• Tidak ada hasil yang ditemukan

IV. PERGERAKAN HARGA DAN POLA SPREAD HARGA GABAH DAN

4.2. Pola Spread antara Harga Gabah dan Beras di Indonesia

4.2.2. Antar Wilayah ( Spatial )

Produksi padi pada prinsipnya tergantung dari luas lahan dan produktivitasnya. Sementara, produktivitas itu sendiri sangat dipengaruhi oleh benih padi, penggunaan pupuk berimbang, kesuburan tanah, dan curah hujan. Wilayah yang memiliki tingkat kesuburan tanah serta curah hujan yang tinggi akan berpotensi menghasilkan produksi padi yang tinggi. Karena wilayah Indonesia memiliki tingkat kesuburan tanah dan curah hujan yang bervariasi, maka tingkat produksi padi juga bervariasi antar wilayah. Selama ini produksi padi masih didominasi wilayah Jawa. Menurut BPS, pada 2007 pulau Jawa berkontribusi sebesar 53.3 persen terhadap produksi beras nasional.

Produksi padi Indonesia yang tidak merata antar wilayah tersebut, sementara tingkat konsumsi beras terus meningkat setiap tahun di setiap wilayah. Sebagai konsekuensinya terdapat wilayah-wilayah yang mampu dan tidak mampu menyediakan beras untuk wilayahnya sendiri. Atau dengan kata lain, ada daerah

surplus dan defisit beras. Kondisi ini akan membuat perbedaan harga beras dari suatu wilayah ke wilayah lainnya atau dari daerah surplus ke daerah yang defisit beras.

Pergerakan pola spread nominal antara harga gabah kering panen (GKP) dan harga beras medium eceran di beberapa provinsi di Indonesia diberikan pada Gambar 10. Pada periode 1999-2002, yaitu masa saat Bulog memiliki status sebagai LPND, spread nominal terbesar terjadi di Sumatera Barat, sementara spread nominal yang terendah terjadi di Sulawesi Selatan. Ada tiga provinsi yang memiliki gap harga nominal lebih tinggi daripada spread harga rata-rata nasional, yaitu Bali, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara. Sementara, provinsi lainnya, yang didominasi oleh pulau Jawa, memiliki spread harga nominal lebih rendah daripada rata-rata nasional. Pada periode ini, spread harga nominal di provinsi sentra produksi beras, yaitu Jawa Timur, Jawa Tengah, Jawa Barat, dan Sulawesi Selatan, relatif lebih rendah dibandingkan dengan spread harga nominal dari provinsi non sentra produksi beras.

Pada saat Bulog berstatus sebagai Perum, yaitu periode 2003-2008, spread harga nominal di Sulawesi selatan meningkat secara signifikan, bahkan jauh melampaui rata-rata nasional, dan semua pulau Jawa.

  Gambar 10 Pola spread harga nominal gabah dan beras eceran di beberapa

provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008.

Kestabilan spread harga antar wilayah dapat dilihat dari spread harga riilnya, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 11. Pada periode LPND Bulog (1999-2002), spread harga riil di Sumatera Barat dan Bali lebih tinggi daripada spread harga riil rata-rata nasional. Sementara pada periode Perum Bulog (2003- 2008), hanya Sumatera Barat saja yang kestabilan spread harga riilnya masih tinggi dibandingkan rata-rata secara nasional. Namun kondisi ini masih jauh lebih baik, karena spread harga riil di Sumatera Barat lebih rendah dibandingkan dengan periode sebelumnya. Jika diperhatikan lebih seksama, semua provinsi, kecuali Bali, Sumatera Utara, dan Sulawesi Selatan, mengalami perbaikan ketika Bulog berstatus sebagai Perum, hal ini dapat dilihat dari harga riil yang lebih rendah pada periode 2003-2008

Sumut Sumut Sumbar Sumbar Lampung Lampung Jabar Jabar Jateng Jateng Yogya Yogya Jatim Jatim Sulsel Sulsel Bali Bali NTB NTB Indonesia Indonesia 0 500 1000 1500 2000 2500 1999 2002 2003 2008 Rp/kg

Gambar 11 Pola spread harga riil gabah dan beras eceran di beberapa provinsi di Indonesia, periode 1999-2002 dan periode 2003- 2008.

4.2.3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Spread Harga Gabah dan Beras

Dalam bagian ini akan diuraikan mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras menggunakan model ekonometrika. Faktor-faktor yang akan diuji dalam model ekonometrika tersebut adalah harga beras internasional (LHI), harga BBM (LHBBM), indeks nilai tukar petani (LNTP), adalah harga pembelian pemerintah untuk gabah kering giling (LHPPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), jumlah pembelian gabah oleh Bulog dari petani (LJPB), jumlah pembelian beras oleh Bulog (LJPG), stok beras Bulog (SB), distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (DB), dan nilai tukar (LER).

Tahap pertama dari analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah memeriksa stasioneritas data. Untuk itu digunakan uji ADF (Augmented Dickey-Fuller) baik untuk model dengan konstanta maupun

Sumut Sumut Sumbar Sumbar Lampung Lampung Jabar Jabar Jateng Jateng Yogya Yogya Jatim Jatim Sulsel Sulsel Bali Bali NTB NTB Indonesia Indonesia 0 5 10 15 20 25 1999 ‐ 2002 2003 ‐ 2008

dengan/tanpa tren. Hasil uji ADF untuk deret harga masing-masing variabel pada level dan first difference disajikan pada Tabel 6.

Jika menggunakan konstanta tanpa tren (panel A), variabel pada tingkat level yang sudah stasioner secara alami adalah harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), jumlah pengadaan beras yang dilakukan oleh Bulog (LJPB), jumlah pengadaan gabah yang dilakukan oleh Bulog (LJPG), dan total distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (LDB).

Sementara, jika diuji menggunakan konstanta dengan tren (panel B), variabel jumlah pengadaan beras yang dilakukan oleh Bulog (LJPB), jumlah pengadaan gabah yang dilakukan oleh Bulog (LJPG), jumlah stok beras Bulog (LSB), dan total distribusi beras yang dilakukan oleh Bulog (LDB) yang stasioner alami pada tingkat level.

Tabel 6 Uji unit root ADF untuk masing-masing variabel (dalam natural log)   No. Variabel Variabel pada Level Variabel pada first difference Variabel pada Level Variabel pada first difference Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test Jumlah lag ADF test

A. Konstanta tanpa tren B . Konstanta dengan tren

1 LHGB 0 -2.05 0 -6.55 ** 0 -1.93 0 -6.51 ** 2 LHPPG 0 -2.05 0 -9.54 ** 0 -2.85 0 -9.58 ** 3 LHPPB 0 -3.04 * 0 -9.5 ** 0 -2.93 0 -9.5 ** 4 LJPB 1 -5.76 ** 1 -8.39 ** 1 -5.77 ** 1 -8.34 ** 5 LJPG 0 -4.25 ** 1 -8.61 ** 0 -4.57 ** 1 -8.56 ** 6 LSB 2 -2.82 1 -6.85 ** 1 -4.46 ** 1 -6.83 ** 7 LDB 0 -4.26 ** 1 -9.7 ** 0 -4.26 ** 2 -8.42 ** 8 LNTP 0 -1.8 0 -10.9 ** 0 -2.81 0 -10.9 ** 9 LHBBM 0 -1.2 0 -10.1 ** 0 -2.26 0 -10.1 ** 10 LHI 1 -2.05 0 -6.3 ** 1 -3.16 0 -6.28 ** 11 LER 0 -1.54 0 -8.94 ** 0 -2.63 0 -8.89 **

a) Jumlah lag optimal dipilih pada nilai SIC (Schwarz’s Information Criteria) minimum.

b) Test ADF dibandingkan dengan nilai Tabel MacKinnon, dimana ** dan * adalah tolak

hipotesis nol bahwa variabel tersebut mengandung unit root pada taraf nyata 1% dan 5%.

Untuk uji ADF variabel pada first difference, hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, baik jika menggunakan konstanta tanpa tren

maupun menggunakan konstanta dengan tren. Dengan demikian, semua variabel adalah terintegrasi pada ordo satu, yang dilambangkan dengan I(1) (Engle dan Granger, 1987). Karena pada panel A dan B hipotesis nol adanya unit root ditolak pada taraf nyata 1%, maka untuk análisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dapat digunakan model dengan konstanta tanpa tren atau dengan tren.

Tahap kedua dalam analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah melihat kestabilan dari model VAR. Hasil dari uji kestabilan menunjukkan bahwa model VAR pada lag 1 sampai dengan lag 4 masih stabil. Sementara model VAR dengan lag 5 sudah tidak stabil. Artinya, kemungkinan lag optimal yang dapat digunakan adalah antara lag 1 sampai dengan lag 4.

Tahap ketiga adalah menentukan lag optimal dengan uji-uji (selection order-criteria) yang disediakan oleh E Views. Hasilnya menunjukkan bahwa lag optimum yang dapat digunakan pada model VAR adalah lag 1, yaitu berdasarkan kriteria informasi LR, FPE, AIC, SC, HQ (Tabel 7).

Tabel 7 Penentuan lag optimal untuk variabel  

Lag LL LR FPE AIC SC HQ

0 448.3959 NA 5.36E-18 -8.552084 -7.044493 -7.943608 1 1042.145 980.9762 * 1.92E-22 * -18.82923 * -14.00494 * -16.88211 * 2 1120.653 110.936 5.64E-22 -17.9055 -9.764513 -14.61973 3 1206.36 100.6118 1.78E-21 -17.13825 -5.68056 -12.51383 4 1349.56 133.8617 2.37E-21 -17.62088 -2.846488 -11.65781 Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%

Tahap selanjutnya adalah uji kointegrasi dan menentukan jumlah vektor kointegrasi (r) di antara sistem variabel yang ada. Hasil uji kointegrasi multi- variabel dengan Johansen maximum likelihood dengan lag 1 untuk analisis faktor- faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dapat dilihat pada Tabel 8. Hasil uji kointegrasi tersebut menunjukkan bahwa jumlah hubungan jangka panjang dalam sistem adalah tiga (r = 3) untuk taraf nyata 1%.

Tabel 8 Uji kointegrasi dan jumlah vektor kointegrasi (r) untuk analisis faktor- faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia  

Hipotesis Nol Eigenvalue Trace statistics Max-eigen statistic

r = 0 0.624100 416.7839 * 91.9725 * r ≤ 1 0.568093 324.8114 * 78.9171 * r ≤ 2 0.534975 245.8942 * 71.9724 * r ≤ 3 0.380303 173.9218 44.9814 r ≤ 4 0.310897 128.9404 35.0023 r ≤ 5 0.288895 93.93818 32.0479 r ≤ 6 0.220168 61.89026 23.3756 r ≤ 7 0.158210 38.51463 16.1892 r ≤ 8 0.148194 22.32546 15.0773 r ≤ 9 0.047047 7.248157 4.5298 r ≤ 10 0.028504 2.718314 2.7183 Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%

Hasil Uji Model VECM disajikan pada Lampiran 1 Karena salah satu tujuan utama penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia, maka estimasi model VECM yang dianalisis, difokuskan pada estimasi spread harga gabah dan beras (LHGB).

Tabel 9 menampilkan persamaan kointegrasi (Cointegration Equation/CE) untuk keseimbangan jangka panjang. Terlihat adanya hubungan keseimbangan jangka panjang antara jumlah pembelian beras (LJPB), jumlah pembelian gabah (LJPG), harga pembelian pemerintah untuk beras (LHPPB), harga pembelian pemerintah untuk gabah (LHPPG), harga BBM (LBBM), harga beras internasional (LHI), dan nilai tukar (LER) dengan spread harga gabah dan beras (LHGB). Sementara, nilai tukar petani (LNTP) tidak memiliki hubungan keseimbangan jangka panjang dengan spread harga gabah dan beras (LHGB).

Tabel 9 Persamaan kointegrasi jangka panjang untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia

  Variabel Persamaan Kointegrasi 1 (CE 1) Persamaan Kointegrasi 2 (CE 2) Persamaan Kointegrasi 3 (CE 3) LHGB(-1) 1.00000 0.00000 0.00000 LSB(-1) 0.00000 1.00000 0.00000 LDB(-1) 0.00000 0.00000 1.00000 LJPB(-1) 0.01382 ** 0.06429 ** 0.07026 ** LJPG(-1) -0.00556 ** 0.05809 ** -0.06753 ** LHPPB(-1) 1.96919 ** 1.39884 -11.09685 ** LHPPG(-1) -1.06430 ** -1.17990 5.44663 ** LHBBM(-1) -0.23880 ** -0.75039 ** 1.76392 ** LNTP(-1) -0.24936 0.33442 -0.18197 LHI(-1) -0.09238 ** -0.04733 1.90031 ** LER(-1) -0.51021 ** -2.65414 ** 1.84956 ** @TREND(01M01) 0.00955 ** 0.02471 ** -0.05383 ** C 5.25396 35.71304 11.75240

Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%, ** adalah hipótesis nol ditolak pada taraf nyata 1%

Sementara, persamaan jangka pendek untuk spread harga gabah dan beras (DLHGB) ditunjukkan pada Tabel 10. Seperti sebelumnya, nilai t-hitung yang diperoleh dibandingkan dengan nilai t-tabel, di mana nilai yang digunakan adalah tingkat kepercayaan 5 persen (t-tabel=1.96) dan 10 persen (t-tabel=1.67). Apabila nilai t-hitung yang diperoleh lebih besar dari nilai t-tabel, maka dapat dikatakan bahwa variabel tersebut berpengaruh signifikan.

Dalam Tabel 10 tersebut, koefisien baris (D(LHGB(-1)), D(LSB(-1)), D(LDB(-1)), D(LJPB(-1)), D(LJPG(-1)), D(LHPPB(-1)), D(LHPPG(-1)), D(LHBBM(-1)), D(LNTP(-1)), D(LHI(-1)), D(LER(-1))) menunjukkan besaran penyesuaian yang disebabkan perubahan setiap variabel jangka pendek pada periode sebelumnya terhadap perubahan spread harga gabah dan beras pada saat ini.

Tabel 10 Hasil uji model VECM untuk analisis faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia

  Koreksi Galat D(LHGB) Pers. Kointegrasi 1 -0.226544 ** Pers. Kointegrasi 2 -0.031867 Pers. Kointegrasi 3 -0.044628 ** D(LHGB(-1)) 0.025851 D(LSB(-1)) -0.163852 ** D(LDB(-1)) 0.018322 D(LJPB(-1)) -0.002472 D(LJPG(-1)) -0.001140 D(LHPPB(-1)) 0.032999 D(LHPPG(-1)) 0.058411 D(LHBBM(-1)) 0.074983 D(LNTP(-1)) 0.035827 D(LHI(-1)) 0.096559 D(LER(-1)) -0.154742 C 0.000612 DM_1 0.043974 ** DM_2 0.012561 DHP -0.014385 DSB -0.019365 Keterangan: * adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 10%, ** adalah hipotesis nol ditolak pada taraf nyata 5%.

Tabel 10 menunjukkan bahwa peubah persamaan kointegrasi 1 signifikan terhadap spread harga gabah dan beras sebesar -0.23, artinya terdapat penyesuaian dari persamaan jangka pendek menuju persamaan jangka panjang sebesar 0.23 persen. Dapat pula diartikan bahwa setiap bulannya, kesalahan dikoreksi sebesar 0.23 persen menuju keseimbangan jangka panjang. Dari beberapa peubah yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras dalam jangka pendek, hanya peubah stok beras pada periode sebelumnya (D(LSB(-1))) dan dummy musim panen raya (DM_1) yang signifikan mempengaruhi spread harga gabah dan beras pada taraf nyata 5 persen.

Dalam jangka pendek, peubah stok beras signifikan mempengaruhi spread harga gabah dan beras dengan koefisien sebesar -0.16, artinya setiap kenaikan satu persen stok beras yang dikelola oleh Bulog akan menurunkan spread harga gabah dan beras sebesar 0.16 persen.

Hasil estimasi Model VECM seringkali tidak memuaskan jika dilihat dari uji t. Selain itu, secara individual koefisien dalam model VECM sulit diinterpretasikan. Analisis penting yang dapat dihasilkan dari model VECM adalah impulse response function (IRF) dan forecast error variance decomposition (FEVD).

Analisis IRF melacak respon dari variabel endogen di dalam sistem VECM karena adanya goncangan (shock) pada variabel endogen lainnya sebesar 1 satuan standar deviasi (SD). Pada Gambar 12 disajikan hasil IRF selama 24 bulan ke depan dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia. Faktor yang paling besar mempengaruhi spread harga gabah dan beras adalah jumlah pembelian beras (JPB) yang dilakukan oleh Bulog, 1 standar deviasi kenaikan jumlah pembelian beras akan mengurangi spread harga gabah dan beras (HGB) sebesar 0,013 pada bulan ke-2, nilai ini semakin membesar sampai bulan ke-9, sedikit turun pada bulan 10-12, setelah itu spread harga akan stabil. Shock pada jumlah pembelian gabah (JPG) juga memberikan efek yang sama seperti shock pada jumlah pembelian beras, namun pengaruhnya terhadap spread harga jauh lebih kecil.

Pembelian beras dan gabah yang dilakukan Bulog akan menentukan stok yang dikelola oleh Bulog. Sesuai Instruksi Presiden mengenai kebijakan perberasan, stok ini akan digunakan untuk operasi pasar dalam rangka menstabilkan harga. Berdasarkan hasil IRF, Stok beras (SB) yang dikendalikan oleh Bulog akan direspon secara negatif oleh spread harga, kenaikan 1 SD stok beras akan mengurangi spread harga sebesar 0,0084 pada bulan ke-2, nilai ini terus membesar, dan mulai mencapai kestabilan baru pada bulan ke-12.

Pengadaan melalui pembelian beras dan gabah yang dilakukan oleh Bulog pada periode 2001-2008 ternyata memberikan kontribusi yang cukup penting dalam mengendalikan spread harga beras dan gabah. Jumlah pengadaan yang dilakukan oleh Bulog setiap tahunnya berkisar antara 1.5–2 juta ton setara beras, yaitu sekitar 5–7 persen dari total produksi/tahun atau sekitar 20-25 persen dari surplus yang dipasarkan petani selama bulan Maret–Mei.

Harga beras internasional (HI), direspon secara positif oleh spread harga. Shock harga beras internasional sebesar 1 SD akan menambah spread harga

sebesar 0.011 pada bulan ke-2. Pada pasar beras yang terbuka, dengan harga luar negeri yang murah dan tarif impor yang tidak efektif adalah tidak mungkin harga dasar diamankan oleh Bulog, kecuali dengan menyerap seluruh surplus beras di pasar dunia. Karena dengan harga dasar yang lebih tinggi dari harga luar negeri, aliran beras masuk dari pasar dunia ke pasar domestik tidak terbendung. Menurut Surono (2005), ada dua efek besar yang ditimbulkan dari arus beras impor. Harga beras dalam negeri akan tertekan rendah karena menyesuaikan dengan harga beras dunia meskipun telah ditetapkan tarif impor. Sebagai contoh, harga beras dunia pada bulan April tahun 2001 sekitar 150 USD per ton, dengan kurs sekitar Rp 10000 per USD dan tarif impor sebesar Rp 430 per kg, maka harga beras impor di pasar grosir adalah sekitar Rp 1930 per kg atau 20 persen di bawah harga beli Bulog. Selain itu, aktivitas perdagangan beras antar daerah dan antar waktu menurun karena sumber suplainya lebih terbuka. Pedagang dapat memilih sumber beras dari impor atau domestik, tergantung mana yang lebih menguntungkan. Berkurangnya aktivitas perdagangan beras antar daerah tersebut akan menekan harga di daerah produsen karena surplus hasil produksi tidak bergerak. Hal ini menunjukkan bahwa menjaga produksi beras/padi dalam negeri amat penting untuk menghindari tingginya resiko ketidakstabilan harga dan suplai beras dari pasar dunia.

Indeks nilai tukar rupiah terhadap dollar (ER) mempengaruhi spread harga secara negatif, jika indeks nilai tukar menguat (ditunjukkan dengan indeks nilai tukar yang semakin membesar) maka spread harga gabah dan beras akan menurun, shock sebesar 1 SD pada indeks nilai tukar akan mengurangi spread harga sebesar 0.013 pada bulan ke-1, nilai ini semakin mengecil, dan kemudian mengalami kestabilan baru mulai bulan ke-11. Selama beras domestik masih memiliki ketergantungan terhadap produksi beras luar negeri, maka nilai tukar akan sangat berpengaruh terhadap harga beras domestik. Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar akan menyebabkan beras di luar negeri menjadi relatif lebih murah, yang pada gilirannya akan mendorong impor beras masuk ke Indonesia. Pada periode 2001-2007, Indonesia masih melakukan impor beras untuk memenuhi kebutuhan beras domestik, baru pada tahun 2008 Indonesia tidak lagi

melakukan impor, karena produksi beras domestik telah mencukupi, yaitu sebesar 38 juta ton beras.

Shock pada distribusi beras yang dilakukan Bulog (DB), harga pembelian pemerintah untuk beras (HPPB), dan nilai tukar petani (NTP) hanya mempengaruhi spread harga pada jangka pendek (3-5 bulan), setelah itu spread harga akan kembali kepada tingkat kestabilan awal. Tidak seperti HPPB, ternyata shock yang terjadi pada harga pembelian pemerintah untuk gabah kering panen (HPPG) akan mengurangi spread harga menjauhi kestabilan awal mulai pada bulan ke-3. Begitu pula untuk harga BBM (HBBM), shock sebesar 1 SD akan mengurangi spread harga sebesar 0.000948 pada bulan ke-1, nilai ini semakin membesar, dan mencapai keseimbangan awal di bulan ke-6.

Selain IRF, model VECM juga menyediakan analisis forecast error variance decomposition (FEVD). Analisis IRF sebelumnya digunakan untuk mengetahui dampak shock dari variabel endogen terhadap variabel lainnya di dalam model VECM. Sedangkan analisis FEVD digunakan untuk menggambarkan relatif pentingnya setiap variabel di dalam sistem VECM karena adanya shock. FEVD berguna untuk memprediksi kontribusi persentase varian setiap variabel karena adanya perubahan variabel tertentu di dalam sistem VECM. Hasil FEVD selama 24 bulan ke depan dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia disajikan pada Tabel 11.

Response to Cholesky One S.D. Innovations

 

   

Gambar 12 Hasil impulse response function (IRF) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia.

Tabel 11 Hasil forecast error variance decomposition (FEVD) dari model VECM untuk mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi spread harga gabah dan beras di Indonesia

 

Period S.E. LHGB LSB LDB LJPB LJPG LHPPB LHPPG LHBBM LNTP LHI LER

1 0.048 100.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.066 89.821 2.491 1.831 0.472 0.919 0.000 0.012 0.550 0.005 2.470 1.429 3 0.077 81.679 2.693 2.698 0.367 2.460 0.001 0.009 0.960 0.083 6.057 2.993 4 0.088 75.832 2.240 3.962 0.330 4.258 0.019 0.017 1.487 0.206 8.077 3.572 5 0.098 72.159 1.922 5.080 0.354 5.319 0.051 0.036 2.068 0.337 8.919 3.753 6 0.107 70.246 1.752 5.631 0.361 5.765 0.067 0.050 2.453 0.413 9.411 3.852 7 0.115 69.185 1.654 5.873 0.359 5.979 0.074 0.060 2.665 0.449 9.787 3.916 8 0.122 68.357 1.585 6.056 0.356 6.155 0.081 0.067 2.810 0.472 10.101 3.960 9 0.129 67.585 1.529 6.241 0.355 6.330 0.087 0.073 2.932 0.493 10.373 4.003 10 0.136 66.910 1.478 6.407 0.354 6.487 0.092 0.077 3.037 0.513 10.602 4.045 11 0.143 66.363 1.434 6.540 0.353 6.614 0.096 0.080 3.125 0.530 10.785 4.079 12 0.149 65.926 1.398 6.646 0.353 6.716 0.099 0.083 3.198 0.544 10.932 4.106 13 0.155 65.562 1.368 6.734 0.353 6.799 0.102 0.086 3.259 0.555 11.056 4.127 14 0.160 65.248 1.343 6.810 0.353 6.870 0.104 0.088 3.311 0.564 11.163 4.146 15 0.166 64.971 1.321 6.877 0.352 6.934 0.106 0.090 3.356 0.573 11.258 4.162 16 0.171 64.727 1.302 6.936 0.352 6.990 0.108 0.092 3.396 0.580 11.341 4.177 17 0.176 64.511 1.284 6.988 0.352 7.039 0.109 0.093 3.432 0.587 11.415 4.190 18 0.181 64.320 1.269 7.034 0.352 7.083 0.111 0.094 3.463 0.592 11.480 4.201 19 0.186 64.148 1.255 7.076 0.351 7.123 0.112 0.096 3.492 0.598 11.538 4.212 20 0.191 63.994 1.243 7.113 0.351 7.158 0.113 0.097 3.517 0.602 11.591 4.221 21 0.196 63.853 1.232 7.147 0.351 7.190 0.114 0.098 3.540 0.607 11.639 4.229 22 0.200 63.726 1.221 7.178 0.351 7.220 0.115 0.099 3.561 0.611 11.682 4.237 23 0.205 63.609 1.212 7.206 0.351 7.247 0.116 0.099 3.580 0.614 11.722 4.244 24 0.209 63.502 1.203 7.232 0.351 7.271 0.117 0.100 3.598 0.617 11.759 4.250

Tabel 11 menunjukkan bahwa pada bulan pertama, shock pada spread harga gabah dan beras ditentukan oleh spread harga itu sendiri sebesar 100 persen persen. Pada bulan ke 2, shock pada spread harga gabah dan beras ditentukan oleh spread harga itu sendiri sebesar 89.8 persen, stok beras sebesar 2.5 persen, distribusi beras 1.83 persen, jumlah pembelian beras sebesar 0.47 persen, jumlah pembelian gabah sebesar 0.92 persen, harga pembelian pemerintah untuk gabah sebesar 0.012 persen, harga BBM sebesar 0.55 persen, NTP sebesar 0.005 persen, harga beras internasional sebesar 2.47 persen, dan indeks nilai tukar sebesar 1.43 persen.

Semua variabel memiliki pengaruh yang semakin besar dari periode ke periode terhadap spread harga gabah dan beras. Namun, pada bulan ke-24, harga beras internasional memiliki pengaruh paling besar terhadap spread harga gabah dan beras, yaitu sebesar 11.8 persen. Hal ini dikarenakan pada periode pengamatan (2001-2008), Indonesia memiliki ketergantungan terhadap impor beras yang cukup tinggi. Selain itu, pada akhir periode, distribusi beras dan jumlah pembelian gabah juga menentukan spread harga cukup tinggi, yaitu masing-masing sebesar 7.2 persen. Oleh karenanya, peran Bulog cukup penting dalam mengendalikan spread harga gabah dan beras di Indonesia.

Dokumen terkait