• Tidak ada hasil yang ditemukan

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.4. Kebijakan Nasional Perberasan

2.4.2. Kebijakan Perdagangan

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, hingga tahun 1994 sektor beras mendapat banyak dukungan dari pemerintah dalam bentuk subsidi input,

stabilisasi harga dan proteksi dari persaingan internasional. Sampai tahun 1997, dukungan pemerintah masih diberikan dalam jumlah terbatas. BULOG, sebagai lembaga pemerintah memonopoli impor dan mengimpor beras hanya dalam jumlah yang dibutuhkan untuk menutup kesenjangan (jika ada) antara penawaran dan permintaan dalam negeri.

Kebijakan ini membuat harga beras dalam negeri relatif stabil selama lebih dari dua dekade. Pada tahun 1995, Indonesia menjadi anggota Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organisation/WTO) dan mulai menerapkan perjanjian pertanian (Agreement on Agriculture/AoA) yang meminta pemerintah Indonesia membuka pasar terhadap produk impor, menurunkan dan akhirnya menghapuskan subsidi input pertanian seperti pupuk, pestisida dan bibit. Lebih jauh, batas harga beras ditetapkan sebesar 160 persen dari harga impor c.i.f dan berdasarkan jadwal AoA, Indonesia harus membuka akses masuknya beras dengan kuota minimal 70 ribu ton per tahun. Dengan kuota tersebut, tingkat tarif preferensi (preferential tariff) ditetapkan maksimum 90 persen. Indonesia kemudian berkomitmen menurunkan subsidi ekspor yang telah dilakukan selama tahun 1986-1990. Subsidi tersebut menghasilkan total ekspor 300 ribu ton beras per tahun dengan nilai subsidi US$ 28 juta per tahun (UNDP, 2005).

Namun sejak AoA diberlakukan, Indonesia berhenti mengekspor beras dan berganti menjadi pengimpor murni. Sejak tahun 1995, Indonesia membuka pasar dalam negeri melebihi ketentuan WTO. Pada tahun 1995-1997, tidak ada pengenaan tarif impor, sebaliknya kuota impor diterapkan fleksibel dan mengundang masuknya 3.1 juta ton beras impor pada tahun 1995, 1 juta ton pada tahun 1996 dan 400.000 ton pada tahun 1997. Keseluruhan impor tersebut membuat Indonesia menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia selama tahun 1995-1997. Thailand, Vietnam dan Amerika Serikat adalah pemasok utama beras impor selama periode tersebut (UNDP, 2005).

Pada tahun 1997, penerapan AoA bertumpang tindih dengan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank dan melampaui ketetapan WTO. Pada tahun yang sama, Indonesia dan negara Asia lain mengalami krisis ekonomi yang parah. Di Indonesia, krisis tersebut diikuti oleh runtuhnya bursa efek pada tahun 1998 dan krisis politik yang parah. Untuk mengatasi situasi tersebut,

pemerintah meminta bantuan keuangan dari IMF. Dana bantuan IMF diberikan dengan syarat Indonesia menandatangani surat perjanjian yang mencantumkan persetujuan Indonesia untuk menerapkan kebijakan penyesuaian struktural IMF dan World Bank. Secara radikal, pemerintah mengubah kebijakan perdagangan dan pertanian nasional. Dalam konteks tersebut, pemerintah menghapuskan atau menurunkan dalam jumlah besar semua subsidi pertanian, termasuk subsidi input yang sebelumnya berperan penting dalam pengembangan sektor pertanian di Indonesia. Kebijakan penetapan harga beras di pasar dalam negeri dihentikan dan Bulog kehilangan hak monopoli impor. Tarif impor nol persen dan impor dalam jumlah tak terbatas mengalir antara tahun 1998 dan 1999.

Jumlah beras impor melonjak hingga 6 juta ton pada tahun 1998 dan 4 juta ton pada tahun 1999. Beras impor terbanyak berasal dari Thailand, diikuti Vietnam (UNDP, 2005). Pemberian fasilitas kredit impor dan subsidi input pertanian di Thailand dan Vietnam membuat harga ekspor mereka rendah dan membanjiri pasar Indonesia dengan beras dumping.

Akibatnya pada tahun 1998, Indonesia kembali menjadi pengimpor beras terbesar dunia. Impor pada awalnya ditujukan untuk menutup kesenjangan yang semakin lebar antara menurunnya produksi padi dalam negeri dan meningkatkan permintaan konsumen. Pada tahun yang sama, Indonesia, seperti halnya negara- negara Asia Tenggara lain terkena dampak parah kekeringan yang dipicu oleh arus tenggara fenomena alam El Nino. Pada tahun 1999, produksi padi dalam negeri mulai pulih namun impor beras berlanjut, mengakibatkan kelebihan penawaran (oversupply) beras di pasar dan turunnya harga padi lokal. Secara faktual, kehilangan produksi padi akibat El Nino hanya berkisar 4-5 persen, namun beras impor menguasai 12 persen pasar, artinya jumlah beras impor 2-3 kali lebih tinggi dari sekedar kebutuhan menutup kekurangan produksi dalam negeri. Akibatnya swasembada pangan turun tajam dari 95 persen menjadi 88 persen (Sidik, 2004), dan ketahanan pangan nasional semakin tergantung dari pasar dunia yang berubah-ubah dan lesu. Petani padi sangat terpukul karena turunnya harga padi yang dikombinasikan dengan naiknya harga input pertanian, turunnya subsidi dan hilangnya produksi padi karena El Nino. Akibatnya marjin keuntungan petani turun tajam. Kesengsaraan dalam berbagai bentuk terus

berlangsung hingga sekarang (UNDP, 2005). Untuk membantu petani kecil yang sangat rentan, pada tahun 1998-2001 pemerintah mengadakan program bantuan pangan yang disebut Operasi Pasar Khusus (OPK) dan selanjutnya diganti menjadi Beras untuk Masyarakat Miskin (Raskin).

Setelah pergantian kekuasaan dari rejim pemerintah otoriter ke rejim demokratis dan meningkatnya kemiskinan di pedesaan akibat banjir beras impor, pada tahun 2000 rejim baru sedikit mengubah kebijakan pasar: pertama, pengenaan tarif impor khusus Rp 430 per kg atau setara dengan US$ 45 per ton. Tarif tersebut sama dengan 30 persen harga beras dunia dan masih jauh di bawah batas tarif WTO. Kedua, impor beras yang dilakukan oleh swasta harus melalui pemeriksaan yang lebih ketat dibandingkan pemeriksaan yang harus dilalui impor produk pangan lainnya, dan juga harus memenuhi persyaratan impor khusus (Warr, 2005).

Penerapan hambatan tarif dan non-tarif mengakibatkan menurunnya volume beras impor, dan naiknya harga, persis seperti yang terjadi dengan beras lokal. Menurut data BULOG, harga rata-rata c.i.f. pada bulan Januari – Oktober 2001 sekitar Rp 1.692 per kg. Pada bulan sama, harga rata-rata beras lokal di pasar terbesar di Jakarta sekitar Rp 2.040 per kg. Jika kita menambahkan tarif Rp 430 per kg bagi beras impor, maka harga beras impor 5 persen lebih mahal dibandingkan beras lokal (UNDP, 2005).

Penting untuk menggarisbawahi bahwa pemerintah telah bertindak tepat dalam rangka membela kepentingan petani padi yang termarjinalkan dan sangat rentan. Namun tindakan tersebut tidak mencukupi untuk mengatasi situasi genting petani padi. Salah satu alasannya adalah kebijakan perdagangan yang berdampak terbatas, manajemen beras impor menjadi semakin sulit sejak tahun 2002. Untuk menghindari cukai impor, mengatasi kesulitan mendapatkan lisensi impor dan untuk mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi, penyelundupan beras menjadi hal biasa. Kondisi wilayah dengan 13 ribu pulau membuat penyelundupan 1-2 juta ton beras per tahun atau 5 persen konsumsi total, relatif mudah. Perkiraan jumlah beras selundupan ini –yang melebihi jumlah impor beras resmi– secara luas diakui oleh berbagai sumber di kalangan pejabat pemerintah dan tokoh petani.

Tampaknya kemampuan pemerintah untuk mengawasi secara efektif pelabuhan- pelabuhan yang tersebar berada diluar jangkauan.

Untuk menstabilkan harga di tingkat petani, pada tahun 2001 pemerintah membangun sistem baru harga pembelian yang bertujuan melindungi petani dari penurunan harga, terutama saat panen. Dalam sistem ini pemerintah membeli 2 juta gabah dengan harga minimum yang telah ditetapkan sebelumnya (disebut pula harga pembelian pemerintah). Namun sistem ini hanya memiliki efek yang terbatas karena kurang dari 5 persen produksi beras nasional yang dihargai sebesar harga pembelian tersebut. Jadi kombinasi kebijakan harga dan kebijakan perdagangan hanya memberikan pengaruh yang sangat sedikit terhadap pemulihan kondisi petani hingga akhir tahun 2001 (Sidik, 2004).

Terhitung sejak tanggal 1 Januari 2002, di bawah ketentuan Perjanjian Perdagangan Bebas ASEAN (ASEAN Free Trade Area/AFTA), Indonesia wajib menerapkan tarif impor 0-5 persen bagi produk-produk pertanian paling lambat pada bulan Januari 2010. Namun karena beras dianggap produk sensitif, pemerintah tetap memberlakukan tarif yang berlaku saat ini sampai tahun 2010 dan penetapan tarif maksimal 20 persen sampai tahun 2020 (UNDP, 2005). Sejalan dengan kondisi tersebut, dalam jangka pendek dan menengah AFTA tidak meminta penurunan tarif impor beras.

Pada tahun 2003, harga beras dunia relatif stabil dan 40 persen lebih rendah dari harga beras dalam negeri. Karena ancaman yang kerap muncul, petani padi terus menuntut pemberlakuan proteksi produksi beras dalam negeri terhadap masuknya beras impor murah. Untuk melindungi produsen beras dalam negeri, menteri pertanian mengusulkan kenaikan tarif 75 persen (dari Rp 430 menjadi Rp 750), dengan demikian menaikan tarif pajak ad valorem dari 25 persen menjadi 45 persen. Usulan ini didukung oleh organisasi petani namun mendapat tentangan keras dari menteri keuangan dan menteri perdagangan, keduanya adalah pejabat yang bertanggung jawab penuh dalam penetapan tarif. Untuk lebih melindungi produksi nasional, pada awal tahun 2004 menteri pertanian memutuskan pembatasan impor sementara (Warr, 2005) yang berlaku hingga tahun 2007. Sejak saat itu wewenang monopoli impor kembali dipegang oleh BULOG. Jumlah impor beras dibatasi hanya untuk menutup kesenjangan antara produksi dalam

negeri dan konsumsi nasional. Kesenjangan tersebut ditandai dengan kenaikan harga beras lokal melebihi batas atas yaitu Rp 3.350 per kg, atau saat cadangan beras nasional turun dibawah angka 1 juta ton. Dengan pembatasan ini, pada awalnya impor beras turun menjadi rata-rata 625 ribu ton per tahun selama periode 2004-2006, namun menurut prediksi FAO pada tahun 2007 naik lagi menjadi 1,8 juta ton. Akibatnya pada tahun 2004-2006, Indonesia tidak lagi menjadi negara pengimpor beras terbesar dunia (bahkan tidak lagi termasuk dalam enam besar pengimpor beras dunia). Namun pada tahun 2007, Indonesia kembali berada dalam posisi pengimpor dengan pemasok utama Vietnam dan Thailand, keduanya memasok dua pertiga beras impor yang masuk ke Indonesia.

Tampaknya kebijakan pelarangan impor tidak mencapai hasil yang diharapkan yaitu tingkat harga yang menguntungkan bagi petani dan terjangkau bagi konsumen. Pada tahun 2004, pelarangan impor tidak lagi berdampak signifikan karena panen yang sukses dan cadangan beras nasional dalam jumlah cukup. Sejak saat itu panen normal dan berkurangnya cadangan beras mengakibatkan terus naiknya harga di tingkat konsumen sedangkan harga di tingkat petani hanya mengalami kenaikan kecil. Pada bulan April 2007, konsumen membayar Rp5.000/kg beras, atau dua kali lipat harga yang mereka bayarkan setahun sebelumnya. Dalam periode yang sama harga di tingkat petani naik kurang dari 20 persen. Namun bukan petani yang mendapatkan keuntungan utama dari kenaikan harga beras, melainkan para pedagang. Akibatnya pemerintah semakin terdesak untuk mempertimbangkan kembali kebijakan beras nasional. Pada tahap pertama, impor ad hoc pada tahun 2007 akan naik signifikan. Menjadi pertanyaan tersendiri, apakah pemerintah akan sepenuhnya membatalkan pelarangan impor. Situasi ini menunjukkan betapa sulitnya bagi pemerintah mengatur pasar yang dikendalikan oleh oligopoli pedagang.

Selain kebijakan perdagangan, peran pemerintah dalam sektor pertanian dan kebijakan harga tampaknya menjadi faktor yang menentukan bagi petani padi. Sebelum periode liberalisasi perdagangan (1995-2001), harga beras berada di tingkat menengah dan stabil akibat dari intervensi negara. Baik petani dan konsumen keduanya terlindungi, petani terlindungi dari penurunan harga yang berlebihan dan konsumen dari kenaikan harga yang tinggi. Kedua, terlepas dari

rendahnya harga di tingkat petani, untuk mendorong produksi padi, petani mendapat subsidi input pertanian. Subsidi tersebut terutama berperan penting selama tahun 1990-1994 (UNDP, 2005).

Penandatangan surat perjanjian antara pemerintah Indonesia dengan IMF membuat situasi berubah drastis. IMF menyaratkan semua subsidi pertanian dan penetapan harga oleh pemerintah dihapuskan (UNDP, 2005). Sejak tahun 1998- 2000, harga pupuk diserahkan kepada mekanisme pasar dan kebijakan stabilisasi harga dimodifikasi menjadi kebijakan bantuan pangan nasional bagi rakyat miskin.

Dokumen terkait