutama pada kondisi pasar yang derajat liberalisasinya semakin meningkat.

(40)

seimbang dengan biaya yang harus dikeluarkan, dan sangat mungkin dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan khusus.

Namun, kebanyakan negara mengabaikan literatur tersebut, terutama negara-negara Asia. Alasannya didasarkan bahwa rata-rata konsumen masih tergolong miskin dibandingkan negara-negara lain. Menurut Timmer (1992), negara-negara yang paling berhasil menjaga stabilisasi harga adalah negara yang paling berkembang perekonomiannya di dunia. Bila harga pangan tidak berhasilkan dijaga kestabilannya, maka stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi menjadi terancam. Ada perubahan nyata yang luput dari pembahasan para ekonom dan mikro ekonomi yang mendasarkan pandangannya pada model yang dirancang untuk menjelaskan pengaruh harga yang stabil adalah dimensi penting kontribusi stabilitas pada kesejahteraan sosial (Timmer, 1997).

2.2. Pembentukan dan Transmisi Harga

2.2.1. Transmisi Harga

Dinamika jangka pendek harga komoditas pertanian di daerah konsumen pada umumnya memiliki pola yang sama dengan dinamika harga di daerah produsen karena permintaan yang dihadapi petani di daerah produsen merupakan turunan dari permintaan di daerah konsumen. Jika terjadi kenaikan harga di pasar konsumen akibat naiknya permintaan maka pedagang akan meneruskan kenaikan harga tersebut kepada petani sehingga harga di pasar produsen juga mengalami peningkatan. Akan tetapi proses transmisi harga dari pasar konsumen ke pasar produsen tersebut umumnya tidak sempurna dan bersifat asimetris, artinya jika terjadi kenaikan harga di pasar konsumen maka kenaikan harga tersebut diteruskan kepada petani secara lambat dan tidak sempurna, sebaliknya jika terjadi penurunan harga. Pola transmisi harga seperti ini menyebabkan fluktuasi harga di pasar konsumen cenderung lebih tinggi dibanding fluktuasi harga di pasar produsen dan perbedaan fluktuasi harga tersebut akan semakin besar apabila transmisi harga yang terjadi semakin tidak sempurna (Simatupang, 1999).

(41)

Hal ini karena pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni atau oligopsoni dapat mengendalikan harga beli dari petani sehingga walaupun harga di tingkat konsumen relatif tetap tetapi pedagang tersebut dapat menekan harga beli dari petani untuk memaksimumkan keuntungannya. Begitu pula jika terjadi kenaikan harga di tingkat konsumen maka pedagang dapat meneruskan kenaikan harga tersebut kepada petani secara tidak sempurna, dengan kata lain kenaikan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding kenaikan harga yang dibayar konsumen. Pola transmisi harga seperti ini tidak menguntungkan bagi petani karena kenaikan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak sepenuhnya dapat dinikmati petani, sebaliknya jika terjadi penurunan harga.

Dalam jangka panjang harga komoditas cenderung naik akibat naiknya permintaan konsumen. Namun laju kenaikan harga di tingkat konsumen dapat berbeda dengan laju kenaikan harga di tingkat petani, dan tergantung kepada perilaku pedagang dalam melakukan transmisi harga dari konsumen kepada petani. Pada pasar yang bersaing sempurna pedagang akan meneruskan setiap kenaikan harga di tingkat konsumen dengan besaran yang relatif sama kepada petani, dengan kata lain kenaikan harga di tingkat konsumen relatif sama besar dengan kenaikan harga di tingkat petani. Tetapi pada pasar dengan kekuatan monopsoni atau oligopsoni kenaikan harga di tingkat petani akan lebih kecil dibanding kenaikan harga di tingkat konsumen akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya dengan memberikan informasi harga yang tidak sempurna untuk menekan harga beli dari petani.

Variasi transmisi harga tersebut secara umum dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

(42)

untuk terlibat dalam pemasaran komoditas yang bersangkutan, dan (c) menciptakan ketergantungan petani untuk hanya memasarkan hasil panennya kepada para pedagang tertentu. Cara yang terakhir tersebut biasanya ditempuh pedagang dengan memberikan pinjaman modal atau pinjaman input usahatani kepada para petani dengan kesepakatan petani harus menjual hasil panennya kepada pedagang yang memberikan pinjaman modal.

2. Kedua, rantai pemasaran yang semakin panjang yang memungkinkan terjadinya akumulasi bias transmisi harga yang semakin besar. Rantai pemasaran yang semakin panjang antara lain dapat disebabkan oleh jarak pemasaran yang semakin jauh antara daerah produsen dan daerah konsumen. Jarak pemasaran yang lebih jauh dapat terjadi karena produksi komoditas terkonsentrasi di daerah-daerah tertentu sedangkan daerah konsumennya relatif tersebar dalam lingkup wilayah yang lebih luas.

Transmisi harga tertinggi terjadi pada pemasaran padi dimana sekitar 81 persen kenaikan harga yang terjadi di daerah konsumen diteruskan kepada petani di daerah produsen. Tingginya transmisi harga beras tersebut dapat terjadi akibat dua faktor yaitu : (1) Adanya intervensi pemerintah dalam mengendalikan harga padi melalui kebijakan harga dasar gabah sehingga kekuatan monopsoni/oligopsoni yang dimiliki para pedagang padi dapat ditekan. (2) Karena merupakan bahan pangan pokok maka daerah produsen beras relatif tersebar menurut wilayah sehingga jarak antara daerah produsen dan daerah konsumen relatif dekat.

2.2.2. Efektivitas Pemasaran

(43)

petani, dan sebagai produsen antara yang dihadapi konsumen. Sebagai konsumen antara pedagang menurunkan permintaan konsumen kepada petani, sedangkan sebagai produsen antara pedagang meneruskan penawaran petani kepada konsumen.

Dalam perdagangan komoditas pertanian umumnya dilibatkan berbagai kelompok pedagang seperti pedagang desa, pedagang kecamatan, pedagang kabupaten, pedagang antar provinsi dan pedagang pengecer di daerah konsumen. Di tingkat desa, sistem pasar yang terbentuk seringkali mengarah pada pasar yang bersifat monopsoni atau oligopsoni (Baharsyah, 1980; Rao dan Subbarao, 1987; Saptana et. al., 2001). Sistem pasar demikian dapat terjadi akibat kurangnya kompetisi di antara pedagang desa akibat jumlah pedagang yang terbatas.

Kalaupun jumlah pedagang yang terlibat cukup banyak tetapi dalam kegiatannya para pedagang tersebut seringkali dikendalikan oleh satu atau beberapa pedagang tertentu. Hal ini menyebabkan terbentuknya sistem pasar monopsoni/oligopsoni yang terselubung dimana walaupun keadaan pasar tampaknya bersaing sempurna karena jumlah pedagang yang banyak tetapi sebenarnya dikuasai oleh pedagang-pedagang tertentu (Azzaino, 1984; Sudaryanto et. al., 1993).

Kondisi pasar seperti disebutkan di atas tidak menguntungkan bagi petani karena harga yang diterima petani akan dikendalikan oleh para pedagang yang memiliki kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar tersebut petani cenderung menerima harga yang rendah akibat perilaku pedagang yang berusaha memaksimumkan keuntungannya. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa pemasaran komoditas dengan kekuatan monopsoni/oligopsoni tidak efisien karena kepentingan petani sebagai produsen dapat dirugikan.

(44)

Masukan yang dimaksud adalah berbagai sumberdaya ekonomi yang digunakan sedangkan luaran yang diperoleh berupa jasa-jasa pemasaran yang dihasilkan dari pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pedagang (penyimpanan, sortasi dan grading, pengemasan, pengangkutan, dan sebagainya). Akan tetapi pengukuran efisiensi pemasaran berdasarkan konsepsi tersebut sulit dilakukan karena jasa-jasa pemasaran yang dilakukan oleh pedagang sulit diukur secara kuantitatif.

Beberapa indikator empirik yang sering digunakan dalam pengkajian efisiensi pemasaran di antaranya adalah marjin pemasaran dan transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani atau ke pasar produsen. Sistem pemasaran semakin efisien apabila besarnya marjin pemasaran yang merupakan jumlah dari biaya pemasaran dan keuntungan pedagang semakin kecil. Dengan kata lain, perbedaan antara harga yang diterima petani dan harga yang dibayar konsumen semakin kecil. Adapun transmisi harga yang rendah mencerminkan inefisiensi pemasaran karena hal itu menunjukkan bahwa perubahan harga yang terjadi di tingkat konsumen tidak seluruhnya diteruskan kepada petani, dengan kata lain transmisi harga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini biasanya terjadi jika pedagang memiliki kekuatan monopsoni sehingga mereka dapat mengendalikan harga beli dari petani.

Pada pasar persaingan sempurna selisih antara harga yang dibayar konsumen dan harga yang diterima petani lebih rendah dibanding pada kondisi pasar monopsoni, dengan kata lain, marjin pemasaran akan semakin besar jika terdapat kekuatan monopsoni. Pada kondisi pasar monopsoni transmisi harga dari pasar konsumen kepada petani juga berlangsung secara tidak sempurna. Pola transmisi harga seperti ini menyebabkan korelasi harga di tingkat konsumen dan di tingkat petani akan semakin rendah dan fluktuasi harga di pasar produsen akan lebih rendah daripada di pasar konsumen.

(45)

yang berlebihan (non zero profit). Hal ini karena besarnya marjin pemasaran tersebut pada dasarnya merupakan total biaya pemasaran yang meliputi biaya operasional pemasaran yang dikeluarkan pedagang (biaya pengangkutan, penyimpanan, sortasi, grading) dan keuntungan pedagang. Sementara biaya operasional yang dikeluarkan pedagang dapat bervariasi menurut komoditas dan tergantung pada sifat kamba (voluminous) komoditas yang dipasarkan, risiko kerusakan dan penyusutan selama proses pemasaran, risiko modal pedagang, dan fungsi-fungsi pemasaran lain yang harus dilakukan pedagang untuk memenuhi preferensi konsumen misalnya sortasi dan grading. Dalam kaitan ini jarak pemasaran antara daerah produsen dan daerah konsumen biasanya memiliki pengaruh signifikan karena akan mempengaruhi besarnya biaya sewa alat pengangkutan, biaya pengepakan, dan tingkat kerusakan selama proses pengangkutan.

Karena sebagai penerima harga maka untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan petani harus mampu memanfaatkan variasi harga yang terjadi di pasar baik menurut tempat, bentuk produk, waktu maupun kualitas produk. Hal ini berarti bahwa petani harus mampu mengatur pola penawarannya dengan mengatur kegiatan produksinya dan mengatur kegiatan pemasarannya (penyimpanan, sortasi dan grading, outlet pemasaran, dan sebagainya) yang disesuaikan dengan kebutuhan pasar. Namun demikian, akibat berbagai faktor, petani seringkali tidak mampu mengatur pola penawarannya pada pasar yang lebih menguntungkan. Ketidak mampuan petani tersebut antara lain dipengaruhi oleh penguasaan lahan garapan yang sempit, keterbatasan sumber pendapatan nonpertanian, keterbatasan fasilitas kredit, dan keterbatasan sarana transportasi di daerah pedesaan (Rao dan Subbarao, 1987; Utami dan Ihalow, 1993). Di samping itu keterbatasan informasi pasar dan permodalan serta kebutuhan konsumsi yang mendesak sering pula menyebabkan petani tidak mampu mengatur penawarannya untuk mendapatkan harga yang lebih menguntungkan melalui pelaksanaan fungsi-fungsi pemasaran yang memadai (Kasryno, 1984; Irawan, 1986).

(46)

pemasaran. Bentuk pasar yang mengarah kepada pasar monopoli akan berpengaruh terhadap tingkat kompetisi yang akan berdampak terhadap pembentukan harga, transmisi harga, dan bagian harga yang diterima petani. Secara implisit, struktur pasar akan berdampak terhadap kinerja integrasi pasar dan nilai marjin pemasaran. Faktor eksternal yang berpengaruh pada hakekatnya adalah terkait dengan kebijakan pemerintah, seperti pengembangan infrastruktur pemasaran (fisik dan kelembagaan), program stabilisasi harga output, perpajakan dan redistribusi, kebijakan pengembangan produk dan pengolahan hasil pertanian, dan lain-lain.

Pada segmen pasar dan kualitas produk yang sama daya saing suatu komoditas ditentukan oleh kemampuan agribisnis yang bersangkutan dalam biaya serendah mungkin. Walaupun memiliki biaya produksi per unit cukup rendah suatu agribisnis belum tentu berdaya saing tinggi jika biaya pemasaran yang dibutuhkan untuk menyampaikan produk kepada konsumen sangat tinggi. Oleh karena itu upaya meningkatkan daya saing agribisnis seyogyanya tidak hanya ditempuh melalui peningkatan efisiensi produksi untuk menekan biaya produksi per unit produk, tetapi dilengkapi pula dengan upaya peningkatan efisiensi pemasaran dalam rangka menekan biaya pemasaran dari petani kepada konsumen.

(47)

2.3. Integrasi Pasar

Sifat pasar dan peranannya dalam penentuan harga adalah hal pokok dalam ekonomi. Letak geografis pasar, terutama bagi sektor pertanian sangat relevan karena produk-produk pertanian bersifat amba (bulky) dan atau mudah rusak (perishable), serta area produsen dan konsumen terpisah jauh, sehingga biaya transportasi sangat menentukan. Batas-batas geografis adalah penting dalam mengukur permintaan dan penawaran, pembentukan harga dan struktur kompetisi. Menurut Sexton et. al., (1991), studi-studi tentang ekonomi pasar biasanya berdasarkan definisi dasar dari Cournot dan Marshall yang menyatakan bahwa dua kawasan (regions) dikatakan sama secara ekomoni pasar, jika perbedaan harga barang (homogen) tersebut tepat sesuai dengan besar biaya transportasi (transfer) antar kedua kawasan tersebut. Pernyataan alternatif yang sama untuk semua konsep arbitrase (arbitrage) tersebut, adalah: (1) pasar antar kawasan adalah terintegrasi, dan (2) berlakunya the law of one price (LOP) antar kawasan.

Menurut Ardeni (1989), definisi umum untuk arbitrase komoditi adalah jika harga ekspor ditambah dengan biaya transportasi adalah sama dengan harga impor dalam unit mata uang yang sama, hal ini yang dikatakan sebagai LOP. Kegagalan dua pasar atau lebih untuk berlakunya LOP dapat dijelaskan berdasarkan alasa-alasan berikut: (1) kawasan tidak terikat secara arbitrase, berarti masing-masing kawasan memiliki asar yang autarki, (2) terjadnya halangan untuk arbitrase yang efisien karena hambatan perdagangan, informasi tidak sempurna atau risk aversion, atau (3) terjadinya kompetisi tidak sempurna pada satu atau lebih pasar tersebut (Faminow dan Benson, 1990).

(48)

dalam kondisi monopoli, monopsoni, oligopoli atau oligopsoni, dan karenanya kesimpulan yang diturunkan dari asumsi PPS tidak sesuai bagi analisis kebijakan. Struktur suatu pasar dapat dipahami melalui suatu studi integrasi dari setiap pasar dengan menggunakan analisis harga (Nagubadi et. al., 2001)

Tingkat/derajat dan perluasan dari integrasi spasial mempunyai beberapa implikasi terhadap pasar. Hal tersebut dapat memberikan informasi penting sehubungan dengan kekuatan atau kelemahan dari tingkat persaingan di masing-masing pasar (Nagubadi et. al., 2001). Akan tetapi dalam Faminow dan Benson (1990) ditunjukkan bahwa sulit mencari sebab yang spesifik dari kegagalan LOP. Alternatifnya pasar kawasan mungkin terkait melalui oligopoli (oligopsoni) yang independen, di mana perusahaan berkompetisi harga pada kawasan pelayanan yang terbatas.

Metode tradisional untuk studi integrasi pasar adalah berdasarkan korelasi pasangan (bivariate correlation) harga antar wilayah (region). Dalam metode ini, korelasi dan koefisien regresi diduga dari deret data harga spot pada lokasi pasar yang berbeda. Akan tetapi, menurut Ravallion (1986) ada beberapa kelemahan inferensia dari metode ini seperti hubungan harga antar lokasi diasumsikan dalam bentuk fungsi linier dengan sudut kemiringan (slope) yang sama dengan satu (unity). Selanjutnya, Ardeni (1989) berargumen bahwa pendekatan konvensional untuk pengujian integrasi spasial adalah tidak tepat karena mengabaikan sifat-sifat data deret waktu dari data kawasan. Secara spesifik, korelasi serial akan menyebabkan uji empiris integrasi pasar spasial terganggu karena tidak konsisten dan bias. Lebih jauh, analisis penggunaan diferensiasi harga mungkin terganggu karena perbedaan transformasi dan filter yang kurang tepat bagi data deret harga yang digunakan. Di samping itu, ada kemungkinan persamaan regresi yang digunakan semu (spurious).

(49)

atau konvensional yang bersifat statik, akan tetapi model Ravallion tidak mengakomodasi sifat non stasioner dari deret data harga.

Prosedur alternatif untuk mengevaluasi integrasi pasar spasial telah dikembangkan oleh Engle dan Granger (1987) dengan konsep kointegrasi untuk deret data non stasioner, sebagai contoh Goodwin dan Schroder (1991) melakukan analisis kointegrasi untuk pasar ternak di Amerika Serikat, serta Ismet et. al. (1998) untuk pasar beras di Indonesia. Prosedur kointegrasi secara umum menunjukkan bahwa deviasi dari keseimbangan antara dua variabel ekonomi yang masing-masing non stasioner adalah stasioner. Uji kointegrasi membuktikan, khususnya pada kerangka kerja terjadinya keterkaitan harga jangka panjang di antara pasar dalam kawasan, di samping keterkaitan harga jangka pendek.

Dalam Mohanty et. al. (1996) ditunjukkan bahwa dari pengujian integrasi harga dengan uji kausalitas Granger akan diperoleh hasil yang menyesatkan (misleading). Selain itu, pendekatan dengan model VAR (Vector Autoregression) tampaknya seperti termispesifikasi (misspecified), dan analisis yang dilakukan tersebut terfokus pada sifat dinamik jangka panjang. Selanjutnya, disarankan untuk melihat hubungan harga suatu komoditi dengan menggunakan Error Correction Model (ECM) yang mengakomodasi studi hubungan jangka pendek dan jangka panjang secara simultan, selain itu dapat dilihat informasi apakah ada kepemimpinan harga (price leadership) dan struktur pasar pada tingkat pasar dunia.

Perkembangan lebih lanjut dari aplikasi kointegrasi, seperti prosedur kemungkinan maksimum (maximum likelihood) dari analisis kointegrasi peubah ganda (multivariate analysis), yang mana peneliti dapat melihat cakrawala baru dari penelitian yang dilakukan terhadap mekanisme pasar dari suatu komoditi. Toppinen dalam Nagubadi et. al. (2001) memperlihatkan bahwa hubungan kointegrasi dapat diakomodasikan pada model pasar komoditi kayu log jangka pendek untuk memperoleh informasi penting mengenai pembentukan harga dan kuantitas serta proyeksinya (forecasting).

(50)

pengukuran integrasi berdasarkan indikator flow-based dari komoditas yang diperdagangkan (tradeability), sedangkan pendugaan efisiensi berdasarkan uji price-based dari keseimbangan pasar spasial. (2) pengujian hipotesis nol dari efisiensi pasar menghadapai kendala ketakcukupan data terutama data biaya-biaya perdagangan internasional, hal ini yang menyebabkan hipotesis keseimbangan pada pasar persaingan sempurna (PPS) selalu ditolak, yang mana informasi ini sebagai prasyarat untuk kebijakan peningkatan kesejahteraan, secara empiris uji yang dilakukan hanya pada harga saja, sehingga pengujian ini dengan asumsi yang kuat bahwa biaya-biaya transaksi perdagangan antar dua pasar adalah konstan antar waktu, dan (3) walaupun efisiensi pasar dipenuhi dan keuntungan marjinal untuk arbitrase adalah sama dengan nol, akan tetapi masih ada ketakefisienan sosial yang disebabkan oleh hambatan perdagangan dan besar-besarnya biaya perdagangan.

(51)

2.4. Kebijakan Nasional Perberasan

2.4.1. Kebijakan Harga

Kebijakan beras telah melewati tiga fase sejak awal 1970. Pada fase pertama, pemerintah orde baru banyak mengeluarkan anggaran untuk subsidi input, infrastruktur irigasi, penelitian, dan sistem perluasan, yang memberikan percepatan peningkatan pertumbuhan produksi beras (McCulloch dan Timmer, 2008). Berakhirnya masa emas produksi minyak di awal tahun 1980 menyebabkan perubahan yang besar pada kebijakan beras. Pemerintah tidak dapat lagi menggantungkan pembiayaan sektor beras dari penerimaan minyak. Akibatnya, pertumbuhan produksi beras melambat dan relatif konstan sampai pada krisis ekonomi tahun 1998. Impor beras dihapuskan dan sejak tahun 1999, stabilisasi harga dilakukan melalui perdagangan swasta (private trade). Harga beras cenderung stabil, namun krisis ekonomi dan desentralisasi menyebabkan penurunan anggaran pemerintah untuk input dan jasa yang diperlukan untuk mendorong produksi beras. Fase saat ini, mulai tahun 2004, ditandai dengan dihilangkannya peranan impor dari mekanisme stabilisasi harga. Akibatnya, selama musim panen harga beras rendah, sementara selama musim paceklik harga beras tinggi.

Sejak kemerdekaannya di tahun 1945, setiap rejim pemerintah berusaha menyeimbangkan harga beras. Di satu sisi pemerintah berusaha agar harga beras tetap rendah bagi konsumen dan di sisi lain memberikan pendapatan tinggi bagi petani padi. Pada saat yang sama sektor pertanian –terutama padi– didorong dan dijadikan mesin penggerak ekonomi. Inilah tujuan tetap yang berusaha dicapai pemerintah. Namun kebijakan untuk mencapai tujuan yang berpotensi bertolak belakang tersebut, selalu berubah dari waktu ke waktu.

(52)

sistem pertanian dan penanganan pasca panen yang lebih efisien untuk mengurangi hilangnya sebagian hasil panen. Untuk membantu petani melaksanakan program intensifikasi, pemerintah menyediakan subsidi bibit, pupuk, kredit berbunga rendah dan harga pengadaan (procurement price) untuk maksimal 5 persen produksi gabah.

Penerapan kebijakan pertanian dilakukan berdampingan dengan kebijakan ketahanan pangan dan kebijakan konsumen yang bertujuan untuk mendiversifikasi pola konsumsi penduduk Indonesia termasuk mengurangi konsumsi beras. Kebijakan menurunkan konsumsi beras dilakukan dengan mengkampanyekan secara luas diversifikasi pangan, termasuk mempromosikan makanan pokok alternatif seperti mie dan menurunkan ketergantungan terhadap beras impor dan bahan pangan lain melalui peningkatan konsumsi produk dalam negeri.

Kebijakan beras di Indonesia sejak tahun 1967 terdiri dari tiga fase.

Tahun 1967-1996 adalah fase pertama saat pemerintah mengendalikan pasar beras dalam negeri dengan melakukan intervensi pasar dalam rangka mendorong produksi padi dan menjaga stabilitas harga. Intervensi dilakukan dengan cara mengelola persediaan beras nasional melalui BULOG (Badan Usaha Logistik), lembaga pemerintah yang bertanggung jawab mengelola logistik. Saat itu, impor diatur dengan ketat melalui kebijakan pengendalian impor dan tarif serta bertujuan menutup kesenjangan antara produksi dan konsumsi nasional. Pada tahun 1984 Indonesia mencapai swasembada pangan dan pada tahun 1985-1987 murni menjadi pengekspor beras. Setelah masa tersebut Indonesia kembali menjadi negara pengimpor beras murni.

(53)

Sejak tahun 2001, secara bertahap pemerintah kembali mengendalikan pasar beras dalam negeri namun dengan berbagai modifikasi dibandingkan masa sebelum liberalisasi di tahun 1997. Kebijakan ini diambil karena dampak negatif liberalisasi pasar terhadap harga di tingkat produsen dan konsumen beras. Kebijakan terdahulu yaitu harga dasar gabah telah diganti dengan harga pembelian pemerintah dengan batas harga atas yang dianggap tidak efektif. Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP) tercantum dalam Tabel 1. BULOG melakukan operasi pasar beras hanya saat terjadi kenaikan harga. Kebijakan perdagangan saat ini bertujuan khusus menstabilkan harga padi dalam negeri melalui pelarangan impor berkala dan mengatur persediaan beras melalui privatisasi BULOG.

Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP)

URAIAN KEBIJAKAN

HDG HPP 1. Tujuan Kebijakan Menyangga harga gabah

minimum pada tingkat harga tertentu (HDG) sepanjang tahun

Membantu menyangga harga gabah utamanya pada saat surplus supaya tidak anjlok

2. Instrumen Kebijakan Melakukan pembelian gabah sesuai dengan HDG sampai harga pasar gabah di atas HDG (tanpa dibatasi volume pembelian)

Melakukan pembelian gabah sesuai dengan HPP dan volume tertentu yang sudah ditetapkan, tanpa mandat untuk menjaga harga pasar gabah di atas HPP 3. Instrumen Pendukung Tarif dan pembatasan

impor

Tarif dan pembatasan impor

4. Efektifitas Kebijakan Efektivitasnya dijamin mampu menyangga harga pasar gabah di atas HDG yang telah ditetapkan

(54)

Lanjutan Tabel 1 Perbedaan antara harga dasar gabah (HDG) dan harga pembelian pemerintah (HPP)

URAIAN KEBIJAKAN

HDG HPP 5. Biaya Kebijakan Dua kali lipat dibanding

HPP karena untuk menjaga harga pasar gabah di atas HDG diperlukan pembelian sekitar 4 juta ton beras pada musim panen raya (sekitar Rp 16 trilliun)

Saat ini pembelian gabah sebanyak 2 juta ton (sekitar Rp 8 trilliun)

6. Resiko Politik Apabila gagal memjamin HDG, petani berhak menuntut pemerintah (demontrasi petani makin marak)

Tidak ada tuntutan kepada pemerintah walaupun harga gabah di bawah HPP, setelah pemerintah melakukan pembelian sesuai dengan volume dan HPP yang telah ditetapkan 7. Keuntungan Politik Kredibilitas pemerintah di

mata petani meningkat

Kredibilitas pemerintah di mata petani tidak dijamin Sumber: Paasch et. al. (2007)

Sejak tahun 2003, status Bulog berubah dari LPND menjadi Perum. Masalah bisa muncul karena terjadi kontradiksi dalam diri Bulog sebagai lembaga yang harus mengemban peran sosial dan komersial. Kondisi ini juga bisa menciptakan peluang bagi maraknya praktik manipulasi dan inefisiensi untuk tujuan mendapatkan untung perusahaan dan pribadi.

Selain itu, Pemerintah melalui Surat Menko Perekonomian tanggal 31 Agustus 2007 tentang Kebijakan Stabilisasi Bahan Pangan Pokok Beras, Gula, dan Minyak Goreng memberi kewenangan penuh kepada Bulog untuk menstabilkan harga beras. Kewenangan itu meliputi monopoli impor, stabilisasi harga regional tanpa menunggu perintah, membeli beras di luar harga pembelian pemerintah atau HPP demi mengejar target pengadaan, dan menjaga stok beras minimal satu juta ton.

2.4.2. Kebijakan Perdagangan

(55)

stabilisasi harga dan proteksi dari persaingan internasional. Sampai tahun 1997, dukungan pemerintah masih diberikan dalam jumlah terbatas. BULOG, sebagai lembaga pemerintah memonopoli impor dan mengimpor beras hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan (jika ada) antara penawaran dan permintaan dalam negeri.

Kebijakan ini membuat harga beras dalam negeri relatif stabil selama lebih dari dua dekade. Pada tahun 1995, Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) dan mulai menerapkan perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk impor, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160 persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA, Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70 ribu ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300 ribu ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28 juta per tahun (UNDP, 2005).

Namun sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berganti menjadi pengimpor murni. Sejak tahun 1995, Indonesia membuka pasar dalam negeri melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, sebaliknya kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3.1 juta ton beras impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400.000 ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor selama periode tersebut (UNDP, 2005).

(56)

pemerintah meminta bantuan keuangan dari IMF. Dana bantuan IMF diberikan dengan syarat Indonesia menandatangani surat perjanjian yang mencantumkan persetujuan Indonesia untuk menerapkan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank. Secara radikal, pemerintah mengubah kebijakan perdagangan dan pertanian nasional. Dalam konteks tersebut, pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan Bulog kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999.

Jumlah beras impor melonjak hingga 6 juta ton pada tahun 1998 dan 4 juta ton pada tahun 1999. Beras impor terbanyak berasal dari Thailand, diikuti Vietnam (UNDP, 2005). Pemberian fasilitas kredit impor dan subsidi input pertanian di Thailand dan Vietnam membuat harga ekspor mereka rendah dan membanjiri pasar Indonesia dengan beras dumping.

(57)

berlangsung hingga sekarang (UNDP, 2005). Untuk membantu petani kecil yang sangat rentan, pada tahun 1998-2001 pemerintah mengadakan program bantuan pangan yang disebut Operasi Pasar Khusus (OPK) dan selanjutnya diganti menjadi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin).

Setelah pergantian kekuasaan dari rejim pemerintah otoriter ke rejim demokratis dan meningkatnya kemiskinan di pedesaan akibat banjir beras impor, pada tahun 2000 rejim baru sedikit mengubah kebijakan pasar: pertama, pengenaan tarif impor khusus Rp 430 per kg atau setara dengan US$ 45 per ton. Tarif tersebut sama dengan 30 persen harga beras dunia dan masih jauh di bawah batas tarif WTO. Kedua, impor beras yang dilakukan oleh swasta harus melalui pemeriksaan yang lebih ketat dibandingkan pemeriksaan yang harus dilalui impor produk pangan lainnya, dan juga harus memenuhi persyaratan impor khusus (Warr, 2005).

Penerapan hambatan tarif dan non-tarif mengakibatkan menurunnya volume beras impor, dan naiknya harga, persis seperti yang terjadi dengan beras lokal. Menurut data BULOG, harga rata-rata c.i.f. pada bulan Januari – Oktober 2001 sekitar Rp 1.692 per kg. Pada bulan sama, harga rata-rata beras lokal di pasar terbesar di Jakarta sekitar Rp 2.040 per kg. Jika kita menambahkan tarif Rp 430 per kg bagi beras impor, maka harga beras impor 5 persen lebih mahal dibandingkan beras lokal (UNDP, 2005).

(58)

Tampaknya kemampuan pemerintah untuk mengawasi secara efektif pelabuhan-pelabuhan yang tersebar berada diluar jangkauan.

Untuk menstabilkan harga di tingkat petani, pada tahun 2001 pemerintah membangun sistem baru harga pembelian yang bertujuan melindungi petani dari penurunan harga, terutama saat panen. Dalam sistem ini pemerintah membeli 2 juta gabah dengan harga minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (disebut pula harga pembelian pemerintah). Namun sistem ini hanya memiliki efek yang terbatas karena kurang dari 5 persen produksi beras nasional yang dihargai sebesar harga pembelian tersebut. Jadi kombinasi kebijakan harga dan kebijakan perdagangan hanya memberikan pengaruh yang sangat sedikit terhadap pemulihan kondisi petani hingga akhir tahun 2001 (Sidik, 2004).

Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002, di bawah ketentuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA), Indonesia wajib menerapkan tarif impor 0-5 persen bagi produk-produk pertanian paling lambat pada bulan Januari 2010. Namun karena beras dianggap produk sensitif, pemerintah tetap memberlakukan tarif yang berlaku saat ini sampai tahun 2010 dan penetapan tarif maksimal 20 persen sampai tahun 2020 (UNDP, 2005). Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam jangka pendek dan menengah AFTA tidak meminta penurunan tarif impor beras.

(59)

negeri dan konsumsi nasional. Kesenjangan tersebut ditandai dengan kenaikan harga beras lokal melebihi batas atas yaitu Rp 3.350 per kg, atau saat cadangan beras nasional turun dibawah angka 1 juta ton. Dengan pembatasan ini, pada awalnya impor beras turun menjadi rata-rata 625 ribu ton per tahun selama periode 2004-2006, namun menurut prediksi FAO pada tahun 2007 naik lagi menjadi 1,8 juta ton. Akibatnya pada tahun 2004-2006, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia (bahkan tidak lagi termasuk dalam enam besar pengimpor beras dunia). Namun pada tahun 2007, Indonesia kembali berada dalam posisi pengimpor dengan pemasok utama Vietnam dan Thailand, keduanya memasok dua pertiga beras impor yang masuk ke Indonesia.

Tampaknya kebijakan pelarangan impor tidak mencapai hasil yang diharapkan yaitu tingkat harga yang menguntungkan bagi petani dan terjangkau bagi konsumen. Pada tahun 2004, pelarangan impor tidak lagi berdampak signifikan karena panen yang sukses dan cadangan beras nasional dalam jumlah cukup. Sejak saat itu panen normal dan berkurangnya cadangan beras mengakibatkan terus naiknya harga di tingkat konsumen sedangkan harga di tingkat petani hanya mengalami kenaikan kecil. Pada bulan April 2007, konsumen membayar Rp5.000/kg beras, atau dua kali lipat harga yang mereka bayarkan setahun sebelumnya. Dalam periode yang sama harga di tingkat petani naik kurang dari 20 persen. Namun bukan petani yang mendapatkan keuntungan utama dari kenaikan harga beras, melainkan para pedagang. Akibatnya pemerintah semakin terdesak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan beras nasional. Pada tahap pertama, impor ad hoc pada tahun 2007 akan naik signifikan. Menjadi pertanyaan tersendiri, apakah pemerintah akan sepenuhnya membatalkan pelarangan impor. Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya bagi pemerintah mengatur pasar yang dikendalikan oleh oligopoli pedagang.

(60)

rendahnya harga di tingkat petani, untuk mendorong produksi padi, petani mendapat subsidi input pertanian. Subsidi tersebut terutama berperan penting selama tahun 1990-1994 (UNDP, 2005).

Penandatangan surat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat situasi berubah drastis. IMF menyaratkan semua subsidi pertanian dan penetapan harga oleh pemerintah dihapuskan (UNDP, 2005). Sejak tahun 1998-2000, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar dan kebijakan stabilisasi harga dimodifikasi menjadi kebijakan bantuan pangan nasional bagi rakyat miskin.

2.5. Tinjauan Penelitian Empiris

Peran Pedagang dan Keterlibatan Bulog dalam Sistem Pemasaran Beras

Arifin (2004) dan Natawidjaja (2000) menemukan bahwa di banyak wilayah ada dua jalur pemasaran dalam tata niaga beras, yaitu swasta dan pemerintah (Bulog). Jalur swasta lebih panjang daripada jalur pemerintah dengan banyak pemain yang diawali oleh pengumpul-pengumpul di desa, perusahaan-perusahaan penggilingan padi, grosir, dan berakhir oleh pedagang-pedagang eceran.

Selain itu, sistem pemasaran beras ternyata bervariasi dalam tingkat kompleksitasnya antar wilayah atau antar kelompok wilayah. Misalnya, dari observasinya di 7 Kabupaten/Kota di Jawa, Saliem (2004) menemukan betapa pentingnya pedagang dalam perdagangan beras antar pulau atau propinsi, sedangkan, dari penelitiannya di

Gambar

Gambar 1 Harga beras eceran dan gabah kering giling (GKG) di tingkat petani periode Januari 1993-Mei 2008
Gambar 2  Kerangka pikir penelitian.
Gambar 3  Pergerakan harga gabah kering panen tingkat penggilingan di
Tabel 2  Koefisien variasi (CV) harga gabah kering panen (GKP) tingkat penggilingan di Indonesia, 1998-2008
+7

Referensi

Dokumen terkait

Jenis Surat Uraian Jumlah Masuk Jumlah Keluar Total.. 1 SURAT BIASA

Dalam hal penerimaan negara yang berasal dari sumber daya alam (tentu saja termasuk di dalamnya hasil kayu eboni), sektor kehutanan dibagi dengan imbangan 20% untuk pemerintah pusat

“Cara yang ketiga adalah bicara yang baik bila sedang marah. Ada tiga caranya pak, coba praktekkan langsung kepada Mbak cara bicara ini:.. Meminta dengan baik tanpa marah dengan

Pada pelaksanaan siklus III peningkatan aktivitas yang berupa atmosfer akademik siswa dalam mendiskusikan masalah-masalah yang diajukan dalam lembar kegiatan

Pada halaman 66 penulis mengaitkan filsafat de Sade dan korupsi dengan kesimpulan bahwa korupsi adalah bentuk konkret dari pemburuan kenikmatan tanpa batas

Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia Merdeka yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, dan untuk

Analisis Kepadatan Penduduk Kota Medan pada tahun 2005 hingga 2015... Analisis Inflasi Kota Medan pada tahun 2005

Mahasiswa dapat menjelaskan adanya kecenderungan untuk menggunakan standar budaya kelompoknya sendiri untuk memahami kelompok dari budaya yang berbeda, dapat menjelaskan skema