• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penerapan Talfîq dalam Beberapa Pasal Hukum Perkawinan di Indonesia Oleh: Abd. Halim

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Penerapan Talfîq dalam Beberapa Pasal Hukum Perkawinan di Indonesia Oleh: Abd. Halim"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Penerapan

Talfîq

dalam Beberapa Pasal Hukum Perkawinan di Indonesia

Oleh: Abd. Halim∗

Abstrak

Kegiatan reformasi dan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh negara-negara Islam, kecuali Kerajaan Saudi Arabia, atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam, menurut Liebesny sebagaimana dikutip oleh M. Atho Mudzhar pada garis besarnya bercorak dua. Pertama, yang sifatnya mengarah kepada

sentence hukum Islam dan Barat dan kedua yang bersifat eklektik (talfîq) dari berbagai sumber. Menarik untuk dikaji adalah gerakan reformasi dan kodifikasi hukum keluarga di Indonesia: menganut corak yang mana apabila dikaitkan dengan apa yang dikonstatir oleh Liebesny tersebut di atas.

Setelah dilakukan penelitian terhadap pasal-pasal yang mengatur tentang perkawinan, baik yang ada dalam UU No. 1 Tahun 1974 maupun dalam Buku I Kompilasi Hukum Islam (KHI), penulis menyimpulkan bahwa beberapa aturan-aturan perkawinan yang sebelumnya terikat dengan fiqh munahakat menurut faham Imam asy-Syafi’i (mazhab tertentu), dalam UU No. 1 Tahun 1974 dan Buku I KHI ketentuannya telah mengalami pembaharuan dengan menggunkan pendekatan

talfîq dengan beberapa variasi.

Kata kunci: talfîq, hukum perkawinan Indonesia

A. Pendahuluan

Pada abad ke-20, negara-negara Islam, khususnya yang ada di Timur Tengah, kecuali Kerajaan Saudi Arabiah ditandai oleh gerakan reformasi dan kodifikasi hukum Islam. Gerakan reformasi dan kodifikasi hukum ini, menurut Atho Mudzhar secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam tiga fase yaitu:1

Fase pertama, dari tahun 1915 sampai tahun 1950. Pada fase ini Turki memperbaharui hukum keluarganya pada tahun 1915-1917 dan memberlakukannya di wilayah-wilayah jajahannya seperti di Yordania, Libanon, Palestina dan Syiria. Mesir menyusul dengan memberlakukan UU No. 25 tahun 1920, yang disusul dengan UU No. 56 tahun 1923, UU No. 25 tahun 1929, UU No. 77 tahun 1943 dan UU No. 71 tahun 1947.

Dosen dan Pembantu Dekan II Fakultas Syari‘ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

1 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi, (Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), p. 175-177.

(2)

Gerakan reformasi dan kodifikasi ini berturut-turut diikuti oleh negara-negara lain, Sudan pada tahun 1923, Iran pada tahun 1928 dan India pada tahun 1939.

Fase kedua berlangsung dari tahun 1950 sampai tahun 1971, setelah perang dunia kedua selesai yang menghasilkan sejumlah negara berpenduduk Islam di Asia dan Afrika menjadi negara merdeka, sebagian negara itu bahkan mencantumkan Islam sebagai agama resmi dalam konstitusinya. Pada fase ini tercatat Yordania mengundangkan hukum keluarga Islam tahun 1951, Syria tahun 1953, Tunisia tahun 1956, Maroko tahun 1958, Irak dan Algeria tahun 1959, Pakistan tahun 1061 dan 1962, Iran pada tahun 1967.

Fase ketiga berlangsung dari tahun 1971 sampai sekarang. Pada fase ini reformasi dan kodifikasi hukum keluarga dilakukan oleh sejumlah negara yang dikelompokkan menjadi dua bagian yakni: Negara yang baru memperbaharui hukum keluarganya seperti Afganistan dan Kuwait pada tahun 1971, Libya pada tahun 1972 dan 1973, Somalia dan Indonesia pada tahun 1974, Yaman Utara pada tahun 1976 dan 1977. Sedangkan kelompok kedua negara-negara yang sebelumnya sudah mereformasi hukum keluarganya tetapi memperbaharui lagi hukum keluarganya seperti: Syria, Iran, Mesir, Tunisia, Irak, dan Algeria.

Kegiatan reformasi dan kodifikasi hukum yang dilakukan oleh negara-negara Islam atau negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam tersebut, menurut Liebesny sebagaimana dikutip oleh Atho Mudzhar pada garis besarnya bercorak dua: Pertama, yang sifatnya mengarah kepada sentence hukum Islam dan Barat, dan kedua yang bersifat eklektik (talfîq) dari berbagai sumber. Indonesia, yang gerakan reformasi dan kodifikasi hukum keluarganya mencapai puncaknya dengan diadakannya Lokakarya Kompilasi Hukum Islam di Jakarta pada awal Februari tahun 19882, yang disusul kemudian dengan INPRES Nomor 1 Tahun 1990, apabila dicermati secara seksama, sebagian dari aturan-aturan atau pasal-pasal yang mengatur mengenai hukum keluarga, khususnya tentang perkawinan, menganut sifat dan pola sebagaimana yang dikonstatir oleh Liebesny. Artinya, aturan-aturan perkawinan yang sebelumnya terikat dengan fiqh munahakat menurut faham Imam asy-Syafi’i (mazhab tertentu), dalam hukum perkawinan yang ada sekarang, beberapa ketentuannya berbeda dengan fiqh munahakat tersebut, ada pasal-pasal tertentu yang tampaknya mengikuti corak kedua tersebut di atas. Sejalan dengan asumsi inilah penulis akan mengkaji pasal-pasal apa

2 Amir Syarifuddin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), p. 138-139.

(3)

saja dalam hukum perkawinan Islam di Indonesia yang perumusannya menggunakan ekletik (talfîq).

B. Selayang Pandang tentang Talfîq

1. Pengertian

Talfîq

Dari segi bahasa talfîq berarti menyamakan atau merapatkan dua tepi yang berbeda seperti perkataan talfîq as-saubi “mempertemukan dua tepi kain kemudian menjahitnya”3

Menurut istilah ada beberapa rumusan yang diberikan oleh ulama dan sarjana Hukum Islam. Menurut TM Hasbi ash-Shiddieqy

ﻖﻴﻔﻠﺘﻟﺍ

:

ﺀﺍﺭﺍﻭ ﺐﻫﺍﺬﻣ ﻦﻣ ﺎﻬﺘﻣ ﺪﻘﻣﻭ ﺔﻠﺌﺴﳌﺍ ﻞﺋﺎﺳﻮﺑ ﺔﻘﻠﻌﺘﳌﺍ ﻡﺎﻜﺣﻻﺍ ﻊﻴﲨ ﺬﺧﺍ

ﺔﻔﻠﺘﳐ

4

a. Mengambil beberapa hukum yang berpautan dengan wasilah-wasilah dan muqaddimah-muqaddimah sesuatu masalah dari berbagai mazhab dan bermacam-macam pendapat.

b. Ahmad Rafiq: “talfîq adalah meramu beberapa pemikiran atau hasil ijtihad dalam suatu masalah tertentu menjadi suatu bentuk yang kelihatannya seperti baru.5

Dari dua definisi tersebut secara sederhana talfîq adalah mengambil atau mengikuti hukum dari suatu peristiwa atau kejadian dengan mengambilnya dari berbagai macam mazhab.

2. Syarat-syarat

Talfîq

Ulama usul menerapkan beberapa syarat kebolehan talfîq yang meliputi:

a. Tidak bertentangan dengan ijma’

b. Tidak mengakibatkan batalnya suatu hukum kedua imam

c. Tidak masuk dalam berbagai tatabu’ ar-rukhsi (mencari yang ringan-ringan)

d. Mengikuti setiap pendapat dibolehkan ketika dalam keadaan darurat

3 Luis Ma’luf, al-Munjid, (Beirut: al-Matba'ah al-Katulikiyyah, t.t.), p. 875, Lihat juga Kamal Mukhtar, dkk, Usul Fiqh II (Jakarta: Departemen Agama RI, 1993), p. 183.

4 TM. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), p. 236.

5 Ahmad Rafiq, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, (Yogyakarta: Gama Media, 2001), p. 127. Keterangan mirip dengan yang dikemukakan oleh Az-Zuhuli dalam Usûl al-Fiqh al-Islâmî (Damaskus: Dar al-Fikr, 1986), II: 1142.

(4)

e. Talfîq harus mengandung nilai kemaslahatan umum, bukan untuk kepentingan pribadi6

3. Orientasi Fuqaha terhadap Talfîq

Sikap ulama muta'akhirin mengenai boleh tidaknya talfîq

diklasifikasikan menjadi tiga kelompok7. Pertama, ulama yang membolehkan; kedua, tidak membolehkan, dan kelompok ketiga, membolehkan dengan syarat-syarat tertentu.

Kelompok pertama, membolehkan penggunan metode talfîq dengan alasan tidak ada nash yang melarangnya. Yahya az-Zanati pengikut mazhab Maliki menyatakan kaum muslimin dibenarkan mengikuti mazhab fiqh manapun dalam urusan kehidupan sehari-hari dan dalam situasi darurat.8 Ulama yang membolehkan penggunaan

talfîq secara rinci mengemukakan tiga alasan:

Pertama, para sahabat tidak pernah menyatakan “bahwa umat Islam wajib menjaga aliran yang telah dianutnya”. Demikian juga dengan Imam Mujtahid empat tidak mewajibkan seseorang untuk bertaqlid kepada mereka. Kedua, pendapat yang melarang penggunaan talfîq menafikan faedah taqlid yang telah dibolehkan bagi orang awam dan mengagungkan kaidah yang telah ditetapkan ulama “tidak ada mazhab bagi orang awam karena mazhabnya adalah muftinya”.

Ketiga, pelarangan penggunaan talfîq akan membatalkan keberadaan Imam Mazhab empat sebagai petunjuk Tuhan-Nya, karena perbedaan mereka sebagai rahmat.9 Pelarangan talfîq juga menafikan adanya keringanan dalam syariat Islam. Dengan kata lain, pendapat yang membolehkan talfîq sejalan dengan jiwa syariat Islam yang menghendaki kemudahan dan keringanan serta menjauhi kesempitan yang merupakan salah satu prinsip pokok syarat Islam dan ini sesuai dengan firman Allah.10

ﺪﻳﺮﻳ

ﷲﺍ

ﺮﺴﻌﻟﺍ ﻢﻜﺑ ﺪﻳﺮﻳ ﻻﻭ ﺮﺴﻴﻟﺍ ﻢﻜﺑ

6 Al-Qarafi, Tarjîh al-Fusûl fî Ikhtisâr al-Mahsûl fî al-Usûl, (Beirut: Dar al-Fikr, 1973), p. 432. Lihat juga az-Zuchri, Zakat Kajian Berbagai Mazhab, alih bahasa Agus Efendi dan Bahrudin Fannany, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995), p. 7-8; Abdurrahmân ibn Muhammad ibn al-Asimi an-Najd al-Hanbali, Majmû‘ al-Fatâwâ (ttp: tnp, tt), XXXII:240-241.

7 Amir Said az-Zibari, Mabâhîs fî Askin al-Fatâwâ, (Beirut: Doa Ibu Hasim, 1995), p. 58-59.

8 Asy Sya’rani, al-Mîzân, (Beirut: al-Mazra’ah Binayat al-Iman, 1989), II:170. 9Ibid., p. 75

(5)

Kelompok kedua, yang tidak membolehkan talfîq dengan alasan bahwa orang yang menggunakan talfîq termasuk orang-orang yang fasik dan bid’ah. Ulama yang tidak membolehkan talfîq adalah Ibn Hajar dengan alasan menyalahi ijma.11 Alasan lain yang dikemukakan oleh kelompok yang menolak menggunakan talfîq adalah karena menyalahi kesepakatan ulama usul tentang larangan, memunculkan pendapat ketiga ketika terjadi selisih pendapat antara dua kelompok tentang hukum masalah tertentu.

Kelompok ketiga, membolehkan penggunaan talfîq dengan syarat tidak mengambil yang ringan-ringan saja untuk memenuhi hawa nafsunya dan menghilangkan ikatan talfîq. Namun kelompok ini membolehkan penggunaan talfîq dalam keadaan darurat.12 Kelompok ketiga ini antara lain Imam al-Ghazali, menurut beliau “tidak boleh bagi orang awam memilih dari berbagai mazhab pada tiap-tiap masalah yang dipandang terbaik atau paling menyenangkan kemudian ia memperluaskan.13

Sedangkan ulama yang membolehkan tatabu’ ar-rukhas, ditemukan pada sebagian ulama Hanafiyah, Malikiyah, dan Syafiyah. Ibn Humam dari kalangan ulama Hanabilah membolehkan mencari yang ringan-ringan dengan alasan tidak ada dalil syara yang melarang orang mengikuti yang ringan-ringan saja dari berbagai mazhab, karena manusia berhak menempuh yang dipandang ringan baginya, jika ia mendapat jalan ke arah itu. Pendapat ini sejalan dengan sabda Nabi saw14

ﱏﺇﻭ ﺔﺤﻤﺴﻟﺍ ﺔﻴﻔﻨﳊﺍ ﷲﺍ ﱃﺇ ﻦﻳﺪﻟﺍ ﺐﺣ

ﺖﻠﺳﺭﺍ

ﺔﻴﻔﻨﳊﺎﺑ

ﺔﺤﻤﺴﻟﺍ

Ulama lain yang membolehkan memilih yang ringan-ringan adalah Ibn Amin al-Hajj dengan alasan bahwa tidak ada larangan dari syara. Ia menolak alasan pihak yang melarang tatabu’ ar-rukhas, termasuk alasan berdasarkan ijma’. Menurutnya tindakan tatabu’ ar-rukhas dilarang apabila bentuk perbuatannya dipandang tidak sah menurut siapapun dari ulama, tetapi jika tujuannya semata-mata untuk memudahkan seorang mukallaf, tidak berbahaya.15

Mensikapi silang pendapat tersebut di atas, Salam Madkur berpendapat bahwa faktor utama yang menyebabkan kesimpangsiuran

11 Wahbah az-Zuhaili, Usûl, II:1142, tetapi ada riwayat lain yang menginformasikan bahwa Ibn Hajar membolehkan berpindah mazhab, baik lama maupun ketika ada masalah tertentu

12 Az-Zibari, Mabâhis fî Ahkaâ al-Fatwâ, p. 59.

13 Al-Ghazali, al Mustasfâ min‘Ilm al-Usûl,l (ttp,: Dar al-Fikr, tt), II:2-3

14 al-Bukhari, Sahîh al-Bukhârî, Kitab al-Iman, (Damaskus: Dar al-Fikr, 1981), II: 15. HR. Al-Bukhari dar Abi Hurairah.

15 Ibn Amir al-Hajj, at-Taqrîr wa at-Tahrîr: Usûl al-Fiqh al-Muqaran: al-Hanafiyyah wa

(6)

pendapat dalam masalah talfîq adalah adanya fatwa ulama abad VII H yang menutup pintu ijtihad, dan menganggap para ulama ber-ijma’ atas batalnya semua hukum yang di-talfîq.16

Menurut hemat penulis adanya silang pendapat di kalangan ulama mengindikasikan bahwa pada dasarnya tidak ada (tidak ditemukan) secara eksplisit larangan ataupun kebolehan penggunaan talfîq dalam sumber utama syariat Islam (al-Qur’an dan as-sunnah). Dengan kata lain, larangan penggunaan talfîq merupakan pendapat sebagian ulama muta'akhkhirin yang tidak berdasar, baik dari al-Qur’an maupun dari as-sunnah, bahkan tidak pula dari seorang pun diantara pendiri empat mazhab. Alasan yang ada lebih ditekankan pada sikap kehati-hatian untuk tidak mempermainkan persoalan agama.

4. Contoh Penerapan

Talfîq

dalam Kitab Fiqh

Dalam literatur fiqh ditemukan contoh-contoh penerapan talfîq baik dalam bidang ibadah maupun dalam bidang hukum keluarga. Contoh tersebut antara lain adalah:

a. Dalam bidang ibadah, apabila seseorang berwudhu dengan cara mengikuti mazhab Syafii ketika mengusap sebagian kepala, kemudian ia mengikuti pendapat Imam Abu Hanifah atau Malik tentang tidak batalnya wudhu seseorang apabila bersentuhan dengan seorang wanita.17

b. Dalam bidang hukum keluarga, seorang laki-laki dan seorang perempuan melaksanakan akad nikah tanpa wali dan saksi, cukup dengan mengumumkan saja (meng-i’lankan-nya). Dalam pendapat mereka, dalam hal ketiadaan wali mereka mengikuti pendapat Abu Hanifah yang mengesahkan akad nikah tanpa wali. Sedang mengenai persaksian, mereka mengikuti pendapat Malik yang mensahkan akad nikah tanpa saksi, cukup dengan i’lan.18

C. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia 1. Pengertian

Hukum perkawinan Islam yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan PP No. 9 tahun 1975 tentang Peraturan Pelaksanaannya, demikian juga dengan Kompilasi

16 Salam Madkur, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islâmî (Dar an- Nahdah al-'Arabiyah, 1983), p. 198.

17 As-Zuhaili. Usûl,, II: 1142-1143.

18 Kamal Mukhtar, dkk. Usul Fiqh II, p. 183. Lihat juga az-Zuhaili, Usul Fiqh

(7)

Hukum Islam di Indonesia (KHI). Asumsi ini didasarkan pada pertimbangan bahwa UU No. 1 tahun 1974 telah menampung pula unsur-unsur dan ketentuan-ketentuan hukum agama dan kepercayaan19. Oleh karena itu, sejauh undang-undang tersebut mengatur secara khusus umat Islam, maka peraturan tersebut dapat dikategorikan sebagai reinterpretasi fiqh dalam rangka reaktualisasi hukum fiqh.20

Sedangkan KHI juga merupakan bentuk baru dari hukum-hukum yang ada dalam kitab fiqh yang mempunyai kekuatan berlaku tidak hanya berdasarkan Inpres No. 1 Tahun 1990, tetapi juga berdasarkan pasal 2 ayat (1) UU No. 1 tahun 1974 yang mengatur bahwa perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaannya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukum agamanya masing-masing bagi Islam tidak lain adalah hukum dalam kitab-kitab fiqh yang diformulasikan dalam bentuk kodifikasi.21

2. Sejarah Perkembangan Hukum Perkawinan di Indonesia

Sebelum lahirnya Undang-undang Perkawinan, hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia bersifat dualistis dan pluralistis.22 Dualistis dalam pengertian bahwa untuk golongan Eropa atau Timur Asing berlaku hukum perdata Barat sementara bagi golongan Bumi Putra berlaku hukum adat. Dikatakan pluralistik karena dalam hukum Perdata Barat masing-masing terdapat aneka warna hukum yaitu:

a. Bagi orang-orang Eropa berlaku Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW) yang dipublikasikan pada tanggal 30 April 1870 S. No. 23, yang hampir seluruhnya merupakan tiruan BW negeri Belanda. b. Bagi orang-orang Tionghoa berlaku ketentuan-ketentuan dalam BW

dengan sedikit perubahan yakni dengan dikeluarkannya ordonanansi 29 Maret 1917 (S. 1917 No. 129 715 1919-81, 24-557, 25-92).

c. Bagi orang Indonesia yang beragama Kristen berlaku ordonansi 15 Februari 1933 S. 1933 No. 74, yang berlaku bagi orang Indonesia Kristen di Jawa Minahasa dan Ambonia dengan singkatan HOCI.

19 Bustanul Arifin, Pelembagaan Hukum Islam di Indonesia, Akar Sejarah, Hambatan

dan Prospeknya, (Jakarta: Gema Insani, 1996), p. 119

20 Amir Syaifudin, Pembaharuan Pemikiran dalam Hukum Islam, (Padang: Angkasa Raya, 1990), p. 136

21 Lihat Ahmad Rafiq, Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), p. 25.

22 Sudjono Dirdjosiswiro, Sosiologi Hukum: Studi tentang Perubahan Hukum dan Sosial, (Jakarta: Rajawali, 1983), p. 113.

(8)

d. Bagi perkawinan campuran berlaku Reseling Op De Gemeng De Huwalijken (GHR) S. 1898 No. 15823

Adapun untuk Bumi Putra dibedakan menjadi dua yakni bagi warga negara Indonesia asli yang beragama Islam berlaku hukum agama yang telah diresepsi ke dalam hukum adat. Sedangkan bagi orang Indonesia asli lainnya berlaku hukum adat yang tersebar dalam 19 (sembilan belas) wilayah hukum adat, yang antara satu dengan yang lainnya terdapat perbedaan.24

Setelah melalui perjuangan cukup panjang selama kurang lebih 48 tahun, akhirnya bangsa Indonesia memiliki undang-undang perkawinan yang berlaku secara unifikasi yaitu dengan diundangkannya UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan pada tanggal 1 April 1975 yang mengatur mengenai pelaksanaannya.

Dengan diundangkannya Undang-undang Perkawinan tersebut beserta aturan pelaksanannya, maka ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (BW), Ordonansi Perkawinan Indonesia (HODI) S. 1933 No. 74. Peraturan Perkawinan Campuran (RGH) S. 1898 No. 158 dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, dinyatakan tidak berlaku.25 Ditegaskan pula bahwa UU No. 1 tahun 1974 dan PP No. 9 tahun 1975 yang mengatur tentang pelaksanaannya merupakan usaha unifikasi terbatas karena undang-undang dan pelaksanaannya tersebut dalam prinsipnya berlaku untuk semua golongan agama. Akan tetapi dalam berbagai hal, misalnya mengenai pencatatan perkawinan, poligami, perceraian, pengadilan yang berwenang dan sebagainya masih diadakan perbedaan dalam hukum yang berlaku bagi agamanya masing-masing.

3. Potret UU No. 1 Tahun 1974 dan KHI

a. Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Undang-undang ini terdiri dari 14 (empat belas) bab dan 67 (enam puluh tujuh) pasal. Bab I tentang dasar perkawinan, Bab II tentang syarat-syarat perkawinan, Bab III tentang pencegahan perkawinan, Bab IV tentang batalnya perkawinan, Bab V tentang perjanjian perkawinan, Bab

23 Hilman Hadikusuma, Hukum Perkawinan Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1990), p. 5.

24 Sudjono Dirdjosisworo, Sosiologi Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), p. 113 dan Nani Soewondo, Kedudukan Wanita Indonesia dalam Hukum dan Masyarakat,

(Jakarta: Ghalia Indonesia, 1989), p. 41.

25 Abdurahman, Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang Perkawinan, (Jakarta: Akademika Presindo, 1986), p. 81.

(9)

VI tentang hak dan kewajiban suami – isteri, Bab VII tentang harta benda dalam perkawinan, Bab VIII tentang putusnya perkawinan serta akibatnya, Bab IX tentang kedudukan anak, Bab X tentang hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, Bab XII tentang ketentuan-ketentuan lain, Bab XIII tentang ketentuan peralihan , dan Bab XIV tentang ketentuan penutup.

Bab I terdiri dari 5 (lima) pasal, pasal 1 tanpa ayat, pasal 2 sampai 5 masing-masing berisi 2 ayat, Bab II terdiri dari 7 (tujuh) pasal (6 s/d 12), pasal 6 berisi 6 ayat, pasal 7 berisi 3 ayat, pasal 8 tanpa ayat memuat, 6 huruf yakni dari a s/d f, pasal 9 tanpa ayat dan huruf, pasal 10 tanpa ayat, pasal 11 berisi 2 ayat dan pasal 12 tanpa ayat, pasal 14 berisi 2 ayat, pasal 15 tanpa ayat, pasal 17 berisi dua ayat, pasal 18 tanpa s/d 20 tanpa ayat dan huruf sedangkan pasal 21 berisi 5 ayat. Bab IV terdiri dari 7 pasal (pasal 22 s/d 28). Pasal 22 tanpa ayat dan huruf, pasal 23 tanpa ayat memuat 4 huruf (a s/d d). pasal 24 dan 25 tanpa ayat dan huruf. Pasal 26 berisi 2 ayat, pasal 27 berisi 3 ayat dan pasal 28 berisi 2 ayat, Bab V terdiri dari 1 pasal yakni pasal 29 dengan 4 ayat, Bab VI terdiri dari 5 pasal (pasal 30 s/d 24), pasal 30, 33 tanpa ayat dan huruf. Pasal 31 dan 34 masing-masing berisi 3 ayat sedangkan pasal 32 berisi 2 ayat.

Bab VII terdiri dari 3 pasal (pasal 35 s/d 37), pasal 35 dan 36 masing-masing berisi 2 ayat dan pasal 37 tanpa ayat dan huruf. Bab VIII terdiri dari 4 pasal (pasal 38 s/d 41). Pasal 38 tanpa ayat dan huruf, pasal 39 berisi 3 ayat, pasal 40 berisi 2 ayat dan pasal 41 tanpa ayat, hanya berisi 3 huruf (huruf a s/d c). Bab IX terdiri dari 3 pasal (pasal 42 s/d 44), pasal 42 tanpa ayat dan huruf, pasal 43 dan 44 masing-masing berisi dua ayat.

Bab X terdiri dari 5 pasal (pasal 45 s/d 49) pasal 45, 46, 47 dan pasal 49 masing-masing berisi 2 ayat sedangkan pasal 48 tanpa ayat dan huruf.

Bab XI terdiri dari 5 pasal (pasal 50 s/d 54). Pasal 50 berisi 2 ayat. Pasal 52 dan 54 tanpa ayat dan huruf. Sedangkan pasal 53 berisi 2 ayat. Bab XII diklasifikasikan menjadi 4 bagian. Bagian pertama, terdiri dari 1 pasal (pasal 55) yang berisi 3 ayat, bagian kedua, juga terdiri dari 2 pasal (pasal 56) dengan 2 ayat, bagian ketiga terdiri dari 6 pasal (pasal 57 s/d 62). Pasal 57, 50, 62 tanpa ayat dan huruf, pasal 59 berisi 5 ayat, pasal 61, 3 ayat dan pasal 63 dengan 2 ayat.

Bab XIII terdiri dari 2 pasal (pasal 64-65). Pasal 64 tanpa ayat dan huruf, pasal 65 berisi 2 ayat. Bab XIV terdiri dari 2 pasal (pasal 66-67). Pasal 66 tanpa ayat dan huruf sedangkan pasal 67 berisi 2 ayat.

Dari gambaran materi pokok yang terdapat dalam UU No. 1 tahun 1974 tersebut, tidak semua pasal atau ayat akan dibahas tetapi hanya pasal yang diasumsikan perumusannya menggunakan metode talfîq.

(10)

b. KHI dan Pokok-pokok Materinya

Kompilasi Hukum Islam (KHI) Perumusannya melalui empat jalur pengumpulan data:

1) Meneliti kitab-kitab fiqh yang menjadi pedoman dalam memeriksa dan memutus perkara di Peradilan Agama ditambah dengan sejumlah kitab-kitab lain dari berbagai mazhab sehingga jumlahnya mencapai 38 kitab.26

2) Jalur wawancara dengan para ulama yang mempunyai keahlian dalam bidang fiqh.27

3) Jalur juresprudensi Peradilan Agama28 4) Jalur studi banding29

Data dari hasil penelitian dan masukan empat jalur tersebut setelah melalui proses lokakarya yang dihadiri oleh ulama-ulama fiqh dari berbagai organisasi Islam Perguruan Tinggi, masyarakat umum mengusulkan naskah yang sudah direvisi dan dihaluskan redaksinya oleh Menteri Agama RI diserahkan kepada Presiden RI dengan surat No. MA/123/1988 dan pada tanggal 10 Juni tahun 1991 mendapatkan persetujuan Presiden berupa Inpres No. 1 tahun 1991 dan ditindaklanjuti dengan Kep. Menag No. 154 tahun 1991 tentang Pelaksanaan Inpres No. 1 tahun 1991 tertanggal 22 Juli 1991.

Keseluruhan KHI terdiri atau terbagi dalam tiga kitab hukum: a) Buku I: Hukum Perkawinan terdiri atas 19 Bab meliputi 170 pasal

(pasal 1 sampai pasal 170).

b) Buku II: Hukum Kewarisan, terdiri dari 6 bab meliputi 43 pasal (pasal 171 sampai dengan pasal 214).

c) Buku III: Hukum Perwakafan, terdiri atas 5 bab meliputi 12 pasal (pasal 215 sampai dengan pasal 228)

Materi pokok yang terdapat dalam ketiga buku itu tidak akan diuraikan pada bagian ini, sebagaimana halnya dengan materi undang-undang perkawinan, namun hanya akan dibahas pasal-pasal tertentu dalam Buku I yang perumusannya diasumsikan menggunakan metode talfîq.

26

Direktorat Pembinaan Badan/Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Kenang-Kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: tp, 1985), p. 166-168.

27 Di 10 lokasi wilayah PTA, yaitu Banda Aceh, Madura, Padang, Palembang, Bandung, Surakarta, Surabaya, Banjarmasin, Ujung Pandang, dan Mataram.

28 Di Jakarta, Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam terhadap 10 Himpunan Peraturan PA

29 Studi banding ke Timur Tengah, Marokko, Turki, dan Mesir oleh H Masruri Basron, dan Mochtar Zarkasyi.

(11)

D. Pasal-pasal dalam UU No. I Tahun 1974 dan KHI yang Dirumuskan dengan Metode

Talfîq

Formulasi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia --UU No. 1 tahun 1974 dan Buku I KHI-- belum semuanya dalam bentuk inovasi murni, karena masih banyak merupakan pendapat dari iman-iman mazhab atau fatwa perseorangan dari mujtahid yang kurang populer, diseleksi mana yang diantara pendapat-pendapat mereka yang bisa dibawakan menghadapi masa kini. Dari adonan materi-materi yang sudah lama itu dihasilkan formula baru.30

Materi hukum perkawinan di Indonesia menempuh cara sebagaimana yang dikonstatir oleh Syarifuddin tersebut. Ini terlihat dalam undang-undang perkawinan yang dalam beberapa pasalnya berbeda dengan fiqh manakahat menurut faham Imam Asy Syafii yang selama ini dijalankan oleh umat Islam bahkan juga berbeda dengan kitab-kitab fiqh yang selama ini pernah dipelajari di luar faham Syafi’i.31 Demikian juga dengan KHI yang memuat Materi Hukum Perkawinan Islam di Indonesia salah satu proses pengumpulan datanya, sebagaimana telah dibahas di muka, adalah menempuh jalan meneliti dan menyeleksi pendapat-pendapat ulama fiqh dalam 13 kitab-kitab yang selama ini dijadikan pedoman di Pengadilan Agama ditambah dengan kitab-kitab lain dari berbagai mazhab, termasuk mazhab di luar Sunni (Syi’ah) sehingga mencapai 38 kitab.

Untuk mendapatkan informasi yang lebih jelas mengenai pasal-pasal mana saja dalam Undang-undang Perkawinan dan KHI yang formulasinya berdasarkan metode talfîq, berikut ini akan dibahas beberapa pasal yang dimaksud.

1. Pasal-pasal dalam Undang-undang Perkawinan

a. Pembatasan umur perkawinan

Dalam pasal 7 UU No. 1 tahun 1974 ayat (1) disebutkan bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Pembatasan umur ini berbeda dengan ketentuan fiqh yang selama ini berlaku di Indonesia, yang membolehkan pernikahan anak-anak.

Formulasi pasal ini, kuat dugaan tim penyusun Undang-undang Perkawinan yang mewakili ulama/sarjana hukum Islam mengambil fatwa

30 Amir Syarifuddin, Pembaharuan, p. 118. Lihat juga Kamal Muchtar, dkk Ushul

Fiqh 2 (Jakarta: Departemen Agama RI, 1993), p. 184. 31 Ibid., p. 134.

(12)

pribadi mujtahid Islam di luar mazhab yang terkenal, yakni fatwa Ibnu Syubrumah dan Abu Bakar al-Asham yang mengharuskan batas umur bagi perkawinan.32

b. Perkawinan wanita dewasa tanpa wali

Dalam pasal 6 ayat (2) Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa “untuk melangsungkan perkawinan seseorang yang belum mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun harus mendapat izin kedua orang tua”.

Berdasarkan pasal 6 ayat (2) tersebut dapat dipahami bahwa Undang-undang Perkawinan membolehkan perempuan yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun untuk menikah tanpa wali. Ketentuan ini berbeda dengan apa yang diamalkan di Indonesia (menurut Kitab fiqh Syafi’i) yang menyatakan bahwa perempuan dalam keadaan apa pun, besar kecil, gadis-gadis, tidak sah kawin kecuali bila diakadkan oleh walinya.33

Ketentuan undang-undang perkawinan yang membolehkan perempuan yang telah mencapai umur 21 (dua puluh satu) tahun merupakan formulasi (bentuk) penerimaan faham fiqh Hanafi yang membenarkan wanita dewasa tanpa wali.34

c. Persaksian talak di depan sidang pengadilan

Dalam pasal 39 ayat (1) Undang-undang Perkawinan disebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Ketentuan tersebut di atas berbeda dengan faham fiqh ahlussunah termasuk asy-Syafi’i yang menyatakan sah talak tanpa persyaratan persaksian, dengan alasan bahwa talak ini adalah hak suami secara mutlak.

Reformulasi Undang-undang Perkawinan tersebut tampaknya keluar dari faham ahlu sunnah dan mengikuti faham fiqh syi’ah yang memang mensyaratkan penyaksian talak, meskipun dalam bentuk baru (dua orang saksi, ditransformasikan menjadi saksi di Pengadilan Agama).35

32 Al-Imam Muhammad Abu Zahrah, al-Ahwâl asy-Syakhsiyyah, (Kairo: Dar al Fikr al-Arabi, 1950), p. 124. Lihat juga Amir Syarifuddin, Pembaharuan, p. 136.

33Ibid., p. 135

34 As Sayyid Sâbiq, Fiqh as-Sunah (Kairo: Percetakan Madinah al Munawarah, 1988), II: 113.

(13)

2. Pasal-pasal dalam KHI

a. Perjanjian Ta‘lik Talak

Meskipun dalam pasal 29 Undang-undang Perkawinan tidak disebutkan secara eksplisit ketentuan perjanjian ta’lik talak, namun dalam Buku I KHI pada pasal 45 disebutkan bahwa: “kedua calon mempelai dapat mengadakan perjanjian perkawinan dalam bentuk: (1). Ta’lik talak, (2). Perjanjian lain yang tidak bertentangan dengan hukum Islam.”

Ketentuan mengenai ta’lik talak tersebut, saat ini menjadi bagian tak terpisahkan dalam rangkaian acara akad nikah. Setiap selesai akad nikah, suami “diharuskan” membaca ta’lik talak sebagai perjanjian kawin, yang secara teknis muatan ta’lik talak tersebut dicetak pada bagian akhir dari salinan akta nikah.36

Perjanjian perkawinan ini, didasarkan pada pendapat Imam Malik yang memberi hak kepada istri untuk mengajukan tuntutan atau rafa’ ke pengadilan, ketika ia disakiti atau ditinggal pergi oleh suaminya tanpa tanggung jawab yang jelas.37

b. Perkawinan wanita hamil akibat zina Pasal 53 Buku I KHI menyebutkan:

(1) Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.

(2) Perkawinan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya. (3) Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat hamil, tidak

diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir. Dalam masalah pengambilan pendapat tentang hukum akad nikah wanita hamil akibat zina, reformulasi yang dilakukan oleh tim penyusun dan perumus KHI merujuk pendapat Abu Yusuf dan Zufar, yang berpendapat bahwa akad nikah dengan wanita hamil diperbolehkan dengan syarat dengan laki-laki yang menghamilinya.38 Pendapat ini tidak saja berbeda dengan pendapat mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hambali, tetapi juga berbeda dengan pendapat gurunya (Imam Abu Hanifah). Mereka

36 Ahmad Rafik, Pembaharua, p. 127.

37Ibid. Lihat juga, Abu Zahrah, al-Ahwâl, p. 350-353, dan Wahbah az-Zuhaili,

al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuh, (Damaskus: Dar Al-Fikr, 1989), VII: 420

38Az-Zuhaili, al-Fiqh, II: 150. Lihat juga al-Kasani al-Hanafi, Badâi‘ as-Sanâi‘ fî

(14)

membolehkan dengan laki-laki lain tetapi tidak boleh mensebutuhinya sampai anak yang dikandung lahir.39

Dari contoh pembahasan beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan dan Buku I KHI di atas, dapat difahami bahwa reformulasi hukum perkawinan Islam di Indonesia, sebagian menggunakan cara-cara yang dalam wacana fiqih disebut talfîq (eklektik). Talfîq (eklektik) yang digunakan bervariasi yakni dalam bentuk penerimaan faham fikih di luar fikih Syafi’i (mazhab utama), yang berlaku selama ini di Indonesia, keluar dari faham fikih ahlu sunnah dengan mengakui faham fikih Syi’ah maupun dengan mengambil fatwa pribadi mujhatid yang kurang populer.

Ilustrasi di atas menunjukkan kebenaran statemen sarjana hukum Islam Amir Syarifuddin, Atho Muhdzar, dan Liesbeny, bahwa reaktualisasi hukum keluarga, khususnya hukum perkawinan cenderung menggunakan cara eklektik (talfîq) di samping cara-cara yang lain, misalnya santence

Hukum Islam dan Barat.

Variasi talfîq yang digunakan baik oleh tim penyusun Undang-undang Perkawinan maupun KHI tersebut di atas tidak menyalahi syarat-syarat penggunaan talfîq yang pada umumnya ditetapkan oleh ulama usul fiqh, karena penggunaan talfîq untuk kepentingan kodifikasi hukum perkawinan dimaksudkan untuk menjaga aktualisasi fiqh, bukan semata-mata mencari yang ringan-ringan, apalagi maksud yang mengarah kepada kepentingan perorangan.

E. Penutup

Berdasarkan pembahasan-pembahasan sebelumnya maka dapat disimpulkan bahwa ada beberapa pasal dalam Undang-undang Perkawinan dan KHI di Indonesia yang dirumuskan dengan menggunakan pendekatan

talfîq, dengan variasi sebagai berikut:

1. Pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974, mengenai pembatasan usia

perkawinan, keluar dari faham fiqh Syafi’i yang berlaku di Indonesia, dan memilih pendapat pribadi mujtahid yakni Ibnu Syubrumah dan Abu Bakar al-Asham.

2. Pasal 6 ayat (2) UU No. 1 Tahun 1974 mengenai kebolehan menikah

tanpa wali wanita yang berumur 21 tahun, keluar dari faham fiqh Syafi’i dan memilih faham fikih mazhab Hanafi.

3. Pasal 39 ayat (1) tentang persaksian talak, keluar dari faham fiqh ahlu sunnah dan mengakui faham fiqh Syi’ah yang mengharuskan adanya saksi.

39 Az-Zahabi, Asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Dirâsah Muqâranah baina Mazâhib Ahl

(15)

4. Pasal 45 Buku I KHI mengenai ta’lik talak mengikuti faham fiqh mazhab Maliki.

5. Pasal 53 Buku I KHI mengenai perkawinan wanita hamil akibat zina mengikuti pendapat Abu Yusuf dan Zufar dengan menyisihkan pendapat yang lain baik dari mazhabnya sendiri maupun di luar mazhabnya.

(16)

Daftar Pustaka

Coulson, Noel J., Konflik dalam Jurisprudensi Islam, alih bahasa Fuad Zein, Cet. I, Yogyakarta, Navila, 2001.

Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama Islam Direktorat Jenderal

Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama,

Kenang-kenangan Seabad Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta, 1985. Ghazali al-, al-Mustasfâ Min ‘Ilm al-Usûl, Dâr al-Fikr, tt.

Hajj, Ibn Amir al-, at-Taqrîr wa at-Tahbîr, Usûl Fiqh Muqâran baina al-Hanafiyyah wa asy-Syâfi‘iyyah, Dâr al-Fikr, tt.

Hambali, Abd. ar-Rahman Ibn Muhammad Ibnal-Asimi an-Najd al-,

Majmû‘ Fatawa Ibn Taimiyyah, tlp, tt.

Jaziri, Abd. ar-Rahman al-, Kitâb al-Fiqh ‘alâ al-Mazâhib al-Arba‘ah, Beirut, Dar al-Fikr, 1989.

Ma`luf, Luis, al-Munjid, Beirut: al-Matba‘ah al-0Katulikiyyah, t.t.

Madkur, Muhammad Salam, 1983, al-Madkhal li al-Fiqh al-Islâmî, Ttp. Dâr an-Nahdah al-‘Arabiah.

Minhaji, Akh., 2001, “Reformasi (Islah) dan Pembaruan (Tajdid) Hukum Islam”, Makalah dipresentasikan dalam Styudium General Menyambut Mahasiswa Baru Fakultas Syari’ah IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Muchtar, Kamal, Ushul Fiqh 2, Jakarta: Depag, 1993.

Mudzhar, M. Atho, Membaca Gelombang Ijtihad: Antara Tradisi dan Liberasi,

Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998

Qadri, Sayed Muin ad-Din, 1987, “Taqlid dan Talfîq” dalam Dasar Pemikiran Hukum Islam Taqlid versus Talfîq, Ijtihad, alih bahasa Husein Muhammad, Jakarta: Pustaka Firdaus.

Rafiq, Ahmad, “Kritik Metodologi Fiqh Indonesia”, dalam Epistemologi Syara Mencari Format Baru Fiqh Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

Rafiq, Ahmad, Pembaharuan Hukum Islam di Indonesia, Yogyakarta, Gema Media, 2001.

(17)

Shiddieqy, TM. Hasbi Ash-, Pengantar Ilmu Fiqh, Jakarta: Bulan Bintang, 1978.

Sibâ‘i, Musthafa as-, Syarh Qânûn al-Ahwâl- asy-Syakhsiyyah, Damaskus: Matba‘ah Jami`ah, 1962.

Sosro Atmodjo, Arso, Tulawi, A. Wasit, Hukum Perkawinan Indonesia, Jakarta: Bulan Bintang, 1975.

Zahabi, Muhammad Husein Az-, asy-Syarî‘ah al-Islâmiyyah, Dirâsah Muqâranah baina Mazâhib Ahl as-Sunnah wa asy-Syî‘ah, Kairo: Maktabah Wahbah, 1968.

Zahrah, Muhammad Abu, al-Ahwâl asy-Syakhsiyyah, Kairo: Dar Fikr al-Arabi, 1969.

Zuhaili, Wahbah Az-, Usûl al-Fiqh al-Islâmî, Damaskus: Dar al-Fikr, 1986. _____, al-Fiqh al-Islâmî wa Adillatuhu, Damaskus: Dar al-Fikr, 1989.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan metode ini diharapkan solusi aproksimasi yang didapat akan mendekati solusi analitik sehingga hasil program dari penelitian ini dapat digunakan untuk menentukan

Hal tersebut diatur dalam UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang keuangan Negara yang mensyaratkan bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD disusun dan disajikan

Diharapkan dengan adanya Sistem Informasi Pengelolaan Glory Musik Studio ini dapat mempermudah penjadwalan studio karena baik jadwal tersedia ataupun tidak bisa di

Skrining aktivitas antifungi terhadap hidrolisat menunjukkan bahwa peptida yang diperoleh dari hasil hidrolisis susu kambing pada pH 7 pada waktu hidrolisis 30 maupun

Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini adalah besaran komite audit, aktivitas pertemuan komite audit, independensi komite audit, kualifikasi komite

Melalui penerapan kurikulum baru tersebut setiap guru di harapkan untuk mamaksimalkan dalam pengajaran agar mata pelajaran Pendidikan Agama Islam bisa berjalan dengan Efektif dan

Beberapa inovasi vocal juga ditemukan dalam bahasa Tidung, misalnya saja pada PMP *buruk > TDG busak ‘busuk’, PMP *ma-putiq > TDG pulak ‘putih’, dan PMP * i-kita > TDG

Metode wawancara adalah pengumpulan data dengan jalan sepihak yang dikerjakan dengan sistematis dan juga mencoba mendapatkan keterangan masyarakat yang bersangkutan dengan